BAB II PENDEKATAN TEORITIS - repository.ipb.ac.id file3 Namun seperti ekosistem lainnya di...

23
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Ekologi Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Haeckel, seorang ahli biologi, pada pertengahan dasawarsa 1860-an. Ekologi berasal dari bahasa yunani yaitu oikos yang berarti rumah tangga, dan logos yang berarti ilmu, sehingga secara harfiah ekologi berarti ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup. Ekologi didefinisikan sebagai ilmu tentang hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Silalahi, 2001). Adiwibowo (2007) menyatakan bahwa dalam ekologi dipelajari bagaimana makhluk hidup berinteraksi timbal balik dengan lingkungan hidupnya baik yang bersifat hidup (biotic) maupun tak hidup (abiotic) sedemikian rupa, sehingga terbentuk suatu jaring-jaring sistem kehidupan pada berbagai tingkatan organisasi. Di dalam ekosistem, tumbuhan, hewan, dan mikro organisme saling berinteraksi melakukan transaksi materi dan energi membentuk satu kesatuan sistem kehidupan. 2.1.1.1 Kerusakan Ekologi Laut Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi kekayaan hayati kelautan yang tinggi 3 . Indonesia sebagai negara kepulauan tidak mempunyai data kualitatif dan kuantitatif yang memadai serta menyeluruh tentang kerusakan ekologi laut (Kompas, 29 Agustus 2003 dalam Kartodiharjo, 2006). Akibat penangkapan ikan yang ilegal (illegal fishing), perubahan iklim, maupun praktek perikanan yang merusak (destructive fishing) terumbu karang di perairan Indonesia banyak yang rusak. Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad, seperti yang dikutip dalam Minapolitan Edisi Desember 2010, menjelaskan bahwa sebagai etalase terumbu karang dunia Indonesia memiliki 82 genera dan 590 spesies karang keras yang tersebar pada 74.748 km 2 atau setara dengan 18 persen luasan terumbu karang dunia. Namun keberadaan terumbu 3 Namun seperti ekosistem lainnya di Indoensia, ekosistem laut juga mengalami krisis karena kerusakan dan pemanfaatan yang berlebih (Kartodiharjo, 2006).

Transcript of BAB II PENDEKATAN TEORITIS - repository.ipb.ac.id file3 Namun seperti ekosistem lainnya di...

8

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Ekologi

Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Haeckel, seorang ahli

biologi, pada pertengahan dasawarsa 1860-an. Ekologi berasal dari bahasa yunani

yaitu oikos yang berarti rumah tangga, dan logos yang berarti ilmu, sehingga

secara harfiah ekologi berarti ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup. Ekologi

didefinisikan sebagai ilmu tentang hubungan timbal-balik antara makhluk hidup

dengan lingkungannya (Silalahi, 2001).

Adiwibowo (2007) menyatakan bahwa dalam ekologi dipelajari bagaimana

makhluk hidup berinteraksi timbal balik dengan lingkungan hidupnya baik yang

bersifat hidup (biotic) maupun tak hidup (abiotic) sedemikian rupa, sehingga

terbentuk suatu jaring-jaring sistem kehidupan pada berbagai tingkatan organisasi.

Di dalam ekosistem, tumbuhan, hewan, dan mikro organisme saling berinteraksi

melakukan transaksi materi dan energi membentuk satu kesatuan sistem

kehidupan.

2.1.1.1 Kerusakan Ekologi Laut

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki potensi kekayaan hayati

kelautan yang tinggi3. Indonesia sebagai negara kepulauan tidak mempunyai data

kualitatif dan kuantitatif yang memadai serta menyeluruh tentang kerusakan

ekologi laut (Kompas, 29 Agustus 2003 dalam Kartodiharjo, 2006). Akibat

penangkapan ikan yang ilegal (illegal fishing), perubahan iklim, maupun praktek

perikanan yang merusak (destructive fishing) terumbu karang di perairan

Indonesia banyak yang rusak. Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel

Muhammad, seperti yang dikutip dalam Minapolitan Edisi Desember 2010,

menjelaskan bahwa sebagai etalase terumbu karang dunia Indonesia memiliki 82

genera dan 590 spesies karang keras yang tersebar pada 74.748 km2 atau setara

dengan 18 persen luasan terumbu karang dunia. Namun keberadaan terumbu

3 Namun seperti ekosistem lainnya di Indoensia, ekosistem laut juga mengalami krisis karenakerusakan dan pemanfaatan yang berlebih (Kartodiharjo, 2006).

9

karang di Indonesia mengalami tingkat kerusakan dan ancaman yang tinggi setiap

tahunnya.

Interaksi masyarakat pesisir dan aktivitas pembangunan menurut Cicin-

Sain and Knecht (1998) dalam Putra (2002) mengakibatkan kerusakan ekologi

pada zona pesisir dan sumberdaya pesisir. Ditambah dengan tingginya permintaan

pasar dunia akan pasokan ikan dan dengan disperitas harga ikan, menyebabkan

terancam gulung tikarnya sektor perikanan di sejumlah negara (Demersal edisi

Desember 2010). Kedua hal di atas turut menyumbang peranan dalam semakin

tergerusnya sumberdaya pesisir. Berdasarkan data dari United Nations Food and

Agriculture Organization bahwa stok ikan dunia mengalami kemunduran yang

tajam, 48 persen telah dieksploitasi habis, 16 persen telah mengalami kelebihan

tangkap, dan 9 persen telah habis. Bukti empiris keilmuan seperti ini sering kali

diabaikan demi kepentingan politik dan kuota yang diatur lebih dari yang

direkomendasikan.

Undang-Undang Nomor 9/1985 tentang Perikanan, Pasal 6 ayat 1

melarang penggunaan sianida untuk perikanan. Penggunaan sianida menjadi cara

penangkapan yang populer karena cara ini dianggap cara paling mudah. Nelayan

menyemprotkan larutan sianida dari botol plastik. Semprotan sianida akan

membuat ikan pingsan sehingga mudah dibawa ke permukaan (Kartodiharjo,

2006). Ini merupakan salah satu contoh pola tangkap yang tidak ramah

lingkungan. Belum lagi pola tangkap yang menggunakan alat-alat yang merusak

(destructive fishing) seperti pukat harimau.

