BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1....

80
17 BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. Pendahuluan Kajian liturgi secara umum cenderung dipahami dalam bingkai per- ibadahan Kristen atau di gedung Gereja. Pandangan yang demikian itu tidak salah. Istilah tersebut memang banyak dipakai oleh dunia Kekristenan dari- pada kalangan kepercayaan ataupun agama-agama lainnya. Karena itu pulalah kajian teori pada bab ini juga berpijak pada liturgi Kristen. Namun, tujuan utamanya adalah mencari hakikat dan pokok-pokok liturgi itu sendiri sehingga dapat dipergunakan untuk mengenal unsur-unsur yang sama di lingkup keagamaan lain, seperti upacara kepercayaan yang ada di tengah kehidupan masyarakat berbudaya Jawa sebagai keberadaannya yang khas (kontekstual). Pada Bab II ini akan dijabarkan secara berturut-turut tentang liturgi dengan berbagai pengertian istilah maupun operasionalnya, dasar, sejarah dan perkembangan, beserta dengan hubungannya dengan budaya. Demikian pula dengan kajian budaya Jawa yang meliputi inti dari faham Jawa, perubahan yang terjadi dalam perkembangan masyarakatnya serta perwujudan dan tata susunan dalam bentuk upacara kepercayaan Jawa. Tentunya kedua kajian itu lalu dipadukan untuk melihat upacara

Transcript of BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1....

Page 1: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

17

BAB II

LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA

2.1. Pendahuluan

Kajian liturgi secara umum cenderung dipahami dalam bingkai per-

ibadahan Kristen atau di gedung Gereja. Pandangan yang demikian itu tidak

salah. Istilah tersebut memang banyak dipakai oleh dunia Kekristenan dari-

pada kalangan kepercayaan ataupun agama-agama lainnya. Karena itu

pulalah kajian teori pada bab ini juga berpijak pada liturgi Kristen. Namun,

tujuan utamanya adalah mencari hakikat dan pokok-pokok liturgi itu sendiri

sehingga dapat dipergunakan untuk mengenal unsur-unsur yang sama di

lingkup keagamaan lain, seperti upacara kepercayaan yang ada di tengah

kehidupan masyarakat berbudaya Jawa sebagai keberadaannya yang khas

(kontekstual).

Pada Bab II ini akan dijabarkan secara berturut-turut tentang liturgi

dengan berbagai pengertian istilah maupun operasionalnya, dasar, sejarah

dan perkembangan, beserta dengan hubungannya dengan budaya. Demikian

pula dengan kajian budaya Jawa yang meliputi inti dari faham Jawa,

perubahan yang terjadi dalam perkembangan masyarakatnya serta

perwujudan dan tata susunan dalam bentuk upacara kepercayaan Jawa.

Tentunya kedua kajian itu lalu dipadukan untuk melihat upacara

Page 2: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

18

kepercayaan Jawa sebagai liturgi, sekaligus liturgi yang kontekstual.

Akhirnya, seluruh hasil kajian teori yang tersebut ditutup kesimpulan.

2.2. Liturgi

2.2.1. Arti Liturgi

Seperti disinggung secara singkat pada Bab I, Brownlee menjelaskan

bahwa liturgi merupakan kata dari bahasa Yunani, yaitu leitourgia

(λειτουργία). Istilah itu nampak dalam Kitab Perjanjian Baru bersama

dengan kata lain yang memiliki kemiripan arti, yaitu latreia (λατρεία). Arti

harafiah kedua istilah tersebut adalah karya pengabdian atau karya bakti

bagi kepentingan umat secara umum. Pada Kitab Perjanjian Lama kedua

istilah itu dikenal dengan kata sharath ( שרת ) dan abodah ( הּדיּבע ), yang di-

Indonesia-kan menjadi ibadah, dan artinya kebaktian atau pelayanan.22

Jadi menurut arti katanya, istilah liturgi dan ibadah tampaknya hampir

tidak ada bedanya. Seperti dikatakan H. A. van Dop, arti keduanya seakan

sama saja.23

Selain itu, meminjam sebutan dari Emanuel Martasudjita dan

James F. White, bahwa istilah-istilah tersebut sesungguhnya merupakan

pekerjaan bermakna sekular yang lekat dengan kehidupan sehari-hari.

Liturgi maupun ibadah adalah tindakan yang dilakukan oleh umat tanpa

pamrih demi kepentingan kota atau negara, sebagai pelayanan dan bakti.24

22

Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, 19. 23

H. A. van Dop, Hakikat dan Makna Liturgi, dalam: Liturgi dan Komunikasi

(Jakarta, YAKOMA—PGI, 2005), 104. 24

James F. White, Pengantar Ibadah Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009),

13-14.

Page 3: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

19

Misalnya memberi sumbangan, iuran, pajak, dan lain sebagainya. Karena itu

secara teologis hakikat liturgi di dalam Kekristenan yang didasarkan pada

peringatan kebangkitan Yesus Kristus Tuhan tidak terpisahkan dengan

peribadahan pada hari-hari kerja atau hari-hari biasa lainnya. Sebagaimana

dikatakan J. L. Ch. Abineno bahwa pada dasarnya semula tidak ada batas

jelas antara ibadah dan kehidupan sehari-hari Jemaat Mula-Mula. Sebab di

antara keduanya memiliki hubungan yang cair dan fleksibel.25

Menurut kajian etimologis di dalam sejarah Gereja, arti liturgi maupun

ibadah memiliki banyak istilah dan perkembangan arti. Selain empat istilah

yang telah disebut, ada beberapa istilah lain yang biasa digunakan oleh

Gereja. Pertama, worship (Inggris) yang berasal dari kata weorthscipe,

artinya perbuatan yang baik atau yang layak dilakukan. Kedua, service yang

berasal dari kata servitium (Latin), artinya pelayanan pekerjaan yang

dilakukan untuk orang lain. Ketiga, office yang berasal dari kata officium

(Latin), artinya kesediaan untuk melayani. Keempat, cult/cultus yang

berasal dari kata colere (Latin), artinya tindakan memberi (persembahan)

yang menimbulkan ketergantungan atau ikatan hubungan antara pemberi

dan penerima. Kelima, kebaktian yang berasal dari kata bakthi (Sansekerta),

artinya perbuatan yang menyatakan setia melayani dan hormat, menghamba,

serta perbuatan baik dengan kerelaan. Keenam, missa (Latin), yang merupa-

kan penyingkatan dari kata “ite missa est!” dengan arti “inilah pembubaran

25

J. L. Ch. Abineno, Jemaat: Ujud, Peraturan, Susunan, Pelayanan, Pelayan-

Pelayannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 72-73.

Page 4: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

20

atau pengutusan”.26

Ketujuh, ritus (Latin), artinya peribadahan yang

dilakukan sesuai dengan pola dan tata cara tertentu dalam petunjuk-petunjuk

baku dan resmi bagi umat untuk pelaksanaan ekaristi, pelayanan-pelayanan

pastoral maupun upacara-upacara peresmian. Dari istilah terakhir inilah

kemudian muncul istilah kedelapan dan kesembilan, yaitu ceremony dan

order yang menunjuk pada tata ibadah. Sebutan ceremony cenderung untuk

pelaksanaan upacara peresmian, sedangkan order digunakan untuk urutan

yang tersusun pada peribadahan.27

Kajian asal-usul istilah di atas memberikan pemahaman penting.

Liturgi memiliki tiga arti mendasar yang sejajar, yaitu pelayanan,

persembahan, serta perutusan.28

Ketiganya merupakan motivasi penting

serta saling berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan sebagai satu

kesatuan peribadahan yang dilakukan dan sekaligus dirayakan oleh Gereja

dari waktu ke waktu.29

Selanjutnya, meskipun secara harafiah memiliki

pengertian umum yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat, akan

tetapi liturgi maupun peribadahan juga memiliki keterkaitan arti dengan

kegiatan-kegiatan Gereja sebagai kebersamaan umat secara terbatas. Karena

itu, pada satu segi tampaknya liturgi bisa dikatakan tidak sama persis

dengan ibadah. Liturgi mengesankan sebagai suatu bentuk rumusan gagasan

Gereja melalui tindakan di dalam pola dan tata cara yang tersusun secara

teratur untuk mengungkapkan maksud ataupun tujuan tertentu di tengah

26

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 1-5 27

White, Pengantar Ibadah Kristen, 18-19. 28

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 6. 29

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 6-7.

Page 5: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

21

keberadaan hidupnya. Adapun ibadah cenderung merupakan istilah bagi

kegiatan umat secara umum, sebagaimana layaknya dilakukan juga oleh

khalayak orang. Dengan kata lain, liturgi menjadi semacam tindakan teknis

bagi penghayatan dari ibadah itu sendiri. Pembedaan itu makin tegas dengan

adanya perkembangan makna dalam pemakaian masing-masing istilah di

antara keduanya pada ranah lapangan penerapan. Liturgi cenderung

digunakan untuk tata cara resmi ataupun upacara agung, sebagaimana

terdapat dalam praktik keagamaan Gereja Katholik Roma. Adapun ibadah

cenderung digunakan secara umum untuk menunjuk praktik keagamaan

apapun, bahkan untuk kepercayaan-kepercayaan adat masyarakat suku.30

Ada tiga pendekatan untuk melihat pembedaan di atas. Pendekatan

pertama adalah sudut arti kata. Dibandingkan dengan liturgi, ibadah

dipandang lebih bermakna luas, cenderung praktis dan umum, tanpa harus

ada pemaknaan khusus. Misalnya berderma, saling hormat, saling

menolong, dan lain sebagainya. Sedangkan wujud liturgi cenderung

memiliki penghayatan khusus terkait dengan iman. Pendekatan kedua

berpangkal pada makna teologis, di mana liturgi memiliki pengertian yang

lebih luas dari pada ibadah yang gerakannya cenderung hanya searah dari

tindakan umat kepada Tuhan (anabatis). Kelebihan liturgi dibandingkan

dengan ibadah secara teologis, yaitu memiliki dua arah sebagai dialog.

Selain anabatis, di dalam liturgi sekaligus juga terdapat katabatis, yaitu

tindakan dari Tuhan kepada umat. Pendekatan ketiga adalah dimensi

30

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 4-5.

Page 6: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

22

tindakan ibadah yang masih bisa bersifat pribadi dan tidak memiliki unsur

resmi, sementara liturgi pasti merupakan tindakan bersama oleh umat dan

resmi.31

Karena itu kaidah dasar pelaksanaan liturgi di dalam peribadahan

tidak hanya terbatas pada kegiatan upacara keagamaan atau perayaan bagi

Tuhan semata, tetapi juga merupakan sikap hidup sebagai pelayanan kepada

Tuhan dengan bersedia tunduk dan hormat dalam tindakan, perilaku,

kepribadian, maupun pemikiran dari segenap kehidupan umat.32

Pemahaman penting selanjutnya adalah bahwa istlah-istilah tata per-

ibadahan Gereja beserta dengan makna dan penggunaannya di atas merupa-

kan hasil penyesuaian budaya yang dilakukan Kekristenan dalam ruang

persebaran dan perkembangannya. Semua kata sebutan itu digunakan oleh

Gereja dalam rangka mengakarkan, sekaligus untuk mengungkapkan

gagasan-gagasan imannya menurut konteks di tempat dia hidup. Pelayanan,

persembahan, dan perutusan yang ada pada tindakan kemasyarakatan pada

umumnya ternyata dipakai juga oleh Gereja sebagai liturgi untuk beribadah

kepada Kristus Tuhan. Selangkah maju terhadap pemahaman umum mau-

pun khusus tersebut, memperlihatkan adanya penalaran bahwa adat-istiadat

yang terangkai dengan berbagai wujud ritual kepercayaan bagi kebersamaan

oleh suatu masyarakat memungkinkan untuk dipakai Gereja melalui langkah

tertentu sebagai liturgi peribadahan. Kemungkinan itu dimiliki pula oleh

GKJ di tengah budaya masyarakatnya.

31

E. Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi (Yogyakarta:

Kanisius, 2011), 26-30. 32

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 4.

Page 7: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

23

2.2.2. Definisi Liturgi

Kajian etimologi di atas menjadi dasar pemahaman makna liturgi

menurut sudut-sudut batasan operasional atau definisi yang ditekankan. Ada

empat sudut penekanan dalam mendefinisikan liturgi, yaitu dari sudut aksi,

sudut dasar aksi, sudut isi gagasan, dan sudut ruang penghayatan.

Berdasarkan sudut aksi, liturgi didefinisikan sebagai kegiatan ibadah,

baik berbentuk seremonial maupun praksis. Maksud ibadah praksis adalah

seperti yang diungkapkan oleh Rasid, yaitu ibadah yang tidak terbatas pada

perayaan di gedung Gereja melalui selebrasi, tetapi terwujud pula di dalam

sikap hidup orang percaya di dunia sehari-hari melalui aksi yang meliputi

pelayanan, tindakan, tingkah laku, hidup keagamaan, spiritualitas, praksis

hidup, pola maupun cara berpikir, menanggapi, dan sebagainya.33

Karena

itu, pada diri liturgi mesti terdapat keikutsertaan umat secara bersungguh-

sungguh untuk ikut ambil bagian, sebagai ungkapan hidup imannya.34

Dari sudut dasar aksi, liturgi didefinisikan sebagai kehidupan Kristen

yang diungkapkan sebagai ibadah untuk menyatakan penyataan diri Allah di

dalam Yesus Kristus, sekaligus merupakan tanggapan manusia terhadap-

nya.35

Intinya adalah bahwa di dalam ibadah Allah bertindak untuk

memberikan hidupNya bagi manusia serta membawa manusia untuk ikut

mengambil bagian di dalam kehidupan. Karena itu, semua yang dilakukan

oleh umat selaku pribadi ataupun Gereja dipengaruhi oleh ibadah.

33

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 1. 34

Bosco Da Cunha, Teologi Liturgi dalam Hidup Gereja (Malang: Dioma, 2004), 1-

2. 35

White, Pengantar Ibadah Kristen, 7.

Page 8: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

24

Adapun menurut sudut isi gagasannya liturgi didefinisikan sebagai

pertemuan umat di hadapan Allah, bahkan dengan Allah sendiri. Karena itu

liturgi peribadahan bukanlah tata cara atau bentuknya melainkan isinya,

yaitu umat bersama dengan segala sesuatu yang dilakukan di dalam per-

kumpulannya bermakna untuk melayani Tuhan dan melayani sesama

manusia di hadapanNya dan di dalam namaNya.36

Ketiga definisi di atas memperlihatkan ada nisbah yang bisa

dipadukan. Pertama, bila liturgi pada definisi pertama dipandang sebagai

kegiatan pengungkapan iman Gereja oleh keikutsertaan umat yang men-

dorong perwujudan nyata dalam segenap bidang kehidupan maka definisi

liturgi yang kedua dapat dipandang sebagai penyebab tindakan Gereja itu

sendiri, yaitu penyataan Allah yang memberikan hidupNya bagi manusia.

Karena itu, sebagaimana dinyatakan dalam definisi liturgi yang kedua, maka

kegiatan pengungkapan iman Gereja merupakan tanggapan terhadap

penyataan Allah itu. Kedua, perpaduan definisi liturgi yang pertama dan

kedua tersebut menunjukkan adanya prakarsa di antara pihak Allah dan

manusia menjadi suatu perjumpaan yang disebut pada definisi liturgi yang

ketiga sebagai makna bagi umat untuk melayani Allah maupun sesama

menurut iman.

Berikutnya berdasarkan sudut ruang penghayatan, liturgi didefinisikan

sebagai tempat bagi umat menyanyikan akan pengharapan dan masa depan.

Liturgi adalah wahana yang di dalamnya umat terhanyut oleh visi

36

van Dop, Liturgi dan Komunikasi, 104-107.

Page 9: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

25

kedatangan Kerajaan Allah dengan pelayanan kepada Allah dan sesama.37

Sudut definisi liturgi yang terakhir ini memperlihatkan kedudukan

pelayanan yang dilakukan umat bukan sekedar kegiatan Gereja beserta

penyebab, ataupun isi gagasannya. Keberadaan liturgi dari sudut ruang

penghayatan tersebut cenderung memahami pelayanan sebagai arena

sekaligus wujud penghayatan akan tujuan dari iman yang diungkapkan oleh

Gereja.

Penekanan-penekanan dari keempat definisi liturgi di atas nampaknya

sekaligus menjadi cara pendekatan masing-masing. Namun keragaman pe-

nekanan maupun cara pendekatan beberapa definisi liturgi tersebut bila

dipadukan memungkinkan memberikan pengertian yang utuh, yaitu per-

jumpaan umat bersama dengan Allah sebagai tanggapan sekaligus peng-

hayatan atas penyataan Allah yang telah memberikan hidupNya untuk

keselamatan manusia berupa pelayanan seremonial maupun praksis.

2.2.3. Dasar Liturgi

Secara langsung ataupun tidak langsung, etimologi dan definisi liturgi

di atas menunjukkan adanya dasar-dasar penting yang berpusat pada soal

tafsir, sejarah, budaya maupun adat-istiadat, dan penyesuaian terkait iman di

dalam kemunculan serta perkembangan Kekristenan. Artinya, tata per-

ibadahan di dalam Kekristenan dibangun dengan memberi makna atas

peristiwa atau pengalaman nyata, dan perwujudannya dilakukan

37

E. H. van Olst, Alkitab dan Liturgi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 111.

Page 10: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

26

penyesuaian atas tata kebiasaan dan tradisi dalam budaya yang terdapat pada

kehidupan bersama suatu masyarakat.

Dari sebuah kajian teologi terhadap liturgi terungkap bahwa

kemunculan liturgi Kristen atau Gereja berawal dari langkah hermeneutik

baru melalui Yesus yang disebut Kristus dan Tuhan atas peribadahan

masyarakatNya, yang tumbuh berakar dari kebudayaan Yahudi. Oleh Yesus

itu, sekelompok orang Yahudi yang bercaya kepadaNya menafsirkan ulang

ketidakpastian perkembangan keadaan kemasyarakatan beserta keagamaan

masa itu yang sulit menemukan sarana peribadahan sebagai alat peneguhan

umat karena akhirnya hancur di masa penjajahan bangsa Roma.38

Sarana

peribadahan yang kemudian hilang dari budaya dan adat-istiadat ibadah

keagamaan Yahudi itu berupa kenisah, altar, dan korban. Selain menjadi

perangkat peneguhan bagi keutuhan umat, sarana-sarana tersebut juga

merupakan pemujaan, penyembahan, serta penyucian umat kepada Allah

yang melambangkan penyelamatan. Pada sosok Yesus semua budaya

keagamaan yang musnah dalam sejarah politik bangsa Yahudi itu

dicerminkan kembali.39

Artinya, seperti penjelasan Brox40

dan Everett

Ferguson41

bahwa sarana-sarana peribadahan Yahudi sebagaimana ada pada

tradisi Kitab Perjanjian Lama telah disatukan dan dibangun kembali dalam

figur Yesus. Yesus diyakini umat sebagai pribadi Messias melalui

38

R. S.Sugirtharajah, Poscolonial Criticism and Biblical Interpretation (New York:

Oxford University Press, 2002), 91. 39

Bosco Da Cunha, Teologi Liturgi dalam Hidup Gereja, 29-33. 40

Brox, A History of the Early Church, 2-4. 41

Everett Ferguson, Backgrounds of Early Christianity ((Michigan: Grand Rapids,

1994), 517-519.

