BAB II TANGGUNGAN - sinta.unud.ac.id II.pdf · hak milik yang dimohon itu diberikan dengan...
Transcript of BAB II TANGGUNGAN - sinta.unud.ac.id II.pdf · hak milik yang dimohon itu diberikan dengan...
40
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAK MILIK ATAS TANAH DAN HAK
TANGGUNGAN
2.1 Tinjauan Umum Tentang Hak Milik
2.1.1 Pengertian Hak Milik
Ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa “Hak milik
adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas
tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”. Kemudian pada ayat (2)
disebutkan “Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.” Pada
paragraf sebelumnya tertulis bahwa hak milik adalah hak turun-temurun yang
maksudnya adalah hak milik dapat diwariskan oleh pemegang hak kepada ahli
warisnya. Selanjutnya disebutkan bahwa hak milik adalah hak terkuat dan
terpenuh, maksud dari kata-kata tersebut tersebut mununjukkan bahwa diantara
hak-hak atas tanah, hak milik adalah hak yang paling kuat dan paling penuh dan
bukan berarti hak tersebut bersifat mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu
gugat. Hak milik sebagai hak yang terkuat dibandingkan dengan hak atas tanah
lainnya berarti hak milik tidak mudah dihapus dan lebih mudah dipertahankan
terdap gangguan dari pihak lain1.
Arti kata tepenuh pada pengertian Hak Milik diatas berarti hak milik
memberikan wewenang yang paling luas dibandingkan dengan hak atas tanah
lainnya, hak milik dapat dapat menjadi induk dari hak atas tanah lainnya,
1Adrian Sutedi, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya,Jakarta, Sinar Grafika, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi II), hal. 60
misalnya pemegang hak milik dapat menyewakannya kepada pihak lain.
Wewenang seorang pemegang hak milik tidak terbatas selama tidak dibatasi oleh
penguasa. Kata-kata terkuat dan terpenuh itu bemaksud untuk membedakannya
dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak pakai dan hak-hak lainnya,
yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki
orang, hak miliklah yang “ter” (paling kuat dan penuh). Begitu pentingnya hak
milik, pemerintah memberikan perhatian yang sangat serius terhadap persoalan
hak milik atas tanah2.
Hak milik atas tanah di dalam UUPA termasuk ke dalam konsep hak atas
tanah yang bersifat primer. Hak atas tanah yang bersifat primer ini maksudnya
adalah hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh
seseorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat
dipindahtangankan kepada orang lainatau ahli warisnya3. Selain Hak Milik atas
Tanah yang termasuk ke dalam hak atas tanah yang bersifat primer ini adalah Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai.
Hak Milik adalah hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada
pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain diatas bidang tanah hak
milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa hak guna bangunan, hak pakai,
dengan pengecualian hak guna usaha), yang hampir sama dengan kewenangan
negara (sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya.
Hak ini meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan mirip dengan
2 A.P. Parlindungan I, Op.cit. hal. 1243 Supriadi, 2012, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya
disebut Supriadi I), hal. 64
eigendom, atas tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
memberikan kewenangan yang paling luas pada pemiliknya, dengan ketentuan
harus memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPA, yang menyatakan bahwa semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
2.1.2 Subyek Hak Milik
Hak Milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia
saja, dan tidak dapat dimiliki oleh warga negara asing selain itu Hak Milik atas
Tanah juga dapata diberikan kepada badan-badan hukum tertentu yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan
Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Pasal 1 Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tersebut menyebutkan badan badan hukum
tersebut antara lain:
1. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara)2. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan
atas UU No. 79 Tahun 19583. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria,
setelah mendengar Menteri Agama4. Badan-badan Sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria, setelah
mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.
Hak milik atas tanah tidak dapat dimiliki oleh warga negara asing ataupun
oleh orang yang memiliki kewarganegaraan ganda (warga negara Indonesia dan
juga warga negara asing). Menurut Pasal 21 ayat (3) UUPA warga negara asing
yang memperoleh hak milik karena pewarisan atau pencampuran harta karena
perkawinan, demikian juga bagi warga negara Indonesia yang mempunyai hak
milik dan kemudian kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak
tersebut dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau
hilangnya kewarganeraannya itu.
Ketentuan mengenai pemilikan hak atas tanah terdapat gambaran bahwa
hak milik atas tanah merupakan persoalan yang perlu mendapatkan perlindungan
yang sangat ketat. Perlindungan ketat dimaksudkan agar pemberian status hak
kepada peorangan harus dilakukan dengan seleksi ketat, agar betul-beul terjadi
pemerataan atas status hak tersebut4.
2.1.3 Sifat dan Ciri Hak Milik
Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya Hak Milik atas
Tanah memiliki sifat terkuat dan terpenuh yang membedakannya dengan Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak-hak lainnya. Hak milik itu
hak terkuat artinya bahwa hak milik itu tidak mudah hapus dan mudah
dipertahankan terhadap gangguan dari pihak lain. Terpenuh artinya hak milik
dapat memberikan wewenangyang lebih luas dibandingkan hak-hak lainnya. Ini
berarti hak milik dapat menjadi induk dari hak-hak lainnya, seperti misalnya
pemegang hak milik dapat menyewakannya kepada pihak lain.Sedangkan ciri-ciri
hak milik, antara lain:
1. Wajib didaftarkan
2. Dapat beralih kepada ahli waris
3. Dapat dialihkan
4. Dapat diwakafkan
5. Turun Termurun
4Ibid., hal.66-67
6. Dapat dilepaskan
7. Dapat dijadikan induk hak lain
8. Dapat dijadikan jaminan utang dengan hak tanggungan
2.1.4 Terjadinya Hak Milik
Terjadinya hak milik atas tanah dpat dengan berbagai macam peristiwa.
Terjadinya hak milik atas tanah diatur di dalam Pasal 22 UUPA yang isinya
sebagai berikut :
1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, hak
milik terjadi karena :
a. Penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah
b. Ketentuan Undang-Undang.
Menurut pandangan Edy Ruchyat dalam bukunya yang berjudul Politik
Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, Hak milik dapat terjadi karena5:
1. Menurut Hukum Adat
Menurut Pasal 22 UUPA, hak milik menurut hukum adat harus diatur
dengan peraturan pemerintah supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan
kepentingan umum dan Negara. Terjadinya hak atas tanah menurut hukum adat
lazimnya bersumber pada pembukuan hutan yang merupakan bagian tanah ulayat
suatu masyarakat hukum adat.
5Edy Ruchyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai orde Reformasi,Alumni, Bandung, hal.47-51
2. Penetapan Pemerintah
Hak milik yang terjadi karena penetapan pemerintah diberikan oleh
instansi yang berwenang menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan
peraturan pemerintah. Tanah yang diberikan dengan hak milik itupun dapat
diberikan sebagai perubahan daripada yang sudah dipunyai oleh pemohon,
misalnya hak guna bangunan, hak guna usaha, atau hak pakai, hak milik ini
merupakan pemberian hak baru.
3. Pemberian Hak Milik Atas Negara
Hak milik tersebut diberikan atas permohonan yang bersangkutan.
Permohonan untuk mendapatkan hak milik itu diajukan secara tertulis kepada
pejabat yang berwenang dengan perantara Bupati Walikota kepala Daerah ke
kepala Kantor Agraria Daerah yang bersangkutan. Oleh instansi yang berwenang
hak milik yang dimohon itu diberikan dengan menerbitkan suatu surat keputusan
pemberian hak milik.