2.1.2 Masyarakat Nelayan

Sebagai negara kepulauan, laut merupakan wilayah terluas di Indonesia

dibandingkan daratan. Sebagian besar masyarakat Indonesia tinggal di sepanjang

garis pantai. Desa pesisir menurut Satria (2009) dalam bukunya “Pesisir dan Laut

Untuk Rakyat” merupakan tempat bertemunya entitas sosial ekonomi, sosial-

budaya, sosial-ekologi, yang menjadi batas antara daratan dan lautan. Sementara

masyarakat pesisir menurut Satria (2004) dalam Satria (2009), adalah sekumpulan

masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan

memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada

pemanfaatan sumberdaya pesisir.

10

Nelayan adalah orang yang melakukan penangkapan ikan di laut yang

terbagi atas status pengusaan kapital, yaitu nelayan pemilik dan nelayan buruh.

Nelayan pemilik atau juragan berarti adalah orang yang memiliki sarana dan alat

penangkapan, seperti kapal dan jaring. Sedangkan nelayan buruh adalah orang

yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di

laut, atau anak buah kapal (ABK). Sedikit berbeda dengan definisi nelayan yang

dijabarkan oleh Ditjen Perikanan Tangkap Kementrian Kelautan dan Perikanan

(2007), nelayan adalah orang yang aktif melakukan pekerjaan dalam operasi

penangkapan ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air. Selain itu Ditjen

Perikanan Tangkap juga mengklasifikasikan nelayan menjadi tiga tipe sebagai

berikut:

1. Nelayan penuh yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan

untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau binatang air

lainnya atau tanaman air.

2. Nelayan sambilan utama yaitu nelayan yang sebagian besar waktu

kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan

ikan atau binatang air lainnya atau tanaman air. Disamping melakukan

pekerjaan penangkapan, nelayan kategori ini dapat pula mempuyai

pekerjaan lain.

3. Nelayan sambilan tambahan yaitu nelayan yang sebagian kecil waktu

kerjanya digunakan untuk melakukan penangkapan ikan.

Masyarakat nelayan menurut Satria (2002) digambarkan memiliki

karakteristik tertentu yang cenderung berbeda dengan masyarakat lain yang tidak

tinggal di daerah pesisir. Desa pesisir merupakan cerminan dari desa-pantai dan

terisolasi yang memiliki karakteristik dalam beberapa aspek, diantaranya:

1. Sistem Pengetahuan

Pengetahuan mengenai teknik penangkapan ikan umumnya diperoleh

secara turun temurun dengan berdasarkan pengalaman empirik. Kuatnya

pengetahuan lokal ini menjadi salah satu faktor terjaminnya

kelangsungan hidup sebagai nelayan.

11

2. Sistem Kepercayaan

Nelayan masih memiliki kepercayaan yang kuat bahwa laut memiki

kekuatan khusus dalam aktivitas penangkapan ikan agar keselamatan dan

hasil tangkapan terjamin. Namun seiring dengan berjalannya waktu

tradisi dilangsungkan hanya sebagai instrumen stabilitas sosial dalam

komunitas nelayan.

3. Peran Wanita

Istri nelayan dominan dalam hal mengatur ekonomi rumah tangga sehari-

hari sehingga sepatutnya dalam program pengembangan masyarakat para

istri nelayan dilibatkan.

4. Struktur Sosial

Struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi (termasuk pasar)

dalam usaha perikanan, perikanan tangkap maupun perikanan budidaya,

umumnya dicirikan dengan ikatan patron-klien yang kuat. Kuatnya

hubungan ini konsekuensi akibat ketidakpastian dan resiko yang tinggi

dalam penangkapan ikan. Bentuk stratifikasi sosial masyarakat pesisir di

Indonesia cenderung beragam. Hal ini dapat dilihat dari semakin

bertambahnya jumlah posisi sosial yang terjadi lebih mengarah kepada

stratifikasi yang vertikal, berjenjang menurut ekonomi, prestise, atau

kekuasaan.

5. Posisi Sosial Nelayan

Rendahnya posisi sosial nelayan ini merupakan akibat dari keterasingan

nelayan sehingga masyarakat bukan nelayan tidak mengetahui lebih jauh

cara hidup nelayan. Hal ini terjadi akibat sedikitnya waktu dan

kesempatan nelayan untuk berinteraksi dengan masyarakat lain karena

alokasi waktu yang besar untuk kegiatan penangkapan ikan dibanding

untuk bersosialisasi dengan masyarakat bukan nelayan yang memang

secara geografis relatif jauh dari pantai. Secara politis posisi nelayan

kecil terus dalam posisi dependen dan marjinal akibat dari faktor kapital

yang dimilikinya sangatlah terbatas.

12

2.1.3 Adopsi Inovasi

Satria (2009) menyebutkan beberapa strategi mata pencaharian yang dapat

dilakukan untuk memutus rantai kemiskinan nelayan. Pertama, mengembangkan

strategi nafkah ganda. Tujuannya agar nelayan tidak bergantung pada hasil

penangkapan saja. Pengembangan dan penguatan strategi ganda ini perlu

dilakukan terutama pada nelayan lapisan bawah. Salah satu aspek yang diperlukan

untuk mendukung strategi ini adalah kebijakan permodalan. Kedua, mendorong

ke arah laut lepas. Kendalanya tidak hanya teknologi, tapi juga modal dan budaya.

Menangkap ikan di laut lepas sangatlah kompleks, mencakup manajemen usaha,

organisasi produksi, perbekalan, ketahanan fisik, pemahaman perilaku ikan,

pengoperasian kapal, jaring dan lainnya. Sehingga selain dibutuhkan teknologi,

para nelayan ini juga membutuhkan pelatihan (magang) untuk menggali

pengalaman dan pengetahuan di usaha penangkapan skala menengah dan besar.

Ketiga, mengembangkan diversifikasi alat tangkap untuk mengantisipasi variasi

musim. Dengan diversifikasi alat tangkap ini memungkinkan nelayan bisa melaut

sepanjang tahun.

