BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

88
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Definisi HIV/AIDS AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan infeksi, menurunnya CD4 limfosit T serta imunosupresi berat yang menimbulkan infeksi oportunistik. HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga tubuh rentan terhadap infeksi dan penyakit (Soames and Southam, 2005). 2. Etiologi HIV/AIDS AIDS disebabkan oleh HIV, suatu retrovirus yang diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Diantara kedua grup ini yang paling banyak menyebabkan AIDS di seluruh dunia adalah HIV-1 karena lebih virulen dan lebih mudah menular. HIV-2 terutama terjadi di Afrika Barat (Bennet, 2014). 2

Transcript of BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Page 1: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi HIV/AIDS

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan

gejala atau sindrom yang disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan infeksi,

menurunnya CD4 limfosit T serta imunosupresi berat yang menimbulkan

infeksi oportunistik. HIV (human immunodeficiency virus) adalah virus yang

menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga tubuh rentan terhadap

infeksi dan penyakit (Soames and Southam, 2005).

2. Etiologi HIV/AIDS

AIDS disebabkan oleh HIV, suatu retrovirus yang diklasifikasikan ke

dalam golongan lentivirus. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-

2. Diantara kedua grup ini yang paling banyak menyebabkan AIDS di seluruh

dunia adalah HIV-1 karena lebih virulen dan lebih mudah menular. HIV-2

terutama terjadi di Afrika Barat (Bennet, 2014).

Virus ini akan membunuh limfosit T helper (CD4), yang menyebabkan

hilangnya imunitas yang diperantarai sel. Selain limfosit T helper, sel-sel lain

yang mempunyai protein CD4 pada permukaannya seperti makrofag dan

monosit juga dapat diinfeksi oleh virus ini. Maka berkurangnya nilai CD4

dalam tubuh manusia yang mengindikasikan berkurangnya sel-sel darah putih

yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh manusia, sehingga

2

Page 2: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

meningkatkan kemungkinan seseorang untuk mendapat infeksi oportunistik

(Siregar, 2004; Soames and Southam, 2005).

3. Penularan HIV/AIDS

HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Limfosit T dan sel otak

sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar

tubuh. Virus HIV dapat diisolasi dari semen, cairan vagina atau servik dan

darah penderita. HIV dapat ditularkan melalui (Bennet, 2014; Siregar 2004) :

a. Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual merupakan penularan infeksi

HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen

dan cairan vagina. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi

HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada

pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks.

Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan

merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.

Pada pasangan homoseksual, cara hubungan seksual anogenetal

merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV. Hal

ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali

mengalami perlukaan pada saat berhubungan secara anogenital.

b. Transmisi Non Seksual

1) Transmisi Parenteral

- Penggunaan jarum suntik, yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan

alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada

3

Page 3: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

penyalahgunaan narkotika suntik yang menggunakan jarum suntik yang

tercemar secara bersama-sama. Selain itu dapat juga terjadi melaui

jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan yang tanpa

disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini

kurang dari 1%.

- Darah/produk darah, saat ini transmisi melalui transfusi atau produk

darah sangat jarang terjadi karena darah donor telah diperiksa sebelum

ditransfusikan. Resiko tertular infeksi HIV lewat transfusi darah adalah

lebih dari 90%.

2) Transmisi Transplasental (ibu ke anak)

Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak

mempunyai resiko sebesar 25-35%. Penularan dapat terjadi sewaktu

hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu

ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

4. Patogenesis HIV/AIDS

Target utama infeksi HIV adalah sistem imun dan sistem saraf pusat. Sel

target HIV adalah limfosit T. Masuknya virus ke dalam sel memerlukan

molekul CD4, yang bertindak sebagai reseptor dari virus. Awalnya terjadi

perlekatan antara gp120 dan reseptor sel CD4. Selain mengikat CD4, gp120

juga harus berikatan dengan dua sel reseptor kemokin (CCR5 dan CXCR4)

untuk dapat masuk ke dalam sel. Ikatan gp120 dengan CD4 menyebabkan

perubahan formasi pada gp120 sehingga memungkinkan pengikatan dengan

reseptor kemokin selular (CCR5). Interaksi ini mengaktifkan gp41 dan

4

Page 4: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

menghasilkan fusi membran virus dengan membran selular, yang

menyebabkan RNA virus dan reverse transcriptase masuk ke sel target.

Reverse transcriptase kemudian mentranskrip RNA virus menjadi DNA, yang

bergabung ke genom sel target. Berhasilnya penggabungan DNA virus

kedalam material genetik sel menyebabkan terjadinya infeksi (Greenberg,

2003).

Gambar 2.1. HIV memasuki sel target

Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit

CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4.

Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis

yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun

yang progresif (Borucki, 1997).

Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan

viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa

ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada

tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap

HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma

5

Page 5: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak mampu

menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa

berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi virus

yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan dan

dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah sekitar 6

jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit T-CD4 yang terinfeksi

memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi virus ini dan

angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan, diperkirakan

bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam basis

harian (Greenberg,2003).

Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit

klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus

yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang

lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi

yang lebih lanjut dan lebih virulen daripada yang ditemukan pada awal

infeksi (Brooks, 2005).

Infeksi oportunistik dapat terjadi karena pada pengidap HIV terjadi

penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah,

sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian

tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal bisa

menjadi ganas dan menimbulkan penyakit (Zein, 2006).

6

Page 6: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

5. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis HIV/AIDS

Gejala klinis HIV/AIDS terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum

terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi) (WHO, 2007) :

Gejala mayor:

a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan

b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan

c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan

d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis

e. Demensia/ HIV ensefalopati

Gejala minor:

a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan

b. Dermatitis generalisata

c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang

d. Kandidias orofaringeal

e. Herpes simpleks kronis progresif

f. Limfadenopati generalisata

g. Retinitis virus Sitomegalo

7

Page 7: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Tabel 2.1 Klasifikasi HIV berdasarkan jumlah CD4 menurut WHO 2007

Tabel 2.2 Klasifikasi HIV berdasarkan gejala menurut WHO 2007

Tabel 2.3 Tanda dan Gejala HIV/AIDS menurut WHO 2007

8

Page 8: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

6. Manifestasi Oral

Manifestasi di rongga mulut seringkali merupakan tanda awal infesi HIV.

Temuan klinis yang dapat menunjukkan resiko tinggi pada pasien dengan AIDS adalah

kandidiasis mukosa oral, lesi merah atau ungu kebiru-biruan ataupun yang telah

diidentifikasi adalah Kaposi sarkoma, hairy leukoplakia ataupun lesi lainnya yang

9

Page 9: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

berhubungan dengan infeksi HIV seperti HSV, herpes zoster, RAS, liniear gingiva

eritema, necrotizing ulcerative periodontitis, necrotizing stomatitis. Kondisi oral lainnya

yang dicatat juga terjadi pada pasien infeksi HIV adalah palsy wajah, oral wart,

neuropati trigeminal, pembesaran kelenjar saliva, xerostomia, dan pigmentasi melanotik.

Kandidiasis, hairy leukoplakia , penyakit periodontal spesifik seperti linier gingival

erythema, necrotizing ulcerative periodontitis, Kaposi sarkoma, dan lympoma non-

Hodgkin’s diyakini memiliki kaitan yang paling kuat dengan infeksi HIV. Kandidiasis

adalah manifestasi oral yang paling umum terlihat pada infeksi HIV. Kandidiasis oral

didiagnosa pada pasien dengan infeksi HIV dengan persistensi limphadenopaty dapat

menjadi prediksi pada perkembangannya berikut menjadi AIDS. Munculnya

pseudomembran kandidiasis pada pasien infeksi HIV menunjukkan indikator yang kuat

pada progresi infeksi menjadi HIV. Eritematous juga dapat menjadi indikasi progresi

infeksi HIV menjadi AIDS. Ditemukannya hairy leukoplakia juga menjadi prediksi pada

perkembangan infeksi. Lymphadenopathy pada servikal dan submandibular sering

ditemukan di awal pemeriksaan pada pasien dengan infeksi HIV yang bersifat persisten

(Laskaris,2006; Scully,2010).

a. Infeksi karena jamur (Oral Candidiasis)

Kandidiasis adalah gambaran klinis yang paling umum dijumpai pada

mukosa mulut pasien terinfeksi HIV. Infeksi kandida biasanya bersifat kronis,

dapat muncul sebagai lesi merah, putih, datar, menonjol, atupun nodular.

Daerah yang sering terkena antara lain palatum, mukosa bukal, dan lidah. Tipe

kandidiasis yang muncul seperti pseudomembran kandidiasis, eritematous,

hiperplastik kandidiasis, dan angular cheilitis (Langlais, 2006).

Pseudomembran kandidiasis dikarakteristikkan dengan plak berwarna

putih krem yang setelah discrap memperlihatkan warna kemerahan dan

perdarahan pada mukosanya. Bentuk eritematous muncul daerah merah yang

10

Page 10: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

difus, yang biasanya terdapat pada dorsum lidah. Pada lokasi ini biasanya

terdapat keterkaitan dengan hilangnya papila filiformis yang dikenal dengan

median rhomboid glossitis. Kandidiasis hiperplastik kronis adalah infeksi

kandida pada stadium akhir yang muncul secara klinis seperti plak keratosis

putih yang difus pada mukosa bukal. Plak ini tidak dapat dihilangkan. Agen

topikal antifungal paling efektif digunakan untuk terapi kandidiasis oral,

meskipun kandidiasis menjadi kronis dan rekuren yang bisa dijumpai pada

kandidiasis esofageal (Laskaris, 2006; Scully,2008).

(a) (b)

Gambar 2.2. (a) Median rhomboid glossitis (b) Eritematous kandidiasis pada dorsum lidah pasien infeksi HIV (Laskaris,2006).

(a) (b)

Gambar 2.3. (a) Pseudomembran kandidiasis pada palatum keras maupun lunak pasien dengan infeksi HIV (b) Kandidiasis hiperplastik kronis pada palatum keras dan

lunak yang diperparah oleh infeksi HIV (Greenberg and Glick. 2003).

