BAB II PENINGKATAN KEKUATAN MILITER JEPANGeprints.umm.ac.id/52116/3/BAB II.pdf · Sekutu Austria...
Transcript of BAB II PENINGKATAN KEKUATAN MILITER JEPANGeprints.umm.ac.id/52116/3/BAB II.pdf · Sekutu Austria...
19
BAB II
PENINGKATAN KEKUATAN MILITER JEPANG
Pada bab ini memberikan uraian tentang kekuatan militer Jepang dan
pasca revolusi militer Jepang. Kapabilitas militer Jepang tidak bisa di uraikan
tanpa adanya proses-proses yang menjadikan kekuatan militer Jepang menjadi
Super Power, Restorasi Meiji membuat sejarah untuk militer Jepang untuk
bersaing dengan kekuatan militer dari luar.
2.1 Sejarah Militer Jepang
Setiap negara memiliki pasukan tentara perang sebagai fungsi negara yang
bertugas untuk mempertahankan negara dari serangan musuh. Jepang adalah
negara yang pernah menutup diri dari pengaruh dunia lebih dari dua abad yaitu
pada tahun 1638 sampai dengan 1853. Jepang suskses menutup diri dari pengaruh
dunia luar. Sistem negara pada saat itu adalah system negara kekaisaran Jepang
yaitu dimana bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan kaisar.
Setelah terjadinya Restorasi Meiji, Jepang mulai membuka diri dan
menghapus kasta yang ada dimasyarakat Jepang. Kaisar juga melakukan
melalkuan perintah dan peraturan dimana diberlakukakannya pertukaran pelajar
Jepang dikirim keluar negeri untuk mempelajari segala bidang ilmu pengetahuan
termasuk dalam bidang hukum dan tekhnik peperangan.19 Setelah dinilai cakap
dalam mengemban tugasnnya sebagai pelajar, mereka dipanggil kembali untuk
pulang ke Jepang dan mengjarkan pada masyarakat Jepang tentang segala hal
yang mereka pelajari di luar negeri. Restorasi Meiji lebih dikenal sebagi zaman
19 Marcel Susanto, 2016, Latar Belakang Keterlibatan Jepang Pada Perang Dunia II, dalam
https://www.zenius.net/blog/14002/perang-dunia-ii-jepang diakese pada tanggal 17 Mei 2019
20
modern Jepang lebih canggih dalam pengadaan peralatan perang serta taktik
peperangan yang canggih karena itu disebut dengan tentara modern Jepang.
Tentara modern jepang terbagi atas dua bagian yaitu Angkatan Darat Kekaisaran
Jepang dan Angakatan Laut Kekaisaran Jepang.20
1. Angkatan Darat Kekaisaran Jepang
Angkatan Darat Kekaisaran Jepang (Dai-Nippon Teikoku Rikugun) yang
didirikam pada tahun 1867-1945 yang dikendalikan oleh Staff Gabungan
Angkatan Darat (Sanbo Honbu) dan Kementerian Angkatan Darat (Rikugunsho)
dengan panglima tertinggi Kaisar Jepang. Angkatan Darat Kekaisaran Jepang
diawasi oleh Inpsektorat Jendral Penerbang Angkatan Darat sebagai institusi
ketiga. Angkatan Darat Kekaisaran Jepang ini bermarkas besar dipusat Markas
Besar Kekaisaran (Daihonei) yang terdiri atas Kepala Staf Wakil Gabungan
Angkatan Darat dan Staf Angkatan Laut serta Menteri Peperangan dan Inspektur
Jendral Militer. 21
Angkatan Darat Kekaisaran Jepang resmi dibuka secara resmi pada tahun
1873. Peraturannya diubah menjadi laki-laki yang berusia dari 17 tahun hingga 40
tahun dan dianggap mampu dan memiliki fisik wajib melakukan tugas militer dan
mengikuti wajib militer. Untuk memodernisasi tekhnik tempur pasukan Jepang
maka harus mendatangkan banyak perwira militer asing sebagai penasihat
ataupun instruktur perang oleh pemerintah Jepang. Calon perwira Jepang yang
telah lulus akademi militer akan dikirim ke Eropa untuk melanjutkan pendidikan
20 Ibid., 21 Skripsi Dantika Lavinia Zafarayana, 2018, Militer dalam Kejahatan Perang Jepang Terhadap
Indonesia Tahun 1942-1945 (Studi Kasus: Perbudakan Seksual Wanita Indonesia), Univesitas
Diponegoro, hlmn. 20 dalam http://eprints.undip.ac.id/70309/3/BAB_II.pdf diakses pada tanggal
20 Mei 20119
21
militernya. Setelah selesai melanjutkan pendidikan di luar negeri tersebut
dipanggil kembali ke Jepang untuk menerapkan dan mengajarkan kembali pada
pasukan tentara lainnya.
