BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · yang mendasari tentang mekanisme terjadinya myofascial syndrome...

39
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Nyeri Nyeri merupakan suatu sensasi subjektif rasa tidak nyaman dengan ada atau tidaknya kerusakan jaringan aktual atau potensial. Nyeri dapat bersifat sebagai protektif, yaitu menyebabkan individu menjauh dari stimulus yang berbahaya, atau tidak melakukan fungsi. Sifat nyeri yang diungkapkan oleh pasien berupa perasaan seperti tertusuk-tusuk, pegal, berdenyut, teriris, seperti tertarik, terbakar dan sebagainya (Corwin, 2009). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional dan sensorik yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan terjadinya kerusakan (Meliala et al., 2000). Nyeri bersifat unik karena di satu sisi, nyeri dapat menimbulkan keadaan yang tidak menyenangkan bagi penderitanya. Namun, disisi lain nyeri dapat memberikan manfaat sebagai mekanisme proteksi dan mekanisme defensif (Sinardja dan Mahaalit, 2013). Terdapat banyak istilah yang sering dipakai dalam praktek klinis untuk menggambarkan kondisi myofascial pain syndrome seperti myofascitis, tension myalgia, muscular rheumatism. Istilah - istilah tersebut memiliki definisi yang sama walaupun secara patologis memiliki definisi yang berbeda - beda, namun memiliki tanda dan gejala yang hampir sama (Faizah 2013). Myofascial pain syndrome

Transcript of BAB II - sinta.unud.ac.id II.pdf · yang mendasari tentang mekanisme terjadinya myofascial syndrome...

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Nyeri

Nyeri merupakan suatu sensasi subjektif rasa tidak nyaman dengan ada atau

tidaknya kerusakan jaringan aktual atau potensial. Nyeri dapat bersifat sebagai

protektif, yaitu menyebabkan individu menjauh dari stimulus yang berbahaya, atau

tidak melakukan fungsi. Sifat nyeri yang diungkapkan oleh pasien berupa perasaan

seperti tertusuk-tusuk, pegal, berdenyut, teriris, seperti tertarik, terbakar dan

sebagainya (Corwin, 2009).

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah

pengalaman perasaan emosional dan sensorik yang tidak menyenangkan akibat

adanya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan terjadinya

kerusakan (Meliala et al., 2000). Nyeri bersifat unik karena di satu sisi, nyeri dapat

menimbulkan keadaan yang tidak menyenangkan bagi penderitanya. Namun, disisi

lain nyeri dapat memberikan manfaat sebagai mekanisme proteksi dan mekanisme

defensif (Sinardja dan Mahaalit, 2013).

Terdapat banyak istilah yang sering dipakai dalam praktek klinis untuk

menggambarkan kondisi myofascial pain syndrome seperti myofascitis, tension

myalgia, muscular rheumatism. Istilah - istilah tersebut memiliki definisi yang sama

walaupun secara patologis memiliki definisi yang berbeda - beda, namun memiliki

tanda dan gejala yang hampir sama (Faizah 2013). Myofascial pain syndrome

10

merupakan sekumpulan gejala dan tanda dari satu atau beberapa titik picu (trigger

point).

2.2 Myofascial Pain Syndrome

Myofascial pain syndrome adalah suatu keadaan yang menimbulkan nyeri

lokal dan menjalar yang dikarakteristikkan dengan adanya ketidaknormalan pada

motoris (taut band yang keras di dalam otot) dan ketidaknormalan pada sensoris

(nyeri tekan dan nyeri menjalar). Myofascial pain syndrome dikarakteristikkan

sebagai nyeri musculosceletal yang bersifat akut atau kronis. Hal ini bisa

menyebabkan yaitu timbulnya nyeri lokal, atau gangguan sekunder yang terjadi

sebagai akibat dari beberapa kondisi. Ketika myofascial menjadi kronis, tidak cukup

untuk diobati dengan teknik injeksi, namun membutuhkan perhatian postural,

ergonomi, dan faktor – faktor struktural (Gerwin et al., 2004).

Myofascial pain syndrome biasanya berupa nyeri regang (taut pain) dan nyeri

tekan (tenderness pain). Myofascial pain syndrome sering terjadi pada area yang

memiliki sistem transportasi metabolisme yang kurang baik. Daerah tersebut

merupakan titik – titik nyeri (trigger points) yang mudah terangsang oleh sisa

metabolisme (Ladopurab, 2012).

Myofascial pain syndrome didefinisikan sebagai suatu keadaan yang

dikarakteristikkan dengan kondisi otot yang sakit bersifat kronis yang hypersensitive

jika diberikan penekanan. Tipe dari nyeri ini pada umumnya bersifat dalam (deep)

dan tumpul, terasa nyeri pada otot yang terkena dan jika dilakukan palpasi, maka

11

nyerinya sering menyebar ke area nonspesifik disekitar otot. Sekelompok otot yang

mengalami ketegangan dan dapat diraba ini disebut dengan trigger point. Taut band

yang terdapat di dalam otot skeletal sangat sensitif terhadap suatu tekanan sehingga

ketika diberikan penekanan tepat pada titik nyeri tersebut, maka penderita akan

merasakan nyeri yang tajam. Nyeri yang dirasakan oleh penderita tidak akan terasa

hingga ke persendian akan tetapi lingkup gerak sendi akan menjadi berkurang akibat

dari otot penggeraknya yang mengalami masalah (Werenski, 2011).

Kebanyakan orang tidak menyadari keberadaan dari trigger point. Ketika akut

trigger point menjadi kronis maka lama kesembuhan yang didapatkan pasien menjadi

lebih lama. Akut trigger point terjadi karena adanya cedera secara langsung dan

menjadi kronis akibat adanya trauma dalam jangka waktu yang panjang. Fisiologi

yang mendasari tentang mekanisme terjadinya myofascial syndrome ini tidak dapat

dipahami dengan jelas. Beberapa mekanisme telah disampikan dalam literatur-

literatur tentang penyebab akut ataupun kronis. Adanya retikulum sarkoplasma yang

mengalami perobekan sehingga akan melepaskan kalsium. Pelepasan kalsium dan

ATP menyebabkan sarkomer mengalami kontraksi yang lebih pendek pada daerah

yang terdapat taut band. Hal tersebut akan meningkatkan aktivitas metabolik, adanya

iskemik dan adanya pelepasan zat tersebut menyebabkan iritasi yang berlebihan pada

ujung saraf sensorik dan akhirnya menimbulkan nyeri (Simons et al., 1999).

Myofascial pain syndrome ditandai dengan adanya myofascial trigger point

(Fernandez et al., 2005). Komponen klinis utama pada nyeri myofascial, yang

12

terpenting adalah adanya titik picu (trigger points), taut band, dan local twitch

response (Simons et al., 1999).

Trigger point adalah suatu nodul hipersensitive yang terdapat dalam taut band

pada otot skeletal. Karakteristik utama dari trigger points yaitu adanya nodul pada

taut band. Nodul ini menyebabkan hyperalgesia yang merupakan respon nyeri yang

berlebihan ketika diberikan suatu rangsangan normal dan adanya allodynia yang

merupakan persepsi nyeri dalam menanggapi rangsangan normal (Gerwin,1999).

