Bab II Poposal Penelitian

60
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri yang dapat menyebabkan abses, infeksi luka, dan infeksi invasive ke mukosa. Perannya dapat sebagai agen kausatif ataupun faktor predisposisi dalam berbagai penyakit, seperti pada endokarditis pada pasien kelainan katup jantung dan Angular Chielities yang disebabkan Staphylococcus (Puspita, 2008; Lukman, 2013). Penyakit kulit seperti bisul dan eksim dapat disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus. Meskipun penyakit bisul sering dianggap sebagai penyakit biasa, namun dengan adanya bisul di bagian tubuh manusia, tetap menganggu kesehatan dan aktivitas manusia. Bahkan jika tidak ditangani dengan serius dapat menimbulkan infeksi dan memperparah penyakit bisul tersebut (Darwis et al., 2009). 1

description

dfghj

Transcript of Bab II Poposal Penelitian

Page 1: Bab II Poposal Penelitian

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri yang dapat

menyebabkan abses, infeksi luka, dan infeksi invasive ke mukosa. Perannya dapat

sebagai agen kausatif ataupun faktor predisposisi dalam berbagai penyakit, seperti

pada endokarditis pada pasien kelainan katup jantung dan Angular Chielities yang

disebabkan Staphylococcus (Puspita, 2008; Lukman, 2013).

Penyakit kulit seperti bisul dan eksim dapat disebabkan oleh bakteri

Staphylococcus aureus. Meskipun penyakit bisul sering dianggap sebagai

penyakit biasa, namun dengan adanya bisul di bagian tubuh manusia, tetap

menganggu kesehatan dan aktivitas manusia. Bahkan jika tidak ditangani dengan

serius dapat menimbulkan infeksi dan memperparah penyakit bisul tersebut

(Darwis et al., 2009).

Pemberian antibakteri merupakan salah satu pilihan dalam menangani

penyakit infeksi. Namun penggunaan antibakteri yang tidak terkontrol dapat

mendorong terjadinya perkembangan resistensi terhadap antibakteri yang

diberikan. Adanya resistensi ini dapat menimbulkan banyak masalah dalam

pengobatan penyakit infeksi, sehingga diperlukan usaha untuk mengembangkan

obat tradisional yang dapat membunuh bakteri untuk menghindari terjadinya

resistensi (Ariyanti et al., 2012).

Secara tradisional, sebagian masyarakat Tobelo Halmahera Utara, dalam

pemanfaatan daging ayam kampung sebagai kebutuhan gizi, ternyata mereka juga

1

Page 2: Bab II Poposal Penelitian

memanfaatkan jaringan lemak ayam untuk mengobati penyakit bisul dengan cara

yang tradisional yaitu dengan proses pemanasan sampai menjadi minyak,

kemudian disimpan dan di pergunakan jika diperlukan, dan tidak hanya itu saja

tetapi mereka juga mengunakan untuk mengobati gigitan serangga dan

menghilangkan bekas luka.

Ayam kampung atau sering disebut ayam bukan ras (buras) merupakan

salah satu ternak unggas yang banyak dipelihara terutama di daerah pedesaan,

karena selain dagingnya enak dimakan, ayam kampung juga sangat diminati orang

karena khasiat dan kegunaanya (Wijiastuti et al., 2013).

Berdasarkan analisis profil dan karakteristik lemak hewani oleh Hermanto

tahun 2008 dan 2010, bahwa pada jaringan lemak ayam mengandung asam-asam

lemak tidak jenuh dan asam lemak jenuh dengan angka presentase yang besar

(Hermanto et al., 2008; 2010).

Trigliserida mengandung asam-asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Asam

lemak jenuh meliputi stearat dan palmitat, sedangkan asam-asam lemak tidak

jenuh antara lain oleat, linoleat, dan linolenat. Asam lemak esensial (linoleat, dan

linolenat) merupakan sekelompok senyawa eikosanoid yang mirip hormon, yaitu

prostaglandin, prostasiklin, tromboksan, dan leukotrien. Senyawa-senyawa ini

mengatur tekanan darah, denyut jantung, fungsi kekebalan, rangsangan sistem

saraf, kontraksi otot serta penyembuhan luka (Sartika, 2008; Damongilala, 2009).

Asam lemak tak jenuh digunakan oleh tubuh untuk melawan virus, bakteri dan

protozoa serta mendukung sistem kekebalan (Simopoulo, 2002; Tuminah, 2009;

Utari, 2010).

2

Page 3: Bab II Poposal Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas serta pengalaman empiris keluarga

peneliti selama kurang lebih 10 tahun, yang telah menggunakan minyak ayam

kampung sebagai obat untuk mengobati bisul. Membuat peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian secara mikrobiologi tentang “Uji Aktivitas Antibakteri

Minyak Ayam Kampung (Gallus gallus domesticus) Terhadap Bakteri

Staphylococcus aureus”

1.2. Rumusan Masalah

Apakah minyak ayam kampung memiliki efek antibakteri terhadap bakteri

Staphylococcus aureus.

1.3. Batasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada uji aktivitas antibakteri minyak ayam kampung

terhadap bakteri staphyloccocus aureus.

1.4. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui aktivitas minyak ayam kampung sebagai antibakteri.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis

Dapat mengetahui pengaruh antibakteri minyak ayam kampung terhadap

Staphylococcus aureus.

1.5.2. Manfaat Praktis

Dapat digunakan sebagai dasar penelitian lebih lanjut untuk minyak

hewani lainnya dan pembuktian empiris masyarakat Tobelo, Halmahera

Utara.

3

Page 4: Bab II Poposal Penelitian

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

Berdasarkan analisis profil dan karakteristik lemak hewani oleh Hermanto

tahun 2008 dan 2010, bahwa pada jaringan lemak mengandung asam-asam lemak

tidak jenuh dan asam lemak jenuh dengan angka presentase yang besar (Hermanto

et al., 2008; 2010).

Asam lemak tak jenuh digunakan oleh tubuh untuk melawan virus, bakteri

dan protozoa serta mendukung sistem kekebalan (Tuminah, 2009). Omega-3

PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) sangat essensial untuk pertumbuhan

normal, perkembangan dan pencegahan terhadap gejala gangguan jantung

koroner, hipertensi, kanker, imunitas, dan inflammasi (Lewis et al., 2000;

Simopoulos, 2002; Micinski et al., 2012).

Staphylococcus aureus merupakan bakteri fakultatif anaerob yang

berbentuk bola dengan diameter 1μm yang tersusun dalam bentuk klaster yang

tidak teratur yang menjadi penyebab paling utama infeksi pada manusia. S. aureus

adalah penyebab tersering infeksi pyogenik dan menyebabkan beragam infeksi

yang meliputi bisul, abses, jari septik, stye impetigo dan mata lengket pada

neonates (Tracy, 2008; Lukman, 2013; Hastari, 2012).

Lesi yang ditimbulkan oleh bakteri Staphylococcus aureus dapat dilihat

pada abses lesi ataupun jerawat. Bakteri menginvasi dan berkembang biak dalam

folikel rambut yang menyebabkan kematian sel atau nekrosis pada jaringan

4

Page 5: Bab II Poposal Penelitian

setempat. Selanjutnya diikuti dengan penumpukan sel radang dalam rongga

tersebut. Sehinggga terjadi akumulasi penumpukan pus dalam rongga.

Penumpukan pus ini mengakibatkan terjadinya dorongan terhadap jaringan sekitar

dan terbentuklah dinding-dinding oleh sel-sel sehat sehingga terbentuklah abses.

S. aureus akan bisa menyebar ke bagian tubuh yang lain lewat pembuluh getah

bening dan pembuluh darah, sehingga terdapat juga peradangan dari vena dan

thrombosis (Tracy, 2008; Razak et al., 2013; Lukman, 2013).

2.1.1. Penelitian Terdahulu

1 Hermanto et al., 2008. Profil dan Karakteristik Lemak Hewani (Ayam, Sapi

dan Babi) Hasil Analisa FTIR dan GCMS. Hasilnya asam lemak ayam SFA

33%, PUFA 18%, dan MUFA 46%.

2 Hermant et al., 2010. Analisis Tingkat Kerusakan Lemak Nabati dan Lemak

Hewani Akibat Proses Pemanasan. Hasilnya asam lemak ayam SFA 33,54 %,

MUFA 45,77 %, dan PUFA 18,43 %.

3 Micinski et al., 2012, The Effects Of Bovine Milk Fat On Human Health.

Polish Annals of Medicine. 19 (2): 170-175.

4 Holman et al., 1980, Essential fatty acid deficiency in malnourished children.

The American Journal of Clinical Nutrition. pp. 1534- 1539.