Page 11: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

27

penafsiran baru atas tradisi keagamaan dalam kitab-kitab Ibrani maupun

sejarah perubahan yang telah terjadi di tengah masyarakatnya, dan

kemudian dijadikan tradisi baru atau tradisi pengganti.42

Sepanjang keberadaan liturgi, dasar-dasar penting yang disebutkan di

atas juga ada. Langkah pembaruan yang terjadi pada peristiwa Yesus itu

terlihat pula pada tradisi-tradisi penerusnya, yaitu tradisi apostolik43

dan

tradisi reformasi Gereja.44

Pada tradisi apostolik unsur-unsur mendasar ditemukan dalam tiga

titik tolak, yaitu sejarah liturgi Gereja, sejarah tempat dan waktu

pelaksanaan liturgi Gereja, serta sejarah perayaan liturgi oleh Gereja

Perdana. Di dalam sejarah liturgi Gereja, kesadaran iman akan Yesus yang

hidup dan bangkit dari kematian mengubah cara hidup Gereja, khususnya

penafsiran peribadahan. Pengabsahan ibadah yang semula bersifat lahiriah

berupa kenisah, altar, dan korban di Bait Allah berganti yang rohaniah

melalui Yesus Kristus untuk memuji, menyembah, dan menguduskan umat

kepada Allah dengan dalil “dalam roh dan kebenaran” oleh kesediaan

dipimpin Roh Kudus. Sementara di dalam sejarah tempat dan waktu

pelaksanaan, peribadahan Gereja yang sempat dilakukan oleh Jemaat Mula-

Mula mengikuti tradisi pada hari Sabat di Bait Allah berangsur diubah di

rumah-rumah secara bergantian pada hari Akhad atau yang dikemudian

42

Richard E. Palmer, Hermuneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 39-42. 43

Brox, A History of the Early Church, 4-5. 44

Arlo D. Duba, W. B. Sidjabat, Asas-Asas Kebaktian Alkitabiah dan Protestan

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 23-39.

Page 12: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

28

waktu disebut pula hari Minggu,45

yaitu hari peringatan akan Yesus yang

hidup dan bangkit dari kematian. Adapun di dalam sejarah perayaan liturgi

oleh Gereja Perdana, pada tradisi hari peribadahan yang baru itu selalu

dilakukan pengajaran para rasul, berdoa bersama, serta makan bersama

(perjamuan agape) maupun memecah-mecahkan roti sebagai perjamuan

Tuhan (ekaristi) untuk mengenang (anamnese) akan pengalaman

penyelamatan Allah pada umat, seperti mandat Yesus sendiri dalam

Perjamuan Malam Paskah menurut tradisi keagamaan Yahudi.46

Pada tradisi reformasi Gereja dasar-dasar penting liturgi di atas ter-

ungkap, khususnya dalam tafsiran teologis atas perkembangan Gereja di

tengah kehidupan politik yang meliputi delapan hal. Pertama adalah dalil

sola scriptura, sehingga sebagai firman Allah maka Alkitab memiliki

otoritas tertinggi di dalam peribadahan Kristen sekaligus merupakan

dokumen liturgis. Kedua adalah Allah Maha Kuasa dan berdaulat penuh atas

kehidupan umat, sehingga di dalam peribadahan umat tidak bisa berliturgi

semena-mena menurut pikiran, keinginan, dan kesenangannya sendiri. Umat

harus bersedia tunduk dan berserah kepada seluruh kehendak yang difirman-

kan Allah (epiklese). Ketiga adalah norma praktik apostolik, sehingga liturgi

pribadahan Kristen mesti mengacu sekaligus memiliki kesesuaian dengan

praktik-praktik dari Jemaat Mula-Mula sewaktu para rasul mengajar.

Keempat adalah pemulihan makna penggunaan waktu secara tepat, sehingga

semua hari dalam seminggu berhubungan dengan sejarah penyelamatan

45

Martasudjita, Liturgi: Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, 51. 46

Brox, A History of the Early Church, 92-93, 100-101.

Page 13: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

29

Allah bagi umat. Karena itu peringatan yang dilakukan tiap hari Minggu

dalam liturgi peribadahan merupakan tindakan umat untuk mengenang

penyelamatan Allah (anamnese). Kelima adalah firman dan perjamuan

kudus sebagai kebaktian normatif, sehingga ibadah sebagai anamnese tidak

bisa mengurangi, menggantikan, bahkan menghilangkan kedua unsur itu.

Keenam adalah bahwa kebaktian sebagai peristiwa persekutuan, sehingga

Gereja tidak bisa menjadi lembaga statis. Gereja harus in transitius, yaitu

lembaga yang bergerak atau hidup dari umat yang mengadakan perziarahan.

Ketujuh adalah pemulihan partisipasi umat, sehingga tata peribadahan tidak

berpusat pada satu pelayan melainkan seluruh umat yang saling melayani

sebagai peristiwa persekutuan dalam satu tubuh Kristus dengan keteraturan

dan penuh rasa hormat. Kedelapan adalah norma pastoral. Artinya sejauh

manakah pengertian dari dasar tata peribadahan yang pertama sampai

ketujuh di atas dapat diterapkan atau dikontekstualisasikan dalam keber-

adaan umat sehingga tujuannya tercapai oleh umat. Karena itu pelaksanaan

liturgi di dalam peribadahan perlu per-timbangan pastoral berdasarkan

persoalan yang ada di tengah kebersamaan umat itu.47

2.2.4. Sejarah dan Perkembangan Liturgi

Kedua tradisi di atas menguatkan keterkaitan tafsir, sejarah, budaya

beserta tradisi suatu masyarakat, sebagai dasar keberadaan liturgi Kristen

yang secara lebih jelas sangat kelihatan pada historisitas dan per-

47

Arlo D. Duba, W. B. Sidjabat, Asas-Asas Kebaktian Alkitabiah dan Protestan

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1980), 23-39.

Page 14: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

30

kembangannya. Pertama kali muncul umat Kristen, liturgi peribadahan

dalam bentuk rumusan khusus dan baku pada dasarnya belum ada. Liturgi

dalam peribadahan Kristen Perdana sesungguhnya mengalir mengikuti

kebiasaan yang telah ada di dalam kehidupan masyarakat sebelumnya, yaitu

tradisi peribadahan Yahudi yang memiliki konteks keberagamaan atau

keimanannya sendiri.48

Dari berbagai konteks keagamaan masyarakat

Yahudi itu sendiri, tampaknya ada tradisi umum dan tradisi khusus yang

menjadi sumber penting dalam kemunculan peribadahan Kristen, yaitu

Paskah dan Baptisan. Paskah merupakan tradisi keagamaan yang umum

bagi masyarakat Yahudi, sedangkan Baptisan merupakan tradisi keagamaan

khusus yang hanya dimiliki dan dilakukan oleh golongan tertentu dalam

masyarakat Yahudi itu.

Dalam suatu kajian, baptisan merupakan ritual yang berasal dari kaum

Esseni untuk orang yang dibaiat sebagai anggota. Sejauh mana hubungan-

nya dengan tradisi yang terdapat pada Kitab Perjanjian Lama, yang pasti

baptisan yang mereka lakukan itu sebagai lambang dari kesucian atau

kemurnian hidup yang menjadi cita-cita dan gerakan mereka di tengah

keprihatinan yang terjadi dalam kehidupan masyarakatnya kala itu.

Karenanya, meski belum bisa di-anggap bagian dari kaum Esseni,

dimungkinkan Yesus (demikian pula Yohanes Pembaptis) memiliki

hubungan dengan kaum Esseni. Sebab dari kehidupan dan karyaNya

memperlihatkan kemiripan dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh kaum itu.

48

Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, 503-527.

Page 15: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

31

Selain baptisan, mereka sangat kuat dalam ritual-ritual kesucian, anti

kekerasan, serta selalu melakukan propaganda tentang Kerajaan Allah dan

pertobatan.49

Pandangan mengenai asal-usul tradisi baptisan tersebut bertentangan

dengan kajian lain yang menganggap berasal dari tradisi Rabbinik. Menurut

pandangan Rabbinik, baptisan yang dijalani setelah sunat adalah untuk men-

jadikan seseorang sebagai bagian dari Umat Perjanjian, seperti pengalaman

yang terjadi pada diri Yesus. Tradisi itu kemudian menjadi lebih khas di

dalam perkembangan Kekristenan sebagai pandangan sektarian yang jauh

terbuka dan mendalam dengan tidak membatasi pada kalangan Yahudi saja

seperti kaum Esseni, ataupun menjadikan seseorang menjadi Yahudi seperti

kaum Rabbinik, tetapi bagi semua orang tanpa melihat syarat asal-usulnya

maupun sunat atau tidak sunat.50

Dan itulah sebabnya, baptisan juga

menjadi bagian yang penting dalam kehidupan Yesus, dan akhirnya diikuti

oleh para murid atau para pengikutNya.

Meskipun berbeda, kedua pandangan asal-usul baptisan tersebut dapat

memberikan gambaran bahwa pada mulanya baptisan sendiri sesungguhnya

merupakan hasil tafsir kelompok-kelompok masyarakat Yahudi yang

mampu mereka terima dan menjadi sebuah tradisi untuk mencapai tujuan

tertentu, yaitu sebagai tanda pengenal sekaligus lambang gagasan cita-cita

iman kemasyarakatan mendasar di tengah keprihatinan atas perubahan

49

John Stambaugh dan David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2008), 91-124. 50

Justin Taylor, Asal-Usul Agama Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 142-150.

Page 16: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

32

kebudayaan dan kehidupan masyarakat yang mereka miliki. Sehubungan

dengan baptisan di dalam Kekristenan, pada intinya juga memiliki dasar-

dasar bangunan penting yang sama. Namun sifat gerakan yang dilambang-

kan dengan baptisan Kristen bertolak belakang dengan kaum Esseni maupun

Rabbinik. Bila pandangan baptisan mereka terbatas bagi tujuan kelompok

atau bangsa mereka sendiri, maka baptisan pada Kekristenan lebih terbuka

bagi semua golongan, masyarakat, maupun bangsa.

Dalam perkembangannya, tradisi Paskah maupun tradisi Baptisan itu

selanjutnya menjadi sumber penting bagi ibadah maupun liturgi umat

Kristen, yang secara mengesankan ditumbuhkan oleh peristiwa yang dijalani

Yesus, mulai dari Perjamuan Malam menjelang hari Paskah, kematianNya

di hari Paskah, maupun kebangkitanNya di hari pertama setelah hari

Sabbath, yaitu hari Akhad. Peristiwa pada hari Akhad itu selalu dijadikan

anamnese bagi umat Kristen dengan perjamuan agape maupun ekaristi serta

baptisan.

Selain kedua tradisi penting di atas, ada kebiasaan-kebiasaan dari

peribadahan Yahudi yang juga diikuti dalam liturgi Kristen.51

Kebiasaan itu

adalah melantunkan Kitab Mazmur, membaca Kitab Suci (Taurat dan Nabi-

Nabi) seperti di Sinagoge dengan diikuti khotbah pengajaran dari para rasul,

dan pada waktu kemudian ditambah dengan membaca Epistel dan Injil,

yang kemudian diakhiri dengan doa bersama.52

Tata urutan peribadahan

untuk mengenang Yesus secara sederhana itu dikenal juga dengan sebutan

51

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 13-14. 52

Brox, A History of the Early Church, 4-5.

Page 17: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

33

liturgi synaxis, yaitu liturgi persekutuan untuk membaca Kitab Suci,

menyanyikan Mazmur, serta berdoa bersama di Sinagoge.53

Namun, yang

membedakan antara liturgi umat Kristen dengan umat Yahudi itu adalah

adanya perjamuan agape, ekaristi, dan baptisan.

Berpijak dari tradisi-tradisi dan kebiasaan-kebiasaan di atas itulah

liturgi peribadahan umat Kristen terbentuk dan berkembang. Meskipun pada

perkembangan masa dan tempat persebaran umat Kristen di luar daerah

bangsa Yahudi begitu pesat dan memiliki keanekaragaman yang khas

karena perjumpaan dengan budaya masyarakat yang baru beserta dengan

perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan mereka, namun inti

liturgi yang memiliki ciri-ciri warisan dari tata tradisi keagamaan orang

Yahudi tetap dipertahankan dan dijadikan isi pokok peribadahan Kristen. Ini

dapat dilihat dalam periode umum perkembangan Gereja dari masa awal

hingga sekarang.

Periode pertama yaitu masa Gereja Perdana. Gereja yang dipimpin

oleh para rasul Yesus Kristus ini melakukan baptisan dan perjamuan dengan

spontan di rumah-rumah mereka secara bergiliran yang disertai dengan

pem-bacaan Kitab Suci dan khotbah pengajaran, menyanyikan puji-pujian,

dan berdoa bersama-sama, seperti liturgi persekutuan di Sinagoge dan

dilakukan pula oleh Yesus sendiri.54

Liturgi Gereja Perdana tersebut awal-

nya berjalan tanpa terikat pada tatanan, tulisan, maupun aturan liturgi

tertentu. Di masing-masing daerah memiliki kekhasannya sendiri-sendiri.

53

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 15. 54

Matius 4:23, Markus 6:2, Lukas 4:16, Yohanes 6:59 LAI.

Page 18: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

34

Ada yang biasa seperti umat Kristen di Yerusalem, namun ada yang kreatif

dalam keikutsertaan umat secara aktif di dalam peribadahan seperti umat

Kristen di Korintus.55

Periode kedua adalah masa Gereja Patriarkhi. Masa ini dikenal juga

sebagai masa para Bapa Gereja, yaitu para pemimpin umat Kristen yang

menjadi penerus Rasul-Rasul Yesus Kristus. Pada masa ini terdapat dua

tahap perkembangan yang mewarnai liturgi dalam peribadahan umat

Kristen. Tahap pertama adalah kehidupan yang sulit. Gereja tidak hanya

menghadapi penolakan yang semakin besar dari masyarakat asalnya tetapi

juga mendapat tekanan politis yang sangat keras dari penguasa Romawi,

maupun pemurtadan dari berbagai kalangan keagamaan yang hidup pada

waktu itu.56

Karena itu, di dalam konteks masa awal tersebut tata

peribadahan umat Kristen bersifat pastoral. Untuk menghadapi tekanan

masyarakat dan agama yang ada di sekitarnya, maupun penganiayaan yang

dilakukan oleh penguasa Romawi, maka Gereja memiliki Didache,

Apologia, ataupun Apostolike Paradosis (Apostolic Tradition) sebagai

tulisan yang digunakan di dalam peribadatan.

Tulisan-tulisan yang digunakan di dalam peribadatan tersebut sudah

menampakkan adanya tata urutan yang tersusun.57

Kebenaran dari keadaan

liturgi pada masa Bapa-Bapa Gereja awal itu dapat dilihat dalam terjemahan

tata peribadahan mereka yang dihimpun oleh Bard Thompson. Pada tulisan-

55

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 17. 56

Th. van Den End, Harta dalam Bejana: Sejarah Gereja Singkat (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 1987), 34-56. 57

Martasudjita, Liturgi, 53-55.

Page 19: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

35

tulisan itu ditemukan bahwa sebelum diadakan ekaristi, terlebih dulu dilaku-

kan pembacaan Kitab Suci dan khotbah atau pengajaran-pengajaran yang

berasal dari para rasul. Sesudah itu dilanjutkan dengan doa oleh umat yang

disusul dengan pengucapan syukur atas roti dan anggur maupun air bagi

ekaristi untuk dibagikan kepada umat. Demikian pula dengan pelaksanaan

baptisan yang dilakukan di tengah peribadahan umat.58

Kesulitan pada masa Bapa-Bapa Gereja awal di atas mengalami per-

kembangan sebagai tahap kedua, yaitu kehidupan yang terbuka di bawah

pengaruh politik kekuasaan pemerintah Romawi. Dengan pamrih dapat

memanfaatkan kesetiaan orang-orang Kristen pada imannya untuk memper-

kuat kesatuan negara, maka pada jaman Kaisar Konstantinus dikeluarkan

edik di Milan untuk menghentikan penindasan terhadap orang-orang Kristen

yang sulit ditekan dan malah cenderung berkembang. Sejak itu Kekristenan

diijinkan tumbuh bebas di kekaisasan Romawi.59

Bahkan pada masa

berikutnya, untuk mengukuhkan tujuan politik tersebut Kaisar Gratianus dan

Kaisar Teodosius menjadikan Kekristenan sebagai agama negara.60

Tahap

perubahan kedua dalam periode perkembangan Gereja ini, berdampak besar

pada kehidupan Gereja, khususnya pada peribadahan umat yang keadaan

dan suasananya sangat berbeda jauh dengan masa-masa sebelumnya. Ketika

Kekristenan masih ditolak dan ditindas, pelaksanaan liturgi peribadahan

umat Kristen penuh dengan suasana kekeluargaan dan sederhana di rumah-

58

Bard Thompson, Liturgies of the Western Church (Philadelphia: Fortress Press,

1982), 4-9. 59

van Den End, Harta dalam Bejana, 57. 60

Martasudjita, Liturgi, 56-57.

Page 20: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

36

rumah, bahkan di katakombe-katakombe, atau tempat-tempat tersembunyi

lainnya. Namun, semenjak diperbolehkan dan akhirnya dijadikan agama

resmi negara, Kekristenan diistimewakan dengan gelar kebangsawanan

ataupun pengangkatan sebagai pejabat negara istimewa bagi para imam

Gereja, bahkan memberikan kedudukan sebagai masyarakat kelas utama

bagi umat Kristen.61

Dampak lain pemberian tempat dan kedudukan

Kekristenan di tengah masya-rakat yang demikian itu mengubah citra

peribadahan yang disebabkan oleh sarana dan prasarana lengkap dari

negara. Pelaksanaan peribadahan menjadi penuh dengan suasana resmi,

hirarkis, serta kemegahan dan mewah ala imperial basilika. Bahkan, di masa

itu mulai muncul liturgi-liturgi untuk aneka tujuan atau keperluan. Misalnya

liturgi peneguhan dan pelantikan para petinggi atau para pejabat negara,

terlebih para pejabat gerejawi yang dengan sendirinya menjadi pejabat

negara, pernikahan, dan lain sebagainya.62

Pola-pola liturgi yang berkembang di dalam peribadahan Kristen pada

masa Gereja Patriarkhi tersebut memiliki penekanan ritual sebagai pen-

dekatan terhadap berbagai perubahan di dalam tata kehidupan baru dan

keagamaan masyarakat Roma waktu itu. Namun demikian, liturgi per-

ibadahan utama yang dilakukan pada tiap hari Minggu dengan inti

pengajaran dan sakramen perjamuan masih tetap memiliki pola ke-

cenderungan dasar yang sama. Ada doa syukur umat yang dilanjutkan

dengan pembacaan Kitab-Kitab Suci Perjanjian Lama maupun Perjanjian

61

Martasudjita, Liturgi, 56-57. 62

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 57-63.

