BAB II PERAN GEREJA TENTANG MAKNA HIDUP...
Transcript of BAB II PERAN GEREJA TENTANG MAKNA HIDUP...
11
BAB II
PERAN GEREJA TENTANG MAKNA HIDUP ANAK
Pada bab yang kedua ini akan dipaparkan teori-teori yang digunakan dalam penulisan
ini. Teori-teori tersebut dijabarkan dalam beberapa bagian. Bagian pertama adalah
tentang keluarga broken home yang meliputi definisi, faktor penyebab keluarga broken
home, dan dampak keluarga broken home. Bagian yang kedua mengenai konseling
pastoral yang meliputi definisi, fungsi, dan karakteristik. Bagian yang ketiga meliputi
makna hidup yang terdiri dari area ketidakmampuan perkembangan spiritual, dan faktor
penyebab ketidakmampuan perkembangan spiritual.
2.1 Broken Home
2.1.1 Definisi Keluarga Broken Home
Secara etimologi, istilah broken home terdiri dari dua kata yakni broken (bentuk
ketiga dari kata break) yang berarti patah, putus, retak, terganggu, tidak lancar, hancur;
dan home yang berarti rumah. Secara sederhana broken home dapat didefinisikan sebagai
keluarga yang hancur atau retak. Broken home juga dimaknai sebagai istilah yang berlaku
bagi keluarga yang pasangan suami isterinya telah berpisah atau bercerai.1
Dari
pemahaman tersebut, penulis memahami keluarga yang hancur atau broken home dapat
terdiri dari ayah saja beserta anak-anak dalam keluarga, ibu saja beserta anak-anak dalam
keluarga, atau hanya ada anak-anak dalam keluarga yang terpisah dari orang tua.
Broken home juga dipahami sebagai keluarga yang mengalami disfungsi yakni
keluarga yang tidak dapat lagi menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik sebagaimana
mestinya. Kehidupan keluarga yang broken cenderung mengalami kekerasan,
1 APA (American Psychological Association) Dictionary of Psychology, 137.
12
perselisihan, pertengkaran, perpisahan dan bahkan perceraian. Cinta kasih jarang
ditemukan dalam keluarga broken home karena anggota keluarga tidak lagi saling
menghargai satu terhadap yang lain. Situasi seperti ini mengakibatkan tidak ada lagi
kenyamanan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga. Menurut penulis, suatu
keluarga dikatakan hancur bukan hanya ketika mengalami perpisahan atau perceraian,
namun ketika di dalam keluarga tidak ada keharmonisan, kenyamanan, rasa saling
menghargai dan cinta kasih, maka sesungguhnya keluarga tersebut berada dalam
kehancuran atau broken home.
2.1.2 Faktor Penyebab Keluarga Broken Home
Broken home dapat terjadi karena beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut dapat berupa
faktor internal dan eksternal. Faktor internal misalnya kurang atau tidak adanya perhatian
dan kasih sayang dalam keluarga.2 Isteri tidak menghargai suami dan begitu sebaliknya,
atau anak-anak yang tidak menghargai orang tua. Menurut penulis, perasaan cinta kasih
dan saling menghargai sangat penting dalam menciptakan kehidupan keluarga yang
harmonis dan sejahtera. Jika dalam keluarga tidak ada lagi rasa cinta kasih dan saling
menghargai, maka anggota keluarga cenderung melakukan hal sesukanya karena tidak
ada lagi rasa saling memiliki terhadap anggota keluarga yang lain.
Selain itu, broken home juga dapat disebabkan oleh komunikasi yang buruk dalam
keluarga.3 Kurangnya komunikasi yang baik dapat menciptakan atmosfir rumah yang
tidak nyaman, hubungan yang semakin renggang, dan dapat berujung pada kehancuran
keluarga. Komunikasi merupakan sarana yang penting dalam mempertahankan suatu
hubungan. Dalam keluarga pun demikian. Komunikasi yang buruk akan berakibat buruk
2 Jibeen, “From Home to Shelter Home...”, 476.
3 Jibeen, “From Home to Shelter Home...”, 478.
13
bagi keluarga, sebaliknya komunikasi yang baik mampu membuat keluarga tetap ada
dalam keadaan yang baik dan harmonis. Menurut penulis, para anggota keluarga sudah
seharusnya menyadari bahwa komunikasi sangat diperlukan untuk menciptakan suasana
yang nyaman dan kondusif di dalam rumah. Dengan komunikasi, anggota keluarga akan
merasa diterima dan dihargai keberadaannya. Oleh sebab itu, para anggota keluarga
bertanggung jawab untuk menciptakan dan menjaga komunikasi di dalam keluarga guna
mewujudnyatakan keluarga yang harmonis.
Faktor berikut adalah kurangnya waktu luang (quality time) yang dihabiskan dengan
anggota keluarga.4
Quality time atau waktu yang berkualitas adalah waktu yang
digunakan secara positif oleh pasangan atau sekelompok orang untuk meningkatkan
kualitas hubungan. Quality time di dalam keluarga adalah sangat penting. Keluarga
seharusnya mengkhususkan waktu untuk berkumpul, berbicara, berdiskusi, dan
bercengkerama bersama di tengah segala kesibukan setiap hari. Quality time
mengingatkan anggota-anggota keluarga bahwa dalam menjalani kehidupan, mereka
selalu mempunyai tempat untuk pulang yaitu keluarga. Di dalam keluarga ada orang-
orang yang mereka cintai dan yang mencintai mereka. Menurut penulis, hal ini yang juga
sering terabaikan dalam kehidupan berkeluarga. Quality time menolong keluarga-
keluarga yang jarang bertemu dan berdiskusi karena kesibukan masing-masing untuk
menciptakan kualitas hubungan yang baik. Jarang bertemu dan berdiskusi dapat menjadi
penyebab rusaknya suatu hubungan. Oleh sebab itu, quality time diperlukan untuk
menjaga hubungan yang harmonis dan tetap berkualitas ditengah kesibukan para anggota
keluarga.
4 Jibeen, “From Home to Shelter Home...”, 478.
14
Faktor internal terakhir adalah para anggota keluarga tidak memiliki kemampuan
untuk menerima krisis yang terjadi secara positif.5 Cara pandang yang dibangun bukanlah
cara pandang yang konstruktif melainkan yang destruktif. Saat menghadapi krisis,
anggota keluarga tidak saling menopang dan saling mempercayai sehingga pada akhirnya
ada anggota keluarga yang menyerah pada keadaan dan mencari jalan lain yakni
perpisahan. Menurut hemat penulis, faktor internal terakhir ini merupakan kelemahan
pribadi setiap individu yang tidak dewasa dalam menyikapi permasalahan dan tantangan
dalam kehidupan keluarga. Para anggota keluarga seharusnya menjadikan masa-masa
krisis dalam keluarga sebagai sarana untuk bertumbuh menjadi keluarga yang saling
menguatkan dan berjuang untuk kebahagiaan bersama. Bukan sebaliknya, tidak saling
menopang dan saling meninggalkan satu dengan yang lain. Keluarga yang baik adalah
keluarga fungsional yang mampu menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik di segala
masa, termasuk dalam menghadapi masa-masa krisis dalam keluarga.
Sedangkan faktor eksternal yang dapat menjadi penyebab gagalnya sebuah keluarga
dan muncul fenomena broken home adalah hadirnya WIL/PIL (wanita idaman lain/pria
idaman lain).6 Perselingkuhan adalah salah satu penyakit yang sudah sangat sering
menggerogoti hubungan banyak pasangan, khususnya di era modern seperti ini. Hal yang
paling mendasar adalah tidak adanya rasa nyaman dengan pasangan dan atau keluarga.
Ketidaknyamanan yang terjadi tidak dapat dikomunikasikan dengan baik sehingga jalan
keluarnya adalah mencari kenyamanan di luar rumah melalui wanita atau pria idaman lain
melalui hubungan perselingkuhan. Fenomena tersebut menimbulkan dampak psikologis
terhadap anak-anak korban broken home. Menurut penulis, kehadiran WIL/PIL
memungkinkan timbulnya keegoisan dari salah seorang anggota keluarga, entah itu ayah
5 Scholevar & Schwoeri, Textbook of Family, 318.
6 Fakta tersebut berdasarkan pengamatan penulis pada beberapa keluarga broken home di GPM Jemaat
Galala-Hative Kecil.
15
atau ibu, untuk berpikir meninggalkan keluarga yang dulu sangat dicintai. Fenomena
perselingkuhan ini pada umumnya membutakan mata hati anggota keluarga yang
melakukannya, sehingga mereka cenderung menganggap bahwa pilihan dan
keputusannya untuk berpaling dan meninggalkan keluarga adalah keputusan yang tepat.
Tanpa mereka sadari bahwa keputusan tersebut dapat berdampak buruk bagi
perkembangan anak-anak yang menjadi korban dari keluarga yang broken home.
2.1.3 Dampak Keluarga Broken Home
Akibat yang nampak dari fenomena broken home ialah hancurnya keluarga yang
ditandai dengan anggota-anggota keluarga yang terpisah, namun akibat yang
sesungguhnya ialah pada anak-anak korban broken home. Anak korban broken home akan
mengalami mental disorder. Mondor mengungkapkan bahwa kegagalan orang tua
menjalankan perannya dalam keluarga mengakibatkan anak mengalami frustrasi yang
sangat hebat dan juga memungkinkan mereka terjerat dalam pengkonsumsian narkoba.7
Kegagalan yang dialami dalam keluarga membuat anak tidak mengetahui bagaimana
harus menjalani hidup. Bartley juga mengemukakan bahwa walaupun perceraian sudah
menjadi hal yang biasa terjadi pada zaman ini, namun dampaknya pada kesehatan mental
anak korban broken home tidak mengalami penurunan yakni mereka tetap mengalami
tekanan psikologis.8 Tekanan psikologis dan kesehatan mental itu dapat berupa stres,
depresi yang berhubungan dengan gangguan, disorientasi, kebingungan, fobia dan
ketakutan. Oleh karena itu, banyak dari mereka yang tidak mudah beradaptasi dengan
lingkungan sosial dan memiliki ketidakmampuan spiritual dalam menyikapi masalah-
masalah kehidupan. Dari pemahaman para ahli di atas, menurut penulis kehancuran
7 Mondor, “With or Without You”, 10-12.
8 Bartley, “Children Suffer Effects of Divorce”, 5.
16
sebuah keluarga juga menjadi kehancuran anak-anak dalam keluarga tersebut. Perpisahan
atau perceraian orang tua membuat anak mengalami gangguan yang sangat serius dalam
diri dan kehidupannya. Gangguan tersebut jika tidak ditangani dengan serius maka akan
pula menghancurkan masa depan anak-anak.