11

Page 11: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Gambar 2.4. Angular cheilitis yang disebabkan oleh Candida albicans (Greenberg and Glick. 2003).

b. Infeksi karena bakteri

Infeksi karena bakteri dapat berupa NUG dan NUP (Greenberg and

Glick, 2003).

1) Linier Erythematous Gingiva (LEG)

LEG adalah bentuk gingivitis yang atipikal digambarkan 2-3 mm

seperti pita atau garis berwarna merah menyala di sekitar gigi yang terlihat

jelas perbedaannya dengan gingiva normal. Lesi asimtomatik, mukosa

kering yang terdapat kaitannya dengan mouth breathing, lichen planus,

pemphigoid membran mukosa, dan reaksi alergi. Terapi yang bisa

dilakukan adalah tindakan pencegahan dengan menjaga oral hygiene

pasien, tindakan skeling dan root planing, dan juga bisa bersamaan dengan

penggunaan klorheksidine glokonat (0,12%) sebagai mouthrinse

(Greenberg and Glick, 2003).

12

Page 12: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Gambar 2.5. Linier erythematous gingiva pada margin gingiva (Greenberg and Glick, 2003)

2) Necrotizing Ulcerative Gingivitis (NUG)

NUG berhubungan dengan ulserasi dan nekrosis pada satu atau

lebih interdental papil tanpa kehilangan periodontal attachment.

Fusobacterium nucleatum, Treponema vincentii, dan bakteri lainnya

berperan penting dalam faktor penyebab utamanya. Meskipun faktor

predisposisi seperti stres emosional, merokok, trauma lokal, oral hygiene

yang buruk dan terutama berkaitan dengan infeksi HIV. Lesi ini dapat

disertai pendarahan, nyeri, dan halitosis (Greenberg and Glick, 2003;

Laskaris, 2006; Scully, 2008).

Necrotizing gingivitis paling sering mengenai gingiva bagian

anterior. Pada situasi ini, papila interdental dan tepi gingiva akan tampak

berwarna merah, bengkak, atau kuning keabu-abuan karena nekrosis,

bahkan sering terjadi necrotizing ulcrerative gingivitis yang parah dan

penyakit periodontal yang progresif sekalipun kebersihan mulut terjaga

dengan baik dan walaupun telah diberikan antibiotika. Pemberian sistemik

metronidazole dan agen topikal oxygent releasing menjadi pilihan terbaik

pada fase akut disertai dengan terapi gingival secara mekanis (Greenberg

and Glick,2003; Laskaris, 2006).

13

Page 13: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Gambar 2.6. NUG yang parah pada pasien 35 tahun dengan infeksi HIV (Laskaris,2006).

3) Necrotizing Ulcerative Periodontitis (NUP)

Penyakit periodontal yang berlangsung secara progresif mungkin

merupakan indikator awal yang dapat ditemukan pada infeksi HIV. Lesi

periodontal ini ditandai dengan adanya nyeri , gingiva mudah berdarah,

interdental papil nekrotik serta membentuk kawah, edema gingiva, eritem

yang hebat, resesi gusi, dan terjadi hilangnya tulang alveolar secara cepat,

progresif dan iregular (bisa mencapai 10 mm dalam 6 bulan). Terapi

antibiotika efektif diberikan pada kasus ini namun dapat menyebabkan

pertumbuhan yang berlebihan dari organisme Candida (Greenberg and

Glick,2003; Laskaris, 2006).

Gambar 2.7. NUP pada region anterior bawah (Greenberg and Glick, 2003).

14

Page 14: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

4) ANUG

ANUG juga umum terlihat pada pasien dengan infeksi HIV.

Dikarakteristikkan dengan onset yang tiba-tiba pada gingiva berwarna

merah menyala, bengkak, nyeri, dan mudah berdarah. Interdental papil

terlihat ditekan keluar dan ditutupi oleh ulseratif keabu-abuan. Terapi yang

dapat diberikan adalah dengan melakukan debridement atau

dikombinasikan dengan terapi metronidazole jika tanda dasar seperti

demam, malaise, dan anoreksia muncul (Laskaris, 2006).

Gambar 2.8. ANUG (Langlais and Miller, 2000).

5) Ulser non-spesifik

Necrotizing stomatitis adalah lesi ulseratif yang nyeri dan

terlokalisasi yang terdapat pada permukaan mukosa di atas tulang. Kondisi

ini memicu terjadinya nekrosis jaringan dan disusul dengan eksposure

pada tulang. Kondisi terlihat pada pasien dengan jumlah CD4 lebih sedikit

dari 100sel/mm3. Diagnosa bandingnya adalah ulser aphtousa dan NUP.

Terapi yang dapat diberikan adalah debridement dengan hati-hati, terapi

steroid lokal atau sistemik, antibiotik (Greenberg and Glick, 2003).

15

Page 15: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Gambar 2.9. Necrotizing stomatitis pada palatum daerah molar pertama dan kedua (Greenberg and Glick, 2003).

c. Infeksi karena virus

Infeksi karena virus golongan herpes paling sering dijumpai pada

penderita HIV/AIDS. Infeksi virus pada penderita dapat terlihat berupa

stomatis herpetiformis, herpes zoster, hairy leukoplakia, cytomegalovirus

(CMV), HPV (Human Papiloma virus). Tidak seperti pada pasien dengan

fungsi imun normal, pasien dengan AIDS dapat terkena infeksi herpes

pada permukaan mukosa bukal dan lidah, rekurensi terjadinya HSV pada

pasien infeksi HIV lebih parah. Herpes zoster lebih sering terjadi pada

pasien dengan infeksi HIV dibanding populasi normal. Gambaran

klinisnya hampir sama pada kedua kelompok ini namun prognosis paling

buruk terjadi pada pasien infeksi HIV. Virus zoster ini akan timbul seperti

vesikel dalam jumlah banyak pada tubuh atau wajah yang bersifat self-

limiting dan unilateral. Terapi dengan acyclovir terkadang digunakan

untuk mempercepat penyembuhan dan mengurangi gejala (Greenberg and

Glick,2003; Laskaris, 2003).

Prevalensi Cytomegalovirus mencapai 100% pada pasien HIV

homoseksual dan 10% pada pasien anak dengan AIDS. Perubahan

16

Page 16: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

inflamasi yang berhubungan dengan CMV dan infeki HIV adalah

pembengkakan kelenjar parotid secara unilateral maupun bilateral serta

xerostomia. Disebutkan juga Human Papiloma Virus juga dapat

ditemukan pada pasien infeksi HIV. Sejauh ini terdapat 65 serotipe dari

HPV yang teridentifikasi. Beberapa jenis lesi mukokutaneus yang

disebabkan HPV antara lain squamous papiloma, verruca vulgaris, focal

epythelial hyperplasia, dan condyloma acuminatum. Condyloma

acuminatum terlihat sebagai lesi multipel yang dikarakteristikkan sebagai

lesi kecil, multipel, lunak, berwarna pink-abu-abu gelap, permukaannya

seperti bunga kembang kol. Lesi jenis ini dapat muncul pada ventral lidah,

gingiva, mukosa labial, dan palatum. Transmisi lesi ini terjadi secara

kontak langsung melalui anal maupun genital (Greenberg and Glick,2003;

Laskaris, 2003).

Hairy leukoplakia adalah salah satu karakteristik lesi oral yang

paling umum terlihat pada pasien infeksi HIV. Gambaran klinisnya adalah

muncul sebagai lesi putih yang asimtomatik, meninggi dan tidak dapat

dihilangkan. Lesi ini muncul bilateral pada margin lateral lidah dan dapat

menyebar mencapai permukaan dorsum dan ventral. Secara histologis

dapat terlihat penonjolan hiperkeratosis yang seperti berambut, inflamasi

yang sedikit dan infeksi candida (Greenberg and Glick, 2003; Laskaris,

2003).

17

Page 17: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

(a) (b)

Gambar 2.10. (a) infeksi Herpes labial yang persisten pada pasien infeksi HIV(b) rekurensi herpes simpleks pada pasien AIDS (Langlais and

Miller, 2000)

(a) (b)

Gambar 2.11. (a) ulserasi unilateral pada palatal Herpes Zoster pada pasien infeksi HIV

(b)hairy leukoplakia pada lateral lidah (Langlais and Miller, 2000; Greenberg and Glick, 2003)

Gambar 2.12. Condyloma acuminatum pada mukosa labial pasien infeksi HIV (Langlais and Miller, 2000)

18

Page 18: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

d. Neoplasma

Kaposi Sarkoma adalah neoplasma yang paling sering muncul pada

pasien infeksi HIV. Ini adalah tumor dari proliferasi vaskular yang

mengenai kutaneus maupunn jaringan mukosa. Etiologinya belum

diketahui pasti namun telah dikatakan faktor viral (kemungkinan CMV)

berhubungan dengan angiogenesis menjadi penyebabnya. Kaposi sarkoma

dikarakteristikkan dalam tiga tahap. Tahap awal berupa makula merah

yang asimtomatik. Yang kemudian akan meluas menjadi plak yang datar

atau menonjol merah kebiruan. Tahap akhir akan muncul sebagai nodul

biru ulseratif dan menimbulkan nyeri. Daerah yang paling umum terkena

adalah lateral dari palatum keras, selain itu gingiva dan mukosa bukal

dapat terkena. Selain pada mulut, sarkoma ini juga dapat ditemukan di

kulit kepala dan leher. Bentuknya tidak teratur, dapat tunggal atau multipel

dan biasanya asimtomatik, sehingga baru disadari oleh pasien bila lesi

sudah menjadi agak besar (Greenberg and Glick, 2003; Laskaris,2003).

Manifestasi oral kaposi sarkoma biasanya merupakan tanda awal

AIDS dan umumnya (50%) ditemukan dalam mulut pria homoseksual.