Page 21: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

37

Baru dengan selingan lantunan nyanyian pujian ataupun mazmur sebelum

pengajaran dan doa pengucapan syukur untuk sakramen perjamuan. Hanya

saja, yang membedakan dengan masa sebelumnya adalah peran serta umat

dalam liturgi yang berangsur kurang dibandingkan dengan peran serta kaum

imam yang semakin besar dan menentukan di dalam segala hal.63

Keadaan perkembangan liturgi di atas terus berlanjut pada periode

perkembangan yang ketiga, yaitu masa Gereja Abad-Abad Pertengahan.

Pada periode ini terjadi perubahan besar, yaitu kekuasaan politik Romawi

Barat yang kian surut dan berangsur cepat beralih ke tangan Gereja.

Perubahan itu ditandai dengan kemunculan Papal (Paus) sebagai pemimpin

Gereja tertinggi di wilayah Romawi Barat yang memiliki kewenangan yang

sangat besar di dalam kehidupan umat Kristen maupun masyarakat.64

Pengaruh dari Paus tersebut nampak dalam kehidupan peribadahan umat

dengan banyaknya pemberlakuan Ritus Roma atau Liturgi Roma (yang

sekarang dikenal dengan Liturgi Gereja Katholik) pada Gereja di lingkup

kekuasaannya.65

Namun pemberlakuan liturgi tersebut tidak sepenuhnya

memiliki alasan politis. Semenjak Kekristenan mengalami kebebasan maka

akibat yang kurang menguntungkan adalah banyaknya percobaan-percobaan

liturgi yang dilakukan oleh para uskup maupun abbas sehingga memuncul-

kan ketidakpuasan dan kebingungan umat terhadap pelaksanaan liturgi.66

63

van Olst, Alkitab dan Liturgi, 88-91. 64

Christiaan de Jonge, Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 1987), 60-70. 65

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 77. 66

Martasudjita, Liturgi, 70.

Page 22: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

38

Apapun penyebab kuatnya pengaruh Liturgi Roma yang kian

menyebar di tengah bangsa-bangsa daerah Romawi Barat pada masa

perkembangan Gereja Abad Pertengahan tersebut, yang pasti di dalam

pelaksanaannya nampak ada suasana resmi dan begitu rumit, bahkan khas

dengan bahasa pengantar, yaitu Latin. Selain itu, peran imam menjadi

menonjol dan meng-geser kedudukan umat,67

sehingga terkesan menjadi

penentu peribadahan. Karena itu Ritus Roma disebut juga dengan Liturgi

Klerus. Dengan penggunaan pola yang serba resmi menurut peran para

imam tersebut, umat semakin terasing dari liturgi karena bahasa

pengantarnya maupun pokok-pokok yang ada di dalam tata susunan liturgi

hampir semua dikuasai dan diperankan oleh para imam dengan rumusan

baku, terutama dengan doa.68

Bahkan, di dalam liturgi itu sendiri juga memiliki pemahaman iman

tentang keselamatan yang banyak berkembang secara berjenjang,69

apabila

dibandingkan dengan masa sebelumnya. Keselamatan yang diimani umat

terkesan lebih terjamin melalui roh-roh para tokoh perantara yang

dipandang suci dan mampu menolong (santo dan santa) untuk memperoleh

pengampunan dan pengudusan dari Tuhan. Pergeseran ataupun per-

kembangan tersebut dimungkinkan juga berimbas pada pemahaman dan tata

perlakuan atas lambang-lambang di dalam peribadahan. Roti dan anggur

setelah penyucian dengan doa syukur dan berkat serta pengucapan kata-kata

67

Thompson, Liturgies of the Western Church, 54-91. 68

Martasudjita, Liturgi, 72. 69

Thompson, Liturgies of the Western Church, 54-91.

Page 23: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

39

yang pernah diucapkan oleh Tuhan Yesus sewaktu Perjamuan Malam

Paskah oleh imam diyakini telah menjadi tubuh dan darah Tuhan Yesus

sendiri (hosti). Karena itu, cara penerimaannya tidak boleh sembarangan

dan harus dengan penuh rasa hormat. Hosti harus diletakkan oleh imam

secara langsung pada lidah tiap umat yang berhak menerimanya. Demikian

pula dengan altar, Kitab Suci, bejana roti dan anggur, salib, rosary, hingga

para santo dan santa dengan relik-relik mereka yang dipandang memiliki

daya pengaruh oleh ritual yang dilakukan oleh para imam Gereja.70

Semua

itu memberi kesan kecenderungan untuk memberikan makna keselamatan

umat ditentukan atau diukur oleh tindakan Gereja melalui ritus;71

sehingga

di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus). Penting-

nya ritus di dalam peribadahan itu sekaligus menunjukkan pula adanya

kuasa kaum imam Gereja yang sangat menentukan bagi keselamatan umat.72

Puncak kecenderungan-kecenderungan peribadahan semacam itu menjebak

Gereja dalam sekularisme yang terungkap dengan peristiwa penerbitan surat

penghapusan siksa (indulgensi).73

Sekularisme di tengah Gereja itulah yang mencetuskan periode sejarah

berikutnya, yaitu periode masa Reformasi Gereja.74

Pada periode per-

kembangan Gereja yang keempat ini umat mengadakan perlawanan

terhadap sekularisme yang menyebabkan kesewenang-wenangan para imam

70

van Den End, Harta dalam Bejana, 141-142. 71

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 135. 72

H. Berkhof, I. H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011),

111. 73

Berkhof, Enkklaar, Sejarah Gereja, 114-118, 126-127. 74

van Den End, Harta dalam Bejana, 142.

Page 24: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

40

di berbagai sisi kehidupan, dan mengembalikannya menurut pandangan

yang terdapat pada kehidupan Gereja Perdana. Kedudukan Gereja dan

negara ditempatkan sejajar (iucta positie) sebagai mitra untuk mewujudkan

keselamatan atau membangun kesejahteraan segenap masyarakat. Ajaran

extra ecclesiam nulla salus dengan berbagai tata peribadahan yang ber-

hubungan dengannya diperiksa dan dikembalikan pada asas-asas yang

terdapat pada pandangan Gereja Perdana.75

Salah satu upaya reformasi yang

mendasar untuk memulih-kan kedudukan Gereja maupun umat pada abad

pertengahan menurut tata kebiasaan Gereja Perdana adalah mengembalikan

hak dan tanggung jawab yang melibatkan peran serta umat secara penuh di

dalam sakramen maupun pelayanan firman (pengajaran) dengan meng-

gunakan bahasa setempat yang biasa digunakan umat.76

Salah satu hasil reformasi Gereja di dalam kehidupan peribadahan

umat di atas adalah Liturgi Protestan. Dibandingkan dengan Liturgi Roma,

Liturgi Protestan pada masa-masa awal perkembangannya memperlihatkan

adanya keragaman yang cepat. Salah satunya adalah Liturgi Calvin, yang

hingga perkembangannya di masa kini dipakai juga oleh Gereja Kristen

Jawa. Ada perbedaan yang menjadi kekhasan pandangan reformasi Gereja

di dalam Liturgi Calvin. Pertama, susunan di dalam Liturgi Calvin

dipandang lebih sederhana dibandingkan dengan Liturgi Roma yang

dipenuhi dengan berbagai macam ritual. Sewaktu ibadah di mulai, disampai-

kan salam dan berkat yang didalamnya terkandung makna seruan (votum)

75

van Den End, Harta dalam Bejana, 166-176, 188-191. 76

Berkhof, Enklaar, Sejarah Gereja, 98, 131, 135.

Page 25: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

41

maupun pengakuan pertolongan Tuhan di dalam pelaksanaan ibadah

(adiutorium) yang disambut dengan pujian umat dan dilanjutkan dengan

pengakuan dosa (konfesi). Setelah itu disampaikan berita anugerah

(absolusi) dan petunjuk-petunjuk atau perintah-perintah bagi kehidupan

iman umat yang baru (komandemen) yang disambutan dengan kesanggupan

oleh umat (aklamasi). Selanjutnya umat menghaturkan persembahan syukur

yang terkumpul (kolekta) dan disambung dengan pemberitaan firman

melalui pembacaan Alkitab secara berangkai serta berkesinambungan

(leksio kontinua) maupun penyampaian pengajaran (homili). Pemberitaan

firman itu diteruskan dengan doa permohonan umat (intersesi) maupun doa

sakramen perjamuan, dan pelayanan sakramen (perjamuan ataupun baptis)

menurut rumusan serta aturan yang berlaku. Namun bagi yang tidak

melaksanakan sakramen tiap Minggu, maka peribadahan dapat langsung

ditutup dengan pengucapan rumusan pengakuan iman (kredo) dan

penyampaian berkat (benediksi) sewaktu hendak pembubaran dalam

perutusan (dismissi). Kesederhanaan tersebut diyakini memiliki dasar pada

Kitab Suci maupun kebiasaan Gereja Kuno.77

Kedua, Liturgi Calvin tidak

mengistimewakan ritual sebagaimana terdapat di dalam Liturgi Roma,

melainkan pemberitaan firman yang diuraikan dalam ajaran berdasarkan

rangkaian pembacaan kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru

dan Injil secara berkesinambungan bersama dengan perutusan yang

diteguhkan dalam berkat. Ketiga, roti dan anggur Perjamuan Kudus yang

77

Thompson, Liturgies of the Western Church, 185-224.

Page 26: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

42

diletakkan di atas meja perjamuan dipandang bukan penjelmaan kurban

Yesus Kristus di atas altar untuk penebusan yang bisa diulang-ulang

sebagaimana pengertian yang ada pada Liturgi Roma, melainkan sebagai

tanda dan pengingat bagi setiap orang percaya yang ikut ambil bagian di

dalam sakramen perjamuan akan karya korban penebusan dosa beserta janji

kehidupan kekal dari Allah di dalam Yesus Kristus. Karena itu, yang

keempat bahwa kelayakan yang memberikan pengudusan umat dihadirat

Allah bukan karena anggur dan roti yang disucikan melalui ritual seperti

yang ada pada Liturgi Roma, melainkan karena kasih karunia yang bekerja

melalui pengujian batin diri setiap pribadi umat yang hendak mengambil

bagian di dalam sakramen perjamuan sebagai disiplin kehidupan iman.

Adapun yang terakhir, kelima adalah doa-doa umat untuk kesejahteraan atau

keselamatan tidak untuk para suci ataupun melalui mereka kepada Tuhan

seperti yang terdapat di dalam Liturgi Roma, tetapi merupakan permohonan

langsung kepada Tuhan agar memberikan berkat dan pertolongan kepada

negara dan para memimpinnya supaya dapat menjalankan tanggung jawab

menurut tugas-tugas mereka, serta kepada gereja dan umat agar bisa

menjalankan kehidupan yang baik menurut ajaran iman yang benar oleh

ketaatan.78

Segala sesuatu yang ada di dalam periode perkembangan Gereja pada

masa Reformasi Gereja di atas, apabila dicermati melalui perbandingan

yang terdapat pada periode sebelumnya, ada pola maju pada jamannya yang

78

Thompson, Liturgies of the Western Church, 185-224.

Page 27: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

43

digunakan sebagai pendekatan untuk mewujudkan pemahaman keselamatan

di dalam kehidupan umat, yaitu pola pendidikan atau pengajaran. Cara yang

dimiliki umat pada masa ini dipandang memiliki hubungan dengan budaya

yang sedang menonjol saat itu, yaitu Renaisance yang berpegang pada

pemikiran akan kesadaran diri manusia sebagai tindakan kritis dan ilmiah,

serta Barok yang menekankan kebebasan manusia untuk mengungkapkan

kemampuan diri sebagai hak asasinya.79

Periode terakhir di dalam perkembangan Gereja hingga saat ini adalah

masa Pasca Reformasi Gereja. Sebutan ini memang belum baku. Apabila

menggunakan istilah Rasid, maka istilah untuk menyebut masa tersebut

adalah jaman modern. Sebutan itu berpijak pada perkembangan Gereja pada

abad ke-20 dengan keterbukaan yang luas terhadap berbagai sisi yang

menjadi kehidupan umat di dunia ini.80

Namun terkait dengan perhatian

yang kian terbuka pada jaman tersebut, Martasudjita memberikan sebutan

lain, yaitu jaman pembaruan hingga abad ke-20. Dasarnya adalah gerakan

yang telah dimulai semenjak reformasi Gereja melalui Konsili Trente dan

berpuncak pada Konsili Vatikan II, di mana Gereja semakin membuka diri

terhadap umat dalam keikutsertaan mereka di tengah peribadahan selaras

dengan sisi-sisi dan pergumulan nyata dari umat saat ini.81

Apapun sebutan-

nya, masa-masa tersebut adalah masa yang memiliki hubungan erat dan

memang merupakan kelanjutan dari masa reformasi Gereja. Karena itu di

79

van Olst, Alkitab dan Liturgi, 92-93. 80

Rasid, Pembimbing ke dalam Sejarah Liturgi, 192-193. 81

Martasudjita, Liturgi, 77-96.

Page 28: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

44

dalam periode ini bisa disebut juga sebagai masa Pasca Reformasi Gereja,

atau Jaman Gereja Masa Kini.

Pemahaman akan perubahan di dalam perkembangan pada masa ini

tidak bisa hanya dihubungkan dengan tindakan yang dilakukan oleh

kalangan Gereja Protestan saja, tetapi juga pada kehidupan Gereja Katholik

(Gereja Romawi Barat). Sebab di antara keduanya sama-sama melakukan

pembaruan. Di antara Gereja Protestan maupun Gereja Katholik pada masa

ini sama-sama berusaha untuk semakin dapat memberikan hak dan tanggung

jawab umat sebagai pengakuan dan pemberian tempat atas peran serta

mereka di dalam tata peribadahan dengan mengacu pada tradisi Gereja

Perdana. Bahkan kesadaran oikumenis beserta dengan pergumulan

masyarakat dan budaya di mana umat tinggal dan hidup di dalamnya juga

semakin mendapat tempat yang penting sebagaimana dikenal adanya

gerakan-gerakan oleh lembaga-lembaga internasional bersama dengan

Dewan Gereja Dunia ataupun kebijakan Vatikan dengan istilah adaptasi,

kontekstualisasi, inkarnasi, inkulturisasi, enkulturisasi, akulturisasi,

indigenesasi (pempribumian), dan lain sebagainya, untuk mendaratkan

teologi bagi liturgi peribadahan umat Kristen itu sendiri.

Pada akhirnya meskipun secara praktis ada persamaan, namun pada

asas keyakinan dan pemahaman yang terungkap lewat pola yang digunakan

untuk mewujudkan keselamatan umat di antara kedua Gereja itu tetap tidak

bisa disamakan. Gereja Katholik masih tetap bertahan dengan pola ritual-

nya, sedangkan Gereja Protestan begitu kuat dengan pendekatan pengajaran-

Page 29: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

45

nya. Pola masing-masing Gereja tersebut sangat nyata dipengaruhi oleh

budaya dan sejarah perkembangan yang terjadi di tengah kehidupan

masyarakat.

2.2.5. Liturgi dan Budaya

Merunut uraian sejarah singkat asal-usul dan bagaimana liturgi Kristen

berkembang dari penjelasan di atas, ada salah satu segi penting yang begitu

berperan di dalam nya, yaitu budaya. Sebagai bagian dari kebudayaan, tata

peribadahan yang merupakan bentuk dari ritual keagamaan itu tidak lepas

dari pengaruh budayanya.82

Seperti dinyatakan oleh Soerjono Soekamto,

bahwa ritual adalah suatu sisi keagamaan yang menjadi salah satu unsur

pokok pembentuk kebudayaan sekelompok orang atau masyarakat sebagai

jalinan erat dan utuh di dalam keberadaan mereka.83

Karena itu pada diri

liturgi bisa pula melekat unsur-unsur lain dari sebuah kebudayaan, seperti

pandangan hidup, bahasa, seni, peralatan, pencaharian masyarakat, maupun

penataan hidup bersama yang dimilikinya.

Selain dari kajian asal usul Paskah dan Baptisan di atas, hubungan

liturgi Kristen dengan budaya dapat dilihat pada tafsir yang menjadi sudut

teologis. Dari sudut teologis Kristen, kematian Yesus Kristus di kayu salib

diyakini sebagai korban penebusan dosa yang sejajar dengan gagasan

tentang domba korban penebusan dan pengudusan umat seperti yang

82

Paul Tillic, Theology of Culture (New York: Oxford University Press, 1959), 47. 83

Soerjono Soekamto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 1990),

191-194.

Page 30: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

46

terdapat di dalam akar keagamaan orang-orang Yahudi,84

seperti dicatat pula

dalam beberapa tulisan-tulisan ayat Kitab Suci Perjanjian Baru.85

Keter-

kaitan itu semakin jelas dengan pengabsahan gagasan dasar pandangan

Kristen melalui penggunaan pustaka-pustaka yang berasal dan yang

digunakan pula oleh Agama Yahudi.

Adapun roti dan anggur sebagai sarana dalam sakramen yang menjadi

lambang gagasan dasar dan pusat peribadahan umat Kristen sendiri juga

menunjukkan wujud kebudayaan Yahudi. Makanan roti dan minuman

anggur adalah pangan olahan orang-orang Yahudi yang banyak dihidangkan

untuk makan pokok keluarga maupun pesta. Keduanya sudah menjadi

kebutuhan yang penting bagi kehidupan orang Yahudi sejak jaman kuno,

termasuk sebagai barang persembahan di dalam upacara keagamaan.86

Beberapa ayat di dalam teks-teks Kitab Suci Perjanjian Lama juga

menyebutkan bahwa roti adalah barang persembahan bakaran yang sama

seperti hewan-hewan korban bakaran. Sedangkan anggur merupakan barang

persembahan curahan sama seperti darah hewan korban bakaran yang

sebelumnya disembelih terlebih dulu dan darahnya dituangkan di atas

korban yang sedang dibakar itu.87

84

Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003),

69-71. 85

Yohanes 1:29, 36, I Korintus 5:7b, Ibrani 9:13-14, I Petrus 1:18-19 LAI. 86

Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, 74-78, 521-526. 87

Keluaran 22:29, 29:40, Imammat 23:13, Bilangan 15:5, 7, 18:27, 28:14, Ulangan

12:17, I Samuel 1:24, Ezra 6:9, Nehemia 10:36-37, 13:5, 12 LAI.

