BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Cashless...
Transcript of BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Cashless...
11
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1. Cashless Society
Cashless Society merujuk pada gaya hidup
masyarakat yang cenderung untuk melakukan
transaksi keuangan sehari-hari secara non-tunai
(kompas.com). Bank Indonesia memiliki pandangan
redaksional yang berbeda tentang pergerseran
perilaku bertransaksi non tunai. Alih-alih
menggunakan istilah cashless yang berarti pergeseran
perilaku yang ditandai perubahan penggunaan
instrumen pembayaran dari tunai ke non tunai
(oxfordictionaries.com), Bank Indonesia menggunakan
istilah less-cash. Less-cash society secara harafiah
dapat diterjemahkan sebagai masyarakat yang
semakin sedikit memanfaatkan uang tunai dalam
transaksi sehari-hari (Bank Indonesia, 2014).
Transaksi yang lebih banyak mengandalkan
instrumen pembayaran elektronik dibanding uang
tunai menjadi salah satu indikator less cash society.
Bila mengacu pada tiga tahapan menuju electronic
payment saat ini Indonesia berada dalam stage 1 –
bulk transition, yang ditandai adanya beragam
instrumen dan channel pembayaran, namun
penggunanya masih terbatas (Dewi, 2014). Lebih
12
lanjut Susiati Dewi (2014), pejabat Departemen
Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank
Indonesia menjelaskan untuk menuju stage 2 dan
selanjutnya, terdapat empat fokus pengembangan dan
perbaikan meliputi pengembangan infrastruktur,
perluasan jangkauan, harmonisasi regulasi dan
koordinasi antar otoritas, serta perubahan perilaku
masyarakat. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk
mewujudkan era less cash tersebut sejalan dengan
semangat untuk memberikan layanan keuangan yang
inklusif kepada masyarakat.
Pemerintah Indonesia dalam G20 Pittsburgh
Summit 2009 menyepakati perlunya peningkatan
akses keuangan bagi kelompok masyarakat unbanked
yang dipertegas pada Toronto Summit tahun 2010,
dimana 9 prinsip pengembangan keuangan inklusif
dikeluarkan, yaitu: leadership, diversity, innovation,
protection, empowerment, cooperation, knowledge,
proportionality, dan framework (bi.go.id). Lebih lanjut,
Bank Indonesia dalam laman resminya menjelaskan
bahwa keuangan inklusif adalah ketersediaan akses
layanan keuangan dan produk perbankan ke
masyarakat berpenghasilan rendah ataupun
masyarakat yang tergolong dalam masyarakat yang
belum dapat dijangkau oleh layanan perbankan baik
dari sisi supply maupun demand karena adanya gap
13
terkait produk, sarana, harga, hingga informasi
layanan perbankan, atau yang lazim disebut
masyarakat unbanked.
Direktur Eksekutif Pengembangan Akses
Keuangan dan UMKM Bank Indonesia Eni V
Pangabean dalam diskusi Branchless Banking
Solution for Efficiency di Jakarta menyatakan bahwa
Indonesia menjadi salah satu dari 7 Negara yang
memiliki strategi financial inclusion, selain 23 negara
di Afrika, 4 Negara di Timur Tengah, dan Rusia yang
juga menerapkan strategi financial inclusion
(infobanknews.com). Dalam kesempatan yang sama,
Pangabean mengungkapkan strategi tersebut
dijalankan karena di Indonesia rasio orang dewasa
yang memiliki rekening di sektor keuangan formal
atau disebut juga dengan financial inclusion index,
masih tergolong rendah, yaitu hanya 19,6%. Jauh
lebih rendah dari Thailand 77,7%, Malaysia 66,7%,
China 63,8%, Filipina 26,5%, dan Vietnam 21,4%.
Pangabean pun meyakini bahwa Branchless Banking
dalam kerangka financial inclusion dapat
meningkatkan akses keuangan bagi masyarakat
unbanked. Oleh karenanya pemerintah mendorong
terciptanya cashless society dengan penggunaan
sarana teknologi seperti EDC dan telepon seluler
dalam kegiatan jasa layanan system pembayaran dan
14
keuangan terbatas yang tidak melalui kantor fisik
bank (branchless banking). Branchless banking yang
merupakan bagian dari era non tunai menyediakan
layanan dasar perbankan ke masyarakat tanpa
memerlukan biaya yang mahal seperti membuka
sebuah cabang di lokasi yang sebelumnya belum
terjangkau bank. Fredline & Rauktis (2014)
mengungkapkan bahwa cara untuk meningkatkan
financial inclusion index tidak hanya dilakukan
dengan menumbuhkan kebiasaan menabung sedini
mungkin dalam keluarga, namun juga harus diiringi
dengan penyediaan akses ke akun tabungan itu
sendiri.
