BAB II MUTASI Konsep Mutasi secara umum · karyawan. Misalnya pelaksananaan mutasi dan promosi,...
Transcript of BAB II MUTASI Konsep Mutasi secara umum · karyawan. Misalnya pelaksananaan mutasi dan promosi,...
10
BAB II
MUTASI
Konsep Mutasi secara umum
Pemahaman mutasi atau yang lebih dikenal dengan
“pemindahan” merupakan kegiatan memindahkan
tenaga kerja dari suatu unit ke unit kerja lain yang
dianggap sejajar. Menurut Nitisemito (2002), mutasi
adalah kegiatan pemindahan karyawan dari suatu
pekerjaan ke pekerjaan lain yang setingkat. Sedangkan
Syadam (2002) berpendapat bahwa mutasi dalam
manajemen sumber daya manusia dapat mencakup
dua pengertian yaitu kegiatan pemindahan karyawan
dari satu tempat kerja ke tempat kerja yang baru yang
sering disebut dengan alih tempat (tour of area) dan
kegiatan pemindahan karyawan dari satu tugas ke
tugas yang lain dalam satu unit kerja yang sama, atau
dalam satu perusahaan (tour of duty).
Berdasarkan kedua konsep mutasi yang telah
dipaparkan di atas, maka konsep mutasi yang
11
dikemukan oleh Syadam memiliki makna yang lebih
luas. Alasannya yaitu konsep mutasi tidak hanya
“pemindahan” dari satu pekerjaan/tugas kepada
pekerjaan/tugas lain akan tetapi pemindahan itu juga
berlaku untuk unit atau tempat kerja yang baru
dengan tugas/pekerjaan yang lama. Dalam penelitian
ini dengan didasarkan pada konsep mutasi di atas
maka konsep yang akan dipakai dan dikaji adalah
konsep mutasi Syadam yaitu tour of area (mutasi
tempat). Di mana konsep mutasi yang tour of area
adalah pemindahan tempat kerja yang lama ke tempat
kerja yang baru tetapi tidak ada perubahan posisi,
jabatan atau tugas dari karyawan tersebut.
2.1 Kebijakan Mutasi
Menurut Syadam sebagaimana dikutip oleh Adryan
(2013) mengatakan bahwa kebijakan mutasi dapat
terjadi didalam suatu organisasi baik itu organisasi
profit atau non profit disebabkan oleh dua hal yaitu:
12
1. keinginan anggota itu sendiri. Biasanya
disebabkan oleh masalah keluarga, ekonomi,
kesehatan dan juga rasa tidak nyaman dengan
lingkungan kerja yang ada.
2. Keinginan organisasi atau instansi tertentu,
dengan tujuan untuk memberikan kesempatan
bagi anggotanya agar bisa mengembangkan
kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki.
Berlandaskan pada dua alasan dilakukannya mutasi,
maka dapat dikatakan bahwa kebijakan mutasi itu
sendiri ditentukan oleh organisasi dalam hal ini
pimpinan organisasi. Disinilah kebijakan pimpinan
organisasi sangat berpengaruh penting terhadap
kinerja organisasi dan juga karyawan yang
bersangkutan (SDM). Pimpinan organisasi tidak boleh
dengan sembarangan memutasikan karyawan tanpa
alasan yang jelas dan haruslah menentukan waktu
yang tepat. Dengan pertimbangan bahwa karyawan
yang dimutasikan butuh waktu untuk beradaptasi
dengan lingkungan kerja yang baru (Nurani, 2013).
13
Begitu juga dengan gereja sebagai organisasi non
profit dalam melakukan kebijakan mutasi pendeta.
Kebijakan mutasi tenaga didalam lingkungan Gereja
biasanya ditentukan oleh Sinode sebagai otoritas
tertinggi dalam organisasi ini. Penelitian yang
dilakukan oleh Suryaningsih (2012) dikemukakan
mutasi merupakan keputusan yang dibuat oleh Sinode
dan dituangkan dalam sebuah peraturan yang tertulis.
Akan tetapi pada kenyataannya banyak pendeta yang
menolak untuk dimutasikan setelah kebijakan
dikeluarkan.
Selanjutnya mutasi dilakukan oleh setiap organisasi
memiliki tujuan. Seperti yang dikemukan oleh
Wahyudi (2003), kebijakan mutasi dilakukan dalam
suatu organisasi memiliki tujuan yaitu:
1. Meningkatkan produktivitas kerja. Ketika anggota
organisasi melakukan mutasi maka ada
pengalaman baru yang didapatkan dan
menambah pengetahuan serta ketrampilannya.