Trigger point dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu aktif trigger point

dan pasif trigger point. Aktif trigger point terjadi ketika pasien mengalami nyeri

spontan pada saat pasien istirahat yang dapat memicu adanya reffered pain ketika

diberikan suatu penekanan. Pasif trigger point terjadi ketika pasien tidak mengalami

nyeri secara spontan tetapi dapat menyebabkan adanya keterbatasan gerakan dan

kelemahan otot, tapi ketika trigger point tersebut mendapat penekanan maka pasien

akan merasakankan nyeri pada daerah yang diberikan penekanan. Pasif trigger point

dapat menjadi aktif jika adanya stimulasi seperti posture tubuh yang tidak benar,

penggunaan otot secara berlebihan tanpa adanya istirahat dan dengan posisi statik,

ergonomi tubuh yang tidak benar ketika melakukan pekerjaan (Werenski, 2011).

13

Gambar2.1. Trigger Point Complex(Sumber: Shah and Heimur, 2012)

Taut band merupakan satu bendel muscle belly yang mengeras, kaku dan

ketika diraba akan terasa berbeda dengan bagian otot yang lain. Adanya taut band

dalam otot akan mengakibatkan penurunan ekstensibilitas dan fleksibilitas pada otot

tersebut. Adanya perlengketan dalam struktur otot yang terjadi pada fascia dan

myofilament dalam sarcomer taut band maka akan terjadi peningkatan konsentrasi

secara abnormal dari asetilkolin dalam end plate tautband. Perlengketan ini

menyebabkan sirkulasi darah pada otot menjadi berkurang sehingga kebutuhan nutrisi

dan oksigen pada area taut band berkurang (Gerwin et al, 2004).

Local Twitch Response (LTR) merupakan tekanan mendadak yang terasa

mengejutkan atau tertusuk jarum dan sel otot berkontraksi dalam taut band. Elektrik

pada LTR terjadi secara spontan dalam taut band tanpa adanya stimulasi saraf

motorik disebut end plate noise yang terdapat pada ujung saraf yang dekat dengan

14

zona trigger point. Pelepasan elektrik terjadi dengan frekwensi 10-100 kali lebih dari

potensial elektrik motor end plate normal. Sehingga merupakan aktivasi saraf

simpatik yang mempengaruhi pelepasan secara spontan Ach karena aktivitas adreno

reseptors dari ujung saraf motorik (Mc Partland, 1996).

2.2.1 Tanda dan gejala Myofascial Pain Syndrome

Menurut Azizah dan Hardjono, 2006 tanda dan gejala yang menyebabkan

terjadinya myofascial pain syndrome otot upper trapezius yaitu:

1. Nyeri yang terlokalisir pada otot upper trapezius.

2. Terdapat taut band pada otot dan fascia serta jaringan ikat longgar

(connective tissue).

3. Nyeri yang menjalar umumnya dengan pola yang dapat di prediksi.

4. Adanya titik tenderness pada suatu tempat sepanjang taut band yang

disebut sebagai trigger point/jump sign.

5. Tightness pada otot yang terkena sehingga menyebabkan keterbatasan

lingkup gerak sendi.

6. Spasme otot akibat dari adanya rasa nyeri yang timbul dan juga akibat dari

penumpukan zat-zat iritan/zat metabolit.

7. Perubahan otonomik seperti vasokonstriksi pembuluh darah dan keringat

yang berlebihan di sepanjang area reffered pain.

15

Gambar 2.2 Reffered pain otot upper trapezius(Sumber: Nayak, 2013)

2.2.2 Penyebab Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius

Myofascial pain syndrome dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu:

1. Postur tubuh

Pada postur tubuh yang tidak bagus dapat menyebabkan stress dan strain

pada otot upper trapezius seperti forward head posture yaitu posisi

seseorang yang melakukan posisi kerja statis terus menerus pada saat

aktivitas dalam posisi duduk atau berdiri.

2. Ergonomi kerja yang buruk

Ergonomi tubuh yang tidak baik seperti penggunaan otot yang berlangsung

lama, mekanisme kerja yang buruk pada leher dan bahu menggambarkan

beban kerja otot upper trapezius lebih berat, posisi tempat kerja yang tidak

sesuai dengan ergonomi.

3. Trauma pada jaringan myofascial

16

Trauma pada jaringan myofascial dapat dibagi menjadi dua, yaitu trauma

makro dan trauma mikro. Trauma makro yaitu suatu cidera yang mengenai

otot atau fasia. Ketika jaringan myofascial mengalami cidera maka akan

terjadi proses inflamasi, ketegangan serabut kolagen, dan pemendekan

serabut kolagen. Ketika serabut kolagen mengalami pemendekan

menyebabkan tekanan pada jaringan myofascial akan meningkat.

Sedangkan trauma mikro merupakan suatu cidera yang berulang (repetitive

injury) akibat dari suatu kerja dalam jangka waktu lama dan dengan beban

yang berlebih.

4. Usia

Myofascial pain syndrome kebanyakan terjadi pada orang dewasa pada usia

pertengahan karena kemampuan otot pada usia muda lebih baik dalam

menangani stress mekanikal. Pada usia dewasa ke atas, telah terjadi

penurunan fungsi akibat dari degenerasi jaringan sehingga otot akan

menjadi sulit dalam menangani stress.

2.3 Anatomi Otot Upper Trapezius

Otot trapezius merupakan otot terbesar dan paling superfisial pada daerah

scapulothoraks. Dinamakan otot trapezius karena bentuk otot ini mirip dengan

bangun trapezium. Otot ini mudah dipalpasi karena memiliki banyak fascia yang

terletak di bawah kulit. Otot upper trapezius dibagi menjadi empat bagian yaitu

bagian I dan II membentuk otot upper trapezius yang berperan dalam gerakan elevasi

17

dan adduksi shoulder, bagian III membentuk middle trapezius berperan dalam

gerakan adduksi shoulder, dan bagian IV membentuk lower trapezius berperan dalam

gerakan depresi dan adduksi shoulder.

Pada upper trapezius dapat dipalpasi antara occipital protuberance pada C6

dan lateral dari acromion terutama ketika gerakan elevasi shoulder. Serat otot pada

bagian upper trapezius tipis dan relatif lemah, melekat pada clavicula, sehingga

kepala bisa sepenuhnya memutar ke sisi yang berlawanan. Serat otot pada upper

trapezius akan membantu middle trapezius dan levator scapula dalam melakukan

gerakan elevasi serta rotasi. Karena upper trapezius mempunyai serat otot yang tipis

dan lemah, dan membantu middle trapezius dalam melakukan gerakan membuat

bagian ini mudah sekali mengalami kelelahan dan ketegangan otot. Disamping itu

otot ini rentan mengalami myofascial pain karena otot ini sering digunakan dalam

jangka waktu yang lama.

Middle trapezius dapat teraba dari C7 hingga T3, lateral acromion, scapula

spine terutama ketika posisi adduksi shoulder. Pada middle trapezius terdapat serat-

serat otot yang kuat dan tebal. Otot ini berkarakteristik kuat karena mempunyai peran

dalam memposisikan bahu sesuai postur tubuh yang benar. Lower trapezius dapat

dipalpasi pada bagian T4 hingga T12, bagian medial scapula tulang belakang

terutama ketika posisi depresi dan adduksi. Daerah lower trapezius terdapat otot yang

lemah dan bagian ini berperan dalam gerakan adduksi, depresi, dan rotasi.

18

Upper trapezius berorigo pada eksternal occipital protuberance, bagian

medial ligamentum nuchae, dan berinsertio pada batas posterior dari 1/3 bagian

lateral clavicula dan acromion dari scapula. Otot ini dipersarafi oleh accessory nerve

(cranial nerve XI) dan nervus C3-C4 (Willms et al, 2005).

