BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non...

24
BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1. Definisi dan Nalar Konsep 2.1.1. Kepemimpinan Strategis 2.1.1.1. Definisi Kepemimpinan Strategis Finkelstein dan Hambrick (1996) mengartikan kepemimpinan strategis adalah kemampuan para eksekutif yang memiliki tanggungjawab penuh terhadap karakteristik setiap individu, aktivitas setiap individu dan cara setiap individu melakukan aktivitas serta dampak yang ditimbulkan dari aktivitas itu memengaruhi hasil dan tujuan organisasi. Hitt dan Ireland (2009) mendefinisikan kepemimpinan strategis sebagai the ability to anticipate, envision, maintain flexibility and empower others to create strategic change as necessary. Dan, Serfontein and Hough (2011) sependapat dengan Rowe mendefinisikan kepemimpinan strategis adalah “the ability to influence others to voluntarily make day-to-day decisions that enhance the long-term viability of the organisation, while at the same time maintaining its short-term financial stability”. Phipps dan Burbach (2011) mengutip pendapat Cannella & Monroe menyebutkan hal mendasar dari kepemimpinan strategis yakni visi pemimpin dan interpretasinya terhadap informasi yang datang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut, kemampuan berpikir (wawasan) dan kepribadian dari pemimpin itu sendiri. Pendapat ini mendukung pernyataan Hambrick dan Mason yang mengusulkan apa yang kemudian dikenal sebagai Upper Echelon Theory. Penegasan utama teori ini adalah bahwa para pemimpin pada umumnya beroperasi pada tingkat strategis, sehingga organisasi merupakan refleksi dari kognisi dan nilai-nilai dari

Transcript of BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non...

Page 1: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1. Definisi dan Nalar Konsep

2.1.1. Kepemimpinan Strategis

2.1.1.1. Definisi Kepemimpinan Strategis

Finkelstein dan Hambrick (1996) mengartikan

kepemimpinan strategis adalah kemampuan para eksekutif yang

memiliki tanggungjawab penuh terhadap karakteristik setiap

individu, aktivitas setiap individu dan cara setiap individu

melakukan aktivitas serta dampak yang ditimbulkan dari aktivitas

itu memengaruhi hasil dan tujuan organisasi. Hitt dan Ireland

(2009) mendefinisikan kepemimpinan strategis sebagai “the ability

to anticipate, envision, maintain flexibility and empower others to

create strategic change as necessary. Dan, Serfontein and Hough

(2011) sependapat dengan Rowe mendefinisikan kepemimpinan

strategis adalah “the ability to influence others to voluntarily make

day-to-day decisions that enhance the long-term viability of the

organisation, while at the same time maintaining its short-term

financial stability”.

Phipps dan Burbach (2011) mengutip pendapat Cannella

& Monroe menyebutkan hal mendasar dari kepemimpinan strategis

yakni visi pemimpin dan interpretasinya terhadap informasi yang

datang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut, kemampuan

berpikir (wawasan) dan kepribadian dari pemimpin itu sendiri.

Pendapat ini mendukung pernyataan Hambrick dan Mason yang

mengusulkan apa yang kemudian dikenal sebagai Upper Echelon

Theory. Penegasan utama teori ini adalah bahwa para “pemimpin

pada umumnya beroperasi pada tingkat strategis, sehingga

organisasi merupakan refleksi dari kognisi dan nilai-nilai dari

Page 2: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

manajer puncak mereka. Karena itu, pengetahuan khusus,

pengalaman, nilai-nilai, dan preferensi dari manajer puncak akan

mempengaruhi penilaian mereka tentang lingkungan eksternal dan

pilihan yang mereka buat terkait dengan strategi organisasi”.

Maksudnya adalah dalam mengembangkan kapasitas

kepemimpinan strategis harus dimulai dengan perubahan pola pikir

baik individu/karyawan maupun organisasi. Kepemimpinan

strategis adalah proses bukanlah posisi, yang menuntut

keterlibatan dan komitmen untuk belajar.

2.1.1.2. Komponen Kepemimpinan Strategis

Hitt,et.,all (2009) mengusulkan ada lima komponen utama

kepemimpinan strategis yang efektif yaitu 1) menentukan arah

strategis organisasi (visi dan misi), 2) efektif mengelola sumber daya

organisasi (kompetensi inti, sumber daya manusia dan modal

sosial), 3) mempertahankan budaya organisasi yang efektif, 4)

menekankan praktek etika dan 5) membangun keseimbangan

kontrol organisasi. Sejalan dengan itu, Carpenter dan Sanders

(2009) menggambarkan bahwa kepemimpinan strategis

bertanggung jawab untuk (1) membuat dukungan pelaksanaan

keputusan substantif dan pengalokasian sumber daya, (2)

mengembangkan dukungan terhadap strategi dari para pemangku

kepentingan utama (stakeholders). Menurut keduanya

kepemimpinan strategis memerlukan orang yang tepat sebagai

informan kunci dalam menyebarkan keputusan-keputusan penting

dalam perusahaan.

Selanjutnya Yukl (2010) juga berpendapat bahwa

kemampuan pemimpin melakukan tindakan strategisnya

bergantung pada faktor historis organisasi (budaya organisasi) yang

dipengaruhi oleh perubahan lingkungan eksternal (hadirnya

kompetitor baru, perkembangan teknologi, menurunnya permintaan

Page 3: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

jasa/produk, iklim politik/peraturan yang berbeda), penguatan

strategi dan peningkatan konsistensi antara strategi, struktur

organisasi, budaya dan sumber daya manusia. Nilai budaya yang

kuat dalam memahami prosedur kerja, kekuatan dari stabilitas

(status quo) atau kekuatan untuk berubah, kekuatan koalisi dari

para pemimpin puncak untuk mempertahankan kekuasaan dan

masa jabatan, adalah faktor-faktor lain yang turut berpengaruh.