Kira-kira 40% penderita AIDS dengan kaposi sarkoma akan meninggal

dalam waktu kurang lebih satu tahun dan biasanya disertai dengan infeksi

oportunistik. Terapi yang diberikan bersifat paliatif yaitu dengan

radioterapi dan kemoterapi. (Greenberg and Glick. 2003; Laskaris, 2003).

Non-Hodgkins Lymphoma dan karsinoma sel skuamosa berkaitan

dengan infeksi HIV kemungkinan sebagai hasil dari sistem imun yang

abnormal. Non-Hodgkin lymphoma sering kali muncul sebagai massa

19

Page 19: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

keunguan yang difus dengan proliferasi yang sangat cepat pada bagian

retromolar – palatal. Karsinoma sel skuamosa muncul sebagai lesi ulseratif

putih kemerahan pada pinggir lateral lidah (Greenberg and Glick. 2003;

Laskaris, 2003).

(a) (b)Gambar 2.13. (a) karsinoma sel skuamosa pada mukosa alveolar Gambar (b) karsinoma sel skuamosa pada ujung lidah, terlihat tumor dengan ukuran kecil

(Laskaris,2003).

(a) (b)Gambar 2.14. (a) lesi awal kaposi sarkoma dapat dilihat pada palatum lunak dan keras yang berupa makula merah kebiru-biruan (b) lesi yang sudah berlngsung

lama pada palatal dapat menjadi nodular bahkan ulseratif (Greenberg and Glick, 2003).

Gambar 2.15. Lymphoma Non-Hodgkin’s terlihat pembengkakan dan ulser pada palatum (Laskaris,2006).

20

Page 20: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

e. Kelainan lain di dalam mulut

Kelainan-kelainan lain yang dapat timbul di dalam rongga mulut

pasien HIV/AIDS antara lain rekuren aphtous stomatitis, ulkus nekrotik

yang meluas sampai ke fascia, xerostomia, pembesaran kelenjar parotis,

idiophatic thrombocytopenia purpura, palsi wajah, limfadenopati

submandibula, hiperpigmentasi melanotik, penyembuhan luka yang lama,

deformasi pada wajah bayi yang lahir dengan infeksi AIDS. Kelainan-

kelainan ini tidak diketahui dengan pasti penyebabnya (Greenberg and

Glick. 2003).

- Recurrent Aphtous Stomatitis

Recurrent aphtous stomatitis (RAS) sering tampak pada mukosa non

keratin dan mukosa bergerak, seperti mukosa labial, mukosa bukal,

dasar mulut, ventral lidah, orofaring posterior, vestibulum maksila dan

mandibula. Penyebab RAS tidak diketahui dengan pasti, tetapi

berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan faktor yang memicu

timbulnya RAS adalah faktor menstruasi, defisiensi nutrisi, stress, dan

alergi makanan. Lesi dikarakteristikkan dengan ulser berbentuk oval

berwarna kuning-kelabu, dikelilingi dengan halo merah. Lesi terasa

sakit, dan rasa sakit makin parah ketika mengkonsumsi makanan asin,

pedas, asam, makanan dengan konsistensi keras, dan minuman asam.

Lesi biasanya sembuh dengan sendirinya selama 7-14 hari. Pada pasien

imunokompromi, lesi sembuh lebih lama dari 7-14 hari. (Langlais dan

Miller, 2000; Reznik, 2005).

21

Page 21: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Gambar 2.16. Recurrent Aphtous Stomatitis pada mukosa alveolar (Langlais dan Miller, 2000)

- Xerostomia

Beberapa penyebab xerostomia adalah sebagai berikut:

1) Kesehatan umum yang menurun

Kesehatan umum yang menurun pada beberapa penderita dapat

menyebabkan berkurangnya sekresi kelenjar saliva yang dapat

meningkatkan resiko terhadap radang mulut. Gangguan-gangguan ini

dapat timbul karena berbagai sebab, misalnya berkeringat yang

berlebihan, diare yang lama atau pengeluaran urin yang melampaui

batas (Amerongen, 1992).

2) Gangguan sistem saraf

Sekresi saliva terutama terdapat di bawah pengaturan hormonal dan

diatur oleh neuronal baik oleh sistem saraf otonom parasimpatis

maupun simpatis. Gangguan pada sistem saraf pusat dan perifer dapat

mempunyai akibat bagi kecepatan sekresi saliva. Kelainan saraf yang

diikuti gejala degenerasi, seperti sklerosis multipel, juga akan

mengakibatkan menurunnya sekresi saliva (Amerongen, 1992).

3) Obat-obatan

22

Page 22: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Obat-obatan yang memblokade sistem saraf akan menghambat sekresi

saliva. Oleh karena sekresi air dan elektrolit terutama diatur oleh

sistem saraf parasimpatis, obat-obatan dengan pengaruh antikolinergik

akan menghambat paling kuat pengeluaran saliva. Obat-obatan dengan

pengaruh anti β-adrenergik (yang disebut β-bloker) terutama akan

menghambat sekresi saliva mukus (Amerongen, 1992). Terdapat

kurang lebih 400 jenis obat-obatan yang dapat menyebabkan

xerostomia. Golongan-golongan utama dari obat-obatan tersebut

adalah antihistamin, antidepresan, antikolinergik, anti anorexia, anti

hipertensi, anti psikotik, anti parkinson, diuresis, dan sedatif. Sebagian

besar efek xerogenik dari obat-obatan tersebut bersifat sementara

(Bartels, 2005).

4) Gangguan kelenjar saliva

Gambaran penyakit dengan sel-sel asinar dan sel-sel duktus kelenjar

saliva yang berkurang atau mengecil, mengakibatkan penurunan

sekresi saliva, seperti; aplasi atau hipoplasi kelenjar saliva mayor

pembawaan, atropi kelenjar saliva karena ketuaan atau penyinaran,

penyumbatan muara pembuangan oleh batu saliva, tumor, penyakit

autoimun, radang kelenjar saliva (Amerongen, 1992).

5) Penyinaran daerah kepala-leher

Gangguan fungsi kelenjar saliva setelah penyinaran dengan sinar

ionisasi pada daerah kepala-leher sudah banyak diketahui. Jumlah dan

keparahan kerusakan jaringan kelenjar saliva tergantung dosis dan

lamanya penyinaran (Amerongen, 1992).

23

Page 23: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

6) Fisiologi

Sensasi mulut kering yang subyektif terjadi setelah berbicara yang

berlebihan dan selama berolahraga. Pada keadaan ini ada dua faktor

yang ikut berperan. Bernafas melalui mulut yang terjadi pada saat olah

raga, berbicara atau menyanyi, juga dapat memberi efek kering pada

mulut. Selain itu juga ada komponen emosional yang merangsang

terjadinya efek simpatik dari sistem saraf otonom dan menghalangi

sistem saraf parasimpatik, sehingga menyebabkan berkurangnya aliran

saliva dan mulut menjadi kering (Amerongen, 1992).

Semua penyebab yang mendasari xerostomia harus diperbaiki, dan

berbagai upaya harus dilakukan untuk menghindari faktor-faktor yang

dapat meningkatkan kekeringan, seperti lingkungan yang panas dan

kering, makanan kering seperti biskuit, obat-obatan (misalnya

antidepresan tricyclic atau diuretik), alkohol (termasuk mouthwash),

merokok, minuman yang memproduksi diuresis (kopi dan teh). Bibir

mungkin menjadi kering dan atropik, sehingga harus terus lembab

dengan menggunakan pelumas yang berbahan dasar air atau produk

yang berbahan dasar lanolin (misalnya vaseline). Minyak zaitun,

vitamin E atau lip balm juga dapat membantu (Scully, 2010).

Xerostomia juga dapat diatasi oleh beberapa obat-obatan seperti

pilocarpine, cevimeline, dan anethole trithione. Rangsangan sekresi

saliva juga dianggap dapat menanggulangi xerostomia seperti mekanis

(mengunyah makanan keras atau permen karet), kimiawi oleh

24

Page 24: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

rangsangan rasa (asam, manis, asin, pahit, pedas), neuronal melalui

sistem saraf otonom, baik simpatis maupun parasimpatis (Amerongen,

1992).

7. Diagnosis dan Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosis pada infeksi HIV dilakukan dengan dua metode yaitu metode

pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium

meliputi uji imunologi dan uji virologi.

a. Diagnosis klinik

Sejak tahun 1980 WHO telah berhasil mendefinisikan kasus klinik dan

sistem stadium klinik untuk infeksi HIV. Pedoman ini meliputi kriteria diagnosa

klinik yang patut diduga pada penyakit berat HIV untuk mempertimbangkan

memulai terapi antiretroviral lebih cepat.

Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV

Keadaan Umum

Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar

Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral > 37,5oC) lebih dari 1

bulan

Diare (terus menerus atau intermiten) lebih dari 1 bulan

Limfadenopati meluas

Kulit

Kulit kering yang meluas merupakan dugaan kuat infeksi HIV.*

Beberapa kelainan kulit seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan

psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV

25

Page 25: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Infeksi

Infeksi jamur Kandidiasis oral*

Dermatitis seboroik

Kandidiasis vagina kambuhan

Infeksi viral Herpes zoster (berulang/melibatkan lebih dari 1

dermatom)*

Herpes genital (kambuhan)

Moluskum kontagiosum

Kondiloma

Gangguan

pernapasan

Batuk > 1 bulan

Sesak nafas

TB

Pnemonia kambuhan

Sinusitis kronis atau kambuhan

Gejala neurologis Nyeri kepala yang semakin parahh (terus menerus dan tidak

jelas penyebabnya)

Kejang demam

Menurunnya fungsi kognitif

* Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV

[Sumber : Dep Kes, 2007]

b. Diagnosis Laboratorium

Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV

dibagi dalam dua kelompok yaitu (Bennet, 2014) :

26

Page 26: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

1). Uji Imunologi

Uji imunologi untuk menemukan respon antibodi terhadap HIV-1 dan

digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme immunoassays atau enzyme –

linked immunosorbent assay (ELISAs) sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji

Western blot atau indirect immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk

memperkuat hasil reaktif dari test skrining.

