BAB II SEJARAH ETNIS CINA DI INDONESIA DAN...

18
32 BAB II SEJARAH ETNIS CINA DI INDONESIA DAN PEMBUKTIAN KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA A. Sejarah Etnis Cina di Indonesia Menurut Onghokham, 16 salah satu sejarahwan terkemuka Indonesia, masyarakat Tionghoa bukanlah kelompok yang homogen; mereka begitu beragam hampir seperti kepulauan Indonesia. Masyarakat etnis Cina di Jawa datang sebagai perorangan, atau dalam kelompok kecil, mereka tiba di sini sebalum kedatangan bangsa Eropah. Sebagian besar kaum migran ini menyatu dengan masyarakat lokal sehingga masyarakat etnis Cina di Jawa sekarang ini tidak lagi bisa berbicara bahasa Mandarin. Sedangkan, di Kalimantan Barat, di Pulau Kalimantan, dan Pesisir Timur Sumatera, masyarakat etnis Cina bermigrasi dalam kelompok besar untuk bekerja di perkebunan dan di tambang timah. Masyarakat etnis Cina di daerah ini tetap mempertahankan bahasa mereka. Di Sulawesi Utara n dan di pulau Maluku mereka dengan sendirinya berasimilasi dengan masyarakat likal. Selain berasal dari daerah yang berbeda, masyarakat etnis Cina menganut beragam agama di Indonesia, Kristen, Kataolik, Buddha, Kong Hu Cu, dan Islam. Asal muasal kaum minoritas etnis Cina dimulai jauh sebelum masa pemerintahan kolonial Belanda. Bangsa Belanda dan Cina adalah bangsa pedagang dan datang kepulauan Indonesia untuk satu tujuan, yaitu berdagang. 16 Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 10. Universitas Sumatera Utara

Transcript of BAB II SEJARAH ETNIS CINA DI INDONESIA DAN...

  32

BAB II

SEJARAH ETNIS CINA DI INDONESIA DAN PEMBUKTIAN

KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

A. Sejarah Etnis Cina di Indonesia

Menurut Onghokham,16 salah satu sejarahwan terkemuka Indonesia,

masyarakat Tionghoa bukanlah kelompok yang homogen; mereka begitu beragam

hampir seperti kepulauan Indonesia. Masyarakat etnis Cina di Jawa datang

sebagai perorangan, atau dalam kelompok kecil, mereka tiba di sini sebalum

kedatangan bangsa Eropah. Sebagian besar kaum migran ini menyatu dengan

masyarakat lokal sehingga masyarakat etnis Cina di Jawa sekarang ini tidak lagi

bisa berbicara bahasa Mandarin. Sedangkan, di Kalimantan Barat, di Pulau

Kalimantan, dan Pesisir Timur Sumatera, masyarakat etnis Cina bermigrasi dalam

kelompok besar untuk bekerja di perkebunan dan di tambang timah. Masyarakat

etnis Cina di daerah ini tetap mempertahankan bahasa mereka. Di Sulawesi Utara

n dan di pulau Maluku mereka dengan sendirinya berasimilasi dengan masyarakat

likal. Selain berasal dari daerah yang berbeda, masyarakat etnis Cina menganut

beragam agama di Indonesia, Kristen, Kataolik, Buddha, Kong Hu Cu, dan Islam.

Asal muasal kaum minoritas etnis Cina dimulai jauh sebelum masa

pemerintahan kolonial Belanda. Bangsa Belanda dan Cina adalah bangsa

pedagang dan datang kepulauan Indonesia untuk satu tujuan, yaitu berdagang.

                                                            

16  Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 10.

Universitas Sumatera Utara

  33

Bangsa Cina adalah mitra dagang bangsa Belanda sejak pertama berdirinya

Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) dan keduanya tidak pernah kehilangan

posisi perantara tersebut. Walaupun begitu, bukan berarti bahwa hubungan

keduanya selalu mulus. Sejatinya, pembunuhan massal pertama terhadap warga

etnis Cina terjadi di Batavia (sebutan untuk Jakarta di masa kolonial) pada tahun

1970, yang dilakukan oleh beberapa orang Belanda yang tinggal di kota. Setelah

peristiwa itu, Belanda memberlakukan kebijakan pemisahan ras yang resmi.