Diversifikasi alat tangkap dalam penerapannya melalui proses adopsi

inovasi. Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau objek yang dipandang baru

oleh individu yang mencakup dua komponen, ide dan objek (Rogers dan

Shoemaker, 1971 dalam Mugniesyah, 2006). Namun faktanya inovasi tidaklah

harus berbentuk fisik. Proses adopsi terjadi apabila individu belajar mengenai

suatu inovasi (teknologi baru) dan mengalami perkembangan pada mentalnya.

Menurut komite yang terdiri dari ahli sosiologi pedesaan, The North-Central

Rural Sociology Subcommittee for The Study of Farm Practise, ada lima tahapan

dalam proses adopsi inovasi. Adapun kelima tahapan tersebut adalah:

1. Awareness (tahap menjadi sadar)

Pada tahap ini seseorang menyadari bahwa adanya inovasi namun

masih belum memperoleh informasi mengenai hal tersebut

selengkapnya.

2. Interest (tahap menaruh minat)

Individu mengembangkan minat terhadap inovasi dan mencari dengan

aktif informasi tambahan atau yang lebih lengkap mengenai inovasi.

13

Tahap ini berfungsi meningkatkan pengetahuan individu tentang

inovasi.

3. Evaluation (tahap menilai)

Tahap ini disebut juga sebagai tahap uji mental. Merupakan tahap

awal dari pembuatan keputusan untuk mencoba. Individu menerapkan

inovasi secara mental dan mendapatkan bukti-bukti internal (dari

dalam pikirannya sendiri) tentang kemungkinan menggunakan inovasi

itu, dengan membandingkannya dengan keadaan masa kini dan

antisipasi keadaan masa depan.

4. Trial (tahap mencoba)

Individu mulai mencoba menerapkan inovasi dalam skala yang kecil,

dalam usaha untuk mendapatkan bukti-bukti eksternal (dari lapangan,

dari luar pikirannya sendiri) untuk menentukan kegunaan dan

keuntungan inovasi dalam keadaan yang mendekati nyata.

5. Adoption (tahap mengadopsi)

Pada tahap ini individu menerapkan inovasi secara kontinyu dalam

skala yang lebih besar, dengan kata lain individu telah menerapkan

inovasi.

Proses adopsi inovasi inilah yang kemudian menetukan proses partisipasi

individu nelayan dalam PRL.

2.1.4 Partisipasi

Partisipasi didefinisikan sebagai proses aktif, inisiatif dikemukakan oleh

masyarakat setempat sendiri, dengan dibimbing oleh cara berpikir mereka sendiri,

dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) yang dapat

mereka kontrol secara efektif (Nasdian, 2006). Partisipasi masyarakat

digambarkan secara bertingkat sesuai dengan gradasi, derajat wewenang, dan

tanggung jawab yang dapat dilihat pada Tabel 1. Arstein menggunakan metafora

anak tangga partisipasi di mana setiap anak tangga mewakili strategi partisipasi

yang berbeda berdasarkan pola distribusi kekuasaanya.

14

Tabel 1. Tingkat Partisipasi Masyarakat menurut Tangga Partisipasi Arstein

No. Tingkatan Partisipasi Hakekat Kesetaraan Tingkat pembagianKekuasaan

1. Manipulasi Permainan olehPemerintah

Tidak ada partisipasi2. Terapi (Therapy) Sekedar agarmasyarakat tidak marah(sosialisasi)

3. Pemberitahuan(Informing)

Sekedar pemberitahuansearah (Sosialisasi)

Tokenisme (sekedarjustifikas agarmengiyakan)

4. Konsultasi(Consultation)

Masyarakat didengartapi tidak selalu dipakaisarannya

5. Penentraman(Placation)

Saran masyarakatditerima tapi tidakselalu dijalankan

6. Kemitraan(Partnership)

Timbal balikdinegosiasikan

Tingkat kekuasaan adadi masyarakat

7. PendelagisianKekuasaan (DelegatedPower)

Masyarakat diberikekuasaan (sebagianatau seluruh porgram)

8. Kontrol Masyarakat(Citizen Control)

Sepenuhnya dikuasaimasyarakat

Sumber: Arstein (1969) dalam Rosyida (2010)

Partisipasi masyarakat secara bertingkat sesuai dengan gradasi kekuasaan

yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan (Arstein, 1969). Ada pun

pola distribusi kekuasaan dan peran dominan pemangku kepentingan pada Tabel

1, diterangkan sebagai berikut.

1. Manipulatif, partisipasi pada anak tangga ini tidak memerlukan respon

partisipan untuk terlibat banyak.

2. Terapi, yakni terapi yang mulai melibatkan anggota komunitas lokal untuk

memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan, tetapi jawaban ini

tidak berpengaruh terhadap kebijakan.

15

3. Pemberitahuan, yakni kegiatan yang dilakukan oleh instansi

penyelenggara program sekedar melakukan pemberitahuan searah

(sosialisasi program).

4. Konsultasi, yakni anggota komunitas diberikan pendampingan dan

konsultasi dengan semua pihak terkait sehingga diikutsertakan dalam

penentuan keputusan.

5. Penentraman, pada tahap ini komunikasi telah berjalan dengan baik dan

sudah ada negosiasi antara masyarakat dan penyelenggara program.

6. Kerjasama, merupakan tahap partisipasi fungsional di mana semua pihak

baik masyarakat dan para pemangku kepentingan lainnya, mewujudkan

keputusan bersama, dengan duduk secara berdampingan.

7. Pendelagasian wewenang, merupakan suatu bentuk partisipasi yang aktif

di mana semua anggota komunitas melakukan perencanaan, implementasi,

dan monitoring.

8. Pengawasan oleh komunitas, dalam bentuk ini sudah terbentuk

independensi dari monitoring oleh komunitas lokal.

