BAB II LATAR BELAKANG MUNCULNYA GERAKAN … II.pdf · Sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya...

46
BAB II LATAR BELAKANG MUNCULNYA GERAKAN MAHASISWA ISLAM DI KOTA DENPASAR 2.1 Situasi Politik Kota Denpasar pada Masa Orde Lama Lahirnya gerakan mahsasiswa Islam di Kota Denpasar tidak dapat dilepaskan dari munculnya iklim demokrasi pada dekade awal berdirinya Republik Indonesia. Munculnya partai-partai politik ini membawa proses dinamisasi masyarakat, yang kemudian membawa warna bagi kehidupan sosial- politik di masyarakat. Hubungan proses dinamisasi masyarakat dengan munculnya gerakan mahasiswa Islam di Kota Denpasar terlihat ketika semakin meningkatnya konflik antar partai yang juga merupakan konflik ideologi. Konflik yang sangat sering dan keras yang terjadi pada masa Orde Lama adalah konflik antara ideologi komunis dengan anti-komunis, khususnya Islam. 1 Dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, maka secara resmi Indonesia telah berdiri sebagai negara yang berdaulat melalui perjuangan yang sangat panjang dan berat. Untuk memperkuat perjuangan dalam mempertahankan kemerdakaan, maka pada bulan November 1945, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang berfungsi sebagai lembaga legislatif sementara, mengusulkan kepada pemerintah untuk memberi kesempatan yang selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk mendirikan partai-partai politik 1 Lihat, Abdul Mun’im DZ, Benturan NU-PKI 1948-1965, (Jakarta: PBNU-Langgar Swadaya, 2014) 31

Transcript of BAB II LATAR BELAKANG MUNCULNYA GERAKAN … II.pdf · Sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya...

31

BAB II

LATAR BELAKANG MUNCULNYA GERAKAN MAHASISWA ISLAM

DI KOTA DENPASAR

2.1 Situasi Politik Kota Denpasar pada Masa Orde Lama

Lahirnya gerakan mahsasiswa Islam di Kota Denpasar tidak dapat

dilepaskan dari munculnya iklim demokrasi pada dekade awal berdirinya

Republik Indonesia. Munculnya partai-partai politik ini membawa proses

dinamisasi masyarakat, yang kemudian membawa warna bagi kehidupan sosial-

politik di masyarakat. Hubungan proses dinamisasi masyarakat dengan

munculnya gerakan mahasiswa Islam di Kota Denpasar terlihat ketika semakin

meningkatnya konflik antar partai yang juga merupakan konflik ideologi. Konflik

yang sangat sering dan keras yang terjadi pada masa Orde Lama adalah konflik

antara ideologi komunis dengan anti-komunis, khususnya Islam.1

Dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945,

maka secara resmi Indonesia telah berdiri sebagai negara yang berdaulat melalui

perjuangan yang sangat panjang dan berat. Untuk memperkuat perjuangan dalam

mempertahankan kemerdakaan, maka pada bulan November 1945, Badan Pekerja

Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) yang berfungsi sebagai lembaga

legislatif sementara, mengusulkan kepada pemerintah untuk memberi kesempatan

yang selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk mendirikan partai-partai politik

1 Lihat, Abdul Mun’im DZ, Benturan NU-PKI 1948-1965, (Jakarta: PBNU-Langgar

Swadaya, 2014)

31

32

yang diharapkan dapat digunakan sebagai sarana dalam membantu perjuangan

mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat.2

Usulan ini kemudian disetujui oleh pemerintah dengan dikeluarkannya

Maklumat Pemerintah No. X tentang berdirinya partai-partai politik di Indonesia

yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta pada tanggal 3

November 1945. Maklumat tersebut berisi pernyataan yaitu:

“1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena

adanya partai-partai politik di Indonesia, karena dengan adanya

partai-partai politik tersebut dapat mengarahkan masyarakat ke

jalan yang teratur dengan segala aliran dan paham yang ada dalam

masyarakat; dan

2. Pemerintah berharap agar partai-partai politik itu dibentuk

sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota Badan Perwakilan

Rakyat pada bulan Januari 1946.”3

Sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya maklumat tersebut, maka

dengan segera berdirilah partai-partai politik. Namun, perbedaan pendirian dan

pendapat membuat munculnya berbagai aliran dan ideologi politik di dalam

masyarakat. Partai-partai politik yang muncul itu pada dasarnya menggambarkan

tiga aliran. Ketiga aliran tersebut ialah religius (ketuhanan), nasionalis, dan

marxisme.4 Ketiga aliran inilah yang mewarnai perkembangan politik Indonesia

pada masa Orde Lama.

Partai-partai yang terbentuk berdasakan ideologi religius (ketuhanan),

yaitu Masjumi, Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII, keluar dari Masjumi pada

2Kepartaian di Indonesia, (Djakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia, 1951),

p. 7. Cf. Sartono Kartodirdjo, et al., Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), pp. 33--34.