Sedangkan Kuncoro (2011) menjelaskan bahwa karena

sifatnya yang multifungsi, maka kepemimpinan strategis harus

melibatkan segenap sumber daya manusia dalam organisasi. Dalam

menghadapi kompleksitas dan sifat global dari medan yang

kompetitif, maka perkataan, tindakan dan kemampuannya

mewujudkan visi yang hendak dicapai haruslah secara efektif dapat

memengaruhi perilaku, pikiran dan perasaan para karyawan yang

dipimpinnya.

Pendekatan strategis dalam gambaran ini tidak hanya

dilakukan pada organisasi profit. Menurut Phipps dan Burbach

(2010) dalam penelitiannya terhadap organisasi non-profit bahwa

inti kepemimpinan strategis adalah tentang kemampuan pemimpin

untuk “menciptakan dan memelihara kapasitas dalam organisasi

yakni kapasitas belajar (learning capacity), kapasitas perubahan

(capacity for change), kapasitas kebijakan manajerial (managerial

wisdom), konteks organisasi (context matters), inovasi organisasi

(organizational innovation) dan terobosan misi ( mission trajectory)”.

Sedangkan Kahar (2008) sependapat dengan Nanus dan Dobbs

yang menemukan model khusus untuk memahami peran pemimpin

terutama di organisasi non-profit yaitu: 1) inside the organization

(interaksi, inspirasi, motivasi dan pemberdayaan), 2) outside

organization (kerjasama dengan donatur, mitra bisnis yang potensial

di luar organisasi), 3) present organization (fokus pada kualitas dan

Page 4: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

pelayanan, struktur, sistem informasi dan aspek lainnya), 4) on

future possibilities (antisipasi trends dan mengembangkan arah

masa depan organisasi).

2.1.1.3. Karakteristik Kepemimpinan Strategis Vs Kepemimpinan Tranformasional

Pendekatan Kepemimpinan Transformasional memiliki

kesamaan pendekatan dengan pendekatan kepemimpinan strategis.

Gagasan James MacGregor Burns tahun 1978 telah membedakan 2

jenis kepemimpinan yakni Kepemimpinan Transaksional dan

Kepemimpinan Transformasional. Burns dalam Bass dan Riggio

(2006) mengemukakan bahwa pemimpin transaksional adalah

mereka yang memimpin lewat pertukaran sosial. Misalnya, politisi

memimpin dengan cara “menukar satu hal dengan hal lain:

pekerjaan dengan suara atau subsidi dengan kontribusi

kampanye”. Sedangkan pemimpin tipe transformasional adalah

mereka yang merangsang dan mengispirasikan pengikutnya untuk

mencapai sesuatu yang tidak biasa dan dalam prosesnya

mengembangkan kapasitas kepemimpinannya sendiri; membantu

pengikutnya untuk berkembang dan membuat mereka jadi

pemimpin baru dengan cara merespon kebutuhan-kebutuhan yang

bersifat individual dari para pengikut; memberdayakan para

pengikut dengan cara menselaraskan tujuan yang lebih besar

individual para pengikut, pemimpin, kelompok dan organisasi.

Lebih lanjut dikatakan kepemimpinan transformasional dapat

mengubah pengikut melebihi kinerja yang diharapkan, sebagaimana

mereka mampu mencapai kepuasan dan komitmen pengikut atas

kelompok ataupun organisasi.

Pendekatan kepemimpinan strategis memiliki ciri dan

karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan

kepemimpinan tranformasional. Dari paparan Yukl (2010) dalam

Page 5: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

temuan empirisnya dapatlah dikemukakan beberapa karakteristik

perilaku pemimpin strategis yakni 1) berani mengambil tindakan

tegas terutama disaat menghadapi krisis, 2) kompetensi melakukan

perubahan yang tahan lama, 3) tahu apa yang dilakukan dan

mampu mengendalikan peristiwa/situasi, 4) menghargai kinerja

yang baik namun tidak menyalahkan kondisi eksternal karena

kinerja yang buruk.

Karakteristik lain dari kepemimpinan strategis disebutkan

dalam tulisan Creative Centre Leadership CCL Strategi – Whitepaper

(2004) bahwa ada beberapa karakteristik/ciri utama kepemimpinan

strategis berkualitas untuk meningkatkan kinerja unggul : 1) loyalty

(kemampuan dan efektifitas menunjukkan kesetiaan pada visi,

kata-kata dan tindakan), 2) keeping them updated (menjaga

pembaharuan informasi tentang organisasi), 3) judicious use of

power (bijaksana menggunakan kekuasaan dalam mengembangkan

persetujuan bagi ide-ide ketimbang memaksakan ide-ide tersebut) 4)

have wide perspective/outlook (memiliki wawasan, ketrampilan dan

pengetahuan yang luas), 5) motivation (memiliki semangat untuk

bekerja melampaui uang dan kekuasaan), 6) compassion

(memahami persepsi dan perasaan bawahan, keputusan diambil

setelah mempertimbangkan bawahan), 7) self-control (memiliki

potensi untuk mengendalikan suasana hati dan keinginan yang

mengganggu; berpikir sebelum bertindak) 8) social skills (ramah dan

punya sifat sosial), 9) self awareness (potensi untuk memahami

suasana hati dan emosi serta dampaknya terhadap orang lain), 10)

readiness to delegate and authorize (menyadari bahwa delegasi akan

menghindari over-loading tanggungjawab, mengakui kenyataan

bahwa bawahan juga punya otoritas untuk membuat keputusan

yang akan memotivasi mereka), 11) articularly (artikulasi yang

cukup untuk mengkomunikasikan visi kepada anggota organisasi

Page 6: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

dalam meningkatkan peran para anggota), 12) constancy/ reliability

(menjadikan visi organisasi menjadi komponen budaya organisasi)

Bianco dan Schermerhorn (2004), berpendapat bahwa ciri

atau karakteristik kepemimpinan strategis yakni: terlibat dalam

perubahan, lebih proaktif dalam mengkomunikasikan perubahan,

tidak bersedia mengubah kepemimpinan menjadi konsultan

eksternal serta tidak sekedar memiliki visi perubahan namun

disertai kapasitas berkelanjutan untuk implementasi perubahan,

selalu mendorong terciptanya perubahan perilaku secara positif,

mandiri dan memungkinkan orang lain melakukan hal yang sama

serta berani mengambil resiko.