2.2 Konseling Pastoral
2.2.1 Pengertian Konseling Pastoral
Istilah konseling pastoral berasal dari kata “konseling” dan “pastoral”.9
Kata
“konseling” berasal dari bahasa Inggris to counsel yang secara hurfiah berarti memberi
arahan, nasihat. Kata “pastoral” berasal dari bahasa Latin pastore, dalam bahasa Yunani
disebut poimen yang berarti gembala. Secara tradisional dalam kehidupan bergereja,
tugas gembala adalah tugas pendeta yang harus berlaku sebagai gembala bagi domba-
domba (anggota jemaat). Istilah ini dihubungkan dengan Yesus Kristus dan karyaNya
yang digambarkan sebagai gembala yang baik (Yohanes 10).10
Ungkapan ini mengacu
pada pelayanan Yesus yang tanpa pamrih, bersedia memberikan pertolongan dan
pengasuhan bagi para pengikutNya, dan bahkan bersedia memberikan nyawaNya bagi
mereka. Sikap dan pelayanan seperti Yesus ini diharapkan diikuti oleh para pengikutNya.
Jika demikian, konseling pastoral juga dipahami sebagai suatu tindakan pendampingan
yang bersifat mengasuh atau memelihara. Dari pemahaman tersebut, konseling pastoral
menempatkan konselor, dalam hal ini para pelayan gereja, selalu bersentuhan dengan apa
yang disebut relasi terhadap sesamanya. Relasi yang mendalam hanya dapat dibangun
jika seorang konselor memandang orang yang bermasalah itu sangat berharga, bukan
9 Jacob Daan Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral (Salatiga: Tisara Grafika, 2007), 1-2.
10 Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral, 2.
17
sekedar dikasihani tetapi dicintai.11
Menurut penulis, konseling pastoral adalah suatu
proses memberikan arahan atau nasihat guna membimbing, mengasuh, dan menolong
seseorang atau sekelompok orang untuk menjalani kehidupan dengan baik.
Konseling pastoral berhubungan dengan manusia tanpa melihat siapakah dia,
kepercayaan, kedudukan sosial, usia atau jenis kelamin. Konseling pastoral adalah suatu
tindakan yang ditujukan kepada kebutuhan-kebutuhan manusia dalam perjalanan
hidupnya, entah dia itu seorang tukang atau presiden, seorang olahragawan atau seorang
cacat, seorang anak atau orang tua. Kebutuhan akan konseling pastoral ditandai dengan
adanya tekanan dan ketegangan hidup yang mempengaruhi tubuh dan jiwa seseorang.
Penulis memahami manusia sebagai makhluk yang tidak pernah lepas dari permasalahan
dan yang membutuhkan pertolongan dari orang lain. Permasalahan yang dihadapi
cenderung mempengaruhi seluruh aspek dirinya (psikis, fisik, sosial, spiritual), sehingga
tak jarang ada orang-orang yang putus asa dan hilang harapan ketika menghadapi
masalah. Dalam keadaan seperti inilah konseling pastoral dibutuhkan yakni untuk
menolong orang-orang yang putus asa karena permasalahan hidup, agar dapat
menyikapinya secara baik dan benar.
Clinebell dalam bukunya “Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral”
mengemukakan pengertiannya tentang konseling pastoral:
“Penggembalaan (konseling pastoral) adalah suatu jawaban terhadap
kebutuhan setiap orang akan kehangatan, perhatian penuh, dukungan,
dan penggembalaan (pendampingan). Konseling Pastoral adalah
ungkapan pendampingan yang bersifat memperbaiki (reparatif), yang
berusaha membawa kesembuhan bagi orang yang sedang menderita
gangguan fungsi dan kehancuran pribadi karena krisis.”12
11
Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral, 1. 12
Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral (Yogyakarta: Kanisius,
2002), 59-60.
18
Kebutuhan ini akan mencapai puncaknya saat seseorang mengalami tekanan pribadi dan
kekacauan sosial.13
Pengertian yang dikemukakan oleh Clinebell ini menunjukkan bahwa
setiap orang membutuhkan konseling pastoral, baik ketika ia tidak bermasalah dan
terlebih ketika ia bermasalah. Lebih jauh Clinebell mengatakan bahwa konseling pastoral
adalah pemanfaatan hubungan antara seseorang dengan orang lain di dalam pelayanan.
Hubungan itu dapat mengakibatkan timbulnya kekuatan dan pertumbuhan yang
menyembuhkan baik dalam diri orang yang dilayani, maupun dalam relasi mereka.
Konseling pastoral mencakup pelayanan yang saling menyembuhkan dan menumbuhkan
di dalam suatu jemaat dan komunitasnya sepanjang perjalanan hidup mereka. Dari
pemahaman Clinebell tentang konseling pastoral, dapat dimengerti bahwa konseling
pastoral dapat dilakukan bagi semua orang, baik yang bermasalah maupun yang tidak
bermasalah. Konseling pastoral dilakukan untuk menolong, menyembuhkan dan
menumbuhkan orang-orang yang kehilangan kasih sayang, perhatian, dan dukungan
karena krisis hidup agar kemudian dapat menjalani hidup dengan bijaksana.
2.2.2 Fungsi Konseling Pastoral
Konseling pastoral memiliki fungsi. Yang dimaksud dengan fungsi adalah kegunaan
atau manfaat yang dapat diperoleh dari pekerjaan konseling tersebut, atau dengan kata
lain bahwa fungsi konseling merupakan tujuan-tujuan operasional yang hendak dicapai
dalam memberikan pertolongan.14
Adapun fungsi konseling pastoral secara umum adalah
untuk menyembuhkan (healing), membimbing (guiding), mendukung/menopang
(sustaining), memulihkan (reconciling) dan mengasuh (nurturing). Empat fungsi yang
13
Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan, 59. 14
Art Van Beek, Pendampingan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 13.
19
pertama dikemukakan oleh William A. Clebsch dan Charles R. Jaekle sedangkan fungsi
kelima ditambahkan oleh Clinebell.15
1. Fungsi Menyembuhkan
Fungsi menyembuhkan ialah suatu fungsi pastoral yang terarah untuk mengatasi
kerusakan yang dialami seseorang dengan memperbaiki orang itu menuju keutuhan dan
membimbingnya ke arah kemajuan di luar kondisinya terdahulu.16
Konseling pastoral
berfungsi menyembuhkan tatkala ada luka atau sakit yang menyebabkan kerusakan
dalam kehidupan anak yang menjadikan hidupnya tidak sama dengan keadaan
sebelumnya. Penyembuhan bertujuan untuk mengatasi luka dan sakit serta kerusakan
dalam kehidupan anak. Dengan menyembuhkan luka, sakit dan kerusakan yang dialami
anak, diharapkan hal tersebut tidak akan menjadi masalah sepanjang hidupnya, sehingga
mempengaruhi perkembangan anak, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual.
Fungsi penyembuhan untuk mengatasi kerusakan dilakukan dengan cara mengembalikan
anak pada suatu keutuhan dan menuntunnya ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.
Menurut penulis, fungsi menyembuhkan merupakan langkah awal untuk melihat adanya
keadaan yang dapat dan perlu dikembalikan ke keadaan semula atau pun mendekati
keadaan semula. Fungsi ini dipakai untuk membantu anak memperbaiki diri dari gejala
dan perilaku menyimpang yang selama ini dilakukan sebagai akibat dari peristiwa buruk
yang dialami di waktu lampau, kepada keadaan yang lebih baik.
2. Fungsi Menopang
Fungsi menopang membantu orang yang sakit atau terluka agar dapat bertahan dan
mengatasi suatu kejadian yang terjadi pada waktu yang lampau.17
Fungsi menopang
berarti menolong anak yang mengalami luka atau sakit untuk bertahan menghadapi dan
15
Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan, 54. 16
Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan, 53. 17
Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan, 53.
20
melewati masa-masa sulit yang dialami.18
Fungsi menopang membantu anak untuk
menerima kenyataan sebagaimana adanya, kemudian berdiri di atas kaki sendiri dalam
keadaan yang baru, serta bertumbuh secara penuh dan utuh.19
Anak perlu didukung atau
ditopang karena keadaan anak mungkin tidak dapat pulih seperti kondisi semula atau jika
mungkin pulih, kemungkinannya sangat sedikit. Menurut penulis, fungsi menopang
menolong anak untuk dapat tegar menghadapi keadaan sekarang sebagaimana adanya,
dan bahkan menerima kenyataan pahit yang dialami, serta tetap berjuang untuk
menjalani hidup dengan baik.
3. Fungsi Membimbing
Fungsi membimbing membantu orang yang ada dalam kebingungan mengambil
pilihan yang pasti, pilihan yang dipandang mempengaruhi keadaan jiwa mereka sekarang
dan pada waktu yang akan datang.20
Fungsi membimbing berarti membantu anak ketika
ia harus mengambil keputusan di antara pilihan-pilihan yang ada karena pilihan-pilihan
tersebut mempengaruhi keadaannya di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.
Anak juga dibimbing untuk memilih hal-hal positif yang membangun dirinya, serta
menentukan langkah-langkah yang harus ia ambil. Anak perlu bimbingan dalam
menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidupnya, entahkah itu perubahan
akibat perkembangan anak itu sendiri, ataupun perubahan lingkungan keluarga dan
masyarakat. Anak perlu dibimbing ketika anak mengalami perubahan-perubahan, agar
anak tidak bingung atau tertekan oleh perubahan-perubahan tersebut. Menurut penulis,
fungsi membimbing dilakukan untuk mengarahkan anak dalam mengambil keputusan-
keputusan dalam hidupnya. Dalam menjalani hidup, anak-anak membutuhkan bimbingan
18
Engel, Konseling Suatu Fungsi Pastoral, 7. 19
Totok S. Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral (Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia,
2014), 107. 20
Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan, 54.