Selain dapat menyediakan layanan keuangan
yang inklusif, cashless society juga dapat memberikan
tata kelola yang baik dalam hal transaksi keuangan.
Semua transaksi dan pembayaran dalam sebuah
lingkungan akan diatur secara elektronis,
menciptakan catatan yang permanen bagi pihak
otoritas untuk menganalisa dan melacak bila
diperlukan (thenewamarican.com). Keunggulan yang
bisa diciptakan dari Era non tunai tersebut dapat
menekan Underground Economy, yaitu masyarakat
yang melakukan transaksi ekonomi tidak melalui
banking system ataupun sistem pembayaran lain
sehingga sulit dideteksi dan cenderung digunakan
15
untuk transaksi illegal seperti yang diungkapkan Van
Hope (2006) dari Vrij Universiteit Brussels, dalam
kesempatannya di Seminar Internasional “Toward a
Less Cash Society in Indonesia”. Lebih lanjut, Van
Hope mengungkapkan hasil survei di Belgia, 60%
transaksi Cash yang digunakan dalam underground
economy adalah transaksi ilegal.
2.2. Theory of Interpersonal Behaviour
Respon atau perilaku dari masyarakat terhadap
adanya era non tunai akan dianalisa menggunakan
Theory of Interpersonal Behaviour yang dikemukakan
oleh Triandis (1977). Teori Triandis (1977) dibangun
berdasarkan teori yang sama dengan Theory of
Reasoned Action (TRA) dan Theory of Planned
Behaviour (TPB) dimana perilaku manusia dapat
dipelajari dan diprediksi menurut kepercayaan-
kepercayaan yang membentuk minat yang
mengarahkan suatu perilaku, hanya saja teori-teori
tersebut belum memisahkan komponen afektif dan
kognitif. (Karaiskos et. al., 2012). Sependapat dengan
Karaiskos (2012), Bamberg & Scmidt (2003)
membandingkan bila Theory of Planned Behaviour
yang dikemukakan Ajzen (1991) menyatakan bahwa
perilaku sosial ada dibawah kendali alam sadar
seorang individu (minat) saja, TIB menawarkan model
yang lebih lengkap dengan menyatakan ada faktor
16
kebiasaan juga dapat mempengaruhi pembentukan
sebuah perilaku.
Gambar 2.1: Theory of Interpersonal Behaviour
(TIB), Triandis (1977)
Triandis (1977) menjelaskan bahwa behaviour
(perilaku) dibentuk dari tiga dimensi yaitu intention,
habit, dan facilitating conditions. Lebih lanjut,
penjelasan Triandis (1977) yang dikutip dalam jurnal
karya Gagnon et. al. (2003) menerangkan, dari ketiga
dimensi tersebut, facilitating conditions menjadi satu-
satunya moderator yang dapat mempermudah
realisasi dari sebuah perilaku. Intention yang
merepresentasikan kendali alam sadar dalam
memutuskan suatu perilaku, disusun dari attitude,
social factors, dan affect. Sedangkan habbit yang
Facilitating
Conditions
Attitude
Social Factors
Affect
Intention
Behaviour
Frequency of
Past Behaviour Habits
17
merepresentasikan kendali alam bawah sadar dalam
memutuskan suatu perilaku dibentuk dari perilaku
berulang yang dilakukan dimasa lalu (frequency of
past behaviour). Mengutip dari Stern (2000) serta
Bamberg dan Schmidt (2003), Darnton (2008)
memaparkan bahwa perilaku (behavioural) adalah
sebuah tindakan yang didasarkan pada harapan yang
akan diperoleh (kognitif), perasaan yang akan didapat
(afektif), serta rutinitas yang dilakukan
Tsang (2015) yang meneliti tentang intensitas
pelamar kerja untuk melamar bekerja di perusahaan
kecil dan menengah meneguhkan bahwa sikap
(attitude) adalah perilaku kepercayaan, atau dengan
kata lain adalah persepsi seorang individu terhadap
hubungan antara apa yang dilakukannya, dengan
keuntungan dari apa yang sudah dilakukannya.
Sebuah studi di Malaysia yang dilakukan oleh
Marimuthu et. al. (2011) menunjukkan bahwa ada
hubungan positif antara minat untuk menggunakan
alat pembayaran berbentuk kartu, dengan
keuntungan relatif yang didapatkannya. Tingginya
minat pakai berbanding lurus dengan keuntungan
relatif yang diharapkan (Walker et. al., 2002). Sikap
yang melihat harapan akan keuntungan yang didapat
dengan menggunakan instrumen pembayaran non
tunai dalam era non tunai, mempengaruhi minat
18
seorang individu terhadap pembayaran non tunai.