Hal ini secara langsung akan meningkatkan
14
produktivitas kerja dari yang bersangkutan
apabila pelaksanaan mutasi dilakukan dengan
memperhatikan waktu pelaksanan mutasi dan
penempatan sesuai dengan ketrampilan dan
kemampuannya.
2. Memberikan perangsang agar anggota dapat
berupaya untuk meningkatkan karir yang lebih
tinggi. Tujuan mutasi yang ketiga ini akan terjadi
apabila yang dimutasikan dapat berupaya untuk
meningkatkan kemampuan dan ketrampilan
dengan ditopang oleh semangat kerja yang tinggi.
3. Memberikan pengakuan dan imbalan terhadap
prestasi anggota organisasi. Semua anggota akan
memiliki semangat kerja yang tinggi apabila
mereka diberi pengakuan atau reward yang
berupa peningkatan jabatan atau posisi yang
diikuti dengan peningkatan pendapatan atau gaji.
4. Menyesuaikan pekerjaan dengan kondisi fisik
anggota. Ketika mereka diberikan suatu
pekerjaan yang diluar dengan ketrampilan dan
15
kemampuan atau diberikan pekerjaan yang
banyak maka akan menimbulkan kejenuhan dan
kelelahan yang berakhir dengan menurunnya
semangat kerja. Oleh karena itu, organisasi perlu
melakukan penyegaran dalam hal ini mutasi agar
nantinya anggota tidak mengalami kejenuhan
dan kelelahan.
2.2 Pelaksanan mutasi
Proses mutasi rutin dilakukan oleh organisasi
tertentu berdasarkan peraturan-peraturan dan
ketentuan yang berlaku. Hal ini dikemukakan oleh
Nitisemito (1996) bahwa proses mutasi telah
dituangkan dalam sebuah peraturan secara tertulis.
Hal ini dilakukan untuk menjaga agar pelaksanaan
proses mutasi jangan sampai dilakukan seenaknya oleh
atasan. Selain itu juga proses mutasi dapat
terkordinasi dan dikelola dengan baik sesuai dengan
peraturan dan ketentuan yang ada.
16
Dalam proses pelaksanaan mutasi ada beberapa
cara yang digunakan organisasi yang coba
dikemukakan oleh Hasibuhan (2001), yaitu:
1. Cara ilmiah (mutasi rutin). Biasanya mutasi rutin
ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan dan
dilakukan setelah atasan/pimpinan melakukan
penilaian kinerja terhadap bawahan atau anggota
organisasi. Selain itu juga mutasi ini dilakukan
dengan memperhatikan kebutuhan dari
organisasi dan juga anggota untuk tetap menjaga
efektifitas dari organisasi tersebut.
2. Cara tidak ilmiah (bukan mutasi rutin). Proses
mutasi ini berbeda dengan mutasi rutin diatas,
dimana ketika mutasi rutin dilakukan
berdasarkan peraturan yang ada dan memiliki
jenjang waktu maka mutasi ini tidak dilakukan
melalui penilain kinerja. Biasanya mutasi
dilakukan ketika ada anggota yang bermasalah,
produktivitas kerja menurun dan juga
berdasarkan like atau dislike dari pimpinan.
17
Selain itu juga, mutasi bisa terjadi ketika ada
konflik baik itu dengan pimpinan ataupun
dengan rekan sekerja.
Adapun proses mutasi yang dilakukan oleh organisasi
profit maupun non profit yaitu :
1. Adanya analisis kinerja. Sebelum melakukan
mutasi, organisasi dalam hal ini manajer /
pimpinan melakukan analisis kinerja terhadap
anggota organisasi yang ada. Putra, Utami dan
Riza (2015) mengemukakan bahwa analisis
kinerja diperlukan untuk memudahkan pihak
manajemen mengambil keputusan yang erat
kaitannya dengan pengembangan kinerja
karyawan. Misalnya pelaksananaan mutasi dan
promosi, kenaikan gaji dan juga pemberian
bonus.
2. Analisis situasi lingkungan/kondisi kerja. Selain
analisis kinerja yang dilakukan sebelum
memutasikan anggota, pihak organisasi juga
melakukan analisis lingkungan kerja. Artinya
18
lingkungan kerja sangat mempengaruhi kinerja
dan produktivitas kerja dari seorang. Hal ini
dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Afrizal, Musadieq dan Ruhana (2014)
menyatakan bahwa lingkungan/kondisi kerja
sangat mendukung karyawan untuk giat bekerja
yang secara langsung akan mempengaruhi
produktivitas kerja dari karyawan tersebut.