3M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia Sebuah Potret Pasang Surut, cet.

III, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), pp. 64--66.

4 ibid, pp. vii--xii.

33

tahun 1947),5 Nahdlatul Ulama’ (NU, keluar dari Masjumi pada tahun 1952)6,

Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai

Katholik. Sementara itu, partai-partai yang berideologi nasionalis, yaitu PNI

(Partai Nasional Indonesia), Persatuan Indonesia Raya (PIR), Partai Rakyat

Indonesia (PRI), Partai Demokrat Rakyat, Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai

Wanita Rakyat (PWR), Partai Kebangsaan Indonesia (Parki), Partai Kedaulatan

Rakyat (PKR), Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI), Ikatan Nasional Indonesia

(INI), Partai Rakyat Djelata (PRD), Partai Tani Indonesia (PTI), dan Wanita

Demokrat Indonesia (WDI), sedangkan partai politik yang berideologi sosialisme-

marxisme, yaitu PSI (Partai Sosialis Indonesia), PKI (Partai Komunis Indonesia),

Partai Buruh, Partai Murba, dan Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai).7

Masing-masing partai politik itu, mempunyai garis politik sendiri.

Semestinya partai itu bergerak sesuai dengan garis politik yang telah ditetapkan

sejak partai itu berdiri. Walaupun partai-partai tersebut telah mempunyai garis

politik sendiri, namun sering pula terjadi penyelewengan-penyelewengan program

dan persaingan yang berlebihan, yang menjurus pada pertentangan-pertentangan

yang tajam. Persaingan ini terjadi karena masing-masing partai ingin

mendapatkan pengikut yang besar. Untuk mendapatkan pengikut (kader) inilah

5 Kelahiran kembali PSII disebabkan oleh dukungan Wondoamiseno kepada Kabinet

Amir Sjarifuddin yang ditentang (oposisi) oleh Masjumi. Periksa Remy Madinier, Partai Masjumi:

Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral, (Jakarta: Mizan, 2013), p.114.

6 Keluarnya NU dari Masjumi disebabkan oleh tidak diberikannya kesempatan para

ulama’ tradisionalis dalam lingkaran elit Masjumi (NU hanya diberi kedudukan sebagai penasehat partai/Majelis Syuro’) dan perebutan kursi dalam Kementerian Agama. Sejak saat itu hingga

sekarang Kementerian Agama selalu diduduki oleh kaum tradisionalis (nahdliyin). Lihat, Einar

Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), pp. 94--122,

Remy Madinier, op.cit, p.126--128.

7Baca, M. Rusli Karim, op.cit, pp. 65--68.

34

sering terjadi saling tuduh menuduh antar partai yang akhirnya menimbulkan

konflik yang cukup tajam. Konflik ini akan sangat mewarnai bahkan merupakan

benang merah kehidupan politik Indonesia yang masih muda. Konflik ini bahkan

kelak mengakibatkan lahirnya berbagai tindakan kekerasan bersenjata dan

berdarah dalam sejarah Indonesia.8

Perkembangan partai politik Indonesia yang sebagian besar berpusat di

Jawa, berpengaruh pula terhadap perkembangan politik daerah-daerah di seluruh

Indonesia. Pengaruh perkembangan partai-partai politik tersebut juga menyentuh

pada masyarakat Bali. Perkembangan yang paling pesat terjadi pada awal tahun

1950-an. Partai-partai politik dalam mencari dukungan massa semakin meluaskan

pengaruhnya sehingga di Bali, termasuk di Denpasar bermunculan cabang-cabang

dari partai-partai tersebut.

Partai-partai yang berkembang dan muncul di Bali, yaitu Partai Nasional

Indonesia (PNI) yang berdiri pada Mei 1950, Masjumi yang dibentuk pada tahun

1950, Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang didirikan tahun 1951, dan Partai

Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1952.9 Selain itu juga terdapat partai-partai

lainnya yang berkembang di Bali, seperti Nahdlatul Ulama’ pada 1952,10 Biro

8Ahmaddani G. Martha (et al), Pemuda Indonesia Dalam Dimensi Sejarah Perjuangan

Bangsa, (Jakarta: Kunia Esa, 1985), pp. 237--238.

9 Sarimin Reksodihardjo, Lampiran-Lampiran Memori Penjerahan Gubernur Kepala

Daerah Propinsi Nusa Tenggara Djilid II, 1-4-1952 – 30-3-1957, (Singaraja: tp, ttt), pp. 9--16,

Sekertariat DPRD Bali, Peringatan 1 Tahun Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Bali, 25

September 1951, p. 10., Lihat juga, Anak Agung Bagus Wirawan, Pusaran Revolusi Indonesia di Sunda Kecil 1945-1950, (Denpasar: Udayana University Press, 2012), pp. 276--329.