ELISA test

Tes ini mendeteksi adanya antibodi HIV dalam darah. Jika tes ini negatif

maka orang tersebut pasti tidak terinfeksi HIV dan tes lanjutan tidak diperlukan

lagi. Jika tes ini positif langkah kedua dijalankan untuk mengkonfirmasi hasil

yang positif dari tes pertama.

Rapid test

Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG antibodi

terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan aglutinasi partikel, imunodot

(dipstik), imunofiltrasi atau imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan

untuk mengkonfirmasi hasil rapid test dan semua hasil rapid test reaktif (positif)

harus dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA.

Western blot

Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil serologi rapid

test sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji Western blot menemukan

keberadaan antibodi yang melawan protein HIV-1 spesifik (struktural dan

enzimatik). Western blot dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining

berulang (ELISA atau rapid test). Hasil negatif Western blot menunjukkan bahwa

hasil positif ELISA atau rapid test dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan

27

Page 27: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

pasien tidak mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif menunjukkan

keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan usia lebih dari 18 bulan.

Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)

Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit

dan sedikit lebih mahal dari uji Western blot. Antibodi Ig dilabel dengan

penambahan fluorokrom dan akan berikatan pada antibodi HIV jika berada pada

sampel. Jika slide menunjukkan fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif

(reaktif), yang menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.

Penurunan sistem imun

Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4+ T limfosit,

sebagian besar sel target HIV pada manusia. Kecepatan penurunan CD4 telah

terbukti dapat dipakai sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah

CD4 menurun secara bertahap selama perjalanan penyakit. Kecepatan

penurunannya dari waktu ke waktu rata-rata 100 sel/tahun.

2). Uji Virologi

Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, PCR dan

test untuk komponen virus (seperti uji untuk protein kapsid virus (antigen p24)).

Kultur HIV

HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus lebih tinggi dalam

plasma dan sel darah tepi penderita AIDS. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan

menguji cairan biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse transcriptase virus

atau untuk antigen spesifik virus.

28

Page 28: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

HIV PCR

Tes PCR mendeteksi spesifik asam deoksiribonukleat (DNA) HIV, Asam

ribonukleat (RNA) dan sekuens yang menunjukkan adanya HIV dalam struktur

genetik orang yang terinfeksi HIV. Setelah terjadi infeksi HIV, RNA dan DNA

dari virus HIV beredar dalam darah. Kehadiran dari DNA dan RNA "potongan"

menunjukkan adanya virus HIV.

8. Diagnosis Banding

a. Burkitt Lymphoma

Burkitt lymphoma termasuk ke dalam subgrup limfoma non-

Hodgkin agresif, mempunyai daya gradasi tinggi dan terbentuk dari sel

kecil, tidak membelah (noncleaved), tidak berdiferensiasi, difus dan

berasal dari limfosit B. Pemberian nama limfoma Burkitt merujuk kepada

penemu penyakit yaitu Denis Parsons Burkitt, yang memetakan distribusi

geografis penyakit ini di Afrika. Penyakit ini merupakan neoplasma sel

beta dengan laju pertumbuhan tinggi (Nafianti dkk, 2008).

Limfoma Burkitt (LB) merupakan bentuk keganasan pada anak

yang jarang ditemukan. Di Amerika Serikat, dilaporkan 100 kasus baru per

tahun, sedangkan insidensi di Afrika berada di sekitar 100 per satu juta

anak.7-10 Limfoma Burkitt endemis di antara orang-orang yang tinggal di

daerah Afrika Tengah, sementara bersifat sporadis pada penduduk

Amerika. Insidensi pada anak laki-laki dibanding perempuan 2-3:1,

limfoma Burkitt lebih sering pada anak-anak usia 7 tahun, sementara di

luar Afrika usia rata-rata penderita 11 tahun. Angka kematian limfoma

29

Page 29: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Burkitt sangat tinggi, biasanya pasien meninggal sangat cepat. Pada saat

ini, prognosis menjadi sedikit lebih baik karena banyak pilihan kemoterapi

(Nafianti dkk, 2008).

Gejala klinis limfoma Burkitt pada awalnya hanya dikenali dengan

pembesaran kelenjar getah bening tanpa rasa sakit dan tumbuh dengan

cepat pada leher, sela paha, di bawah rahang atau bisa juga di bawah

tangan. Pemeriksaan penunjang meliputi biopsi kelenjar getah bening, foto

sinar-X dada, aspirasi sumsum tulang, CT-scan, analisa cairan

serebrospinal dan lain-lain. Kemoterapi menjadi pilihan utama

pengobatan, antara lain prednison, siklofosfamid, vinkristin, sitarabin,

doksorubisin, dan metotreksat. Radioterapi tidak banyak dipergunakan

dalam tatalaksana limfoma Burkitt (Nafianti dkk, 2008).

Manifestasi rongga mulut jarang ditemukan pada limfoma

Hodgkins, tetapi lebih sering terkait dengan kasus Limfoma non-Hodgkin

dan ditemukan beberapa predileksi pada mukosa pada palatum. Namun,

secara umum limfoma jarang mengenai gusi. Limfoma non-Hodgkin

bermanifestasi pada rongga mulut dan rahang dengan prevalensi 2-3%.

Lesi pada rongga mulut berwarna merah (eritematous), pembesaran tanpa

rasa sakit, dan terdapat ulser sebagai akibat dari trauma sekunder. Lokasi

ulkus yang paling sering adalah pada lidah, palatum, gingiva, mukosa

bukal, bibir, dan orofaring (Santoso dan Krisifu, 2004).

Limfoma non-Hodgkin primer dapat berkembang di setiap daerah

yang ada jaringan limfoidnya, termasuk kelenjar-kelenjar limfe leher,

mandibula dan palatum. Jika lesi primer mengenai palatum, maka keadaan

30

Page 30: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

tersebut kadang-kadang disebut sebagai penyakit limfo proliferatif dari

palatum. Palatum merupakan bagian yang biasa ditempati lesi limfoma

non-Hodgkin, yang merupakan manifestasi dari sebaran penyakit dari

tempat lain atau mungkin merupakan ekspreksi awal dari bentuk

menyeluruh. Lesi bercirikan pembengkakan fluktuan lunak, yang

seringkali tumbuh dengan cepat dan mengalami ulserasi. Limfoma primer

dari palatum terjadi paling umum pada usia diatas 60 tahun, tetapi dapat

juga dijumpai pada pasien-pasien yang lebih muda, terutama yang terkena

AIDS. Limfoma primer dapat soliter atau berkaitan dengan penyakit yang

menyebar luas, meskipun biasanya muncul mendahului penyakit yang

menyebar. Secara klinis, lesi tersebut timbul di perbatasan palatum keras

dan lunak. Pembengkakan palatum yang tumbuh lambat itu adalah tanpa

gejala, lunak, seperti busa, tanpa ulserasi dan jarang mengenai tulang

palatum dibawahnya. Permukaannya sering menggumpal dan berwarna

merah muda sampai biru-ungu. Pengenalan dini dan biopsi sangat penting,

karena penyakit-penyakit mungkin masih terbatas pada palatum ditahap

dini. Selain itu, pada 5-10% kasus limfoma non-Hodgkin dapat dijumpai

jangkitan orofaringeal pada yang dapat menimbulkan keluhan sakit

menelan (sorethroat) (Santoso dan Krisifu, 2004).

b. Pneumonia

Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan

paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh masuknya kuman bakteri,

yang ditandai oleh gejala klinis batuk, demam tinggi dan disertai adanya

31

Page 31: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

napas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Dalam

pelaksanaan Pemberantasan Penyakit ISPA (P2ISPA) semua bentuk

pneumonia baik pneumonia maupun bronchopneumonia disebut

pneumonia. Pneumonia yang ada di kalangan masyarakat umumnya

disebabkan oleh bakteri, virus, mikoplasma (bentuk peralihan antara

bakteri dan virus) dan protozoa (Depkes RI, 2007).

Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa saja, dari

bayi sampai usia lanjut. Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang

paling umum adalah Streptococcus pneumoniae sudah ada di

kerongkongan manusia sehat. Begitu pertahanan tubuh menurun oleh

sakit, usia tua atau malnutrisi, bakteri segera memperbanyak diri dan

menyebabkan kerusakan (Misnadiarly, 2008).

Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh

virus. Virus yang tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory

Syncial Virus (RSV). Tetapi pada umumnya sebagian besar pneumonia

jenis ini tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi

terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan bisa berat dan kadang

menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008).

Mikoplasma menjadi salah satu agen penyebab pneumonia.

Mikoplasma tidak bisa diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri,

meski memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan

biasanya berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma menyerang

segala jenis usia, tetapi paling sering pada anak pria remaja dan usia muda.

32

Page 32: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada yang tidak diobati

(Misnadiarly, 2008).

Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut

pneumonia pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis

Carinii Pneumonia (PCP). Pneumonia pneumosistis sering ditemukan

pada bayi yang prematur. Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam

beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam

hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan P. Carinii pada

jaringan paru-paru atau spesimen yang berasal dari paru-paru

(Djojodibroto, 2009).

Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi

saluran napas atas akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam,

menggigil, suhu tubuh meningkat dapat mencapai 40 derajat celcius, sesak

napas, nyeri dada dan batuk dengan dahak kental, terkadang dapat

berwarna kuning hingga hijau. Pada sebagian penderita juga ditemui gejala

lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan, dan sakit kepala

(Misnadiarly, 2008).

c. Infeksi Virus Epstein Barr

Virus Epstein Barr juga disebut herpesvirus manusia 4 (Human

Herpesvirus 4/ HHV-4) yang termasuk dalam famili herpes ( yang juga

termasuk dalam virus simplex dan sitomegalovirus). Virus ini merupakan

salah satu virus yang paling umum pada manusia dan mampu

menyebabkan mononukleosis. Virus ini berasal dari nama Michael Epstein

33

Page 33: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

dan Yvonne Barr, yang bersama dengan Bert Achong menemukan virus

ini pada tahun 1964 (Febrianti, 2008).