21
dan arahan untuk memilih serta melakukan hal-hal positif yang berguna bagi masa depan
mereka.
4. Fungsi Memulihkan/Memperbaiki Hubungan
Fungsi memulihkan berarti membantu seseorang untuk membangun kembali
hubungan yang rusak antara dirinya dengan orang lain.21
Anak korban broken home atau
anak yang marah kepada orang tua mendapati bahwa relasinya dengan orang tua telah
rusak dan tidak sama seperti dulu lagi, maka anak perlu didampingi untuk memulihkan
hubungan yang rusak tersebut. Fungsi memulihkan merupakan usaha memperbaiki
kembali hubungan-hubungan yang rusak di antara manusia dengan sesama.22
Menurut
penulis, fungsi memulihkan ini menolong anak untuk dapat memaafkan kesalahan yang
telah dilakukan oleh orang tua dan memberikan pengampunan bagi mereka. Dengan
tindakan pengampunan yang dilakukan maka hubungan antara anak dan orang tua yang
telah rusak, dapat diperbaiki kembali.
5. Fungsi Memelihara/Mengasuh
Fungsi dari memelihara/mengasuh adalah memampukan orang untuk
mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki, di sepanjang hidup yang mereka jalani.23
Fungsi memelihara/mengasuh berarti menolong anak untuk mengenali kemampuan-
kemampuan yang ada dalam dirinya dan kemudian mengembangkannya.24
Anak juga
dibantu dan didampingi untuk bertumbuh menjadi seseorang yang memahami makna
keberadaannya dalam dunia ini. Tujuan dari memelihara/mengasuh adalah memampukan
anak untuk mengembangkan potensi-potensi diri di sepanjang perjalanan hidup. Menurut
penulis, fungsi ini merupakan suatu “pendidikan hidup” yang diberikan kepada anak-
anak korban broken home bahwa mereka memiliki kemampuan yang dianugerahkan oleh
21
Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan, 54. 22
Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan, 54. 23
Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan, 54. 24
Van Beek, Pendampingan Pastoral, 8.
22
Tuhan, yang dapat dikembangkan untuk kebaikan mereka di masa depan. Dengan
demikian, mereka ditolong untuk dapat melepaskan diri dari belenggu masa lalu yang
kelam, menuju kehidupan baru yang penuh harapan dengan memanfaatkan potensi-
potensi yang ada dalam diri mereka.
2.2.3 Karakteristik Konseling Pastoral
Karakteristik konseling pastoral digambarkan melalui istilah “pastoral”.25
Penambahan kata “pastoral” memiliki alasan yang sangat teologis yakni berangkat dari
Sabda Tuhan Yesus yang menjadi patokan bagi orang Kristen. Beberapa kali Tuhan
Yesus memperkenalkan diri dan diperkenalkan sebagai “Gembala” sebagaimana
disaksikan oleh Yohanes 10 (“Akulah Gembala yang baik”). Makna gembala yang baik
disitu ialah sebagai seseorang yang lemah lembut, yang berkenan menjadi Pemelihara
dan Penolong manusia, tetapi pada waktu yang sama memberikan kebebasan kepada
manusia yang ditolongnya itu untuk mengambil sikap dan keputusan secara mandiri.26
Menjadi seorang gembala berarti dengan penuh cinta kasih menggembalakan “domba-
domba” yang dipercayakan tuannya untuk digembalakan, itulah sesungguhnya gembala
yang baik. Dari pemahaman tersebut, menurut penulis karakteristik konseling pastoral
terletak pada proses konseling yang meneladani Yesus yakni proses pemberian
pertolongan dan pemeliharaan kepada orang-orang yang membutuhkan, namun dengan
tetap memberikan kebebasan bagi mereka untuk mengambil keputusan bagi hidup
mereka.
Meneladani sikap Tuhan Yesus sebagai Gembala yang memperhatikan kesejahteraan
domba-dombaNya, maka hal tersebut yang juga harus dilakukan dalam sebuah konseling
25
Van Beek, Pendampingan Pastoral, 6. 26
Van Beek, Pendampingan Pastoral, 6-7.
23
pastoral. Tuhan Yesus memperhatikan dan mensejahterakan kehidupan manusia secara
utuh. Totalitas kehidupan manusia diperhatikan olehNya dan pemeliharaanNya pun tidak
terbatas. Ia memperhatikan penderitaan jasmani (penyakit, kelaparan, dan lain-lain),
penderitaan psikis (sakit jiwa, tertekan, dan lain-lain), masalah sosial (ekonomi, moral),
dan lain sebagainya.27
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka sudah seyogianya
konselor pastoral juga memperhatikan kehidupan orang-orang yang menderita secara
jasmani, psikis, sosial dan lain sebagainya. Konselor pastoral, dalam hal ini Pendeta dan
Majelis Jemaat sudah seharusnya peka melihat permasalahan-permasalahan yang
dihadapi oleh jemaat dan segera memberikan pertolongan guna membantu mereka
menjalani hidup dengan lebih baik, sebagaimana yang Tuhan Yesus contohkan.
Dalam kehidupan bergereja, para pelayan gereja sudah sepatutnya memperhatikan
kehidupan anggota jemaat. Para pelayan tidak hanya cukup berkhotbah dari mimbar.
Tetapi para pelayan perlu menyentuh kehidupan jemaat, secara khusus anggota jemaat
yang berada dalam permasalahan dan menderita secara fisik, psikis, sosial, maupun
spiritual. Dengan kata lain, gereja perlu memahami tugas dan panggilannya untuk
memelihara dan menolong jemaat yang Tuhan percayakan untuk mereka layani. Menurut
penulis, gereja adalah wakil Allah di dunia. Oleh sebab itu, gereja sudah sepatutnya
menjalankan perannya untuk memelihara dan menolong jemaat Tuhan yang
dipercayakan kepadanya. Gereja harus mampu menjawab kebutuhan dan pergumulan
jemaat terkait masalah-masalah kehidupan yang selama ini dihadapi. Secara sederhana,
penulis memahami bahwa gereja perlu melakukan konseling pastoral untuk menolong
jemaat menghadapi permasalahan-permasalahan yang mengancam hidup dan masa depan
mereka.
27
Van Beek, Pendampingan Pastoral, 7.
24
2.3 Makna Hidup
Makna hidup muncul dalam pemikiran Victor Emile Frankl dalam kerangka
pemikirannya membangun logoterapi.28
Melalui pemikirannya, Frankl hendak
menyampaikan kepada semua orang bahwa dalam kondisi apapun, kehidupan punya
potensi untuk memiliki makna, termasuk dalam kondisi yang paling menyedihkan.29
Konsep utama yang menjadi dasar filosofis model logoterapi menurut Frankl
dijabarkan sebagai berikut.
1. Kebebasan Berkeinginan (Freedom of Will)
Dalam pandangan Frankl, kebebasan berkeinginan adalah ciri-ciri unik dari
keberadaan pengalaman manusia. Frankl mengakui kebebasan manusia sebagai makhluk
yang terbatas adalah sebagai kebebasan di dalam batas-batas. Manusia tidaklah bebas
dari kondisi-kondisi biologis, psikologis dan sosiologis tetapi manusia berkebebasan
untuk mengambil sikap terhadap kondisi-kondisi tersebut. Manusia tidak bisa terhindar,
dan sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan, namun manusia punya pilihan dalam
bertindak.30
Manusia bisa memanfaatkan sisa-sisa kebebasan spiritual dan kebebasan
berpikir mereka, meskipun mereka berada dalam kondisi mental dan fisik yang sangat
tertekan.31
Jadi kebebasan berkeinginan (freedom of will) adalah kebebasan yang
bertanggung jawab untuk mengembangkan potensi diri.32
Menurut Frankl, kebebasan
bertanggung jawab adalah menyikapi setiap situasi dengan mengembangkan potensi diri
dan kemampuan serta memberi nilai untuk menemukan makna dan tujuan hidup sebagai
individu, meskipun dalam situasi penderitaan.33
Dengan kebebasan yang bertanggung
jawab, individu berjuang untuk tujuan tersebut dengan jalannya masing-masing, karena
28
Bastaman, Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup, 36. 29
Victor E. Frankl, Optimisme di Tengah Tragedi: Analisis Logoterapi, diterjemahkan oleh Lala
Herawati Dharma (Bandung: Nuansa, 2008), 22-23. 30
Frankl, Optimisme di Tengah Tragedi, 115. 31
Frankl, Optimisme di Tengah Tragedi, 115. 32
Bastaman, Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup, 41. 33
Frankl, Optimisme di Tengah Tragedi, 116-117.
25
hasrat manusia yang paling dalam bukan mencari kenyamanan tetapi pemaknaan atas
kehidupannya. Berdasarkan pemahaman di atas, dapat dipahami bahwa setiap manusia
memiliki kemampuan untuk mengambil sikap terhadap penderitaan dan peristiwa tragis
yang tidak dapat dielakkan yang menimpa diri sendiri, setelah upaya mengatasinya telah
dilakukan secara optimal tetap tidak berhasil. Maksudnya ialah jika kita tidak dapat
mengubah penderitaan, sebaiknya kita mengubah sikap atas keadaan itu agar tidak
terhanyut secara negatif oleh keadaan tersebut. Tentu saja dengan jalan mengambil sikap
yang baik dan tepat yakni sikap yang mendatangkan kebahagiaan bagi diri sendiri dan
orang lain serta sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan norma-norma yang berlaku.
2. Keinginan akan Makna (The Will of Meaning)
The will of meaning yang mendorong setiap manusia untuk melakukan berbagai
kegiatan agar hidupnya dirasakan berarti dan berharga. Keinginan untuk bermakna
adalah dasar perjuangan manusia untuk menemukan dan memenuhi makna dan tujuan
hidup. Menurut Frankl, makna hidup merupakan sesuatu yang unik dan khusus, artinya,
dia hanya dapat dipenuhi oleh masing-masing individu; hanya dengan cara itulah dia bisa
memiliki arti yang bisa memuaskan keinginan orang tersebut untuk mencari makna
hidup.34
Setiap manusia memiliki kebebasan yang hampir tidak terbatas untuk
menemukan sendiri makna hidupnya. Makna hidup dan sumber-sumbernya dapat
ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, khususnya dalam kegiatan apapun yang
dilakukan, serta dalam keyakinan terhadap harapan dan kebenaran serta penghayatan atas
keindahan, iman, dan cinta kasih. Selain itu, sikap tepat yang diambil atas penderitaan
yang tidak dapat diubah lagi merupakan sumber makna hidup. Dalam hal ini mungkin
pada suatu saat harapan dan kebebasan secara fisik seakan-akan hampir sirna, tetapi
setiap manusia pada dasarnya masih tetap memilikinya, sekalipun hanya dalam pikiran,
34
Frankl, Optimisme di Tengah Tragedi, 160.