Warga etnis Cina harus tinggal di pemukiman yang diperuntukan bagi ras mereka,

yang dapat ditemukan di semua kota, dan mereka diwajibkan mempunyai serat

izin untuk melakukan perjalanan ke pemukiman etnis Cina di kota yang berbeda.

Sistem ghetto yang membatasi mobilitas fisik keturunan etnis Cina ini baru

dicabut tahun 1905.

VOC memilah penduduk di kepulauan Indonesia menjadi tiga kelompok

untuk tujuan administrasi yaitu golongan Eropah, golongan Timur Asing, dan

golongan bumiputera. Sistem tersebut merupakan embrio dari apa yang dikenal

sebagai sisten apartheid di Afrika Selatan. Dan sekarang ini dianggap kelas

terendah di dunia kita sekarang. Dengan demikian, suatu kekeliruan jika ada

pendapat yang mengatakan bahwa sikap pilih kasih Belanda membantu warga

etnis Cina terangkat keposisi ekonomi yang kuat seperti sekarang.

Sentimen anti etnis Cina yang kuat muncul di antara para pejabat kolonial

Belanda. Hal itu sangat kentara di bawah kebijakan etnis tahun 1900 yang dibuat

untuk mendorong kepentingan penduduk pribumi. Para pejabat kolonial Belanda

Universitas Sumatera Utara

  34

secara keliru merasa bahwa mereka harus melindungi penduduk pribumi terhadap

warga etnis Cina yang licik. Namun, hal ini dan praktek-praktek diskriminatif

lainnya tidak berarti bahwa warga ernis Cina hidup makmur dibawah sistem

kolonial.

Kekayaan secara tradisional dikumpulkan melalui pemerintah di

kepulauan Indonesia. Pada abad ke-19, warga etnis Cina diberi keistimewaan

untuk menanam dan memperdagangkan candu (opium) dan menjalankan usaha

rumah gadai sebagai imbalan atas pembayaran pajak yang besar yang harus

pribumi. Perkebunan umumnya dikuasai oleh para kepala desa yang sebagian

diwariskan pemiliknya biasanya. Pedagang besar karena status kedekatannya

dengan pemerintah berarti bahwa mereka beserta agennya dapat pengecualian dari

pembatasan perjalanan yang dikenakan kepada anggota masyarakat etnis Cina.

Sistem ini mendorong perkembangan kapitalisme etnis Cina.

Warga etnis Cina sebagai mitra dagang Belanda terkena Undang-Undang

kepemilikan dan usaha Belanda. Dari awal abad ke-20 mereka juga terkena

Undang-undang keluarga Belanda. Undang-undang ini memberi warga etnic Cina

keamanan pada transaksi dagang mereka yang mana hal ini tidak didapat di bawah

undang-undang adat yang diterapkan oleh para petinggi dan pengusaha Indonesia

saat itu. Perlindungan yang diberikan oleh Undang-undang Barat dan posisi

mereka sebagai padagang menempatkan kelompok etnis Cina jauh dari jangkauan

sentimen keji dari para pejabat Belanda yang konon lebih buruk daripada anti-

etnis Cina yang dilakukan oleh pemerintah kolonial lain di zaman itu seperti

Universitas Sumatera Utara

  35

Inggris dan Prancis. Sering dikatakan bahwa negara-negara yang baru merdeka

menceminkan masa lalu penjajah terakhir mereka, yang agaknya cukup

menjelaskan sentimen anti-etnis Cina yang dilakukan oleh para pejabat

pemerintah Indonesia sekarang ini.