2. Angkatan Laut Kekaisaran Jepang
Angkatan Laut Kekaisaran Jepang resmi dibuka pada bulan Mei 1920.
Terjadinya perang dunia kedua membuat Jepang melakukan perekrutan terhadap
keanggotaan baru ALKJ. Perekrutan awal anggota bintara dan tantama pada bulan
Juni 1930 dengan nama Hiko Jutsu Renshu Sei (Program Latihan Teknik
Penerbangan) yang kemudian namanya diganti menjadi Soh-ju Renshu Sei (Kadet
Pilot) disingkat dengan Sohren. Perekrutan lain program non-perwira yang disebut
dengan Hiko Yoka Reshu Sei (Program Pelatihan Cadangan Penerbangan) atau
yang disebut juga Yokaren.22
Pada Oktober 1944 anggota Yokaren dialihkan tugas dari penerbangan
akibat kekurangan bahan bakar dan pesawat. Anggota Yokaren yang dialihkan
tugasnya tersebut menjadi montir pesawat dan juga menjadi staff komunikasi.
September 1944, para alumni anggokata Yokaren pertama kali ditugaskan untuk
melakukan misi bunuh diri. Anggota yang melakukan msi bunuh diri ini diberi
sebutan misi Kamikaze dimana Kamikaze merupakan nama tim ALKJ. Kamikaze
terkenal dengan kekejaman dan keberaniaanya disegala medan tempur, mereka
sangat loyal terhadap negara karena mereka rela mati mengorbankan nyawanya
demi membela Jepang dari ancaman negara luar.
22 Ibid., hal. 21
22
Perang Dunia I terjadi antara 1914-1918. Pada hakikatnya merupakan
perang antar negara yang berbeda di kawasan Eropa. Kemudian Perang Dunia I
meluas kewilayah sekitarnya. Negara-negara yang berperang yaitu negara yang
berada pada Blok Sekutu dan Blok Sentral. Negara-negara yang ikut berperang
hanya untuk mempertahankan kemashuran dan keangkuhan serta kekuasaan.23
Sebab terjadinya Perang Dunia I pada 1914, tentara Austria mengadakan
latihan perang di Bosnia, Serbia menuntut Bosnia Herzegovina agar
menghentikan latihan perang, karena tentara Austria di Bosnia dianggap sebagai
tantangan. Saat itu putra mahkota Austria frans Ferdinand mengunjungi latihan
tersebut. Namun, pada tanggal 28 juni 1914 ia dibunuh di Sarajevo oleh anggota
nasionalis Serbia yaitu Gavrilo Principe. Kemudian Austria mengeluarkan
Ultimatum kepada Serbia agar menyerahkan pembunuhannya dalam waktu dekat,
namun tidak digubris oleh Serbia. Pada tanggal 28 Juli 1914 Austria menyatakan
perang terhadap Serbia. Berselang beberapa hari pada tanggal 1 Agustus 1914
Sekutu Austria menyatakan perang terhadap Rusia dan pada tanggal 4 Agustus
1914 Jerman juga menyatakan perang terhadap Perancis dan Inggris dan akhirnya
secara singkat perang meluas ke seluruh Eropa.24
Kemenangan pada Perang Dunia I dalam melawan Rusia ditahun 1904
sampai dengan 1905. Kemenangan itu semakin membuat Jeang percaya diri untuk
ikut ambil andil dalam Perang Dunia II. Pembaharuan dan pemodernisasian dalam
segala bidang menghantarkan Jepang menjadi negara yang haus akan kekuasaan
dan daerah jajahan yang kaya akan sumber daya alam yang dilakukan oleh
23 Saud Pasaribu, 2018, History of the World War. Yogyakarta, Alexander Books hal.3-4 24 Ibid., hal. 3-4
23
negara-negara barat. Jepang sebagai negara yang maju di Asia pada saat itu tidak
menerima jika negara-negara di Asia lainnya dikuasai oleh negara barat.
Pada saat periode Perang Dunia II Amerika Serikat yang memiliki
kependudukan di Asia seperti negara Filipina, Singapura, Hongkong dan Hindia
Belanda. Jepang tidak terima atas kependudukan Amerika Serikat di Asia yang
seharusnya itu adalah daerah kekuasaannya, hal tersebut yang menghantarkan
terjadinya perang antara Jepang dan Amerika Serikat. Selain itu ada beberapa hal
yang menjadi faktor permusuhan antara Jepang dan Amerika Serikat yaitu saat
Perang Dunia I Rusia yang di kalahkan oleh Jepang.