4. Pemberian Hak Milik Perubahan Hak
Pihak yang mempunyai tanah dengan hak guna usaha, hak guna bangunan
atau hak pakai, jika menghendaki dan memenuhi syarat-syarat dapat menunjukkan
permintaan kepada instansi yang berwenang, agar haknya itu diubah menjadi hak
milik, pemohon lebih dahulu harus melepaskan haknya hingga tanahnya menjadi
tanah Negara sesudah itu dimohon (kembali) dengan hak milik.
2.1.5 Pengalihan, Pembebanan dan Hapusnya Hak Milik
Pengalihan hak atas tanah adalah jual beli, tukar menukar, perjanjian
pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang
disepakati dengan pihak lain selain pemerintah guna pelaksanaan pembangunan
termasuk pembangunan untuk kepentingan umum. Setiap pengalihan hak milik
atas tanah, yang dilakukan dalam bentuk jual beli, tukar menukar atau hibah harus
dibuat di hadapan PPAT.
Jual beli, tukar menukar atau hibah ini dalam konsepsi hukum adat adalah
suatu perbuatan hukum yang bersifat terang dan tunai. Dengan terang
dimaksudkan bahwa perbuatan hukum tersebut harus dibuat di hadapan pejabat
yang berwenang yang menyaksikan dilaksanakan atau dibuatnya perbuatan
hukum tersebut. Sedangkan dengan tunai diartikan bahwa dengan selesainya
perbuatan hukum dihadapan PPAT berarti pula selesainya tindakan hukum yang
dilakukan dengan segala akibat hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum tersebut
tidak dapat dibatalkan kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi
mengenai hak milik atas tanah yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai
kecakapan dan kewenangan bertindak atas bidang tanah tersebut.
PPAT mempunyai kewajiban agar peralihan hak milik atas tanah, dapat
terselenggara secara benar. PPAT yang akan membuat peralihan hak atas tanah
mempunyai tugas memastikan kebenaran mengenai hak milik atas tanah tersebut,
memastikan kecakapan dan kewenangan bertindak dari pihak-pihak yang akan
mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut. Sehubungan
dengan obyek hak milik atas tanah yang dialihkan, PPAT harus memeriksa
keabsahan dari dokumen-dokumen:
1. mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah
susun, sertipikat asli hak yang bersangkutan. Dalam hal sertipikat tidak
diserahkan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar
yang ada di Kantor Pertanahan; atau
2. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar:
surat bukti yang membuktikan hak atas tanah yang lama yang belum
dikonversi atau surat keterangan Kepala Desa/ Kelurahan yang
menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut
dengan itikad baik, dan tidak pernah ada permasalahan yang timbul
sehubungan dengan penguasaan tanahnya tersebut; dan
surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan
belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak
di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang
hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/ Kelurahan;
dan dalam hal surat tersebut tidak dapat diserahkan maka PPAT wajib
menolak membuat akta pemindahan hak atas tanah tersebut termasuk hak
milik atas tanah yang akan dialihkan tersebut.
Pada Pasal 25 UUPA menyebutkan bahwa “Hak milik dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan”. Hak Tanggungan berdasarkan
Pasal 1 angka 1 UUHT adalah Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda
yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah
hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur
lain”. Pembebanan Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan
Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di
dalam perjanjian dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utang-
piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang
tersebut. Pembebanan hak tanggungan ini akan lebih rinci dijelaskan pada sub bab
berikutnya mengenai tinjauan umum hak tanggungan.
Hak milik memiliki keunikan tanpa batas waktu, maka dari itu hak milik
dapat diwariskan kepada keluarga yang ditinggalkan. Namun hak milik itu dapat
juga terhapus, dalam Pasal 27 UUPA dinyatakan bahwa hak milik hapus apabila:
a. Tanahnya jatuh kepada negara:
1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18.Menurut ketentuan
Pasal 18 UUPA bahwa untuk kepentingan umum termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas
tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan
menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pihak
pemiliknya.Hapusnya hak milik atas tanah karena penyerahan dengan
sukarela oleh pemiliknya ini berhubungan dengan Keputusan Presiden
Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang dilaksanakan lebih lanjut
dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah
bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, penyerahan
sukarela ini menurut Kepres No. 55/1993 sengaja dibuat untuk
kepentingan negara, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh pemerintah.
3. Karena ditelantarkan.Pengaturan mengenai tanah yang terlantar
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Pasal 3 dan 4 Peraturan
Pemerintah No. 36 Tahun 1998 mengatur mengenai kriteria tanah
terlantar yaitu;
(i) tanah yang tidak dimanfaatkan dan/atau dipelihara dengan baik.
(ii) tanah yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan, sifat atau
tujuan dari pemberian haknya tersebut.
4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2).Pasal 21
ayat (3) UUPA mengatur bahwa orang asing yang memperoleh hak milik
karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta perkawinan,
demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan
setelah berlakunya UUPA ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib
melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika
sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan,
maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada
negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya
tetap berlangsung.
Pasal 26 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa setiap jual-beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada
orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan
hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah yaitu badan-badan hukum yang
dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya, adalah batal karena hukum dan
tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima
oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
b. Tanahnya musnah adalah tanah yang sudah berubah dari bentuk asalnya
karena peristiwa alam dan tidak dapat diidentifikasi lagi sehingga tidak dapat
difungsikan, digunakan, dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Karena
keadaan yang demikian maka hak milik dapat terhapus.
Sebagaimana pemberian, peralihan dan pembebanan Hak Milik yang
wajib di daftar dalam buku tanah, pendaftaran hapusnya hak kepemilikan atas
tanah juga wajib untuk dilakukan. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
2.2 Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan
2.2.1 Pengertian Hak Tanggungan
UUPA telah memberikan indikasi bahwa perlu dibentuk sebuah undang-
undang untuk mengatur masalah Hak Tanggungan. Hal tersebut terlihat pada
Pasal 51 UUPA yang isinya “Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak
milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39
diatur dengan undang-undang.” Namun pembentukan undang-undang yang
khusus mengatur masalah hak tanggungan baru diresmikan 34 tahun kemudian
dengan diundangkannya UUHT selama 34 tahun tersebut maka dasar pengaturan
masalah hak tanggungan digunakan Hypotheek (selanjutnya disebut hipotek)
sebagaimana yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan Credietverband yang diatur dalam
Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190.
Dengan diundangkannya UUHT maka diharapkan dapat menciptakan
kepastian hukum di dalam lembaga jaminan yang berkaitan dengan tanah,
sehingga terdapat suatu lembaga jaminan yang kuat serta pasti pelaksanaannya.
Pengertian Hak Tanggungan pada Pasal 1 UUHT, yaitu hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut
atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Dari definisi tersebut dapat ditarik unsur pokok dari hak tanggungan,
sebagai berikut.
(1) Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang.
(2) Obyek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
(3) Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja,
tetapi dapat pula dibebankan beikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu.
(4) Utang yang dijamin adalah suatu utang tertentu.
(5) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur-kreditur lain.6
Penjelasan umum angka 3 UUHT disebutkan bahwa hak tanggungan sebagai
lembaga jaminan hak mempunyai 4 sifat khusus. Sifat-sifat khusus tersebut antara
lain:
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada
pemegangnya. Apabila debitur cidera janji, kreditur pemegang hak
tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang
dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang
lain". Hak mendahulu dimaksudkan adalah bahwa kreditur pemegang hak
tanggungan didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil penjualan
eksekusi obyek HakTanggungan.7
b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun obyek
itu berada. Dalam Pasal 7 UUHT disebutkan bahwa “Hak Tanggungan
tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada”.