Para peneliti terdahulu menemukan bahwa seorang

pemimpin memiliki peran yang strategis dalam membawa organisasi

yang dipimpinnya mencapai tujuan organisasi baik melalui motivasi

untuk meningkatkan kinerja karyawan. Ogbonna dan Harris (2000)

dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kepemimpinan yang

diperankan dengan baik oleh seorang pemimpin mampu memotivasi

karyawan untuk bekerja lebih baik, hal ini akan membuat karyawan

lebih hati-hati berusaha mencapai target yang diharapkan

perusahaan, hal tersebut berdampak pada kinerjanya. Susanto

dan Aisyah (2010) menyimpulkan dalam penelitiannya kepada

karyawan di Kantor Pertanahan Kabupaten Kebumen bahwa

terdapat pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan terhadap

motivasi dan kepemimpinan terhadap kinerja karyawan. Begitu

pentingnya peran pemimpin sehingga Hayatuddin (2012)

menyarankan dalam penelitiannya bahwa faktor kepemimpinan

tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja pegawai

non struktural apabila pola kepemimpinan yang ditampilkan tidak

sesuai dengan dinamika organisasi yang dipimpinnya.

Page 7: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

Dari beberapa pengertian dan hasil penelitian diatas

dapatlah disimpulkan bahwa karakteristik kepemimpinan strategis

adalah 1) visioner, misioner dan strategis yakni memiliki,

memahami dan mengkomunikasikan visi dan misi, mampu

merumuskan dan merealisasikan strategi serta memiliki

pengetahuan, terampil dan berwawasan luas, 2) berorientasi pada

perubahan menunjukkan bahwa pemimpin menyukai dan selalu

terlibat dalam perubahan, memiliki tujuan dan arah yang jelas,

future-oriented dan suka menetapkan prioritas, 3) mampu

membangun relasi yang kuat tergambar dari selalu bertindak

bijaksana, melibatkan bawahan dalam mengembangkan ide,

memberi kesempatan kepada bawahan untuk membuat keputusan,

selalu menyelesaikan tanggungjawab dengan segera dan memiliki

jejaring sosial luas dengan berbagai pihak, 4) memiliki personal

style dan personal skills seperti proaktif, pengendalian emosi,

bersemangat, peduli terhadap bawahan, bekerja melampaui uang

dan kekuasaan serta berani mengambil resiko.

2.1.2. Budaya Organisasi

2.1.2.1. Pengertian Budaya Organisasi

Robbins et al. (2008) mendefinisikan budaya organisasi

adalah sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para

anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi-

organisasi lainnya. Hofstede (2010) mendefinisikan budaya

organisasi adalah hasil susunan pemikiran bersama yang

membedakan anggota-anggota sebuah organisasi dengan yang lain.

Schein (2004) mendefinisikan budaya organisasi sebagai

“pola asumsi dasar – diciptakan, ditemukan atau dikembangkan oleh kelompok tertentu saat mereka menyesuaikan diri dengan masalah-masalah eksternal dan integrasi internal – yang telah bekerja cukup baik serta dianggap berharga dan karena itu diajarkan kepada anggota baru sebagai cara yang benar untuk

Page 8: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

menyadari, berpikir dan merasakan hubungan dengan masalah tersebut”.

Sementara itu, pendapat Carwright yang dikutip Wibowo

(2013) memahami budaya sebagai penentu yang kuat dari

keyakinan, sikap dan perilaku orang dan pengaruhnya dapat diukur

melalui bagaimana orang termotivasi untuk merespons lingkungan

budaya mereka.

2.1.2.2. Karakteristik, Tipe dan Fungsi Budaya Organisasi

Ada 7 karakteristik budaya organisasi menurut

Robbins,et.al., (2008) yakni : inovasi dan keberanian mengambil

resiko, perhatian terhadap detail, berorientasi pada hasil,

berorientasi kepada manusia, berorientasi pada tim, agresivitas dan

stabilitas. Terkait dengan karakteristik budaya organisasi, menurut

Luthans (2009) ada beberapa yang penting diantaranya aturan

perilaku yang diamati, norma, nilai dominan, filosofi, aturan, iklim

organisasi.

Menurut Hofstede (2010) ada 6 dimensi budaya organisasi

yakni 1) process oriented – result oriented (orientasi proses atau

orientasi hasil), 2) employee oriented-job oriented (orientasi pada

karyawan atau orientasi pada pekerjaan), 3) parochial-professional

(berhubungan dengan organisasi atau berhubungan dengan pribadi

yang profesional, 4) open system-closed system( sistem terbuka atau

sistem tertutup), 5) loose control-tight control( pengawasan yang

lemah atau pengawasan yang ketat), 6) pragmative-normative

(pragmatis atau normatif). Sedangkan Djatmiko (2008) mengutip

pemahaman Greenberg dan Baron yang menyebutkan “budaya

adalah kerangka kerja kognitif yang terdiri atas sikap, nilai, norma

perilaku dan harapan yang dibentuk oleh para anggotanya” maka

menurut pendapat mereka ada 7 unsur budaya organisasi yakni

inovasi, stabilitas, orientasi terhadap orang, orientasi terhadap

Page 9: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

hasil, perhatian yang mendetail, easy-goingness dan orientasi pada

kerjasama.

Mengenai tipe budaya organisasi, Kreitner dan Kinicki

(2005) mengemukakan bahwa tipe-tipe budaya sebagai berikut :

pertama, tipe budaya konstruktif (terkait dengan pencapaian tujuan

aktualisasi diri, penghargaan dan persatuan), kedua, tipe budaya

pasif-defensif (berhubungan dengan persetujuan, konvensional,

ketergantungan dan penghindaran) dan ketiga, tipe budaya agresif-

defensif.