5 Utari, D. M. 2010. Kandungan Asam Lemak, Zink, Dan Copper Pada Tempe,

Bagaimana Potensinya Untuk Mencegah Penyakit Degeneratif? Hasilnya

Oleic acid tergolong lemak bebas cis yang bermanfaat bagi tubuh yang jika

5

Page 6: Bab II Poposal Penelitian

dikonsumsi sebagai pengganti lemak jenuh (SFA) akan menurunkan kolesterol

darah.

6 Simopoulos, A. P, 2002, The importance of the ratio of omega-6/omega-3

essential fatty acids. Biomed Pharmacother. pp 365–379.

2.2. Staphylococcus aureus

Bakteri pada spesies S. aureus merupakan bakteri yang berasal dari kata

“staphele” dalam bahasa Yunani yang berarti anggur dan kata “aureus” dalam

bahasa latin berarti emas. Nama tersebut diberikan berdasarkan atas bentuk sel-sel

bakteri tersebut jika dilihat di bawah mikroskop dan warna keemasan yang

terbentuk jika bakteri tersebut ditumbuhkan dalam suatu media pertumbuhan. S.

aureus termasuk family Micrococcaceae, kecuali pada beberapa strain. Beberapa

diantaranya tergolong flora normal dalam kulit, orofaring, dan selaput mukosa

manusia dan sering menyebabkan abses dan berbagai infeksi lainnya (Lukman,

2013).

2.2.1. Taksonomi

Klasifikasi Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut :Kingdom :

Monera, Filum : Protophyta, Class : Schizomycetes, Ordo : Eubacteriales,

Family : Micrococcaceae, Genus : Staphylococcus, Spesies : Staphylococcus

aureus (Lukman, 2013).

6

Page 7: Bab II Poposal Penelitian

Gambar 1. Bakteri Staphylococcus Aureus (Lukman, 2013).

Genus Staphylococcus, Micrococcus, Stomacoccus, dan Planococcus

adalah anggota dari family Micrococceae. Genus Staphylococcus terdiri dari lebih

20 spesies, yang biasanya diklasifikasikan sebagai :

a. Staphylococcus yang menghasilkan koagulase : misalnya Staphylococcus

aureus, yang merupakan pathogen utama bagi manusia dan menjadi

penyebab banyak penyakit infeksi.

b. Staphylococcus yang tidak menghasilkan koagulase : misalnya

Staphylococcus epidermis, yang merupakan flora normal kulit namun

sering menjadi penyebab infeksi nosokomial, dan Staphylococcus

saprophyticus, yang banyak menyebabkan infeksi saluran kemih.

c. Staphylococcus lain : tidak akan dibahas, karena hanya menjadi penyebab

infeksi pada hewan (Lukman, 2013).

2.2.2. Karakteristik Dan Morfologi Staphylococcus aureus

Staphylococcus berbentuk bulat dengan diameter kira-kira 1μm, yang

tersusun dalam kelompok secara tidak beraturan. Biakan pada medium cair bisa

7

Page 8: Bab II Poposal Penelitian

juga terlihat sebagai kokus tunggal, berpasangan, berempat, atau membentuk

rantai pendek (Lukaman, 2013).

Pada pembiakan makroorganisme yang sudah berkembang, sel-sel dari S.

aureus serempak merupakan Gram positif dan bentuknya teratur dan memiliki

diameter 0,5-1,5 μm. Pada pembiakan terdahulu, pada lesi-lesi yang terurai, dan

pada beberapa antibiotik, sel-sel tersebut terkadang menjadi lebih bervariasi

dalam ukurannya dan beberapa sel tersebut kehilangan Gram positifnya (Lukman,

2013; Lalitha el al., 1991).

Seperti Staphylococcus lain maka S. aureus bisa tumbuh dengan cepat pada

sebagian besar medium dalam situasi aerobik. Mikroorganisme ini tumbuh lebih

cepat pada 37°C, tapi pembentukan pigmen lebih baik pada temperatur kamar

yaitu 20°C-25°C. Pada lempeng agar koloni S. aureus berbentuk bulat, licin,

cembung dan mengkilat. Koloni Staphyloccus aureus berwarna abu-abu sampai

kuning tua keemasan. Pigmen dari S. aureus tidak berbentuk pada keadaan

anaerob atau bila tumbuh pada medium cair. Bermacam-macam hemolisis bisa

disebabkan oleh S. aureus dan spesies lainnya (Lukman, 2013; Dewi, 2013).

2.2.3. Struktur Antigen Staphylococcus aureus

Dinding sel Staphylococcus mengandung polisakarida dan protein yang

bersifat antigenik. Bagian keras dari dinding sel (rangka luarnya) mengandung

peptidoglikan, yaitu suatu polimer polisakarida. Peptidoglikan ini bisa rusak oleh

asam yang kuat atau oleh lisosom. Peptidoglikan ini penting pada pathogenesis

karena :

8

Page 9: Bab II Poposal Penelitian

a. Dapat merangsang monosit untuk menghasilkan interleukin-1 (pirogen

endogen) dan antibody opsonik

b. Bisa menarik leukosit polimorfonuklear

c. Mempunyai efek seperti endotoksin, sehingga menyebabkan terjadinya

fenomena Shwartzman local

d. Bisa mengaktifkan komplemen (Dewi, 2013).

Peptidoglikan ini terikat pada asam tekoat, suatu polimer dari gliserol atau

fosfat ribitol. Asam tekoat ini bersifat antigen, dimana antibodi terhadap asam

tekoat ini bisa dideteksi dengan metode difusi agar pada penderita endokarditis

karena S. aureus (Dewi, 2013).

Dinding sel strain S. aureus juga mengandung protein A, yang bisa

mengikat bagian Fe dari molekul Ig G. Bagian dari Fe Ig G tadi bebas untuk

mengikat antigen yang spesifik. Karena itu protein A ini menjadi satu reagen

yang penting dalam teknologi immunologi dan diagnostik (Lukman, 2013).

2.2.4. Faktor-Faktor Patogen Dari Staphylococcus aureus

Mekanisme dari S. aureus dalam menyebabkan penyakit merupakan

multifaktor, melibatkan toksin, enzim, dan komponen seluler. Patogenitasnya

merupakan efek gabungan dari berbagai macam metabolit yang dihasilkannya.

Kuman pathogen (S. aureus) bersifat invasif, penyebab hemolisis, membentuk

koagulase, mencairkan gelatin, membentuk pigmen kuning emas (Dewi, 2013;

Lalitha el al., 1991).

9

Page 10: Bab II Poposal Penelitian

a. Enterotoxin A, B, C, D, E, dan H menyebabkan gejala GI

(gastrointestinal) akut yang dihubungkan dengan racun pada makanan.

Enterotoxin resisten pada enzim dalam traktus GI.

b. Exfoliatin atau epidermiolitik toxin merupakan agen yang bertanggung

jawab untuk memproduksi Staphylococcal scaled syndrome (ritter’s

disease) pada jaringan baru untuk toxin epidermal necrolysis pada orang

tua. Toksin ini merupakan enzim proteolitik yang memisahkan epidermis

pada lapisan granuler.

c. Toxic shock syndrome (TSST) memberikan banyak sifat biologis bersama

dengan enterotoxin yang bertanggung jawab dalam pembentukan supra

antigen keduanya hanya dapat menstimulasi sebanyak 10% dari sel T

pada manusia. Ketika antigen normal hanya dapat menstimulasi sekitar

1/1.000.000 sel T. Intensitas respon imun ini meningkat produksi

interleukin 1 dan 2. Faktor nekrosis tumor dan interferon TSST adalah

gen yang berperan dalam memproduksi syndrome toxic shyock.

d. Alpha toxin merupakan eksotoksin yang letal pada banyak sel dalam

konsentrasi yang rendah. Alpha toxin menghemolisis sel darah merah,

menghancurkan platelet dan menyebabkan nekrosis pada kulit.

e. Leukosidin letal pada neutrophils melalui penghancuran membran sedikit

demi sedikit

f. Koagulase mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Dalam proses ini

koagulasi melindungi Staphylococcus dari mekanisme pertahanan tubuh

dan antibiotik. Selain itu, koagulasi positif stahylococcus tumbuh dengan

10

Page 11: Bab II Poposal Penelitian

baik pada serum normal manusia. Sementara koagulasi negatif

Staphylococcus tidak.

g. Protein A mengikat setengah Fe dari Ig G 1 dan 2 dan menghalangi

opsonisasi dari mediasi antibody.

h. Kapsul mayoritas dari S. aureus diisolasi dari specimen klinis yang

dimiliki kapsul polisakarida yang dapat berinteferensi yang mudah

bercampur dengan fagositosis (Dewi, 2013).