Page 31: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

47

Demikian pula dengan berbagai kelengkapan dan lambang-lambang

yang berkembang di dalam peribadahan hingga sekarang. Pada Kekristenan

awal belum banyak ditemukan lambang yang digunakan di dalam per-

ibadahan ataupun liturginya. Beberapa lambang yang ada pada waktu itu

masih berupa anggur, roti, dan air. Namun dengan berubahnya suasana

keadaan waktu dan persebaran umat Kristen muncullah lambang-lambang

lain, yang salah satu kegunaannya lebih mengarah pada makna tanda

pengenal bagi satuan mereka di tengah lingkungan maupun kedudukan

Kekristenan di dalam masyarakat atau negara, serta penunjuk rangkaian

masa tahunan di dalam almanak tahunan peribadahan.

Sewaktu terjadi tekanan dan tersingkir dari pusat masyarakat Yahudi

maupun kemudian juga di pusat masyarakat Romawi, maka di tengah

Kekristenan lahirlah lambang pengenal untuk melakukan hubungan di

dalam kesatuan umat berbentuk gambar salib jangkar dan ikan.88

Dilihat

dari sudut kebudayaan, keberadaan lambang-lambang itu dimungkinkan

berasal dari budaya masyarakat para mengikut Yesus mula-mula, yaitu

masyarakat pisisir Galilea yang daerahnya dikuasai bangsa Roma, dengan

kehidupan sebagai nelayan.89

Akan tetapi, pada waktu itu semua lambang di

atas belum memiliki hubungan secara langsung di dalam peribadahan

Kristen. Baru setelah jaman yang memberikan keterbukaan makin luas dari

penguasa Roma, maka lambang-lambang tadi mulai masuk di dalam per-

ibadahan dan secara berangsur dijadikan sebagai sarana liturgi. Tidak hanya

88

van Den End, Harta dalam Bejana, 29. 89

Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, 74-78, 521-526.

Page 32: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

48

roti, anggur, dan air saja yang digunakan sebagai lambang di dalam

peribadahan, tetapi mulai terdapat berbagai lambang lain, seperti meja altar,

salib dan relik, pakaian para imam, dupa, gambar-gambar lambang dan

warna-warna masa tahunan almanak Gerejawi, bentuk bangunan dan tata

ruang beserta perabotnya, musik maupun nyanyian ibadah, bahkan tata

gerak tubuh dan tata peran umat di dalam peribadahan. Kemunculan

lambang-lambang itu tidak lepas dari budaya yang ada di lingkup kehidupan

umat, khususnya kebudayaan Romawi dan kebudayaan Yunani.

Yang tidak kalah penting dalam perkembangan liturgi yang ber-

singgungan dengan budaya secara lebih lanjut adalah gagasan keselamatan

yang tidak lagi cukup dalam pribadi Yesus Kristus seperti kepercayaan baku

Kekristenan awal, namun pada akhirnya juga ada pribadi lain yang

dipandang oleh kaum tertentu ikut menentukan, yaitu santo ataupun santa.

Semua perkembangan yang ada di dalam liturgi peribadahan Kristen

tersebut disebabkan adanya pengaruh dari budaya yang dimiliki oleh

masyarakat di mana umat Kristen hidup bertumbuh, yaitu faham Yahudi

Yunani (Hellenistic Judaism) yang khas dengan sisi pengetahuan filsafat

dalam diri kaum Yahudi Diaspora di negeri-negeri daerah Mediteranian, dan

dunia kepercayaan Pagan Yunani Roma (Pagan Roman Hellenistic World)

yang terwujud dalam teologi, pandangan keselamatan dan pemahaman diri

Gereja, maupun tata hubungan yang tersusun di dalam kelembagaan umat.90

90

Brox, A History of the Early Church, 11-15.

Page 33: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

49

Kelekatan liturgi sebagai salah satu wujud tindakan keagamaan

dengan budaya tersebut ditegaskan pula oleh Retnowati. Meskipun agama

merupakan bagian dari kebudayaan, secara sosiologis di antara keduanya

saling berhubungan erat sehingga sulit dipisahkan dan dibedakan perannya

di dalam kehidupan manusia.91

Pada sisi lain, hubungan liturgi sebagai salah

satu sisi agama dengan kebudayaan itu secara khusus juga nampak dalam

kajian Emile Durkheim yang dilakukan dengan pendekatan berdasarkan

kegunaannya. Dari kajian Durkheim ada beberapa kegunaan yang menjadi

hubungan ritual keagamaan dengan kehidupan umat atau masyarakat.

Pertama, ritus yang diungkapkan dengan larangan-larangan (tindakan

negatif) maupun pengorbanan dan persembahan (tindakan positif) pada

dasarnya menyatakan pandangan-pandangan yang menjadi kesadaran

kehidupan bersama (ideologi) dari sekelompok masyarakat sebagai

kenyataan dan pusat keyakinan yang disebut dengan istilah “illahi” atau

yang “sakral”.92

Sehubungan dengan peribadahan Kristen, maka liturgi

dapat dipandang memiliki kegunaan yang sama. Segala sesuatu yang

ditunjukkan maupun yang dipergunakan di dalam liturgi dengan segala

bentuk lambang-lambang ataupun tanda-tanda yang dipertunjukkan akan

selalu mengandung arti atau mengungkapkan makna ideologi yang

ditinggikan dan diimani oleh umat atau Gereja.

91

Retnowati, Agama dan Kebudayaan (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana,

2009), 4-5. 92

Emile Durkheim, The Elementary Form of The Religious Life (Yogyakarta:

IRCiSoD, 2011), 471-585, 497.

Page 34: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

50

Kedua, ritus yang dilakukan oleh umat akan bekerja di dalam pikiran

setiap pribadi sekelompok masyarakat dan memberikan ingatan-ingatan

terhadap pandangan-pandangan dasar sebagai muatan moral kehidupan

melalui peristiwa-peristiwa yang diwujudkan dalam festival dan perayaan

maupun kebiasaan-kebiasaan bersama yang dihadirkan kembali sebagai

upacara-upacara keagamaan.93

Hal sama ada juga di dalam peribadahan

Kristen. Pandangan-pandangan dasar kehidupan iman yang terkandung di

dalam segala sesuatu yang ditunjukkan maupun digunakan pada liturgi

peribadahan umat akan menjadi wahana transformasi nilai-nilai penting bagi

kehidupan moral mereka.

Ketiga, ritus yang dilaksanakan secara terus-menerus dapat

menumbuhkan dan memperkuat ikatan antar anggota solidaritas sekelompok

masyarakat oleh karena nilai-nilai dasar kehidupan yang menjadi moralitas

bersama; demikian pula sebaliknya. Setiap orang yang terus-menrus ada di

dalam upacara-upacara keagamaan akan merasa disatukan sekaligus

disadarkan akan kesatuan yang menjadi kenyataan yang ada di dalam

kehidupan mereka itu.94

Demikian pula dengan pelaksanaan liturgi. Setiap

orang yang senantiasa terlibat di dalamnya akan merasakan ikatan di tengah

kebersamaan umat; atau lebih pasnya adalah bahwa liturgi akan menimbul-

kan suatu ikatan perasaan dan kesadaran yang sama di antara para anggota

umat sendiri.

93

Durkheim, The Elementary Form of The Religious Life, 538-539. 94

Durkheim, The Elementary Form of The Religious Life, 501, 554.

Page 35: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

51

Keempat, di sisi lain ritus juga menjadi wahana peneguhan dan pem-

baruan keberadaan sekelompok masyarakat itu sendiri akan kesatuan

sekaligus hakikat dirinya sebagai bagian yang tidak terpisahkan, melalui

keikutsertaan secara terus-menerus.95

Kenyataan itu juga nampak di dalam

peribadahan Kristen. Ketika umat selalu mengikuti pelaksanaan liturgi,

maka keberadaan mereka akan terjaga dan senantiasa akan bertahan.

Akhirnya, yang kelima bahwa ritus yang dilakukan oleh sekelompok

masyarakat bukan saja berkaitan dengan pemeliharaan akan sejarah

keyakinan di masa lalu ataupun juga dengan tujuan-tujuan beserta dampak

tindakan lahiriah yang hendak dicapai, tetapi sesungguhnya berkaitan

dengan masalah pelestarian jatidiri moral sekelompok masyarakat itu juga.96

Pikiran ini tidak berbeda dengan liturgi peribadahan Kristen yang

sesungguhnya juga menjadi alat untuk mendapatkan dan sekaligus

membangun identitas berdasarkan keyakinan yang menghasilkan nilai-nilai

moral bagi kehidupan bersama dari umat.

Beberapa pokok pandangan kegunaan liturgi dari Durkheim tersebut

pada intinya ada keselarasan dengan faham Calvin. Dalam pandangan

Calvin, liturgi peribadahan Kristen memiliki keterkaitan dengan makna inti

dari sebuah keyakinan maupun nilai-nilainya, yang diungkapkan melalui

seperangkat tata perilaku tertentu beserta dengan tindakan pengeja-

95

Durkheim, The Elementary Form of The Religious Life, 538-539. 96

Durkheim, The Elementary Form of The Religious Life, 533.

Page 36: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

52

wantahannya.97

Pandangan tentang inti iman itu adalah pengalaman umat

akan tindakan penyelamatan Allah yang dinyatakan di dalam kematian dan

kebangkitan Yesus yang disebut Krsitus.98

Sedangkan seperangkat tata peri-

laku dan tindakan pengejawantahannya tersebut adalah kepercayaan Kristen

mendasar yang menjadi sumber nilai-nilai pedoman bagi kehidupan umat

(etika), yang diungkapkan dengan merumuskannya dalam seperangkat

ajaran (dogma), tata aturan (hukum), tata perhimpunan (organisasi), maupun

tata peribadahan (ritus).99

Singkatnya, liturgi adalah salah satu sisi ungkapan keagamaan yang

dinyatakan melalui kebudayaan umat sebagai kesatuan keberadaan hidup

mereka. Karena itu pada hakikatnya di dalam liturgi terdapat suasana dan

keadaan tertentu dan khas atau kontekstual dari kehidupan umat di tengah

masyarakat. Sebab gagasan-gagasan, lambang-lambang dalam wujud benda,

gambar, warna, maupun tata perilaku, aneka piranti sesaji maupun perabot,

bahkan musik dan bentuk bangunan atau tempat yang dipergunakan dan

terangkai untuk menyatakan pandangan dasar yang ditinggikan umat dalam

sebuah liturgi merupakan hasil kebudayaan yang berkembang dalam

suasana dan keadaan kehidupan masyarakatnya.

97

Christiaan de Jonge, Apa Itu Calvinisme? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000),

165-166. 98

Ferguson, Backgrounds of Early Christianity, 582-583. 99

Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama: Inti dan Bentuk Pengalaman

Keagamaan (Jakarta: Rajawali Press, 1992), 147.

Page 37: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

53

2.2.6. Kontekstualisasi Litugi dalam Budaya

Serangkaian kenyataan yang terdapat pada beberapa pembahasan di

atas menjelaskan pula adanya kontekstualisasi liturgi dalam Kekristenan di

tengah budaya di mana umatnya hidup berkomunikasi dan menjalin

hubungan di dalamnya. Dengan kata lain, sesungguhnya terdapat

penyesuaian yang dilakukan oleh Kekristenan terhadap unsur-unsur budaya

di dalam ibadah umat. Sebagaimana diungkapkan pada bagian dasar liturgi,

tindakan itu dibarengi dengan penafsiran-penafsiran untuk memberikan

pemaknaan yang dipandang selaras dengan gagasan di dalam liturgi itu

sendiri. Ada unsur-unsur penting terkait dengan penafsiran dan pemaknaan

di dalam kontekstualisasi. Unsur pertama, kontekstualisasi adalah bukan

sekedar masalah praktis, melainkan praksis sebagai masalah utama, yaitu

bagaimana orang Kristen memahami dirinya di dalam suasana keberadaan

yang nyata dan berwujud. Unsur kedua, kontekstualisasi bukan sekedar

pergantian wujud luar kebudayaan, tetapi isinya sehingga kemasannya mesti

terus dipertahankan atau dapat diubah sesuai dengan wujud yang ada di

dalam kebudayaannya itu. Unsur ketiga, kontekstualisasi terkait dengan

persoalan apakah iman dapat dihayati melalui dan di dalam budaya umat itu

sendiri. Akhirnya, unsur yang keempat, kontekstualisasi juga meliputi

kategori-kategori teologis etis yang bukan sekedar cara penerapan suatu

nilai ataupun pola ke dalam suasana keberadaan setempat, melainkan

apakah nilai ataupun pola tersebut memiliki titik pertemuan dengan

pandangan hidup atau pandangan dunia setempat, sehingga dalam

Page 38: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

54

menyusun teologi yang saling berkaitan penting bagi konteks setempat tidak

mengabaikan tempatnya di tengah universalitas Injil dengan menghindarkan

perasaan inferior terhadap teologi-teologi yang sudah tersusun.100

Unsur-

unsur kontekstualisasi tersebut memiliki persinggungan dengan definisi

teologi kontekstual yang dinyatakan oleh Huang Po Ho, yaitu suatu teologi

yang mengambil konteks, situasi dan kondisi daerah tempat tinggal, sejarah

dan kebudayaan umat di tengah masyarakat sebagai sumber refleksi dan

pengakuan iman, serta untuk membangunan teologi yang dapat membentuk

identitas relevan dengan konteksnya.

Selanjutnya, untuk membuat kontekstualisasi sebuah teologi konteks-

tual secara umum ada empat langkah, yaitu transplantasi, translasi,

partisipasi, dan rekonstruksi. Langkah transplantasi atau pencangkokan,

yaitu upaya memasukkan semua teologi serta pengajaran teologi tradisional

atau Teologi Barat, yang banyak dikuasai oleh para misionaris dalam Gereja

ke suatu tempat, bahkan teologi yang dibentuk oleh negeri mereka.

Kekhasan langkah itu adalah permusuhan dengan budaya pribumi yang

dicap sebagai “berhala”, perlu dihancurkan dan diganti. Langkah translasi

atau penterjemahan ialah tindakan Gereja di suatu tempat tertentu menge-

temukan kebudayaan setempat sebagai alat penafsiran tepat guna.

Penterjemahan Alkitab bagi bahasa-bahasa setempat, komunikasi pokok-

pokok pengertian teologis, dan ungkapan-ungkapan liturgi beserta seluruh

100

Emanuel Gerrit Singgih, Dari Israel ke Asia: Masalah Hubungan Antara

Kontekstualisasi Teologi dengan Interpretasi Alkitabiah (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2012), 8-28, 118-119.

Page 39: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

55

unsur kebudayaan setempat diperlukan sebagai sarana. Sikap Gereja

terhadap kebudayaan setempat bergeser dari menentang kepada

pemanfaatan sebagai alat penterjemahan, pengungkapan, pemakluman.

Meskipun sikap Kekristenan berubah dan kebudayaan setempat dinilai

dengan cara lebih positif, masih saja menerimanya sebagai peran atau

piranti untuk menghubungkan keberadaan pokok-pokok pengertian maupun

isinya, yaitu: kedudukan teologis, pemikiran-pemikiran, serta isi yang tetap

tradisional. Langkah partisipasi atau peran serta yaitu tahap membangun

teologi yang menekankan cara lebih berdaya, dengan melihatnya bukan saja

sebagai perangkat pemikiran ataupun refleksi iman, tetapi merupakan tekat

kuat untuk ikut serta di dalam karya rencana penyelamatan Allah. Pada

langkah ini upaya teologi tidak selamanya menerima kesederhanaan

kebudayaan setempat sungguh-sungguh sebagai alat untuk mengungkapkan,

tetapi harus mengambil sejarah dan kebudayaan setempat sebagai sasaran

dan tujuan teologi agar mendorong Gereja-Gereja maupun orang-orang

Kristen ikut serta dalam missi dan bersaksi, merubah dan membuat

perubahan sejarah maupun kebudayaan masyarakat sehingga Gereja dapat

hidup bersama dan menciptakan kemungkinan bagi umat mengalami karya

penyelamatan Allah. Langkah rekonstruksi atau membangun ulang yaitu

berteologi yang tidak hanya mengambil sejarah dan kebudayaan setempat

sebagai sasaran ataupun tujuan teologi, tetapi juga menjadikan diri teologi

itu sendiri sebagai sasaran serta tujuan pembaruan dan membuat perubahan.

Pada tahap itu Gereja sedang mendapatkan kembali jatidirinya sebagai

Page 40: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

56

Gereja umat setempat, bergumul dengan cara berteologi yang didasarkan

pada sumber-sumber yang dikenal dari konteks kehidupan, sejarah, dan

kebudayaan mereka.101

Langkah-langkah kontekstualisasi tersebut di dalam proses per-

kembangan membangun teologi kontekstual, perwujudannya dapat dilihat

dalam dua bentuk cara pendekatan, yaitu pendekatan indigenisasi dan

pendekatan kontekstualisasi. Pendekatan indigenisasi atau pembribumian

yang disamakan dengan tahap pendekatan translasi adalah pendekatan yang

membawa masuk unsur-unsur kebudayaan setempat untuk menterjemahkan

dan memoles teologi yang mereka terima dari Gereja-Gereja Barat, sehingga

tidak mengubah isi dan inti teologi yang diterima pula dari para missionaris

Barat. Semua teologi itu dihiasi dengan unsur-unsur budaya setempat untuk

pengungkapan dan mengkomunikasikannya secara lebih baik dengan

masyarakat setempat. Pokok-pokok pengertian maupun pemikiran-

pemikiran yang sama dikenali, supaya mencapai tujuan gagasan-gagasan

teologi asal yang luas dengan cara ramah dan menarik hati melalui unsur-

unsur kebudayaan lazim di masyarakat. Adapun pendekatan kontekstualisasi

yang dipandang sebagai cara pewujudan “inkarnasi” Yesus Kristus adalah

pendekatan yang mengharuskan teologi berperan serta dalam konteks, dan

melekat erat dengan lingkungan masyarakat di tempat Gereja hadir.

Pendekatan ini perlu terus dipertajam sesuai dengan perubahan konteks dan

lingkungannya. Karena teologi yang mengakar pada lingkungan sejarah dan

101

Huang Po Ho, No Longer a Stranger, 31-33.