Terdapat dua tipe serabut otot yang utama yaitu serabut slow-twitch dan

serabut fast-twitch. Kedua tipe serabut tersebut terdapat didalam suatu otot tunggal.

Tipe serabut otot, ada dua dasar tipe yaitu:

1. Tipe I atau slow twitch (tonik muscle fibers) : disebut sebagai red muscle

karena serabut ototnya berwarna merah atau lebih gelap dari otot yang

lainnya. Otot ini memiliki karakteristik tertentu, yaitu menghasilkan

kontraksi yang lambat, banyak mengandung kapiler pembuluh darah,

kekuatan motor unit yang rendah, tidak cepat mengalami kelelahan,

memiliki kapasitas aerobik yang tinggi dan berfungsi untuk

mempertahankan sikap. Otot slow twitch ini berguna untuk olahraga yang

membutuhkan endurance yang tinggi seperti lari marathon, berenang.

Misalnya pada otot erector spine

2. Tipe II atau fast twitch (phasic muscle fibers) : disebut sebagai white

muscle karena serabut ototnya berwarna putih atau berwarna lebih pucat.

Otot ini memiliki karakteristik menghasilkan kontraksi yang cepat, mudah

mengalami kelelahan, memiliki kapasitas aerobik yang rendah, banyak

mengandung myofibril, durasi kontraksi lebih pendek dan berfungsi untuk

19

melakukan gerakan yang cepat dan kuat. Otot fast twitch ini diperlukan

untuk olahraga yang membutuhkan kecepatan, kontraksi otot yang sangat

kuat dan cepat seperti lari cepat. Misalnya pada otot upper trapezius

(Sudaryanto and Ansar, 2011)

Gambar 2.3 Otot upper trapezius(Sumber: Nayak, 2013)

2.4 Anatomi Fisiologi Otot Skeletal

Tubuh manusia tersusun atas 434 otot yang membentuk 40% - 45% dari berat

tubuh orang dewasa. Sekitar 75% pasangan otot bertanggung jawab terhadap gerakan

tubuh dan postur tubuh. Otot rangka sering disebut dengan otot skelet, otot bergaris

atau otot lurik merupakan otot yang berfungsi untuk menggerakkan tulang. Apabila

otot ini dilihat dibawah mikroskop maka susunannya terdiri dari serabut-serabut

panjang yang mengandung banyak inti sel, dan terlihat adanya garis terang yang

diselingi dengan garis gelap yang melintang.

20

Otot mempunyai hukum “All or none law” hukum berlaku untuk1 serabut

otot, artinya bila 1 serabut otot dirangsang, maka akan berkontraksi bila rangsangan

yang diterima lebih tinggi dari nilai ambang rangsang, otot tidak akan berkontraksi

bila nilai rangsangnya < ambang rangsang.

Otot rangka mempunyai fungsi untuk menggerakkan anggota tubuh

memberikan bentuk pada tubuh, melindungi organ tubuh yang lebih dalam. Otot

rangka terdiri atas serabut/fibers, myofibril, sarkomer. Secara mikroskopis sel,

membran yang membungkus serabut otot disebut dengan sarkolema. Pada bagian

dalam dari sel otot rangka terdapat cairan intraseluler (sarcoplasma) yang terisi

banyak dengan molekul-molekul glikogen, protein myoglobin dan mitokondria.

Sarkoplasma pada tiap serabut otot mengandung mitokondira dan terdapat serabut

myofibril. Myofibril mengandung 2 tipe protein yang menghasilkan pola striated

sehingga dinamakan otot striated atau otot skeletal. Myofibril terbuat dari molekul

protein yang panjang yang disebut dengan myofilamen. Myofilamen terdiri dari dua

jenis yaitu thick myofilamen yang berwarna lebih gelap dan thin myofilamen yang

berwarna lebih terang.

Pada setiap serabut otot terdapat ratusan hingga ribuan myofibril. Setiap

myofibril tersusun oleh sekitar 1500 filamen tebal (myosin) dan 3000 filamen tipis

(actin), yang merupakan molekul protein polimer besar yang bertanggung jawab

untuk melakukan kontraksi otot sesungguhnya (Guyton and Hall, 2006).

21

Pada myosin dan actin akan membentuk suatu bagian yang saling bersambung

dalam myofibril yang disebut sarcomer. Pada daerah tengah sarcomere akan terlihat

lebih gelap yang disebut dengan A-band sedangkan daerah pinggir terlihat lebih

terang yang disebut dengan I-band. Bagian yang memisahkan antara kedua daerah

tersebut adalah Z-line (Sherwood, 2006). Secara mikroskopis, terlihat adanya

perubahan struktur bands (A bands, I bands) dan garis di dalam otot skeletal selama

kontraksi otot. Pada sarkomer terbagi antara 2 Z lines, yang merupakan unit struktural

dasar dari serabut otot. Setiap sarkomer dibagi menjadi dua oleh suatu M line. A band

berisi filamen myosin yang kasar dan tebal serta dikelilingi oleh 6 filamen actin yang

tipis dan halus. Pada I band berisi hanya filamen actin yang tipis. Pada pusat A band

terdapat H zone yang hanya berisi filamen myosin yang tebal.

Ketika otot melakukan kontraksi, filamen actin yang tipis dari salah satu

ujung sarkomer akan bergerak satu sama lain. Z line akan bergeerak ke arah A bands

untuk mempertahankan ukuran awalnya, sementara I bands akan menjadi menyempit

dan H zone menjadi menghilang. Jumlah serabut otot pada tiap-tiap orang berbeda,

jumlah serabut otot yang sama saat lahir akan dipertahankan hingga dewasa kecuali

jika terjadi injury maka jumlah serabutnya akan menurun atau bahkan akan

menghilang. Peningkatan ukuran serabut otot dapat bertambah ketika diberikan

resistance training.

Kontraksi otot skeletal ada dua yaitu kontraksi isotonik dan isometrik.

Kontraksi otot isotonik dibagi menjadi konsentrik dan eksentrik. Kontraksi konsentrik

22

merupakan kontraksi otot yang membuat otot memendek dan terjadi gerakan pada

sendi sedangkan kontraksi eksentrik merupakan kontraksi otot pada saat memanjang

untuk menahan beban. Kontraksi isometrik merupakan kontraksi otot yang tidak

disertai dengan perubahan panjang otot (Lippert, 2011).

Kelelahan otot terjadi akibat adanya aktivitas fisik dengan intensitas yang

tinggi dan berlangsung singkat yang disebabkan oleh akumulasi produksi asam laktat

di dalam otot dan darah. Ketika melakukan aktivitas dengan intensitas yang tinggi

maka akan terjadi kontraksi otot di dalam serabut otot fast twitch (FT). Serabut otot

FT lebih cepat mengalami kelelahan dibandingkan serabut otot slow twitch (ST)

dikarenakan serabut otot FT mempunyai kemampuan sistem anaerobik yang tinggi

dan sistem aerob yang rendah sehingga mempercepat penumpukan dari asam laktat.

Hal tersebut menyebabkan lebih cepat terjadi kelelahan otot (Sherwood, 2006).