10Nahdlatul Ulama’ di Denpasar (dulu Kabupaten Badung) dididirikan pada 1952 dengan

ketua pertama H.S. Abdulgani dan wakil ketua Muhammad Husin. Partai ini memiliki basis di

kantong-kantong masyarakat Muslim Denpasar, seperti Kampung Islam Kepaon, Kampung Jawa

Wanasari, Sekitar Jalan Sulawesi (dulu Kampung Arab), Sekitar Masjid An-Nur Sanglah,

35

Pantjasila, dan Parkindo. Selain itu juga muncul berbagai organisasi lokal seperti

Ikatan Rakjat Murba Indonesia (IRMI), Persatuan Wanita Indonesia (PWI),

Gabungan Buruh Indonesia (GBI), Golongan Tani, dan Kesatuan Pemuda

Nasional Indonesia (KPNI).11

Partai-partai politik yang ada mempunyai garis aktivitas masing-masing

dan banyak membentuk sayap partai atau organisasi di bawah asuhannya sebagai

penunjang kesuksesan partai. Tumbuh dan berkembangnnya partai politik tersebut

seharusnya berjalan sesuai dengan garis perjuangan masing-masing. Namun

demikian, persaingan dalam mencari massa anggota dan pelaksanaan program

sering terjadi penyimpangan dari garis perjuangan politiknya. Hal yang dilakukan

partai-partai politik ini selanjutnya mengarah pada konflik-konflik yang berawal

dari persaingan, terjadinya saling tuduh-menuduh dan curiga antar partai politik.

dalam memperoleh pengaruh yang cepat di kalangan luas, partai-partai politik

langsung saja menggunakan sub-struktur sosial dan politik sebagai dasar

perekrutan massa. Dalam mengorganisir massa yang luas, maka setiap partai

Kampung Bugis Serangan, Kampung Bugis Suwung, Ubung, Tanjung Benoa, dan Angantiga.

Namun dalam 2 kali keikutsertaan dalam pemilu (1955 dan 1971) tidak pernah meloloskan

wakilnya ke DPRD II Kabupaten Badung. Periksa Sri Indriani Hartanti, “Partai Persatuan

Pembangunan di Kabupaten Badung 1976-1991” (Skripsi S1), (Denpasar: Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Sastra Universitas Udayana, 1992), pp. 22--23.

11KPNI dibentuk dalam Kongres Pemuda Seluruh Bali yang diadakan pada tanggal 14-17

April 1950 di Denpasar. Kongres ini bertujuan menyatukan seluruh komponen pemuda yang ada

di Bali, yang mendukung ideologi politik masing-masing, baik yang pro republik maupun yang

anti republik. Melalui kongres ini juga disetujui keputusan yang menyatakan untuk menghapuskan segala rasa sentiment dan dendam di kalangan pemuda guna menyongsong zaman baru, demi

kepentingan pembangunan masa depan bangsa. Lebih lanjut baca, Nyoman S. Pendit, Bali

Berjuang, (Denpasar: SARAD-Pustaka Larasan, 2008), pp. 381--383., Lihat Juga Max Lane, Shri

Wedastera Suyasa Dalam Politik-Politik Orang Bali, 1962-1972 : Politik Kharismatik Hingga

Aktivitas-Aktivitas Sosial Edukasional (Denpasar: Mahendradatta University Press-Yayasan

Pengkaderan Nasional Shri Wedastera Suyasa, 2010), pp. 37--38.

36

berusaha menarik dan membentuk berbagai organisasi massa yang didasarkan

pada fungsi kehidupan di dalam masyarakat.12

Dalam merekrut massa, partai-partai politik di Bali, termasuk Denpasar,

membentuk dan memberi kursus-kursus kilat pada kader-kader partai. Kader-

kader partai ini yang dibina dan dididik secara baik oleh pimpinan partai, bertugas

mempengaruhi massa dan mencari pengikut yang sebanyak-banyaknya. Berbagai

usaha-usaha yang dilakukan dalam mencari dukungan massa adalah dengan

membentuk wadah berupa organisasi di kalangan mahasiswa, pemuda, pelajar,

wanita, buruh, nelayan, petani, dan lainnya, yang berasal dari kalangan

masyarakat luas. Oleh karena itu, para kader ini menjadi kekuatan dan sebagai

kelompok penekan bagi partai.13 Para kader partai ini dapat pula digolongkan ke

dalam elit strategis 14 karena fungsinya yang sangat dominan, baik bagi partai

maupun dalam usaha merebut simpati massa.

Partai-partai yang berkembang di Bali pada dekade 1950an dalam

perjalannya berlomba-lomba mencari pengikut sebanyak-banyaknya. PNI

membentuk organisasi massa sayap di bidang mahasiswa, pemuda, wanita, buruh,

petani, dan pelajar. Untuk menghimpun kegiatan di bidang tersebut, dibentuklah

12 Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia: Kestabilan Peta Kekuatan Politik dan

Pembangunan, (Jakarta: CV. Rajawali, 1987), p. 32.

13Mengenai kelompok-kelompok penekan dan hubungannya dengan partai politik, lihat

Maurice Duverger, Partai Politik dan Kelompok-Kelompok Penekan, terj. Laila Hasyim,

(Yogyakarta: Bina Aksara, 1984), pp.119--149.