2.2.5. Penyakit-Penyakit Yang Disebabkan Oleh Staphylococcus aureus

Menurut Lukman (2013) Penyakit-penyakit yang bisa disebabkan oleh S.

aureus adalah seperti yang tercantum di bawah ini:

a. Infeksi Superficial

Infeksi pada bagian superficial tubuh adalah infeksi Staphylococcus

yang paling sering ditemukan. Gejala-gejala yang khas dari penyakit-

penyakit tersebut adalah pembentukan nanah yang banyak, nekrosis jaringan

setempat dan pembentukan abses yang penuh nanah.

1. Pyoderma impetigo, penyakit kulit superficial yang sangat menular.

Penyakit ini disebabkan oleh S. epidermis, juga bisa oleh

Pseudomonas aeroginosa.

2. Follikulitis furunkel, terjadi akibat infeksi melalui follikel rambut.

Follikulitis adalah infeksi yang terbatas yang disebabkan oleh S.

aureus, S. epidermis, juga bisa oleh Pseudomonas aeroginosa.

Furunkel adalah infeksi yang lebih luas dan membutuhkan drainese.

11

Page 12: Bab II Poposal Penelitian

3. Abses dan karbunkel adalah infeksi yang lebih serius. Karbunkel adalah

abses yang besar yang mengenai follikel rambut, kelenjar sebasea dan

jaringan sekitarnya, biasanya terdapat pada tengkuk. Infeksi ini bisa

berkembang menjadi bakteremia. Karena harus segera ditindaki

dengan tindakan operasi pembersihan jaringan rusak dan pemberian

antibiotik.

b. Infeksi Jaringan Yang Dalam

1. Osteomyelitis, S. aureus yang paling sering ditemukan sebagai

penyebab osteomylitis, terutama pada anak-anak. Mikroba ini

biasanya sampai ke tulang karena penyebab infeksi secara hematogen

dari suatu infeksi di tempat lain.

2. Pneunomia, sering disertai terjadinya abses paru-paru, umumnya

penderita dengan daya tahan tubuh yang rendah. Terjadi biasanya

sebagai komplikasi virus influenza, setelah penderita menghirup benda

asing.

3. Endokarditis akut, yang khas dengan adanya kolonisasi bakteri yang

berkembang biak pada katup jantung. Hal ini bisa terjadi pada

pemakaian narkoba secara intravenous, atau setelah operasi katup

jantung.

4. Arthritis, bakterimia, septikemia, dan abses organ dalam, misalnya

abses otak, ginjal, paru-paru, bisa disebabkan oleh S. aureus, S.

epidermis, dan S. aprophyticus makin banyak diisolasi dari penderita

infeksi saluran kemih dan bakterimia (Lukman, 2013).

12

Page 13: Bab II Poposal Penelitian

c. Penyakit-Penyakit akibat toksin Staphylococcus aureus

1. Scarlet skin syndrome, satu manifestasi kulit dari infeksi strain S.

aureus yang menghasilkan toksin eksfoliatif. Penyakit ini banyak

menyerang anak-anak balita. Nampak eksfoliasi kulit, menyebabkan

terjadi sejumlah besar bulla-bulla yang luas ditempat yang jauh dari

lokasi infeksi. Bulla ini mudah pecah, dan menyebabkan dermis/ kulit

terbuka. Penyakit ini bisa juga terjadi dalam bentuk yang lebih ringan,

misalnya terjadi impetigo bullosa dan staphylococcal scarlet fever.

Scarlet fever ditandai dengan rash yang eritematous dan non-

deskuamatif, sama dengan yang terjadi pada scarlet fever pada infeksi

Streptococcus. Bedanya pada staphylococcal scarlet fever ini kelainan

tidak mengenai lidah dan palatum (Lukman, 2013).

2. Keracunan makanan karena Staphylococcus, ditandai dengan muntah

yang eksplosif dan diare, yang terjadi 1-5 jam setelah memakan

makanan yang terkontaminasi. Gejala ini disebabkan oleh enterotoksin

yang dihasilkan oleh Staphylococcus sama dengan makanan tersebut.

Penyakit ini bisa sembuh sendiri, dan dengan penambahan cairan bisa

sembuh dalam 24-48 jam.

3. Toxid shock syndrome (TSS), yang secara klinik merupakan satu

penyakit demam yang bisa berkembang menjadi kegagalan salah satu

organ vital dan menyebabkan kematian. Sindroma ini ditandai oleh

muntah-muntah, diare, rash eritematous pada kulit, nyeri otot dan

13

Page 14: Bab II Poposal Penelitian

hipotensi. TSS disebabkan oleh toksin TSST-1 atau salah satu dari

eksotoksin yang pirogenik (Lukman, 2013).

2.3. Ayam Kampung (Gallus gallus domesticus)

Ayam lokal Indonesia merupakan ayam yang berkembang dimulai sejak

proses domestikasi dimulai, sehingga ayam lokal dikenal sebagai ayam asli atau

native chicken. Ayam asli Indonesia secara genetik mempunyai clade berbeda

dengan ayam lain di Asia sehingga kepulauan nusantara diyakini sebagai salah

satu pusat domestikasi ayam di Asia (Sulandari et al., 2007). Sejak jaman dahulu

hubungan ayam asli Indonesia dengan masyarakat sangat erat, hal tersebut terlihat

dari keberadaan ayam yang hampir dimiliki oleh setiap keluarga di pedesaan.

Ayam asli Indonesia mempunyai keragaman sangat besar dan bervariasi dalam

warna bulu, kulit, paruh, bentuk tubuh, penampilan produksi, pertumbuhan, dan

reproduksinya (Zein dan Sulandari, 2009).

Kepulauan Nusantara juga memiliki plasma nutfah berupa hidupan liar

ayam, yaitu Gallus gallus (Red jungle fowl) terdiri subspesies G. g. spadiceus

(Burmese red jungle fowl) berada di Sumatera bagian utara, G. g. bankiva (Javan

red jungle fowl) distribusinya meliputi Sumatera, Jawa, dan Bali, serta G. g.

gallus (Cochin-Chinese atau Indochina red jungle fowl) sebarannya meliputi

Sumatera dan Jawa serta sukses introduksi di Bali dan Sulawesi. Ayam hutan

merah (G. g. gallus) dari kepulauan nusantara juga sukses introduksi di Filipina,

Micronesia, Melanesia, dan Polynesia. Selain itu, di Kepulauan Nusantara juga

terdapat G. varius (Green jungle fowl). Distribusi G. varius meliputi dataran

14

Page 15: Bab II Poposal Penelitian

rendah hingga ketinggian 2400m di atas permukaan laut di Jawa, Madura,

Bawean, Kangean, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, dan Alor serta pulau-pulau

kecil disekitarnya (Swenso, 1984).

2.3.1. Klasifikasi Ayam Kampung (Gallus gallus)

Ayam kampung termasuk dalam spesies Gallus gallus tetapi terkadang

ditujukan kepada Gallus domesticus. Klasifikasi ilmiah, Kerajaan: Animalia,

Filum: Chordata, Kelas: Aves, Ordo: Galliformes, Famili: Phasianidae, Genus:

Gallus, Spesies:G. gallus, Nama trinomial: Gallus gallus domesticus (Ismail,

2014).

Gambar 2. Ayam Kampung (Gallus gallus domesticus) (www.demibahagia.SearchbyimageIndex of /wp-content/uploads/2013/05)

2.3.2. Kandungan Asam Lemak Ayam

Tabel 1. Sifat Fisikokimia Hasil PengamatanParameter Lemak AyamBobot jenis (g/mL) 0,8769Indeks bias 1,461Titik leleh 34,5Bilangan iod 62,81Bilangan penyabunan 259,77

(Hermanto et al., 2008).

15

Page 16: Bab II Poposal Penelitian

Tabel 2. Hasil Analisa GCMS Jumlah Relatif Asam Lemak ( % )

Jenis Asam Lemak Presentase Asam Lemak (%)Asam Kaproat (C6:0) TdAsam Kaprrilat (C8:0) TdAsam Kaprat (C10:0) TdAsam Laurat (C12:0) TdAsam Miristat (C14:0) 0,74Asam Palmitoleat (C16:1) 7,01Asam Palmitat (C16:0) 27,24Asam Margarat (C17:0) TdAsam Linolenat (C18:3) 1,2Asam Linoleat (C18:2) 16,36Asam Oleat (C18:1) 38,35Asam Stearat (C18:1) 5,56Asam Arakidonak (C20:4) 0,87Asam Arakidat (C20:1) 0,41Asam Arakhat (C20:0) TdAsam Behenat (C24:0) TdJumlah asam lemak jenuh (SFA) 33,54Jumlah asam lemak jenuh tunggal 45,77Jumlah asam lemak jenuh ganda 18,43Total MUFA + PUFA 64,20Rasio asam lemak tak jenuh dan jenuh 1,91(Hermanto et al., 2010).