Berdasarkan hal tersebut, maka dibentuk hipotesa
sebagai berikut:
H1 : Sikap (Attitude) terhadap transaksi non
tunai berpengaruh signifikan positif pada minat
(Intention) terhadap transaksi non tunai.
Faktor lingkungan sosial (Social Factors)
merepresentasikan kepercayaan yang berifat normatif
dari seorang individu (Karaiskos et. al., 2012). Triandis
(1980) menjelaskan bahwa social factors berakar pada
persetujuan interpersonal dari seorang individu
terhadap komunitas yang dianutnya dalam sebuah
lingkungan sosial tertentu.
Hasil penelitian yang dilakukan pada aktivitas
fisik seperti berburu, menunjukkan hasil yang positif
tentang bagaimana komunitas yang pendapat,
pemikiran, dukungan, dan penyertaannya dianggap
penting dapat mempengaruhi minat seseorang
(Shrestha et. al., 2012). Regulator diantaranya adalah
pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) menjadi pihak-pihak penting dalam
membentuk pertimbangan masyarakat, selain dari
pribadi perseorangan yang pendapatnya sangat
dihargai. Gaya hidup sosialita yang menganggap trend
dalam sebuah komunitas sebagai hal yang penting
19
untuk diikuti, juga mempengaruhi minat masyarakat
terhadap era non tunai.
Teori tentang kerumunan (herding) dalam
sebuah lingkungan juga dianggap berpengaruh pada
social factors yang membentuk perilaku non tunai.
Nofsinger (2005) dalam bukunya The Psychology of
Investing menunjukkan bahwa investor selalu
cenderung mengikuti apa yang dilakukan investor
lainnya dalam sebuah komunitas. Sebagai contoh
lain, penerapan instrumen pembayaran
menggunakan layanan pesan singkat / short message
service (SMS) oleh Vivo Cafe salah satu cafe yang
paling digemari oleh kaum muda di Australia, menjadi
salah satu contoh mengapa pembayaran melalui SMS
menjadi nilai transaksi pembayaran mobile terbesar
tahun 2014 di Australia (Watson, 2010). Berdasarkan
hal tersebut, maka dibentuk hipotesa sebagai berikut:
H2 : Faktor lingkungan sosial (Social Factors)
berpengaruh signifikan positif pada minat (Intention)
terhadap transaksi non tunai.
Affect adalah respon emosional secara langsung
pada sebuah pemikiran tentang perilaku tertentu
(Triandis, 1980). Respon emosional tersebut
digambarkan sebagai perasaan kesuka citaan,
kerelaan, kebersediaan, atau kebalikannya. Triandis
menambahkan affect dalam TIB yang dikembangkan
20
dari TPB & TRA karena seorang individu dapat
mengambil keputusan berdasarkan perasaan mereka
(Moody & Siponen, 2013). Maka dari itu, dalam jurnal
yang sama, juga disebutkan bahwa affect menjadi
input dalam pembentukan minat seseorang.
Karaiskos (2012) dalam penelitiannya tentang minat
penggunaan Mobile Data Service (MDS) membuktikan
bahwa affect yang diartikannya sebagai perceived
enjoyment memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap minat para pengguna internet untuk
memakai layanan MDS. Berdasarkan hal tersebut,
maka dibentuk hipotesa sebagai berikut:
H3 : Emosional (Affect) berpengaruh signifikan
positif pada minat (Intention) terhadap transaksi non
tunai.
Ajzen (1991) yang teorinya (Theory of Planned
Behaviour) digunakan Triandis sebagai dasar
membangun teori TIB, menyatakan bahwa minat
adalah faktor utama dari suatu perilaku yang
ditunjukkan seorang individu. Dengan kata lain,
semakin besar minat seorang individu untuk terlibat
dalam suatu perilaku, semakin besar kecenderungan
ia untuk benar-benar melakukan perilaku tersebut.
Shrestha et al, (2012) dalam penelitiannya di Oregon
mengartikan minat (intention) sebagai rencana sadar
atau keputusan yang diambil oleh seorang individu
21
untuk menunjukkan suatu perilaku. Penelitian
terhadap kegiatan fisik di sasana olahraga yang
dilakukan oleh Hobbs et al, (2013) membuktikan
bahwa minat berpengaruh pada keikutsertaan
seorang individu terhadap suatu perilaku.