26
perasaan, cita-cita, dan angan-angan semata. Berdasarkan pemahaman tersebut, dapat
dipahami bahwa keinginan akan makna dapat menjadi motivasi bagi setiap orang untuk
menemukan dan menjalani hidup yang bermakna.
Keinginan untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama pada manusia.35
Hasrat
inilah yang mendorong setiap orang untuk melakukan berbagai kegiatan agar hidupnya
dirasakan berarti dan berharga. Hasrat untuk hidup bermakna ini bukanlah sesuatu yang
diada-adakan, melainkan benar-benar suatu fenomena kejiwaan yang nyata dan dirasakan
pentingnya dalam kehidupan seseorang. Sebagai motivasi dasar manusia, keinginan
untuk hidup bermakna ini mendambakan diri manusia menjadi seorang pribadi yang
berharga dan berarti dengan kehidupan yang sarat dengan kegiatan-kegiatan yang
bermakna pula.36
Menurut penulis, keinginan akan makna ini mendorong pribadi setiap
individu untuk menemukan makna dalam setiap tindakan dan kegiatan yang dilakukan
agar hidup yang dijalani dirasakan berarti, berharga dan bermanfaat bagi diri sendiri dan
orang lain.
3. Makna Hidup (The Meaning of Life)
Hidup punya potensi untuk memiliki makna, apapun kondisinya, bahkan dalam
kondisi yang paling menyedihkan sekalipun.37
Manusia memiliki kapasitas untuk
mengubah aspek-aspek hidup yang negatif menjadi sesuatu yang positif dan
konstruktif.38
Meaning of life dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan
nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan. Makna
hidup adalah hal-hal khusus yang dirasakan penting dan diyakini sebagai sesuatu yang
benar serta layak dijadikan tujuan hidup yang harus diraih.39
Menurut Bastaman, makna
hidup yang berhasil dipenuhi menyebabkan kehidupan seseorang dirasakan penting dan
35
Bastaman, Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup, 43. 36
Bastaman, Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup, 44. 37
Frankl, Optimisme di Tengah Tragedi, 212. 38
Frankl, Optimisme di Tengah Tragedi, 212. 39
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 5.
27
berharga yang pada gilirannya akan menimbulkan penghayatan bahagia.40
Frankl
mengartikan makna hidup sebagai kesadaran adanya suatu kesempatan atau
kemungkinan yang dilatarbelakangi oleh realitas atau menyadari yang bisa dilakukan
pada situasi buruk yakni memanfaatkan yang terbaik dari setiap situasi.41
Dari
pemahaman di atas, dapat dipahami bahwa hidup tetap memiliki makna (arti) dalam
setiap situasi, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun. Makna adalah sesuatu
yang dirasakan penting, benar, berharga dan didambakan serta memberikan nilai khusus
bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup. Setiap manusia selalu mendambakan
hidupnya bermakna, dan selalu berusaha mencari dan menemukannya. Makna hidup
apabila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti, dan
mereka yang berhasil menemukan serta mengembangkannya akan merasakan
kebahagiaan sebagai rewardnya sekaligus terhindar dari keputusasaan. Makna hidup
terdapat dalam kehidupan itu sendiri, baik dalam kondisi kehidupan senang ataupun
susah.
Konsep-konsep ini pada hakikatnya merupakan inti dari setiap perjuangan hidup
yakni mengusahakan agar kehidupan senantiasa berarti bagi diri sendiri, keluarga,
masyarakat, dan agama. Dalam hal ini diakui adanya kebebasan yang bertanggung jawab
untuk mewujudkan hidup yang bermakna melalui karya, penghayatan, keyakinan, dan
harapan serta sikap tepat atas peristiwa tragis yang tidak terelakkan.
2.3.1 Area Ketidakmampuan Perkembangan Spiritual
Area ketidakmampuan perkembangan spiritual adalah ketidakmampuan berpikir
(aspek berpikir negatif) untuk mengatasi tantangan hidup dan ketidakyakinan diri (aspek
40
Bastaman, Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup, 45. 41
Frankl, Optimisme di Tengah Tragedi, 212.
28
nilai diri negatif) pribadi setiap individu untuk mencapai kebahagiaan.42
Menurut
penulis, ketidakmampuan perkembangan spiritual inilah yang menyebabkan seseorang
terus berada dalam keadaan rendah diri dan tidak berdaya saat menghadapi permasalahan
hidup. Area ketidakmampuan perkembangan spiritual dideskripsikan sebagai berikut.
A. Pengalaman Hidup Negatif Masa Lampau
Pengalaman hidup negatif masa lampau adalah masalah dan peristiwa yang terjadi
sekali atau berulangkali, merugikan dan membawa preseden buruk bagi kemampuan
berpikir spiritual pribadi setiap individu.43
Menurut Lim et al sebagaimana dikutip dalam
Engel, keyakinan tentang diri pribadi setiap individu dipelajari sebagai hasil dari
pengalaman yang dimiliki dalam kehidupannya, terutama pengalaman awal kehidupan
individu.44
Keyakinan yang individu miliki tentang dirinya adalah suatu kesimpulan
berdasarkan apa yang telah terjadi dalam hidupnya. Apa yang terjadi dalam hidup pribadi
setiap individu yang akan menjadi fakta dan kenyataan sebagai pengalaman hidup positif
atau pengalaman hidup negatif masa lampau individu. Menurut penulis, pengalaman
hidup negatif masa lampau berdampak pada keyakinan diri seseorang di masa sekarang.
Dengan kata lain, pengalaman hidup yang negatif menghasilkan keyakinan diri negatif;
sebaliknya pengalaman hidup positif menghasilkan keyakinan diri yang positif pula.
Pengalaman hidup negatif masa lampau dapat terjadi karena kurangnya penghargaan
dalam keluarga.45
Menurut Lim et al dalam Engel, anak yang sering dianiaya, dihukum
secara ekstrim, diabaikan, ditinggalkan, atau dilecehkan, mendapat perlakuan kasar,
terlalu sering dikritik, dipermalukan, dan dihina, akan memiliki pengalaman emosional
dan psikologis yang buruk. Demikian juga anak-anak yang kurang mendapat perhatian,
pujian, dorongan, kehangatan, kasih sayang yang merupakan kebutuhan dasar mereka,
42
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 31-32. 43
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 32. 44
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 32. 45
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 36.
29
entah karena orang tua menghabiskan banyak waktu untuk bekerja memenuhi kebutuhan
keluarga atau mengejar kepentingan mereka sendiri sehingga hanya memiliki sangat
sedikit waktu bagi anak-anak. Jika orang tua menghabiskan lebih banyak waktu untuk
mengkritik daripada memuji anak, itu bisa lebih sulit bagi seorang anak untuk
mengembangkan harga diri yang sehat. Hal itu disebabkan anak masih membentuk nilai-
nilai dan keyakinan mereka, untuk membangun citra diri di sekitar apa yang orang tua
atau orang lain katakan. Berdasarkan pemahaman tersebut, dapat dipahami bahwa orang
tua berperan penting dalam pembentukan dan pengembangan kepribadian serta harga diri
seorang anak.
Pengalaman hidup masa lampau, dapat dilihat dalam lima unsur berikut:
1. Pendidikan yang Rendah
Pendidikan yang rendah dapat mengakibatkan seorang anak memiliki harga diri
yang rendah. Anak-anak dengan prestasi yang buruk atau yang putus sekolah cenderung
memiliki harga diri spiritual yang lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak yang
memiliki prestasi yang baik di sekolah. Kontributor utama harga diri spiritual adalah
orang tua, guru, pembantu rumah tangga, kakek, nenek, saudara, teman, dan kerabat
lainnya serta otoritas lain dalam kehidupan anak. Orang tua bagaimana pun memiliki
kesempatan terbaik dan paling konsisten untuk mempengaruhi pandangan seorang anak
terhadap dirinya sendiri.46
Kesibukan orang tua seringkali menjadi penyebab kelalaian
tanggung jawab pendidikan terhadap anak. Oleh sebab itu, orang tua perlu memahami
perannya sebagai kontributor utama dalam memberikan pendidikan bagi anak dalam
keluarga guna membentuk harga diri spiritual yang sehat. Menurut penulis, pendidikan
yang seharusnya diterima oleh anak-anak, bukan hanya pendidikan formal tetapi juga
pendidikan informal yang didapat di rumah. Pendidikan yang anak-anak terima di rumah,
46
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 33.
30
di sekolah, di lingkungan masyarakat dan gereja, membentuk harga dirinya. Orang tua,
guru, masyarakat dan para pelayan gereja perlu memahami perannya dalam proses
pembentukan dan pengembangan harga diri anak agar dapat menciptakan harga diri
spiritual yang sehat dalam diri anak-anak.