Kemudian dijelaskan pada bagian penjelasan undang-undang tersebut
yaitu “sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan
pemegang Hak Tanggungan. Walaupun obyek Hak Tanggungan sudah
berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat
6Supriadi I, Op.Cit, hal.1737J. Satrio, 1996, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi, Citra Aditia
Bakti, Bandung, hal. 97
menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitur cidera janji”. Hak
itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun
juga) barang itu berada. Hak itu terus saja mengikuti orang yang
mempunyainya.8
c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.Apabila debitur cidera janji
menurut Pasal 6 UUHT, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai
hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut. Sedangkan Pasal 14 UUHT menegaskan bahwa
Sertipikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dan berlaku sebagai pengganti grosse akta hypotheek sepanjang mengenai
hak atas tanah.9
2.2.2 Subyek Hak Tanggungan
Pasal 8 ayat (1) UUHT disebutkan bahwa pemberi hak tanggungan adalah
orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan.
Kemudian pada Pasal 8 ayat (2) UUHT bahwa kewenangan untuk melakukan
8Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata : Hukum Benda,Liberty, Yogyakarta, hal. 25
9Ibid. hal. 52-53
perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak
Tanggungan dilakukan. Pada bagian penjelasan Undang-Undang tesebut yaitu
karena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarnya Hak Tanggungan
tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek
Hak Tanggungan diharuskan ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat
pembuatan buku tanah Hak Tanggungan. Untuk itu harus dibuktikan keabsahan
kewenangan tersebut pada saat didaftarnya Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Pasal 9 UUHT disebutkan pemegang Hak Tanggungan adalah orang
perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang
berpiutang.Dengan demikian yang dapat menjadi pemegang Hak Tanggungan
adalah siapapun juga yang berwenang melakukan perbuatan perdata untuk
memberikan utang, yaitu orang perseorangan warga negara Indonesia maupun
orang asing.10 Sebagai pihak yang akan menerima Hak Tanggungan, pemegang
Hak Tanggungan haruslah memperhatikan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UUHT yang
menyebutkan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
objek Hak Tanggungan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 8 ayat (1) UUHT,
harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat hak tanggungan tersebut
didaftarkan, karena Hak Tanggungan baru lahir pada saat Hak Tanggungan
tersebut didaftarkan.
10ST. Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan: Asas-asas, Ketentuanketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan, Alumni,Bandung, hal 79.
2.2.3 Objek Hak Tanggungan
Obyek Hak Tanggungan dijelaskan pada Bab II UUPA mengenai Obyek
Hak Tanggungan yang terbagi dari Pasal 4 hingga Pasal 7. Pada Pasal 4 ayat (1)
UUHT disebutkan bahwa hanya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan yang dapat dibebani Hak Tanggungan. Namun pada Ayat (2) Hak
Pakai yang wajib didaftarkan menurut ketentuan yang berlaku juga dapat dibebani
Hak Tanggungan. Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas tanah Hak
milik ini diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah. Salah satu Peraturan
Pemerintah yang mengaturnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Dan Hak Pakai Atas Tanah.
Hak Tanggungan juga dapat dibebankan pada hak atas tanah beserta
bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah yang dibebankan Hak Tanggungan seperti yang
tertulis pada Pasal 4 ayat (4) dan ayat (5) UUHT.
Dikemukakan dalam Penjelasan Pasal 4 UUHT, terdapat dua unsur mutlak
dari hak atas tanah yang dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan yaitu:
a. Hak tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku wajib didaftar
dalam daftar umum, dalam hal ini pada Kantor Pertanahan. Unsur
ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan (preferent) yang
diberikan kepada kreditur pemegang hak tanggungan terhadap
kreditur lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak
tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanah
yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya (asas
publisitas), dan
b. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan,
sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasi untuk
membayar utang yang dijamin pelunasannya.
2.2.4 Asas-Asas Hak Tanggungan
Asas-asas hak tanggungan digunakan untuk mengetahui perbedaan hak
tanggungan yang telah ada sebelum terbitnya UUHT dan setelah terbitnya UUHT,
termasuk asas hipotek yang ada sebelumnya. Untuk lebih jelasnya, asas-asas itu
akan diuraikan sebagai berikut.11
a. Hak Tanggungan memberikan kedudukan hak yang diutamakan.
Kalimat “kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu kepada
kreditur lain” dapat ditemui dalam penjelasan umum UUHT yang menyatakan
Bahwa jika debitur cidera janji, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak
menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak
mendahulu daripada kreditur-kreditur lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah
barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut
ketentuan hukum yang berlaku. Jadi hak mendahulukan dimaksudkan adalah
bahwa kreditur pemegang Hak Tanggungan didahulukan dalam mengambil
pelunasan atas hasil penjualan eksekusi obyek Hak Tanggungan. Kedudukan
11Supriadi.Op. Cit. hal. 174
diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-
piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku .
b. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi.
Sesuai ketentuan dalam Pasal 2 UUHT, dinyatakan bahwa Hak Tanggungan
mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Apabila hak
tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam
Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang
yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan
nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak
Tanggungan, yang akan dibebankan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga
kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan
untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi. Dalam penjelasan Pasal 2 UUHT
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan sifat tidak dapat dibagi-bagi dari
Hak Tanggungan adalah bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh objek
Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya, dilunasinya sebagian dari utang
yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari
beban Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi.
c. Hak Tanggungan hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada.
Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah
dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang
baru akan dipunyai oleh seseorang di kemudian hari tidak dapat dijaminkan
dengan Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Tidaklah mungkin untuk
membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada
di kemudian hari.12
d. Hak Tanggungan dapat dibebankan selain atas tanahnya juga benda-benda
yang berkaitan dengan tanah tersebut.
Ketentuan Pasal 4 ayat (4) UUHT dinyatakan bahwa Hak Tanggungan
dapat dibebankan bukan saja pada tanahnya, tetapi juga segala benda yang
mempunyai keterkaitan dengan tanah tersebut. Benda-benda yang berkaitan
dengan tanah tersebut dapat berupa bangunan,tanaman yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut.
e. Hak Tanggungan dapat dibebankan juga atas benda-benda yang berkaitan
dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari.
Pasal 4 ayat (4) UUHT memungkinkan Hak Tanggungan dapat
dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut,
sekalipun benda-benda tersebut belum ada, tetapi baru akan ada di kemudian hari.
Istilah “yang baru akan ada” ialah benda-benda yang pada saat Hak Tanggungan
dibebankan belum ada sebagai bagian dari tanah (hak atas tanah) yang dibebani
Hak Tanggungan tersebut. Misalnya karena benda-benda tersebut baru ditanam
(untuk tanaman) atau baru dibangun (untuk bangunan dan hasil karya) kemudian
setelah Hak Tanggungan itu dibebankan atas tanah (hak atas tanah) tersebut.13
f. Perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian Accessoir.