23

Gambar 2.4 Struktur otot(Sumber: Donatelli, 2007)

2.5 Anatomi myofascia

Fascia merupakan tipe jaringan yang membungkus tendon, ligament,

aponeurosis dan jaringan parut. Fascia terdapat diseluruh tubuh, sebagai perantara

dari semua sistem yang ada pada tubuh dan memberikan bentuk untuk sistem tubuh

seperti sistem sirkulasi darah, sistem saraf dan sistem limfatik. Fascia berfungsi

untuk dapat membentuk dan menunjang bagian tubuh dan menahan agar tetap berada

pada tempatnya, memberikan lubrikasi (pelumas) sehingga otot akan bebas bergerak

tanpa menimbulkan suatu gesekan yang bisa menyebabkan adanya injury pada otot

(Clay, 2008).

Fascia dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu fascia superficialis, fascia

profunda (deep), dan deepest fascia. Fascia superficialis merupakan lapisan jaringan

24

ikat longgar yang terletak pada lapisan bawah dermis kulit dan kadang disebut

sebagai jaringan subkutan. Fascia ini berfungsi sebagai jalur untuk saraf dan darah

menuju otot rangka dan berbagai jaringan adiposa. Fascia superficialis lebih

menonjol pada bagian belakang tubuh daripada bagian depan. Fungsi utama lapisan

ini yaitu sebagai pelindung deformasi mekanikal dan memberikan jalur untuk

sarafdan dinding pembuluh saraf. Deep fascia adalah lapisan fibrosa pada jaringan

ikat yang ditemukan di bawah superficialis fascia. Deep fascia berfungsi sebagai

jalur untuk saraf dan pembuluh darah dan sebagai tempat untuk mengembangkan otot

dan struktur internal lainnya. Deepest fascia dikenal sebagai dural tube yang

mengelilingi dan melindungi otak dan sumsum tulang belakang (Lindsay and

Robertson, 2008).

Berdasarkan tempat ditemukannya fascia di dalam otot, maka fascia dibagi

menjadi 3 yaitu epimysium, perymisium dan endomysium. Ketiga lapisan tersebut

merupakan perluasan dari deep fascia. Epimysium merupakan jaringan myofascial

terluas yang melapisi seluruh otot dan mengikat seluruh fasikel. Perimysium

merupakan jaringan fascia yang membungkus sekelompok serabut otot ke dalam satu

fasikel. Endomysium merupakan jaringan fascia terdalam yang memisahkan serat-

serat otot (Alter, 2004).

Fascia dapat mengalami ketegangan karena adanya kontraksi otot yang

menyebabkan otot menjadi melebar. Ketegangan yang terjadi pada fascia akan

mengalami peningkatan akibat adanya otot yang hipertropi secara sekunder karena

25

latihan, atau dalam kondisi konstan hipertonus akibat dari postur yang jelek. Ketika

timbul nyeri yang hebat, maka mengurangi jumlah suplai darah dan mengalami

penyembuhan yang lambat sehingga menyebabkan fascia menjadi

menyusut/mengerut (Cantu and Grodin, 2001).

Gambar 2.5 Struktur myofascia(Sumber:http://www.quizlet.com//12738435/skeletal-muscle-tissue-flash-

cards/)

2.6 Mekanisme Nyeri Myofascial Pain Syndrome

Pada myofascial pain syndrome terdapat taut band yang didalamnya berisi

trigger point. Taut band dalam otot ini dapat menyebabkan penurunan dari tingkat

fleksibilitas dan ekstensibilitas otot. Adanya perlengketan ini dapat berdampak pada

penurunan sirkulasi darah sehingga menyebabkan kebutuhan akan nutrisi dan oksigen

26

pada area taut band berkurang. Dampaknya terjadi hiperkontraksi sel otot yang akan

mempengaruhi peningkatan metabolisme bersifat lokal serta teraktivasinya saraf

simpatik yang berakibat vasokontriksi pada pembuluh darah kapiler (Gerwin et al.,

2004).

Otot upper trapezius merupakan otot tipe 1 (slow twitch) atau postural yang

berfungsi sebagai stabilisator scapula ketika lengan beraktivitas, mempertahankan

posisi kepala yang cenderung jatuh ke depan karena adanya kekuatan otot gravitasi.

Dilihat dari fungsinya yaitu sebagai otot stabilitator, apabila terjadi suatu patologis

otot ini mudah sekali terjadi gangguan berupa thigtness dan kontraktur. Kerja otot ini

akan semakin memburuk apabila adanya postur yang buruk, penggunaan otot dalam

kondisi statis lama, mekanisme kerja yang buruk pada leher dan bahu. Akibat yang

dapat ditimbulkan yaitu adanya fase kompresi dan ketegangan lebih lama daripada

rileksasi yang menyebabkan otot cepat mengalami kelelahan.

Ketika otot mengalami ketegangan ataupun kontraksi secara terus menerus,

maka akan menurunkan mobilitas dari jaringan myofascial sehingga juga akan

mempermudah terjadinya pemendekan serabut kolagen dan menimbulkan stres

mekanis. Jika ketegangan otot tersebut terjadi dalam waktu yang lama maka akan

menstimulasi nociceptor yang terdapat di dalam otot. Semakin sering dan kuat

nociceptor tersebut terstimulasi maka akan semakin kuat pula aktivitas refleks dari

ketegangan otot tersebut, akibatnya pada jaringan myofascial terjadi penumpukan zat-

zat nutrisi dan oksigen ke jaringan sehingga akan menimbulkan iskemia pada jaringan

myofascial. Ketika adanya iskemia maka aliran darah yang menuju jaringan akan

27

terhambat, jaringan yang mengalami iskemia beberapa menit saja dapat menimbulkan

nyeri yang sangat dalam.

Selain itu, jaringan myofascial akan berkontraksi, sehingga akan merangsang

substansi P hingga menjadi suatu peradangan kronis yang menghasilkan zat algogen

berupa prostaglandin, histamin, bradikinin dan serotonin yang dapat meningkatkan

sensitivitas nyeri (Guyton and Hall, 2008). Proses radang dapat juga menimbulkan

respon neuromuskular berupa ketegangan otot disekitar area yang mengalami

kerusakan otot tersebut, sehingga timbullah viscous circle of pain, yaitu spasme

menimbulkan iskemik, iskemik menimbulkan nyeri dan nyeri menimbulkan spasme

dan seterusnya.

Pada umumnya ketika ada rasa nyeri, pasien tidak mau menggerakan bagian

tersebut (immobilisasi) akibatnya akan menjadi kontraktur sehingga akan terbentuk

taut band dan trigger point Ketika jaringan myofascial berada dalam kondisi

immobilisasi untuk beberapa waktu sekurang-kurangnya empat minggu ikatan

melintang dapat terbentuk di antara molekul-molekul tipe I kolagen. Tipe I kolagen

adalah unsur kolagen normal dari jaringan ikat. Ikatan melintang (cross binding) ini

akan menurunkan fleksibilitas fascia dan juga membatasi gliding antara lembaran

fasia. Ketika jaringan ikat dalam keadaan immobilisasi maka akan terjadi perubahan

pada substansi dan serabut kolagen. Protein-karbohidrat kompleks dalam substansi

dasar akan mengikat air dan menjadikan banyak gel yang tidak berbentuk (water

binding complex mucopolysacharides) atau lebih dikenal dengan glikosaminoglikans.