2. Beban Ekonomi Keluarga
Menurut Ithaca, secara umum anak remaja dari keluarga kelas ekonomi menengah
dan kelas atas, memiliki harga diri spiritual yang tinggi dibandingkan remaja kurang
makmur (miskin) yang memiliki standar ekonomi dibawa rata-rata yang cenderung
mengalami harga diri spiritual yang rendah.47
Semakin tinggi status sosial ekonomi
remaja, lebih mudah memiliki sumber daya lebih besar, kualitas hidup lebih baik, dan
standar gizi makanan yang lebih terjamin. Sedangkan remaja dengan status ekonomi
rendah tidak akan memenuhi standar gizi empat sehat lima sempurna, cenderung
memiliki sumber daya dan kualitas hidup yang rendah, semakin mengembangkan harga
diri spiritual yang rendah pada remaja. Menurut penulis, status ekonomi yang menjadi
faktor penentu harga diri telah menjadi pemahaman yang keliru dan dilanggengan selama
ini. Kecenderungan menilai orang berdasarkan faktor ekonomi inilah yang membuat
anak-anak dari kalangan ekonomi rendah secara otomatis menganggap diri mereka
sebagai yang lemah dan tak punya apa-apa. Pikiran seperti ini menimbulkan adanya
perasaan minder dalam diri anak-anak yang berasal dari keluarga dengan ekonomi
rendah. Menghadapi keadaan seperti ini, orang tua berperan penting untuk memberikan
pemahaman yang baik bagi anak-anaknya, entah orang tua dari kalangan ekonomi
rendah, menengah, maupun tinggi. Anak-anak harus dibantu agar tidak menjadi rendah
diri ataupun tinggi hati karena keadaan ekonomi, namun sebaliknya mensyukuri apa
yang dimiliki dan menghargai sesama yang berbeda dengan mereka secara ekonomi.
47
Ithaca, H. “Adolescent Self-Esteem. Family Life Development Center”, 2003,
http://www.human.cornell.edu/actforyouth (September 2015).
31
3. Konflik Diri Individu
Menurut Answer, anak dengan harga diri spiritual yang rendah sulit meluangkan
waktu untuk berurusan dengan masalah, terlalu kritis terhadap diri sendiri, dan bisa
menjadi pasif, menarik diri, serta tertekan.48
Mereka cenderung mudah frustrasi dan
sering melihat masalah sementara sebagai kondisi permanen. Hal tersebut menjadi
konflik diri, karena mereka pesimis tentang diri dan kehidupan yang mereka jalani.
Harga diri spiritual yang rendah pada anak-anak sangat dipengaruhi oleh sikap dan
perilaku orang tua.49
Menurut Theravive, sikap orang tua yang kasar dan lalai tanggung
jawab terhadap anak-anak telah menciptakan krisis identitas dan jati diri, serta
mengembangkan citra diri buruk pada anak-anak terutama ketika mereka mencapai usia
remaja.50
Hal-hal seperti inilah yang sering menciptakan konflik individu dalam diri
anak, sehingga anak memiliki pola perilaku menyalahkan diri sendiri, cenderung
membuat pilihan yang buruk, sering cemas dengan situasi dalam keluarga yang kurang
harmonis, menjadi sensitif, tidak puas, stres, depresi, dan putus asa dalam sebagian besar
hidupnya. Menurut penulis, sikap dan perilaku orang tua turut menentukan sikap anak
dalam menghadapi permasalahan hidupnya. Agar anak dapat menghadapi masalah secara
konstruktif, orang tua perlu memainkan perannya dengan baik. Jika hal tersebut
dilakukan maka akan terbentuk harga diri spiritual yang sehat dalam diri anak.
Sebaliknya pengalaman hidup negatif masa lampau mengembangkan harga diri
spiritual yang rendah pada anak sekaligus merupakan kegagalan bagi diri mereka untuk
berkembang lebih baik.51
Dikatakan demikian karena anak-anak dapat memiliki
konsekuensi yang menghancurkan masa depan mereka, dengan menciptakan kecemasan,
48
Answer, “Self-Esteem: Self-Esteem Children Factors Positive Words”, 2012,
http://www.links.answer.com (September 2015). 49
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 35. 50
Theravive, “Low Self-Esteem Help”, 2011, http://www.theravive.com/service/self-esteem.htm
(September 2015). 51
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 36.
32
stres, kesepian, dan meningkatkan kemungkinan depresi, menggangu kinerja akademik,
mengganggu relasi dengan orang lain, mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap
penyalahgunaan minuman keras dan narkoba.52
4. Kurang Penghargaan dalam Keluarga
Penghargaan dalam keluarga turut membentuk harga diri spiritual anak-anak. Anak-
anak yang kurang mendapat perhatian, pujian, dorongan, kehangatan, kasih sayang yang
merupakan kebutuhan dasar mereka, entah karena orang tua menghabiskan banyak
waktu untuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarga atau mengejar kepentingan mereka
sendiri sehingga hanya memiliki sangat sedikit waktu bagi anak-anak, memiliki
pengalaman emosional dan psikologis yang buruk.53
Pengalaman buruk ini membentuk
harga diri spiritual yang rendah dalam diri anak sehingga mereka memiliki keyakinan inti
negatif dan asumsi negatif terhadap diri pribadi mereka. Berdasarkan pemahaman
tersebut, dapat dipahami bahwa keluarga merupakan tempat utama dan pertama bagi
seorang anak untuk mendapatkan penghargaan dalam hidupnya. Oleh sebab itu, sudah
seharusnya orang tua memberikan perhatian, kasih sayang, pujian, dorongan, dan
kehangatan yang menjadi kebutuhan dasar mereka.
5. Iklim Lingkungan Masyarakat Negatif
Perilaku masyarakat yang menyimpang seperti penyalahgunaan narkoba, mabuk-
mabukan, pemerkosaan, pencurian, perampokan, seringkali membuat anak-anak merasa
cemas dan tidak aman dilingkungannya sendiri. Bahkan lebih parah daripada itu, jika
anak memiliki harga diri spiritual yang rendah yang mengakibatkan anak memiliki
keyakinan inti negatif dan asumsi negatif tentang diri mereka, maka kemungkinan
mereka pun akan terpengaruh dan terjerumus dalam lingkungan masyarakat yang negatif.
52
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 36. 53
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 36.
33
Penulis memahami lingkungan masyarakat sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
pembentukan dan pengembangan kepribadian seseorang. Lingkungan yang baik
memungkinkan berkembangnya kepribadian yang baik dan harga diri spiritual yang sehat
dalam diri anak, sebaliknya lingkungan yang buruk dapat menjerumuskan anak dalam
perilaku menyimpang dan tidak terpuji, yang pada akhirnya dapat menciptakan
kepribadian yang buruk dan harga diri spiritual yang rendah dalam diri anak.
B. Keyakinan Inti Negatif
Keyakinan inti negatif adalah kesimpulan tentang ketidakmampuan berpikir spiritual
pribadi setiap individu sebagai akibat dari pengalaman-pengalaman negatif yang
dimilikinya.54
Menurut Lim et al sebagaimana dikutip dalam Engel, keyakinan inti
negatif tentang diri individu berkembang dari pengalaman negatif masa lampau.55
Hal ini
penting untuk memahami bagaimana dan mengapa pribadi setiap individu mengambil
kesimpulan tentang dirinya sendiri seperti yang dilakukannya. Berdasarkan pemahaman
tersebut, penulis memahami keyakinan inti negatif sebagai suatu kepercayaan diri negatif
yang dirasakan oleh anak sebagai akibat dari pengalaman negatif masa lampau.
Kepercayaan diri tersebut dipegangnya sebagai suatu kebenaran menurut pemahamannya
sendiri sehingga mempengaruhi cara pandangnya tentang dirinya dan bagaimana dia
bersikap dalam hidup.
Keyakinan inti negatif meliputi empat unsur masalah yaitu ketidakmampuan
intelektual, ketidakmampuan mengendalikan emosi, penghargaan diri yang rendah, dan
ketidakmampuan berperan dalam masyarakat, dideskripsikan sebagai berikut.
54
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 38. 55
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 38.
34
1. Ketidakmampuan Intelektual
Menurut Theravive, keyakinan inti negatif berkontribusi pada nilai diri dan
ketidakmampuan intelektual seseorang yang mencakup keyakinan bahwa saya tidak
cukup baik, tidak bisa membuatnya, tidak bisa melakukan hal-hal yang dapat dilakukan
kebanyakan orang.56
Orang-orang seperti ini biasanya tidak pernah dapat menemukan
arah atau tujuan dalam hidup karena merasa bodoh, gagal, buruk, tidak peduli, bukan
apa-apa, tidak berhasil, dan merasa bersalah. Dengan mengidentifikasi keyakinan inti
negatif yang berkontribusi terhadap nilai diri dan ketidakmampuan intelektual akan
menemukan gambaran yang jelas tentang masa depan sehingga mampu mengatasi
perasaan negatif dan memberikan harapan serta melepas diri dari keyakinan yang
berbahaya.
Menurut Answer, sebuah titik kritis dalam perkembangan anak usia sekolah, terjadi
pada dua hal.57
Pertama, mengalami krisis identitas dalam menyesuaikan diri dengan
teman sebaya atau orang dewasa dalam situasi baru dengan aturan-aturan yang mungkin
baru dan aneh. Kedua, krisis dalam mengikuti pelajaran di sekolah karena berbagai
faktor yang mempengaruhi, tentang bagaimana anak-anak dapat mengurusi tugas-tugas
belajar di sekolah dan bagaimana mereka terampil dalam olahraga maupun kegiatan-
kegiatan sosial lainnya. Hal tersebut membentuk dan merubah cara pandang anak-anak
terhadap dirinya sendiri, sehingga menimbulkan kesimpulan pada keyakinan dirinya
bahwa saya selalu salah, saya minder, saya bukan apa-apa, saya bodoh dan tidak mampu.
Menurut penulis, hal serupa yang dialami oleh anak-anak korban broken home yakni
mereka tidak mampu menyesuaikan diri dan bahkan tidak mampu bersosialisasi dengan
lingkungan sosial karena merasa minder, sebab berasal dari keluarga yang hancur.
56
Theravive, “Low Self-Esteem Help”, 2011, http://www.theravive.com/service/self-esteem.htm
(September 2015). 57
Answer, “Self-Esteem: Self-Esteem Children Factors Positive Words”, 2012,
http://www.links.answer.com (September 2015).
35
Permasalahan yang dialami dalam keluarga menggangu pikiran mereka sehingga mereka
cenderung menemukan krisis dalam berinteraksi dengan orang lain dan bahkan dalam
mengikuti pelajaran di sekolah. Hal tersebut berimplikasi pada prestasi belajar dan masa
depan mereka kelak.