Penjelasan umum angka 8 UUHT yang menyatakan bahwa oleh karena
Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu
12 ST. Remy Sjahdeini, Op.cit,hal. 2513Ibid. hal. 27
piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau
perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya
piutang yang dijamin pelunasannya”. Selain itu hal tersebut diatur dalam Pasal 10
ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UUHT. Dalam Pasal 10 ayat (1) dinyatakan bahwa
perjanjian untuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan
dari perjanjian Utang-piutang yang bersangkutan, sedangkan Pasal 18 ayat (1)
huruf a UUHT menyatakan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang
yang dijamin dengan Hak Tanggungan
g. Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk utang yang akan ada.
Beberapa asas Hak Tanggungan mempunyai suatu keistimewaan yaitu
diperbolehkannya menjaminkan utang yang akan ada. Hal ini sesuai ketentuan
dalam Pasal 3 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa
“utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupautang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu ataujumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapatditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yangmenimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan”.
Seperti yang dikemukakan dalam penjelasan Pasal 3 Ayat (1) UUHT,
dapat dijadikannya Hak Tanggungan untuk menjamin utang yang baru akan ada
dikemudian hari adalah untuk menampung kebutuhan dunia perbankan berkenaan
dengan timbulnya utang dari nasabah bank sebagai akibat dilakukannya pencairan
atas suatu garansi bank. Juga untuk menampung timbulnya utang sebagai akibat
pembebanan bunga atas pinjaman pokok dan pembebanan ongkos-ongkos lain
yang jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian.14
14Ibid. hal. 31
h. Hak Tanggungan Dapat Menjamin Lebih dari Satu Utang.
Sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUHT dinyatakan bahwa “Hak
Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan
hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan
hukum”. Perjanjian dengan hanya berupa satu Hak Tanggungan bagi beberapa
kreditur berdasarkan beberapa perjanjian kredit bilateral antara debitur yangsama
dengan masing-masing kreditur itu, hanyalah mungkin dilakukan apabila
sebelumnya telah disepakati oleh semua kreditur. Kesemua kreditur bersama-
sama harus bersepakat bahwa terhadap kredit yang akan diberikan oleh masing-
masing kreditur (bank) kepada satu debitur yang sama itu, jaminannya adalah
berupa satu Hak Tanggungan saja bagi meraka bersama-sama kredit dari semua
kreditur diberikan secara serentak. Bila tidak demikian halnya,para kreditur itu
akan menjadi pemegang Hak Tanggungan pertama, kedua,ketiga, dan seterusnya.
Masing-masing kreditur past akan saling mendahulu untuk memperoleh hak yang
diutamakan terhadap kreditur yang lain.15
i. Hak Tanggungan mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek hak
tanggungan itu berada.
Pasal 7 UUHT menyatakan bahwa “Hak Tanggungan tetap mengikuti
objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada.” Hak tanggungan tidak
akan berakhir sekalipun objek Hak Tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh
sebab apa pun juga. Berdasarkan asas ini, pemegang Hak Tanggungan akan selalu
dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapa pun benda itu berpindah.
15Ibid. hal. 37
Ketentuan Pasal 7 UUHT ini merupakan materialisasi dari asas yang disebut droit
de suite atau zaakgevolg asas ini juga diambil dari hipotek yang diatur dalam
KUHPerdata Pasal 1163 ayat (2) dan Pasal 1198 KUH Perdata.16
j. Diatas Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh peradilan.
Seharusnya menurut hukum terhadap Hak Tanggungan tidak dapat
diletakkan sita. Alasannya adalah karena tujuan dari hak jaminan pada umumnya
dan khususnya Hak Tanggungan itu sendiri. Tujuan dari Hak Tanggungan adalah
untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditur yang menjadi pemegang Hak
Tanggungan itu untuk didahulukan dari kreditur-kreditur lain. Bila terhadap Hak
Tanggungan itu dimungkinkan sita oleh pengadilan, berarti pengadilan
mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dan kreditur
pemegang Hak Tanggungan.
k. Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu.
Asas ini diatur dalam Pasal 8 UUHT dan juga di penjelasan Pasal 8
tersebut. Di dalam akta pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan uraian
jelas mengenai objek Hak Tanggungan, tidaklah mungkin untuk memberikan
uraian yang jelas sebagaimana yang dimaksud, apabila objek Hak Tanggungan
belum ada dan belum diketahui ciri-cirinya. Kata-kata “uraian yang jelas
mengenai objek Hak Tanggungan ” dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e UUHT
menunjukkan bahwa objek Hak Tanggungan harus secara spesifik dapat
ditunjukkan dalam APHT yang bersangkutan.17
16Ibid. hal. 3817Ibid. hal. 42
l. Hak Tanggungan wajib didaftarkan.
Ketentuan Pasal 13 UUHT dinyatakan bahwa Pemberian Hak Tanggungan
wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, PPAT wajib
mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah
lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran HakTanggungan
dilakukan oleh kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah Hak
Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi
objek Hak Tanggungan Berta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas
tanah yang bersangkutan.
Tidak adil bagi pihak ketiga untuk terikat dengan pembebanan suatu Hak
Tanggungan atas suatu objek Hak Tanggungan bila pihak ketiga tidak
dimungkinkan untuk mengetahui tentang pembebanan Hak Tanggungan itu.
Hanya dengan cara pencatatan pendaftaran yang terbuka bagi umum yang
memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak
Tanggungan atas suatu hak atas tanah.
m. Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji tertentu.
Janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11 Ayat (2) UUHT bersifat
fakultatif dan limitatif. Bersifat fakultatif karena janji-janji itu boleh dicantumkan
atau tidak dicantumkan, balk seluruhnya maupun sebagiannya, Bersifat tidak
limitatif karena dapat pula diperjanjikan janji-janji lain, selain dari janji-janji yang
telah disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT.
n. Hak Tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh
pemegang hak tanggungan apabila cedera janji.
Asas Hak Tanggungan ini beralasan dari asas yang tercantum dalam
Hipotek sesuai ketentuan Pasal 1178 KUHPer, yang janji demikian tersebut
disebut Vervalbeding. Pengaturan hal tersebut terdapat pada Pasal 12 UUHT yaitu
Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk
memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitur cedera janji, batal demi hukum.
Larangan pencantuman janji yang demikian, dimaksudkan untuk melindungi
debitur, agar dalam kedudukan yang lemah dalam menghadap kreditur (bank)
karena dalam keadaan sangat membutuhkan utang (kredit) terpaksa menerima
janji dengan persyaratan yang berat dan merugikannya.18
o. Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan mudah dan pasti.
Dalam ketentuan Pasal 6 UUHT dinyatakan bahwa apabila debitur cedera
janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek
Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Dalam penjelasan
Pasal 6 tersebut diuraikan sebagai berikut hak untuk menjual objek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari
kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau
pemegang HakTanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan
oleh pemegang Hak Tanggungan bahwa apabila debitur cedera janji, pemegang
Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui
18Ibid, hal. 45-46
pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak
Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan itu lebih dahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Sisa hasil
penjualan tetap menjadi hak pemegang Hak Tanggungan.
Sertipikat Hak Tanggungan yang merupakan tanda bakti adanya Hak
Tanggungan yang diberikan oleh Kantor Pertanahan dan yang memuat irah-irah
dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlalu sebagai
pengganti grosse acte Hipotek sepanjang mengenai tanah.19
2.2.5 Lahirnya Hak Tanggungan
Lahirnya Hak Tanggungan tidak terlepas dari proses pembebanan Hak
Tanggungan itu sendiri. Pada angka 7 penjelasan umum UUHT disebutkan bahwa
proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan,
yaitu:
a. tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak
Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk selanjutnya disebut
PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin;
b. tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat
lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.