Berkaitan dengan tipe budaya seperti disebutkan

sebelumnya. Kreitner dan Kinicki juga menyebutkan bahwa

terdapat 4 fungsi budaya organisasi yaitu 1) memberikan identitas

organisasi kepada karyawannya (misalnya karyawan yang inovatif

diberi penghargaan dari perusahaan), 2) memudahkan komitmen

kolektif, (seorang karyawan terdorong berkomitmen dan merasa

bangga karena diberi banyak kesempatan melakukan pekerjaan

berbeda dan meningkatkan karier), 3) mempromosikan stabilitas

sistem sosial (mengkondisikan lingkungan kerja positif dan

mendukung serta mengelola konflik dengan efektif), 4) membentuk

perilaku dengan manajer merasakan keberadaannya,(berfungsi

menolong karyawan memahami mengapa perusahaan melakukan

apa yang seharusnya dilakukan dan bagaimana mencapai tujuan

jangka panjangnya).

2.1.2.3. Kekuatan dan Penghambat Budaya Organisasi

Kotter dan Heskett dalam tulisannya yang dikutip Wibowo

(2013) memberikan beberapa indikator kekuatan budaya organisasi

sebagai berikut : a) memiliki dampak signifikan pada kinerja

ekonomi untuk jangka panjang, b) dapat menentukan kesuksesan

atau kemunduran perusahaan beberapa tahun yang akan datang, c)

mencerminkan kinerja finansial yang lama dan kokoh serta mudah

Page 10: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

perkembangannya, d) meningkatkan kinerja karyawan. Sekalipun

demikian, budaya organisasi dapat juga menjadi penghambat dalam

aktivitas dan kelangsungan sebuah organisasi. Robbins et al.,

(2008) menggambarkan hambatan-hambatan tersebut sebagai 1)

hambatan terhadap perubahan terjadi ketika konsistensi perilaku

tidak bisa beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan bisnis,

2) hambatan bagi keragaman saat kultur yang kuat berhadapan

dengan masuknya kekuatan-kekuatan unik yang beragam latar

belakang yang dibawa oleh anggota-anggota organisasi yang baru,

3) hambatan bagi akuisisi dan merger, pertentangan kultur antar

perusahaan menjadi sebab gagalnya akuisisi dan merger mencapai

sasarannya.

Tika dalam Brahmasari,et.al (2008) menyimpulkan proses

pembentukan budaya organisasi melewati 4 tahapan, yaitu tahap

pertama terjadinya interaksi antar pimpinan atau pendiri organisasi

dengan kelompok/perorangan dalam organisasi; tahap kedua

adalah interaksi memunculkan ide-ide yang ditransformasikan

menjadi artifak, nilai dan asumsi; artifak, nilai, dan asumsi

kemudian diimplementasikan sehingga membentuk budaya

organisasi adalah tahap ketiga; dan tahapan terakhir adalah

mempertahankan budaya organisasi melalui pembelajaran (learning)

kepada anggota baru dalam organisasi.

Koesmono (2005) mengemukakan bahwa bila organisasi

menjadi kuat serta tujuannya dapat terakomodir merupakan bukti

bahwa budaya organisasi itu produktif. Pendapatnya ini

disimpulkan dari hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa

budaya organisasi memengaruhi motivasi serta kinerja karyawan

Sub Sektor Industri Pengolahan Kayu Skala Menengah di Jawa

Timur.

Page 11: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

Berdasarkan pengertian dan hasil penelitian diatas maka

elemen-elemen yang melekat dalam budaya organisasi itu ialah 1)

profesionalisme yakni karyawan mengetahui apa tujuan

pekerjaannya, berpikir jauh kedepan, penghargaan dan senang

berinovasi, 2) keterbukaan dan keteraturan yaitu organisasi memiliki

sistem dan aturan main yang jelas, karyawan bebas

mengembangkan ide dan kemampuan diri sendiri, kesetiakawanan

sosial dan saling menghargai, perasaan aman dan nyaman dalam

bekerja, 3) ketaatan pada peraturan adalah promosi jabatan yang

transparan, selalau terarah dan fokus dalam melaksanakan tugas,

berkomitmen menjaga citra baik organisasi serta disiplin.

2.1.3. Motivasi

2.1.3.1. Pengertian Motivasi

Robbins et al. (2008) mengemukakan bahwa motivasi

adalah “keinginan untuk melakukan” sebagai kesediaan

mengeluarkan upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi,

sebagaimana yang dikondisikan oleh kemampuan itu dalam upaya

memenuhi suatu kebutuhan individual”. Definisi lain dari Jones

seperti yang dikutip dalam Wijono (2010) mendefinisikan motivasi

sebagai “how behavior get started, is energized, is sustained, is

director, is stopped and what kind of subjective reaction is presentin

the organism while all this is oing on”. Selanjutnya Steers dan Porter

mengemukakan bahwa motivasi dapat dipahami melalui tiga aspek

ini yaitu yang membangkitkan (energizes) tingkah laku, yang

mengarahkan (direct) atau menghubungkan (channels) tingkah laku

dan mempertahankan (maintained) tingkah laku.

2.1.3.2. Teori Motivasi

2.1.3.2.1 Teori Kebutuhan

Ada beberapa ahli yang telah mengembangkan Teori

Kebutuhan sebagaimana yang dikutip Stoner (1996). David Mc

Page 12: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

Cleland yang menekankan kebutuhan itu pada tiga hal : 1)

kebutuhan berprestasi 2) kebutuhan untuk berafiliasi dan 3)

kebutuhan terhadap kekuatan.

Frederick Herzberg,et.al dikenal dengan Teori Dua Faktor.

Menurut Herzberg, faktor penyebab kepuasan (faktor hygiene)

seperti gaji, kondisi kerja dan kebijakan perusahaan mempengaruhi

konteks lingkungan kerja, sedangkan faktor penyebab

ketidakpuasan (faktor memotivasi) termasuk prestasi, pengakuan,

tanggung jawab dan kemajuan terkait dengan isi pekerjaan dan

imbalan atas prestasi kerja.