Sel target virus Epstein Barr adalah limfosit B. Virus Epstein Barr

memulai infeksi sel B dengan cara berikatan dengan reseptor. Virus

Epstein Barr secara langsung masuk tahap laten dalam limfosit tanpa

melalui periode replikasi virus. Ketika virus berikatan dengan permukaan

sel, sel-sel diaktivasi, untuk kemudian masuk ke dalam siklus sel. Lalu

dihasilkanlah beberapa gen virus Epstein Barr dengan kemampuan

berproliferasi tidak terbatas. Virus Epstein Barr bereplikasi in vivo dalam

sel-sel epitel dari orofaring, kelenjar parotis, dan serviks uteri, juga

ditemukan dalam sel-sel epitel karsinoma nasofaring (Febrianti, 2008).

Virus Epstein Barr biasanya ditularkan melalui air liur yang

terinfeksi dan infeksi dimulai di orofaring. Replikasi virus terjadi pada sel

epitel faring dan kelenjar ludah. Virus Epstein Barr adalah penyebab dari

mononucleosis infeksiosa. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak

dan dewasa muda. Sel B yang terinfeksi virus mensintesis imunoglobulin.

Mononukleosis merupakan transformasi poliklonal sel B. Selama

perjalanan infeksi mayoritas penderita membentuk antibodi heterofil

(Febrianti, 2008).

Setelah masa inkubasi 30-50 hari, terjadi gejala nyeri kepala,

malaise, kelelahan, dan nyeri tenggorokan. Demam bertahan sampai 10

hari, terjadi pembesaran kelenjar getah bening dan limpa. Penyakit

mononucleosis infeksiosa ini mempunyai kekhasan sembuh sendiri dan

berlangsung 2-4 minggu. Selama penyakit berlangsung, terjadi

34

Page 34: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

peningkatan jumlah sel darah putih dalam sirkulasi dengan limfosit

dominan (Febrianti, 2008).

Diagnosis tidak hanya berdasarkan gejala-gejala yang dialami,

namun juga dengan pemeriksaan darah. Pada pemeriksaan darah

memperkuat diagnosis bila ditemukan antibodi terhadap virus Epstein

Barr. Tubuh juga biasanya menghasilkan limfosit B baru untuk

menggantikan limfosit yang terinfeksi (Febrianti, 2008).

Acyclovir dapat diberikan selama masa pengobatan, untuk

mengurangi jumlah pelepasan virus Epstein Barr dari orofaring. Untuk

demam dan nyeri, diberikan asetaminofen atau aspirin. Kebanyakan

penderita akan sembuh total. Lamanya penyakit bervariasi. Fase akut

berlangsung 2 minggu. Tetapi kelemahan bisa menetap sampai beberapa

minggu, bahkan lebih. Penyakit akibat virus Epstein Barr ini bisa sampai

pada kematian, bila telah terjadi komplikasi, seperti peradangan, pecahnya

limfa atau penyumbatan saluran pernafasan (Febrianti, 2008).

9. Terapi

a. Antiretroviral (ARV)

Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi Human

Immunodeficiency Virus (HIV). Pengobatan infeksi HIV dengan ARV

digunakan untuk memelihara fungsi kekebalan tubuh mendekati normal,

mencegah perkembangan penyakit, memperpanjang harapan hidup dan

memelihara kualitas hidup dengan cara menghambat replikasi HIV.

Karena replikasi aktif HIV menyebabkan kerusakan sistem imun yang

35

Page 35: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

progresif, berkembangnya infeksi oportunistik, keganasan, penyakit

neurologi dan penurunan berat badan yang akhirnya mengarah ke

kematian. Obat-obatan antiretroviral yang digunakan adalah:

1) Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs)

Obat ini berguna untuk menghambat reverse transcriptase untuk

mengubah RNA virus menjadi DNA virus. Yang termasuk golongan ini

adalah zidovudine (ZDV) abacavir (ABC), didanosine (ddI), lamivudine

(3TC), stavudine (d4T), dan zalcitabine (ddC).

2) Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTIs).

Obat ini juga berfungsi untuk menghambat reverse transcriptase. Yang

termasuk obat golongan ini adalah efavirenz (EFV), delaviridine (DLV),

dan nevirapine (NVP).

3) Protease Inhibitor

Obat ini berfungsi untuk menghambat kerja enzim protease sehingga

mencegah pembentukan virion baru yang infeksius. Golongna ini terdiri

dari: amprenavir (APV), indinavir (IDV), nelfinavir (NFV), ritonavir

(RTV), and saquinavir (SQV).

Terapi tunggal ARV menyebabkan resistensi terhadap obat dan

toksisitas tingkat tinggi, sehingga perlu diberikan kombinasi terapi yang

disebut Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) (Greenberg,

2003).

36

Page 36: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

b. Flukonazol

Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol (Tripathi,

2008).

Mekanisme kerja

Flukonazol mempunyai mekanisme kerja yaitu menghambat sintesis

ergosterol merupakan suatu inhibitor yang poten terhadap biosintesis ergosterol

dengan bekerja pada lanosteroldemetilase dan gangguan terhadap transport zat-zat

karena akumulasi pada membran sitoplasma. Flukonazol bersifat fungisid (atau

terhadap fungi tertentu fungistatik) dan efektif melawan yeast (Tripathi, 2008).

Farmakokinetik

Flukonazol secara cepat dan sempurna diserap melalui saluran

gastrointestinal. Bioavailabilitas oral flukonazol melebihi 90 % pada orang

dewasa. Konsentrasi puncak plasma dicapai setelah 1 atau 2 jam pemberian oral

dengan eliminasi waktu paruh plasma ± 30 jam (20-50 jam) setelah pemberian

oral. Absorbsi flukonazol tidak dipengaruhi oleh kadar asam lambung (pH)

(Tripathi, 2008).

Pemberian secara oral dengan dosis tunggal ataupun multiple lebih dari 14

hari maka flukonazol akan mengalami penetrasi yang luas ke dalam cairan dan

jaringan tubuh. Flukonazol bersifat hidrofilik sehingga lebih banyak ditemukan di

dalam cairan tubuh dan dijumpai di dalam keringat dengan konsentrasi tinggi.

Ikatan flukonazol dengan protein biasanya rendah (2%) sehingga sirkulasi obat

yang tidak berikatan tinggi. Metabolisme flukonazol terjadi di hepar dan

diekskresi melalui urin dimana 80% dari dosis obat akan di ekskresi tanpa

perubahan dan 11% diekskresi sebagai metabolit (Tripathi, 2008).

37

Page 37: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Sediaan

Sediaan tablet 100 mg (Tripathi, 2008).

Dosis

Untuk terapi candidiasis oral diberikan 200 mg per oral pada hari pertama,

kemudian dilanjutkan 100 mg per hari selama 14 hari (Tripathi, 2008).

Efek samping

Efek samping yang sering di jumpai adalah masalah gastrointestinal

seperti mual, muntah, diare, sakit pada abdominal dan juga sakit kepala. Efek

samping lain yaitu hipersensitivitas, agranulositosis, exfoliatif skin disoders

seperti Steven Johnson sindrom, hepatotoksik, trombositopenia dan efek pada

sistem saraf pusat (Tripathi, 2008).

c. Kotrimoksazole

Kotrimoksazol merupakan kombinasi dua obat antibiotik : trimetoprim

dan sulfametoksazol, yang mempunyai efek yang sinergis (Scarsi, 2014).

Mekanisme Kerja

Kotrimoksazole memblok biosintesis asam nukleat dan protein yang dibutuhkan

oleh bakteri. Mekanisme kerja kotrimoksazole yang terdiri dari dua obat

merupakan aktivitas yang sinergis, yaitu terjadi inhibisi yang berurutan pada

sintesis asam tetrahidrofolat. Sulfametoksazol menghambat masuknya molekul

PABA ke dalam molekul asam folat. Trimetoprim menghambat terjadinya reaksi

reduksi dari asam dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat merupakan

bentuk aktif asam folat yang berfungsi untuk biosintesis asam nukleat dan protein

bakteri (Scarsi, 2014).

38

Page 38: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Farmakokinetik

Untuk mendapatkan efek sinergi diperlukan perbandingan kadar optimal dari

kedua obat. Rasio kadar sulfametoksazol : trimetoprim yang optimal adalah 20:1.

Trimetoprim mempunyai volume distribusi yang 9x lebih besar dari pada

sulfametoksazol karena sifatnya yang lipofilik. Trimetoprim cepat terdistribusi ke

dalam jaringan dan kira-kira 40% terikat pada protein plasma dengan adanya

sulfametoksazol. Kira-kira 65% sulfametoksazol terikat pada protein plasma.

Sampai 60% trimetoprim dan sulfametoksazol diekskresi melalui urin dalam 24

jam setelah pemberian (Scarsi, 2014).

Sediaan

Kotrimoksazol tersedia dalam bentuk tablet oral, mengandung 400 mg

sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim. Untuk anak tersedia juga bentuk

suspensi oral yang mengandung 100 mg sulfametoksazol dan 20 mg trimetoprim.

Untuk pemberian intravena tersedia sediaan infus yang mengandung 400mg

sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim per 5 ml (Scarsi, 2014).

Dosis

Kotrimoksazole aktif terhadap Streptococcus pneumoniae, Clostridium diphteriae,

Eschericia coli, dan Neisseria meningitidis.

Dosis Kotrimoksazol (Scarsi, 2014) :

Usia 6 minggu – 6 bulan : 120 mg, 2x sehari.

Usia 6 bulan – 6 tahun : 240 mg, 2x sehari.

Usia 6 – 12 tahun : 480 mg, 2x sehari.

Dewasa dan anak di atas 12 tahun : 960 mg, 2x sehari.

Kotrimoksazol sebaiknya dikonsumsi bersamaan dengan waktu makan.

39

Page 39: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Efek Samping

Infeksi HIV menyebabkan angka efek samping yang lebih tinggi. Efek samping

utama adalah mual, muntah, hilang nafsu makan, dan ruam pada kulit.