2.1.4 Hak Kepemilikan Sumberdaya

Hak atas sumberdaya milik bersama memiliki beberapa tipe sebagaimana

yang dibedakan oleh Ostrom and Schlager (1996) dalam Satria (2006) dan Ostorm

dan Hess (2007) , antara lain:

a. Access right, hak untuk akses, hak untuk dapat memasuki dan mengakses

sumberdaya alam dan dapat menikmatinya tanpa mengurangi keuntungan

bersama dari sumberdaya alam.

b. Withdrawal right, hak untuk dapat menikmati hasil produk dari

sumberdaya alam (hak menangkap).

c. Management right, hak untuk mengelelola sumberdaya alam agar dapat

dimanfaatkan hasilnya.

d. Exclusion right, hak untuk memilih siapa saja yang dapat memiliki akses

kepada sumberdaya alam dan bagaimana hak tersebut dapat dipindah-

tangankan.

e. Alleniation Right, hak untuk menjual dan memberikan semua atau

sebagian dari hak-hak kolektif di atas (hak pengalihan).

16

Apabila hak-hak tersebut di atas diasosiasikan dengan posisi kepemilikan

sumberdaya alam, seperti yang dikemukakan oleh Ostorm (1990) dalam Satria

(2006) maka akan tergambar seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Hak Kepemilikan Sumberdaya Alam Terhadap PosisiHak Kepemilikan Owner

(Pemilik)Properior Claiment Authorized

UserAuthorized

entrantHak Akses Hak Menangkap Hak Mengelola Hak Eksklusi Hak Aleanasi

Sumber: Ostorm (1990) dalam Satria (2006)

Pemegang hak kepemilikan atas sumberdaya alam baik pemilik hak

sepenuhnya maupun tidak, dapat dikategorikan dalam lima tipe seperti ini:

a. Owner, pemilik, yang memiliki hak kepemilikan yang kolektif untuk

berpartisipasi dalam mengelola dan eksklusi dan juga memegang hak

alenasi (hak menjual atau menyerahkan hak kepemilikan).

b. Properior, pemilik yang memiliki hak pemilikan kolektif namun tidak

memiliki hak alenasi.

c. Claiment, pemilik yang memiliki hak akses, hak menangkap

(memanfaatkan hasil sumberdaya alam), dan hak mengelola.

d. Authorized user, pemilik yang hanya memiliki hak untuk akses dan hak

memanfaatkan hasilnya.

e. Authorized entrant, pemegang hak untuk akses pengoperasian produksi

sumberdaya.

Salah satu bentuk hak kepemilikan sumberdaya alam adalah hak kepemilikan

komunal (Berkes (1989) dalam Adhuri (2004)). Hak kepemilikan ini memiliki

peran penting dalam keseharian komunitas tersebut, antara lain:

1) Memastikan keamanan mata pencaharian, dengan memastikan setiap

anggota dari komunitas dapat memenuhi kebutuhan dasar dengan

memanfaatkan hak akses atas sumberdaya alam yang vital.

2) Resolusi konflik, Berkes percaya bahwa hak kepemilikan bersama

(komunitas) membuktikan bahwa adanya mekanisme yang adil dalam

pemanfaatan sumberdaya alam dapat meminimalisir kemungkinan

perselisihan atau konflik.

17

3) Hak kepemilikan bersama mengikat para anggota komunitas menjadi satu

unit yang kompak dan membentuk keanggotaan serta kontrol atas

sumberdaya bersama untuk memfasilitasi kerja tim dan koorperasi.

4) Hak kepemilikan bersama bersifat konservasionis karena biasanya

berdasarkan pada prinsip ambil sesuai kebutuhan.

5) Hak kepemilikan bersama dikatakan dapat membantu menjaga

keberlanjutan ekologi, dan dengan pengelolaan bersama ini sering kali

menggabungkan praktek ritual yang disinkronisasikan dengan siklus alam.

Ostrom et.al (1999) memaparkan mengenai tipe hak kepemilikan atas

sumberdaya bersama.

Tabel 3. Hak Kepemilikan dan Karakteristiknya

Hak Kepemilikan KarakteristikOpen access (akses terbuka) Tidak ada yang memegang hak kepemilikan pada tipe

kepemilikan ini

Kepemilikan kelompok Hak kepemilikan sumberdaya dipegang olehsekelompok penguna yang dapat mengeksklusi oranglain.

Kepemilikan pribadi Hak kepemilikan sumberdaya dipegang oleh individuatau perusahaan yang dapat mengeksklusi orang lain.

Kepemilikan pemerintah Hak kepemilikan sumberdaya dipegang olehpemerintah yang dapat mengeksklusi pihak lain.

Sumber: Ostorm et.al (1999)

2.1.4 Pelabelan Ramah Lingkungan (Ecolabelling)

Berikut merupakan beberapa definisi mengenai ecolabelling (PRL) oleh

berbagai ahli, antara lain:

1. PRL oleh Gardiner dan Visnawathan (2004) diartikan sebagai

penyedia informasi bagi konsumen dengan memberi kesempatan

kepada konsumen untuk menunjukkan perhatiannya terhadap ekologi

maupun lingkungan melalui produk yang mereka pilih.

2. Nunes dan Riyanto (2005) menyebutkan bahwa PRL mengarah kepada

skema kebijakan yang dikarakterisasi oleh evaluasi suatu produk, atau

karakteristik produk. Hal ini berlawanan dengan menspesifikasi

produk secara khusus. Intinya untuk mengukur dan mengemukakan

18

secara detail nilai sosial, ekologi, dan ekonomi yang menjadi atribut

dari produk tersebut.

3. FAO (2007) mendefinisikan PRL sebagai pemberian label pada produk

dengan sukarela guna menyampaikan informasi produk kepada

konsumen untuk menciptakan insentif berbasis pasar demi pengelolaan

perikanan yang lebih baik.

4. European Council (2002) dalam Mungkung et.al (2006) menyatakan

bahwa PRL merupakan sebuah pendekatan, digunakan secara luas

dalam mengindustrialisasikan negara-negara sebagai jalan untuk

mempromosikan produk yang berkelanjutan dengan cara yang saling

melengkapi, yakni dengan meyediakan informasi bagi konsumen untuk

memudahkan mereka memilih produk yang lebih ramah lingkungan

atau dengan menggunakan “brenchmarking” untuk meningkatkan

pengembangan produk.

5. Dalam buku Seafood Ecolabelling: Principles and Practise, Ward dan

Phillpis (2009) menyatakan PRL merupakan sistem yang dibentuk

berdasarkan insentif dari mekanisme pasar untuk mendorong produk

yang memberitahukan bahwa diproduksi dengan memperhatikan

keberlanjutan ekologi.