Teori Hierarki Kebutuhan menurut Abraham Maslow

(1970) mengasumsikan bahwa individu akan termotivasi untuk

memenuhi kebutuhan yang paling menonjol atau paling kuat

baginya diwaktu tertentu. Ada lima macam kebutuhan individu

secara hierarki adalah 1) kebutuhan fisiologis (physiological needs),

2) kebutuhan keamanan (safety and security needs), 3) kebutuhan

sosial (social needs), 4) kebutuhan harga diri ( esteem needs) dan 5)

kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs).

2.1.3.2.2 Teori ERG

Teori Kebutuhan ini dikembangkan oleh Clayton

Alderfer dan disebut Teori ERG. Teori ini mendukung pengukuran

motivasi dengan teori Maslow namun, Alderfer membedakan

teorinya dengan dua hal prinsip ini sebagai berikut : pertama,

membedakan kebutuhan hanya menjadi tiga kategori 1) kebutuhan

eksistensi (Excistence), 2) kebutuhan keterkaitan (Relatedness) dan

3) kebutuhan pertumbuhan (Growth), kedua, Alderfer memandang

bahwa setiap individu berjalan naik turun pada hirarki kebutuhan

sesuai waktu dan situasinya, sedangkan Maslow menyatakan

bahwa individu akan bergerak naik mencapai puncak teratas

kebutuhannya, (Wijono, 2012). Teori ERG berbeda dengan Teori

Page 13: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

Kebutuhan Maslow dalam tiga cara berikut yang lebih fleksibel: 1)

tidak seperti hierarki Maslow yang kaku, teori ERG memberi

kemungkinan berbagai tingkat kebutuhan dapat diupayakan secara

bersamaan, 2) teori ini memungkinkan bahwa urutan kebutuhan

individu yang satu berbeda dengan urutan kebutuhan individu yang

lain, 3) teori ERG mengakui bahwa jika kebutuhan tingkat yang

lebih tinggi tetap terpenuhi, individu tersebut bisa mundur dengan

kebutuhan tingkat yang lebih rendah yang muncul lebih mudah

untuk dipenuhi.

2.1.3.3. Motif dan Faktor Motivasi

Dalam diri individu terdapat beberapa motif atau

kebutuhan. Implikasi dari teori ERG yang dikembangkan Alderfer

maka motif kebutuhan berdasarkan teori ini dapat diklasifikasikan

dalam 3 kelompok yaitu pertama, kebutuhan eksistensi (needs of

existence) yang berhubungan dengan kelangsungan hidup

(kesejahteraan fisiologis), kedua, kebutuhan hubungan (needs of

relatedness) yang menekankan pentingnya hubungan sosial atau

relasi antar pribadi, dan ketiga, kebutuhan perkembangan (needs of

growth) yaitu keinginan intrinsik individu untuk mengembangkan

diri, (Luthans,2006).

Chaudary dan Sharma (2012) menulis dalam tulisan

mereka mengenai Impact of Employee Motivation on Performance

(Productivity) in Private Organization bahwa yang dimaksud dengan

faktor-faktor motivasi adalah kepuasan kerja, prestasi, lamanya

bekerja, kebutuhan uang/gaji serta penghargaan. Menurut

keduanya, seorang pemimpin mempunyai peran untuk

membangkitkan minat, menciptakan antusiasme agar karyawan

melakukan yang terbaik dari kemampuan yang mereka miliki.

Kegagalan organisasi umumnya terletak pada kurangnya pemimpin

memahami pentingnya motivasi dalam mencapai visi dan misi

Page 14: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

organisasi. Bahkan pendapat mereka, bahwa walaupun pemimpin

memahami pentingnya motivasi, jika ia tidak mempunyai

keterampilan dan pengetahuan untuk menyediakan

lingkungan/budaya organisasi yang dapat memotivasi karyawan,

maka hal tersebut tak efektif mendorong terjadinya peningkatan

produktivitas kinerja karyawan. Cong dan Van (2013) menyebutkan

dalam penelitian mereka pada sejumlah karyawan PVNC Vietnam,

dibutuhkan faktor-faktor lain selain gaji dan promosi untuk

memotivasi karyawan, seperti pengembangan karir, kondisi

pekerjaan yang nyaman sekalipun dalam hasil penelitian gaji,

promosi menempati peringkat pertama dan kondisi kerja di

peringkat kedua. Penelitian Murti dan Srimulyani (2013) terhadap

kinerja pegawai PDAM menemukan hasil bahwa motivasi tidak

berpengaruh signifikan apabila kebutuhannya telah terpuaskan,

sebaliknya motivasi berpengaruh signifikan jika kebutuhan pegawai

tersebut belum terpenuhi.

Kesimpulan dari beberapa pengertian dan teori tersebut

diatas adalah setiap orang menginginkan kebutuhannya terpenuhi

melalui apa yang dikerjakannya. Dorongan atau motivasi kerja

berasal dari terpenuhinya dimensi a) kebutuhan eksistensi

(existence needs), terdiri dari kebutuhan dasar dan kebutuhan

tunjangan tambahan b) kebutuhan relasi (relatedness needs) yakni

kebutuhan dalam hubungan dengan atasan dan kebutuhan dalam

hubungan dengan rekan kerja, dan c) kebutuhan untuk bertumbuh

(growth needs).

2.1.4. Kinerja

2.1.4.1. Pengertian Kinerja

Rivai dan Basri (2005) menulis bahwa “kinerja adalah hasil

atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama

periode tertentu didalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan

Page 15: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau

sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan

telah disepakati bersama”. Donnelly, Gibson dan Ivancevich dalam

kutipan Rivai,et.al (2005) menyebutkan “kinerja merujuk kepada

tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, kinerja dinyatakan

baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan

baik”. Kata kinerja juga disebut oleh Mathis dan Jackson (2011)

sebagai “apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh karyawan“.