2.1.1 Kekuatan Militer Jepang pada Perang Dunia II
Jepang adalah negara di dunia yang mengalami perubahan dari segi
pertahanan dan keamanan negaranya. Sebelum Perang Dunia II, Jepang
merupakan negara ekpansionis yang sering bersikap agresif dalam melakukan
interaksi dengan negara-negara di dunia. Jepang sangat ingin mewujudkan
mimpinya sebagai negara pemimpin Asia.25
Pada masa Restorasi Meiji, restorasi tersebut salah satu dampaknya ada
pada militerisme Jepang. Pada masa kekuasaan Meiji, militer sangat berpengaruh
yang kuat pada masyarakat Jepang. Semua pemimpin dimasyarakat pada waktu
kekuasan Meiji baik pimpinan militer, politik dan bisnis adalah keturunan
samurai, mereka juga saling memberikan pandangan dan nilai-nilai. Pemerintahan
Meiji memandang Jepang sebagai negara yang terancam oleh imperialisme barat,
dan motivasi utamanya adalah melaksanakan kebijakan Fukoku Kyohei dalam
25 Skripsi Dini Oktavia, 2016, Respon Korea Selatan Terhadap Japan’s New Secrity Bills,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, hal. 21, dalam
http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/7720 diakses pada tanggal 19 Mei 2019
24
pemerintahan Meiji adalah memperkuat perekonomian dan industri Jepang,
sehingga bias membangun militer yang kuat untuk membela Jepang dalam
mempertahankan dari serangan dari luar.
Selain memperhatikan kekuatan dari luar yang berpotensi mengancam
Jepang, pemerintahan Meiji juga memperhatikan isu-isu domestik yang
mengancam keamanan Jepang. Isu dari dalam negeri seperti ancaman dari
pemberontak internal, misalnya pemberontakan Saga, pemberontakan Satsuma,
dan berbagai pemberontakan lain seperti pemberontakan petani pedesaan
membuat Jepang membutuhkan kekuatan militer yang cukup kuat.26
Pada masa Pemeritahan Meiji muncul wajib militer universal, yang
diperkenalkan oleh Yamagata Aritomo pada tahun 1873. Proklamasi reskrip
Imperial terhadap Angkatan Darat dan Angkatan Laut pada tahun 1882 yang
memungkinkan militer untuk mengindoktrinasi ribuan warga Jepang yang berlatar
belakang social dengan nilai militer patriotic dan konsep kesetiaan yang tanpa ada
pertanyaan maupun keraguan kepada Kaisar sebagai dasar negara Jepang
(Kokutai). Yamagata kebanyakan orang Jepang sangat dipengaruhi oleh
keberhasilan Prussia (Kerajaan Jerman dimasa lalu), masa itu dalam mengubah
dirinya dari sebuah negara pertanian untuk menjadi negara dengan kekuatan
industry, militer yang maju dan modern. Ia menerima ide-ide politik Prussia, yang
mendukung ekspansi militer ke luar negeri dan pemerintahan otoriter. Model
Prussia juga mendevaluasi gagasan control sipil atas militer independen. Berarti
bahwa di Jepang biasa seperti di Jerman, militer bias berkembang menjadi negara
26 Bern Martin, 1995, Japan and Germany in the Modern World,” Berghahn Books, New York,
hal. 31
25
di dalam negara, sehingga mereka mempraktikan pengaruh yang lebih besar pada
politik secara umum.27
Masyarakat Jepang pada masa sebelum Perang Dunia II sebagai
masyarakat yang militeristik. Sejarah konvensional berjalan sebagai berikut, untuk
bersaing dengan kekuatan barat, pemerintah baru didirikan melalui Restorasi
Meiji membangun tentara modern, memperkenalkan wajib militer universal, dan
menuntut ketaatan secara total kepada negaranya. Militerisme Jepang mencapai
puncaknya pada era Total perang, akhir 1930, tetapi berakhir ketika Pendudukan
Amerika Serikat yng diikuti kekalahan dalam perang. Jepang mengalami
kekalahan dalam Perang Dunia II setelah dua buah bom atom yang dijatuhkan
oleh Amerika Serikat di Nagasaki dan Hirosima. Disitu Jepang harus terpaksa
untuk menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945.28
2.1.2 Kekuatan Militer Jepang Pasca Perang Dunia II
Setelah kekalahan Jepang di Perang Dunia II harus menerima konstitusi
Meiji digantikan dengan konstitusi baru, yaitu pasal sembilan. Pasal itu berisikan
bahwa Jepang bercita-cita untuk perdamaian internasional berdasarkan keadilan
dan ketertiban, rakyat Jepang selamanya meninggalkan perang sebagai hak
kedaulatan bangsa dan pengancaman atau penggunaan kekerasan sebagai cara
menyelesaikan perselisihan internasional. Angkatan darat, angakatan laut dan
udara, serta potensi yang lainnya, tidak akan dikelola. Serta hak negara untuk
menyatakan perang tidak akan diakui.
27 Ibid, hal. 31 28 Stewart Lone, 2010, The Journal of Asian Studies : Provincial Life and the Military in Imperial
Japan, The Phantom Samurai, Abington, Routledge, hal. 241
26
Pasal sembilan pada saat itu sebagai interpretasi oleh Jepang sebagai
aturan bahwa Jepang tidak memiliki hak untuk melakukan collective self-defense.