Kebijakan anti-etnis Cina dari penjajah membangkitkan apa yang dinamai

“gerakan etnis Cina“ di Jawa yang bertujuan mambebaskan masyarakat etnis

Cina dengan tuntutan bahwa pembatasan terhadap gerakan anggota komunitas

mereka dihapuskan, kesetaraan penuh di hadapan hukum dan pembentukan

sekolah untuk etnis Cina.Gerakan tersebut merupakan gerakan emansipasi

pertama yang dihadapi oleh Belanda dari subjek jajahannya. Gerakan tersebut

tidak bersifat anti-penjajahan. Gerakan tersebut hanya mencari hak-hak bagi

kelompok etnis Cina di Hindia Belanda dan bukan berbicara atas nama kelompok

Bumiputera atau kelompok etnis lainnya dimana pun, gerakan politik dan sosial

cenderung untuk mempertahankan sifat segregasi dari masyarakat penjajah yang

menciptakan mereka, menyeruakan satu kelompok etnis saja sampai tahun 1900,

sebagaian besar tuntutan warga etnis Cina dipenuhi dan sekolah Tionghoa –

Belanda (HFC) diluncurkan oleh pemerintah kolonial Belanda, bahkan beselum

sekolah Bumiputera- Belanda (HIS) diluncurkan. Ketika pemerintah mencabut

larangan perjalanan yang membatasi warga etnis Cina pada 1905, masyarakat

usaha etnis Cina keluar dari ghetto mereka dan semakin berkompetisi dengan

kelompok wirausaha dari etnis Jawa. Serikat Dagang Islam (1909) dibentuk

sebagai tanggapan tantangan terhadap perkembangan ini, dan berlanjut menjadi

Universitas Sumatera Utara

  36

gerakan massa sosial dan politik pertama di Hindia Belanda. Kerusuhan anti-etnis

Cina yang terjadi pada tahun 1918 di Kudus, Jawa Tengah, mendapat dukungan

penuh dari kaum borjuis Jawa dan Islam. Pemicunya adalah arak-arakan warga

ernis Cina yang menyinggung kaum Muslim, namun peristiwa tersebut terjadi

berlatar persaingan kelas menengah yang sedang terjadi.

Semua partai politik Indonesia juga eksklusif hanya mengakui warga

Indonesia. Bahkan, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno

pada tahun 1926 mengakui warga etnis Cina hanya sebagai pengamat.

Pengecualian terhadap eksklusivitas ini adalah Perhimpunan Hindia yang

diprakarsai oleh Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Ki Hajar Dewantara

yang menerima kelompok etnis lainnya sebagai anggota. Sebagai anggapan atas

tidak diikutsertakan dalam percaturan kekuatan politik, para profesional etnis Cina

yang mendukung Indonesia membentuk partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada

tahun 1930.

Dalam arti yang luas, itulah situasi ketika pasukan Kekaisaran Jepang

menginvasi Indonesia pada tahun 1942 dalam Perang Dunia ke II. Baru setelah

invasi Jepang kekerasan massa anti-etnis Cina meletus untuk kedua kalinya.

Daerah yang paling terkena adalah pesisir utara Jawa dimana sasarannya terutama

rumah dan toko milik warga etnis Cina kaya. Sejarah Indonesia sejak Perang

Dunia ke II penuh dengan kekerasan debandingkan dengan negara-negara

tetangga dekatnya seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Tetapi,

selama masa revolusi menentang Belanda, tidak semua kekerasan ditujukan

Universitas Sumatera Utara

  37

kepada warga etnis Cina. Sasarannya mencakup ras Eurosia, Maluku, dan elit

tradisional. Satu-satunya abti etnis Cina yang mencolok selama masa revolusi

terjadi di Tangerang, barat Jakarta.

Tahun 1950-an menyaksikan diperkenalkan kebijakan yang diskriminatif

terhadap warga etnis Cina, termasuk “kebijakan benteng” yang mencoba

mendorong naiknya kelas usaha Indonesia, yang kemudian melarang perdagangan

dan pemukiman etnis Cina asing di pedesaan. Selama awal tahun 1960-an,

keadaan ekonomi negeri sangat memburuk dan warga etnis Cina menjadi pion

dalam permainan catur politik Perang Dingin. Beberapa kerusuhan di kota dengan

sasaran warga etnis Cina terjadi pada masa ketidakpastian tahun 1965/1966,

meskipun kebanyakan kekerasan tersebut ditujukan kepada para tersangka

anggota komunis. Serangan dan serangan balasan dari pasukan pro dan anti-

komunis menimbulkan pergolakan sosialdan politik yang serius di Indonesia,

yang oleh banyak ahli dari luar negeri disalahtafsirkan sebagai pembantaian

sebagai warga etnis Cina. Kesalahpahaman ini mungkin muncul sebagai akibat

pengenaan larangan terhadap banyak aspek kehidupan dan budaya warga etnis

Cina yang dikeluarkan oleh pemerintah pada waktu yang hampir bersamaan. Di

antara aspek budaya etnis Cina yang dinyatakan ilegal adalah drama (bukan film),

perayaan umum, dan memperlihatkan huruf Tionghoa. Gerakan mendorong warga

etnis Cina untuk menggunakan nama lokal juga diluncurkan bersamaan dengan

pengekangan kebudayaan etnis Cina.