2. Ketidakmampuan Mengendalikan Emosi
Keyakinan inti negatif sebagai pengalaman hidup negatif masa lalu yang berdampak
pada setiap bidang kehidupan termasuk hubungan pribadi, kondisi emosional yang
membuat individu berperilaku merugikan diri sendiri, merasa selalu salah dengan pola
perilakunya, menjadi sensitif, merasa gagal, dan tidak diinginkan oleh keluarga, sahabat
dan teman.58
Orang tua seharusnya memerankan fungsinya dengan baik untuk membantu
anak mengembangkan kontrol diri agar anak mampu mengendalikan emosi negatif dan
mengembangkan emosi positif. Menurut penulis, ketidakmampuan mengendalikan emosi
juga dialami oleh anak-anak korban broken home. Perasaan diabaikan, tidak mendapat
perhatian dan kasih sayang dalam keluarga, serta menjadi sensitif membuat mereka tidak
dapat mengontrol emosi dengan baik. Mereka cenderung membesar-besarkan perasaan
negatif yang dirasakan dengan tidak memikirkan untuk mengolahnya menjadi suatu
perasaan positif yang lebih bermanfaat bagi diri dan hidup mereka.
3. Penghargaan Diri yang Rendah
Menurut Nutting, keyakinan inti negatif adalah keyakinan yang dipegang teguh
berkaitan dengan pribadi setiap individu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan.59
Anak-anak yang menetapkan tujuan dalam hidupnya pada umumnya memiliki harga diri
spiritual yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak mempunyai tujuan hidup yang
58
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 41. 59
Nutting, J. “Core Belief Balance: The Growing Awareness Series”, 2012, http://core-beliefs-
balance.com (September 2015).
36
jelas.60
Harga diri spiritual yang tinggi juga langsung berhubungan dengan anak-anak
yang memiliki keluarga yang sangat mendukung. Sedangkan harga diri spiritual yang
rendah berhubungan dengan anak-anak yang memiliki keluarga yang tidak mendukung.
Anak-anak yang penghargaan dirinya direndahkan dalam keluarga, biasanya tidak
mendapat dukungan keluarga, tidak penting apapun keberhasilan yang dicapai, tidak
berharga, tidak disukai, tidak berguna sehingga kurang mendapat kasih sayang, sering
dikritik secara berlebihan. Mereka cenderung tidak pernah mendapat sanjungan dalam
keluarga seperti “ayah menyayangimu” atau “ibu menyayangimu”. Dengan demikian,
yang anak rasakan tentang dirinya dan mempengaruhi hidupnya adalah segala yang
negatif. Menurut penulis, penghargaan dalam keluarga sangat penting bagi pembentukan
dan pengembangan harga diri spiritual yang sehat dalam diri anak-anak. Oleh sebab itu,
orang tua perlu untuk memberikan pujian, dorongan, dan kasih sayang dalam berbagai
bentuk agar anak-anak dapat merasakan bahwa kehadiran mereka berarti bagi orang lain.
4. Ketidakmampuan Berperan dalam Masyarakat
Menurut Tictoc, keyakinan inti negatif dipahami sebagai suatu fenomena sosiologis
dari pengalaman hidup negatif masyarakat yang mempengaruhi individu, sehingga
berdampak pada ketidakpercayaan individu terhadap masyarakat.61
Oleh karena itu,
keyakinan inti negatif dapat dipahami sebagai degradasi terhadap ketahanan dan
kemampuan diri untuk mengatasi tekanan hidup secara eksternal, dan menempatkan
individu pada risiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan mental seperti gangguan
makan, depresi, atau fobia sosial, yang berhubungan erat dengan mood dan keyakinan
diri. Menurut penulis, ketidakmampuan seorang anak berperan dalam masyarakat adalah
akibat dari keyakinan inti negatif yang ada dalam dirinya. Keyakinan inti negatif
membuat anak tidak mampu beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungan sosial
60
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 42. 61
Tictoc, “How To Increase Your Self-Esteem”, 2012, http://www.mind.org.uk (September 2015).
37
karena merasa rendah diri. Oleh sebab itu, sekali lagi ditegaskan bahwa peran orang tua
sangat penting dalam menciptakan dan mengembangkan keyakinan inti positif dalam diri
anak-anak agar muncul harga diri spiritual yang sehat dalam diri mereka. Orang tua
sudah seharusnya memberikan perhatian, pujian, dorongan, kehangatan, dan kasih
sayang yang menjadi kebutuhan dasar anak-anak dalam keluarga.
C. Asumsi Negatif
Asumsi negatif adalah anggapan yang salah dalam mempertahankan kemampuan
berpikir spiritual pribadi setiap individu.62
Asumsi memiliki persepsi untuk menentukan
cara individu menanggapi setiap situasi. Asumsi negatif dipahami sebagai suatu
konfrontasi terhadap pengalaman hidup negatif yang justru semakin mengembangkan
keyakinan inti negatif individu. Menurut Lim et al sebagaimana dikutip dalam Engel,
pribadi setiap individu memandang dan melihat dirinya secara negatif, sehingga tidak
mengherankan jika individu merasa sangat buruk tentang dirinya sendiri dan memiliki
pengalaman emosi negatif yang kuat.63
Berdasarkan pemahaman tersebut, menurut
penulis asumsi negatif merupakan anggapan seseorang yang salah tentang dirinya sendiri
yang berdampak pula pada tanggapan negatif yang dia berikan bagi hidup yang dijalani.
Asumsi negatif meliputi lima unsur masalah. Lima unsur tersebut yaitu harapan
negatif, gagal mencapai sukses, di luar kontrol diri, rendah diri, dan menjadi beban
masyarakat, dideskripsikan sebagai berikut.
1. Mengembangkan Citra Buruk Keluarga
Menurut Lim et al dalam Engel, asumsi negatif adalah pedoman untuk menjalani
hidup yang membantu melindungi harga diri, sebagai suatu keharusan yang tidak
62
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 44. 63
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 44.
38
membantu.64
Individu mengembangkan asumsi seperti: “Saya tidak sendirian lagi dan
tidak akan terabaikan sekalipun orang tua harus sibuk mengejar kepentingan mereka.”
Ternyata asumsi seperti itu tidak banyak membantu, justru semakin mengembangkan
keyakinan inti negatif, sehingga menghasilkan tindakan yang tidak membantu pula.
Dengan demikian, asumsi negatif adalah suatu keharusan hidup ideal untuk
mempertahankan hidup dan harga diri yang tidak terjadi dalam kenyataan.
2. Pencapaian dan Kesuksesan yang Fiktif
Laishram sebagaimana dikutip dalam Engel memahami asumsi negatif sebagai suatu
keyakinan hidup penuh harapan untuk sukses dan mencapai prestasi sebagai suatu
perasaan emosional yang belum pasti berhasil.65
Ketidakpastian itu dapat menyebabkan
depresi, gangguan mental dan fisik, ketika keyakinan tersebut tidak tercapai. Asumsi
negatif mengupayakan suatu pencapaian kesuksesan dalam hidup dan ketika gagal
setelah bekerja keras, individu memperlakukan kegagalan sebagai kebenaran hakiki yang
mengakibatkan hilangnya harga diri.66
3. Pengendalian Diri Negatif
Menurut Answers, asumsi negatif sebagai kecenderungan untuk menciptakan
kepuasan diri sendiri, seolah-olah yang diinginkan dan dicita-citakan sudah terjadi.67
Individu berasumsi bahwa pola perilaku dan pilihan hidupnya sudah sangat jelas dan
benar, memiliki pengendalian diri yang tinggi, sukses dalam sebagian besar hidupnya,
merasa nyaman dan sangat dibutuhkan dalam keluarganya. Misalnya anak-anak yang
takut gagal; mereka sering bertindak karena berasumsi seolah-olah mereka telah
mencapai suatu prestasi dan kesuksesan.
64
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 45. 65
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 45. 66
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 46. 67
Answer, “Self-Esteem: Self-Esteem Children Factors Positive Words”, 2012,
http://www.links.answer.com (September 2015).
39
4. Penghargaan Diri Negatif
Eating Disorders menggambarkan asumsi negatif sebagai suatu pertahanan diri
individu terhadap kekurangan dirinya dengan bertindak seolah-olah semuanya
sempurna.68
Individu merasa dirinya paling hebat, berprestasi dan sukses, hanya untuk
menutupi kekurangan dirinya. Individu berasumsi berhasil mendapat dukungan atas apa
yang dilakukannya, sehingga mengharapkan sanjungan, pujian, perhatian, dan kasih
sayang dari orang tua, keluarga, sahabat, dan lain sebagainya. Asumsi negatif dipahami
sebagai konflik diri individu antara pencapaian yang tinggi atas penghargaan dirinya
dengan keterbatasan kemampuan yang dimilikinya.69
5. Citra Buruk Masyarakat
Menurut Answers, asumsi negatif dapat ditimbulkan dari citra buruk masyarakat
yang meliputi perilaku kriminal, menjadi korban bullying, kehamilan remaja, merokok
dan penggunaan alkohol serta obat-obat terlarang, putus sekolah, depresi, dan lain-lain.70
Citra buruk tersebut memotivasi individu untuk menyenangkan, menghibur, memberi
perhatian kepada orang lain, dengan asumsi menjadi agen perubahan. Dengan kata lain
asumsi negatif merupakan suatu bentuk kamuflase dari validasi sosial terhadap citra
buruk masyarakat, yang justru semakin mengembangkan keyakinan inti negatif
individu.71
D. Bias Harapan
Bias harapan adalah perasaan negatif pribadi setiap individu yang melebih-lebihkan
kemungkinan yang buruk terjadi terhadap keyakinan diri spiritual, sehingga merusak
68
Eating Disorders Venture (LLC), “Eating Disorders”, 2006,
http://www.eatingdisordershelpguide.com/self-esteem.html (September 2015). 69
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 47. 70
Answer, “Self-Esteem: Self-Esteem Children Factors Positive Words”, 2012,
http://www.links.answer.com (September 2015). 71
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 48.