Konstitusi Pasifis ditafsirkan oleh Jepang bahwa tidak dapat secara legal memiliki
berbagai jenis kemampuan militer. Partisipasi dalam perang baik secara defensive
atau agresif tidak diperbolehkan. Jepang tetap memiliki hak untuk melaksanakan
pelatihan kekuatan yang diperlukan untuk mempertahankan keberadaan
negaranya. Sesuatu yang dianggap sebagai ”Potensi Perang” adalah setiap
kemampuan militer yang melebihi ukuran minimum yang diperlukan untuk
pertahanan diri. 29
Pada tahun 1954 Jepang mendirikan Self-Defense Force (SDF) untuk
tujuan pertahanan negara. Untuk itu pemerintah menetapkan tiga kondisi di mana
Self-Defense Force ini dapat berlaku, yaitu; 1) ketika Jepang sedang mengalami
keadaan darurat dan agresi yang ilegal; 2) tidak ada cara lain untuk melawan
ancaman tersebut; dan 3) ketika penggunaan kekuatan untuk membela diri
terbatas pada tingkat minimum yang diperlukan. Pemerintah Jepang menganggap
bahwa Individual Self-Defense tidak dianggap bermasalah, tetapi menganggap
bermasalah Collective Self-Defense. Jepang mengakui bahwa sebagai anggota
PBB, memiliki hak untuk melakukan Collective Self-Defense, namun pemerintah
Jepang secara berturut-turut telah mentafsirkan pasal sembilan halangan
pelaksanaan hak untuk melakukan Collective Self-Defense. Jepang tidak pernah
29 Sayuri Umeda, 2015, Japan: Interpretations of Article 9 of the Constitution, Library Of
Congress dalam https://www.loc.gov/law/help/japan-
constitution/interpretationsarticle9.php#National diakses pada tanggal 17 Mei 2019
27
dalam posisi untuk membela sekutunya Amerika Serikat dari serangan, dan
sebaliknya Amerika Serikat menjanjikan pertahanan Jepang. 30
Warga negara Jepang menyetujui semangat pemberlakuan Pasal sembilan
dan menganggapnya penting secara pribadi. Sejak tahun 1990 telah terjadi
pergeseran dari sikap yang lebih bertoleransi atas kemungkinan revisi atas pasal
tersebut, sehingga memungkinkan adanya penyesuaian antara peran Pasukan Bela
Diri Jepang (Self-Defense Force) dengan pasal sembilan. Beberapa warga negara
juga menganggap bahwa Jepang seharusnya melibatkan SDF dalam upaya
pertahanan kolektif seperti sebagaimana yang pernah dibentuk oleh dewan PBB.
Perdana Menteri Shinzo Abe menandai ulang tahun ke-60 Konstitusi Jepang pada
tahun 2007 dengan serunya untuk melakukan peninjauan kembali secara berani
terhadap dokumen tersebut, sehingga dapat mengizinkan negara untuk mengambil
peran yang lebih besar dalam keamanan global serta membangkitkan kembali
kebanggan nasional.31
2.2 Stabilitas Militer Jepang Pasca Perang Dunia II
Pasca Perang Dunia II, Jepang terpaksa juga menyetujui konstitusi pasal 9
tahun1947 yang menyatakan bahwa Jepang merupakan negara yang cinta damai
sehingga tidak diperbolehkan menggunakan perang sebagai instrument kebijakan
luar negerinya serta melarang Jepang untuk memiliki angkatan bersenjata atau
militer. Pada tahun 1951 Jepang mendatangani Aliansi Keamanan dengan
Amerika Serikat yaitu The US-Japan Treaty Mutual Cooperation and Security
30 Ibid., 31 The Assosiated Press, 2007, Abe calls for a 'bold review' of Japanese Constitution, International
Herald Tribune, dalam
http://web.archive.org/web/20080502210654/http://www.iht.com/articles/2007/05/03/news/j
apan.php diaskes pada tanggal 17 Mei 2019
28
yang mulai berlaku bulan April 1952. Keadaan tersebut menggerakkan hati
pemerintah Jepang untuk segera memperbaiki keadaan.
Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II membuat kebijakan pertahanan
nasional Jepang yang berdasarkan pada perjainjian 1960, mengenai kerjasama
dan keamanan dengan Amerika Serikat yang dimana keamanan Jepang dipegang
oleh dua pihak yakni untuk keamanan internal dipegang oleh Jepang, sedangkan
keamanan nasional yang kemungkinan mendapat serangan dari pihak luar yang
dibantu oleh pasukan militer Amerika Serikat.32
Sejak tahun 1960, Konstitusi Jepang telah membentuk kekuatan militer
tradisional hanya mempertahankan Self Defense Force (SDF), yang dimana telah
dilindungi oleh daratan Jepang. Bahkan dalam keterbatasan ini, Self Defense
Force telah melakukan peran paramiliter, logistik, mendukung pasukan Amerika
Serikat yang berbasis di Jepang dengan imbalan janji perlindungan. Beberapa ahli
melihat pergeseran dinamis ini dengan argumen untuk "remiliterisasi" atau
"normalisasi militer". Sejak kejadian 9/11, pasukan Self Defense Force telah
dikerahkan di luar negeri untuk pertama kalinya ke Afghanistan dan Irak.33
Peran Amerika Serikat dan Jepang secara eksklusif didasarkan pada
dukungan, tetapi penempatan kedua negara tersebut dipandang sebagai simbol
perubahan sikap serta tantangan terhadap konstitusi. Jepang sudah menjadi salah
satu pembelanja terbesar di dunia untuk pertahanan nasional, dan Self Defense
Force adalah kekuatan yang kuat meskipun pengeluarannya ditargetkan sedikit.
32 Jones, W. S., 1992, Logika Hubungan Internasional 1: “Persepsi Nasional”, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama 33 Teslik, Lee Hudson., 2006, Japan and Its Military, dalam
https://www.cfr.org/backgrounder/japan-and-its-military, diakses pada tanggal 16 Mei 2019
29
Jepang semakin mendapat tekanan untuk mengarahkan kembali dan memperluas
operasi militernya, baik dari Amerika Serikat maupun dari dalam negeri sebagai
tanggapan atas ancaman yang ditakuti dari China dan Korea Utara.
Pada Pasal Sembilan, secara tegas melarang Jepang mempertahankan
militernya atau menggunakan kekuatan internasional karena alasan apa pun.
Seperti yang dikatakan John W. Dower dalam bukunya, berpendapat bahwa
kelelahan dan kekecewaan terhadap masa perang nasionalisme membuat Jepang
siap untuk menerima doktrin ini. Banyak yang sepakat dengan Jenderal Douglas
MacArthur, pemimpin pasukan Amerika Serikat di Jepang, yang dimana mereka
membayangkan "Swiss dari Timur Jauh", sebuah negara yang akan menempuh
jalannya dengan keuangan, bukan kekuatan.34 Menurut data dari tahun 2004,
Amerika Serikat masih mempertahankan hampir 50.000 tentara di lebih dari tujuh
puluh pangkalan militer di Jepang, yang sangat terlokalisasi di pulau selatan
Okinawa.
Beberapa mengklaim bahwa Perdana Menteri Junichiro Koizumi telah
melanggar konstitusi dengan menggunakan kekuatan militer di luar perbatasan
nasional Jepang. Pada akhir 2001, angkatan laut Jepang menenggelamkan kapal
mata-mata Korea Utara di perairan China. Jepang kemudian mengirim pasukan
untuk memainkan peran pendukung dalam kampanye yang dipimpin Amerika
Serikat di Afghanistan dan Irak. Dalam hal ini, Jepang sebagai yang pertama yang
ditempatkan di luar negeri sejak Perang Dunia II. Beberapa ahli mengatakan hal
ini membutuhkan interpretasi kreatif dari hukum Jepang. Untuk mendukung
34 Ibid.,
30
pasukan Amerika Serikat di Samudera Hindia selama invasi Afghanistan,
misalnya, pasukan Jepang bekerja berdasarkan undang-undang yang melarang
kerjasama dalam kampanye militer internasional dengan memberikan dukungan
logistik dan pengisian bahan bakar.35
Perdana Menteri Junichiro Koizumi juga telah menyarankan konstitusi
Jepang, termasuk Pasal Sembilan yang harus diubah. Meskipun para pejabat
Jepang telah mengatakan bahwa pasal pertama di Pasal Sembilan, yang
menyatakan bahwa Jepang tidak akan berperang, tidak akan diubah. Tetapi para
ahli mengatakan klausa kedua dapat direvisi, baik untuk memungkinkan Self
Defense Force untuk berpartisipasi dalam pengoperasian pemeliharaan
perdamaian di luar negeri, atau untuk memungkinkan partisipasi Jepang dalam
kampanye pertahanan kolektif.
Jepang menghadapi lingkungan keamanan yang semakin sulit. Terlepas
dari perhatian media saat ini tentang Korea Utara, ancaman nuklir satu dimensi
yang sangat nyata tetapi sebagian besar para ahli terutama pada strategi Jepang
memperhatikan tantangan yang lebih luas dan lebih multidimensi yang
ditimbulkan oleh kebangkitan China dan ambisi teritorialnya di Laut China
Timur. Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe lebih memandang ke depan tentang
urusan keamanan daripada para pendahulunya. Dia telah bergerak untuk
memperkuat kemampuan pertahanan Jepang, menata kembali lembaga pembuat
kebijakan keamanannya, dan meningkatkan anggaran militernya setelah periode
panjang penurunan, sambil melonggarkan beberapa pembatasan pada pasukan
35 Ibid.,
31
militernya dan meningkatkan kapasitas intelijen Jepang. Namun, langkah-langkah
ini hanya sedikit memperlambat keseimbangan kekuatan yang bergeser.