14Sartono Kartodirdjo, Elite Dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1983), pp.xii--

xiii.

37

ormas Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), 15 Pemuda Demokrat,

Wanita Demokrat (WD), Persatuan Tani Indonesia (PETANI), Kesatuan Buruh

Kerakyatan Indonesia (KBKI), dan Gerakan Siswa Nasional Indonesia. 16

Sementara itu PSI juga membentuk organisasi massa sayap Gerakan Pemuda

Sosialis, Gerakan Tani Indonesia (GTI), dan Gerakan Wanita Sosialis (GWS) 17,

serta dengan NU yang membentuk beberapa organisasi massa, seperti Gerakan

Pemuda Anshor (GP Anshor), Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’ (IPNU), Muslimat

NU, dan Fatayat NU.18 Begitu pula dengan partai politik lain yang membentuk

organisasi massa sayap di bawah naungannya.

Di pihak lain PKI mulai menampakkan kekuatannya menjelang pemilu

1955, hingga kemudian juga membentuk organisasi massa sayap, seperti Sentral

Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Pemuda Rakyat, Barisan Tani

Indonesia (BTI), Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), dan Consentrasi

Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).19

Terbentuknya organisasi massa sayap dari partai-partai tersebut

menyebabkan persaingan antar partai politik menjadi semakin tajam. Konflik-

konflik politik dan ideologi mewarnai perjalanan partai-partai politik itu. Mereka

15GMNI Denpasar berdiri pada tahun 1958 dengan ketua pertama adalah I Nyoman Sirna,

dengan dibantu oleh I Ketut Suelem, I Ketut Tama, Dewi Darmini, I.B. Ariwijaya, dan M. Zubair

Rukkha, Untuk lebih jelasnya lihat, Ida Bagus Putu Sujapa, “Gerakan Mahasiswa Nasional

Indonesia di Bali 1958-1987”, (Skripsi S1 Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana),

(Denpasar: Tidak Dipublikasikan, 1993), pp. 53--61. Baca juga, Max Lane, op.cit., pp.56--57.

16Sarimin Reksodihardjo, op.cit., pp. 12--16. 17 ibid.

18 ibid.

19 ibid.

38

saling menuduh untuk menjatuhkan lawan politiknya. Maka persaingan yang

mengarah pada pertentangan tidak dapat dielakkan. Terkadang adanya konflik itu

diwarnai pula oleh konflik-konflik yang berakar pada sumber tradisi. Hal ini

mengakibatkan terjadilah konflik yang lebih intens dan adanya perpecahan dalam

berbagai kelompok sosial di Bali, termasuk Denpasar. Dengan demikian, partai-

partai pada dekade tahun 1950-an merupakan wadah baru bagi konflik-konflik

tradisional yang telah berkembang dalam masyarakat Bali. Akibatnya terjadilah

pengkotak-kotakkan dalam masyarakat yang didasarkan kepada ideologi yang

dianut.20

Pengaruh partai politik dan ideologinya juga menyentuh di kalangan

mahasiswa. Semenjak didirikannya Fakultas Sastra Udayana pada 29 September

1958, partai-partai politik saling berebut menanamkan pengaruhnya di kalangan

mahasiswa, sehingga bermunculan organisasi-organisasi mahasiswa, seperti

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI/onderbouw PNI), Himpunan

Mahasiswa Islam (HMI), Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia

(CGMI/onderbouw PKI), Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia

(PMKRI/onderbouw Partai Katholik), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia

(GMKI/onderbouw Parkindo), Gerakan Mahasiswa Indonesia

(Germindo/onderbouw Partindo), dan Gerakan Mahasiswa Hindu Bali (GMHB)

yang merupakan organisasi mahasiswa lokal.

20 I Gusti Ngurah Bagus, “Masalah Demokrasi, Kekuasaan dan Konflik Sosial: Kajian

Pendahuluan Tentang Peranan Pemuda Pejuang Dalam Tahun Lima Puluhan di Bali”, dalam

Majalah Widya Pustaka Nomor 4, Tahun IV, (Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana,

1987), p. 2.

39

Pasca Pemilu 1955, penghitungan suara menunjukkan tiga partai yang

keluar sebagai pemenang. Pertama ialah PNI, kedua ialah PSI, dan ketiga adalah

PKI. 21 PKI yang baru berkembang di Bali menjelang Pemilu 1955, berhasil

menempati urutan ketiga cukup mengejutkan sebagian masyarakat Bali, termasuk

Denpasar. Meskipun banyak rakyat Bali yang tidak menyetujui ideologi komunis,

namun dalam perjalannya semakin hari pengaruh PKI semakin meluas di

kalangan masyarakat. Kemajuan yang dicapai PKI ini, dikarenakan jargonnya

yang membela kaum proletar (kaum miskin), terutama kaum buruh tani dan

sekaligus ingin menyejahterakannya secara merata.22

Meluasnya pengaruh PKI di Bali, termasuk di Denpasar23 tentu membawa

konsekuensi yang luas. Masyarakat dan partai-partai yang tidak sejalan dengan

PKI, mencoba membendung kekuatan dan pengaruh PKI. Usaha membendung

21 Tiga besar perolehan suara hasil Pemilu 1955 untuk wilayah Bali, yaitu :

1. PNI : 388.352 Suara;

2. PSI : 230.745 Suara; dan

3. PKI : 62.249 Suara

Berdasarkan perolehan tersebut PNI mendapatkan 14 kursi DPRD Bali, PSI mendapatkan