Universitas Sumatera Utara

  38

Di bawah pemerintahan rezim Orde Baru, ketegangan antara warga etnis

Cina dan wargan Indonesia asli tumbuh akibat jurang yang semakin lebar antara si

kaya dan si miskin di Indonesia, birokrat pemerintah, militer dan polisi bergaji

rendah. Selain itu, di saat masyarakat Indonesia semakin dekat ke agama Islam,

warga etnis Cina mencari ketenangan spritual ke agama Kristen dan Buddha.

Peristiwa kekerasan selama pemerintahan Orde Baru bersifat rasial dan agama.

Onghokham juga mengatakan bahwa kerusuhan anti-etnis Cina baru-baru

ini di Jakarta terjadi akibat kecemburuan dan sentiment ras. Masyarakat etnis Cina

menunjukan kreatifitas mereka dan mencapai kebehasilan ekonomi, meskipun

posisi mereka di masyarakat kurang populer. Fakta keunggulan di bidang

ekonomi ini adalah menjamurnya toko-toko milik warga etnis Cina di sepanjang

jalan-jalan utama di semua kota di Indonesia.

B. Pembuktian Kewarganegaraan Republik Indonesia

Salah satu permasalahan klasik dalam penyelengaraaan Republik

Indonesia adalah bukti kewarganegaraan Republik Indonesia yang dalam

pemahaman umum disebut dengan surat bukti kewarganegaraan Republik

Indonesia yang disingkat SBKRI.. Dalam implementasinya SBKRI sebagian besar

hanya ditujukan terhadap warga negara Republik Indonesia etnis Tionghoa.

Dalam beberapa kasus ditemukan juga diterapkan kepada sebagian warga negara

Republik Indonesia etnis India di Yogyakarta.

Dalam peraturan pemerintah No. 5 Tahun 1947 yang merupakan peraturan

Universitas Sumatera Utara

  39

pelaksanaan dari UU No. 3 Tahun1946 tentang penduduk dan warga negara

ditegaskan bahwa ”dalam sistem undang undang warga negara Indonmesia suatu

bukti kewarganegaraan Indonesia Tidak Diperlukan untuk orang-orang yang tentu

dan diharapkan tentu menjadi warga negara Indonesia, yaitu untuk orang

Indonesia asli dan untuk orang peranakan. Maka, bukti kewarganegaraan

Indonesia hanya diberikan kepada orang yang pada umumnya bukan warga negara

Indonesia yaitu, kepada orang asing yang menjadi warga negara Indonesia dengan

naturalisasi”.

Ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa kewarganegaraan Republik

Indonesia tidaklah perlu dibuktikan dalam suatu bukti khusus, dalam pengertian

bahwa pembuktian kewarganegaraan Republik Indonesia dapat ditunjukkan dalam

berbagai dokumen catatan sipil dan kependudukan yang sudah ada, seperti kartu

tanda penduduk (KTP), akta kelahiran, kartu keluarga, dan surat perjalanan ke

luar negeri atau yang dikenal dengan paspor bagi mereka yang sudah menjadi

warga negara Indonesia (WNI) by operation of law (baik karena prinsip ius

sanguinis maupun ius soli). Warga negara by operation of law ini pada hakikatnya

tidak memerlukan surat bukti kewarganegaraan, sehingga sesungguhnya sangat

jelas bahwa surat bukti kewarganegaraan hanya diberikan kepada orang asing

yang menjadi warga negara Indonesia karena naturalisasi (by registration).

Menurut UU No. 3 Tahun 1946 tentang Penduduk dan Warga Negara,

yang merupakan UU Kewarganegaraan Republik Indonesia pertama sejak

kemerdekaan RI, mereka yang termasuk sebagai warga negara by operation of law

Universitas Sumatera Utara

  40

sebagai berikut :

1. Orang yang asli dalam wilayah negara Indonesia

2. Orang yang bukan asli, tetapi keturunan dari seseorang yang asli dan lahir,

bertempat kedudukan dan kediaman dalam wilayah negara Indonesia; serta orang

bukan turunan seorang yang asli yang lahir, bertempat kedudukan dan kediaman

selama sedikitnya lima tahun berturut-turut yang paling akhir di dalam wilayah

negara Indonesia, yang telah berumur 21 tahun atau telah kawin.