Pada huruf b angka 7 penjelasan umum UUHT tersebut menyatakan
bahwa lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat tahap pendaftarannya oleh
19Ibid, hal. 47
Kantor Pertanahan, jadi setelah dibuat perjanjian utang piutang maka PPAT
membuatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang kemudian didaftarkan di
Kantor Pertanahan dan pada saat pendaftaran tersebut maka Hak Tanggungan
sudah dianggap telah lahir.
Hal ini dipertegas lagi pada penjelasan Pasal 8 ayat (2) UUHT yang
menyebutkan bahwaKarena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat
didaftarnya Hak Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan diharuskan ada pada pemberi
Hak Tanggungan pada saat pembuatan buku tanah Hak Tanggungan. Untuk itu
harus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarnya Hak
Tanggungan yang bersangkutan.
Lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarnya Hak Tanggungan.
Demikian pula dengan penjelasan Pasal 13 ayat (1) UUHT yang menyebutkan
bahwa salah satu asas Hak Tanggungan adalah asas publisitas. Oleh karena itu
didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk
lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap
pihak ketiga.Pada penjelasan Pasal 13 ayat (1) UUHT ini lebih menekankan
bahwa syarat mutlak dari lahirnya Hak Tanggungan itu adalah pendaftaran
pemberian Hak Tanggungan.
2.2.6 Hapusnya Hak Tanggungan
Pasal 18 UUHT disebutkan beberapa hal yang menyebabkan hapusnya
atau berakhirnya Hak Tanggungan. Penyebab hapusnya atau berakhirnya Hak
Tanggungan tersebut antara lain:
a. Utangnya hapus, sesuai dengan sifat accessoir dari hak tanggungan,
adanya hak tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijaminkan
pelunasannya. Apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau sebab-
sebab lain, maka dengan sendirinya hak tanggungan yang bersangkutan
menjadi hapus juga.
b. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan, hal ini
dilakukan oleh pemegang hak tanggungan dengan pemberian pernyataan
tertulis kepada pemberi hak tanggungan, sehingga kedudukan pemegang
hak tanggungan sebagai kreditur preferen menjadi kreditur konkuren.
c. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri, terjadi karena permohonan pemberi hak atas tanah
yang dibebani hak tanggungan agar hak atas tanah yang dibelinya itu
dibersihkan dari beban hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19
UUHT. Ketentuan demikian dilakukan dalam rangka melindungi
kepentingan pembeli objek hak tanggungan, agar benda yang dibelinya
terbebas dari hak tanggungan yang semula membebaninya, jika harga
pembelian tidak mencukupi untuk melunasi utang yang dijamin.
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tersebut, dimana
ada beberapa kemungkinan yaitu :
- Jangka waktunya berakhir, kecuali hak atas tanah yang dijadikan objek
hak tanggungan diperpanjang sebelum berakhir jangka waktunya. Hak
Tanggungan mana tetap melekat pada hak atas tanah yang bersangkutan ;
- Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena suatu syarat batal
telah dipenuhi ;
- Dicabut untuk kepentingan umum ;
- Dilepaskan dengan sukarela oleh pemilik hak atas tanah ; dan
- Tanahnya musnah.
2.3 Tinjauan Umum Tentang Notaris
2.3.1 Pengertian Notaris
Menurut ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat UUJN-P) disebutkan bahwa
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Walaupun
menurut definisi tersebut ditegaskan bahwa Notaris itu adalah pejabat umum
(openbare ambtenaar), ia bukan pegawai menurut undang-undang atau peraturan-
peraturan kepegawaian negeri. Notaris tidak menerima gaji, bukan bezoldigd
staatsambt, tetapi menerima honorarium sebagai penghargaan atas jasa yang telah
diberikan kepadamasyarakat.20 Bila dikaitkan dengan Pasal 1 Stbl.1860 Nomor 3
tentang Notaris Reglement atau Peraturan Jabatan Notaris mengatakan bahwa
“Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan,perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh
suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk
dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan
20Komar Andasasmita,1981,Notaris I, Sumur Bandung, Bandung, hal.45.
aktanya, dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang
pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.”21
Jika dilihat dari kedua ketentuan tersebut diatas, ternyata mempunyai
kesamaan terkait dengan pengertian Notaris sebagai pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik. Pejabat umum yang dimaksud dalam
ketentuan tersebut adalah seseorang yang diangkat dan diberhentikan oleh
pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam
hal-hal tertentu karena ia ikut serta melaksanakan suatu kekuasaan yang
bersumber pada kewibawaan dari pemerintah. sehingga mempertegas kedudukan
Notaris sebagai pejabat yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPer yang
menyatakan bahwa “suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai
umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.” Hal tersebut
menunjukan bahwa sifat dari keotentikan suatu akta tergantung dari bentuk akta
tersebut yang diatur dalam undang-undang serta dibuat oleh pejabat yang
berwenang di wilayah hukum kewenangannya.
2.3.2. Kewenangan dan Kewajiban Notaris
Dalam hal ini menunjukan kewenangan utama dari Notaris adalah untuk
membuat akta otentik sehingga akta yang dibuat oleh Notaris dalam
kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik. Kewenangan Notaris
terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UUJN-P, yang menyatakan bahwa:
21G.H.S. Lumban Tobing, 1996,Peraturan Jabatan Notaris.Penerbit Erlangga,Jakarta, hal. 31.
1. Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan,perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untukdinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatanAkta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta,semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan ataudikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan olehundang-undang.
2. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notarisberwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam bukukhusus;
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yangmemuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yangbersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; ataug. membuat Akta Risalah lelang.
Selain memiliki kewenangan notaris dalam melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai seorang Notaris, haruslah dapat mempertanggungjawabkan
setiap tindakan ataupun perbuatan yang dilakukan. Berkenaan dengan hal tersebut
maka oleh UUJN-P, diatur tentang kewajiban Notaris dalam pasal 16 ayat (1)
UUJN-P yang menyatakan bahwa :
a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjagakepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagaibagian dari Protokol Notaris;
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada MinutaAkta;
d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkanMinuta Akta;
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undangini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segalaketerangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengansumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yangmemuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidakdapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebihdari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahunpembuatannya pada sampul setiap buku;
h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidakditerimanya surat berharga;
i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktupembuatan akta setiap bulan;
j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftarnihil yang berkenaan dengan wasiat ke Pusat Daftar Wasiat padaKementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidanghukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulanberikutnya;
k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiapakhir bulan;
l. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara RepublikIndonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh palingsedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untukpembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itujuga oleh penghadap, saksi, dan Notaris;
n. Menerima magang calon Notaris.
Dasar pelaksanaan jabatan Notaris tidak bisa dilepaskan dari ketentuan dasar
dalam pasal-pasal tersebut diatas yang mengatur mengenai kewenangan dan
jabatan Notaris. Bila hal tersebut tidak diterapkan oleh Notaris dalam
menjalankan jabatannya, maka sudah dapat dipastikan Notaris tersebut sangat
rawan dan dekat dengan pelanggaran jabatan dan dapat berakibat pada keabsahan
ataupun keotentikan dari akta yang dibuatnya maupun pada dirinya sendiri yang
dapat dikenakan sanksi akibat perbuatannya tersebut.