Kotrimoksazol juga dapat menyebabkan neutropenia (Scarsi, 2014).

10. Manifestasi Oral pada Pasien

a. Oral candidiasis (Pseudomembran Candidiasis, Angular Cheilitis)

Oral candidiasis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering

terjadi yang menyerang mukosa. Sebagian besar kasus, lesi disebabkan oleh

Candida albicans. Belum diketahui secara jelas mengenai patogenesis,

tetapi terdapat faktor predisposisi yang menyebabkan Candida sebagai flora

normal rongga mulut menjadi organisme patogen, seperti, pemakaian gigi

tiruan, kebiasaan merokok, steroid topical, penyakit imunosupresi, obat

imunosupresan (Greenberg and Glick, 2003).

Patogenesis

C. albicans, C. Tropicalis, dan C. Glabrata ditemukan bersamaan

terkandung lebih dari 80% dalam spesies yang diisolasi dari infeksi Candida

pada manusia. Untuk menginvasi mukosa, mikroorganisme harus melekat

pada permukaan epitel. Kemampuan Candida untuk melekat pada

permukaan rongga mulut sangat berperan dalam patogenesis, namun bagi

sel yeast yang tidak dapat melekat pada permukaan maka akan dihilangkan

oleh pembersihan secara mekanis oleh saliva, tertelan, hancur oleh asam

lambung. Candida dengan potensi adhesi yang lebih kuat bersifat lebih

40

Page 40: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

patogen dari pada Candida dengan potensi adhesi yang lemah. Penetrasi

yeast ke sel epitel difasilitasi oleh lipase yang diproduksi oleh

mikroorganisme, dan yeast dapat bertahan pada epitel jika yeast tidak

terlepas saat terjadi deskuamasi permukaan sel epitel (Greenberg and Glick,

2003).

Gambar 2.17. Patogenesis Candida albicans (Naglik et al, 2003)

Candida albican berkoloni pada permukaan epitel, terjadi adhesi dengan

permukaasn epitel (stage 1), menyebabkan infeksi superficial, terjadi

penetrasi epitel dan degradasi protein host oleh enzim hidrolitik (lipase)

yang diproduksi candida (stage 2). Pada kondisi di mana host merupakan

pasien imunokompromi, candida menginfeksi lebih dalam, terjadi penetrasi

jaringan dan penetrasi pembuluh darah (stage 3). Kemudian infeksi candida

41

Page 41: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

menyebar yang menyebabkan terjadinya kolonisasi di jaringan lain (stage 4)

(Greenberg and Glick, 2003; Naglik et al, 2003).

Klasifikasi Kandidiasis

- Pseudomembran Candidiasis (Oral Thrush)

Pseudomembran candidiasis biasanya tampak pada pasien yang menerima

terapi antibiotik, obat imunosupresan, atau penyakit yang menekan sistem

imun. Pseudomembran candidiasis tampak sebagai lesi berwarna putih krim

pada mukosa oral. Biasa terjadi pada dorsal lidah yang dapat berkembang

menjadi infeksi pada esofagus. Plak dapat discrap dengan kekuatan lembut,

terkadang menimbulkan perdarahan dan meninggalkan daerah eritem. Pada

pemeriksaan histologi ditemukan terdapat sel epitel yang terdeskuamasi dan

yeast Candida. Pasien biasanya tidak mengeluhkan adanya rasa sakit atau

gejala-gejala timbulnya lesi, walaupun kemungkinan terdapat rasa tidak

nyaman saat lesi tersebut muncul (Greenberg and Glick, 2003; Williams

and Lewis, 2011).

Gambar 2.18. Pseudomembran candidiasis selama fase imunosupresi setelah transplantasi jantung (Greenberg and Glick, 2003)

42

Page 42: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

- Eritematous Candidiasis (Atropic Oral Candidiasis)

Lesi tampak berwarna kemerahan dengan tepi difus, sehingga dapat

dibedakan dengan eritroplakia yang mempunyai garis batas yang jelas. Lesi

biasa terjadi pada palatum dan dorsal lidah pada pasien yang menggunakan

inhalasi steroid. Faktor predisposisi yang lain adalah merokok dan terapi

antibiotik spektrum luas. Terdapat keluhan sakit pada pasien yang menderita

eritematous candidiasis (Greenberg and Glick, 2003; Williams and Lewis,

2011).

Gamnbar 2.19. Eritematous candidiasis disebabkan oleh inhalasi steroid (Greenberg and Glick, 2003)

- Candidiasis Hiperplastik Kronis (Candidal Leukoplakia)

Lesi tampak sebagai lesi putih nodular atau plak yang tidak dapat discrap

dengan kekuatan ringan, karena penetrasi hifa candida ke epitel oral lebih

dalam. Lesi bilateral dan biasa terjadi pada daerah komisura mukosa bukal.

Lesi plak kronis dan lesi nodular candidiasis sering dihubungkan dengan

terjadinya keganasan (maligna) (Greenberg and Glick, 2003; Williams and

Lewis, 2011).

43

Page 43: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Gambar 2.20. Candidiasis hiperplastik kronis tipe plak (Greenberg and Glick, 2003)

Gambar 2.21. Candidiasis hiperplastik kronis tipe nodular(Greenberg and Glick, 2003)

- Angular Cheilitis

Lesi angular cheilitis bermanifestasi pada sudut mulut, dikelilingi daerah

eritema. Pada sampel mikrobial ditemukan Candida albicans dengan

Staphylococcus aureus. Defisiensi vitamin B12, defisiensi zat besi, dan

kehilangan dimensi vertikal sering dihubungkan dengan lesi ini. Atopy juga

sering dihubungkan dengan terbentuknya angular cheilitis. Kulit kering

dapat menyebabkan timbulnya fisura pada comisura, yang menyebabkan

mikroorganisme dapat masuk. Angular cheilitis biasa terjadi pada pasien

44

Page 44: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

yang sudah terdapat candidiasis oral / jumlah candida intraoral yang tinggi

(Greenberg and Glick, 2003; Williams and Lewis, 2011).

Gambar 2.22. Angular cheilitis (Greenberg and Glick, 2003)

Tabel 2.4 Tabel Oral Candidiasis

Pseudomembran Candidiasis

Eritematous Candidiasis

Candidiasis Hiperplastik

Kronis

Angular Cheilitis

Lesi Putih krim Area merah, tepi difus

Putih nodular / tipe plak

Fisura kemerahan

Lokasi Dorsal lidah Dorsal lidah, palatum

Komisura mukosa bukal

Sudut mulut

Rasa sakit - + - +

Terapi Candidiasis

Sebelum mulai terapi antifungal, penting untuk mengidentifikasi adanya

faktor predisposisi. Antifungal yang sering digunakan adalah grup polyenes

atau azole. Polyenes seperti nystatin dan amphotericin B merupakan

alternatif pertama dalam perawatan candidiasis oral. Polyenes tidak

diabsorbsi dari saluran gastrointestinal dan tidak berhubungan dengan

adanya resistensi. Polyenes menghambat produksi ergosterol yang penting

45

Page 45: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

untuk integritas membran sel candida. Polyenes juga memberikan efek pada

perlekatan fungi (Greenberg and Glick, 2003).

Terapi topikal dengan azole seperti mikonazole merupakan pilihan

perawatan untuk angular cheilitis yang mana sebagian besar disebabkan

oleh Candida albicans dan Staphylococcus aureus. Mikonazole

memberikan efek biostatik pada Staphylococcus aureus dan efek fungistatik

pada Candida. Fusidic acid (2%) dapat digunakan sebagai terapi bersamaan

dengan obat antifungal. Jika angular cheilitis disertai daerah eritema di

sekitar fisura, steroid ointment dibutuhkan untuk menekan inflamasi. Untuk

mencegah rekurensi, diberikan terapi denga krim pelembab yang akan

menghambat terbentuknya fisura baru (Greenberg and Glick, 2003).

Azole sistemik digunakan untuk terapi candidiasis yang berpenetrasi

lebih dalam, seperti candidiasis hiperplastik kronis, denture stomatitis, dan

median rhomboid glositis dengan tampilan granular, dan untuk terapi infeksi

resisten. Azole berinteraksi dengan warfarin, yang dapat menyebabkan

kecenderungan peningkatan perdarahan. Efek samping tersebut juga berlaku

untuk azole topikal. Resistensi berkembang untuk terapi flukonazole pada

pasien HIV. Pada beberapa kasus, ketokonazole dan itrakonazole

direkomendasikan sebagai alternatif. Azole juga digunakan untuk terapi

candidiasis dengan predisposisi sistemik dan untuk sistemik candidiasis

(Greenberg and Glick, 2003).

46

Page 46: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Tabel 2.5 Agen Antifungal yang digunakan untuk Terapi Candidiasis (Greenberg

and Glick, 2003)

Prognosis oral candidiasis baik jika faktor predisposisi yang berhubungan

dengan infeksi berkurang atau dihilangkan. Kandidiasis hiperplastik kronis

tipe plak dan nodular yang menetap mempunyai resiko lebih tinggi

terbentuknya maligna dibandingkan dengan leukoplakia tanpa infeksi

Candida (Greenberg and Glick, 2003).

b. Hairy Leukoplakia

Hairy leukoplakia merupakan lesi mukosa oral yang menempati posisi

kedua yang paling sering terjadi berkaitan dengan HIV. Hairy leukoplakia

47

Page 47: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

digunakan sebagai penanda aktivitas penyakit karena lesi ini berkaitan

dengan jumlah CD4+ limfosit-T yang rendah. Lesi ini tidak hanya

dikarakteristikan khusus sebagai penanda HIV, defisiensi imun lain, seperti

karena obat imunosupresi dan kemoterapi kanker, juga berhubungan dengan

hairy leukoplakia. Jarang ditemukan individu dengan sistem imun normal

menderita hairy leukoplakia (Greenberg and Glick, 2003).