Gambar 1 menggambarkan apa yang disebutkan oleh Ward dan Phillps

(2009) mengenai sistem insentif pasar dan beberapa elemen pendukungnya PRL

ini sebenarnya adalah hanya sebuah tanda, logo, label, atau sebuah pengesahan

produk perikanan yang dimaksudkan untuk menyatakan secara tidak langsung

kepada konsumen bahwa produk yang mereka beli adalah produk yang telah

diproduksi melalui prosedur keberlanjutan ekologi, dan bersumber dari

sumberdaya alam yang dikelola dengan baik. Gambar 2 merupakan contoh PRL

yang beredar di dunia.

19

Gambar 1 Insentif Pasar untuk Mendukung Praktik Lingkungan dan Keberlanjutan dalamPenangkapan dan Produksi Hasil Perikanan (Ward dan Philips, 2009)

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa PRL ditelurkan dari

didirikannya Marine Stewardship Council (MSC) yang diinisiasi oleh Unilever

dan WWF pada tahun 1997. Sejarah inisiasi PRL pada sub-bab ini akan dilihat

dari kedua aktor besar yang berperan. Pertama, berlandaskan pada Unilever’s Fish

Sustainibility Initiative (2003). Unilever, berdasar pada data-data yang didapat

dari FAO melihat perikanan global mulai menghadapi ancaman yang memiliki

implikasi sosial. Satu miliar orang di Asia dan Afrika yang menggantungkan

hidupnya pada sumber protein ikan akan menghilang. Teknik penangkapan ikan

dan penurunan stok perikanan membuat konservasi menjadi suatu kebutuhan.

Pada 2002, dalam World Summit on Sustainable Development para pemerintah

setuju bahwa stok ikan perlu diperbaharui demi terjaganya stok ikan pada tahun

2015. Di dalam FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (1995)

dinyatakan:

“Fisheries, including aquaculture, provide a vital source of food,employement, recreation, trade, and economic well-being forpeople throughout the world, both of present and futuregenerations and should therefore be conducted in a responsiblemanner. FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries sets outprinciples and international standards of behavior for responsible

CredibillityanAAppealappeal

Consumerpreference

Consumer Product

endorsement

verification

Environmental Regulations,Policies, plans and strategies;principles and guidelines; practice;customary producers

Producer

standard

Improvedecologicalsustainability

20

practices with a view to ensuring the effective conservation,management, and development of living aquatic resources, withdue respect for the ecosystem and biodiversity”

Gambar 2. Contoh Label Ramah Lingkungan (PRL)

WWF untuk mencapai tujuannya membuat perikanan berkelanjutan

dengan membuat sarana dan insentif untuk perikanan yang dikelola dengan baik

dengan menggandeng partner baik dari organisasi pemerintahan maupun non-

pemerintah, industri, dan masyarakat pesisir. Merujuk kepada Gardiner dan

Visnawathan (2004) PRL memiliki tiga skema yang secara garis besar

mengklasifikasikan PRL dalam tiga kategori. Adapun kategori tersebut, antara

lain:

1. Skema PRL jenis pertama atau biasa disebut self declaration. Skema

ini diterapkan oleh perusahaan berdasarkan pada standar produk yang

mereka produksi sendiri. Biasanya diinformasikan melalui media

periklanan.

2. Skema PRL jenis kedua. Skema ini diterapkan oleh asosiasi industri

untuk konsumen mereka. Para anggota asosiasi ini menetapkan kriteria

sertifikasi sendiri, atau terkadang dibantu oleh ahli dari luar asosiasi

mereka, seperti akademisi maupun organisasi lingkungan.

3. Skema PRL jenis ketiga. Skema ini diterapkan oleh inisiator (publik

maupun swasta) yang bebas dari produsen, distributor, maupun

pedagang dari produk tersebut. Produk yang disuplai oleh organisasi

21

atau sumbernya disertifikasi untuk menginformasikan kepada

konsumen bahwa produk ini ramah lingkungan. Skema ini bertipikal

sama dengan lisensi.

Forsyth (2008) menyatakan bahwa apabila berbicara mengenai lingkungan,

kerusakan lingkungan, ataupun ekologi akan terkait dengan kebijakan yang telah

ada dan kebijakan yang akan dibuat. Penetapan kebijakan dan pelaksanaannya

tidak terlepas dari unsur politik, sehingga menganalisis kejadian serta peristiwa

alam yang terjadi dapat dengan baik dijelaskan dalam kerangka ekologi politik.

Adapun dampak dari kekurangan dan kelebihan pelaksanaan program PRL

perikanan ini bagi nelayan terutama nelayan skala kecil yang banyak terdapat di

NSB seperti yang terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kelebihan dan Kekurangan PRL Berdasarkan Aktor

AktorEkolabeling

Kelebihan Kekurangan

Negara Skala Besar(NSB)

Produk yang telahbersertifikasi memilikiharga yang tinggi dipasar

Mewujudkan praktekperikanan yangberkelanjutan

Mengurangi jatah tangkapikan NSBs sehinggapermintaan akan produk iniyang tinggi tidak dapatdipenuhi semua (memebuatharga ikan bersertifikasilebih tinggi di pasar)

Nelayan Skala Kecil(NSK)

Mewujudkan praktekperikanan yangberkelanjutan

PRL perikanan berbiayatinggi sehingga NSK tidakdapat memenuhinya

PRL merupakan instrumenpasar internasionalsehingga mempengaruhipraktek ekspor impor(negara sedangberkembang akan ter-driveoleh negara maju)

Kelangsungan KelestarianAlam

Perikanan dikelola secarabaik, dapat merekoveristok ikan lebih cepat

Mewujudkan praktekperikanan yangberkelanjutan.