2.3.3 Larangan Notaris
Kewajiban-kewajiban Notaris disertai pula dengan larangan-larangan bagi
Notaris dalam menjalankan jabatannya. Hal tersebut sebagaimana terdapat dalam
Pasal 17 ayat (1) UUJN-P, sebagai berikut :
1) menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;2) meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-
turut tanpa alasan yang sah;3) merangkap sebagai pegawai negeri;4) merangkap jabatan sebagai pejabat negara;5) merangkap jabatan sebagai advokat;6) merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Swasta;7) Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat
Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;8) menjadi Notaris pengganti; atau9) melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan danmartabat jabatan Notaris.
Larangan-larangan tersebut dimaksudkan untuk menjamin kepentingan
masyarakat yang memerlukan jasa Notaris. Larangan dalam ketentuan Pasal 17
ayat (1) UUJN-P dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada
masyarakat dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar
Notaris dalam menjalankan jabatannya. Salah satu upaya dalam mencegah
persaingan tersebut, Notaris hendaknya memperhatikan ketentuan mengenai
honorarium yang merupakan hak Notaris atas jasa hukum yang diberikan sesuai
dengan kewenangannya dalam Pasal 36 UUJN dengan tidak memungut biaya
yang terlampau murah dibanding rekan-rekan Notaris lainnya,namun dengan tetap
melaksanakan kewajiban dalam memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan
secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu, sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 37 ayat (1) UUJN-P. Berkaitan dengan kedudukan dan wilayah
jabatan Notaris, Pasal 18 UUJN menyatakan bahwa Notaris mempunyai tempat
kedudukan di daerah kabupaten atau kota, dan mempunyai wilayah jabatan
meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya. Pasal 19 ayat (1)
UUJN-P menyatakan, bahwa Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu
di tempat kedudukannya. Notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan
jabatan diluar tempat kedudukannya.
Selain sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 17 UUJN-P, mengenai
larangan bagi Notaris juga diatur dalam Pasal 18 Keputusan Menteri Kehakiman
dan HAM Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 Tentang Kenotarisan (selanjutnya
disebut Kepmenkeh Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003), Notaris dilarang :
1) membuka kantor cabang atau mempunyai kantor lebih dari satu;
2) melakukan tindakan atau perbuatan yang dapat merendahkan martabat
jabatan Notaris;
3) meninggalkan daerah kerja lebih dari tiga hari, kecuali ada izin dari
Pejabat yang berwenang atau dalam keadaan cuti.
4) mengadakan promosi yang menyangkut jabatan Notaris melalui media
cetak maupun media elektronik;
5) membacakan dan menandatangani akta di luar wilayah kerja Notaris yang
bersangkutan:
6) menyimpan protokol setelah Notaris yang bersangkutan diberhentikan
oleh Menteri;
7) merangkap jabatan sebagai ketua atau anggota lembaga tinggi negara
tanpa mengambil cuti jabatan.
8) merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik
negara/badan usaha milik daerah, pegawai swasta;
9) merangkap jabatan sebagai pejabat pembuat akta tanah diluar wilayah
kerja Notaris.
10) menolak calon Notaris magang di kantornya.
Kepmenkeh Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 merupakan salah satu peraturan
pelaksanaan yang dimaksud, salah satu yang sudah diganti adalah mengenai
larangan meninggalkan daerah kerja lebih dari tiga hari, sekarang berdasarkan
Pasal 17 UUJN-P, adalah 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah
meninggalkan wilayah jabatan.
2.3.4 Pengawasan dan Sanksi Notaris
Pengawasan terhadap Notaris bertujuan agar para Notaris semaksimal
mungkin memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan undang-undang
demi pengamanan dari kepentingan masyarakat umum. Notaris diangkat bukan
untuk kepentingan sendiri, akan tetapi untuk kepentingan masyarakat yang
dilayaninya, untuk itu undang-undang diberikan kepercayaan yang begitu besar
dan secara umum dapat dikatakan bahwa setiap pemberian kepercayaan terhadap
seseorang meletakkan tanggung jawab di atas bahunya, baik berdasarkan hukum
maupun berdasarkan moral.22 Pengawasan Notaris diharapkan oleh pembentuk
UUJN sebagai lembaga pembinaan agar para Notaris dalam menjalankan
jabatannya dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Mengingat peranan dan kewenangan Notaris sangat penting bagi lalu lintas
kehidupan masyarakat, maka perilaku dan perbuatan Notaris dalam menjalankan
jabatan profesinya, rentan terhadap penyalahgunaan yang dapat merugikan
masyarakat, sehingga lembaga pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris perlu
diefektifkan. Ketentuan yang mengatur Majelis Pengawas dalam UUJN,
22Ibid, hal. 301.
merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi kelemahan dan kekurangan
dalam sistem pengawasan terhadap Notaris, sehingga diharapkan dalam
menjalankan profesi jabatannya, Notaris dapat meningkatkan kualitas pelayanan
kepada masyarakat. Pengawasan baik preventif dan represif diperlukan bagi
pelaksanaan tugas Notaris sebagai pejabat umum. Sejak berlakunya UUJN, maka
Badan Peradilan tidak lagi melakukan pengawasan, dan penjatuhan sanksi
terhadap Notaris, tugas tersebut dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris. Namun semenjak adanya
perubahan mengenai Jabatan Notaris Menteri membentuk majelis kehormatan
Notaris (Pasal 66 ayat (1) UUJN-P).
2.4 Tinjauan Umum Tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
2.4.1 Pengertian PPAT
Bahwa segala Warga Negara bersama kedudukannya di dalamhukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya. Kalimat tersebut mengandung arti bahwa semua Warga Negara
Indonesia mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum, dan berkewajiban
tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam ketentuan Hukum Tanah Nasional yaitu
UUPA mengatur bahwa semua Peralihan Hak Atas Tanah dan Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dan
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui
lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh
PPAT menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PPAT
sebagai Pejabat yang berwenang membuat akta otentik mengenai segala sesuatu
perbuatan hukum berkaitan dengan peralihan Hak Atas Tanah, tunduk pada
hukum dan peraturan perundangan yang berlaku. Sebagaimana tertuang dalam
Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah menyatakan PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta tertentu maksudnya yaitu akta pengalihan
dan pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa untuk membebankan
hak tanggungan dengan tidak menyimpang dari peraturan jabatannya sebagai
PPAT. PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun
1961 tentang pendaftaran Tanah, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari
UUPA. Di dalam peraturan tersebut PPAT disebutkan sebagai pejabat yang
berfungsi membuat akta yang bermaksud memindahkan hak atas tanah,
memberikan hak baru atau membebankan hak atas tanah. Pasal 7 PP No 10 Tahun
1961 menyebutkan pula bahwa peraturan jabatan PPAT diatur dengan Peraturan
Pemerintah tersendiri. Sebagai realisasi dari pernyataan tersebut, Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan Peraturan pelaksanaannya Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 2006 tentang ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, Peraturan ini mencabut
Peraturan Menteri Agraria Nomor4 Tahun 1999.
2.4.2 Tugas, Kewenangan dan Kewajiban PPAT
Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran
tanah dengan memuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu, mengenai hak atas tanah Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang
akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh peraturan hukum itu. Perbuatan hukum yang dimaksud meliputi :
a) Jual beli,
b) Tukar menukar,
c) Hibah,
d) Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng),
e) Pembagian hak bersama,
f) Pemberian Hak Bangunan/ Hak Pakai atas Tanah Hak Milik,
g) Pemberian Hak Tanggungan,
h) Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menyatakan bahwa :
“Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut Pejabat Pembuat Akta Tanah
mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum
sebagaimana telah disebutkan di atas, mengenai hak atas tanah dan Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Pejabat
Pembuat Akta Tanah Khusus hanya berwenang membuat Akta mengenai
perbuatan hukum yang disebut secara khusus penunjukannya.”