Diperlukan pemikiran ulang tentang strategi militer, yang tampaknya mendukung
pencegahan bahkan tanpa adanya dominasi militer, sangat diperlukan.36
Pendekatan Jepang saat ini mungkin diberi label strategi "pertahanan ke
depan" dan dipusatkan pada mengalahkan agresi secepat mungkin di batas luar
wilayah Jepang. Untuk melaksanakan strategi itu, Jepang telah membangun
kekuatan manuver tradisional yang dirancang untuk melawan pertempuran yang
menentukan. Meskipun pertahanan ke depan sepenuhnya masuk akal selama
periode awal pasca-Perang Dingin, hal itu sangat tidak cocok untuk lingkungan
yang berkembang, yang dimana China akan menikmati keuntungan yang
signifikan pada awal konflik. Untuk mengurangi kerentanannya, Jepang
memanfaatkan potensi penuh aliansinya dengan Amerika Serikat, dan
meningkatkan kemampuannya untuk mencegah China.
Jepang seharusnya beralih ke strategi “penolakan aktif”, yang dimana
salah satu yang berfokus bukan pada pertempuran di lapangan pada awalnya,
tetapi pada mempertahankan kekuatan yang dapat bertahan dari serangan awal
dan terus melawan pasukan musuh. Dengan demikian, dapat menyangkal musuh
dengan cepat, kemenangan yang menentukan dan meningkatkan resiko dan biaya
agresi militer.
36 Eric Heighbotham., & Richard Samuels., 2018, A New Military Strategy for Japan: Active
Denial Will Increase Security in Northeast Asia, dalam
https://www.foreignaffairs.com/articles/asia/2018-07-16/new-military-strategy-
japan?utm_campaign=reg_conf_email&utm_medium=newsletters&utm_source=fa_registration
diakses pada tanggal 16 Mei 2019
32
Untuk memahami bagaimana Jepang harus mulai memikirkan kembali
strategi militernya, penting untuk mempertimbangkan strategi itu dalam konteks
tiga pendekatan tipe ideal untuk pertahanan dan pencegahan konvensional:
pertahanan maju, penolakan, dan hukuman. Pertahanan ke depan berupaya
mengalahkan pasukan militer penyerang secepat dan sejauh mungkin ke depan,
lebih disukai di atau dekat perbatasan negara. Strategi penolakan berusaha untuk
mencegah penaklukan melalui perlawanan aktif yang berkepanjangan, seringkali
dengan menghasilkan setidaknya beberapa dasar dan menghindari pertempuran
yang menentukan sampai keseimbangan kekuatan telah bergeser dalam
mendukung pertahanan. Hukuman bergantung pada kemampuan untuk
menimbulkan kerugian yang tidak dapat diterima pada aset bernilai penyerang —
misalnya, dengan menghancurkan target di negara asalnya.37
Selama awal Perang Dingin, Jepang mempraktikkan strategi penolakan
"perisai dan tombak", yang dimana pasukan Jepang (perisai) akan menunda dan
mengganggu penyerang sampai pasukan Amerika Serikat (tombak) bisa tiba.
Namun, pada tahun 1970-an, penekanan militer Jepang mulai bergeser ke arah
pertahanan ke depan. Pada akhir Perang Dingin, Jepang memiliki salah satu
anggaran pertahanan terbesar di dunia, yang sebagian besar dialokasikan untuk
pemeliharaan pasukan manuver tradisional (seperti kapal perang besar dan
formasi besar pesawat yang beroperasi dari pangkalan udara layanan penuh) yang
dapat melibatkan potensi agresor dalam konfrontasi militer langsung. Meskipun
mengadopsi "konsep pertahanan dinamis" pada tahun 2010, Jepang terus
37 Ibid.,
33
mempertahankan fokusnya pada pertahanan ke depan dengan membangun
kemampuan serangan amfibi yang mahal untuk melakukan serangan balik
langsung terhadap kemungkinan tempat persembunyian musuh di pulau-pulau
luar Jepang yang secara efektif menggandakan strategi pertahanan ke depan
tersebut.38
Strategi ini masuk akal dalam konteks akhir Perang Dingin dan periode
awal pasca-Perang Dingin. Namun dengan kebangkitan China, asumsi ini tidak
lagi berlaku. Kemampuan serangan jarak jauh China yang presisi merupakan
ancaman mematikan bagi infrastruktur militer Jepang pada tingkat yang lebih
rendah, formasi militernya yang besar. Melakukan tindakan ofensif awal di
Kepulauan Senkaku atau rantai Ryukyu selatan akan mengambil risiko kekalahan
besar dan berpotensi menghancurkan kemauan atau kemampuan Jepang untuk
melanjutkan perjuangan.