2.3.3. Manfaat Asam Lemak

Asam lemak esensial adalah asam lemak yang dibutuhkan oleh tubuh untuk

pertumbuhan dan fungsi normal semua jaringan yang tidak dapat disintesis oleh

tubuh. Termasuk dalam jenis ini adalah asam alfa linoleat (omega 6) dan asam

alfa linolenat (omega 3). Turunan asam lemak yang berasal dari asam lemak

esensial adalah asam arakidonat dari asam linoleat, EPA (eikosapen- taenoat),

dan DHA (dokosaheksaenoat) dari asam linolenat (Sartika, 2008).

Asam lemak esensial merupakan prekursor sekelompok senyawa

eikosanoid yang mirip hormon, yaitu prostaglandin, prostasiklin, tromboksan,

16

Page 17: Bab II Poposal Penelitian

dan leukotrien. Senyawa-senyawa ini mengatur tekanan darah, denyut jantung,

fungsi kekebalan, rangsangan sistem saraf, kontraksi otot serta penyembuhan luka

(Simopoulo, 2002; Sartika, 2008; Damongilala, 2009). Asam lemak tak jenuh

digunakan oleh tubuh untuk melawan virus, bakteri dan protozoa serta

mendukung sistem kekebalan (Tuminah, 2009; Utari, 2010; Micinski et al.,2012 ).

Khasiat asam linoleat baik bagi kesehatan tubuh karena asam lemak ini

bermanfaat untuk mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan, gangguan

fertilitas, kerapuhan sel darah merah, dan gangguan pada sistem kekebalan tubuh

(Khomsan, 2004). Dewasa ini banyak ahli nutrisi tertarik dengan khasiat asam

lemak linoleat dalam bentuk terkonjugasi yang disebut CLA (conjugated linoleic

acid) karena terbukti penting bagi kesehatan, yakni dapat menghambat

pertumbuhan kanker, mengurangi risiko penyakit jantung dan diabetes,

menstimulasi fungsi kekebalan, serta merupakan faktor pertumbuhan (Purbowaty

et al., 2005; Sartika, 2008 ).

Peran lain dari linoleic dan linolenic acid adalah untuk kekuatan membran

sel dan mencegah kerusakan jaringan kulit, membantu transport dan metabolism

kolesterol sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol darah, mengatur produksi

enzim yang dibutuhkan untuk sintesa asam lemak non esensial dalam hati,

meningkatkan imunitas dan mencegah kerentanan terhadap infeksi, merupakan

prekursor komponen aktif prostaglandin yang dibutuhkan dalam semua jaringan

tubuh dan aktivitasnya mempengaruhi tekanan darah, pembekuan darah dan

fungsi jantung. Elogasi dan desaturasi, di dalam tubuh, linoleic acid dan linolenic

acid tidak hanya dibutuhkan untuk semua membran sel tetapi juga mengalami

17

Page 18: Bab II Poposal Penelitian

elongasi dan desaturasi menjadi rantai yang lebih panjang dan merupakan

prekursor komponen eicosanoid yang menyerupai hormone, prostaglandin dan

leukotrienes. Linoleic acid akan dikonversi menjadi arachidonic acid sementara

linolenic akan dikonversi menjadi eicosapentaenoic acid (EPA) dan

decosahexaenoic acid (DHA). EPA dan DHA dapat mencegah timbulnya platelet

darah. Platelet dalam darah dalam jumlah besar akan mengganggu aliran darah

yang merupakan faktor utama penyebab serangan jantung dan stroke. EPA dan

DHA juga dapat memperbaiki trigliserida darah pada individu dengan

hipertrigliserida (S'Anchez et al., 2008; Utari, 2010).

Asam lemak oleat juga merupakan asam lemak tak jenuh tetapi berikatan

rangkap tunggal yang disebut MUFA (mono unsaturated fatty acid). Asam lemak

oleat dikenal juga sebagai asam lemak omega-9. Asam lemak ini memiliki daya

perlindungan tubuh yang mampu menurunkan kadar kolesterol LDL dan

meningkatkan kadar kolesterol HDL (Apriadji, 2003). Sifat Fisika asam oleat

berat molekul : 282 gr/mol. Titik didih: 3600. Titik lebur: 16,30. Spesifik gravity

: 0,895. Berwarna kuning pucat atau kuning kecoklatan. Sifak Kimia asam oleat

Tidak larut dalam air larut dalam methanol (Utari, 2010).

Asam lemak palmitat dan stearat adalah asam lemak jenuh SFA. Palmitat

merupakan bahan dasar untuk pembentukan asam lemak lainnya, karena

merupakan asam lemak terpanjang atom C-nya. Asam lemak palmitat selanjutnya

dapat mengalami perpanjangan rantai dalam RE menjadi asam lemak rantai

panjang lainnya. Kadar asam palmitat yang tinggi tidak diinginkan konsumen

karena bersifat hiperlipidemik dan dapat meningkatkan kolesterol darah,

18

Page 19: Bab II Poposal Penelitian

sedangkan peningkatkan proporsi asam stearat dalam daging menguntungkan

karena asam lemak ini bersifat hipokolesteremik pada manusia (Legowo, 1999).

2.4. Lemak

Lemak adalah salah satu komponen makanan multifungsi yang sangat

penting untuk kehidupan. Selain memiliki sisi positif, lemak juga mempunyai sisi

negatif terhadap kesehatan. Fungsi lemak dalam tubuh antara lain sebagai sumber

energi, bagian dari membran sel, mediator aktivitas biologis antar sel, isolator

dalam menjaga keseimbangan suhu tubuh, pelindung organ-organ tubuh serta

pelarut vitamin A, D, E, dan K. Penambahan lemak dalam makanan memberikan

efek rasa lezat dan tekstur makanan menjadi lembut serta gurih. Di dalam tubuh,

lemak menghasilkan energi dua kali lebih banyak dibandingkan dengan protein

dan karbohidrat, yaitu 9 Kkal/gram lemak yang dikonsumsi. Komponen dasar

lemak adalah asam lemak dan gliserol yang diperoleh dari hasil hidrolisis lemak,

minyak maupun senyawa lipid lainnya. Asam lemak pembentuk lemak dapat

dibedakan berdasarkan jumlah atom C, ada atau tidaknya ikatan rangkap, jumlah

ikatan rangkap serta letak ikatan rangkap (Sartika, 2008).

2.5. Asam Lemak

Asam lemak adalah asam organik berantai panjang yang memiliki atom

karbon dari 4 sampai 24. Asam lemak memiliki gugus karboksil tunggal dan ekor

hidrokarbon nonpolar yang panjang, yang menyebabkan kebanyakan lipida

bersifat tidak larut dalam air dan tampak berminyak atau berlemak. Asam lemak

19

Page 20: Bab II Poposal Penelitian

tidak terdapat secara bebas atau berbentuk tunggal di dalam sel atau jaringan,

tetapi terdapat pada bentuk yang terikat secara kovalen pada berbagai kelas lipida

yang berbeda. Asam lemak bisa dilepaskan pada ikatan ini oleh hidrolisis kimia

atau enzimatik. Banyak jenis-jenis asam lemak yang telah diisolasi dari berbagai

lipida dari berbagai spesies. Berdasarkan struktur kimianya, asam lemak

dibedakan menjadi asam lemak jenuh (saturated fatty acid/SFA) yaitu asam

lemak yang tidak memiliki ikatan rangkap. Sedangkan asam lemak yang memiliki

ikatan rangkap disebut sebagai asam lemak tidak jenuh (unsaturated fatty acids),

dibedakan menjadi (MUFA) memiliki 1 (satu) ikatan rangkap, dan (PUFA)

dengan 1 atau lebih ikatan rangkap (Sartika, 2008).

2.5.1. Sintesis Asam Lemak

Metabolisme asam lemak intraseluler meliputi beberapa reaksi yang

diantaranya adalah oksidasi asam lemak dan sintesis asam lemaknya. Oksidasi

asam lemak bertujuan menghasilkan energi untuk menunjang aktivitas fisiologis.

Pada sintesis asam lemak dikenal ada 2 cara, yaitu sistem mitokondria dan sistem

ekstra-mitokondria (sistem sitoplasma). Sistem mitokondria merupakan sistem

untuk memperpanjang atau memperpendek rantai asam lemak yang sudah ada,

atau dengan kata lain untuk konversi satu asam lemak ke jenis asam lemak yang

lain. Umumnya untuk mensintesis asam lemak tidak jenuh dengan cara

memperpanjang rantai asam lemak yang sudah ada (elongasi) disertai desaturasi.

Sedangkan sistem ekstra-mitokondria pada jaringan lemak digunakan untuk

20

Page 21: Bab II Poposal Penelitian

menimbun kelebihan kalori sebagai cadangan kalori yang dapat digunakan setiap

saat (Mudawamah, 2008).