Belum ada hasil signifikanbahwa PRL inimeningkatkan stok ikan

Hanya berfokus pada hasiltapi tidak memperhatikansystem pengelolaan yangdigunakan

Sumber: Gardiner dan Visnawathan (2004); Gudmusson dan Wessel (2000); Molyneaux (2008);Suwarsono (2006); Sainsbury (2010)

22

Bila dilihat dari sudut pandang nelayan skala kecil dan dari aspek sosial,

ekonomi, dan politik, PRL memiliki dampak tersendiri, antara lain:

1. Biaya sertifikasi yang mahal membuat nelayan skala kecil tidak dapat

mensertifikasikan produk perikanannya. Hal ini membuat produk

perikanan ini tidak dapat memasuki perdagangan internasional, kerena

tidak memenuhi persyaratan PRL (Gardiner dan Visnawathan 2004).

2. Bagi perikanan yang telah tersertifikasi pun tidak lepas dari permasalahan.

Dari aspek politik, perikanan yang telah disertifikasi untuk memenuhi

tuntutan pasar ekspor-impor ternyata memiliki implikasi adanya

ketergantungan NSB kepada NM (Soewarsono, 2000).

2.1.4.1 Dampak Ekologi Penerapan Sertifikasi Ekolabeling

Dampak diartikan sebagai adanya suatu benturan antara dua kepentingan

yang berbeda, yaitu kepentingan pembangunan dengan kepentingan usaha

melestarikan kualitas lingkungan yang baik. Dampak yang diartikan dari benturan

antara dua kepentingan itupun masih kurang tepat karena yang tercermin dari

benturan tersebut hanyalah kegiatan yang menimbulkan dampak negatif

(Kristanto, 2004). Pada penelitian ini, kepentingan yang menjadi fokus utama

pertama, kepentingan nelayan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan kata

lain sebagai kepentingan pembangunan (dapat diartikan sebagai kepentingan

ekonomi, sosial, dan politik) dan kedua, kepentingan masyarakat nelayan dalam

menjaga kelestarian laut (ekologis).

PRL perikanan merupakan peristiwa masuknya instrumen pasar dalam

menangani masalah ekologis. Dalam buku “Seafood Ecolabelling: Principles and

Practise”, Ward dan Phillpis (2009) menyatakan PRL merupakan sistem yang

dibentuk berdasarkan insentif dari mekanisme pasar untuk mendorong produk

yang memberitahukan bahwa diproduksi dengan memperhatikan keberlanjutan

ekologi. Berikut dampak ekologis yang terjadi akibat berlangsungnya praktek

PRL perikanan:

1. Tidak diperbolehkannya perikanan tangkap yang menggunakan alat

tangkap yang merusak (destructive fishing) seperti, bom ataupun zat

kimia berbahaya (Sainsbury (2010) dan Gardiner dan Visnawathan

(2004)). Sehingga wilayah perairan laut yang sebelumnya terkena

23

dampak negatif akibat penangkapan yang menggunakan bahan peledak

dan zat berbahaya seperti potassium-sianida, khususnya terumbu

karang, menjadi baik kembali.

2. Keterbatasan kelimpahan ikan (stok ikan) dapat mulai dikendalikan

(Sainsbury (2010) dan Visnawathan (2004)). Dengan pengelolaan yang

tepat dan penghitungan produktivitas ikan di perairan, permasalahan

stok ikan yang mulai menipis dapat diatasi. Yang menjadi indikator

dalam hal ini adalah jumlah stok ikan.

3. Penangkapan ikan yang memperhatikan keanekaragaman hayati ikan,

maksudnya penangkapan dengan mempertimbangakan kelimpahan dan

keberadaannya dalam rantai makanan (Sainsbury, 2010). Ikan langka

dan hampir punah tidak akan ditangkap untuk diperjualbelikan disini.

Sehingga rantai makanan ekosistem ikan di laut tidak terganggu.

4. Dengan tidak digunakannya zat-zat kimia berbahaya dalam sistem

penangkapan ikan, membuat masayarakat pesisir di sekitar pantai

berkurang kemungkinan terkontaminasi zat berbahaya.

2.1.4.2 Dampak Sosial Ekonomi Penerapan PRL

PRL perikanan sebenarnya bermuara pada perikanan berkelanjutan.

Menurut Eyjólfur Gudmundsson dan Cathy R. Wessells (2000) praktek perikanan

berkelanjutan dapat dibuat perhitungan bio-ekonominya. Efektifitas label ramah

lingkungan yang menunjukkan praktek perikanan berkelanjutan dibawah rezim

open-access, limited access, dan pengelolaan perikanan yang optimal dengan

produk PRL yang berharga bagus di pasar. Dalam pelaksanaannya perikanan

berkelanjutan ini, mengundang pesimitis dari beberapa pihak, seperti dalam

tulisan “Whose sustainability? Top–down participation and emergent rules in

marine protected area management in Indonesia” oleh Galser et.al (2010)

wilayah perlindungan laut (konservasi) untuk melindungi wilayah laut yang

terkena dampak kelebihan penangkapan, atau tereksploitasi lebih. Wilayah

konservasi biasanya ditentukan oleh pemerintah dengan disandarkan kepada

peraturan IUCN mengenai perikanan yang diimplementasikan oleh pemerintah

dalam UU No. 5 Tahun 1997. Praktek perikanan yang terjadi dengan adanya

24

peraturan yang top-down ini membuat gerah masyarakat nelayan. Hak-hak

nelayan tereduksi oleh peraturan seperti ini.

Dampak sosial ekonomi praktek PRL perikanan ini tidak bisa dipungkiri

terjadi pada masyarakat nelayan. Di bawah ini beberapa butir dampak sosial

ekonomi yang terjadi dalam praktek PRL.

1. Ada hak-hak nelayan yang tereduksi, karena hanya berfokus pada hasil

tetapi tidak memperhatikan sistem pengelolaan yang digunakan

(Molyneaux, 2008).

2. Sertifikasi perikanan dapat mendorong kesadaran dan peningkatan

pemasaran produk perikanan, namun tidak untuk perikanan skala kecil.

Biaya sertifikasi yang tinggi, dan ke-eksklusifan yang ditawarkan

pemegang sertifikasi PRL membuat adanya kesenjangan ekonomi

dalam masyarakat nelayan (Schimidt 1998 dalam Gardiner dan

Visnawathan 2004). Ditambahkan oleh Molyneaux (2008) skema

ekolabeling yang dikendalikan oleh perusahaan tujuan akan berbalik

arah sehingga tidak dapat dipercaya bahwa skema MSC ini dapat

menguntungkan nelayan skala kecil. Ada pasar yang hanya membeli

ikan yang bersertifikat, mengunci pada status ikan yang berkelanjutan

dan potensial. Kembali lagi ini menguatkan bahwa PRL seakan

menutup akses nelayan kecil untuk memperdagangkan hasil

tangkapannya di pasar Internasional.