3. Setelah kedua analisis dilakukan baik analisis
kinerja dan lingkunga/kondisi kerja dilakukan,
maka pimpinan akan memutuskan siapa yang
akan dimutasikan. Kemudian keputusan
memutasikan anggota akan disosialisasikan
kepada yang bersangkutan.
Banyak kasus tidak sedikit anggota organisasi
menolak dimutasikan setelah kebijakan mutasi
dikeluarkan oleh organisasi/instansi. Ada beberapa
faktor yang mendasari penolakan tersebut yang coba
dikemukakan oleh Sastrohadiwiryo (2002), yaitu:
19
1. Faktor Rasional. Penolakan ini terjadi karena
pertimbangan waktu yang diperlukan untuk bisa
menyesuaikan diri dan upaya untuk belajar
kembali. Biasanya ini terjadi apabila anggota
akan dimutasikan tanpa ada pemberitahuan
terlebih dahulu dan sangat nyaman dengan
lingkungan kerja dan rekan kerja yang ada.
2. Faktor Psikologi. Penolakan didasarkan bahwa
anggota tidak suka dengan lingkungan kerja yang
baru dikarenakan kurangnya pengetahuan dan
pengelaman kerja yang ada tentang lingkungan
dan pekerjaan yang ada. Biasanya anggota yang
menolak ini adalah tipe karyawan tidak menyukai
perubahan dan ingin tetap ada dalam zona
nyaman.
3. Faktor Sosiologi. Penolakan terjadi karena akan
bertentangan dengan nilai kelompok yang ada,
adanya kepentingan pribadi dan juga ingin
mempertahankan hubungan yang terjalin
sekarang.
20
2.3 Konsep mutasi dalam Gereja
Konsep mutasi pendeta memiliki arti yaitu
perpindahan jabatan atau wilayah kerja atas dasar
kepentingan pelayanan gereja serta pembinaan pegawai
dan pelayan gereja (Tata Gereja GPM, 1998). Tujuan
dari mutasi pendeta adalah memberikan kesempatan
yang sama kepada setiap pendeta, penyegaran
pelayanan, menambah pengetahuan, dan tindakan
prefentif dalam pengamanan personil (Tata Gereja
GPIB, 1996). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
mutasi pendeta dilakukan bukan hanya dilakukan
untuk penyegaran pelayanan akan tetapi dilakukan
sebagai bagian dari pembinaan pendeta untuk lebih
mengenal tugas dan tanggung jawab sebagai pelayan
Tuhan.
Pendeta sebagai seorang pelayan Tuhan seharusnya
dimaknai sebagai sebuah “panggilan” untuk melayani
jemaat yang adalah umat Allah. Hal ini jelas dikatakan
oleh Simon Petrus yang merupakan seorang pemimpin
21
gereja mula-mula pada zaman Alkitab (PB) dalam surat
1 Petrus 5:2-3 demikian:
2 Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. 3Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu.
1 Petrus 5:2-3 memberikan pemahaman bagi para
pelayan gereja untuk bertanggung jawab memelihara
iman umat, mendisplinkan mereka dan memberi
makanan rohani. Tanggung jawab ini harus didasari
rasa pengabdian diri yang tinggi bukan terpaksa
bahkan mencari keuntungan dari pelayanan tersebut.
Lebih lanjut pada ayat kedua, berisi peringatan kepada
pelayan gereja untuk terhindar dari dua dosa
berbahaya 1) keinginan akan uang, janganlah seorang
pendeta memperkaya diri dari pekerjaan Tuhan, 2)
keinginan untuk berkuasa, sebaiknya seorang pendeta
harus menjadi teladan, pelayan yang rendah hati
(servant leadership) dan pemimpin yang baik.
22
De Jonge (2001) kemudian menghubungkan
panggilan dengan mutasi, dimana ketika seorang
pendeta dimutasikan atau dipindahkan dari satu
jemaat ke jemaat yang lain maka harus dipahami
sebagai panggilannya untuk melayani jemaat tersebut.
Oleh karena itu, tujuan mutasi tenaga pendeta adalah
sebagai sarana pendeta untuk memenuhi panggilannya
untuk melayani umat. Selain itu juga mutasi dipahami
sebagai sarana untuk membina dan mendidik pendeta
agar tetap melakukannya sebagai pejabat gereja.