Page 41: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

57

masyarakat, harus dikerjakan dengan tekat semangat ikut serta tak henti di

dalam missi Kekristenan di tengah konteks berwujud.102

Pandangan mengenai cara yang ada di dalam perkembangan liturgi

tersebut juga digagas secara mendalam oleh Anscar J. Chupungco. Menurut-

nya, kontekstualisasi atau penyesuaian yang disertai dengan penafsiran

terhadap unsur-unsur kebudayaan merupakan ciri khas abadi liturgi Kristen

sejak awal keberadaannya hingga sekarang. Dimulai dari tindakan Yesus

yang meninjau dan memberi arah pemikiran baru terhadap ajaran maupun

adat Yahudi serta mengilhaminya dengan misteri ke-Messias-anNya melalui

lambang perjamuan Paskah, maka dari waktu ke waktu penyesuaian liturgi

beserta pemaknaan terhadap berbagai bentuk kebudayaan dilakukan juga

oleh para penerus atau Gereja hingga sekarang selaras dengan lingkungan

kehidupannya.103

Penafsiran yang dimaksud adalah pendekatan terhadap sejarah liturgi

yang senantiasa mengalami perubahan pelahan-lahan agar umat di dalam

kehidupan peribadahannya dapat menemukan sejumlah hubungan maupun

kesinambungan perkembangan bentuk-bentuk liturgi. Selain manfaat itu,

pendekatan penyesuaian berguna juga untuk melihat bentuk-bentuk liturgi

asli supaya mendapatkan kemurnian tafsiran terhadap pelaksanaan-

pelaksanaan liturgi yang masih ada hingga sekarang.104

Karena itu konteks-

tualisasi pada liturgi dipandang sebagai perlakuan sekaligus pendekatan

102

Huang Po Ho, No Longer a Stranger, 54-57. 103

Anscar J. Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya (Yogyakarta: Kanisius,

1987), 13-56. 104

Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 13-15.

Page 42: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

58

terhadap kesamaan-kesamaan akan nilai-nilai budaya beserta dengan

bentuk-bentuk kebiasaan di dalam pelaksanaan liturgi untuk menanamkan

gagasan dasar yang dimilikinya.

Sebagai suatu metode, pandangan mengenai kontekstualisasi liturgi

tersebut terjabar ke dalam empat pokok model, yaitu model kompromi,

model adaptasi, model asimilasi, model substitusi. Maksud kompromi atau

pemufakatan adalah upaya kesefahaman karena adanya perbedaan

pandangan terhadap suatu keyakinan yang sulit menyatu demi terwujudnya

keutuhan nilai gagasan utama iman di tengah peribadahan umat. Adapun

adaptasi atau penyelarasan merupakan upaya menanamkan secara

berangsur-angsur ibadah Kristen ke dalam sejarah keselamatan yang

teranyam pada kehidupan manusia di dunia atau budayanya, sehingga

peristiwa yang disaksikan Kitab Suci kembali disadari melalui liturgi, di

mana misteri Kristus hadir di dalamnya. Selanjutnya, yang dimaksud

dengan asimilasi atau pemaduan adalah upaya pendekatan terhadap budaya

dengan menghormati apa yang luhur dan bermanfaat dalam masyarakat

untuk dijadikan sarana yang dapat dipergunakan secara baik di dalam liturgi

melalui pemberian makna baru secara Kristiani. Sedangkan maksud

substitusi atau penggantian adalah upaya pendekatan dengan melakukan

penggantian unsur-unsur budaya yang bertentangan sama sekali dengan

Page 43: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

59

pandangan iman Kristen sedemikian rupa sehingga unsur-unsur itu lenyap

sama sekali melalui gagasan-gagasan yang dipandang sama.105

Kontekstualisasi liturgi terhadap budaya beserta dengan pembedaan

dalam beberapa model di atas tidak bisa dipisahkan dari tiga asas pokok.

Asas pertama adalah hakikat Gereja sebagai kelanjutan dari penjelmaan

Sabda Allah.106

Kecuali dosa, Sang Sabda telah merasuki keadaan manusia

dan mengikat diri dengan sejarah, kebudayaan, tradisi, maupun agama

bangsaNya. Penjelmaan Sang Sabda di dalam daging adalah keberadaanNya

sebagai seorang Yahudi. Sang Sabda menjadi manusia bukan sekedar

manusia tanpa identitas, tetapi manusia tertentu dengan ciri-ciri khas bangsa

di tempatNya hadir. Dia mewarisi kecenderungan kodrati, ciri-ciri khas,

bakal spiritualitas dan cara mengungkapkan diri yang khas Yahudi. Sejarah

penjelmaan menuntut Dia menyamakan diri dengan bangsaNya dalam hati

dan budi, dalam daging dan darah. Asas ini membuka pengertian bahwa

dengan tidak membatasi lingkup penjelmaan Sang Sabda sebagai manusia,

pandangan semacam itu menjamin universalitas Kristus dan InjilNya.

Dengan kenyataan bahwa Sang Sabda menjelma menjadi seorang Yahudi,

memberikan jaminan dalam kebangkitanNya yang dapat menjelma dalam

setiap bangsa dan kebudayaan melalui iman Gereja dan perayaan

misteriNya. Dengan demikian perluasan penjelmaan Gereja di berbagai

suku bangsa dan kebudayaan akan merupakan perluasan dari universalitas

Kristus. Karena itu, penyesuaian bukan masalah mana suka, melainkan

105

Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 15-51. 106

Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 75-80.

Page 44: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

60

keharusan teologis yang timbul dari tuntutan misteri inkarnasi. Gereja tidak

dapat tetap menjadi “orang asing” di tengah suatu bangsa dengan siapa dia

hidup, tetapi harus menjadi anak bangsa itu. Dengan memandang bahwa

pewahyuan Kristen tetap memiliki keunggulan atas segala ciptaan manusia,

maka perwujudannya harus ditemukan pada unsur pribumi yang dapat

memperjelas amanat liturgi. Namun, jika menemui keadaan pelik, Gereja

harus memiliki alasan teologis yang kuat untuk bisa mengakomodasi

tuntutan iman di dalam liturgi sehingga liturgi tidak menjadi asing bagi

setiap kebudayaan secara khas melalui susunan, bahasa, ataupun lambang-

lambang, tanpa harus kehilangan isi dasarnya.

Asas yang kedua, adalah liturgi sebagai penghormatan atas keagungan

Illahi, yang pada hakikatnya di dalam liturgi terdapat wujud pertemuan

pribadi dengan Allah sebagai hal yang utama.107

Sebabnya adalah di dalam

liturgi sesungguhnya terdapat makna pendidikan (kateketis), di mana Allah

berbicara kepada umatNya, dan di situ pulalah Kristus senantiasa mewarta-

kan InjilNya dalam misteri Paskah yang menjadikan liturgi sebagai

pewartaan iman resmi dari Gereja. Singkatnya, pusat peribadahan Kristen

adalah Sabda Allah, yang di dalamnya Kristus menjadi inti liturgi yang

tidak bisa digantikan oleh pikiran atau ideologi manusia. Namun demikian

kedalaman penyesuaian liturgi tetap dapat diukur dengan penggunaan

bahasa yang mencerminkan pikiran umat, sehingga penggunaan lambang-

lambang dan corak pribumi dapat membantu menciptakan suasana pribumi

107

Chupungco, Penyesuaian Liturgi dalam Budaya, 81-93.

Page 45: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

61

dan menjelaskan maksud-maksud tanda liturgis. Selama Gereja mengguna-

kan bahasa asing yang pola pikir dan ekspresinya asing pula bagi umat,

semua usaha untuk mengadakan penyesuaian tetapi terasa dibuat-buat.

Asas ketiga adalah tuntutan kultural untuk membuat liturgi siap

dipakai dan memiliki hubungan yang penting bagi setiap kebudayaan yang

di dalam-nya mengandung keseluruhan nilai manusiawi, keseluruhan tradisi

beserta upacara kemasyarakatan maupun keagamaan, keseluruhan pola

pengungkapan yang semuanya berakar di dalam sifat-sifat khas suatu

bangsa melalui cara berpikir, berbahasa, berkesenian, maupun kreasi batin

secara spontan terhadap kenyataan kehidupan yang tengah terjadi, serta

perilaku yang mengungkapkan kepekaan intelektual, emosional, dan

tindakan atau aksi. Namun, penyesuaian liturgi tidak berarti kembali ke

cara-cara hidup primitif atau yang telah ditinggalkan, maupun dalam arti

melakukan pendekatan futuristik atau mengambil bentuk-bentuk budaya

yang sedang dalam proses asimilasi. Kontekstualisasi selalu terkait dengan

nilai dan tradisi yang telah baku, yang telah membentuk kehidupan agama,

keluarga, kemasyarakatan serta nasional bangsa dalam waktu cukup lama

hingga mapan. Karena itu yang harus dicari di dalam peribadahan adalah

unsur kebudayaan yang sudah mantap, yang sungguh-sungguh diakui oleh

bangsa itu sebagai miliknya sendiri, dan dapat diresapi melalui bahasa

ataupun upacara mereka.

Page 46: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

62

2.3. Budaya Jawa

Telah dinyatakan di dalam batasan istilah pada Bab I, bahwa yang

dimaksud dengan budaya Jawa adalah seperangkat pikiran dan tindakan atau

perilaku dari masyarakat yang memiliki faham Jawa, beserta dengan segala

wujud maupun hasilnya. Faham Jawa disebut juga Kêjawén, yaitu

pandangan kehidupan yang didasarkan pada pokok pengertian keselarasan

(harmoni) antara kenyataan jagad gêdhe (makro kosmos) dengan jagad cilìk

(mikro kosmos) sebagai asas keberadaan dan keselamatan hidup orang

Jawa.108

Jagad gêdhe adalah seluruh kenyataan yang ada di alam semesta,

dan jagad cilìk adalah kenyataan diri pribadi seseorang sebagai manusia

yang keberadaan hidupnya merupakan bagian tidak terpisahkan dan

berkaitan erat dengan kenyataan yang ada di alam semesta itu. Kedua jagad

itu pada dasarnya satu kesatuan sebagai keteraturan. Penyimpangan salah

satu dari jagad itu akan berpengaruh pada keberadaan jagad yang lainnya,

dan entah besar atau kecil pasti akan menimbulkan kekacauan atau kaos

yang mengakibatkan mala-petaka, derita, dan akhirnya sirna. Karena itu

jagad gêdhe dan jagad cilìk harus selalu selaras, dijaga hubungannya secara

harmonis agar terpelihara dan senantiasa tercipta kehidupan, dengan istilah

māmayu hayunìng bawânâ (ikut memelihara keindahan dunia semesta).

Apapun wujud dan keadaan di tengah dunia ini telah ditetapkan (pinêsthi)

dan semuanya sudah ditata oleh Tuhan (Hyang). Masing-masing memiliki

kedudukan serta daya guna yang saling berhubungan dan tidak bisa

108

Yana, Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa, 18-21.

Page 47: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

63

ditiadakan. Seperti diungkapkan oleh Niels Mulder bahwa dalam

kepercayaan orang Jawa, kehidupan di dunia sesungguhnya merupakan

bagian dari kesatuan keberadaan segala sesuatu dengan berbagai peristiwa

yang telah terjadi bukan sebagai kebetulan, tetapi sudah dirancang dan

ditentukan oleh Hyang Maha Esa, Sang Pencipta kehidupan (Hyang

Suksma) dan Asal-Usul (sumber awal kejadian dan tempat kembalinya)

semua ciptaan dalam hubungan tertata dan saling melengkapi secara

bertingkat (dari sifat lahiriah hingga batiniah) dan penuh rahasia.109

2.3.1. Faham Kebudayaan Jawa di Tengah Perubahan

Sejak jaman kuno hingga sekarang kebudayaan Jawa sendiri memiliki

wujud dan hasil yang senantiasa berkembang. Hal itu disebabkan oleh ber-

bagai pengaruh dari dalam dan dari luar masyarakatnya yang bersifat

langsung kelihatan (fisik) maupun tidak langsung kelihatan (non fisik).

Dalam kajian Koentjaraningrat ada dua sisi yang berpengaruh dalam

rangkaian peristiwa perkembangan kebudayaan faham Jawa. Pengaruh

pertama adalah kedudukan alam maupun keadaannya, seperti tempat tinggal

penduduk Jawa yang terletak di jajaran kepulauan laut wilayah katulistiwa

dengan masyarakat pesisir berpencaharian nelayan ataupun dagang, dan

masyarakat pedalaman yang berpencaharian petani dengan tanah subur di

lingkungan pegunungan maupun gunung-gunung berapi. Keadaan alam ini

memiliki pengaruh pada keper-cayaan orang-orang Jawa terhadap kuasa-

109

Niels Mulder, Individual and Society in Java: A Cultural Analysis (Yogyakarta:

Gajah Mada University Press, 1989), 5-6.

Page 48: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

64

kuasa roh-roh maupun kekuatan-kekuatan alam yang diyakini memiliki

hubungan dan berpengaruh terhadap kelangsungan kehidupan manusia.110

Misalnya kepercayaan tentang Déwi Sri terkait kesuburan di tengah

masyarakat petani yang ada di Jawa. Nama lain dari Dewi Laksmi yang

dikenal sebagai lambang kesuburan keturunan bagi manusia bersama

dengan pasangannya Sang Dewa Wisnu tersebut diyakini juga menjadi

lambang kekuatan alam atas kesuburan tanah dan pertanian dalam wujud

bulir-bulir padi yang bernas, sebagai sarana kesejahteraan atau keselamatan

manusia dan alam.111

Kepercayaan itu terdapat kesejajaran dengan

kepercayaan terhadap Déwi Lanjar, sang penguasa Laut Utara (Laut Jawa)

yang memiliki hubungan dengan dunia perdagangan dan kemakmuran

berupa kekayaan di tengah kepercayaan masyarakat pesisir. Selain

kesuburan dan kemakmuran, ada pula kepercayaan tentang Kanjêng Ratu

Kidûl (Déwi Gilang Kêncânâ), Sang Ratu Penguasa Laut Selatan (Samudra

Hindia) yang sosoknya sering diwakili sang Maha Patih bernama Déwi Sri

Kaditâ (Nyai Rârâ Kidûl) dalam menyatakan diri pada orang-orang dan raja-

raja Jawa. Sosok-sosok itu dipercaya berhubungan dengan perlindungan,

keamanan, dan ketentraman kerajaan di Jawa.112

Pokok pengertian tentang

kepercayaan terhadap Sang Ratu itu juga mirip dengan kepercayaan

terhadap Nyai Endang Jwiri alias Nyai Selâ Gilang, Sang Penguasa Gunung

110

Koentjoroningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 35-47. 111

Philip van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus: Sebuah Kajian Tentang Gereja

Pribumi di Jawa Timur (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 16-18. 112

Ch.Masroer Jb., The History of Java: Sejarah Perjumpaan Agama-Agama di

Jawa (Yogyakarta:Ar-Ruzz, 2004), 21.

Page 49: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

65

Merapi yang diyakini memiliki hubungan dengan kekuasaan, keamanan,

dan kejayaan raja Jawa Mataram beserta kerajaannya sehingga sering

diberikan sesaji gunung.113

Adapun pengaruh yang kedua adalah masuknya

kebudayaan-kebudayaan besar dari luar, yaitu kebudayaan Asia Selatan dari

India melalui agama Hindu dan Buddha, kebudayaan Timur Tengah dari

Arab melalui agama Islam, serta kebudayaan Barat dari Eropa melalui

agama Kristen. Singkatnya, pengaruh kebudayaan-kebudayaan besar dari

luar tersebut terjelma di dalam pandangan-pandangan mistik Jawa yang

hidup secara kuat di lingkungan kāratôn (kaum priyayi), kehidupan kaum

abangan dan santri dalam menjalani tata aturan agama (syari’at), serta

ajaran-ajaran kêbatinan sebagai filosofi sekaligus dasar etika yang berlaku

di kalangan masyarakat Jawa.114

Dengan kata lain, wujud perkembangan

faham Jawa di tengah perubahan yang terjadi dalam masyarakatnya itu tidak

bisa hilang, bahkan akhirnya terjema dalam tiga wujud kelompok

perjumpaan budaya, yaitu priyayi, santri, dan abangan. Kenyataan itu

dibuktikan dengan sikap ketiga kelompok golongan tadi dalam memeluk

agama-agama yang secara resmi diakui oleh Pemerintah Negara Kesatuan

Republik Indonesia, khususnya agama Hindu, Buddha, Islam, Kristen

Katholik, dan Kristen Protestan. Meskipun mereka masing-masing memiliki

pilihan dalam menerima agama-agama resmi tadi, namun baik di kota

113

Soetomo Siswokartono, Filsafat Jawa (Semarang: Kanthil, 2010), 142. 114

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 3-4, 30-64.

Page 50: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

66

apalagi di desa masih banyak di antara mereka yang tetap melaksanakan

rupa-rupa slamêtan, sebagai ungkapan jatidiri manusia (Wông) Jâwâ.115

Walaupun menurut Koentjaraningrat dalam sisi pengaruh yang kedua

tersebut memiliki dampak negatif, khususnya karena proses penjajahan atau

kolonialisasi oleh Bangsa Barat, namun terdapat pula akibat yang positif.

Selain pengenalan terhadap dunia ekonomi industri dan pendidikan modern,

kebudayaan Barat juga memberikan pengaruh terhadap munculnya ajaran

kebatinan yang bernama Pangestu. Ajaran ini merupakan ajaran dari Raden

Sunarto Mertowardojo yang memadukan faham Kêjawèn dengan ajaran

Trinitas di dalam Kekeristenan.116

Singkatnya, faham budaya Jawa di tengah perubahan masyarakat sejak

jaman kuno hingga sekarang memang mengalami perkembangan sebagai

dampak perjumpaan dengan dunia kehidupan yang merupakan konteks, baik

dengan alam maupun budaya luar. Namun, semua perkembangan yang

terjadi itu merupakan penampilan luar yang dihasilkan dari penggunaan cara

pencam-puran nilai-nilai kehidupan luar yang diterima karena dianggap

sejajar dengan nilai-nilai kehidupan diri orang Jawa sendiri. Tanpa harus

terlalu banyak mempertimbangkan kemurnian teologis, para kaum Jawa

cenderung mengacu pada tata jalinan etika yang sama, maupun pada

pandangan-pandangan tentang hubungan pribadi dengan masyarakat yang

115

Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa (Jakarta: Inti Idayu Press, 1984), 17-

25. 116

Suwarno Imam S., Konsep Tuhan, Manusia, Mistik dalam Berbagai Kebatinan

Jawa (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), 50-52.