Sehubungan dengan tugas dan wewenang PPAT membantu Kepala Kantor
pertanahan dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan
membuat akta-akta yang akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data tanah,
dan sesuai dengan jabatan PPAT sebagai Pejabat Umum, maka akta yang
dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik. Akta PPAT dibuat sebagai tanda
bukti yang berfungsi untuk memastikan suatu peristiwa hukum dengan tujuan
menghindarkan sengketa. Oleh karena itu pembuatan akta harus sedemikian rupa,
artinya jangan memuat hal-hal yang tidak jelas agar tidak menumbulkan sengketa
dikemudian hari.Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
menegaskan bahwa PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas
tanah atau Hak Milik atas satuan Rumah Susun yang terletak di wilayah kerjanya.
Pengecualian dari Pasal 4 ayat (1) ditentukan dalam ayat (2), yaitu untuk akta
tukar menukar, akta pemasukan dalam perusahaan (inbreng) dan akta pembagian
hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun yang tidak semuanya terletak didalam daerah kerja seseorang
PPAT, dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang
tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi obyek perbuatan hukum.
Dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
Tahun 2006 menyatakan kewenangan PPAT adalah membuat akta tanah yang
merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas
satuan rumah susun yang terletak dalam daerah kerjanya. Pasal 3 ayat (2)
menyatakan PPAT Sementara mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang
merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana
dimaksud Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan
rumah susun dengan daerah kerja didalam wilayah kerja jabatannya. Dan Pasal 3
ayat (3) menyatakan PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai
perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.
Kewajiban PPAT sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 Peraturan
Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 adalah :
1) Menjunjung tinggi Pancasila, UUD 1945 dan Negara Republik Indonesia.
2) Mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT.
3) Menyampaikan laporan bulanan kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala
Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.
4) Menyerahkan Protokol PPAT dalam hal berhenti dari jabatannya atau
melaksanakan cuti.
5) Membebaskan uang jasa bagi yang tidak mampu.
6) Membuka kantor setiap hari kerja kecuali cuti atau hari libur resmi.
7) Berkantor hanya di 1 kantor dalam daerah kerja sesuai dengan keputusan
pengangkatan PPAT.
8) Menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan,contoh paraf dan eraan
cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Bupati/Walikota,
Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya
meliputi daerah kerja PPAT.
9) Melaksanakan Jabatannya secara nyata setelah pengambilan sumpah.
10) Memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan
ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan.
Kewajiban lain yang harus dilaksanakan oleh PPAT, satu bulan setelah
pengambilan sumpah jabatan ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah
No.37 Tahun 1998 yaitu :
a) Menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan,contoh paraf, dan
cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Propinsi, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, Ketua
Pengadilan Negeri, dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi
daerah kerja PPAT yang bersangkutan.
b) Melaksanakan jabatannya secara nyata. PPAT harus berkantor di satu suatu
kantor dalam daerah kerjanya dan wajib memasang papan nama serta
menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala
Badan. Selanjutnya akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh
Kepala Badan, serta semua jenis akta diberi satu nomor urut yang berulang
pada permukaan tahun takwim. Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli sebanyak
2 (dua) lembar, yaitu:
1. Lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT yang
bersangkutan.
2. Lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut
banyaknya hak atas tanah atau satuan rumah susun yang menjadi
obyek perbuatan hukum dalam akta, yang disampaikan kepada Kantor
Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut
mengenai pemberian kuasa membebankan hak tanggungan,
disampaikan kepada pemegang kuasa untuk dasar pembuatan akta
pemberian hak tanggungan, dan kepada pihak yang berkepentingan
dapat diberikan salinannya.
Setiap lembar akta PPAT asli yang disimpan oleh PPAT harus dijilid
sebulan sekali dan setiap jilid terdiri dari 50 lembar akta dengan jilid terakhir
dalam setiap bulan memuat lembar-lembar akta sisanya. Pada sampul buku akta
asli penjilidan akta-akta itu dicantumkan daftar akta didalamnya yang memuat
nomor akta, tanggal pembuatan akta dan jenis akta. Berdasarkan Pasal 26 PP
No.37 Tahun 1998 ditegaskan bahwa PPAT harus membuat satu daftar untuk
semua akta yang dibuatnya. Buku daftar akta PPAT diisi setiap akhir hari kerja
dengan garis tinta yang diparaf oleh PPAT yang bersangkutan. PPAT
berkewajiban mengirim laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya, yang
diambil dari buku daftar akta PPAT kepada Kepala Kantor Pertanahan dan kantor-
kantor lain sesuai ketentuan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang
berlaku selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya. PPAT harus dapat
melaksanakan tugas yang diembannya dengan sebaik-baiknya. Dalam Pasal 62 PP
Nomor 24 Tahun 1997 telah ditetapkan sanksi bagi PPAT yang dalam
melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan-ketentuan yang berlaku serta
petunjuk dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. Sanksi yang dikenakan berupa
tindakan administratif, berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari
jabatannya dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti rugi oleh pihak-
pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan
tersebut.
Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menegaskan bahwa ayat (1)
menyebutkan “Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal
ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang
dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor
Pertanahan untuk didaftar.” Ayat 2 menyebutkan “PPAT wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana
dimaksud pada Ayat 1 kepada para pihak yang bersangkutan. Hal tersebut jelas
bahwa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh PPAT dan tidak boleh dilalaikan
guna membantu kelancaran proses pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan.
2.4.3 Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT
Didalam Pasal 7 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah jo. Pasal 5 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah jo. Pasal 11
Ayat 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, menyebutkan bahwa
“PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia”. PPAT diangkat untuk menjalankan jabatan paling lama
sampai usia 65 tahun.Syarat-syarat untuk diangkat menjadi PPAT, yaitu :
1) Berkewarganegaraan Indonesia.
2) Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun.
3) Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh
Instansi Kepolisian setempat.
4) Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
5) Sehat jasmani dan rohani.
6) Lulusan Program Pendidikan Spesialis Notariat atau Program Pendidikan
Khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi.
7) Lulus ujian PPAT yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara
Agraria/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia,dengan materi :
a) Hukum Pertanahan Nasional,
b) Organisasi dan Kelembagaan Pertanahan,
c) Pendaftaran Tanah,
d) Peraturan Jabatan PPAT,
e) Pembuatan Akta PPAT, dan
f) Etika Profesi23
PPAT dapat saja berhenti dari jabatan yang diembannya karena beberapa alasan.
Berhenti PPAT dari jabatan, karena:
1) Meninggal dunia,
2) Telah mencapai usia 65 tahun,
3) Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan/melaksanakan tugas sebagai
Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kota yang lain daripada
daerah kerjanya sebagai PPAT,
4) Diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia,
dibedakan menjadi :
a) Diberhentikan dengan hormat dari jabatannya, karena :
23A.P. Parlindungan, 1999, Pendaftaraan Tanah Indonesia, Mandar Maju,Bandung, (selanjutnya disebut A.P. Parlindungan III), hal 186.