Untuk memahami bagaimana Jepang harus mulai memikirkan kembali
strategi militernya, penting untuk mempertimbangkan strategi itu dalam konteks
tiga pendekatan tipe ideal untuk pertahanan dan pencegahan konvensional:
pertahanan maju, penolakan, dan hukuman. Pertahanan ke depan berupaya
mengalahkan pasukan militer penyerang secepat dan sejauh mungkin ke depan,
lebih disukai di atau dekat perbatasan negara. Strategi penolakan berusaha untuk
mencegah penaklukan melalui perlawanan aktif yang berkepanjangan, seringkali
dengan menghasilkan setidaknya beberapa dasar dan menghindari pertempuran
yang menentukan sampai keseimbangan kekuatan telah bergeser dalam
38 Ibid.,
34
mendukung pertahanan. Hukuman bergantung pada kemampuan untuk
menimbulkan kerugian yang tidak dapat diterima pada aset bernilai penyerang,
misalnya dengan menghancurkan target di negara asalnya.39
Aliansi antara Amerika Serikat dan Jepang terus melayani kepentingan
penting kedua belah pihak, antara lain menopang posisi Amerika Serikat di Asia.
Tetapi, hal tersebut sepenuhnya masuk akal bagi Amerika Serikat untuk
mendorong Jepang meningkatkan pengeluaran militernya dan melanjutkan
pembaruan pertahanannya. Namun, pada saat yang sama, pembelanjaan saja tidak
akan cukup untuk memenuhi ancaman yang berkembang yang ditimbulkan oleh
China. Pemikiran ulang strategi yang mendasar akan menjadi sangat penting.
Strategi penolakan sama pentingnya dengan meningkatnya stabilitas krisis
dan mengurangi keuntungan first-mover. Pasukan Jepang dan Amerika Serikat
yang dikerahkan untuk kedepannya tidak akan dioptimalkan untuk tindakan
ofensif langsung. Hal tersebut mengurangi ketakutan para pemimpin China akan
serangan selama krisis dan mengurangi insentif China untuk menyerang terlebih
dahulu. Demikian pula dengan pasukan Jepang dan Amerika Serikat akan kurang
rentan terhadap serangan pertama. Semestara itu, strategi penolakan aktif
memiliki potensi bagus untuk meningkatkan kemampuan pencegahan sementara
mengurangi ketidakstabilan krisis.
39 Ibid.,
35
2.3 Peningkatan Kapabilitas Militer Jepang
Kapabilitas militer merupakan hal yang penting bagi sebuah negara
terutama dalam penggunaannya untuk mempertahankan diri dari musuh-
musuhnya, baik yang berasal dari luar ataupun domestik, serta dapat digunakan
dalam mengejar kepentingan negara. Kapabilitas militer adalah kemampuan
sebuah kekuatan militer untuk dapat menjalankan bermacam operasi menghadapi
musuh-musuh negara.
Kapabilitas militer adalah kemampuan sebuah kekuatan militer untuk
dapat menjalankan bermacam operasi menghadapi musuh-musuh atau ancaman
negara. Gagasannya adalah bagaimana negara dapat menggunakan sumber daya
yang dimilikinya untuk dapat merubah mereka dan menerapkan dalam organisasi
militernya sehingga dapat memiliki kemampuan perang yang spesifik yang telah
direncanakan oleh negara tersebut untuk mengejar kepentingannya ataupun
menghadapi musuh atau ancaman terhadap negara.40
Dalam catatan sejarah, Jepang adalah salah satu negara yang paling
menonjol dalam aspek militer. Kekuatan militer Jepang dapat dilihat dalam
pendudukan mereka yang sukses di Semenanjung Korea dan sebagian besar Cina
selama Perang Dunia I. Selama Perang Dunia II, Jepang cukup banyak
menaklukkan seluruh Asia, termasuk Indonesia. Tetapi pada akhir 1945,
Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh Pasukan Sekutu untuk kehancuran,
menyebabkan Jepang menyerah kepada Sekutu. Kehilangan Jepang selama
Perang Dunia II telah berdampak pada Jepang, baik secara fisik maupun
40 Ashley J.T., & Janice Bially, Measuring National Power in the Postindustrial Age (New
York:Rand,2000), hal. 133
36
psikologis. Secara fisik, ini adalah pertama kalinya pulau-pulau utama Jepang
seperti Honshu dan Hokkaido diduduki oleh pasukan musuh. 41
Dalam istilah psikologis, hal tersebut menyebabkan trauma terhadap
peperangan. Sebagian besar masyarakat Jepang kehilangan harga diri mereka pada
keunggulan bangsa mereka yang dikenal dengan ekspansionisme militernya.