8 kursi, serta 2 kursi untuk PKI. Masjumi dan PRI masing-masing mendapatkan 1 kursi. Lihat

Max Lane, op.cit. p. 43.

22 Tentang usaha-usaha PKI dalam menghimpun masyarakat, baca Abdul Mun’im DZ,

op.cit., pp.85--86. Baca juga I Nyoman Darma Putra, “Mulai berbentuk; Budaya dan nasionalisme

di Bali 1959-1960” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (et al), Ahli Waris Budaya

Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965, (Denpasar: KITLV-Pustaka Larasan, 2011), pp. 347--376.

Lihat juga, H. Rosihan Anwar, Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara

Politk 1961-1965, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007).

23Pada dekade 1960-1965 di Denpasar PKI memiliki basis massa yang kuat di wilayah-

wilayah yang memiliki populasi kaum migran dan pekerja seperti, Suci (sekarang Jln. Nusa

Kambangan dan sekitarnya), Kreneng, Titih, Pedungan, dan Ubung. Lihat I Ngurah Suryawan,

Ladang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965, (Yogyakarta: Galangpress, 2007), p. 94. Hasil wawancara dengan I Ketut Suwandhi (69 Tahun) pekerjaan: Wakil Ketua

DPRD Provinsi Bali (Mantan Aktivis GSNI 1965), alamat: Jalan Veteran Gang III/2, Denpasar,

pada 16 April 2015. Hasil wawancara dengan Widminarko (72 Tahun) pekerjaan: Pemimpin

Redaksi Tokoh (Mantan Ketua I Korda GMNI Bali-Nusra 1967--1969) alamat: Jl. Kori Agung

Blok B/19, Perum. Green Kori Sading, Badung, pada 15 April 2015.

40

kekuatan komunis ini tidak saja berlaku bagi segenap potensi masyarakat yang

memang anti-komunis, terutama kelompok-kelompok keagamaan. Adanya hal ini

telah juga menimbulkan solidaritas kelompok yang lebih kuat dengan sepak

terjang yang militan.24

Hal inilah yang membuat kalangan pemuda Islam, khususnya mahasiswa

menerjemahkan bentuk solidaritas tersebut dengan membentuk organisasi sebagai

suatu sarana gerakan dalam menentang komunisme. Sarana organisasi yang

terbentuk kemudian dikonsolidasikan dengan organisasi Islam yang sudah ada,

terutama Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’. Dari sinilah kemudian

membengkitkan semangat terhadap penggalangan solidaritas pemuda Islam

sebagai antitesa dari kondisi yang ada.

2.2 Berdirinya Organisasi Mahasiswa di Kota Denpasar: Lahirnya HMI

Cabang Denpasar

Pertumbuhan dan hadirnya organisasi mahasiswa di Bali, termasuk

Denpasar, berkaitan dengan terbentuknya perguruan tinggi di Bali. Lahirnya

Fakultas Sastra Udayana di Bali pada tahun 1958 memberikan corak dan

perkembangan baru dalam bidang pendidikan di Bali, khususnya Denpasar. Para

pemuda, khususnya pemuda Bali, yang telah menyelesaikan pendidikannya di

sekolah menengah atas banyak yang berminat melanjutkan pendidikannya di

Fakultas Sastra Udayana. Dengan dibukanya Fakultas Sastra Udayana tanggal 29

24I Gusti Ngurah Bagus, op.cit., p.2.

41

September 1958 oleh Presiden P.J.M. Dr. Ir. Soekarno,25 membuat banyak para

pemuda lulusan sekolah lanjutan atas baik yang berasal dari Bali maupun dari

daerah lainnya di Indonesia melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi

pertama di Denpasar-Bali ini.