Page 51: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

67

dapat diperbandingkan dan mampu dipahami secara penuh dengan khasanah

keberadaan Kêjawén.117

Tampilan luar yang menjadi wujud berkembangan di atas tidak berarti

mengubah inti faham budaya Jawa. Meskipun pada perkembangan saat ini

ada tiga kelompok golongan masyarakat yang terbingkai pula dalam

penganut agama-agama resmi dari luar, akan tetapi dengan kuat ataupun

longgar mereka tetap memperlihatkan kehidupan yang diistilahkan oleh

Mulder sebagai “kejawaan” mereka.118

Wujud “kejawaan” itu berupa

perilaku-perilaku pribadi maupun bermasyarakat dalam bentuk tindakan dan

karya harmoni ataupun upacara-upacara slamêtan sebagai ungkapan

kepercayaan sesuai dengan cara pandang mereka. Cara bertindak pribadi

ataupun masyarakat Jawa itu disebut pula dengan istilah perilaku hybrid

interconnectedness, yaitu tindakan yang dihasilkan dari persilangan untuk

mengatasi ketegangan karena berbagai nilai kebudayaan dan peradaban

berbeda yang saling bertemu.119

2.3.2. Perwujudan Faham Kebudayaan Jawa

Kenyataan perkembangan faham Jawa di atas memiliki beberapa

perwujudan. Pertama, sikap dan tata perilaku orang Jawa. Ada banyak sikap

dan tata perilaku orang Jawa dan selalu sarat dengan makna keselarasan.

Beberapa di antaranya yang sering dinampakkan adalah têpâ salirâ (segala

117

Mulder, Individual and Society in Java, 4. 118

Mulder, Individual and Society in Java, 1. 119

Sondong Mandali, Ngelmu Urip: Bawarasa Kawruh Kejawen (Semarang:

Yayasan Sekar Jagad, 2010), 28.

Page 52: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

68

sesuatu diterapkan pada diri pribadi), êmpan papan (segala sesuatu disesuai-

kan dengan tempatnya), narimâ ìng pandûm (menerima segala sesuatu yang

menjadi bagian hidup), pasrah sumarah (berserah dan mempercayakan

hidup sepenuhnya), sabar (tidak gampang marah dan bertindak sembrono),

âjâ duméh (jangan mentang-mentang), samadyâ (jangan berlebihan berbuat

segala sesuatu). Semua itu harus dilakukan dengan sikap rasa penuh hormat

(ngajéni) kepada sesama dan dirinya karena elìng (selalu sadar dalam segala

hal) dan waspâdâ (hati-hati dan penuh pertimbangan cermat). Tindakan etis

orang Jawa itu oleh Mulder disebut tingkah laku perorangan sebagai moral

yang didasar-kan pada sikap nrimâ, sabar, wâspâdâ, elìng, andhap asôr,

dan prasâjâ. Kemampuan di dalam mewujudkan tindakan itu dianggap

perbuatan hidup yang benar. Sebaliknya, pelanggaran terhadap etika itu

merupakan penyimpangan atau perbuatan hidup yang salah, mengganggu

dan merusak tata keseimbangan alam dan kehidupan dunia.120

Tanpa sikap

rasa hormat maka perbuatan seseorang akan menimbulkan berbagai macam

kekacauan dan kerusakan.121

Kedua, pandangan diri orang Jawa tentang manusia dan keyakinannya

akan Tuhan. Oleh orang Jawa, Tuhan disebut Sang Hyang, atau Gûsti

(Tuan), Pangeran (Papan pangéngéran: tempat mengabdi dan berbakti).

Tuhan itu sumber mula dan tujuan akhir dari segala sesuatu yang tercipta

(sangkan paranìng dumadi), termasuk manusia. PribadiNya adalah Maha

120

Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa (Jakarta: Gramedia,

1984), 22-23. 121

Fachry Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern (Jakarta:

Gramedia, 1986), 16.

Page 53: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

69

Tinggi, Maha Agung, dan Maha Mulia, sehingga dengan pengetahuan

manusia biasa tidak bisa atau sulit dipahami secara tepat, namun keber-

adaanNya dapat dirasakan (Gûsti tan kênâ kinirâ-kirâ, aywâ tan kenâ kinâyâ

ngâpâ, ngìng bisâ rinâsâ: Tuhan tidak bisa direka-reka dengan pikiran

manusia juga tidak bisa diupamakan atau disamakan dengan apapun, namun

kenyataan akan keberadaanNya bisa dirasakan). Kenyataan itu bisa ada di

mana-mana (Gûsti iku dumunûng ìng ngêndi papan, anéng sirâ ugâ ânâ

Gûsti: Tuhan itu ada di mana pun tempatnya melalui daya kekuatan yang

bersifat animis maupun dinamis, di dalam dirimu (manusia) juga ada

Tuhan). Pandangan yang diungkapkan oleh Yana pada dasarnya menegas-

kan pula penjelasan Masroer tentang kepercayaan asli dan khas orang Jawa,

yaitu agama bercorak animis dan dinamis yang dipandang menjadi

penyebab mistisme Jawa berdasarkan gagasan pokok mikro kosmos dan

makro kosmos. Dalam penjelasan itu, Gûsti yang merupakan kenyataan

mutlak tanpa batas cenderung dihayati secara imanen dalam wujud

kehadiran, bahkan bisa melebur dalam diri manusia, demikian juga dalam

wujud roh-roh, makhluk-makhluk halus, maupun benda-benda kasat mata

dengan kekuatan gaib.122

Dengan rasa itulah pemahaman Tuhan yang tidak

mudah menjadi unik. Tuhan yang tak tersentuh dan seakan jauh, tetapi pada

satu sisi terasa sangat dekat; bahkan menyatu dalam kehidupan diri manusia

(Gûsti iku adôh tanpâ wangénan, cêdhak tanpâ senggôlan: Tuhan itu jauh,

tetapi tidak berjarak; namun dekat, meski tidak bisa tersentuh). Kenyataan

122

Masroer, The History of Java, 19-20.

Page 54: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

70

keberadaan Tuhan yang ada di mana-mana dan bisa dirasa secara demikian

unik itu dimengerti pula sebagai Hyang Maha Tahu (Gûsti tan nate klilapan

marang jalmâ titah, Gûsti Mâhâ Pìrsâ. Panjenengane ora sare: Tuhan tidak

pernah lepas perhatian kepada makhluk ciptaanNya, Tuhan itu Maha Tahu.

Dia tidak tertidur atau lengah). Inti dari kepercayaan itu adalah bahwa

Tuhan Maha Kuasa (Hyang Wenang/Kewâsâ), Sang Pencipta jagad raya

beserta kehidupan, yang keberadaanNya dekat dengan manusia itu merupa-

kan Pemilik, Sumber dan Kiblat, serta Pemelihara dan Pengatur seluruh

ciptaan (Pangréhìng jagad serta Pangrêksanìng titah), termasuk manusia

(réh-réhan) yang harus menurut (nggugu) dan taat (mituhu) tanpa

menentang (tan kenâ suwâlâ) terhadap semua ketetapanNya agar beroleh

kehidupan yang selamat secara lahir maupun batin dalam kesatuan jiwanya

dengan Tuhan sebagai pengetahuan tertinggi dan sempurna (kawrûh jati).

Ketiga, bentuk kemasyarakatan orang Jawa yang saling berjalinan di

dalam tata susunan kehidupan bersama. Pola kemasyarakatan itu merupakan

penerapan dari pokok pengertian keselarasan jagad gêdhe dengan jagad

cilìk, yang terjelma dalam kasta dan sebutannya, yaitu Gûsti (tuan, untuk

raja) ataupun bāndârâ (untuk bangsawan) dan kawulâ (abdi), priyayi

(bangsawan) dan abdi (hamba), wông luhur/gêdhe (golongan atas atau

terkemuka) dan wông cilìk (golongan rendah jelata), dan lain sebagainya.

Sebutan-sebutan tersebut menunjukkan kedudukan dan peran dari tiap-tiap

golongan yang memiliki keterkaitan penting sebagai penata (pangréh) yang

lekat dengan lambang kêrìs (piranti senjata atau pusaka, sekaligus lambang

Page 55: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

71

kekuatan, kekuasaan, ataupun pemerintah), dan pelaksana (réh-réhan) yang

lekat dengan pacûl (piranti bekerja, sekaligus lambang rakyat, hamba, atau-

pun pekerja) sebagai upaya pelestarian tatanan bagi kelangsungan hidup

bersama. Pemahaman lambang pemimpin dan rakyat semakin jelas dengan

keterangan Suwardi Endraswara, bahwa pada masa lalu kêrìs memang

dijadikan lambang sekaligus keabsahan seorang raja dan pembesar kerajaan,

serta para kesatria yang memberikan kesan kebesaran dan keagungan.

Adapun alat pertanian menjadi lambang rakyat.123

Keterkaitan penting

antara golongan satu dengan golongan yang lainnya itu dilakukan dengan

suatu cara hubungan berdasarkan tataran-tataran dalam “unggah-unggûh”

yang terdapat pada perilaku dan bahasa Jawa. Tataran-tataran hubungan itu

merupakan tata aturan dan diterima dalam bentuk keyakinan-keyakinan

sebagai pêpêsthi (ketetapan) atau kārsane Gûsti (kehendak Tuhan) yang

harus dijalani dengan sikap narimâ ìng pandûm dan ngajéni secara penuh

(erìng: segan). Sikap tersebut menjadi pendorong bagi orang Jawa untuk

selalu menyesuaikan dirinya dengan jalan têpâ sālirâ dan êmpan papan,

agar selalu ada kelestarian (slamêt). Pokok pengertian tersebut bisa dilihat

dalam kepemimpinan para raja Jawa yang merupakan lambang keberadaan

Tuhan dengan sebutan titisan dewa (Bāthârâ) ataupun Gûsti dengan rakyat

yang diperintah agar negara dapat tetap berdiri dan sejahtera.

123

Suwardi Endraswara, Buku Pintar Budaya Jawa: Mutiara Adiluhung Orang Jawa

(Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2005), 315.

Page 56: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

72

Keempat, tata bangunan rumah dan kāratôn yang menjadi pusat

sekaligus gambaran keselarasan yang antara jagad gêdhe dengan jagad cilìk.

Seperti tepat di tengah kāratôn Jawa Mataram selalu ada gêdhông

(bangunan) sitinggìl (siti inggil: permukaan tanah atau tempat dan ruang

yang paling tinggi) sebagai tempat raja melakukan sāmádi (mengheningkan

cipta) untuk berhubungan dan beroleh petunjuk (wangsìt) maupun daya

kemampuan (sakti) dari Sang Hyang dalam menjalankan pemerintahan.

Depan gêdhông sitinggìl ada tempat sewâkâ (menghadap) pada raja

sekaligus tempat pertemuan raja dengan para pejabat bawahannya yang

disebut bale agûng untuk merembuk pemerintahan dan menyatakan

petunjuk dari Tuhan agar dijalankan oleh rakyat ataupun pengikutnya di

seluruh penjuru negeri dengan lambang wilayah kekuasaan dalam

bangunan-bangunan rumah yang dirancang menggunakan pokok pengertian

kiblat papat, limâ pancêr (keempat penjuru, yang kelima pusatnya) alias

empat arah mata penjuru dunia di sekeliling istana yang adalah pusatnya.

Pokok pengertian itu oleh Durkheim dan Mauss diistilah mâncâpat, yaitu

pola pengelompokan sekaligus penggabungan dengan beberapa daerah

kekuasaan untuk mengatur kepentingan bersama.124

Pola demikian itu

sebagai gambaran letak kedudukan pada keempat penjuru mata angin

dengan satu tempat di tengah yang merupakan pusatnya.125

Semua ditata

sedemikian rupa sebagai keseimbangan bagi keseluruhan hidup. Lebih unik

lagi falsafah kibtat papat limâ pancêr sebagai keseimbangan kehidupan

124

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, 431-432. 125

van Akkeren, Dewi Sri dan Kristus, 9-13.

Page 57: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

73

semesta tersebut juga terjelma dalam warna dan corak beserta perpaduannya

pada kain atau pakaian, yang melambangkan unsur-unsur dan sifat-sifat

alam di dalam kehidupan.126

Kelima, karya seni khususnya dari lingkup kāratôn yang tidak bisa

dilepaskan pula dari makna keserasian kehidupan di tengah masyarakat

Jawa. Ada beberapa karya seni yang secara kuat mengungkapkan pandangan

kehidupan masyarakat Jawa, yaitu wayang, bêksâ (tari), gêndhìng (musik),

dan senjata pusaka. Wayang artinya bayangan, yaitu seni pertunjukan

cerminan (bayangan) kehidupan dalam bentuk kisah sandiwara yang

memberikan wêjangan etika agar manusia hidup serasi dengan sesama dan

alam lingkungannya melalui peraga tiruan ataupun oleh orang secara

langsung sebagai para lakôn (pelaku). Dalam filsafat Jawa, wayang itu

merupakan piwucal (pengajaran) tentang kehidupan manusia yang dibagi

dalam tiga bagian penting (pathêt), yaitu pathêt nêm, pathêt sângâ, pathêt

manyurâ yang melambangkan tahapan hidup dari masa anak-anak, muda

dan dewasa, hingga tua.127

Berikutnya adalah bêksâ (tari), yaitu seni per-

tunjukkan gerak tubuh yang terarah penuh makna dalam irama secara

harmoni untuk mengungkapkan suatu kiasan alam dan kehidupan. Tari

sebagai salah satu bentuk seni pertunjukkan memiliki tiga kegunaan utama,

yaitu untuk: (1) sarana ritual, (2) ungkapan pribadi bagi kesenangan atau

hiburan, dan (3) pengungkapan rasa yang bermakna keindahan. Di

126

Apika Nurani Sulistyati, “Kiblat Papat Lima Pancer: Sebagai Media Refleksi

dalam Wujud Karya Tekstil,” (Skripsi, Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, 2009),

4-6, 17, 25. 127

Soetomo, Filsafat Jawa, 83-84.

Page 58: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

74

lingkungan kehidupan adat masyarakat Jawa tari lebih bersifat ritual,

sehingga dipercaya memiliki sisi keramat dan pelaksanaannya selalu

berhubungan dengan upacara kepercayaan.128

Misalnya Tari Wayang Maha

Baratha dan Tari Ramayana untuk pemujaan Dewa Wishnu yang menjelma

dalam diri raja berkuasa, Tari Bêdâyâ dan Tari Srimpi untuk menghadirkan

sosok kekuatan adikodrat (yaitu: Kanjêng Ratu Kidûl) pelindung kerajaan

beserta raja dan segenap ketentraman rakyatnya, Tari Gambyông untuk

menyambut tamu kehormatan raja, Tari Tayûb untuk upacara pernikahan

maupun upacara pertanian, dan lain sebagainya. Seni gerak itu umumnya

juga tidak terpisahkan dari seperangakat alat musik (gamêlan: peralatan

musik yang dimainkan secara harmoni) beserta dengan nyanyian (kidûng)

pengiringnya. Suryo Pugiarto menjelaskan bahwa gamêlan dan têmbang

(kidûng) merupakan musik (gêndhìng) Jawa yang selalu serempak berpadu

sebagai keselarasan dalam laras (irama) pelôg (nada mayor Jawa) maupun

laras slendro (nada minor Jawa).129

Menurut pandangan mistik ter-dapat

kekuatan “supra-natual” di dalam tarian tertentu maupun gamêlan dan

kidûng yang dilantunkan, sehingga tidak boleh diperlakukan dan dimainkan

secara sembarangan. Irama gamêlan maupun kidûng itu merupakan mantra

sastra (suara yang memiliki daya kekuatan gaib yang berpengaruh terhadap

manusia dan kehidupan sekitarnya apabila dilantunkan).130

Selain itu ada

128

R. M. Soedarsono, Seni Pertunjukkan Indonesia di Era Globalisasi (Yogyakarta:

Gadah Mada University Press, 2002), 123-126, 140-148. 129

Suryo Pugiarto, Sugeng Dambaan Masyarakat Jawa Berwawasan Integral:

Sebuah Langkah Awal dalam Memperteguh Jati Diri (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), 37. 130

Sondong, Ngelmu Urip, 122-124.

Page 59: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

75

senjata pusaka, yaitu piranti untuk membela diri ataupun melumpuh musuh.

Di antara senjata yang banyak dimiliki oleh orang Jawa, kêrìs merupakan

salah satu senjata andalan (piyandêl), yang dipandang menjadi lambang

kewibawaan, kekuatan atau kesaktian, kekuasaan, dan pemerintahan yang

berpengaruh terhadap kesejahteraan orang yang cocok menyandangnya atau

menjadi pasangannya, seperti ungkapan bersatunya kêrìs itu sendiri dengan

wrângkâ (wadah kêrìs), yaitu curigâ manjíng wrângkâ yang melambangkan

keserasian hidup antara jagad gêdhe dengan jagad cilìk. Kêrìs dan wrângkâ

merupakan satu kesatuan yang kegunaannya saling berhubungan satu sama

lain. Keduanya memiliki makna lambang hubungan erat dan menyatu untuk

mencapai keharmonisan hidup di dunia, yang disejajarkan dengan pokok

pengertian manunggalìng kawulâ lan Gûsti.131

Kawula atau manusia di-

gambarkan dengan wrângkâ, adapun Gusti atau raja digambarkan dengan

kêrìs yang dipercaya memiliki daya sakti dan mesti bertempat di dalam

wrângkâ.132

Karena itu, masing-masing harus saling menghormati dan tahu

diri untuk melakukan bagian pekerjaan serta tugasnya.

Keenam adalah upacara kepercayaan yang telah menjadi adat di

tengah kehidupan masyarakat Jawa. Upacara itu dilakukan untuk memuja

roh-roh yang menjadi wujud kekuatan akan keberadaan Tuhan dan diyakini

memiliki pengaruh pada kesejahteraan hidup manusia. Istilah Jawa untuk

pemujaan itu disebut slamêtan, yang pada pokoknya meliputi beberapa

bentuk.

131

Fachry, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern, 30-31. 132

Endraswara, Buku Pintar Budaya Jawa, 321-322.