28

Dalam kondisi immobilisasi kandungan air akan berkurang dan bagian

terbesar dari substansi dasar akan menurun. Akibatnya serabut kolagen akan saling

berdempetan. Ketika jarak dari satu molekul kolagen ke molekul kolagen yang lain

menurun hingga pada ambang kritis, yang terjadi adalah molekul mulai membentuk

ikatan menyilang (cross binding). Jaringan ikat juga menjadi kurang elastis karena

serabut kolagen dan lapisan fasia kehilangan pelumas. Hal ini akan menyebabkan

molekul dari lembaran fasia ternyata terikat bersama-sama. Keadaan imobilisasi dari

jaringan myofascial ini banyak disebabkan misalnya oleh ergonomi yang jelek,

dimana keadaan ini akan mencetuskan timbunan fibroblas dan banyak kolagen

membuat ikatan tali (cross links). Cross links kolagen akan secara fisiologis timbul

perlahan-lahan dan perlahan-lahan pula akan menyebabkan tekanan dalam jaringan.

Akibatnya akan menurunkan jarak kritis pada area tersebut. Di samping itu aliran

darah pada area tadi juga akan menurun bahkan hingga tingkat iskemia yang akan

mengiritasi serabut saraf Aδ dan C sehingga akan mencetuskan timbulnya nyeri.

Traktus paleospinotalamikus merupakan sistem yang menjalarkan rasa nyeri

terutama dari serabut tipe C lambat-kronik perifer. Walaupun jaras ini juga

menjalarkan beberapa sinyal dari serabut tipe Aδ juga. Serabut-serabut perifer

berakhir di dalam medula spinalis hampir seluruhnya di lamina II dan III kornu

dorsalis, yang bersama-sama disebut substansia gelatinosa. Sebagian besar sinyal

kemudian melewati satu atau lebih neuron serabut pendek tambahan di dalam kornu

dorsalisnya sebelum memasuki lamina V, juga di kornu dorsalis. Disini neuron-

neuron terakhir dalam rangkaian merangsang akson-akson panjang yang sebagian

29

besar menyambungkan serabut-serabut dari jaras rasa nyeri cepat (Guyton and Hall,

2008).

Ujung serabut nyeri tipe C yang memasuki medula spinalis kemungkinan

mengeluarkan transmiter glutamat dan transmiter substansi P. Transmiter glutamat

bekerja secara cepat dan hanya berlangsung beberapa milidetik. Substansi P

dilepaskan jauh lebih lambat. Inilah mengapa seseorang bisa merasakan nyeri ganda.

Lokalisasi nyeri yang dijalarkan lewat jalur jaras paleospinotalamikus bersifat buruk,

sehingga seringkali pasien memiliki kesulitan dalam melokalisasikan sumber

beberapa nyeri jenis kronik (Guyton and Hall, 2008).

2.7 Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique (INIT)

2.7.1 Definisi

Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique (INIT) merupakan teknik

yang menggabungkan kombinasi ischemic compression, strain counter strain dan

muscle energy technique yang efektif untuk melepas nyeri pada myofascial pain

syndrome. INIT dapat digunakan untuk memanjangkan atau mengulur struktur

jaringan lunak seperti otot fascia, tendon dan ligamen yang mengalami pemendekan

secara patologis sehingga dapat meningkatkan lingkup gerak sendi, pemendekan otot

dan mengurangi nyeri akibat spasme (Chaitow, 2003).

Ketika INIT diberikan pada otot maka komponen actin dan myosin dan

tegangan otot akan mengalami peningkatan ketegangan, sarkomer memanjang.

Sarkomer berperan dalam proses kontraksi dan relaksasi otot. Ketika otot mengalami

30

suatu kontraksi, maka filamen actin dan myosin akan berhimpit dan otot akan

memendek. Sedangkan ketika otot mengalami fase relaksaasi maka otot akan

mengalami pemanjangan. Ketika terjadi penguluran, maka serabut otot akan terulur

penuh melebihi panjang serabut otot itu dalam posisi normal yang dihasilkan oleh

sarcomer. Ketika penguluran terjadi, serabut yang berada pada posisi yang tidak

teratur akan dirubah posisinya sehingga posisinya akan menjadi lurus sesuai dengan

arah ketegangan yang diterima. Adanya penguluran pada serabut otot dapat

memulihkan jaringan parut untuk dapat kembali normal (Nagrale et al, 2000).

2.7.2 Aplikasi INIT

Teknik pertama yang diterapkan yaitu ischemic compression, pasien

diposisikan dalam posisi duduk, pemeriksa berdiri di belakang pasien, setelah

pemeriksa menemukan trigger points pada otot upper trapezius, kemudian pemeriksa

memberikan penekanan kepada daerah ditemukannya trigger points tersebut.

Tekanan yang diberikan awalnya ringan hingga meningkat .tekanan dipertahankan

hingga jaringan penghalang terlepas. Kemudian tekanan kembali diterapkan, proses

ini diulang hingga ketegangan/nyeri tidak lagi dirasakan pasien. Ischemic

compression dilakukan selama 90 detik dan diikuti oleh penerapan Strain counter

strain.

Strain counter strain dimulai dari mengidentifikasi trigger point yang ada di

otot. Setelah trigger point didapatkan kemudian dilakukan penekanan pada area

tersebut dan posisikan pasien kedalam posisi yang nyaman setidaknya akan terjadi

31

penurunan nyeri sekitar 70% dalam posisi tersebut. Terapis berdiri dibelakang pasien

dengan satu tungkai fleksi knee 90o untuk menyanggah lengan pasien yang

diabduksikan secara pasif sekitar 90o, dan digerakkan cervical secara pasif kearah

sedikit lateral fleksi kearah titik nyeri. Pada saat memposisikan pasien ke dalam

posisi yang paling nyaman, tekanan pada tender point harus tetap dilakukan.

Pertahankan posisi nyaman yang maksimal dari pasien selama 90 detik. Waktu 90

detik adalah nilai ambang minimal untuk koreksi optimal dari suatu lesi/gangguan.

Selama waktu tersebut pasien harus merasa relaks. Seringkali pasien harus diingatkan

untuk mempertahankan posisi relaks tersebut untuk melepaskan ketegangan yang

terjadi pada otot. Setelah 90 detik, secara perlahan kembalikan posisi pasien kedalam

posisi netral

Setelah diaplikasikan strain counter strain, maka pasien akan diaplikasikan

metode muscle energy technique. Pasien dalam posisi duduk, tangan pemeriksa

memfiksasi bagian bahu yang terkena dan tangan satunya pada daerah telinga /

mastoid. Kemudian kepala dan leher diposisikan ke arah kontralateral, fleksi dan

rotasi, pasien diinstruksikan untuk mengangkat bahu pada area yang teridentifikasi,

pasien melakukannya tanpa disertai rasa sakit, usaha yang dilakukan pasien 20% dari

kekuatan yang ada dan upaya isometric ini dilakukan selama 8 detik. Selanjutnya

dilanjutkan dengan stretch dengan arah kontralateral, fleksi, rotasi masing-masing

dipertahankan selama 30 detik (Nayak, 2013).

2.7.3 Mekanisme Penurunan Nyeri Myofascial Pain Syndrome dengan intervensi

INIT

32

Pada myofascial pain syndrome terdapat adanya taut band dalam serabut otot.

Adanya taut band dapat terjadi penurunan kemampuan ekstensibilitas dan

fleksibilitas yang dapat membuat otot tidak bisa berkontraksi dan relaksasi secara

efisien yang dapat membuat penurunan kekuatan dan daya tahan tubuh. Di antara

berbagai otot-otot daerah leher, upper trapezius adalah lebih rentan untuk

mengembangkan titik pemicu karena overload terus menerus dan mikro-trauma

sebagai memiliki fungsi anti-gravitasi minimal, yang menyebabkan myofascial pain

syndrome. Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique merupakan kombinasi

antara ischemic compression, strain counter strain, dan muscle energy technique.