3. Akan terjadi ketimpangan harga di pasar (Gudmusson dan Wessel

2000). Oleh karena harga ikan yang bersertifikasi dinilai lebih tinggi

sehingga hasil tangkapan yang tidak bersertifikasi PRL lebih rendah di

pasar. Hal ini membuat nelayan skala kecil mengalami kesulitan dalam

ekonomi.

2.1.5 Perikanan Berkelanjutan

Merujuk kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa

pembangunan berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana

yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, kedalam proses

pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup

25

generasi saat ini. Ditambahkan FAO dalam Sinclair dan Valdimarsson (2003)

perikanan berkelanjutan semestinya dilihat secara pendekatan holistik dan

integratif juga dengan partisipasi dari para pemangku kepentingan yang mengarah

kepada dimensi pengelolaan yang terpusat. Berikut Galser et.al merumuskan

beberapa instrumen yang seharusnya ada dalam praktek perikanan berkelanjutan:

1. Keadilan distributif; ini penting untuk memastikan siapa yang bertanggung

jawab atas biaya dan yang memperoleh keuntungan dari wilayah

konservasi. Baik keuntungan material maupun non-material.

2. Transparansi dan Representatif; pada tingkat lokal peraturan dan program

ini dibangun, pemilihan pengurus, dan lainnya harus diurus secara inklusif

dan menghindari marginalisasi. Seluruh pelaksanaan ini dilaksanakan

secara transparan dan memilki unsur keterwakilan.

3. Budaya lokal; hal tabu maupun mitos di lingkungan sekitar wilayah

konservasi harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam memutuskan

wilayah konservasi.

4. Partisipasi aktif; diperlukan peran aktif dari masyarakat pengguna

sumberdaya dalam merumuskan implementasi wilayah konservasi.

5. Mengaitkan pengetahuan; baik itu pengetahuan lokal maupun pengetahuan

modern dan pengetahuan lainnya disejajarkan dalam pertimbangan

pengambilan keputusan agar tercipta peraturan yang tidak berat sebelah.

6. Peraturan Lokal; jangan abaikan peraturan lokal yang telah menjadi tradisi

di wilayah tersebut.

2.2 Kerangka Pemikiran

Timbul kesadaran akan rusaknya lingkungan di laut Les yang diakibatkan

penggunaan bahan berbahaya dalam menangkap ikan (destructive fishing) serta

penangkapan ikan berlebih (over-exploitation fishing). Hal ini kemudian

mengawali pergerakan perikanan ramah lingkungan yang dilakukan oleh

kelompok nelayan ikan hias dibantu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

lokal, yakni Yayasan Bahtera Nusantara yang juga dibantu oleh Telapak

Indonesia. Gerakan pelestarian yang dilakukan dimulai dengan merubah cara

pandang nelayan, kemudian diikuti dengan memutuskan solusi yang tepat untuk

kebaikan bersama. Gerakan ini mengubah cara tangkap ikan hias yang dari

26

menggunakan potassium-sianida menjadi menggunakan jaring, dari pola tangkap

mengambil sebanyak-banyaknya ikan menjadi berpola mengikuti order, juga

termasuk memberi pelatihan penyelaman untuk menangkap ikan yang hidup lebih

dari 15 meter di bawah permukaan laut.

Setelah gerakan perikanan ramah lingkungan berjalan beberapa waktu,

kemudian Marine Aquarium Council melakukan PRL (ecolabelling) terhadap

pemangku kepentingan rantai pasar dari ikan hias. Munculnya program PRL ini

kemudian menimbulkan dampak, baik dari sisi sosial dan ekonomi masyarakat

nelayan dan ekologis lingkungan (terutama laut). Perubahan pendapatan,

perubahan kondisi tempat tinggal, ragam sumber pandapatan, serta kepemilikan

alat tangkap menjadi tolak ukur ekonomi nelayan. Sedangkan dari sisi sosial,

kekuatan jejaring sosial (networking), stratifikasi masyarakat nelayan, sebaran

wilayah tangkap, dan tingkat kepuasan kerja oleh nelayan menjadi parameternya.

Sementara luas tutupan karang dan keberanekaragaman ikan hias di laut Les

menjadi alat ukur akibat yang dihasilkan dari PRL ini.

2.1 Hipotesis Penelitian

1) Terdapat hubungan perubahan pola kehidupan sosio-ekonomi

masyarakat nelayan ikan hias akibat pelaksanaan PRL. Perubahan sosial

yang terjadi memiliki hubungan:

Responden yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi

cenderung memiliki keikutsertaan yang tinggi dalam kelompok.

Responden yang memiliki tingkat pengalaman kerja yang tinggi

maka cenderung memiliki tingkat keikutsertaan yang tinggi.

Responden dengan tingkat pengalaman yang tinggi maka

cenderung memiliki tingkat pendapatan tinggi.

Responden yang memiliki tingkat pengalaman kerja yang tinggi

maka cenderung memiliki tingkat pendapatan yang tinggi.

2) Terdapat perubahan ekologi perairan Les akibat pelaksanaan PRL.

3) Terdapat perubahan pelaksanaan perikanan ikan hias setelah

pelakaksanaan sertifikasi PRL.