Dalam pengertian ini tentu saja pengaturan tersebut bukan dalam

pengertian rasialis, tetapi dalam pengertian etis konstitusional. Namun, dalam

perkembangannya permasalahan pembuktian kewarganegaraan Republik

Indonesia ini kemudian mengalami pasang surut sejalan dengan sejarah perjalanan

konsepsi dan implementasi hukum kewarganegaraan Republik Indonesia Sebut

saja dari munculnya Piagam Persetujuan Pembagian Warga Negara (PPPWN)

sebagaiakibat dari Konferensi Meja Bundar (KMB) sebagai bentuk ”penyerahan

kedaulatan” pada tanggal 27 Desember 1949, yang diusul terjadinya Perjanjian

Dwi Kewarganegaraan RI-RRT pada tahun 1955, terbitnya UU No. 62 Tahun

1958 tentang Kewarganegaraan RI, hiruk pikuk Peraturan Presiden No. 10 Tahun

1959, Peraturan Menteri No. 3/4/12 Tahun 1978 tentang SBKRI, Keputusan

Presiden No. 59 Tahun 1996, hingga lahirnya UU No. 12 Tahun 2006 sebagai UU

Kewarganegaraan ketiga RI. Pasang surut konsepsi kewarganegaraan RI tersebut,

secara tidak langsung mengakibtkan berkembangnya persoalan bukti

kewarganegaraan Republik Indonesia dengan berbagai variannya.

Universitas Sumatera Utara

  41

Menurut Dr. B. P. Paulus, SH17 atau yang juga diinventarisir oleh

Koerniatmanto Soetoprawiro, SH,18 surat bukti kewarganegaraan Republik

Indonesia dalam pengertian umum, selanjutnya dalam buku ini akan disebut

dengan bukti kewarganegaraan RI, sebenarnya terdiri dari bermacam-macam

bentuk yang formatnya disesuaikan, dari yang disebut dengan surat bukti

kewarganegaraan RI karena pernyataan memilih sampai bukti petikan keputusan

presiden karena pewarganegaraan sebagai berikut :

1. Undang-Undang tentang Pewarganegaraan yang diberikan kepada 9 WNA

pada tahun 1947 dan 1948 berdasarkan UU No. 3 tahun 1946.

2. Formulir Model A yang dikeluarkan pengadilan negeri, bupati, atau

perwakilan Republik Indonesia di luar negeri (berdasarkan Peraturan

Pemerintah No. 1/1950).

3. Surat opsi (verwerpingsverklaring) yang dikeluarkan oleh Komisariat Belanda

di Indonesia, atau pejabat opsi Kerajaan Belanda di Suriname/Antillen, atau

Arrondisementsrechtbank di negeri Belanda.

4. Surat kawin yang sah berlaku pula sebagai bukti kewarganegaraan bagi istri

pemegang formulir model A atau surat opsi/ verwerpingsverklaring

(berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1/1950).

5. Surat kelahiran atau surat Pengakuan anak oleh bapak yang memegang

formulir model A atau surat opsi/ verwerpingsverklaring (berdasarkan

                                                            

17   Paulus BP, Kewaranegaraan Republik Indonesia Ditinjau dari UUD 1945, Jakarta, Pradnya Paramita, 1993, hal.19 18 Soetoprawiro Koerniatmanto, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal.19

Universitas Sumatera Utara

  42

Peraturan Pemerintah No. 1/1950).

6. Surat Penetapan Kewarganegaraan Indonesia oleh pengadilan negeri bagi

mereka yang diharuskan oleh instansi resmi untuk membuktikan bahwa ia

warga negara Indonesia (berdasarkan Peraturan Penguasa Militer No.

Prt/PM/09/1957 jo Peraturan Penguasa Perang Pusat No.

Prt/Peperpu/014/1958).

7. Surat Penetapan Menteri Kehakiman RI untuk seorang wanita asing yang

kawin dengan seorang warga negara Indonesia setelah 27 Desember 1949

(Berdasarkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM/09/1957 jo Peraturan

Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/014/1958.

8. Formulir I/IA untuk orang laki-laki yang mempunyai anak belum dewasa yang

sah, disahkan, diakui, atau diangkat dengan sah (berdasarkan Peraturan

pemerintah No. 20/1959).