Selain aktif mengikuti perkuliahan, para mahasiswa di Fakultas Sastra

Udayana tersebut juga aktif dalam berorganisasi guna menerapkan ilmu

pengetahuan yang telah didapat di bangku perkuliahan, di samping itu pula

sebagai wadah penyalur aspirasinya. Hal ini juga disebabkan oleh keadaan dan

situasi zaman pada akhir dekade 1950-an dan awal dekade 1960-an yang

mengharuskan mahasiswa untuk memasuki organisasi mahasiswa ekstra kampus

maupun intra kampus. Organisasi-organisasi mahasiswa yang muncul memiliki

berbagai macam ideologi yang menjiwai, seperti ada yang bersifat religius,

nasionalis, dan marxisme, sesuai dengan perkembangan dan situasi sosial politik

Indonesia pada waktu itu.26

Namun, dilihat dari latar belakang terbentuknya organisasi-organisasi

mahasiswa, setelah Indonesia merdeka untuk pertama kalinya muncul di Pulau

Jawa. Kelahiran organisasi-organisasi mahasiswa baik yang berideologi agama

25 Ketika Fakultas Sastra Udayana dibuka, fakultas ini baru memiliki dua jurusan

(sekarang program studi/prodi), yaitu Jurusan Sejarah Kuno dan Ilmu Purbakala (sekarang Prodi

Arkeologi), dan Jurusan Bahasa Indonesia (sekarang Prodi Sastra Indonesia/Sasindo). Jumlah

mahasiswa yang tercatat pada waktu itu ialah 113 orang di antaranya 17 orang perempuan. Jumlah

tenaga pengajar sebanyak 7 orang. Ketua (sekarang dekan) Fakultas Sastra yang pertama yaitu

Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka. Pada tanggal 1 Januari 1959 fakultas ini diambil alih oleh

pemerintah dan diserahkan sebagai cabang dari Universitas Airlangga (berpusat di Surabaya).

Sejak saat itu (hingga tahun 1962), Fakultas Sastra Udayana merupakan bagian dari Universitas Airlangga. Lebih lanjut baca, Anonim, “Dies Natalis Ke I Fakultas Sastra Udayana Denpasar,

Diperlukan Suasana Tenang dan Bantuan Moril Masjarakat” dalam Harian Pagi Suara Indonesia,

Edisi Rebo, 30 September 1959 tahun Ke XI nomor 37, (Denpasar: Suara Indonesia NV), p. 1

Kolom 1--3.

26Ida Bagus Putu Sujapa, op.cit., p. 34.

42

maupun yang berideologi nasionalis pada mulanya mempunyai tujuan yang sama,

yaitu ingin turut serta membela dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Pada masa inilah lahir organisasi mahasiswa pertama pasca kemerdekaan,

yaitu Himpunan Mahasiswa Islam yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 14

Rabiul Awwal 1366 Hijriyah yang bertepatan dengan 5 Februari 1947 oleh Lafran

Pane, dan kawan-kawannya.27 Latar belakang berdirinya HMI yang utama ialah

krisis keseimbangan yang terjadi dalam dunia pendidikan tinggi dan

kemahasiswaan pada waktu sebelum HMI berdiri karena dunia pendidikan tinggi

dan kemahasiswaan dipengaruhi unsur-unsur dan sistem pendidikan Barat yang

mengarah pada sekularisme. 28 Sekularisme adalah suatu pandangan yang

menyatakan bahwa pengaruh agama harus dikurangi sejauh mungkin, serta moral

dan pendidikan harus dipisahkan dari agama.29

Di lain pihak menurut Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, seorang ulama’

Palestina, sekularisme adalah paham yang memisahkan agama dari negara

27Selain Lafran Pane, tokoh-tokoh yang terlibat dalam pendirian HMI adalah Karnoto

Zarkasji, Dahlan Husein, Suwali, M. Jusdi Ghazali, Mansjur, M. Anwar, Hasan Basri, Marwan,

Zulkarnaen, Tajeb Razak, Toha Mashudi, Bidron Hadi, Maisaroh Hilal, dan Siti Zainal. Lihat Agussalim Sitompul, Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) 1947-1975,

(Surabaya: Bina Ilmu, 1976), pp.19--23. Baca juga M. Alfan Alfian, HMI (Himpunan Mahasiswa

Islam) 1963-1966: Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara, (Jakarta: Kompas, 2013), pp.9--10.

28Tujuan HMI, ketika pertama kali didirikan yaitu:

1. Untuk membela negara Republik Indonesia dan menaikkan harkat rakyat Indonesia;

2. Untuk menjaga dan memajukan agama Islam;

Hal ini mengonfirmasikan bahwa sejak awal kelahirannya, pandangan keislaman HMI

senapas dengan cita-cita bangsa, atau menurut Yudi Latif, tujuan nasionalistik HMI tidaklah

berlawanan, tetapi berjalin berkelindan. Lihat M. Alfan Alfian, ibid., p. 10. Periksa Agussalim

Sitompul, op.cit.,p.19--20. Lihat juga Ibnu Hazar, “Sejarah HMI” dalam Makalah LK 1 HMI Komisariat Sastra Pariwisata 12 Desember-14 Desember 2014, (Denpasar: t.p.), p. 2--3. Baca

Karya Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad

ke-20, (Bandung: Mizan, 2007), p. 426.

29Oemar Bakry, Islam Menentang Sekularisme, (Yogyakarta: Shalahuddin Pers, 1986),

p.17.