1) permintaan sendiri,
2) tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena kesehatan badan atau
kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan
yang berwenang atas permintaan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuk,
3) melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban
sebagai PPAT,
4) diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau anggota
TNI/POLRI.
b) Diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena:
1) melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai
PPAT,
2) dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan
perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara
selama-lamanya lima tahun atau lebih berat berdasarkan putusan
Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap,
3) melanggar kode etik.
c) Diberhentikan untuk sementara dari jabatannya, karena sedang dalam
pemeriksaan Pengadilan sebagai terdakwa suatu perbuatan pidana yang diancam
dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya lima tahun atau lebih
berat danbaru berlaku sampai ada putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
2.4.4 Daerah Kerja dan Formasi PPAT
Daerah Kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukkan kewenangan
seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun yang terletak didalamnya. Berdasarkan Pasal 12 Ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, bahwa “Daerah Kerja PPAT adalah satu wilayah kerja
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya”. Apabila suatu wilayah
Kabupaten/Kotamadya dipecah menjadi 2 (dua) atau lebih wilayah
Kabupaten/Kotamadya, maka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat
memilih satu wilayah kerjanya,dan jika dia tidak memilih maka di tempat mana
dia bertugas dan ada kantor pertanahannya di situlah dianggap sebagai tempat
kedudukannya dan disamping itu diberi dia tenggang waktu satu tahun untuk
memilih sejak diundangkannya undang-undang pembentukan
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, dan jika dia tidak memilih salah satu
dari daerah kerja tersebut, maka dianggap dia telah memilih kantor pertanahan di
daerah kerjanya dan atas daerah kerja lainnya setelah satu tahun tidak lagi
berwenang.24
Formasi PPAT adalah jumlah maksimum PPAT yang diperbolehkan
dalam satu satuan daerah kerja PPAT. BerdasarkanPasal 14 Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah,
bahwa “formasi PPAT ditetapkan oleh Menteri, apabila formasi PPAT untuk
suatu daerah kerja PPAT sudah terpenuhi, maka Menteri menetapkan wilayah
24Ibid, hal 193.
tersebut tertutup untuk pengangkatan PPAT”. Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) dapat mengajukan permohonan pindah ke daerah kerja lain.
Pengangkatan PPAT baru atau karena pindah daerah kerja, diajukan oleh yang
bersangkutan kepada Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia, dilengkapi dengan rekomendasi dari Kepala Kantor
Pertanahan di tempat tujuan pindah, dan dari Daerah asal tempat tugasnya,
melalui Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang
bersangkutan.25 Setelah itu, PPAT yang bersangkutan mengajukan permohonan
pengangkatan kembali PPAT yang berhenti kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia, dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah
dan Kepala Kantor Pertanahan di daerah kerja semula dan daerah kerja tujuan.
Permohonan pengangkatan kembali tersebut dapat diajukan setelah PPAT yang
bersangkutan melaksanakan tugasnya paling kurang tiga tahun.
2.4.5 Pengangkatan Sumpah Jabatan PPAT
PPAT wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT di hadapan Kepala
Pertanahan Kabupaten/Kotamadya di daerah kerja PPAT yang bersangkutan,
sebelum menjalankan jabatannya. PPAT yang daerah kerjanya disesuaikan karena
pemecahan wilayah Kabupaten/Kotamadya, tidak perlu mengangkat sumpah
jabatan PPAT untuk melaksanakan tugasnya di daerah kerjanya yang baru.26
Untuk keperluan pengangkatan sumpah, PPAT wajib lapor kepada Kepala Kantor
Pertanahan mengenai pengangkatannya sebagai PPAT, apabila laporan tersebut
tidak dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
25Ibid, hal 217.26Ibid, hal 194
ditetapkannya surat keputusan pengangkatan tersebut batal demi hukum. Kepala
Kantor Pertanahan melaksanakan pengambilan sumpah jabatan dalam waktu 1
(satu) bulan setelah diterimanya laporan tersebut. Pengangkatan sumpah jabatan
PPAT dilakukan sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing dengan
pengucapan kata-kata sumpah jabatan sebagai berikut :“Demi Allah Saya
bersumpah ”Bahwa Saya, untuk diangkat menjadi PPAT, akan setia, dan taat
sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, dan Pemerintah Republik Indonesia.
Bahwa Saya, akan menaati peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan
dan yang berkaitan dengan ke-PPAT-an serta peraturan perundang-undangan
lainnya. Bahwa Saya, akan menjalankan jabatan Saya dengan jujur, tertib,cermat,
dan penuh kesadaran, bertanggung jawab serta tidak berpihak. Bahwa Saya, akan
selalu senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan
martabat PPAT. Bahwa Saya, akan merahasiakan isi akta-akta yang dibuat
dihadapan Saya dan protokol yang menjadi tanggung jawab Saya, yang menurut
sifatnya atau berdasarkan peraturan perundang-undangan harus dirahasiakan.
Bahwa Saya, untuk diangkat dalam jabatan Saya sebagai PPAT secara langsung
atau tidak secara langsung dengan dalih atau alasan apapun juga, tidak pernah
memberikan atau berjanji untuk memberikan sesuatu kepada siapapun juga,
demikian juga tidak akan memberikan atau berjanji memberikan sesuatu kepada
siapapun juga.27
Sebagai bukti telah dilaksanakannya pelantikan dan pengangkatan sumpah
jabatan, dibuatkan suatu Berita Acara Pelantikan dan Berita Acara Sumpah
27Boedi, Harsono. 1999. Hukum Agraria Indonesia Sejarah PembentukanUU Pokok Agraria.Djambatan, Jakarta, hal 709
Jabatan yang disaksikan paling kurang dua orang saksi. Setelah PPAT
mengangkat sumpah wajib menandatangani surat pernyataan kesanggupan
pelaksanaan jabatan PPAT sesuai dengan keputusan pengangkatannya.
2.4.6 Pelaksanaan PPAT
Setelah pelaksanaan pelantikan, dan pengambilan sumpah jabatan, maka
PPAT telah dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya. Kewajiban
melaksanakan jabatannya secara nyata, yaitu sebagai berikut :
1) Menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf, dan
teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Propinsi, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II, Ketua Pengadilan Negeri, dan Kepala Kantor Pertanahan yang
wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan dalam waktu 1
(satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan.
2) PPAT harus berkantor di satu kantor dalam daerah kerjanya, sebagaimana
ditetapkan dalam keputusan pengangkatannya atau penunjukan dari
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atau pejabat yang
ditunjuk.
3) Memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan
ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia.
4) Dalam hal PPAT juga merangkap jabatan sebagai Notaris, maka kantor
tempat melaksanakan tugas jabatan PPAT wajib di tempat yang sama
dengan kantor Notarisnya.
5) PPAT tidak dibenarkan membuka kantor cabang atau perwakilan atau
bentuk lainnya yang terletak di luar dan atau di dalam daerah kerjanya
dengan maksud menawarkan jasa kepada masyarakat.
6) Kantor PPAT harus dibuka setiap hari kerja kecuali pada hari libur resmi,
dengan jam kerja minimum sama dengan jam kerja Kantor Pertanahan
setempat.
7) PPAT dilarang meninggalkan kantornya lebih dari enam hari kerja
berturut-turut kecuali sedang menjalankan cuti. PPAT dilarang membuat
akta,untuk PPAT sendiri, suami atau isterinya, keluarganya sedarah atau
semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke
samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum
yang bersangkutan baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui
kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain.28
28A.P.Parlindungan III,Op.cit, hal 201.