2.5.2. Klasifikasi Asam Lemak

1. Panjang rantai karbon

a. Rantai pendek (C2—C6)

b. Rantai sedang (C8—C12)

c. Rantai panjang (C 14—C24)

2. Derajat Kejenuhan

a. Asam Lemak Jenuh (SFA/ Saturated Fatty Acid)

Gambar 3. Saturated Faty Acid (Sartika, 2008).

Asam Lemak Jenuh adalah asam lemak yang tidak memiliki ikatan

rangkap pada atom karbon. Ini berarti asam lemak jenuh tidak peka

terhadap oksidasi dan pembentukan radikal bebas seperti halnya asam

lemak tidak jenuh. Efek dominan dari asam lemak jenuh adalah

peningkatan kadar kolesterol total rantai hidrokarbonnya tidak

mempunyai ikatan rangkap, Contoh : Asam Stearat (18:0) (Tuminah,

2009).

b. Asam Lemak Tak Jenuh Tunggal (MonoUnsaturated Fatty Acid)

21

Page 22: Bab II Poposal Penelitian

Gambar 4. MonoUnsaturated Fatty Acid/ MUFA (Sartika, 2008).

Asam lemak ini tergolong dalam asam lemak rantai panjang

(LCFA). Asam lemak tak jenuh berwujud cairan pada temperatur kamar

dengan derajat kekentalan yang berbeda sesuai dengan derajat ketidak

jenuhan yang dimiliki oleh asam lemak. Asam lemak tak jenuh dengan

jumlah ikatan rangkap yang banyak memiliki nilai titik didih yang

rendah sehingga asam lemak tak jenuh memiliki kekentalan dan titik

didih yang kecil dibandingkan dengan asam lemak jenuh dengan jumlah

rantai yang sama. Salah satu jenis MUFA adalah omega-9 (Oleat),

memiliki sifat lebih stabil dan lebih baik perannya dibandingkan PUFA

(Sartika, 2008; Tuminah 2009).

c. Asam Lemak Tak Jenuh Jamak (PolyUnsaturated Fatty Acid)

Gambar 5. PolyUnsaturated Fatty Acid/ PUFA (Sartika, 2008).

Asam lemak yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap,

bersifat cair pada suhu kamar bahkan tetap cair pada suhu dingin, karena

titik lelehnya lebih rendah dibandingkan dengan MUFA atau SFA. Asam

lemak ini banyak ditemukan pada minyak ikan dan nabati seperti, jagung

dan biji matahari. Sumber alami PUFA yang penting bagi kesehatan

adalah kacang-kacangan dan biji-bijian. Contoh PUFA adalah asam

22

Page 23: Bab II Poposal Penelitian

linoleat (omega-6), dan omega-3, tergolong, rantai hidrokarbonnya

mempunyai 2 (dua) atau lebih ikatan rangkap, ditemukan pada minyak

nabati/sayur dan minyak ikan. PUFA (asam lemak arakhidonat, linoleat

dan linolenat) antara lain berperan penting dalam transpor dan

metabolisme lemak, fungsi imun, mempertahankan fungsi dan integritas

membran sel. Asam lemak omega- 3 dapat membersihkan plasma dari

lipoprotein kilomikron, serta menurunkan produksi trigliserida dan

apolipoprotein β di dalam hati. (Elswyk et al., 1994; S'Anchez et al.,

2008).

2.6. Mekanisme Kerja Antibakteri

Aktivitas mikroorganisme dapat dikendalikan dengan penghambatan secara

fisik maupun kimia. Bahan antimikroba adalah penghambat mikroorganisme

secara kimia yang menggangu aktivitas metabolisme mikroba. Antibakteri adalah

zat yang menghambat pertumbuhan bakteri. Berdasarkan cara kerjanya antibakteri

dibedakan menjadi bakterisidal dan bakteriostatik. Bakteriostatik adalah zat yang

bekerja menghambat pertumbuhan bakteri sedangkan bakterisidal adalah zat yang

bekerja mematikan bakteri. Beberapa zat antibakteri bersifat bakteriostatik pada

konsentrasi rendah dan bersifat bakterisidal pada konsentrasi tinggi. Mekanisme

kerja antibakteri secara umum adalah sebagai berikut : (Karadi et al., 2011;

Kalpana et al., 2012; Lalitha et al., 1991).

a. Mengganggu sintesis dinding sel

23

Page 24: Bab II Poposal Penelitian

Sintesis dinding sel bakteri dapat diganggu zat antibakteri, sehingga

dinding sel yang terbentuk menjadi tidak sempurna dan tidak tahan

terhadap tekanan osmotis, sehingga menyebabkan pecahnya sel (Lukman,

2013).

b. Menggangu sintesis membran sel

Sintesis molekul lipoprotein membran sel bakteri dapat diganggu zat

antibakteri, sehingga membran menjadi lebih permeabel yang

menyebabkan keluarnya zat – zat penting dari sel.

c. Menggangu sintesis protein sel

Zat antibakteri dapat berikatan dengan sub unit ribosom bakteri,

sehingga menghambat sintesis asam-asam amino dan menghasilkan

protein yang inaktif.

d. Mengganggu sintesis asam nukleat

Kelangsungan hidup sel sangat tergantung pada molekul-molekul protein

dan asam nukleat. Hal ini berarti bahwa gangguan apapun yang terjadi

pada pembentukan atau fungsi zat-zat tersebut dapat mendenaturasi

protein dan asam nukleat dapat merusak sel tanpa dapat diperbaiki lebih

lanjut (Lukman, 2013).

2.6.1. Uji Kepekaan Antibakteri

Uji kepekaan antibakteri salah satunya dipengaruhi oleh media ,media

dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya:

1) Keasaman, keasaman media agar berkisar antara 7,2-7,4 pada temperatur

ruangan. Keasaman ini penting diperhatikan karena akan mempengaruhi

24

Page 25: Bab II Poposal Penelitian

hasil tes kepekaan antibakteri terhadap bakteri.

2) Efek dari timidin atau timin, media yang mengandung banyak timindin atau

timin dapat mengurangi zona hambat, media Muller Hinton mempunyai

kadar timidin yang rendah sehingga dapat digunakan sebagai media yang

baik untuk uji kepekaan antibiotik (Lukman, 2013; Hasibuan et al., 2013;

Lalitha et al., 1991).

2.6.2. Uji Keampuhan Bahan Antimikroba

MIC (Minimun Inhibitory Concentration) adalah konsentrasi terendah

bahan antimicrobial yang menghambat pertumbuhan. Konsentrasi terendah ini

dapat ditentukan dengan menggunakan pengenceran tabung. MIC merupakan

petunjuk konsentrasi antibiotik yang mampu menghambat pertumbuhan

mikroorganisme dan juga memberikan petunjuk mengenai dosis yang diperlukan

dalam pengobatan penyakit. MIC dapat pula ditentukan dengan menggunakan

satu konsentrasi antibiotik dan membandingkannya dengan kecepatan

pertumbuhan mikroorganisme dalam tabung kontrol dan tabung yang berisi

antibiotik (Lalitha et al., 1991; Lay, 1994).

2.7. Kerangaka Pemikiran (konseptual) Penelitian

25

Pengalaman empiris masyarakat mengobati bisul dengan menggunakan lemak

ayam kampung yang di sangrai

Ada potensi lemak ayam kampung

sebagai pengobatan

HipotesaKandungan asam lemak yang terdapat dalam jaringan lemak ayam kampung yang memiliki

Page 26: Bab II Poposal Penelitian

konsep pemikiran menjelaskan tentang:

Pengalaman empiris masyarakat Halmahera Utara Kecamatan Tobelo, yang

memanfaatkan ayam kampung bukan hanya pada dagingnya sebagai sumber

nutrisi, tetapi mereka juga menggunakan jaringan lemak ayam kampung sebagai

pengobatan, yaitu untuk mengobatai bisul dan ini berlangsung kurang lebih 10

tahun. Sehingga saya melihat bahwa ada potensi lemak ayam kampung yang

harus dilakukan reserch penelitian secara mikrobiologi. Hipotesa saya yaitu

kandungan asam lemak yang terkandung dalam jaringan lemak ayam kampung.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen laboratorium.

26

HipotesaKandungan asam lemak yang terdapat dalam jaringan lemak ayam kampung yang memiliki

Page 27: Bab II Poposal Penelitian

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli 2015 di Laboratorium

Mikrobiologi BTKL (Balai Teknik Kesehatan Lingkungan) Kelas 1 Manado.