9. Formulir II/IIA untuk orang perempuan yang mempunyai anak belum dewasa

yang tidak mempunyai bapak yang sah, tidak diketahui kewarganegaraan

bapaknya, atau bapaknya meninggal dunia sebelum menyatakan keterangan

melepaskan kewarganegaraan RRC (berdasarkan Peraturan pemerintah No.

20/1959).

10. Formulir III/IIIA untuk orang yang tidak mempunyai anak yang belum

dewasa, dan untuk perempuan yang anak-anaknya semuanya mempunyai

bapak yang sah yang masih hidup, atau sudah meninggal dunia setelah

menyatakan keterangan melepaskan kewarganegaraan RRC (berdasarkan

Universitas Sumatera Utara

  43

Peraturan pemerintah No. 20/1959).

11. Formulir IV/IVA untuk orang yang telah menjadi dewasa dan selama belum

dewasa mengikuti kewarganegaraan bapak/ibunya yang memilih

kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam hal ini pemegang formulir ini

sebenarnya adalah warga negara Indonesia, yang setelah dewasa berstatus dwi

kewarganegaraan dan diberi waktu satu tahun untuk memilih

kewarganegaraannya. Apabila kemudian tidak menggunakan kesempatan

tersebut, yang bersangkutan akan tetap berkewarganegaraan Republik

Indonesia (berdasarkan Peraturan pemerintah No. 20/1959).

Catatan : Sejak tanggal 10 April 1960 (UU NO. 4/1969), formulir ini tidak

diterbitkan lagi dan digantikan oleh SKKRI. Dan untuk formulir IV (khusus

perempuan RRC) menggunakan formulir I AS.

12. Formulir V/VA untuk orang yang telah menjadi dewasa selama belum

menjadi dewasa dianggap hanya berkewarganegaraan RRC, karena mengikuti

bapak/ibunya. Pada masa opsi (27 Desember 1949 – 27 Desember 1951)

orang tersebut berkewarganegaraan Indonesia dan berkewarganegaraan RRC

pada waktu berlakunya UU No. 2Tahun 1958 disebabkan ikut bapak/ibunya.

Apabila dalam jangka waktu satu tahun sejak menginjak usia dewasa tidak

menyatakan pilihannya, orang tersebut akan tetap berkewarganegaraan RRC

(berdasarkan Peraturan pemerintah No. 20/1959).

Catatan : Sejak tanggal 10 April 1969 (UU No.4/1969), formulir ini tidak

diterbitkan lagi dan berlaku pasal 4 dan 5 UU No. 62/1958.

Universitas Sumatera Utara

  44

13. Formulir VI/VIA untuk orang yang telah dewasa dan sebelum itu hanya

berkewarganegaraan RRC, karena mengikuti penolakan bapak/ibunya

terhadap kewarganegaraan Republik Indonesia atau karena kewarganegaraan

Republik Indonesia ditolak oleh bapak/ibunya. Orang tersebut pada masa opsi

(27 Desember 1949 – 27 Desember 1951) masih belum dewasa dan ikut dalam

penolakan tersebut, sehingga pada masa sebelum perjanjian dwi

kewarganegaraan adalah berstatus asing. Apabila dalam jangka waktu satu

tahun menginjak usia dewasa tidak menyatakan pilihannya, orang tersebut

akan tetap berkewarganegaraan RRC. Formullir ini harus dilampirkan bersama

surat keterangan dari perwakilan RRC dan surat keterangan daari kantor

imigrasi (berdasarkan Peraturan pemerintah No. 5/1961 tentang Tambahan

Peraturan Pemerinttah No. 20/1959).

Catatan : untuk formulir A apabila pernyataan lisan diisikan oleg petugas yang

menerima pernyataan itu ke dalam formulir.

14. Formulir C untuk orang yang karena kedudukan sosial politiknya telah

menunjukkan dengan tegas bahwa mereka secara diam-diam telah melepaskan

kewarganegaraan RRC mereka (Berdasarkan Pasal 12 Peraturan Pemerintah

No. 20/1959).

15. Formulir D untuk orang yang dianggap telah melepaskan kewarganegaraan

RRC karena telah membuktikan tururt dengan sah dalam pemilihan umum

untuk Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(berdasarkan Peraturan pemerintah No. 5/1961 tentang Tambahan Peraturan

Universitas Sumatera Utara

  45

Pemerinttah No. 20/1959).