Pendeta yang sudah dimutasikan dianggap telah
melakukan panggilannya sebagai pejabat gereja dan
juga seorang pelayan Tuhan. Selain itu tujuan mutasi
menurut Strauch (1992) yang dikutip oleh
Suryaningsih adalah untuk mengembangkan profesi
sebagai seorang pendeta. Hal ini dapat dilihat ketika
adanya peningkatan ketrampilan dan kemampuan dari
pendeta saat menjalani mutasi dengan didukung oleh
perkembangan “iman” dari umat.
23
Berdasarkan pendapat De Jonge terhadap mutasi
tersebut sebagai konsekuensi pendeta dari pemenuhan
panggilannya, maka Sasirais (2011) menyatakan bahwa
tanpa panggilan dalam diri pendeta maka akan terjadi
krisis kredibilitas. Pilih-pilih tempat pelayanan ketika
mau dimutasikan, hanya ingin bergaul dengan pejabat
dan kalangan berduit saja, selalu meributkan uang
mimbar atau tunjangan yang lainnya adalah
merupakan ciri-ciri dari orang yang melayani tanpa
keterpanggilan. Ketika hal tersebut terjadi maka
dipastikan bahwa pendeta tidak lagi bisa menunjukan
profesionalisme sebagai seorang pelayan yang dipanggil
oleh Allah untuk melayani umatnya.
Erat kaitannya dengan mutasi pendeta maka perlu
sekali memperhatikan manajemen gereja yang baik dan
benar sebagimana penelitian yang dilakukan oleh
Suryaningsih (2012). Manajemen gereja atau
manajemen kristiani, menurut Wiryoputro (2004),
manajemen yang berdasarkan pada Alkitab yang
adalah Firman Tuhan. Sehingga, firman Tuhan yang
24
menjadi landasan dalam melakukan tindakan-tindakan
dan kegiatan-kegiatan manajerial didalam gereja. Baik
itu dalam kegiatan penggunaan sumber daya,
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
pengkoordinasian, pengendalian, pemasaran,
kepemimpinan, pengambilan keputusan, menangani
konflik, TQM, menghindari kegagalan, pemilikan, dan
kegiatan sosial.
Perencanaan seperti yang dikemukakan oleh
Wiryoputro (2004), adalah penentuan dan pemilihan
tujuan terlebih dahulu dan kemudian merumuskan
tindakan-tindakan atau tugas-tugas yang perlu
dilakukan guna mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Perencanaan sangat dibutuhkan dalam
membuat kebijakan mutasi pendeta dengan adanya
suatu landasan teologi dan aturan yang jelas sehingga
tujuan dari mutasi jelas dan terarah.
Pengorganisasian (organizing), menurut Manullang
yang dikutip oleh Suryaningsih (2012), melakukan
hubungan langsung, merumuskan tugas, wewenang,
25
tanggung jawab, dan kriteria keberhasilan yang jelas
terhadap setiap individu dalam organisasi,
menciptakan sistem komunikasi dan informasi yang
efektif dalam organisasi, melakukan kontrol yang efektif
terhadap pelaksanaan mutasi disesuaikan dengan
perubahan yang terjadi.
Menurut Wiryoputro (2004), fungsi pengawasan
(controlling) adalah proses untuk menetapkan pekerjaan
apa yang sudah dilaksanakan, menilainya dan
mengkoreksi bila diperlukan. Dengan tujuan agar
pelaksanaanya sesuai dengan aturan, tujuan dan
rencana yang ada. Fungsi perlu dilakukan oleh lembaga
tertinggi gereja terhadap kebijakan dan proses mutasi
pendeta. Dengan tujuan agar tidak terjadi
penyimpangan-penyimpangan sehingga tujuan
organisasi dapat terus terarah.
Fungsi pengarahan (directing) erat kaitannya
dengan fungsi pengawasan dimana pimpinan tertinggi
atau yang berwewenang mengatur mutasi memberikan
bimbingan, saran, dan intruksi terhadap bawahan.
26
Setelah itu fungsi manajemen kristiani yang terakhir
yaitu fungsi pengkoordinasian. Fungsi ini sangat
penting untuk dilakukan untuk mengikat, menyatukan
dan menyelaraskan semua aktivitas dan usaha yang
dilakukan oleh organisasi dengan melakukan kerja
sama yang baik antara pimpinan tertinggi dan
bawahan.