3.3. Alat dan Bahan

3.3.1. Alat

1. Autoklaf

2. Batang pengaduk

3. Beker glass

4. Bunsen

5. Cawan petri

6. Gelas ukur

7. Inkubator

8. Neraca analitik

9. Pipet volum

10. Tabung reaksi

11. LAF

12. Kertas cakram

13. Jangka sorong

14. Labu erlenmeyer

15. Ose bulat

16. Pinset

17. Pisau

18. Oven

3.3.2. Bahan

Lemak ayam kampung, larutan Na CMC 0,1%, MHA, ……

Aluminium voil, Nutrient Agar, NaCl, Aquades, Handscoen, Kapas,

Kertas label, Masker, dan Biakan Staphylococcus aureus dari

Laboratorium Mikrobiologi BTKL Kelas 1 Manado.

27

Page 28: Bab II Poposal Penelitian

3.4. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap

dengan 5 perlakuan konsentrasi minyak ayam kampung sebagai berikut:

A = Antibiotik, B = 5%, C = 10%, D = 15%, E= 20% (v/v). Masing-

masing perlakuan dilakukan 3 kali pengulangan sehingga di peroleh lima

belas (15) unit.

Tabel 3. Rancangan Hasil Pegukuran Perluasan Zona Inhibisi

Replikasi Konsentrasi satuan (mm)Kontrol

( + )

5% 10% 15% 20% Antibiotik

I

II

II

Rata-rata

3.4.1. Kerangka Analisis

28

Analisis aktivitas minyak ayam kampung

Data hasil analisis laboratorium secara statistik menggunakan metode One way anova (analisa varians satu arah) dan dilanjutkan dengan uji Duncan.

Didukung Oleh Teori1. Hermanto et al., 2008. Profil dan

Karakteristik Lemak Hewani (Ayam, Sapi dan Babi) Hasil Analisa FTIR dan GCMS. Hasilnya asam lemak ayam SFA 33%, PUFA 18%, dan MUFA 46%.

2. Sublette et al., 2006, Omega-3 Polyunsaturated Essential Fatty Acid Status as a Predictor of Future Suicide Risk. Am J Psychiatry. pp 1100–1102.

3. Holman et al., 1980, Essential fatty acid deficiency in malnourished children. The American Journal of Clinical Nutrition. pp. 1534- 1539.

4. Utari, D. M. 2010. Kandungan Asam Lemak, Zink, Dan Copper Pada Tempe, Bagaimana Potensinya Untuk Mencegah Penyakit Degeneratif?. Hasilnya Oleic

Page 29: Bab II Poposal Penelitian

Kerangka analisis diatas menjelaskan tentang:

1. Analisis Aktivitas minyak ayam kampung dari pengalaman empiris dalam

mengobati bisul.

2. Data hasil analisis akan menggambarkan bagaimana pengaruh aktivitas

sampel minyak ayam kampung dengan berbagai konsentrasi yang dapat

menghambat bakteri penyebab infeksi bisul.

3. Kesimpulan adalah tahap akhir dalam menentukan seberapa aktif minyak

ayam kampung dengan berbagai konsentrasi dalam menghambat bakteri S.

aureus penyebab penyakit infeksi bisul.

3.4.2. Kerangka Oprasional Penelitian

29

Persiapan PenelitianPersiapan Tempat, Alat, dan Bahan

Ide Studi Penelitian

PermasalahanUji aktivitas minyak

ayam kampung terhadap S. aureus

Studi Literatur

Pembuatan Tabel dan Grafik

Didukung Oleh Teori1. Hermanto et al., 2008. Profil dan

Karakteristik Lemak Hewani (Ayam, Sapi dan Babi) Hasil Analisa FTIR dan GCMS. Hasilnya asam lemak ayam SFA 33%, PUFA 18%, dan MUFA 46%.

2. Sublette et al., 2006, Omega-3 Polyunsaturated Essential Fatty Acid Status as a Predictor of Future Suicide Risk. Am J Psychiatry. pp 1100–1102.

3. Holman et al., 1980, Essential fatty acid deficiency in malnourished children. The American Journal of Clinical Nutrition. pp. 1534- 1539.

4. Utari, D. M. 2010. Kandungan Asam Lemak, Zink, Dan Copper Pada Tempe, Bagaimana Potensinya Untuk Mencegah Penyakit Degeneratif?. Hasilnya Oleic

Kesimpulan

Page 30: Bab II Poposal Penelitian

Kerangka Operasional Penelitian menjelaskan tentang :

1. Ide studi mucul dari permasalahan hasil identifikasi pengalaman empiris

sehingga munculah pendapat dalam ide studi berupa pokok pokok pikiran

terkait dengan pengalaman empiris dalam mengobati bisul.

2. Mengidentifikasi masalah pada Uji aktivitas minyak ayam kampung terhadap

bakteri S. aureus penyebab penyakit infeksi bisul.

30

Pelaksanaan Penelitian

Uji Daya Hambat

Pembuatan Suspensi BakteriKonsentrasi Sampel

Hasil dan Pembahasan

Analisa Data

Kesimpulan dan Saran

Pembuatan Minyak Ayam dengan Oven

S. Aureus

Page 31: Bab II Poposal Penelitian

3. Studi literatur diperlukan dalam jenjang ini dimana ulasan mengenai

permasalahan dilandasi oleh berbagai penelitian penelitian ataupun tulisan

yang relefan yang dapat dipakai sebagai alasan memperkuat permasalahan

dari apa yang akan diteliti.

4. Persiapan yang dimaksudkan adalah mempersiapkan segala sesuatu yang

diperlukan dalam pelaksanaan pengambilan sampel dilapangan.

5. Pelaksanaan pengambilan sampel dilakukan kemudian pembuatan sampel

dengan cara pemanasan menggunakan oven, setelah itu pembuatan

konsentrasi sampel. Setelah pembuatan sampel selanjutnya pembuatan

suspensi bakteri yang telah diremajakan 1 hari sebelumnya

6. Dilakukan uji daya hambat setelah itu diinkubasi pada suhu 37°C selama 24

jam, kemudian didapat hasil dan pembahasan kemudian dilakukan analisa

data.

7. Kesimpulan dan saran. Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dimana suatu

titik permasalahan boleh dapat digambarkan dari penyebab hingga solusi

sebagai hasil ulasan dari permasalahan.

3.5. Variabel Penelitian

Variable yang diamati adalah besarnya diameter daya hambat

minyak ayam (satuan mm) terhadap bakteri Staphylococcus aureus.

Tingkat potensi minyak ayam hanya bisa dibandingkan berdasarkan

besarnya dimeter daya hambat yang terbentuk pada tiap-tiap konsentrasi,

31

Page 32: Bab II Poposal Penelitian

dengan hambatan yang tampak sebagai daerah yang tidak memperlihatkan

pertumbuhan kuman disekitar kertas cakram.

3.6. Definisi Operasional

1. Lemak ayam kampung adalah, jaringan lemak yang melekat pada daging

ayam kampung yang umurnya 3-4 tahun.

2. Bakteri Staphylococcus aureus merupakan isolat yang diperoleh dari

Labolatorium Mikrobiologi BTKL Manado Kelas I.

3 Penambahan Na CMC berfungsi sebagai bahan pengental, dengan tujuan

untuk membentuk sistem dispersi koloid dan meningkatkan viskositas.

Dengan adanya Na CMC ini maka partikel-partikel yang tersuspensi

akan terperangkap dalam sistem tersebut atau tetap tinggal ditempatnya

dan tidak mengendap oleh pengaruh gaya gravitasi

4. Daya Hambat diketahui dari uji kadar hambat minimum (MIC) minyak

ayam kampung (Gallus gallus domesticus) berupa konsentrasi yang

dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus secara nyata

pada medium kultur setelah inkubasi.

5. Zona Inhibisi adalah luas daerah bening pada biakan medium bakteri

setelah diinkubasi yang diukur diameternya dengan menggunakan

jangka sorong (mm).

6. ………………………………………………………………………..

32

Page 33: Bab II Poposal Penelitian

3.7. Prosedur Penelitian

Secara keseluruhan prosedur kerja dalam penelitian ini terdiri dari:

pembuatan minyak ayam kampung, sterilisasi alat, pembuatan medium,

pengenceran, uji daya hambat dan analisis data.

3.7.1. Sterilisasi Alat

Sterilisasi alat yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan

cara sebagai berikut: Pertama-tama, alat-alat disterilkan terlebih dahulu di

dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit dan di oven suhu 160-

170°C selama 2 jam. Jarum ose dibakar dengan api bunsen saat digunakan

(Karadi et al., 2011; Lalitha et al., 1991).

3.7.2. Pembuatan Minyak Ayam Kampung Dengan Proses Pemanasan

Sampel jaringan lemak ditimbang kemudian dicuci, diiris kecil-kecil

dan dimasukkan ke dalam beker glass. Selanjutnya sampel dimasukkan ke

dalam dry oven yang sudah diatur suhunya (75°C), dibiarkan selama 6 jam

hingga jaringan lemaknya mencair, kemudian dihitung randemennya.