Etiologi dan Patogenesis

Hairy leukoplakia berhubungan erat dengna Epstein-Barr virus (EBV)

dan tingkat CD4+ limfosit-T yang rendah. Terapi antiviral merupakan terapi

kuratif, mencegah terjadinya replikasi EBV yang merupakan faktor etiologi

hairy leukoplakia. Terdapat hubungan antara replikasi EBV dan penurunan

jumlah sel Langerhans CD1a+, yang mana bersamaan dengan limfosit-T,

merupakan sel yang penting untuk pertahanan imun mukosa oral (Greenberg

and Glick, 2003).

Patogenesis hairy leukoplakia sangat kompleks, termasuk di dalamnya

terdapat faktor – faktor sebagai berikut, infeksi EBV, replikasi EBV, evolusi

genetik EBV, ekspresi gen spesifik EBV laten, dan menurunnya sistem

imun. Seluruh faktor ini difasilitasi oleh imunodefisiensi lokal dan sistemik

host (Lynch, 2014).

EBV awalnya menginfeksi sel epitel basal di faring, di mana EBV masuk

dalam fase replikasi yang kemudian menyebabkan lepasnya virus ke saliva.

Di faring, virus memasuki sel limfosit B. Sitotoksik limfosit T tidak dapat

menghilangkan EBV dari tubuh, tetapi sitotoksik limfosit T penting dalam

48

Page 48: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

mengatur fase laten virus. Pada keadaan disfungsi imun di mana jumlah

sitotoksik limfosit T spesifik EBV menurun, terdapat peningkatan jumlah

sirkulasi sel limfosit B yang terinfeksi EBV. Pada jaringan biopsi hairy

leukoplakia teradapat penurunan atau tidak adanya sel langerhans. Sel

langerhans adalah antigen sel imun yang dibutuhkan untuk sistem imun

merespon infeksi virus dan jika kekurangan sel ini maka menyebabkan EBV

bereplikasi dan sistem imun untuk melawan EBV menurun (Lynch, 2014)

Tampilan Klinis

Hairy leukoplakia sering muncul pada tepi lateral lidah, tetapi juga dapat

muncul pada dorsal lidah dan mukosa bukal. Tampilan klinis yang khas

adalah adanya lipatan putih vertikal di sepanjang tepi lidah. Lesi dapat juga

tampak berwarna putih seperti plak yang meninggi, tetapi plak tersebut tidak

dapat discrap. Terlihat papila filiform yang memanjang sehingga lidah

terlihat seperti berambut. Karena tampilan klinis hairy leukoplakia dapat

berbeda-beda, penting untuk diketahui adanya lesi ini jika tepi lidah terdapat

lesi putih, terutama pada pasien imunokompromi. Hairy leukoplakia

asimptomatik, walaupun gejala mungkin tampak saat lesi ini terinfeksi

Candida. Secara histologis dapat terlihat penonjolan hiperkeratosis yang

seperti berambut, inflamasi dan infeksi Candida (Greenberg and Glick,

2003).

49

Page 49: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Gambar 2.23. Hairy leukoplakia pada tepi lateral lidah kiri pada pasien AIDS(Greenberg and Glick, 2003)

Terapi

Hairy leukoplakia dapat dirawat dengan terapi antiviral, tetapi terapi ini

jarang diindikasikan untuk kelainan yang tidak berhubungan dengan gejala

subyektif. Hairy leukoplakia tidak berhubungan dengan meningkatnya

resiko keganasan (Greenberg and Glick, 2003).

Lesi dapat membaik dalam 1-2 minggu dengan terapi antiviral sistemik.

Terapi oral dengan acyclovir membutuhkan dosis tinggi (800mg 5x sehari)

untuk mencapai level terapeutik. Valacyclovir (1000mg 3x sehari) dan

famciclovir (500mg 3x sehari) adalah antiviral dengan bioavailabilitas oral

lebih tinggi dibandingkan acyclovir, dan dosis lebih sedikit. Obat antiviral

menghambat replikasi EBV tetapi tidak menghilangkan virus yang dalam

fase laten. Hairy leukoplakia sering rekuren setelah beberapa minggu terapi

antiviral dihentikan (Lynch, 2014)

Terapi topikal dengan cairan resin podophyllin 25% mencapai

keberhasilan setelah 1-2 kali aplikasi. Terapi ini dapat menyebabkan rasa

sakit lokal sementara, ketidaknyamanan, dan perubahan merasa pada lidah.

Podophyllin mempunyai efek sitotoksik selular, tetapi mekanisme aksi

50

Page 50: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

dalam menyembuhkan hairy leukoplakia belum diketahui. Hairy

leukoplakia dapat rekuren setelah beberapa minggu terapi podophyllin

dihentikan (Lynch, 2014)

Terapi topikal dengan retinoic acid telah dilaporkan dapat digunakan

untuk terapi hairy leukoplakia. Retinoic acid menghambat replikasi EBV

dan merangsang diferensiasi sel epitel. Sama seperti terapi antiviral dan

podophyllin, hairy leukoplakia rekuren setelah beberapa minggu terapi

retinoic acid dihentikan (Lynch, 2014).

Terapi bedah dapat dipertimbangkan untuk lesi hairy leukoplakia ukuran

kecil. Cryoterapi dilaporkan berhasil untuk terapi hairy leukoplakia, tetapi

terapi ini jarang digunakan (Lynch, 2014)

c. Kaposi sarcoma (pada dorsal lidah)

Infeksi HIV menyebabkan imunosupresi yang meningkatkan resiko

berkembangnya penyakit neoplasma. Meningkatnya manajemen penyakit

HIV dengan Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART) menurunkan

prevalensi manifestasi oral HIV, termasuk kaposi sarcoma. Kaposi sarcoma

adalah proliferasi neoplastik mulisentrik dari sel endotelial (Greenberg and

Glick, 2013).

Moritz Kaposi, dermatologis asal Hungaria, adalah yang pertama kali

mendeskripsikan kaposi sarkoma pada tahun 1872. Dalam artikel yang

dibuat oleh Moritz Kaposi berjudul “Idiopathic Multiple Sarcoma of the

Skin”, terdapat empat klasifikasi sarkoma (Pivorar et al, 2013) :

1) Klasik / Sporadis Kaposi Sarkoma

51

Page 51: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Tampilan klinis : lesi tunggal / multipel yang biasanya berlokasi di

ekstrimitas bawah dan biasa terjadi pada laki-laki dewasa.

2) Endemik Kaposi Sarkoma

Endemi di Afrika, terutama di selatan Gurun Sahara. Terjadi pada

dewasa muda dan anak-anak kulit hitam.

3) Iatrogenik Kaposi Sarkoma

Berhubungan dengan transplantasi organ dan terapi imunosupresif.

4) Epidemik Kaposi Sarkoma

Berhubungan dengan AIDS

Kaposi sarkoma berhubungan dengan Human Herpes Virus type 8

(HHV8). Virus dapat menginfeksi berbagai macam tipe sel seperti sel

endotelial dan limfosit 8 (Pivorar et al, 2013)

Etiopatogenesis

Infeksi HHV tanpa faktor pendukung tidak dapat menginisiasi

perkembangan kaposi sarkoma. Banyak faktor yang mempengaruhi inisiasi

dan perkembangan kaposi sarkoma yang berhubungan dengan HIV (HIV-

KS), seperti, HIV tat protein, supresi imun dan disregulasi sitokin, daerah

inflamasi, onkogenesis HHV8, angiogenesis, faktor pertumbuhan, dan

fungsi molekul adhesi yang berhubungan dengan HHV8 (Sibda, 2011).

Virus laten menjadi penyebab terbesar terjadinya lesi kaposi sarkoma.

Sel teridentifikasi sebagai ekspresi gen lytic dan/atau laten, termasuk

monosit, endhotelial / sel spindle kaposi sarkoma, sel B, sel epitelial.

52

Page 52: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Sebagian besar lesi HIV-KS berasal dari sel monoclonal, tetapi belum dapat

diketahui apakah HIV-KS merupakan kelainan monoclonal angioproliferatif

atau neoplasma maligna. HHV8 ditransmisikan melalui saliva dan dipercaya

bahwa HHV8 ditransmisikan secara seksual. Kaposi sarkoma banyak

ditemukan pada laki-laki homoseksual (Sibda, 2011).

HIV berperan dalam patogenesis HIV-KS melalui berbagai macam

mekanisme : HIV tat protein dapat secara langsung menyebabkan replikasi

HHV8. HIV-KS berasal dari induksi inflamasi T helper (Th) – 1 sitokin

yang berhubungan dengan terganggunya respon imun seluler karena infeksi

HIV. Agen inflamasi terdiri dari sel CD8T, monosit, makrofag, dan sel

dendritic, yang memproduksi sitokin inflamasi, yang bersama dengan

produk gen HHV8, mengaktivasi sel endotelial dan memicu perkembangan

HIV-KS (Sibda, 2011).

Tampilan klinis, Tanda dan Gejala

Kaposi sarkoma biasa terdapat pada palatum keras, gingiva, dan dorsal

lidah. Lesi dimulai sebagai lesi datar biru keunguan atau merah keunguan

(makula) yang berkembang menjadi lesi papulonodular, kemudian

berkembang menjadi masa jaringan yang berulserasi. Lesi tidak tampak

pucat saat diberi tekanan (Greenberg and Glick, 2003; Sibda, 2011).

Lesi inisial asimtomatik tapi saat lesi berkembang dapat menyebabkan

ketidaknyamanan, gangguan dalam pemakaian protesa dan mempengaruhi

fungsi oral (bicara dan makan), yang dapat memberi efek negatif pada status

nutrisi pasien. Gejala yang terjadi pada rongga mulut saat lesi berkembang

53

Page 53: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

termasuk terdapat rasa sakit, kerusakan jaringan lokal, perdarahan, dan

mobiliti gigi pada area yang terlibat. Kaposi sarkoma dapat menjadi tanda

pertama dari infeksi HIV yang tanpa gejala (Greenberg and Glick, 2003;

Pivorar et al, 2013; Sibda, 2011, Vieira et al, 2014).