Page 60: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

76

a. Pertama slamêtan tolak bâlâ yang diadakan untuk menangkal bencana

alam maupun wabah (pagêblûg), seperti: gempa, gunung meletus,

banjir, hama, penyakit, termasuk gangguan roh jahat, dan lain

sebagainya.

b. Kedua slamêtan ruwatan yang dilakukan untuk membuang kesialan,

nasib buruk, maupun kutukan, seperti: ngêthôk kuncûng dan ngêthôk

bajang (memotong rambut panjang kuncir atau rambut panjang gimbal

agar seorang anak tidak sering sakit-sakitan), metri desâ (bersìh desâ:

memelihara kebersihan desa agar warga tidak kena pagêblûg, ataupun

gangguan-gangguan lain), dan lain sebagainya.

c. Ketiga slamêtan di masa tahap kehidupan seseorang, seperti: nyidham

(tanda keberadaan jabang bayi di dalam kandungan), mandhêkìng (usia

kandungan tiga bulan dan lima bulan), tingkêban (usia kandungan

tujuh bulan), brôkôhan (kelahiran), muyén (mêlékan: tidak tidur untuk

menjaga bayi yang baru lahir dari gangguan Si Kâlâ, selama sāpasar),

puputan (hilangnya tali puser sang bayi pada usia sāpasar: lima hari,

dan dilakukan kêrìk: cukur kêrôk rambut bayi), jênêngan atau

selapanan (memberi nama bayi pada usia sālapan: tigapuluh lima

hari), têdhak siti (saat bayi diturunkan ke tanah pada usia tujuh bulan

untuk belajar berjalan), têtakan (remaja laki-laki akil balik yang

ditandai dengan sunat) atau têtêsan (remaja perempuan akil balik yang

ditandai dengan sunat atau pangûr: meratakan gigi dengan tatah dan

batu ungkal), kumbôkarnan (persiapan menikah bagi calon mempelai

Page 61: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

77

pria) atau midôdari (persiapan menikah bagi calon mempelai wanita),

rabi (menikah), gêblagan (kematian) yang terdiri dari nêlûngdinâ (sûr

tanah: peringatan hari ketiga pada orang yang meninggal), mitûngdinâ

(peringatan hari ketujuh orang yang meninggal), matangpulûhdinâ

(peringatan hari keempatpuluh orang yang meninggal), nyatûsdinâ

(peringantan hari keseratus orang yang meninggal), mêndhak pisan

(peringatan satu tahun orang yang meninggal), mêndhak pindho

(ndhagêl: peringatan dua tahun orang yang meninggal), nguwisi

(menyudahi: peringatan orang yang meninggal kurang lebih seribu

hari (nyéwu dinâ), karena arwahnya dianggap telah menjadi sempurna

dan kembali kepada Tuhan).

d. Keempat slamêtan untuk kehidupan pencaharian yang dilakukan agar

sumber perekonomian tetap terjaga dan tidak kekurangan, seperti:

Labûh (menggarap sawah mulai dari mengolah tanah, menabur benih

padi sampai menanam dan merawatnya), wiwìt (memanen padi yang

dihasil-kan dari kesuburan tanah olahan), tumpak lumbûng (menaikan

untaian-untaian padi yang dipanen dan sudah dikeringkan ke dalam

lumbung untuk disimpan sebagai persediaan bahan pangan). Selain itu

ada pula slamêtan sêdêkah bumi (memberi sesaji pada Hyang, Sang

Penguasa bumi atau tanah agar selalu memberikan kesuburan tanah

dan pertanian), slamêtan sêdêkah laût (memberi sesaji pada Hyang,

Sang Penguasa laut agar memberi kelimpahan hasil laut).

Page 62: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

78

e. Kelima slamêtan harian yang dilakukan untuk menghormati dan

menghindari gangguan pada anggota keluarga oleh roh-roh sêsêpûh,

sekaligus mendapatkan perlindungan ataupun pertolongan dari

mereka. Wujud upacaranya adalah memberi sesaji makanan yang

dikhususkan (mintâ dhaharan) yang diambil dari sedikit olahan

makanan untuk keluarga pada hari itu, dan diletakkan di dalam kamar

atau ruangan (sênthông) yang sering dipakai oleh sesepuh sewaktu

masih hidup sambil memanjatkan doa atau permohonan.

f. Keenam slamêtan khajatan kāratôn yang dilakukan untuk meng-

kukuhkan kekuasaan kerajaan, seperti: tingalan ndalêm (peringatan

kelahiran yang mulia raja), jumênêngan ndalêm (peneguhan dan

peringatan naik tahta yang mulia raja), jamasan (pembasuhan) pusaka

kerajaan, surânan (Tahun Baru Jawa dalam nuansa Islam), grêbêg

gunungan (sedekah kāratôn bagi rakyat), dan lain sebagainya.

2.3.3. Tata Susunan Upacara Kepercayaan Jawa

Berbagai macam upacara di atas memiliki pokok bagian penting yang

pada umumnya sama, yaitu: pemberian sesaji dengan rapal rumusan mantra

kepada roh-roh leluhur ataupun Sang Hyang. Sesaji itu sendiri sebenarnya

adalah wujud dari bantên (korban atau persembahan), berupa makhluk

hidup yang disembelih ataupun makanan yang diolah, maupun benda-benda

tertentu yang dipercaya diinginkan oleh sang sosok adikodrat. Korban itu

dimaksud-kan sebagai sarana pemujaan dan ucapan syukur, namun juga bisa

Page 63: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

79

sebagai sarana pengganti atau penebus kesalahan atau penyimpangan

disengaja maupun tidak sengaja terhadap ketentuan hidup yang telah

digariskan oleh Sang Hyang sehingga membatalkan petaka yang bakal

ditimbulkan. Agar semua sarana itu diterima, perlu dihantarkan melalui

pengucapan mantra. Karena penghantarnya adalah mantra, maka diangap

tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Mantra itu harus diucapkan oleh

orang mumpuni dalam berhubungan dengan pribadi maha agung dan

berkuasa itu. Contohnya pemberian sesaji ketika hendak panen padi (wiwít)

berupa nasi tumpeng putih kecil dengan puncak cabai merah (lômbôk

abang) dan bawang merah (brambang) ditusuk jadi satu. Ada pula air putih

dalam kêndhi dan íngkûng (ayam yang disembelih dimasak utuh), ditambah

telur rebus dan pelas kangsén (larva lebah madu), atau aneka masakan

lainnya. Persembahan itu dibagi menjadi lima bagian untuk diletakkan di

keempat sudut sawah (sebagai lambang hormat pada empat saudara yang tak

terlihat, yaitu sêdulûr kawah/ketuban, ari-ari/placenta, gêtíh/darah, pusêr/

usus pusar; turunan dari pokok pengertian kiblat papat limâ pancêr dengan

berbagai lambang serta makna keseimbangan alam semesta), dan yang satu

lagi di tengah depan sesepuh pemimpin slamêtan yang membawa kembang

dan membakar dupa kemenyan sambil merapalkan mantra pujian dan

syukur kepada sang maha agung yang sering dikenal dengan sebutan Déwi

Sri, karena telah memberi keselamatan tanaman padi hingga dapat dituai.

Akhir menghantarkan sesaji itu, sang sesepuh menuangkan air dari kêndhi

ke atas tanaman padi dan memotong beberapa untai tanaman rumpun siap

Page 64: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

80

panen itu menjadi dua ikatan sebagai pêngantén padi yang melambangkan

Déwi Sri dan Radén Sri Sadânâ. Lambang itu kemudian diserahkan kepada

pemilik sawah supaya diarak dan ditempatkan (disimpan) di lumbung, yang

akhirnya digunakan sebagai bagian dari calon bibit di waktu selanjutnya.

Cara bersesaji tersebut pada intinya sama dengan aneka upacara slamêtan

yang lainnya. Hanya isi mantra yang diucap-kanlah yang berbeda karena

maksud dan tujuan masing-masing.

Selesai melafalkan mantra penghantar sesaji disampaikanlah ujûb,

yaitu maksud dan tujuan slamêtan yang diselenggarakan. Agar ujûb itu

dapat mengena dengan baik dalam pemahaman khalayak yang hadir, maka

yang menyampaikan biasanya juga sesepuh. Sebab maksud dan tujuan itu

tergambar dalam lambang-lambang yang disebut ubârampe (kelengkapan

persyaratan). Seperti dalam upacara wiwít tadi, sesepuh akan mengartikan

lambang dari nasi tumpeng putih dengan puncak brambang dan lômbôk

abang. Nasi tumpeng putih adalah lambang gunung tempat maha tinggi

serta bersemayamnya Sang Hyang yang disembah, sekaligus sebagai

lambang alam dan kehidupan maupun asal usul segala ciptaan (sangkang

paraning dumadi), yaitu jagad gêdhe dan jagad cilík yang dilambangkan

juga dengan gambar gunungan atau kayôn dalam peraga wayang pûrwâ

(wayang kulit) yang memberi kehidupan dan berkat kesejahteraan.133

Alamlah yang menjadi kesuburan serta tempat tumbuh tanaman kebutuhan

pokok. Karena itu setiap orang harus ingat muliakan Sang Pencipta dan

133

Agus Purwoko, Gunungan: Nilai-Nilai Filsafat Jawa (Yogyakarta: Graha Ilmu,

2012), 26, 30-31.

Page 65: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

81

bersyukur atas kemurahanNya dengan menjaga serta mendayagunakan alam

secara seimbang menurut ketentuan hidup bersama. Brambang serta lômbôk

abang adalah panah yang melambangkan manah (hati) sebagai pusat cipta,

rasa, dan karsa atau tempat têtimbangan (pertimbangan nalar dan budi)

dalam ungkapan permainan singkatan di akhir suku kata: bram+ mbang

(animbang). Kedua jenis bumbu itu sering diringkas hanya lômbôk abang

saja sebagai gambaran kêris yang melambangkan makna keutuhan pribadi

manusia yang harus tahu dan dapat menempatkan diri dalam tata kehidupan

semesta.134

Lambang-lambang itu berisi peringatan dan ajaran supaya

manusia dapat menjaga dan mendayagunakan kehidupan beserta hasilnya

secara seimbang dengan menggunakan cipta, rasa, dan karsa (pertimbangan

batin) dalam karya kebenaran bagi keseimbangan atau kesejahteraan ber-

sama. Adapun íngkûng dan air putih yang dikucurkan pada rumpun padi

merupakan lambang tangan menyembah atau sikap dan tindakan berdoa

(manêkûng, sebagaimana kedua sayap íngkûng (singkatan kata Híngsûn

Hamanêkûng: aku memusatkan keinginan dengan bersembah) yang dirapat-

kan jadi satu) sebagai dasar bekerja dan akhirnya layak merasa tenang

(sirêp: hilang kegundahan dalam penantian hasil karya, dan menjadi asrêp:

dingin dan tenang dengan lambang siraman air putih dari kêndhi) karena

akhirnya beroleh hasil. Pesan yang disampaikan dari lambang-lambang itu

adalah manusia tidak boleh lepas dan melupakan Tuhan, Sumber kehidupan

di dalam semua karya tindakannya melalui doa harapan sehingga beroleh

134

Ragil Pamungkas, Mengenal Keris: Senjata Magis Masyarakat Jawa (Yogya-

karta: Narasi, 2007), 44-45.

Page 66: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

82

hasil dan ketenangan. Demikian pula dengan telur rebus dan pelas kangsén.

Keduanya merupakan satu kesatuan makna. Lambang telur bermakna wiji

dadi (benih utuh berisi), sama dengan biji padi (las) siap panen yang antêpe

(bobotnya) penuh berisi (kang ânâ isén-isénane) dalam lambang permainan

kata berwujud makanan: pe + las dan kang + sén. Sebagai wiji dadi, maka

bulir-bulir itu merupakan benih yang hidup, sekaligus memberikan

kehidupan. Ajaran dari lambang-lambang itu adalah bahwa dengan berkat

pemberian Tuhan Maha Murah dalam karya pekerjaan dan hasilnya, pada

akhirnya demi kelestarian (keseimbangan yang berkesinambungan) hidup

maka manusia harus dapat mewujudkan keutamaan dengan menunjukkan isi

kemampuan hidupnya yang berguna bagi sesamaan dan alam, seperti butir

telur yang bisa menetas (nêtês) dan bulir padi bernas (mêntês).

Tahap pelaksanaan upacara slamêtan selanjutnya adalah pemanjatan

doa permohonan berkat keselamatan kepada Tuhan atau sang sosok

adikodrat. Umumnya sesepuh akan memanjatkan doa bersifat umum,

seperti kerukunan keluarga maupun keluarga dengan masyarakat. Kesehatan

keluarga agar giat bekerja sehingga beroleh penghasilan yang cukup, dan

terhindar dari petaka. Demikian pula untuk kelestarian keluarga dengan

anak dan keturunan yang banyak, mereka selalu menghormati orang tua,

sesepuh, dan leluhur. Pada akhirnya seisi keluarga supaya selalu ingat pada

Gûsti Kang Akaryâ Uríp (Tuhan yang menjadikan hidup dan kehidupan).

Seluruh doa itu arahnya pada keseimbangan sebagai keselamatan dalam

Page 67: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

83

kehidupan manusia, yang disahut oleh keluarga empunya sawah maupun

segenap hadirin dengan kata: kasêmbadanânâ (terkabullah), atau amin.

Pada akhirnya, jalannya upacara slamêtan ditutup dengan membagi

makanan slamêtan (bancaan) untuk dinikmati bersama para hadirin maupun

orang-orang di sekitar tempat tinggal sang empunya kerja, atau dibawa

pulang ke rumah masing-masing dengan gembira bersama. Bancaan yang

sering disebut juga dengan pajatan atau kenduri itu berisikan masakan nasi

putih, lauk (telur rebus, ikan asin (gêréh) péthék, daging ayam), sayuran

kuluban (dedaunan hijau yang direbus, seperti bayam atau kangkung,

kacang panjang beserta kecambah kacang hijau) dibumbu gudangan

(sambal kelapa yang dicampur rata dengan kuluban), dan aneka jajan pasar.

Apabila dimakan bersama di tempat sang empunya kerja, maka bancaan

tadi dihidangkan bersama dengan banyu tâwâ (air murni atau air putih tanpa

rasa).

Namun, upacara kepercayaan tersebut dipercaya akan dapat dialami

daya pengaruhnya bila penyelenggara juga menyertainya dengan tindakan

(laku) sesuai ketentuan yang disampaikan, baik dalam bentuk pitutûr

(petunjuk) lugas maupun gugôn tuhôn (ajaran dalam bentuk mitos sebagai

lambang-lambang agar digugu dan dituhôni). Dalam contoh lain, ketika

orang yang telah melakukan upacara slamêtan pada masa nyidham tidak

boleh menyematkan bunga maupun sisir di kepala, ataupun mengenakan

subang dan cincin. Semua itu dianggap dapat mengganggu atau meng-

hambat pertumbuhan dan kelahiran bayi pada nantinya. Selain itu juga

Page 68: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

84

dilarang makan makanan dari daging sungsang (hewan yang lahirnya keluar

kakinya lebih dulu) dan daging yang menimbulkan rasa panas, daging ikan

pemakan daging dan buas, maupun tidak boleh makan buah-buahan yang

berakibat pada rasa yang sama di tubuh. Ketika makan calon ibu yang

sedang mengandung muda itu tidak boleh berada di depan atau di tengah

pintu, dilarang duduk di lumpang maupun alu (antan), serta cara makan

dengan piring tidak boleh disânggâ (ditopang) tangan supaya calon bayi

tidak dimangsa oleh si Kâlâ (Bāthârâ Kâlâ). Sebaliknya, calon ibu itu harus

rajin minum ramuan cabe lêmpuyang tiap delapan hari sekali pada hari

Rabu atau Sabtu, cuci tangan dan kaki dengan air yang dicampur garam

sewaktu hendak tidur sambil melantunkan rapal pengusir sang Kala:135

Singgah, singgah, Kâlâ singgah! Kang abuntût, kang awulu,

kang ajâthâ, kang asiûng, pâdhâ sirâ suminggahâ! Âjâ wurûk

sudi gawe! Aku wûs wêrûh ajal kamulanirâ. (Menyingkirlah,

menyingkirlah, Marabayaha menyingkirlah! Yang berekor, yang

berbulu, yang berambut, dan yang bertaring, kalian semua

menyingkirlah! Jangan mengganggu! Aku telah mengetahui

rahasia kematianmu).

Makna pitutûr dan gugôn-tuhôn itu adalah kebiasaan yang hati-hati

dan waspada, tertib dan mapan, kebersihan dan sehat, baik dan sopan bagi

para ibu yang sedang mengandung, khususnya di usia kandungan muda. Itu

semua adalah keteraturan dan sikap untuk menjaga atau mengendalikan diri.

135

Siman Widyatmanta, Sikap Gereja Terhadap Budaya dan Adat Istiadat: Sebagai

Sarana Berinteraksi dalam Kehidupan Bermasyarakat (Salatiga: BMGJ, 2007), 65-66.

Page 69: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

85

Apabila dilanggar maka dapat membahayakan bagi keselamatan sang ibu

yang sedang mengandung maupun untuk sang calon bayinya sendiri.

Salah satu pokok penting lain dari tata susunan upacara kepercayaan

Jawa di atas adalah bahwa banyaknya aneka bumbu dan makanan yang

disertai pitutûr maupun gugôn-tuhôn itu merupakan lambang-lambang

penyamar (pasêmôn), sebagai sarana komunikasi efektif bagi orang-orang

Jawa untuk menyampaikan maksud penting dan dianggap memiliki nilai

keramat (sakral). Inilah salah satu tradisi komunikasi orang-orang Jawa

yang disebut tradisi pasêmôn.136

Makna pembelajaran itu diistilahkan oleh

Ronan Hallowell sebagai kearifan kerohanian (spiritual wisdom).137

2.4. Upacara Kepercayaan Jawa Sebagai Liturgi

Tata susunan upacara pemujaan masyarakat Jawa pada Tuhan dengan

berbagai perwujudan di atas, memperlihatkan adanya beberapa unsur

penting. Yang pertama adalah gagasan yang menjadi sumber keyakinan

sebagai landasan perumusan bagi pelaksanaan upacara kepercayaan. Kedua

adalah aneka lambang yang dipergunakan di tengah upacara kepercayaan

untuk menyampaikan gagasan tentang pokok-pokok keyakinan beserta nilai-

nilai kehidupan bersama dan kegunaannya. Sedangkan yang ketiga adalah

keterlibatan orang-orang di dalam upacara kepercayaan yang dilaksanakan.

Itulah keseluruhan tindakan hidup orang Jawa dengan kebudayaannya dalam

136

Sondong, Ngelmu Urip, 173. 137

Ronan Hallowell, “Discernment, Ethics, and Compassion in the Cross-Cultural

Practice of the Native American Sun Dance,” Re Vision: A Journal of Consciousness and

Transformation 32, no. 3 (2012), 87.

Page 70: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

86

mengungkapkan serta menikmati keselamatan terhubung dengan Tuhan

yang memberikan ketetapan hidup serta pertolongan di tengah berbagai

peristiwa atau pengalaman yang dijumpai. Unsur-unsur yang terdapat di

berbagai upacara slamêtan tersebut dalam sudut pandang sosiologi agama

dapat disebut juga sebagai ritual. Seperti dinyatakan White, bahwa ritual

merupakan liturgi peribadahan karena dirumuskan secara khusus dengan

pola-pola (susunan, penampilan, perilaku), tata cara, serta petunjuk-petunjuk

bermakna tertentu.

Dengan pengertian seperti itu, di dalam pelaksanaannya ada tiga

pemahaman slamêtan sebagai liturgi. Yang pertama, sebagai liturgi,

slamêtan merupakan ungkapan kehidupan iman umat dalam aksi atau

kegiatan yang sifatnya seremonial namun juga praksis antara nilai-nilai

rohani dengan jasmani, atau nilai-nilai surgawi dengan duniawi dalam

kehidupan sehari-hari. Yang kedua, sebagai liturgi maka slamêtan

merupakan pancaran dari penyataan Tuhan di dalam wujud dan aneka karya

berkat penyelamatanNya, yang merupakan dasar bagi manusia untuk

menanggapi dalam tindakan yang tertata dan terarah. Sebagai pemahaman

liturgi yang ketiga, slamêtan menjadi wahana sekaligus pewujudan peng-

hayatan akan tujuan keselamatan di dalam kehidupan manusia.