Minyak ayam ditimbang hingga mencapai volume masing- masing 5 mL,

10 mL , 15 mL, dan 20 mL. Kemudian dimasukkan ke dalam labu takar

100 mL lalu ditambah dengan larutan Na CMC (Natrium

Carboxymethilcelulose) 0,1% sampai garis batas. Labu takar tersebut

dikocok hingga tercampur dan diperoleh konsentrasi 5%, 10%, 15%, dan

20% (v/v).

33

Page 34: Bab II Poposal Penelitian

3.7.3. Pembuatan Media Agar Miring

Diambil Nutrient Agar (NA) sebanyak 0,46 g dilarutkan dalam 20

mL aquades menggunakan erlenmeyer. Sebanyak 5 mL dituangkan

masing-masing pada 3 tabung reaksi steril dan ditutup dengan aluminium

foil. Media disterilkan dalam autoklaf dengan suhu 121ºC selama 15

menit, kemudian dibiarkan pada suhu ruangan selama ± 30 menit sampai

media memadat pada kemiringan 30º. Media agar miring digunakan untuk

inokulum bakteri (Ngajow at al., 2013).

3.7.4. Pembuatan Standar Kekeruhan Larutan (Larutan McFarland 0,5 mL)

Larutan asam sulfat 0,36 M sebanyak 99,5 mL dicampurkan dengan larutan

BaCl2. 2H2O 1,175 % sebanyak 0,5 mL dalam erlenmeyer kemudian dikocok

sampai terbentuk larutan yang keruh. Kekeruhan ini dipakai sebagai standar

kekeruhan suspensi bakteri uji (McFarland, 2010).

3.7.5. Pembuatan Suspensi Bakteri Uji

Bakteri uji pada media agar miring diambil dengan kawat ose steril

lalu disuspensikan ke dalam tabung yang berisi 2 mL larutan NaCl 0,9 %

hingga diperoleh kekeruhan yang sama dengan standar kekeruhan larutan

McFarland (Ngajow et al., 2013).

3.7.6. Pembuatan Medium MHA (Mueller Hilton Agar)

34

Page 35: Bab II Poposal Penelitian

MHA dilarutkan sebanyak 14,25 gram ke dalam 375 mL aquadest.

Kemudian sterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C

selama 25 menit. Biarkan hingga suhunya turun sampai 40°C, kemudian

tuangkan ke dalam cawan petri yang telah disterilkan (Lalitha et al., 1991;

Lukman 2013).

3.7.7. Uji daya hambat

Tahapan pengujian Daya Hambat

1) Pipet 0,1 ml suspensi bakteri kemudian sebarkan dengan penyebar yang

terbuat dari gelas pada media lempeng mueller hilton agar (MHA).

2) Penyebaran suspensi bakteri dilakukan dengan memutar agar lempengan pada

cawan petri, cara yang sama juga dibuat untuk petri ke 2 sampai petri ke 15 .

Sterilisasi penyebar dilakukan dengan mencelupkan ke dalam alkohol,

kemudian batang penyebar dibakar diatas api bunsen. Penyebar didinginkan

sebelum digunakan.

3) Kertas cakram steril berdiameter 6 mm diambil dengan menggunakan pinset

steril dicelupkan ke dalam minyak ayam pada masing-masing konsentrasi 5%,

10%, dan 15% dan 20% yang di ulangan sebanyak 3 kali dan antibiotik

sebagai kontrol positif. Pada saat meletakkan kertas cakram, sedikit ditekan

agar menempel pada permukaan agar.

4) Kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam, diameter zona bening

(clear zone) yang terbentuk diukur 1 kali 24 jam selama 4 hari, dengan

35

Page 36: Bab II Poposal Penelitian

menggunakan penggaris millimeter dan membandingkannya dengan antibiotik

sebagai kontrol positif.

3.8. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan setelah 24 jam masa inkubasi, dilakukan dengan

cara mengukur diameter (satuan mm) daya hambat yang terbentuk dari masing-

masing konsentrasi perlakuan dan membandingkannya dengan antibiotik sebagai

kontrol positif (Lalitha et al., 1991).

Daya hambat diketahui berdasarkan pengukuran diameter zona

inhibisi (zona bening) yang terbentuk disekitas paper disk. Daya hambat

minimal (MIC) diketahui dari konsentrasi terkecil yang sudah dapat

menghambat pertumbuhan staphylococcus aureus.

3.9. Analisa Data

Data hasil pengujian aktivitas minyak ayam kampung terhadap

diameter zona hambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus

dianalisa secara statistik menggunakan metode One way anova (analisa

varians satu arah) dilanjutkan dengan uji Duncan. Menurut Davis dan

Stout (1971), Uji Duncan digunakan untuk melihat perlakuan mana yang

memiliki efek yang sama atau berbeda dan efek yang terkecil sampai efek

yang terbesar antara satu dengan lainnya (Lalitha et al., 1991; Lay, 1994).

2.10. Alur Penelitian

36

Sterilisasi Alat dan Bahan

Page 37: Bab II Poposal Penelitian

DAFTAR PUSTAKA

37

Pembuatan Bahan Uji

Membuat Standar Kekeruhan Larutan McFarland 0,5 mL

Uji daya Hambat

Pembuatan Medium MHA

Labu takar dikocok hingga diperoleh konsentrasi 5%, 10%,

15%, dan 20% (v/v).

Pembuatan Media Bakteri

Pembuatan bahan dengan cara oven selama 6 jam pada suhu 75°C

Membuat Media Agar Miring dengan kemiringan 30°

Membuatan suspensi bakteri dengan membandingkan

kekeruhan larutan McFarland

Timbang ekstrak dengan volume masing-masing 5 mL, 10 mL, 15

mL, dan 20 mL.

Masing-masing sampel dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml ditambah

dengan larutan NA CMC 0,1%

Inkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam

Pengamatan Zona Inhibisi setiap harinya

selama 4 hari

Analisis Data

Page 38: Bab II Poposal Penelitian

Al-Barry, M. D. Y., Y. Akmalia., dan A. G. Usman. 2005. Kamus Istilah Medis. Penerbit: Arkola. Yogyakarta. hal 6-324

Ariyanti, N. K., I. B. G. Darmayasa., dan S. K. Sudirga, 2012, Daya Hambat Ekstrak Kulit Daun Lidah Buaya (Aloe Barbadensis Miller) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus Aureus ATCC 25923 Dan Escherichia Coli ATCC 25922. Jurnal Biologi. 16 (1) : 1-4.

Damongilala, L. J, 2008, Kandungan Asam Lemak Tak-Jenuh Minyak Hati Ikan Cucut Botol (Cenctrophorus SP) Yang Diekstraksi Dengan Cara Pemanasan. Jurnal Ilmiah Sains Vol. 8 (2): 249-253.

Darwis, W., P. Melati., E. Widiyati., and R. Supriati, 2009, Efektivitas Ekstrak Daun Ubi Jalar Merah (Ipomoea Batatas Poir) Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus Penyebab Penyakit Bisul Pada Manusia. Konservasi Hayati. Vol. 5 (2): 1-6.

Dewi, A. K, 2013, Isolasi, Identifikasi dan Uji Sensitivitas Staphylococcus aureus terhadap Amoxicillin dari Sampel Susu Kambing Peranakan Ettawa (PE) Penderita Mastitis Di Wilayah Girimulyo, Kulonprogo, Yogyakarta. Jurnal Sain Veteriner. Vol. 31 (2): 138-150.

Dewi, R., Nurliana., and F. Jamin, 2013, Aktivitas Antibakteri Ekstrak Protein Crude Isi Saluran Pencernaan Ayam Broiler Yang Diberi Pakan Tambahan Pliek U. Jurnal Medika Veterinaria. Vol. 7 (1): 54-56.

Elswyk, V. M. E., B. M. Hargis., J. D. Williams., and P. S. Hargis, 1994, Dietary Menhaden Oil Contributes To Hepatic Lipidosis In Laying Hens. Poult Sci. (73): 653–662.

Estiasih, T., K. Ahmadi., W. B. Sunarharum., R. Amilia., dan D. Kurnain, 2011, Saponifikasi dan Ekstraksi Satu Tahap untuk Ekstraksi Minyak Tinggi Linoleat dan Linolenat dari Kedelai Varietas Lokal. Agritech, Vol. 31 (1): 34-45.

Hasibuan, S., Sahirman., dan N. M. A. Yudawati, 2013, Karakteristik Fisikokimia Dan Antibakteri Hasil Purifikasi Minyak Biji Nyamplung (Calophyllum Inophyllum L.). Agritech. 33 (3): 311-319.