Terapi

Tujuan utama terapi kaposi sarcoma adalah mengurangi gejala,

mencegah perkembangan penyakit, dan memperbaiki fungsi kosmetik.

Terapi dasar dilakukan berdasar perluasan dan kecepatan pertumbuhan

tumor, ada tidaknya keterlibatan visceral, dan gejala yang dialami pasien

(Thomas and Java, 2000).

Terapi dilakukan ketika kaposi sarcoma berkembang di sisi anatomi yang

mengganggu pasien dalam kehidupan sosial, ketika terdapat rasa sakit atau

lesi ukuran besar pada permukaan telapak kaki, dan ketika lesi intraoral atau

faringeal mengganggu ketika makan (Thomas and Java, 2000).

Pilihan perawatan lokal dan sistemik tersedia. Karena terdapat potensi

toksik pada terapi sistemik, maka sebaiknya dilakukan terapi lokal jika

memungkinkan (Thomas and Java, 2000).

Terapi lokal : terapi lokal yang dilakukan adalah cryotherapy, kemoterapi

intralesional, terapi radiasi, dan terapi retinoid topikal (Roenn, 2003; Rose,

2014; Thomas and Java, 2000).

54

Page 54: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Cryotheraphy

Cryoteraphy efektif untuk terapi lesi ukuran kecil dan digunakan untuk

keperluan kosmetik (contoh : lesi pada wajah). Lesi makula dan papula

ukuran kurang dari 1 cm memberi respon paling baik terhadap perawatan.

Perawatan dilakukan dengan aplikasi nitrogen cair untuk lesi kaposi

sarkoma lokal. Terapi diulangi dengan interval 3 minggu. Efek samping

termasuk rasa sakit minor dan rasa melepuh. Cryotheraphy meninggalkan

bekas luka parut datar berwarna putih; pada pasien berkulit gelap, bekas

luka terapi secara kosmetik terlihat lebih buruk daripada lesi itu sendiri.

Rekurensi menjadi masalah pada terapi lesi ukuran besar.

Kemoterapi Intralesional

Kemoterapi intralesional digunakan untuk perawatan lesi oral dan lesi

kutan ukuran lebih dari 2 cm. Vinblastine digunakan secara luas untuk

kemoterapi intralesional.

Dosis vinblastine yang direkomendasikan adalah 0.2 mg/mL solution

diinjeksikan setiap 0.5 cm lesi; dosis tidak boleh lebih dari 4 mL. Terapi

dapat diulangi 4 minggu kemudian. Diperkirakan dalam 3 minggu setelah

perawatan sudah terjadi regresi tumor.

Efek samping vinblastine intralesional adalah ulserasi, rasa sakit, dan

infeksi sekunder. Rasa sakit berkembang kurang lebih 12 jam setelah terapi

dilakukan, dan bertahan sampai 48 jam. Untuk mengurangi rasa sakit,

lidocaine dapat ditambahkan pada sediaan vinblastine untuk terapi;

penambahan lidocaine menunjukkan tidak mempengaruhi hasil perawatan

55

Page 55: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

untuk lesi. Kehilangan rambut dapat terjadi, oleh karena itu, perawatan

kemoterapi intralesional dihindari pada area yang terdapat rambut.

Terapi Radiasi

Terapi radiasi adalah terapi lokal yang efektif untuk pasien dengan lesi

minimal atau lesi lokal. Terapi radiasi juga dapat dilakukan untuk

mengurangi gejala lokal pada pasien yang tidak merespon atau terdapat

kontraindikasi kemoterapi sistemik dan pada pasien yang mempunyai

harapan hidup pendek (kurang dari 2 bulan). Terapi radiasi dapat dilakukan

pada lesi oral dan pharyngeal. Terapi radiasi tidak hanya meningkatkan

fungsi dan tampilan kosmetik, tetapi juga mengurangi rasa sakit,

perdarahan, dan mengurangi perluasan lesi, membantu untuk mengurangi

edema.

Dalam terapi radiasi, electron energi rendah atau radiologi superfisial

digunakan untuk terapi lesi ukuran kecil, superfisial, dan datar. Keuntungan

dari terapi ini adalah penetrasi jaringan yang lebih sedikit. Radiology energi

tinggi, yang disebut megavoltage therapy, digunakan untuk terapi lesi

nodular atau lesi seperti plak yang lebih besar di mana lesi termasuk lesi

dengan edema.

Efek samping terapi radiasi yaitu eritema dan deskuamasi kulit, rasa sakit

melepuh pada telapak kaki, mukositis oral.

Terapi Retinoid Topikal

IL-6 adalah sitokin yang berperan dalam patogenesis kaposi sarcoma.

Retinoic acid menghambat regulasi IL-6. 0.1 % alitretinoin gel diaplikasikan

56

Page 56: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

secara topikal 2-4x sehari dalam 2 minggu. Dapat menyebabkan efek

samping yaitu eritema lokal dan iritasi pada area yang diaplikasikan gel.

Terapi sistemik : dilakukan dengan interferon, kemoterapi, highly active

antiretroviral therapy (HAART) (Roenn, 2003; Thomas and Java, 2000)

Interferon

Interferon alfa adalah obat pertama yang secara spesifik dianjurkan untuk

terapi kaposi sarkoma. Interferon alfa merupakan antiproliferatif, antiviral

(anti-HIV), antiangiogenic, dan imun modulator. Respon untuk terapi

interferon alfa pada pasien dengan CD4 <100 sel/mm3 dilaporkan <10%

tetapi meningkat 45-50% pada pasien dengan CD4 >400 sel/mm3.

Saat digunakan sebagai agen tunggal tanpa terapi antiretroviral, interferon

alfa lebih efektif diberikan secara subkutan dengan dosis 36 MU sehari

sekali atau 30 MU 3x seminggu.

Sebelum ditemukan pengukuran viral dan Highly Active Antiretroviral

Therapy (HAART), penelitian dilakukan untuk meningkatkan tingkat

keberhasilan interferon alfa, mengurangi dosis dan toksisitas, dan

memperluas penggunaan interferon alfa untuk terapi. Kombinasi interferon

alfa dengan agen antiretroviral pada pasien dengan prognosis buruk

(CD4<150 sel/mm3 dan lesi KS ukuran besar) memberi respon sebesar 42-

46% dengan dosis interferon alfa yang lebih rendah dari pada dosis tunggal.

Toksisitas yang mungkin terjadi karena kombinasi ini adalah terjadi

myelosupresi.

57

Page 57: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

Untuk menghindari kombinasi obat dengan toksisitas tinggi, AIDS

Clinical Trials Group (ACTG) melakukan evaluasi terhadap didanosine,

agen antiretroviral non myelosupresif, dengan kombinasi interferon alfa, 1

MU subkutan sehari sekali dibandingkan dengan 10 MU subkutan sehari

sekali. Regresi tumor terjadi pada 40% pasien yang dirawat dengan dosis 1

MU dan 55% pada pasien yang dirawat dengan 10 MU. Waktu rata-rata

terjadi regresi adalah > 110 minggu. Terapi ditoleransi dengan baik oleh

pasien. Respon terapi dengan interferon alfa dapat meningkat jika

dikombinasikan dengan antiretroviral yang efektif. Kombinasi interferon

alfa dengan antiretroviral dilanjutkan jika toksisitas dapat diatasi.

Toksisitas interferon alfa berkaitan dengan dosis. Dosis harian 1 MU

interferon alfa menghasilkan toksisitas rendah. Jika dosis ditingkatkan,

dapat terjadi sindrom seperti flu yang dikarakteristikkan dengan demam,

myalgia, dan malaise. Takifilaksis berkembang pada beberapa minggu

pertama terapi. Penggunaan interferon alfa jangka panjang dengan dosis

tinggi (>20 MU subkutan sehari sekali), dapat menyebabkan demam yang

menetap, anorexia, kehilangan berat badan, kelelahan, dan gejala

neuropsikiatrik seperti depresi. Waktu untuk merespon terapi interferon alfa,

baik sebagai agen tunggal atau kombinasi dengan agen antiretroviral,

biasanya sekitar 8 minggu atau lebih setelah perawatan pertama dilakukan.

Kemoterapi

Kemoterapi adalah pilihan terapi untuk lesi kaposi sarcoma pada kutan,

diindikasikan untuk pasien dengan kaposi sarkoma mukokutan yang meluas,

dengan perkembangan yang cepat (lebih dari 10 lesi baru tiap bulan),

58

Page 58: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

penyakit pulmonary, atau lymphedema simptomatik yang meluas. Agen

kemoterapi baik agen tunggal maupun kombinasi, sudah dievaluasi untuk

terapi kaposi sarcoma.

Tabel 2.6 Agen Tunggal untuk Kemoterapi Kaposi Sarcoma (Thomas and Java, 2000)

Tabel 2.7 Agen Kombinasi untuk Terapi Kaposi Sarcoma (Thomas and Java, 2000)

Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART)

Penelitian dewasa ini menunjukkan respon pasien HIV dengan KS

terhadap Highly Active Antiretroviral Therapy (HAART). Terapi ini terdiri

dari dua analog nukleosit dan protease inhibitor, menunjukkan menurunnya

level plasma HIV, meningkatnya jumlah sel CD4, menurunnya insidensi

59

Page 59: BAB II Manifestasi Oral Pasien dengan HIV-AIDS

infeksi oportunistik. Percobaan klinis efektifitas HAART pada terapi pasien

HIV-KS dilaporkan terjadi penurunan 50% progresi penyakit dan kematian

dalam jangka pendek (1 tahun sampai 3 tahun. Lama waktu HAART dapat

dengan efektif menekan replikasi virus belum diketahui. Penyembuhan total

dari KS kutan telah dilaporkan setelah terapi HAART. Inhibisi efektif

replikasi HIV dan restorasi fungsi imun terjadi karena regresi KS. Protease

inhibitor mempunyai efek antiviral langsung terhadap human herpesvirus 8

(HHV8) (Thomas and Java, 2000).

60