Ischemic compression merupakan teknik terapi manual yang sering digunakan

untuk menonaktifkan trigger points. Teknik ini menerapkan tekanan langsung yang

berkelanjutan dengan kekuatan cukup selama durasi waktu 90 detik. Ischemic

compression berfungsi untuk memperlambat pasokan darah dan meredakan

ketegangan otot. Pengurangan nyeri selama pemberian ischemic compression dapat

disebabkan oleh adanya stimulasi dari mechanoreceptors yang mempengaruhi rasa

sakit. Setelah dilakukan penekanan maka akan terjadi peningkatan sirkulasi darah dan

nyeri akan berkurang.

Strain counter strain akan mencapai manfaatnya melalui spindle otot yang

mampu memanjangkan jaringan. Pada saat posisi tubuh dalam posisi nyaman, maka

jaringan akan mencapai posisi dimana rasa sakit akan menghilang dari titik yang

teraba (Nayak, 2013).

33

MET adalah metode yang umum digunakan untuk menginhibisi otot sebelum

dilakukan peregangan. Pendekatan ini menggunakan kontraksi isometrik pada otot

yang terkena dengan memproduksi relaksasi pasca-isometrik melalui pengaruh badan

golgi tendon (penghambatan autogenik). Hal ini juga dapat diterapkan untuk

kelompok otot antagonis yang memproduksi inhibisi timbal balik dalam otot

agonistic.

Dengan kombinasi antara ischemic compression, strain counter strain dan

muscle energy technique yang disebut dengan INIT secara efektif mampu mengobati

myofascial pain syndrome dan masing-masing komponennya telah terbukti efektif

untuk mengurangi rasa sakit dan kekakuan pada myofascial pain syndrome. INIT

merupakan salah satu usaha untuk mengembalikan panjang dan fleksibilitas otot. Otot

yang mengalami pemanjangan akan mempengaruhi sarcomer dan fascia dalam

myofibril otot untuk memanjang. Pemanjangan sarcomer dan fascia akan mengurangi

derajat overlapping antara thick and thin myofilamen dalam sarcomer sebuah taut

band otot yang mengandung trigger point (Chaitow, 2003).

Pengurangan overlapping antara dua myofilamen akan mempengaruhi

pelebaran pembuluh kapiler otot sehingga sirkulasi darah akan lancar, mengurangi

penumpukan sampah metabolisme, meningkatkan nutrisi dan oksigen pada sel otot

dan mencegah adanya muscle fatique. INIT akan mengurangi nyeri dan

mempengaruhi golgi tendon organ otot yang terletak di tendon berdekatan dengan

serabut saraf. Apabila tegangaan meluas ke seluruh serabut saraf maka golgi tendon

34

organ akan melaju menimbulkan relaksasi serta fleksibilitas pada otot (Chaitow,

2003).

2.8 Myofascial Release Technique

2.8.1 Definisi

Myofascial Release Technique merupakan salah satu metode soft tissue

mobilization yang efektif untuk treatment pada struktur myofascial (otot, tendon,

ligament dan jaringan ikat). MRT difokuskan pada jaringan lunak yaitu fascia dan

otot, berperan untuk memberikan regangan atau elongasi pada struktur otot dan fascia

dengan tujuan yaitu untuk mengembalikan kualitas cairan atau lubrikasi pada jaringan

fascia, mobilitas jaringan fascia dan otot, dan fungsi sendi normal (Riggs and Grant,

2009). Myofascial release technique dapat digunakan untuk mengurangi nyeri

muskulosceletal karena adanya teori yang dapat menjelaskan hal tersebut. Teori yang

dimaksud yaitu gate control theory, interpersonal attention, parasympathetic respon

pada saraf otonom, dan pelepasan serotonin (Werenski, 2011).

Gate Control Theory menyatakan bahwa adanya rangsangan sensorik, seperti

tekanan, perjalanan jalur sistem saraf akan bergerak bebih cepat pada sistem saraf

daripada stimulasi nyeri. Stimulasi tekanan akan berpengaruh pada transmisi rasa

nyeri yang menuju otak, sehingga terjadi “penutupan pintu gerbang” yang menuju

pada reseptor rasa nyeri di otak (Werenski, 2011). Ketika pasien menerima suatu

sentuhan atau pijatan seringkali mendapatkan efek yang menyenangkan sekaligus

mampu untuk menurunkan persepsi nyeri. Hal ini berkaitan dengan adanya respon

35

parasimpatis yang dapat menurunkan pelepasan hormon stress, kecemasan, depresi

dan rasa sakit (Paloni, 2009).

Myofascial release technique memfokuskan pada kondisi-kondisi yang

berkaitan dengan kebiasaan postural yang jelek, aktivitas spesifik atau kurangnya

aktivitas, injury yang sebelumnya akibat dari mekanikal stress kronik. Kondisi

tersebut dapat menghasilkan kontraktur otot dan adhesion diantara lapisan-lapisan

fascia. Fascia membentuk struktur pasif pada jaringan tubuh, adanya adhesion

menyebabkan serabut fascia saling terikat satu sama lain secara disfungsional (Riggs

and Grant, 2009).

2.8.2 Manfaat Myofascial Release Technique

Manfaat utama yang dapat diperoleh dari myofascial release yaitu untuk

meningkatkan kebebasan gerak dan mengurangi rasa sakit akibat adanya pembatasan

dari suatu jaringan, menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan, meningkatkan

proprioception dan interoception, meningkatkan fungsi jangkauan gerak sendi dan

otot, memulihkan keseimbangan dan postur tubuh yang benar (Duncan, 2014).

2.8.3 Efek Penurunan Nyeri Sindrom Myofascial Melalui Myofascial Release

Technique

Menurut Cantu and Grodin, 2001 efek-efek yang dapat ditimbulkan dari

pemberian myofascial release technique yaitu:

1. Efek terhadap aliran darah dan temperatur

Ketika otot diberikan myfascial release, maka akan terjadi peningkatan

aliran darah secara signifikan dan bertahan selama 30 menit. Kemudian

36

setelah 30 menit akan terjadi penurunan aliran darah. Tekanan yang

dihasilkan oleh myofascial release technique dapat membuka kapiler-

kapiler darah sehingga terjadi proses vasodilatasi pembuluh darah sehingga

aliran darah meningkat. Reaksi kapiler berdilatasi oleh stimulus tersebut

(myofascial release technique) akan diikuti oleh peningkatan temperatur

cutaneous.

2. Efek terhadap metabolisme

Pemberian myofascial release technique dapat meningkatkan volume darah

dan aliran darah pada area tersebut dan membuang sisa-sisa metabolisme

atau cairan yang berlebihan selama pemberian myofascial release

technique sehingga terjadi penurunan nyeri

3. Efek terhadap aktivitas fibroblastik atau sinthesis collagen selama proses

penyembuhan

Myofascial release technique dapat menghasilkan mobilisasi pada jaringan

lunak dimana gerakan yang terkontrol dapat mempengaruhi proses

penyembuhan. Jaringan lunak tubuh dapat dibangkitkan melalui gaya

internal dan gaya eksternal. Tanpa adanya stress pada jaringan tersebut

maka kekuatan regangan akan menurun. Beberapa ahli telah

mengobservasi efek gerakan terhadap aktivitas fibroblastic dalam proses

penyembuhan jaringan konektif, dimana jaringan fibril membentuk hampir

seluruh jaringan yang regenerasi. Adanya gaya eksternal dapat menyusun

jaringan fibril yang terbentuk.