2.1.4.2. Kriteria Penilaian Kinerja

Kriteria penilaian kinerja adalah sebuah upaya untuk

mengetahui dan mendapatkan informasi kinerja individu atau tim

untuk memenuhi standar kinerja yang sesuai dengan strategi

organisasi. Untuk memperoleh input/masukan tersebut, organisasi

dapat menggunakan tiga tipe kriteria kinerja, menurut

Jackson,et.,al (2011) yaitu kriteria berdasarkan kepribadian,

kriteria perilaku dan kriteria hasil. Kriteria berdasarkan kepribadian

memusatkan perhatian kepada karakteristik personal seperti

kesetiaan, keandalan, kemampuan berkomunikasi dan

kepemimpinan. Kriteria perilaku memusatkan konsentrasi pada

bagaimana kerja individu dilaksanakan. Adapun kriteria perilaku ini

seperti ketidakhadiran, kelambatan, kecerobohan, kepercayaan,

memberi semangat, mendorong perubahan, menciptakan kerjasama

serta berorientasi pada pelanggan. Dengan mengkombinasikan

timbal balik dari kinerja, penilaian perilaku ini akan sangat berguna

bagi perkembangan pekerja. Fokus dari kriteria hasil ialah pada

apa yang diselesaikan atau dihasilkan daripada bagaimana

pekerjaan dihasilkan dan diselesaikan. Kriteria penilaian ini tidak

dapat efektif diterapkan kepada individu tetapi lebih kepada tim

Page 16: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

atau unit kerja. Kelemahan dari hasil penilaian ini adalah

menghilangkan aspek kerja dan mementingkan hasil .

Bagi Mathis dan Jackson (2011) selain elemen-elemen

kuantitas dari hasil, kualitas dari hasil, ketepatan waktu dari hasil,

kehadiran dan kemampuan bekerjasama, kriteria pekerjaan

penting dimasukkan ke dalam penilaian kinerja.

2.1.4.3 Kriteria Penilaian Kinerja Karyawan Medik

Pada organisasi rumah sakit terdapat kriteria penilaian

kinerja yang spesifik dalam menilai kinerja karyawannya. Perlu ada

perbedaan terhadap kriteria penilaian kinerja karyawan

administrasi dan kriteria penilaian kinerja karyawan medik. Kriteria

penilaian kinerja karyawan medik menurut Peraturan Pemerintah

RI Nomor 23 tahun 2005 tentang Standar Pelayanan Minimal

Rumah Sakit dan Peraturan Pemerintah RI No 65 tahun 2005

tentang sifat Stándar Pelayanan Minimal Rumah Sakit semestinya

memenuhi persyaratan SMART: Specific (fokus pada jenis layanan),

Measurable (dapat diukur), Achievable (dapat dicapai), Reliable

(relevan dan dapat diandalkan), Time specific (ada batasan waktu).

Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit menurut Keputusan

Menteri Kesehatan RI nomor 228 tahun 2002 adalah standar

penyelenggaraan pelayanan medik, pelayanan penunjang,

pelayanan keperawatan dan manajemen rumah sakit. Yang

termasuk dalam manajemen rumah sakit ialah manajemen

sumberdaya manusia, manajemen keuangan, manajemen sistem

informasi rumah sakit, sarana prasarana dan mutu pelayanan.

Berdasarkan kriteria penilaian kinerja tersebut maka

kriteria penilaian kinerja karyawan medik adalah sebagai berikut:

(a). akses terhadap pelayanan (access) menyangkut informasi

prosedur keperawatan dan tindakan penanganan atau diagnosis,

(b). efektifitas dan efisiensi (efficacy and eficiency) dalam menangani

Page 17: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

pasien termasuk saran terhadap pasien dan keluarganya terkait

perawatan yang efisien, (c). safety (keamanan) yakni mengetahui

dengan tepat dan menjaga kerahasiaan riwayat kesehatan pasien

serta updated perubahan data intervensi yang diberikan terhadap

pasien, (d). continuity of care (kesinambungan pelayanan) yaitu

peduli kepada faktor emosional dan kebutuhan pasien dan

keluarganya, (e). technical competence (kompetensi tehnis) terkait

dengan standar operasional prosedur yang harus dilakukan dalam

tindakan keperawatan pasien, (f). amenities (kenyamanan) adalah

bekerja dengan jadwal dan sesuai intervensi berdasarkan SOP, (g).

human relation (hubungan antar manusia) ialah selalu menjalin

hubungan kerja yang baik antar sesama rekan paramedis baik

konsultasi maupun berbagi pengalaman.

Sinambela (2012) mengemukakan bahwa kinerja memiliki

tiga dimensi yang saling terkait dan terhubung yakni kemampuan,

motivasi dan peluang. Motivasi yang berasal dari kepuasan akan

hasil yang dicapai memberikan dampak dalam meningkatkan

kinerja.

Dari beberapa pengertian dan uraian yang dikemukakan

ini maka dapatlah dikatakan bahwa kinerja karyawan sebagai

hasil akhir individu terhadap suatu kegiatan yang disengaja,

terencana dan terstruktur didasarkan pada tujuan, misi dan visi

organisasi tersebut. Kinerja karyawan akan tercapai bila didukung

oleh sejumlah faktor diantaranya kepemimpinan, budaya organisasi

dan motivasi. Indikator kinerja karyawan dapat diukur dengan

mengkombinasikan kriteria-kriteria tertentu misalnya antara

kriteria berdasarkan kepribadian dan kriteria perilaku.

Page 18: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

2.2. Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu

No

Penulis/

Judul

Variabel

Alat Analisis

Sampel

Hasil

Penelitian

Dependen Interve

ning/

Modera

ting

Indepen

den

01 Iis Torisa

Utami,SE,MM

(2011)

Pengaruh gaya

kepemimpinan

Transformasional

terhadap motivasi

kerja karyawan

pada PT Trade

Servistama

Indonesia

Tangerang

Motiva

si kerja

karyawan

gaya

kepemimp

i-nan

transform

a -sional

metode

kuantita

tif dan hasil

penelitian

diolah

dengan

menggunaka

n program

SPSS versi

15.0

Karya-wan

PT Trade

Servista-ma

Indone-sia

berjum-lah

kurang

lebih 256

orang.