43

(faslud-din ‘anil-hayah) 30 yang dipertegas oleh Nasiwan yang menyatakan

sekularisme di bidang politik ditandai dengan tiga hal, yaitu: 1) pemisahan

pemerintahan dari ideologi keagamaan dan struktur eklesiatik; 2) ekspansi

pemerintah untuk mengambil fungsi pengaturan dalam bidang sosial dan

ekonomi; 3) penilaian atas kultur politik ditekankan pada alasan dan tujuan

keduniaan yang tidak transenden.31 Di samping itu, berdirinya HMI disebabkan

juga oleh kebutuhan mendesak bagi cendekiawan Muslim muda untuk ikut serta

di dalam perjuangan kemerdekaan nasional.

Berdirinya HMI ini juga menjadi pembuka bagi lahirnya berbagai

organisasi mahasiswa lainnya dalam bahu-membahu untuk mempertahankan

Indonesia, seperti Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia, Perhimpunan

Mahasiswa Katholik Republik Indonesia yang pembentukannya diresmikan pada

tanggal 25 Mei 1947, dan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI). Selain itu,

terbentuk pula organisasi mahasiswa yang bersifat lokal seperti Perhimpunan

Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH) Bogor, Perhimpunan Mahasiswa

Djakarta (PMD), Perhimpunan Mahasiswa Jogjakarta (PMJ), dan Masyarakat

Mahasiswa Malang (MMM).32

Pada tanggal 8 Maret 1947, keempat organisasi mahasiswa lokal dan

ketiga organisasi mahasiswa yang berazaskan keagamaan yang memiliki ruang

lingkup nasional itu mengadakan kongres di Malang. Kongres tersebut

30Taqiyuddin An-Nabhani, Nizamul-Islam, (Beirut: Daarul Ummah, 1953), passim. 31Nasiwan, Diskursus antara Islam dan Negara: Suatu Kajian Tentang Islam Politik di

Indonesia, (Pontianak: Yayasan Insan Cita Kalimantan Barat, 2003), p.35.

32Ahmaddani G. Martha (et al), op.cit., p. 251. Lihat juga Ibnu Hazar, op.cit., p.2.

44

menghasilkan sebuah keputusan dengan terbentuknya wadah baru bagi organisasi-

organisasi mahasiswa ekstra kampus yang diberi nama Perserikatan Mahasiswa

Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang diketuai Suripno, bekas tokoh Perhimpunan

Indonesia yang berhaluan kiri. Hadirnya PPMI ini merupakan sebuah wadah

federasi dari organisasi ekstra kampus mahasiswa Indonesia.33

Dengan terbentuknya federasi PPMI, maka wadah ini membantu

mengorganisasi kelompok-kelompok mahasiswa untuk ikut mempertahankan

Indonesia dalam menghadapi agresi Belanda. Dari sinilah lahir Corps Mahasiswa

yang dipimpin Hartono (kader HMI) dengan wakilnya Ahmad Tirtosudiro (Ketua

PB HMI). Organisasi ini merupakan organisasi informal bagi satuan tempur

mahasiswa serta ikut berperan serta dalam berbagai operasi militer dalam

menghadapi Belanda dan menumpas pemberontakan PKI tahun 1948.34

Pasca Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949,35

perang kemerdekaan pun berakhir. Dengan berakhirnya perang kemerdekaan

33Ida Bagus Putu Sujapa, op.cit., p.35.

34 Ahmaddani G. Martha (et al), op.cit., p. 252. Baca juga Solichin, “HMI dan Pancasila”

dalam M. Alfan Alfian, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) 1963-1966: Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara, (Jakarta: Kompas, 2013), p.70.

35Dalam dokumen resminya disebut Penyerahan Kedaulatan (souvereneit soverdracht),

namun Indonesia menggunakan istilah Pengakuan Kedaulatan karena bangsa Indonesia

menganggap bahwa semenjak 17 Agustus 1945 telah berdiri Republik Indonesia sebagai sebuah

entitas politik. Oleh karena itu, Kerajaan Belanda pada hakikatnya mengakui kedaulatan yang

sudah ada di pihak Indonesia tersebut. Namun, Kerajaan Belanda memandang bahwa kejadian

tersebut merupakan “hadiah” untuk Indonesia, dan kejadian tersebut bukanlah sebuah Pengakuan

Kedaulatan, namun Pelimpahan Kewenangan (transfer of sovereignty), karena RIS (Republik

Indonesia Serikat) dianggap sebagai kelanjutan dari pemerintahan Nederlandsch Indie. Baru pada

15 Agustus 2005, Pemerintah Kerajaan Belanda menerima kemerdekaan Indonesia secara de facto

(belum secara de jure). Lihat Batara R. Hutagalung, “Puputan Margarana: Agresi Militer Belanda Terhadap Republik Indonesia yang Merdeka dan Berdaulat” dalam Makalah dalam Seminar

Puputan Margarana di Universitas Warmadewa 6 September 2014, (Denpasar: Universitas

Warmadewa, 2014), p.2. Cf. Ide Anak Agung Gde Agung, Dari Negara Indonesia Timur ke

Republik Indonesia Serikat, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985), pp. 681--687.