Liturgi berpijak dari langkah hermeneutik sebagai penafsiran peristiwa

penting di dalam pengalaman yang pernah terjadi pada kehidupan umat

yang akhirnya mampu membangun sandaran baru dalam sosok yang

dipandang dan diyakini bersama dapat menjadi jaminan kepastian atau

Page 71: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

87

kemapanan hidup. Sama halnya dengan slamêtan yang dijadikan karena

adanya pemaknaan suatu peristiwa penting dalam pengalaman yang

dijumpai berdasarkan peristiwa yang pernah terjadi pula pada masa lalu di

tengah kehidupan masyarakat. Ketika ada keyakinan pada sosok yang

menjadi jaminan keselamatan maka seseorang akan menjadikannya

sandaran bagi kehidupan dirinya.

Selain langkah hermeneutik, langkah tradisi juga menjadi dasar liturgi

dengan pangkal dalil sejarah, tempat dan waktu pelaksanaan sebagaimana

dibangun dan dirumuskan oleh pendiri maupun penerusnya melalui tafsir

yang diterima sebagai keyakinan bersama, beserta dengan bentuk-bentuk

kegiatan untuk menyampaikan maksud dan tujuan liturgi itu sendiri. Dari

pemahaman tersebut, tampaknya slamêtan tidak memiliki penampilan isi

yang sama persis dengan liturgi. Ketiga pangkal tolak langkah tradisi bagi

liturgi memang ada, dan sebagian besar intinya punya pengertian yang

serupa. Akan tetapi khusus mengenai dalil tempat dan waktu pelaksanaan-

nya, slamêtan tidak begitu mengenal batasan terlalu khusus, seperti liturgi

yang umum dikenal pada Kekristenan. Sebab di dalam slamêtan tempat

pelaksanaannya cenderung langsung berhubungan dengan keberadaan alam

yang telah tersedia, seperti laut, sungai, gunung, hutan, sawah, sumur,

makam, batu dan pohon besar, jalan dan persimpangan-persimpangannya,

rumah empunya hajad slamêtan, dan lain sebagainya. Di tempat-tempat

seperti itu orang Jawa menganggap dan meyakini sudah cukup dan bisa

berhubungan dengan Tuhan ataupun perwujudanNya.

Page 72: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

88

Demikian pula dengan waktu pelaksanaannya. Dibandingkan dengan

liturgi Kristen, slamêtan juga mengenal almanak tahunan, dan sudah khas.

Akan tetapi kesempatan berkumpul untuk melakukan rangkaian kegiatan

khusus secara teratur dalam waktu dekat atau mingguan untuk mengadakan

upacara atau peribadahan dalam jumlah banyak dan bersama-sama pada

umumnya tidak popular. Masyarakat Jawa memiliki hitungan minggu ter-

sendiri, yang disebut pasar atau dibahasakan halus menjadi pêkên (dan

akhirnya muncul istilah pekan). Satu pasar terdiri dari lima hari, yaitu hari

Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage. Meskipun ada sekelompok orang Jawa

menentukan salah satu hari itu untuk waktu berkumpul secara rutin guna

membicarakan kepercayaan, namun pertemuan itu bukan ritual karena

hanya bertukar pikiran akan faham yang menjadi pengetahuan mereka

masing-masing sebagai gêgulang dalam seni lantunan kidung-kidung syair

secara bergantian. Perbedaan itu dikarenakan slamêtan pada umumnya

dilakukan tergantung pada keadaan dan kebutuhan, seperti orang yang selalu

sakit-sakitan perlu ruwatan, serangan hama hebat di sawah kemudian

diadakan mêtri desâ, minta hujan karena musimnya sudah terlambat lama,

musim menggarap sawah sudah tiba maka diadakan labûh, ketika seorang

wanita melahirkan maka diselenggarakan brôkôhan, dan lain sebagainya.

Dasar liturgi selanjutnya adalah langkah teologis yang meliputi

delapan dalil, yaitu: (1) Tulisan Suci yang dipandang memiliki otoritas nilai

kebenaran sebagai Sabda Tuhan di dalam menyatakan kehendakNya atas

manusia di tengah alam dan kehidupannya, (2) Kedaulatan Tuhan sepenuh-

Page 73: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

89

nya atas kehidupan manusia dan ciptaan lainnya, (3) Kebiasaan para

pengikut di awal kelompok kepercayaan sebagai norma praktis, (4) Peng-

hayatan seluruh hari yang dijiwai oleh pengenangan akan karya

penyelamatan Tuhan bagi manusia, (5) Pengajaran perintah Tuhan dan

lambang-lambang tertentu yang disucikan secara khusus sebagai sakramen

untuk acuan dan inti peribadahan, (6) Persekutuan sebagai salah satu wujud

aneka peran dan karya berbeda tetapi satu kesatuan hidup bersama sebagai

tubuh, yang menuntut (7) Peran serta seluruh anggota untuk saling melayani

dalam keteraturan dan rasa hormat, (8) Norma Pastoral sehingga pelaksana-

annya dapat mencapai tujuan sesuai dengan pergumulan keberadaan hidup

yang khas dari umat.

Walaupun ada perbedaan pijakan dan rupa penampilannya, tentu saja

slamêtan juga memiliki unsur-unsur teologis beserta kegunaan yang intinya

sama. Sama-sama bertolak dari nilai-nilai Illahi yang dinyatakan dalam

sejarah kehidupan manusia, orang-orang Jawa meyakini pula adanya

kedudukan kekuasaan sabda kehendak Hyang Kewâsâ secara mutlak atas

kehidupan mereka. Hanya saja, ketentuan dalam wujud kanon seperti

Alkitab tampaknya memang tidak ada pikiran membuat seperti itu. Ada

banyak tulisan-tulisan khas pandangan Jawa yang keberadaannya sangat

jelas dan terjaga hingga sekarang di tengah kalangan tertentu, khususnya

kāratôn. Akan tetapi semuanya tidak memiliki alasan untuk menjadi acuan

kebenaran sahih yang paling diutamakan. Semua memiliki kebenarannya

masing-masing. Karena itu tulisan-tulisan tersebut diakui dan diterima

Page 74: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

90

seluruhnya oleh masyarakat Jawa sebagai himpunan karwûh adi luhûng

(pengetahuan kebenaran yang amat luhur dan tinggi). Kedudukannya bisa

dianggap sejajar ataupun disesuaikan dengan nilai-nilai penerapan yang

dijumpai oleh masyarakat setiap hari sebagai penghayatan. Bila dibanding-

kan dengan keadaan alam dan kekuasaan kepemimpinan masyarakat yang

cenderung nyaman, maka watak batin dinamis dan harmoni yang didukung

oleh daya kekuatan tata jalinan hubungan percakapan membuat orang-orang

Jawa tidak mengalami kesulitan untuk menemukan kebenaran yang menjadi

kehendak Hyang Kewâsâ; termasuk untuk belajar karwûh adi luhûng yang

dapat mereka lakukan dengan nggêguru (berguru). Itulah sebabnya masih

banyak orang Jawa yang suka pada gêgulang, pitutûr, bahkan percaya pula

pada gugôn tuhôn yang turun-temurun dari para leluhur yang diwejangkan

oleh para sesepuh dan kaum cendekia, dengan penerimaan seperti percaya

pada raja atau pendeta yang mewakili Tuhan dalam falsafah: sabdâ

pāndhitâ-ratu, tan kênâ wola-wali (perkataan raja adalah sabda Tuhan

karena dia wakilNya, sehingga tidak patut diulangi, seakan ada kesalahan).

Kemutlakkan tersebut sekaligus juga menjadi dasar salah satu sisi

etika yang menekankan ketaatan penuh terhadap kekuasaan Sang Pencipta,

tunduk pada segenap ketetapanNya dalam tanggung jawab yang diberikan

kepada masing-masing orang dengan saling menjaga untuk keselarasan

hidup. Hanya saja, barang-barang ataupun kegiatan tertentu yang disucikan

secara khusus dan dibakukan sebagai lambang-lambang sarana peneguhan

dan pemeliharaan keselamatan sebagai sakramen yang menjadi pusat

Page 75: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

91

berliturgi juga tidak mungkin disamakan dalam slamêtan. Sebagaimana roti,

anggur, serta air yang dipakai sebagai lambang-lambang sakramen yang

menjadi inti liturgi pada umumnya telah diakui menjadi milik Kekristenan

khas yang sesungguhnya berasal dari budaya tertentu, maka slamêtan juga

memiliki wujud khas menurut budaya Jawa dengan tujuan seperti itu. Dalam

ritual Jawa yang selalu dikenal adalah tumpêng lengkap dengan ìngkûng dan

banyu tâwâ untuk diterima dan dimakan atau diminum bersama, maupun

banyu kêmbang yang kegunaannya sering dipercikkan atau disiramkan

untuk mandi. Semua itu sarat dengan makna penebusan, pensucian,

pembersihan, peresmian, pengenangan, serta kebersamaan, menurut

pemahaman yang akrab diterima dan dilaksanakan masyarakat Jawa sendiri.

Jadi pada intinya, menurut pengertian etimologi, definisi, beserta

dasar-dasar slamêtan, upacara kepercayaan Jawa itu sesungguhnya merupa-

kan liturgi, bahkan liturgi yang kontekstual karena kekhasannya. Sebalik-

nya, sebuah liturgi pada hakikatnya merupakan ungkapan keyakinan yang

kontekstual pula, karena pada proses kemunculan maupun perkembangan-

nya tersusun oleh berbagai latar belakang kehidupan yang menjadi peng-

alaman dan pemahaman di dalam keyakinan atau bangunan teologi manusia

beserta unsur-unsur budaya yang membentuknya. Dengan kata lain,

slamêtan itu sendiri sebenarnya juga merupakan teologi kontekstual

masyarakat Jawa.

Page 76: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

92

2.5. Liturgi Kontekstual Jawa dan Teologi Kontekstual Jawa

Uraian tata susunan upacara kepercayaan Jawa di atas pada intinya

memiliki urut-urutan sebagai berikut: (1) Pemberian sesaji kepada Hyang

Kewâsâ untuk memuji, mengucap syukur, ataupun tebusan atas kesalahan

dari pihak manusia. (2) Penyampaian ujûb kepada khalayak. (3) Pemanjatan

doa permohonan berkat bagi yang sedang menjalani slamêtan. (4) Pem-

bagian bancaan untuk dinikmati bersama. Meskipun di dalam persiapannya

cukup rumit karena banyaknya barang-barang kebutuhan yang harus di-

sediakan sebagai syarat (ubârampe) sangat beragam, akan tetapi di dalam

pelaksanaannya upacara itu sesungguhnya sederhana dan khas.

Namun kekhasan slamêtan sebagai liturgi kontekstual Jawa tidak

hanya sebatas tampilan-tampilan luar. Meminjam istilah Huang Po Ho dan

Sedmak, berbagai tampilan luar liturgi Jawa itu merupakan cerminan

keyakinan (teologi) maupun berkeyakinan (berteologi) yang bersifat

kontekstual sebagai hal yang paling pokok. Seperti dinyatakan di dalam Bab

I, teologi kontekstual adalah teologi yang mengambil konteks, situasi dan

kondisi daerah tempat tinggal, sejarah dan kebudayaan umat di tengah

masyarakat sebagai sumber refleksi dan pengakuan iman, serta untuk

membangunan teologi yang dapat membentuk identitas relevan dengan

konteksnya.138

Sedangkan berteologi kontekstual yang oleh Sedmak disebut

juga berteologi lokal adalah teologi yang dihasilkan dari perhatian penuh

pada suasana keadaan-keadaan khusus dalam kehidupan manusia di ling-

138

Huang Po Ho, No Longer a Stranger, 13.

Page 77: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

93

kungan sekitar di bumi ini dan berhubungan penting dengan budaya tertentu

di manapun, di sini dan saat ini yang meliputi politik, ekonomi, maupun

spiritual.139

Karena itu kekhasan pokok dari liturgi upacara kepercayaan

Jawa tadi adalah inti teologi ataupun berteologinya.

Teologi khas yang menjadi sumber tata susunan upacara kepercayaan

Jawa sudah cukup jelas diterangkan dalam bagian sebelumnya tentang

faham dan berbagai wujudnya. Pada intinya orang Jawa mengimani bahwa

Tuhan itu ada. Dia adalah Sang Pencipta Maha Kuasa dan Maha Suci yang

memiliki hakikat transenden, dan sebagai sosok hakiki itu mampu ber-

imanensi dalam rupa profan (Gûsti tan kênâ kinirâ-kirâ, aywâ tan kenâ

kinâyâ ngâpâ, ngìng bisâ rinâsâ; Gûsti iku dumunûng ìng ngêndi papan,

anéng sirâ ugâ ânâ Gûsti). Meminjam istilah M. Sastrapratedja, asas faham

kebudayaan Jawa itu disebut juga sebagai teologi kodrati (teologi naturalis),

yaitu teologi yang mengajarkan tentang Allah yang keberadaanNya dapat

diketahui dengan akal budi manusiawi melalui barang-barang atau benda-

benda ciptaan. Dalam hubungan DiriNya dengan manusia dan demikian

pula sebaliknya, keberadaanNya tidak dibatasi oleh pewahyuan saja.140

Itulah mengapa liturgi kontekstual Jawa secara lahiriah nampak berkiblat

pada alam, seperti laut, sungai, gunung, hutan, sawah maupun ladang,

benda-benda yang dianggap bertuah atau memiliki kekuatan gaib, dan lain

sebagainya. Sebab wahana itu memiliki kedekatan dengan kehidupan sehari-

139

Clemens Sedmak, Doing Local Theology: A Guide for Artisans of a New

Humanity (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2006), 3-4. 140

M. Sastrapratedja, Allah Sebagai Dasar Ada: Filsafat dan Teologi Paul Tillich

(Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma, 2001), 16.

Page 78: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

94

hari orang Jawa. Bagi mereka, aneka rupa alam itu memiliki nilai ekonomis

sebagai sumber pencaharian kebutuhan pokok untuk hidup dan kehidupan.

Bahkan rupa-rupa alam beserta dengan kekuatannya itu menjadi bernilai

pula secara spiritual. Melalui alam dan kekuatannya orang-orang Jawa

merasa yakin bisa menemukan atau berjumpa dengan Tuhan, Sumber

kehidupan dan keselamatan dalam berbagai wujud kuasaNya sebagai peng-

alaman praktis dan nyata. Kekhasan liturgi kontekstual Jawa tersebut tidak

terpisahkan dengan inti yang terdapat pada sisi berteologinya. Seperti

disajikan secara ringkas pada bagian sebelumnya tentang wujud aneka jenis

upacara kepercayaan Jawa maupun tata susunan dan isinya, berteologi

sebagai tindakan pengungkapan keyakinan yang menggunakan cara tertentu

dan rupa-rupa lambang dalam slamêtan juga khas. Lambang-lambang itu

berupa piranti-piranti yang berasal dari alam untuk menggambarkan

gagasan-gagasan tentangnya sebagai sarana untuk menghubungkan keber-

adaan Tuhan dan manusia, maupun etika kehidupan menyeluruh. Sekian

banyak lambang yang dimungkinkan ada dalam berbagai slamêtan, tumpêng

merupakan piranti wajib diadakan dan tak tergantikan. Sebab ubârampe itu

adalah lambang pusat yang menggambarkan gunung dengan makna

penyembahan Tuhan Maha Agung di tempat tinggi dan mulia (sêmbah

Hyang), sekaligus cerminan alam dan etika kehidupan yang serasi dalam

tanggung jawab politik tiap pribadi manusia untuk mengatur di tengah

kedudukan kemasyarakatannya, seperti makna yang terdapat pada pokok

pengertian jagad gêdhe dan jagad cilìk. Inilah acuan aksi dan refleksi orang

Page 79: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

95

Jawa dalam berbagai kehidupan berkebudayaan yang sampai sekarang tetap

ada walaupun pada keadaan tertentu seakan tersamar oleh berbagai macam

perubahan jaman di tengah masyarakatnya.

2.6. Penutup

Dari semua sudut kajian liturgi dan kontekstualisasinya di tengah

budaya dan sejarah Kekristenan, khususnya di dalam budaya kehidupan

masyarakat Jawa dengan pandangan beserta tradisi ritual keagamaannya di

atas, maka liturgi kontekstual dalam budaya Jawa disimpulkan sebagai tata

perilaku keagamaan masyarakat Jawa untuk pengungkapan keyakinan akan

pengalaman tentang karya penyelamatan Tuhan di seluruh segi kehidupan

yang terbingkai dalam teologi Kêjawén dan terpusat pada lambang tumpêng

maupun berbagai kelengkapan terkait untuk mengkomunikasikannya.

Liturgi kontekstual Jawa tersebut memberikan peringatan akan karya

pertolongan Tuhan, sekaligus mendorong setiap orang untuk ikut serta

menikmati anugerahNya itu, dan mau terlibat aktif menjaga keselamatan

dengan tindakan menurut kedudukan dan peran yang telah ditetapkan

(pêpêsthi). Pelaksanaan liturgi adat kepercayaan Jawa itu bertujuan untuk

menciptakan keselamatan atau kehidupan harmoni semua orang beserta

alam yang menjadi tempat tinggalnya. Sedangkan berpijak dari Kekristenan,

liturgi kontekstual dalam budaya Jawa dapat disimpulkan sebagai liturgi

yang dibangun dengan melibatkan atau mendayagunakan pandangan mau-

pun tradisi kepercayaan beserta aneka lambang yang berasal dari budaya

Page 80: BAB II LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA 2.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12303/2/T2_752011044_BAB II...17 BAB II . LITURGI KONTEKSTUAL DALAM BUDAYA JAWA . 2.1.

96

masyarakat Jawa di tengah suasana keberadaan hidup mereka sebagai

langkah penyesuaian untuk menyampaikan gagasan Injil Kristus secara

efektif, yaitu penyataan Tuhan yang menyelamatkan manusia sebagai kasih

karunia yang terjelma di dalam Yesus Kristus Sang Sabda yang menjadi

manusia, dan dilambangkan dengan sakramen. Jadi, liturgi kontekstual

dalam budaya Jawa tidak cukup hanya ditentukan oleh penggunaan bahasa

Jawa atapun pakaian tradisionalnya, tetapi dengan keseluruhan tata

kehidupan masyarakat Jawa, sehingga Injil Kristus dapat dijumpai dan di-

alami di dalam segi-segi kebudayaan Jawa beserta suasana dan keberadaan

yang tengah terjadi sebagai konteks yang saling mempengaruhi.141

141

F. J. Clasen, “Liturgy on the Edge of Change”. Practical Theology in South

Africa 2010. 23, no. 1 (2010), 36-54.