Gaya kepemimpinan

transformasional

secara parsial

berpengaruh terhadap

motivasi kerja

karyawan 2.Gaya

kepemimpinan

transformasional

secara simultan

berpengaruh terhadap

motivasi kerja

karyawan

02 Ni Ketut

Laswitarni (2010)

Budaya

Organisasi,

Kepuasan

Kerja,Motivasi dan

Kinerja Karyawan

(Suatu studi di PT

Delta Satria

Dewata Denpasar)

Motivasi ,

Kinerja

Karyawan

Budaya

Organisasi

,

Kepuasan

kerja

SEM yang

dibantu

dengan

program

AMOS Versi

7.0

Seluruh

karyawan

1)budaya organisasi

mempunyai hubungan

signifikan danpositif

dengan motivasi. 2)

Hubungan signifikan

dan positif antara

motivasi kerja dengan

kinerja karyawan

03 Kiruja EK, Elegwa

Mukuru (2013)

Effect of Motivation

on Employee

Performance In

Public Middle Level

Technical

TrainingInstitutions

In Kenya

Motivasi Kinerja

Karyawan

SPSS 20

Analysis of

variance

(ANOVA

315

adminis

trator

Hasil analisis korelasi

dalam penelitian ini

menunjukkan bahwa

motivasi karyawan

memiliki hubungan

positif yang signifikan

dengan kinerja

karyawan

Page 19: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

04. Heri Susanto dan

Nuraini Aisiyah

(2010)

Analisis Pengaruh

Kepemimpinan dan

Budaya Kerja

dengan Motivasi

sebagai variable

intervening

terhadap Kinerja

karyawan di

Kantor Pertanahan

Kabupaten

Kebumen

Kinerja

karyawan

Motivasi

Karyawan

Kepemimp

inan,Buda

ya kerja

program

partial

leastsquare

/PLS

Seluruh

pegawai

negeri sipil

berjumlah

85 orang

1.Pengaruh budaya

kerja terhadap kinerja

karyawan di

KantorPertanahan

Kabupaten Kebumen

adalah tidak

signifikan. 2.Pengaruh

motivasi

terhadapkinerja

karyawan

adalah signifikan,

3.Pengaruh motivasi

terhadap kinerja

adalah signifikan, Hal

ini berarti motivasi

sebagai variabel

intervening terhadap

kinerja bagus

05 Kamaliah, Ahmad

Rifqi, Mitha

Elistha

(2013)

Pengaruh Gaya

Kepemimpinan,

Budaya Organisasi

dan Motivasi Kerja

terhadap Kinerja

Akuntan

Pemerintah (Studi

Empiris

padaAkuntan

BPKP)

Kinerja

Akuntan

Gaya

Kepemimp

inan

Budaya

Organisasi

,Motivasi

SPPS 17.0 32

Responden

gaya kepemimpinan,

budaya organisasi dan

motivasi kerja ketiga

variabel ini secara

parsial semuanya

berpengaruh secara

positif dan

signifikanmeningkatka

n kinerja akuntan.

Gambaran dalam tabel 2.1. diatas menjelaskan tentang

penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan

variabel-variabel sama yang juga hendak diteliti dalam penelitian

ini. Tetapi variabel kepemimpinan yang disoroti oleh Utami (2011)

adalah gaya kepemimpinan transformasional dan pengaruhnya

terhadap motivasi karyawan, sedangkan dalam penelitian ini

melihat menurut konsep pengaruh kepemimpinan strategis

terhadap motivasi karyawan serta dampaknya kepada kinerja

karyawan. Demikian juga dengan yang diteliti oleh Laswitarni (2010)

melihat pengaruh organisasi dan kepuasan kerja terhadap motivasi

Page 20: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

sedangkan dalam penelitian faktor kepuasan kerja menjadi

indikator yang diteliti dalam variabel motivasi kerja. Kiruju dan

Mukuru (2013) tidak melihat pengaruh tetapi hubungan antara

kinerja karyawan dengan motivasi kerja. Kemudian Susanto et al

(2010) dan Kamaliah et al (2013) menggunakan variabel-variabel

yang sama dengan yang dipakai dalam penelitian ini tetapi melihat

pengaruhnya secara langsung (parsial) dan bersama-sama

(simultan). Objek penelitian terhadap kinerja karyawan medic

merupakan hal yang membedakan dengan penelitian penelitian ini

sehingga penelitian ini bersifat research gap sebab ada variabel-

variabel baru dan indikator pengukuran yang tidak sama dengan

penelitian sebelumnya.

2.3. Perumusan Hipotesis

2.3.1. Pengaruh Kepemimpinan Strategis terhadap Motivasi

Kerja Hughes dan Beatty (2005) menulis dalam buku mereka

“Becoming a Strategic Leader” bahwa fokus dari kepemimpinan

strategis adalah “sustainable competitive advantages” organisasi

untuk mendorong dan menggerakkan segenap kemampuan

karyawan sehingga akan berkembang. Lebih lanjut penjelasan

keduanya bahwa kepemimpinan strategis adalah kapasitas dan

kapabilitas yang dimiliki seseorang atau kelompok yang

bertanggungjawab dan memiliki pengaruh penting untuk menjamin

organisasi itu tetap bertahan hidup. Cara mereka menjaga

keberlanjutan organisasinya adalah dengan bagaimana memotivasi

karyawannya dengan tepat untuk mengubah sumber daya yang tak

bernilai menjadi bernilai, menciptakan peluang dan kesempatan

yang sama bagi para karyawannya untuk terlibat dalam proses itu.

Kemampuan mengambil keputusan-keputusan strategis, tidak

alergi menciptakan budaya organisasi lebih efektif dan

Page 21: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

menjalankan bisnis secara beretika serta fokus atau berorientasi

pada masa depan. Dalam aksi-aksi itulah yang menempatkan

kepemimpinan strategis dapat mengelola dan mendorong sumber

daya yang tersedia di organisasinya untuk memberikan kontribusi

lebih dan unik dalam jangka panjang.