27

Kerusakan Lingkungan(Laut)

Gerakan Perikanan RamahLingkungan

Sertifikasi Ekolabeling

Dampak Sosial: Jaringan sosial Tingkat keikutsertaan

dalam kelompok Stratifikasi

masyarakat nelayan

Dampak Ekonomi: Tingkat pendapatan Ragam sumber

pendapatan Persaingan wilayah

tangkap Kondisi tempat

tinggal

Karakteristik Nelayan: Umur Tingkat pendidikan Tingkat pengalaman Tingkat pengetahuan

tentang perikananyang ramahlingkungan

Dampak Ekologi: Luas tutupan Karang Keberanekaragaman

ikan hias

Nelayan Ikan Hias

LSM

Lembagasertifikasi

Dampak Sosial: Jaringan sosial Tingkat keikutsertaan

dalam kelompok Stratifikasi

masyarakat nelayan

Dampak Ekonomi: Tingkat pendapatan Ragam sumber

pendapatan Persaingan wilayah

tangkap Kondisi tempat

tinggal

Karakteristik Nelayan: Umur Tingkat pendidikan Tingkat pengalaman Tingkat pengetahuan

tentang perikananyang ramahlingkungan

Dampak Sosial: Jaringan sosial Tingkat keikutsertaan

dalam kelompok Stratifikasi

masyarakat nelayan

Keterangan:

Hubungan Pengaruh

Stakeholder yang berperan dalam kegiatan

Hubungan peristiwa

Gambar 3. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian Sertifikasi Ekolabeling DanDampaknya Terhadap Nelayan Ikan Hias

28

2.2 Definisi Konseptual

1. Kerusakan lingkungan di laut merupakan akibat dari aktivitas perikanan

yang tidak ramah lingkungan dengan menggunakan alat atau bahan yang

merusak, dapat berupa rusaknya terumbu karang.

2. Perikanan ramah lingkungan merupakan aktivitas perikanan yang

menerapkan prinsip tidak merusak lingkungan yang dalam penerapannya

perikanan ini tidak menggunakan alat-alat atau bahan yang merusak

(destructive fishing). PRL perikanan merupakan sistem penangkapan

ikan yang memiliki sertifikasi ramah lingkungan yang diakui di dunia,

sehingga produk perikanan ini dapat menembus pasar internasional

untuk diperdagangkan.

3. Dampak sosial merupakan akibat yang terjadi pada masyarakat dalam

bentuk hubungan-hubungan sosial yang terjadi karena dilaksanaannya

program PRL perikanan ini.

4. Jaringan sosial (social networking) adalah bentuk hubungan yang saling

mempengaruhi satu sama lain antar pemangku kepentingan dalam

memenuhi kebutuhan masing–masing pihak.

5. Stratifikasi sosial adalah pergeseran verikal status dan peran dalam

pekerjaan, dapat naik atau pun turun.

6. Dampak ekonomi merupakan akibat yang terjadi dalam masyarakat

nelayan yang berhubungan dengan ekonomi karena dilaksanakannya

PRL perikanan ini.

7. Ragam sumber pendapatan maksudnya adalah berbagai bidang pekerjaan

lain selain pekerjaan utama responden yang turut menyumbang

pemasukan pendapatan keluarga responden.

8. Strategi nafkah nelayan merupakan aktivitas yang dilakukan nelayan

dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.

9. Sumber pendapatan merupakan sumber penghasilan nelayan baik dari

hasil menangkap ikan maupun dari hasil pekerjaan lainnya.

2.3 Definisi Operasional

1. Karakteristik nelayan adalah ciri-ciri yang melekat pada individu nelayan

meliputi umur, tingkat pengalaman menekuni pekerjaan, tingkat

29

pendidikan, dan pengetahuan mengenai perikanan yang ramah

lingkungan.

a. Umur adalah usia responden pada tahun dilaksanakannya

penelitian. Namun, dibagi kedalam tiga kategori oleh Havighurts

dan Acherman dalam Sugiyah (2008):

i. Muda (18-30 tahun)

ii. Dewasa (31-50 tahun)

iii.Tua (50 tahun)

b. Pendidikan adalah jenjang atau tingkat pendidikan formal yang

telah ditempuh oleh individu pada saat penelitian ini berlangsung,

yang dibedakan sebagai berikut:

i. Rendah (tidak tamat SD, tamat SD/sederajat, tidak sekolah)

ii. Sedang (tamat SMP/sederajat)

iii.Tinggi (Tamat SMA/sederajat)

c. Tingkat pengalaman menekuni pekerjaan diukur dari selang

waktu yang telah ditempuh oleh individu dengan pekerjaan utama

sebagai nelayan ikan hias, dihitung dalam satuan waktu tahun.

Oleh karena praktek perikanan ikan hias berjalan sejak tahuan

1986 dan dihitung pada tahun 2011, maka selang periodenya

adalah 25 tahun. Sehingga, range yang digunakan adalah:

i. Rendah (0-5 tahun)

ii. Sedang (5-15 tahun)

iii. Tinggi (diatas 15 tahun)

d. Pengetahuan mengenai perikanan yang ramah lingkungan adalah

kumpulan pengetahuan yang dimiliki nelayan dalam bidang dan

praktek perikanan yang ramah lingkungan.

i. Rendah (jika jawaban kurang benar)

ii. Sedang (jika jawaban benar tetapi kurang menyakinkan)

iii. Tinggi (jika jawaban mendekati benar)

2. Tingkat pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diperoleh oleh

responden secara keseluruhan (tidak hanya dari hasil bekerja sebagai

nelayan ikan hias) dalam satuan waktu bulan.

30

i. Rendah (jika penghasilan individu dibawah penghasilan

rata-rata keseluruhan responden)

ii. Sedang (jika penghasilan individu berada ditengah

pengahasilan rata-rata keseluruhan responden)

iii. Tinggi (jika penghasilan individu berada diatas penghasilan

rata-rata keseluruhan responden)

3. Tingkat keikutsertaan dalam kelompok adalah seberapa banyak

kehadiran individu dalam acara atau pertemuan-pertemuan rutin

kelompok nelayan ikan hias dalam satu tahun. Oleh karena pertemuan

rutin diadakan setiap bulan hitungan kalender Bali, yakni setiap 35 hari

yang bertepatan dengan upacara agama Hindu, tumpek, maka satuan yang

digunakan adalah berapa kali pertemuan. Satu tahun berarti berkisar ada

10 kali pertemuan.

i. Rendah (jika kehadiran individu kurang dari 5 kali dalam

kurun waktu satu tahun)

ii. Sedang (jika kehadiran individu antara 5 sampai 8 kali dalam

kurun waktu satu tahun)

iii. Tinggi (jika kehadiran individu lebih dari 8 kali dalam kurun

waktu satu tahun)