16. Kutipan Pernyataan Sah Buku Catatn Pengangkatan Anak Asing (contoh A)

untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia karena

pengangkatan (berdasarkan Peraturab Pemerintah No.67/1958, SE Menteri

Kehakiman No. JB.3/2/25 butir 6 tanggal 5 Januari 1959).

17. Petikan Keputusan Presiden tentang Permohonan Pewarganegaraan RI (tanpa

pengucapan sumpah atau janji setia) untuk mereka yang memperoleh

kewarganegaraan Indonesia kerena dikabulkannya permohonan

pewarganegaraan RI (berdasarkan UU NO. 62 Tahun 1958).

18. Petikan Keputusan Presiden tentang Pewarganegaraan RI dan Berita Acara

Sumpah atau Janji Setia kepada negara RI untuk mereka yang memperoleh

kewarganegaraan Indonesia karena pewarganegaraan RI ( berdasarkan UU

No. 62 Tahun 1958).

19. Formulir I : Surat catatan pernyataan keterangan untuk perempuan WNA yang

kawin dengan seorang warga negara Indonesia eks Pasal 7 ayat (1) UU No.

62/1958 jo. Pasal II Peraturan Peralihan dan Pasal V Peraturan Penutup

(berdasarkan SE Menteri Kehakiman No. JB. 3/166/22 tanggal 30 September

1958).

20. Formulir II: Surat catatan pernyataan keterangan untuk mereka yang

berkehendak melepaskan/memperoleh kembali kewarganegaraan RI eks pasal

7 ayat (2), 8, 9 ayat (2), 11, 12 dan 18 UU No. 62/1958 jo. Pasal III Peraturan

Peralihan dan Psal V Peraturan Penutup (berdasarkan SE Menteri Kehakiman

Universitas Sumatera Utara

  46

No. JB. 3/166/22 tanggal 30 September 1958).

21. Formulir III: Surat pernyataan keterangan untuk mereka yang berkehendak

melepaskan/memperoleh kembali kewarganegaraan RI yang barkaitan dengan

urusan kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesianya karena turut

orangtua eks pasal 14 jo. Pasal 2 atau 13 dan 16 UU No. 62.1958 jo. Pasal IV

Peraturan Penutup (Menteri Kehakiman No. JB. 3/166/22 tanggal 30

September 1958).

22. Petikan Keputusan Menteri Kehakiman untuk mereka yang memperoleh

kembali kewarganegaraan Republik Indonesia disebabkan kehilangan

kewarganegaraannya yang karena hal-hal yang di luar kesalahannya,

sebagaimana diatur dalam pasal 17k UU No. 62/1958 (berdasarkan Peraturan

Pemerintah No. 13/1976).

Bukti-bukti kewarnageraan RI tersebut, dikeluarkan secara ”khusus” sejalan

dengan prinsip yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1947

bahwa ”..........Maka bukti kewargaan negara Indonesia hanya diberikan

kepada orang yang pada umumnya bukan warga negara Indonesia, yaitu

kepada orang asing yang menjadi warga negara Indonesia dengan

naturalisasi”. Hal ini juga sesuai dengan apa yanng disebut oleh Dr.

B.P.Paulus, SH bahwa suatu bukti kewarganegaraan RI (yang khusus) hanya

dibutuhkan bagi warga negara yang by registration

Dengan kata lain, bahwa suatu bukti kewarganegaraan RI yang ”khusus”

dibutuhkan ketika terjadi peristiwa penting yang dalam istilah catatn sipil

Universitas Sumatera Utara

  47

disebut sebagai perubahan kewarnageraaan. Dalam proses catatan sipil,

perubahan kewarnageraan selanjutnya akan dicatat dalam register orang yang

bersangkutan sebagai catatan pinggir.

Setelah keluar UU No. 4 Tahun 1969 yang mencabut UU No. 2 Tahun 1958

tentang perjanjian dwi kewarnegaraan RI – RRT yang seharusnya

menyelesaikan segala kerumitan proses dwi-kewarganegaraan orang-orang

Tionghoa, tetapi kemudian berdasarkan Surat Edaran Menteri Kehakiman No.