40
harapan untuk hidup.72
Menurut Lim et al dalam Engel, bias harapan adalah pikiran
negatif yang sering muncul ketika pribadi setiap individu mengalami suatu situasi yang
berisiko tinggi.73
Situasi berisiko tinggi adalah kejadian atau peristiwa yang menimpa
pribadi setiap individu di bawah tekanan, ancaman, dan bahkan kekerasan. Bias harapan
merupakan pikiran negatif yang dilatarbelakangi asumsi individu untuk memperbaiki
hidup dan masa depan malah terjebak situasi berisiko tinggi, sehingga melebih-lebihkan
kemungkinan bahwa hal-hal buruk akan terjadi, meremehkan kemampuannya sendiri dan
karena itu keyakinan inti negatif menjadi aktif.74
Bias harapan dapat mengakibatkan
individu melarikan diri dengan mengkonsumsi rokok, minuman keras, narkoba, dan
bahkan pergaulan bebas. Perilaku tersebut berkontribusi pada kecemasan, kegelisahan,
ketegangan, ketakutan, ketidakpastian, dan keraguan. Berdasarkan pemahaman tersebut,
penulis memahami bias harapan sebagai suatu pikiran dan perasaan negatif yang
dilatarbelakangi oleh asumsi individu untuk memperbaiki hidup dan masa depan tetapi
malah terjebak dalam situasi yang berisiko, sehingga mengakibatkan kecemasan,
kegelisahan, ketakutan, ketidakpastian, dan keraguan.
Bias harapan meliputi dua unsur masalah yaitu harapan buruk dan kemungkinan
terburuk, dideskripsikan sebagai berikut.
1. Harapan Buruk
Bias harapan memunculkan keyakinan inti negatif lanjutan dalam diri pribadi
setiap individu bahwa mereka tidak berguna melalui beberapa cara; pertama,
dikonfirmasi oleh semua prediksi negatif bahwa mereka tidak berguna; kedua, pribadi
setiap individu merasa begitu cemas dan menggunakan hal tersebut sebagai tanda untuk
meyakinkan diri sendiri bahwa apa pun yang mereka lakukan negatif, sehingga mereka
berperilaku seolah menjadi tidak berguna; ketiga, semua perilaku pribadi setiap individu
72
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 48. 73
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 48. 74
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 49.
41
tidak membantu berarti mereka bertindak dengan gagasan bahwa mereka tidak
berguna.75
Jika pribadi setiap individu bertindak seolah-olah tidak berguna, mereka akan
terus berpikir dan percaya bahwa “mereka memang tidak berguna.” Menurut Lapian dan
Geru sebagaimana dikutip dalam Engel, harapan buruk pribadi setiap individu mengarah
pada perilaku dan emosi negatif, yang mengakibatkan trauma fisik dan psikologis.76
Menurut Lim et al dalam Engel, salah satu cara untuk mengatasi harapan buruk adalah
melakukan konfrontasi dengan cara pribadi setiap individu membedah dan mengevaluasi
masalah-masalah dasar yang menyebabkan bias harapan dan hal-hal positif apa yang
mungkin telah mereka abaikan.77
Berdasarkan pemahaman para ahli di atas, penulis
memahami harapan buruk sebagai akibat dari keyakinan inti negatif yang didukung oleh
asumsi negatif pribadi setiap individu yang dianggapnya sebagai suatu kebenaran tentang
dirinya. Harapan buruk tersebut dapat diperbaiki dengan melakukan konfrontasi terhadap
masalah-masalah yang dihadapi dengan menemukan kembali hal-hal positif yang
terabaikan dari pandangan pribadi setiap individu.
2. Kemungkinan Terburuk
Konfrontasi yang dilakukan pribadi setiap individu adalah upaya untuk
mengembangkan harapan yang realistik, agar pribadi setiap individu dapat menjalani
hidup dengan baik dan bijaksana. Ketika pribadi setiap individu menyadari bahwa
mereka berarti dan berharga, mempunyai kekuatan dan kemampuan, menjadi berguna
bagi orang-orang yang mereka cintai, maka mereka akan bangkit dari keterpurukan,
meninggalkan pengalaman masa lalu yang buruk, dan menggapai masa depan yang
penuh harapan.78
Dengan demikian, kebermaknaan hidup pribadi setiap individu bukan
75
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 49-50. 76
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 50. 77
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 50. 78
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 50.
42
terletak pada seberapa banyak yang mereka miliki secara kuantitas, melainkan seberapa
hidup mereka berkualitas.
E. Evaluasi Diri Negatif
Evaluasi diri negatif adalah perasaan menyalahkan diri dan kritik diri sendiri,
sebagai akibat dari ketidakyakinan spiritual pribadi setiap individu.79
Menurut Lim et al
dalam Engel, evaluasi diri negatif adalah cara berpikir pribadi setiap individu didominasi
oleh situasi berisiko tinggi, sehingga menyalahkan diri dan kritik diri sendiri, dan karena
itu keyakinan negatif menjadi aktif.80
Pribadi setiap individu cenderung untuk
mengevaluasi dirinya sendiri dengan cara negatif. Menurut penulis, evaluasi diri negatif
adalah suatu keadaan memberikan penilaian buruk terhadap diri sendiri sebagai akibat
dari ketidakyakinan spiritual pribadi setiap individu.
Dalam rangka mengembangkan evaluasi diri seimbang, maka evaluasi diri negatif
berhubungan dengan seperangkat instrumen pengendali diri yang mempengaruhi
kemampuan berpikir seseorang secara positif. Menurut Sunaryo, seperangkat instrumen
pengendali diri tersebut terdiri dari empat komponen yaitu citra diri (body image) buruk,
ideal diri (self-ideal) buruk, peran diri (self-role) buruk, dan identitas diri (self-identity)
buruk.81
1. Citra Diri (Body Image) Buruk
Citra diri adalah suatu sikap individu dalam mempersepsikan keadaan fisik
tubuhnya, baik itu tentang ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan, maupun potensi
tubuh. Citra diri ini penting karena berperan besar dalam mempengaruhi keadaan
kejiwaan seseorang. Citra diri berhubungan dengan kepribadian; cara individu
memandang dirinya memiliki dampak terhadap perkembangan psikologisnya. Pribadi
79
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 51. 80
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 51. 81
Sunaryo, Psikologi untuk Keperawatan (Jakarta: EGC, 2004), 33.
43
setiap individu yang menerima diri apa adanya biasanya memiliki harga diri lebih sehat
daripada individu yang tidak menyukai dirinya. Pribadi setiap individu yang memiliki
citra diri positif lebih mudah untuk menerima dan memahami dirinya dalam
keberadaannya, sehingga dapat membangun komunikasi dan relasi yang harmonis
dengan orang lain dalam rangka mengembangkan evaluasi diri seimbang.
2. Ideal Diri (Self-Ideal) Buruk
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana dirinya harus berperilaku dan
bertindak berdasarkan standar, aspirasi, tujuan, atau penilaian personal tertentu. Standar
diri terkait dengan tipe orang yang diinginkan atau sejumlah aspirasi, cita-cita, nilai-nilai
yang ingin dicapai. Ideal diri mewujudkan harapan dan cita-cita pribadi setiap individu
berdasarkan norma sosial dan budaya serta kepada siapa ingin dilakukan. Tujuan dan
makna hidup terdapat dalam kehidupan pribadi setiap individu, dan dapat ditemukan
dalam setiap keadaan, baik menyenangkan maupun tidak menyenangkan, dalam keadaan
bahagia ataupun penderitaan karena kehidupan manusia di dunia tidak selamanya
dipenuhi dengan kesenangan namun juga dengan penderitaan. Pemaknaan hidup yang
berhasil dihayati pribadi setiap individu dengan memaknai penderitaan merupakan suatu
proses pengembalian ideal diri positif.
3. Peran Diri (Self-Role) Buruk
Peran diri dapat diartikan sebagai apa saja tugas yang harus dilakukan sesuai
tuntutan dari orang lain (keluarga, masyarakat, teman, pacar, tetangga, gereja, negara dan
dunia). Memahami tugas dan prinsip dari peran diri sangat penting agar terhindar dari
“konflik peran”. Homeier sebagaimana dikutip dalam Engel, merumuskan beberapa pola
hidup sehat yang membantu pribadi setiap individu untuk mengembangkan peran
dirinya: (1) berusaha untuk berhenti berpikir negatif tentang dirinya sendiri. Jikalau
seseorang terbiasa fokus pada kekurangannya, mulailah berpikir tentang hal-hal yang
44
positif tentang dirinya. Setiap hari tulislah tiga hal tentang dirinya, yang membuatnya
bahagia; (2) mencoba berbagai hal yang baru. Melakukan aktivitas dengan kegiatan
berbeda yang akan membantu pribadi setiap individu untuk dapat mengembangkan
potensi dirinya; (3) mencari dan menemukan peran diri dalam kebersamaan dengan
orang lain.82
Untuk memiliki tanggung jawab dalam peran diri positif, pribadi setiap
individu perlu menghabiskan waktu dengan orang yang disayangi dan melakukan hal-hal
yang disukai, bersantai dan memiliki waktu yang baik untuk menikmati hidup apa
adanya yang berorientasi makna.
4. Identitas Diri (Self-Identity) Buruk
Menyadari bahwa diri saya berbeda dengan orang lain itulah identitas diri.
Selanjutnya adalah bagaimana mengembangkan diri yang unik itu menjadi pribadi yang
utuh dan lebih baik dari sebelumnya. Homeier dalam Engel, merumuskan beberapa pola
hidup sehat, membantu pribadi setiap individu untuk mengembangkan identitas diri
sebagai berikut: (1) memandang kesalahan dan masa lampau yang buruk sebagai
kesempatan belajar. Menerima bahwa pribadi setiap individu tidak lepas dari kesalahan,
dan kesalahan adalah bagain dari proses belajar. Hal ini dimaksud membantu pribadi
setiap individu mengembangkan identitas dirinya menjadi pribadi yang unik; (2)
mengakui apa yang dapat berubah maupun yang tidak dapat berubah pada diri pribadi
setiap individu. Hal ini akan membantu pribadi setiap individu mengembangkan identitas
dirinya menjadi pribadi yang utuh; (3) berhenti membandingkan dirinya dengan orang
lain.83
F. Ketidakpercayaan Diri
Ketidakpercayaan diri adalah penghayatan hidup hampa dan tak bermakna yang
berlarut-larut tidak teratasi, karena merasa tidak berharga dan tidak mempunyai arti apa-
82
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 56. 83
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 57.