H1 : Kepemimpinan strategis berpengaruh terhadap motivasi

Kerja

2.3.2. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Motivasi Kerja

Budaya organisasi merupakan falsafah, ideologi, nilai-nilai,

anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma-norma yang

dimiliki secara bersama serta mengikat dalam suatu komunitas

tertentu (Koesmono, 2005). Kegagalan pemimpin menata dan

menciptakan budaya yang bersih dan sehat, maka tidaklah

mengherankan kalau organisasi itu dibiarkan. Beraneka ragamnya

bentuk organisasi atau perusahaan, pasti mempunyai budaya

yang berbeda-beda. Hal ini wajar karena lingkungan organisasinya

berbeda-beda pula misalnya antara perusahaan jasa berbeda

dengan perusahaan manufaktur dan trading. Hofstede (2010)

berpendapat bahwa perbedaaan itulah yang akan menjadikan

budaya organisasi menjadi heteroginitas.

Dalam organisasi, budaya organisasi berfungsi sebagai (1)

alat menciptakan perbedaan yang khas ini tidak bahwa organisasi

satu sama dengan organisasi yang lain tidak sama, (2) sebagai

indentitas bagi anggota organisasi, (3) budaya memudahkan

lahirnya komitmen terhadap kepentingan yang lebih luas daripada

kepentingan individu/perseorangan, (4) dapat memantapkan sistem,

(5) berfungsi sebagai mekanisme penciptaan makna dan sistem

pengendalian yang menuntun dan membentuk sikap serta perilaku

karyawan.

H2 : Budaya organisasi berpengaruh terhadap motivasi kerja

Page 22: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

2.3.3. Pengaruh Motivasi Kerja terhadap Kinerja Karyawan

Melalui teori ERG-nya, Alderfer hendak mengemukakan

bahwa seorang pemimpin harus menyadari bahwa masing-masing

karyawannya memiliki beberapa kebutuhan untuk dipenuhi secara

bersamaan. Kebutuhan yang dimaksud ialah kebutuhan

keberadaan, kebutuhan hubungan antar personal dan kebutuhan

pertumbuhan dan pengembangan diri. Selain itu, jika peluang

pertumbuhan tidak diberikan kepada karyawan, mereka mungkin

akan memengaruhi hubungan antar personal dalam organisasi.

Kepemimpinan strategis seharusnya mampu mengenali situasi ini,

agar dapat mengambil langkah untuk berkonsentrasi pada

kebutuhan relasi antar personal sampai karyawannya terdorong

untuk mengejar kebutuhan pengembangan dirinya lagi. Jika proses

ini terjalani dengan baik maka kinerja karyawan dapat ditingkatkan

sesuai dengan harapan dan tujuan organisasipun tercapai.

Disini dibutuhkan kemampuan pemimpin untuk

mengarahkan dan menciptakan budaya kerja dan budaya

organisasi yang kondusif. Hal ini untuk mendorong karyawan untuk

bekerja lebih keras lagi, kinerja lebih terpacu demi mencapai tujuan

organisasi. Namun, haruslah diperhatikan bahwa pemberian

motivasi harus diarahkan dengan baik menurut prioritas dan dapat

diterima dengan baik oleh karyawan

H3 : Motivasi Kerja berpengaruh positif terhadap kinerja

karyawan.

2.3.4.1 Pengaruh Kepemimpinan Strategis terhadap Kinerja Karyawan dengan Motivasi Kerja sebagai Variabel Mediating

Kinerja dipahami sebagai yang menunjukkan hasil kerja

yang dicapai seseorang setelah melaksanakan tugas pekerjaan yang

dibebankan oleh organisasi. Sedangkan ukuran baik tidaknya hasil

Page 23: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

kerja dapat dilihat dari mutu atau kualitas yang dicapai karyawan

sesuai dengan tuntutan organisasi.

Tuntutan terhadap hasil kerja dari organisasi terhadap

masing-masing karyawan, tidak terlepas dari peran strategis dari

pemimpin yang mendorong dan mengarahkan dalam menghasilkan

sesuatu serta meningkatkannya sesuai dengan harapan dan tujuan

yang ingin dicapai.

H4.1 : Kepemimpinan Strategis berpengaruh terhadap kinerja

karyawan dengan motivasi kerja sebagai variabel mediating.

2.3.4.2 Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan dengan Motivasi Kerja sebagai Variabel Mediating

Soeprihantono (1988) mengatakan bahwa kinerja

merupakan hasil pekerjaan seorang karyawan selama periode

tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, yang telah

ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama apabila

karyawan mampu bekerja sesuai dengan standar penilaian yang

ditetapkan organisasi. Dan untuk mencapai kinerja yang

diharapkan memerlukan dukungan budaya organisasi yang

profesional, terbuka dan teratur serta memiliki sistem dan aturan

yang jelas. Selain sebagai sebuah perangkat perekat dan

penghubung keragaman antar individu dalam organisasi, budaya

organisasi juga mampu menciptakan kondisi lingkungan kerja yang

aman dan nyaman untuk memotivasi para karyawan meningkatkan

kinerjanya.

H4.2 : Budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja

karyawan dengan motivasi kerja sebagai variabel mediating.

Page 24: BAB II TELAAH PUSTAKArepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9272/2/T2_912012008_BAB II.pdf · non struktural apabila pola ... anggota yang membedakan suatu ... hambatan terhadap

2.4. Model Penelitian

Untuk mendukung penelitian ini maka model penelitiannya

sebagai berikut :

2.5. Hipotesis

H1 : kepemimpinan strategis berpengaruh signifikan terhadap

motivasi

H2 : budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap

motivasi

H3 : motivasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan

H41 : kepemimpinan strategis berpengaruh signifikan terhadap

kinerja karyawan dengan motivasi sebagai variabel

mediating

H42 : budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja

karyawan dengan motivasi sebagai variabel mediating

Budaya Organisasi

(X2)

Motivasi Kerja

(Y1)

Kinerja Karyawan Medik (Y2)

Kepemimpinan Strategis

(X1)