DTC/9/11 tanggal 1 Juli 1969 justru terbit salah satu buku kewarganegaraan

RI yang dikenal dengan:

23. Surat Keterangan Kewarganegaraan Republik Indonesia (SKKRI) oleh

pengdailan negeri untuk orang yang mempunyai kewarganegaraan Republik

indonesia menurut Pasal 7 ayat (2), pasal 9, dan Pasal 13 UU No. 62/1958,

serta untuk anak warga negara Indonesia yang orangtuanya memiliki salah

satu formulir yang tersebut dalam Peraturan Pemerintah No. 20/1959 dan

Peraturan Pemerintah No. 5/1961 (berdasarkan SE Menteri Kehakiman No.

DTC/9/11 tanggal 1 Juli 1969).

Catatan : Dengan keluaranya Peraturan Menteri Kehakiman No. JB.3/12

tentang SBKRI tanggal 14 Maret 1978, SKKRI dinyatakan tidak berlaku.

Berbeda dengan 22 bukti kewarganegaraan RI sebelumnya, SKKRI ini juga

diterapkan kepada anak-anak dari orangtua yang sudah berkewarnegaraab

Republik Indonesoa, padahal dalam akta catatan sipil mereka sudah

dinyatakan sebagai warga negara Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

  48

Namun, pada tanggal 14 Maret 1978, Menteri Kehakiman mengeluarkan

Peraturan Menteri Kehakiman No. JB. 3/4/12, yang mengakhiri berlakunya

SKKRI, yang kemudian diganti dengan suatu bukti kewarganegaraan RI, yang

kemudian sering dikenal dengan :

24. Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) untuk warga

negara Indonesia keturunan asing yang telah dewasa, tetapi memiliki bukti

kewarganegaraan. Sepertinya halnya SKKRI, SBKRI ini dalam

pelaksanaannya juga diterapkan kepada orang-orang yang sudah menjadi WNI

sejak kelahiran (Pasal IV Peraturan Penutup UU No. 62/1958 jo. Peraturan

Menteri Kehakiman No. JB.3/4/12).

Dalam buku ini selanjutnya akan dibedakan antara bukti kewarganegaraan RI

seperti yang disebut dari no 1 – 22 dan suatu jenis dokumen kewarganegaraan

RI yang disebut dengan Surat Bukti Kewarganegaraan RI atau SBKRI (no 24)

yang dikritik sebagai dokumen yang diskriminatif dan ”rasis”.

Mereka yang sudah menjadi WNI sejak kelahiran, seperti prinsip yang

ditegaskan oleh Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1947, tidak membutuhkan

bukti kewarganegaraan yang khusus untuk itu. Apabila kemudian dalam

keadaan yang membutuhkan pembuktian, dapat digunakan dokumen-dokumen

otentik lainnya yang sudah ada.

Surat Keputusan Menteri Kehakiman tangal 10 Juli 1992 No. M.02-HL.04.10

mengatur bahwa anak warga negara Indonesia keturunan asing yang

orangtuanya memegang bukti kewarganegaraan Indonesia tidak diwajibkan

Universitas Sumatera Utara

  49

lagi memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).

Mereka dapat membuktikan kewarganegaraan Indonesia dengan :

25. Petikan akta kelahiran untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan

Indonesia karena kelahiran atau anak yang orantuanya memegang SBKRI

(berdasarkan UU No. 62/1958, Surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal

10 Juli 1992 No. M.02-HL.04.10).

26. Kartu tanda penduduk (KTP) untuk mereka yang memperoleh

kewarganegaraan Indonesia karena kelahiran atau anak yang orangtuanya

memegang SBKRI (berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal

10 Juli 1992 No. M.02-HL.04.10).

Meskipun disebut hanya berlaku untuk warga negara keturunan asing, secara

prinsip kedua dokumen tersebut juga valid digunakan oleh setiap warga

negara Indonesia sebagai bukti kewarganegaraan RI apabila dibutuhkan. Dan,

meskipun KTP dipertanyakan legalitasnya sebagai dokumen pembuktian

kewarganegaraan RI disebabkan dikeluarkan oleh camat yang secara institusi

tidak mempunyai kewenangan menentukan kewarganegaraan (Koerniatmanto,

1996 – 126), pemprosesan suatu KTP tentunya harus didasarkan kepada

sumber dari suatu bukti kewarganegaraan RI yang valid.

Universitas Sumatera Utara