45
apa lagi, sehingga menimbulkan ketidakyakinan diri spiritual.84
Tyrrell melihat
ketidakpercayaan diri dari cara individu memperlakukan dirinya secara buruk karena
merasa jelek, bodoh, dan tidak berguna dari kebanyakan orang lain.85
Pribadi setiap
individu biasanya merasa kehilangan harga diri dan kepercayaan diri karena menganggap
dirinya tidak layak, tidak berguna, dan tidak berharga.
2.3.2 Faktor Penyebab Ketidakmampuan Perkembangan Spiritual
Faktor penyebab ketidakmampuan perkembangan spiritual yang mengakibatkan
harga diri spiritual yang rendah secara konseptual bertolak dari pemahaman Branden
sebagaimana dikutip dalam Engel, tentang harga diri sehat yang dibangun dalam enam
pilar perkembangan spiritual yakni kesadaran diri, penerimaan diri, ketegasan diri, tujuan
hidup, tanggung jawab diri, dan integritas diri.86
A. Kesadaran Diri
Permasalahan perkembangan harga diri spiritual yang rendah pribadi setiap individu
pada tingkat kesadaran diri berhubungan dengan tingkat pendidikan yang rendah dan
konflik diri. Hasil penelitian yang dipaparkan Joshi dan Srivastava terhadap 200 remaja
kota dan 200 remaja desa dari Kabupaten Varanasi usia 12 sampai 14 tahun sebagaimana
dikutip dalam Engel, menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan berkaitan dengan
pencapaian akademik remaja pedesaan yang cenderung mengalami harga diri spiritual
yang rendah karena permasalahan pendidikan, baik formal maupun nonformal dalam
keluarga.87
Pendidikan nonformal yang terabaikan lebih mengarah pada kesibukan orang
tua bekerja yang melalaikan tanggung jawab terhadap pendidikan dalam keluarga dengan
84
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 57. 85
Tyrrell, M. “How to Boost Self-Esteem”, 2011, http://www.uncommon.help.me.com (September
2015). 86
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 65. 87
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 66.
46
cinta, perhatian, kasih sayang, keteladanan, kedamaian, dan kenyamanan.88
Orang tua
melalaikan tanggung jawab dalam keluarga, menyebabkan anak-anak sering merasa
kurang percaya diri untuk melakukan hal-hal yang kebanyakan orang lain tahu
bagaimana cara melakukannya. Orang tua bagaimana pun, memiliki kesempatan terbaik
dan paling konsisten untuk mempengaruhi pandangan seorang anak memiliki dirinya
sendiri. Menurut penulis, anak terjebak dalam kesadaran diri yang rendah karena orang
tua lalai akan tanggung jawabnya untuk memberikan pandangan yang baik bagi anak
tentang diri mereka.
Konflik pribadi setiap individu lebih mengarah pada sikap dan perilaku orang tua
yang membedakan mereka dalam keluarga, berlaku kasar, dan sering melalaikan
tanggung jawab mereka. Sikap orang tua yang kasar dan lalai tanggung jawab terhadap
anak-anak, dan membedakan anak-anak dalam keluarga, telah menciptakan krisis
identitas dan jati diri, serta mengembangkan citra buruk pada anak-anak terutama ketika
mereka mencapai usia remaja.89
Hal-hal inilah yang sering menjadi konflik individu
dalam diri anak, sehingga anak memiliki pola perilaku menyalahkan diri sendiri, sering
dikucilkan, tidak puas, stres, depresi dan putus asa dalam sebagian besar hidupnya.
B. Penerimaan Diri
Permasalahan perkembangan harga diri spiritual yang rendah pribadi setiap individu
pada tingkat penerimaan diri berhubungan dengan kontrol diri dan identitas diri
negatif.90
Pribadi setiap individu sering mengobati diri sendiri di luar kontrol diri
(kontrol diri negatif) dengan mengkonsumsi minuman keras secara berlebihan dan
bahkan narkoba. Hal tersebut disebabkan oleh dua hal: pertama, pengalaman hidup
negatif masa lampau individu yang sekaligus merupakan kegagalan bagi diri individu.
Dikatakan demikian karena individu dapat memiliki konsekuensi yang menghancurkan
88
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 66. 89
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 68. 90
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 68.
47
masa depan mereka dengan menciptakan kecemasan, stres, kesepian, dan meningkatkan
kemungkinan depresi, menyebabkan masalah dalam relasi dengan orang lain,
mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap penyalahgunaan zat (minuman keras
dan narkoba). Kedua, pengalaman traumatis dan ketakutan dialami pribadi setiap
individu ketika terjebak dalam situasi yang berisiko tinggi. Kedua hal tersebut telah
membuat individu tidak dapat menerima keberadaan dirinya dalam hidup yang hancur.
Menurut penulis, anak tidak dapat menerima diri dan keberadaannya karena terus
melanggengkan identitas diri negatif dan cenderung mengobati diri sendiri di luar
kontrol diri (kontrol diri negatif).
C. Ketegasan Diri
Permasalahan perkembangan harga diri spiritual yang rendah pada tingkat ketegasan
diri pribadi setiap individu berhubungan dengan pengendalian diri dan ideal diri.91
Pribadi setiap individu sering tidak dapat mengendalikan diri terhadap pengalaman
kekerasan fisik, psikis, disorientasi gangguan emosi, stres, depresi, dan takut untuk
hidup karena kekerasan yang mereka alami, entah kekerasan verbal maupun nonverbal,
fisik maupun psikis.92
Mereka mengembangkan gangguan psikologis yang mendalam
terhadap pengalaman buruk yang menimpa hidup mereka. Individu melebih-lebihkan
kemungkinan bahwa sesuatu yang buruk terjadi, membesar-besarkan bagaimana hal
buruk terjadi, dan meremehkan kemampuannya sendiri.
Ideal diri buruk menjadikan pribadi setiap individu kehilangan harkat dan martabat,
bahkan merasa harga dirinya rendah, dan karena itu kehilangan makna dan tujuan
hidup.93
Ideal diri buruk telah menghancurkan hidup dan masa depan individu untuk
mewujudkan cita-cita dan nilai-nilai yang ingin dicapai.94
91
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 71. 92
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 71. 93
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 72. 94
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 72.
48
D. Tujuan Hidup
Permasalahan perkembangan harga diri spiritual yang rendah pada tingkat tujuan
hidup pribadi setiap individu berhubungan dengan harapan buruk dan kritik diri
negatif.95
Pribadi setiap individu melebih-lebihkan kemungkinan bahwa sesuatu yang
buruk terjadi, membesar-besarkan bagaimana hal-hal buruk terjadi, meremehkan
kemampuan sendiri bahwa dirinya dapat menyelesaikan masalah-masalah buruk yang
diprediksikannya. Harapan terburuk terjadi ketika anak menyadari bahwa kehilangan
kasih sayang, perhatian, dan kehangatan dalam keluarga, bahkan kehancuran keluarga,
telah menghancurkan hidup mereka.
E. Tanggung Jawab Diri
Permasalahan perkembangan harga diri spiritual yang rendah pada tingkat tanggung
jawab diri pribadi setiap individu berhubungan dengan buruknya kebutuhan keluarga
dan peran diri negatif.96
Menurut Lim et al dalam Engel, anak-anak sering tidak
menerima perhatian yang cukup, pujian, dorongan, kehangatan, kasih sayang, yang
merupakan kebutuhan dasar bagi anak-anak, karena orang tua menghabiskan banyak
waktu untuk bekerja.97
Anak merasa sendirian dan terabaikan karena sering
ditinggalkan. Sedangkan peran diri negatif pribadi setiap individu adalah komitmen
perilaku negatif karena pengalaman buruk masa lampau yang dimilikinya.98
Individu
cenderung pesimis tentang diri dan kehidupan yang mereka jalani, sehingga
berpengaruh pada peran diri. Peran diri pada anak-anak sangat dipengaruhi oleh sikap
dan perilaku orang tua yang cenderung mengabaikan kebutuhan anak-anak. Orang tua
seharusnya berperan untuk mengubah anak ke arah yang lebih baik dengan
mengembangkan sikap-sikap baru yang positif.
95
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 73. 96
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 74. 97
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 74. 98
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 76.
49
F. Integritas Diri
Permasalahan perkembangan harga diri spiritual yang rendah pada tingkat integritas
diri pribadi setiap individu berhubungan dengan penghargaan diri rendah (nilai diri
negatif) dan citra diri negatif.99
Individu dengan harga diri yang tinggi memiliki gaya
hidup positif, memahami diri sendiri dan orang lain secara positif, memiliki prestasi
yang tinggi, memiliki pandangan yang terlalu positif tentang dirinya sendiri, sehingga
bias terhadap dirinya.100
Sebaliknya individu yang mempunyai pengalaman hidup
negatif masa lampau, kurang mendapat penghargaan dalam keluarga, terlalu sering
dikritik, dipermalukan, dan dihina, meninggalkan pengalaman emosional dan
psikologis yang buruk bagi dirinya.101
Hal tersebut menghambat anak mengembangkan
harga diri yang sehat, mengganggu aktivitas sehari-hari, menyebabkan stres, depresi,
merasa tidak dihargai dan dihormati, menimbulkan perasaan tidak bahagia pada
sebagian besar hidupnya, karena merasa diri dan hidupnya tidak berharga atau tidak
berguna.102
Theravive beranggapan bahwa ketika seseorang menganggap dirinya tidak berharga
dan tidak berguna, hal tersebut berkontribusi pada nilai diri seseorang yang mencakup
keyakinan bahwa saya tidak cukup baik, tidak bisa melakukannya, tidak bisa
melakukan dengan benar hal-hal yang dapat dilakukan kebanyakan orang.103
Individu
sepertinya tidak pernah dapat menemukan arah atau tujuan dalam hidup karena merasa
bodoh, gagal, buruk, tidak peduli, bukan apa-apa, tidan berhasil, dan merasa bersalah.
Selama individu tidak dapat menghargai dan menghormati dirinya yang berkontribusi
99
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 77. 100
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 77. 101
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 77. 102
Engel, Nilai Dasar Logo Konseling, 77. 103
Theravive, “Low Self-Esteem Help”, 2011, http://www.theravive.com/service/self-esteem.htm
(September 2015).
50
terhadap nilai diri negatif, maka individu tidak mampu mengatasi perasaan negatifnya,
selalu rendah diri, menyendiri, dan cenderung menarik diri.