Berdasarkan hal tersebut, maka dibentuk hipotesa
sebagai berikut:
H4 : Minat (Intention) berpengaruh signifikan
positif pada respon/perilaku (Behaviour) masyarakat
terhadap transaksi non tunai.
Satu hal yang dilewatkan oleh teori TRA & TPB
adalah dengan mengasumsikan bahwa minat
membentuk perilaku tanpa menyadari bahwa perilaku
tersebut bisa saja telah dilakukan secara berulang
sebelumnya (Bamberg & Schmidt, 2013). Dalam
jurnal yang sama, Frequency of Past Behaviour
dijelaskan oleh Bamberg of Schmidt (2003) sebagai
perilaku yang dilakukan secara berulang, yang tidak
disadari membentuk sebuah kebiasaan (habit)
seorang individu. Sependapat dengan hal tersebut
Moody & Siponen (2013) menjelaskan Perilaku yang
dilakukan secara berulang dan sering, dapat menjadi
suatu hal yang otomatis. Berdasarkan hal tersebut,
maka dibentuk hipotesa sebagai berikut:
22
H5: Perilaku yang dilakukan secara berulang
(Frequency of Past Behaviour) berpengaruh signifikan
positif pada pembentukan kebiasaan (habit).
Rasio financial inclusion index masyarakat
Indonesia yang masih tergolong rendah yaitu hanya
19,6% menunjukkan masyarakat masih memiliki
kebiasaan untuk menyimpan uang dalam bentuk
tunai (infobanknews.com). Kebiasaan (habit) memiliki
arti pilihan kebiasaan yang otomatis, atau tergerak
dari alam bawah sadar, yang muncul tanpa adanya
instruksi dari diri sendiri (Karasikos et al, 2012).
Masih dalam jurnal yang sama, pernyataan Triandis
(1980) menegaskan bahwa habit adalah perilaku yang
sudah terotomasi pada situasi yang telah tersedia.
Sehingga habit dapat membentuk sebuah perilaku
secara langsung, tanpa perlu proses pembangunan
minat terlebih dahulu. Penelitian yang dilakukan oleh
Moody dan Siponen (2013) tentang penggunaan
internet pribadi, menunjukkan bahwa kebiasaan
memberikan pengaruh yang terkuat bagi seorang
individu untuk menggunakan internet. Lebih lanjut
Moody dan Siponen (2013) juga menjelaskan bilamana
minat dan kebiasaan berinteraksi, maka akan
memberikan prediksi yang kuat akan perilaku aktual
seseorang. Berdasarkan hal tersebut, maka dibentuk
hipotesa sebagai berikut:
23
H6: Kebiasaan dapat berpengaruh signifikan
positif langsung dalam membentuk perilaku
bertransaksi non tunai.
Facilitating Conditions adalah faktor-faktor
objektif dalam sebuah lingkungan yang dapat
mempermudah maupun mempersulit sebuah perilaku
dilakukan, menurut penilaian tiap-tiap individu
(Triandis, 1980). Facilitating Conditions dalam TIB
memiliki sifat yang mirip dengan kontrol perilaku
persepsian (perceived behavioural control) dalam TPB.
Karena meskipun minat yang dimiliki untuk
melakukan suatu perilaku sudah kuat, namun jika
terdapat rintangan semisal berupa keterbatasan
sumber daya, maka perilaku tersebut urung
dilakukan, seperti yang dikemukakan Triandis (1980)
dalam jurnal yang ditulis Karaiskos (2012).
Sependapat dengan hal tersebut, Moody & Siponen
(2013) menyatakan perilaku dapat terwujud
tergantung pada kemampuan dan keterampilan
seorang individu dalam mengatasi hambatan yang
ada.
Dalam era non tunai sistem yang meliputi segi
perangkat lunak maupun perangkat keras, serta
sumber daya listrik dan keuangan yang kurang
memadai, dapat menjadi penghambat. Semakin besar
sumber daya yang dimiliki seorang individu untuk
24
mengatasi permasalahan yang menghambat
terlaksananya suatu perilaku, maka semakin besar
kemungkinan perilaku seorang individu terlaksana
Tsang & Wang (2015). Sumber daya kemampuan
finansial yang lebih dan akses yang mudah terhadap
instrumen pembayaran non tunai, dapat langsung
mempengaruhi perilaku seorang individu untuk
menggunakan instrumen pembayaran non tunai.
H7: Ketersediaan fasilitas yang membantu
(Facilitating Condition) memberikan memberikan
pengaruh signifikan positif dalam proses pengambilan
keputusan perilaku transaksi non tunai.