37

2.8.4 Aplikasi Myofascial Release Technique

Dalam myofascial release technique terdapat beberapa teknik yaitu teknik

general, skin rolling, direct technique, dan lifting atau rolling. Dalam penelitian ini

hanya dijelaskan direct technique. Pada direct technique terapis menggunakan lengan

bawah, kedua palmar tangan, atau suatu permukaan yang kasar. Perlu diingat bahwa

penting melakukan stretch yang cepat pada fascia baik dengan menggunakan posisi

tubuh untuk memanjangkan komponen fascia (meletakkan jaringan dalam posisi

cukup stretch untuk memanjangkan otot tanpa adanya ketegangan yang dapat

menyebabkan kesulitan penetrasi) atau dengan menggunakan anchor pada satu

tangan dan tangan lain melakukan stretch secara terlokalisir (Riggs and Grant, 2009).

Kemudian otot diposisikan sepanjang mungkin sehingga receptor stretch akan

terstimulasi dan menyebabkan otot berkontraksi. Hal ini menguntungkan bagi terapis

didalam memulai teknik pada akhir lingkup gerak dimana jaringan fascial ter-stretch.

Ditambah lagi dengan adanya pembebasan hambatan yang terjadi pada akhir gerak

stretch yang relaks dapat memberikan input neurologik yang bermakna terhadap

receptor stretch sehingga membantu reprogram learning terhadap disfungsi

pemendekan (Riggs and Grant, 2009).

2.8.5 Indikasi Dan Kontraindikasi Myofascial Release Technique

Indikasi berupa kondisi dan cedera yang dapat merespon dengan baik

myofascial release technique meliputi (Riggs and Grant, 2008):

38

1. Perlengketan dan jaringan parut dari sprain, strain, prosedur bedah,

luka ringan, overuse, dan ketegangan postural kronis,

2. Fibromyalgia dan nyeri myofascial sindrom,

3. Myofasciitis, terutama plantar fascitis,

4. Tendinosis atau tenosinovitis (pada daerah yang radang atau otot yang

tegang akibat strain pada tendon),

5. Low back pain

6. Nyeri leher,

7. Osteoarthritis.

Berikut ini berisi daftar kontraindikasi atau membutuhkan perawatan yang

lebih dan pengalaman dalam pengobatan. Beberapa kontraindikasi hanya untuk

daerah lokal dari tubuh, yaitu (Riggs and Grant, 2008):

1. Peradangan akut

2. Pasien yang menggunakan obat antikoagulan. Tekanan dan kedalaman

harus dikonservatif dan pasien harus dipantau memar. Myofascial

release technique dapat disesuaikan sesuai kebutuhan pasien

3. Selulitis adalah infeksi bakteri yang berpotensi serius pada kulit.

Selulitis muncul sebagai bengkak merah pada kulit yang terasa panas

dan sakit, dan bisa menyebar dengan cepat. Jika tidak diobati, infeksi

bakteri menyebar dengan cepat dan dapat berubah menjadi kondisi

yang mengancam jiwa (misalnya, methicillin-resistant Staphylococcus

39

aureus [MRSA]). Ini akan menjadi kontraindikasi umum sampai

kondisi secara medis terkendali

4. Trombosis vena dalam (membutuhkan persetujuan pengobatan)

5. Fraktur tulang (lokal)

6. Gejala serangan jantung

7. Hematoma

8. Riwayat aneurisma (persetujuan pengobatan)

9. Riwayat diseksi arteri (persetujuan pengobatan),

10. Hipermobilitas sendi (lokal),

11. Keganasan (lokal dan persetujuan pengobatan),

12. Osteomielitis (infeksi),

13. Osteoporosis, terutama di tulang rusuk dan tulang belakang

(peringatan),

14. Rheumatoid arthritis (peringatan, persetujuan pengobatan),

15. Edema yang parah (peringatan, persetujuan pengobatan). Mengobati

lymphedema pada umumnya memerlukan pelatihan substansial dalam

teknik drainase limfatik dan pengetahuan perban tekanan. MRT hanya

akan sesuai di daerah yang tidak terpengaruh dan ketika penyebab

edema diketahui dan didiagnosis (misalnya, sebagai efek samping

pengobatan operasi atau radiasi),

16. Sensitivitas kulit (peringatan),

17. Akut strain atau keseleo (lokal),

40

18. Indikasi stroke (pusing, sakit kepala yang tajam dijelaskan, distorsi

visual),

19. Varises (lokal). Varises adalah pembuluh darah yang membesar dan

memutar. Istilah umumnya mengacu pada pembuluh darah di kaki,

meskipun varises terjadi di tempat lain. Untuk menghindari kerusakan,

menghindari pekerjaan langsung melalui varises. Namun, banyak

orang dengan varises tidak perlu kehilangan pekerjaan sangat

dibutuhkan untuk mendalam untuk pembuluh darah otot. Tissue bawah

vena tersebut biasanya dapat diakses oleh datang dari samping.

2.9 Infrared

2.9.1 Definisi

Infrared merupakan pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang

gelombang 7.700 sampai 4 juta Ao. Infrared dapat digunakan untuk mengatasi

keluhan yang hanya sampai di bagian kulit. Sebagian besar radiasi infrared yang

datang pada kulit akan langsung diserap oleh lapisan kulit bagian luar. Bagian dalam

kulit akan mengalami pemanasan dari aliran darah sehingga terjadi vasodilatasi

pembuluh darah. Apabila sinar infrared diabsorbsi oleh kulit, maka akan terjadi

peningkatan suhu secara lokal.

2.9.2 Klasifikasi Infrared

Berdasarkan panjang gelombangnya, inframerah dapat dibagi menjadi dua

yaitu:

41

1. Gelombang panjang (non luminous) merupakan panjang gelombang yang

dihantarkan 12.000 Ao sampai 150.000 Ao dengan penetrasi sekitar 0,5 mm.

Ada juga yang menyebutkan antara 14.000 hingga 120.000 Ao dengan

penetrasi sekitar 2mm. Daya penetrasi dari gelombang ini hanya sampai

pada lapisan superficial epidermis.

2. Gelombang pendek (luminous) merupakan panjang gelombang

yangdihantarkan antara 7.700 sampai 12.000 Ao. Gelombang ini

mempunyai daya penetrasi yang lebih dalam dari pada gelombang panjang.

Daya penetrasi dari gelombang ini mencapai jaringan subkutan dan dapat

berpengaruh langsung terhadap pembuluh darah kapiler, pembuluh limfe,

ujung-ujung saraf, dan jaringan lain yang ada di bawah kulit.

2.9.3 Efek Fisiologis dan Terapuetik Inframerah

Efek fisiologis

1) Meningkatkan proses metabolisme.

Suatu reaksi kimia akan dapat dipercepat dengan adanya panas atau

kenaikan temperatur akibat pemanasan. Proses metabolisme yang terjadi

pada lapisan superficial kulit akan mengalami peningkatan sehingga

pemberian oksigen dan nutrisi ke jaringan menyebabkan pengeluaran

sampah-sampah sisa hasil pembakaran dalam tubuh dan adanya perbaikan

pada jaringan.