Hermanto, S., A. Muawanah., dan R. Harahap, 2008, Profil dan Karakteristik Lemak Hewani (Ayam, Sapi dan Babi) Hasil Analisa FTIR dan GCMS. Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. hal 102-109.

Hermanto, S., A. Muawanah., dan P. Wardhani, 2010, Analisis Tingkat Kerusakan Lemak Nabati dan Lemak Hewani Akibat Proses Pemanasan. Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. hal 262- 268.

Holman, R. T. Ph.D., Johnson, S. B. B.S., Mercuri, O. Ph.D., Itarte, H. J. Ph.D., Rodrigo, M. A. Ph.D., and Tomas, M. E. D. Ph.D, 1980, Essential fatty acid deficiency in malnourished children. The American Journal of Clinical Nutrition. pp. 1534-1539.

Iriyanti, N., T. Yuwanta., Zuprizal., dan S. Keman 2005, Pengaruh Penggunaanasam Lemak Rantai Panjang Dalam Pakan Terhadap Penampilan Dan Profil Lemak Dara Serta Gambaran Ovarium Ayam Kampung. Betina. Buletin Peteurakan. 29 (4) : 177 – 184

38

Page 39: Bab II Poposal Penelitian

Ismail, F, 2014, Status Hematologis Dan Biokimia Darah Ayam Ras Petelur Yang Dipelihara Pada Sistem Pemeliharaan Intensif Dan Free-Range Pada Musim Kemarau. [Skripsi]. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar . hal 4.

Karadi, R. V., A. Shah., P. Parekh., and P. Azmi. 2011. Antimicrobial Activities of Musa paradisiaca and Cocos nucifera. International Journal of Research in Pharmaceutical and Biomedical Sciences. Vol. 2 (1): 264-267.

Kalpana, B. M. W., V. Wagh., S. S. Toshniwal., And B. R. Sonawan, 2012, Phytochemical, Antimicrobial Evaluation And Determination Of Total Phenolic And Falvonoid Contents Of Sesbania Grandiflora Flower Extract. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences. Vol. 4 (4): 229-232.

Lalitha, M. K., C. M. C. Vellore., and T. Nadu, 1991, Manual on Antimicrobial Susceptibility Testing (Under the auspices of Indian Association of Medical Microbiologists. J.Antimicrob Chemotherap. 2 (27): 6-50.

Lay, B. W. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Penerbit: PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Ed 1 (1): 37-54.

Lefkowith, J. B, 1990, Essential Fatty Aacid Deficiency: Probing the Role of Arachidonate in biology, in: Samuelsson, B., Dahlen, S.E., Fritsche, S.E. and Hedqvist, P. (Eds.) Advences in Prostaglandin Tromboxane and Leucotriene research. Vol. 20 (4): 224-231.

Lewis, N. M., S. Seburg., and N. L. Flanagan, 2000, Enriched Eggs As A Source Of N-3 Polyunsaturated Fatty Acids For Humans. Poult. Sci. pp 971-974.

Lukman, S. R, 2013, Uji Daya Hambat Ekstrak Buah Kaktus Pir Berduri (Opuntia ficus indica) terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus Secara in vitro. [Skripsi].

McFarland, 2010, Prepared Turbidity Standard No. 0,5. J. Am. Med. Assoc. pp 1-3.

Micinski, J., Zwierzchowski, G., Kowalski, I. M., Szarek, J., Pierozynski, B., & Raistenskis, J, 2012, The Effects Of Bovine Milk Fat On Human Health. Polish Annals of Medicine. 19 (2): 170-175.

Miranda, J., Fernandez-Quintela, A., Macarulla, M. T., Churruca, I., Garcia, C., Rodriguez, V. M, 2009, A Comparison Between Conjugated Linolenic Acid And Conjugated Linoleic Acid Effects On Body Fat, Serum Parameters And Liver Composition. Journal of Physiology and Biochemistry. 65 (1): 25-32.

Mudawamah, U, 2008, Isolasi Asam Lemak pada Minyak Ikan Lemuru (Sardinella longiceps) dengan Variasi Pelarut dan Identifikasi Menggunakan Kromatografi Gas–Spektroskopi Massa (KG-MS). [Skripsi]. Jurusan kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.

Ngajowa, M., J. Abidjulua., dan V. S. Kamu, 2013, Pengaruh Antibakteri Ekstrak Kulit Batang Matoa (Pometia pinnata) terhadap Bakteri Staphylococcus aureus secara In vitro. Jurnal Mipa Unsrat Online . 2 (2): 128-132.

Purbowati, E., E. Baliarti., S. P. S. Budhi., dan W. Lestariana, 2005, Profil asam Lemak Daging Domba Lokal Jantan Dipelihara Di Pedesaan Padabobot

39

Page 40: Bab II Poposal Penelitian

Potongdan Lokasi Otot Yang Berbeda. Buletin Peternakan. 29 (2): 62-70.Purwani, E., S. W. N. Hapsari., dan R. Rauf, 2009, Respon Hambatan Bakteri

Gram Positif Dan Negatif Pada Ikan Nila (Oreochromis Niloticus) Yang Diawetkan Dengan Ekstrak Jahe (Zingiber Officinale). Jurnal Kesehatan Vol. 2 (1): 61-70.

Puspitasari, I, 2008, Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Bawang Putih ( Allium Sativum Linn ) Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus In Vitro. Artikel Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. hal 1-20

Razak, A., A. Djamal., dan G. Revilla, 2013, Uji Daya Hambat Air Perasan Buah Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia s.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus Aureus Secara In Vitro. Jurnal Kesehatan Andalas. 2 (1): 5-8.

S'Anchez, E. C., C. Rodr´Iguez., A. G. Ravelo., dan R. Z´Arate, 2008, Dichloromethane as a Solvent for Lipid Extraction and Assessment of Lipid Classes and Fatty Acids from Samples of Different Natures. J. Agric. Food Chem. Vol. 56 (12): 4297–4303.

Sartika, R. A. D, 2008, Pengaruh Asam Lemak Jenuh, Tidak Jenuh dan Asam Lemak Trans terhadap Kesehatan. KESMAS, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol. 2 (4): 154-160.

Setiaji, A, 2009, Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Petroleum Eter, Etil Asetat Dan Etanol 70% Rhizoma Binahong (Anredera Cordifolia (Tenore) Steen) Terhadap Staphylococcus Aureus ATCC 25923 Dan Escherichia Coli ATCC 11229 Serta Skrining Fitokimianya. Terdapat pada http://etd.eprints. ums.ac.id/5253/1/K100050288.pdf. hal 220-234

Simopoulos, A. G, 2002, The Importance Of The Ratio Of Omega-6/Omega-3 Essential Fatty Acids. Biomed Pharmacother. 56 (10): 365-379

Siregar, A. F., A. Sabdono., dan D. Pringgenies, 2012, Potensi Antibakteri Ekstrak Rumput Laut Terhadap Bakteri Penyakit Kulit Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus epidermidis, dan Micrococcus luteus. Journal Of Marine Research. Vol. 1 (2): 153.

Sublette et al., 2006, Omega-3 Polyunsaturated Essential Fatty Acid Status as a Predictor of Future Suicide Risk. Am J Psychiatry. pp 1100–1102.

Tracy, L. A., J. P. Furuno., A. D. Harris., M. Singer., P. Langenberg., and M. C. Roghmann. Staphylococcus aureus Infections in US Veterans, Maryland, USA, 1999–2008. Emerging Infectious Diseases. Vol. 17 (3): 441-448.

Tuminah, S, 2009, Efek Asam Lemak Jenuh Dan Asam Lemak Tak Jenuh "Trans" Terhadap Kesehatan. Media Penelit dan Pengembang Kesehatan. Vol 19 (2): 13-20.

Utari, D. M, 2010, Kandungan Asam Lemak, Zink, Dan Copper Pada Tempe, Bagaimana Potensinya Untuk Mencegah Penyakit Degeneratif. Gizi Indon. 33 (2): 108-115

WHO. 2003. Basic Laboratory Procedures In Clinical Bacteriology, 2nd Ed. Terdapat pada http://whqlibdoc.who.int/publications/2003/9241545453 ind.pdf. hal 92-114.

40

Page 41: Bab II Poposal Penelitian

Wijiastuti, T., E. Yuwono., dan N. Iriyanti, 2013, Pengaruh Pemberian Minyak Ikan Lemuru Terhadap Total Protein Plasma Dan Kadar Hemoglobin (Hb) Pada Ayam Kampung. Jurnal Ilmiah Peternakan. 1 (1): 228-235.

Zein, M. S. A., dan S. Sulandari, 2009, Investigasi Asal Usul Ayam Indonesia Menggunakan Sekuens Hypervariable-1 D-loop DNA Mitokondria. Jurnal Veteriner. Vol. 10 (1) : 41-49.

41