Sebagai negara yang kalah dalam Perang Dunia II, Jepang mengalami banyak
penurunan dalam banyak aspek, termasuk pertahanannya. Pemerintah Jepang
berusaha menjadikan Jepang sebagai negara yang demokratis dan melembagakan
anti-kekerasan dengan cara mencegah kemunculan kembali militerisme. Menurut
Pasal Sembilan Konstitusi Jepang yang dirancang oleh Amerika Serikat pada
tahun 1947, Jepang dilarang keras mengembangkan kekuatan militernya.
Secara umum, kemampuan militer Jepang bertujuan untuk menciptakan
Self Defense Force yang sangat efisien, mobile dan fleksibel untuk menghadapi
ancaman yang berkembang di seluruh Jepang. Beberapa perubahan pada Ground
Self-Defense Force (GSDF) dibandingkan dengan selama Perang Dingin adalah
penambahan Main Battle Tank (MBT) terbaru yang lebih sesuai dengan kondisi
geografis dan artileri Jepang, penguatan pertahanan udara menggunakan rudal
yang dipandu darat-ke-udara yang lebih canggih, peningkatan jaringan dan
komando sistem dan pembuatan unit siaga yang dapat dikirim dengan cepat dan
efektif. Selain itu, peningkatan pertahanan udara dan laut juga dilakukan dengan
pengadaan dan peningkatan peralatan pertahanannya dan peningkatan daya Self
41 Marsono., Denia D.A.R., Novky Asmoro., 2018, Improvement Of Japanese Military
Capabilities And Implications On Indonesia’s National Defense, Jurnal Pertahanan Vol.4 No.2
(2018) 89-103, hlm. 89-90, dalam
http://jurnal.idu.ac.id/index.php/DefenseJournal/article/view/286 diakses pada tanggal 17 Mei
2019
37
Defense Force di wilayah kepulauan barat daya Jepang untuk mengantisipasi
kemungkinan serangan dan invasi ke pulau-pulau pesisir. Pengembangan
kekuatan SDF juga ditekankan pada peningkatan berkesinambungan kemampuan
pengawasan dan peringatan dini yang juga terintegrasi melalui pengembangan.42
Indikator yang digunakan untuk melihat dan mengukur kemampuan
militer Jepang akan menjadi jumlah kekuatannya dan teknologinya. Pengukuran
kuantitatif terhadap jumlah kekuasaan di sektor-sektor utama sering digunakan
sebagai referensi untuk menentukan kemampuan militer nyata dari negara
tertentu, meskipun itu tidak selalu dapat digunakan sebagai pengukuran yang tepat
untuk keuntungan satu negara dengan negara yang lainnya, karena keberadaan
banyak faktor lain yang juga memengaruhi kemampuan militer nasionalnya.
Seperti yang disebutkan National Defense Program Guidelines (NDPG)
terbaru tahun 2010, kapabilitas militer jepang ditujukan untuk menciptakan Self
Defense Force yang memiliki efisiensi, mobilitas dan fleksibilitas yang tinggi
untuk menghadapi ancaman yang berkembang di sekitar wilayah Jepang.
Perubahan terjadi diantaranya pada postur Ground Self-Defense Force dari tingkat
sebelumnya yang ditujukan untuk menghadapi kondisi Perang Dingin, yaitu
dengan mengurangi jumlah Main Tank Battle dan menambahkan Main Tank
Battle baru yang lebih sesuai dengan kondisi geografis Jepang serta artileri untuk
memperkuat pertahanan udara dengan menggunalam misil kendali darat-ke-udara
42 Ibid., hal. 99-100
38
yang lebih canggih, dan meningkatkan sistem jaringan dan komnado serta
membangun unit siaga yang dapat dikerahkan dengan cepat dan efektif. 43
Selain itu, peningkatan pertahanan udara dan laut pun dilakukan dengan
pengadaan dan upgrade alutsista yang dimiliki Jepang, serta peningkatan
kekuatan Self Defense Force di wiliyah barat daya Jepang di wilayah kepulauan-
kepulauan untuk mengantisipasi kemungkinan penyerangan dan invasi ke pulau-
pulau di pantai Jepang. Perkembangan kekuatan Self Defense Force sendiri juga
ditekankan pada peningkatan kemampuan pengintaian dan peringatan dini yang
terus dilakukan secara berkesinambungan yang juga terintegrasi melalui
pengembangan C4ISR44.
43 Ashley J.T., & Janice Bially, Measuring National Power in the Postindustrial Age (New
York:Rand,2000), hal. 134 44 C4ISR adalah singkatan dari Command, Control, Communication, Computer, Intellegence,
Surveilance, and Reconnaisance. Sistem ini sebuah sistem terintegrasi yang memanfaatkan
teknologi informasi dan peralatan penginderaan meliputi radar dan satelit, untuk memonitor
kawasan darat, laut, maupun udara.