2) Vasodilatasi pembuluh darah

42

Efek thermal yang dihasilkan oleh sinar infrared dapat menyebabkan

dilatasi pembuluh darah kapiler dan artiole. Kulit akan mengadakan reaksi

dan berwarna kemrah-merahan yang disebut erythema. Untuk ini

mekanisme vasomotor mengadakan reaksi dengan jalan pelebaran

pembuluh darah sehingga jumlah panas daratakan keseluruh jaringan

lewat sirkulasi darah. Dengan sirkulasi darah yang miningkat, maka

pemberian nutrisi dan oksigen kepada jaringan akan meningkat, sehingga

pemeliharaan jaringan menjadi lebih baik dan perlawanan terhadap radang

juga baik.

3) Pigmentasi

Penyinaran yang berulang-ulang dengan sinar infrared dapat

menimbulkan pigmentasi pada tempat yang disinari. Hal tersebut

disebabkan oleh karena adanya perubahan sel-sel darah merah di tempat

tersebut.

4) Pengaruh terhadap jaringan otot.

Kenaikan temperatur membantu terjadi relaksasi otot, pemanasan juga

akan mengaktifkan terjadinya pembuangan sisa-sisa metabolisme.

5) Distruksi Jaringan.

Penyinaran yang diberikan dapat menimbulkan kenaikan temperatur

jaringan yang cukup tinggi dan berlangsung dalam waktu yang lama

sehingga diluar toleransi jaringan penderita.

6) Meningkatkan temperatur tubuh.

43

Penyinaran infrared akan memanasi jaringan superfisial, kemudian

diteruskan keseluruh tubuh, maka disamping terjadi pemerataan panas

juga akan terjadi penurunan tekanan darah sistemik oleh karena adanya

panas yang akan merangsang pusat pengatur panas tubuh untuk meratakan

panas yang terjadi dengan jalan dilatasi bersifat general.

7) Mengaktifkan kerja kelenjar keringat.

Pengaruh rangsangan panas yang dibawa ujung-ujung saraf sensoris dapat

mengaktifkan kerja kelenjar keringat.

Efek terapeutik

1) Mengurangi rasa sakit

Mild heating menimbilkan efek sedatif pada superficial sensoris nerve

ending, stronger heating dapat counter iritation yang akan

menimbulkan pengurangan nyeri. Deangan sirkulasi darah yang lancar

maka zat ”P” yang merupakan salah satu penyebab nyeri akan ikut

terbuang.

2) Relaksasi otot

Relaksasi otot mudah dicapai bila jaringan otot dalam keadaan hangat

dan rasa sakit tidak ada.

3) Meningkatkan suplai darah

44

Adanya kenaikan temperatur akan menimbulkan vasodilatasi, yang

akan menyebabkan terjadinya peningkatan darah kejaringan setempat.

4) Menghilangkan sisa-sisa hasil metabolisme

Penyinaran di daerah yang luas akan mengaktifkan glandula sudoifera

diseluruh badan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan

pembuangan sisa-sisa hasil metabolisme melalui keringat

2.9.4 Teknik pelaksanaan

Posisi pasien diatur senyaman mungkin sesuai dengan arah yang akan

disinari baik duduk atau tengkurap. Daerah yang disinari harus bebas dari logam

dan pakaian. Lakukan tes sensibilitas terhadap panas atau dingin. Daerah yang akan

disinari dalam keadaan kering dan pastikan memberitahu pasien tentang rasa panas

yang akan dirasakan. Posisikan lampu infrared tegak lurus dengan daerah yang

diterapi. Durasi waktu diberikan pada terapi adalah 10 menit dengan jarak 35 cm.

Selama proses terapi berlangsung harus dikontrol rasa hangat yang diterima oleh

pasien.

2.9.5 Mekanisme penurunan nyeri pada myofascial pain syndrome dengan modalitas

infrared

Pemanasan pada jaringan superfisial dapat menghasilkan relaksasi dari otot

skelet. Reaksi ini merupakan refleks alamiah yang dicetuskan oleh efek reseptor suhu

pada kulit. Stimulasi pada superfisialis dapat mengurangi aktivitas serabut gamma

45

sehingga kepekaan otot spindel akan berkurang. Selain itu dengan pemberian

pemanasan dengan modalitas infrared dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh

darah sehingga menyebabkan aliran darah pada daerah nyeri yang diakibatkan oleh

myofascial pain syndrome menjadi lancar. Pemberian infrared menyebabkan kulit

akan tampak kemerah-merahan, hal ini disebabkan karena adanya dilatasi pada

pembuluh darah kapiler dan arteriole.

Keadaan ini merupakan reaksi tubuh terhadap adanya energi panas yang

diterima oleh ujung-ujung syaraf sensoris yang kemudian dipengaruhi mekanisme

pengatur panas (heat regulating mechanism). Dengan sirkulasi darah yang meningkat

ini, maka pemberian nutrisi dan oksigen meningkat, sehingga kadar sel darah merah

dan anti bodies dalam jaringan akan meningkat. Dengan demikian jaringan akan

menjadi lebih baik dan perlawanan terhadap agen penyebab proses radang juga

semakin baik. Dengan lancarnya sirkulasi darah maka zat ”P” juga akan ikut

terbuang, sehingga rasa nyeri berkurang dan terjadi relaksasi otot (Prentice, 2002).

2.10 Pengukuran Nyeri

Terdapat 4 alat Unidimentional Pain Rating Scale (UPRS) utama yang

digunakan dalam praktek klinis untuk menilai nyeri. Terdiri dari Numeric Rating

Scale (NRS), Verbal Rating Scale (VRS), Faces Pain Scale (FPS) dan Visual

Analogue Scale (VAS). Visual Analogue Scale (VAS) merupakan alat pengukuran

intensitas nyeri yang dianggap paling efisien yang telah digunakan dalam penelitian

dan pengaturan klinis (Hawker et al, 2011).

46

Pada umunya VAS disajikan dalam bentuk garis horisontal yang cara

penyajiannya diberikan angka 0-10 yang masing-masing nomor dapat menunjukkan

intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien. Setiap ujungnya ditandai dengan level

intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda “tidak nyeri” dan ujung kanan diberi tanda

“nyeri tidak tertahankan”). Pasien diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut

sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Kemudian jaraknya diukur

dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh pasien (ukuran mm) dan skorenya

menunjukkan level intensitas nyeri. Kemudian score tersebut dicatat untuk melihat

kemajuan pengobatan/terapi selanjutnya (Witri, 2013).

Dalam penggunaan VAS terdapat beberapa keuntungan dan kerugian yang

dapat diperoleh. Keuntungan penggunaan VAS antara lain VAS adalah metode

pengukuran intensitas nyeripaling sensitif, murah dan mudah dibuat. VAS

mempunyai korelasi yang baik dengan skala-skala pengukuran yang lain dan dapat

diaplikasikan pada semua pasien bahkan dapat digunakan pada anak-anak di atas 5

tahun, serta VAS dapat digunakan untuk mengukur semua jenis nyeri. Namun

kekurangan dari skala ini adalah VAS memerlukan pengukuran yang lebih teliti dan

sangat bergantung pada pemahaman pasien terhadap alat ukur tersebut. Vas sangat

bergantung pada pemahaman pasien terhadap alat ukur tersebut. Sehingga edukasi

pengukur tentang VAS terhadap pasien sangat diperlukan (Hawker et al, 2011).

47

Gambar 2.6 Visual Analogue Scale (VAS).