45

tersebut, maka para mahasiswa kembali ke bangku kuliah untuk melanjutkan

perkuliahan masing-masing. Praktis permainan dan kehidupan politik di kalangan

pemuda berpindah ke arah lain.

Memasuki dekade 1950-an, kegiatan mahasiswa lebih banyak didominasi

oleh kegiatan perkuliahan di kampus masing-masing. Keadaan perkuliahan yang

baik, memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk lebih banyak menyerap ilmu

dan pengetahuan, agar nantinya dapat berperan aktif dalam pembangunan

Indonesia. Meskipun para mahasiswa tersita banyak waktunya untuk kegiatan-

kegiatan perkulihan di kampus, mereka masih tetap mempertahankan kehadiran

organisasi ekstra kampus dan membentuk pula organisasi-organisasi ekstra

kampus yang baru sebagai wadah penyalur aspirasinya.

Selain organiasi ekstra kampus, muncul juga organisasi intra kampus.

Kelahiran organisasi intra kampus ini dipelopori oleh para mahasiswa Universitas

Gadjah Mada dengan membentuk Dewan Mahasiswa (Dema) pada tanggal 11

Januari 1950 yang pertama kalinya diketuai oleh Nasir Alwi dan sekretarisnya

Kusnadi Hardjasumantri. 36 Hal tersebut diikuti oleh universitas-universitas di

Jakarta, Bandung, Surabaya dan Bogor. Selain itu juga terbentuk organisasi di

tingkat fakultas, yaitu senat mahasiswa. Aktivitas Dewan Mahasiswa dan Senat

Mahasiswa antara lain mengkoordinir kegiatan mahasiswa, yang berhubungan

dengan kepentingan universitas. Keanggotaan Dewan Mahasiswa dan Senat

36Ahmaddani G. Martha (et al), op.cit., p. 270.

46

Mahasiswa bersifat pasif, artinya setiap mahasiswa dengan sendirinya menjadi

anggotanya, sedangkan organisasi ekstra kampus keanggotaannya bersifat aktif.37

Seiring dengan perkembangan organisasi mahasiswa di Pulau Jawa, maka

di berbagai daerah lain di Indonesia mengalami perkembangan serupa, walaupun

dengan tingkat yang lebih kecil. Hal ini membuat dengan serta merta tumbuh

suburnya berbagai organisasi mahasiswa di Bali, khususnya di Denpasar, seperti

Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang dibentuk pada tahun

1958, 38 kemudian juga terbentuk Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia

(CGMI) pada awal tahun 1960-an, Gerakan Mahasiswa Indonesia (Germindo),

Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) pada tanggal 10

Oktober 1963, 39 Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia pada tanggal 26

September 1964, dan Gerakan Mahasiswa Hindu Bali (GMHB) pada tanggal 12

Juni 1963 yang bersifat lokal.40

Perkembangan Universitas Udayana pasca berdiri pada tahun 1962,

semakin lama semakin memperlihatkan kuantitasnya. Hal ini terlihat pada tahun

1962-1963 berdiri beberapa fakultas seperti Fakultas Kedokteran (FK), Fakultas

37 Sarlito Wirawan Sarwono, Perbedaan Antara Pemimpin dan Aktifis dalam Gerakan

Protes Mahasiswa, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), p.17.

38 Ida Bagus Putu Sujapa, passim.

39 Wawancara dengan Prof. Aron Meko Mbete (66 Tahun), pekerjaan: Guru Besar

Sosiolinguistik Unud (Mantan Ketua PMKRI Denpasar 1967-1974, Mantan Anggota KNPI Bali),

alamat: Jalan Tunggul Ametung III B 1/4, Ubung Kaja, Denpasar

40 Landasan perjuangan GMHB ialah meningkatkan Agama Hindu Bali setingkat dengan

agama-agama lainnya di Indonesia dengan tetap berkiblat pada ajaran-ajaran Ir. Soekarno, yaitu

berjuang untuk mencapai Sosialisme Pancasila bertemakan Tri Warga, yakni Dharma, Harta, dan

Kama. Selanjutnya baca “Tri Warna GMHB: Tingkatkan Agama Hindu Bali Setingkat Dengan

Agama-Agama Lainnja”, dalam Harian Pagi Suara Indonesia No. 16 Tahun XIV, Edisi Bali,

Senen 13 Djuni 1963, (Denpasar: Suara Indonesia NV), p. II, Kolom 1.

47

Kedokteran Hewan dan Peternakan (FKHP) yang membuat jumlah mahasiswa

semakin bertambah jumlahnya.41

Sebelum berdirinya Universitas Udayana pada tahun 1962, jumlah

mahasiswa yang beragama Islam hanya 9 orang dan mereka semua merupakan

mahasiswa Fakultas Sastra Udayana Universitas Airlangga, kesembilan

mahasiswa tersebut yaitu, Rizani Idza Karnanda, Darmawan Mas’ud Rahman,

Zainuddin, Rakib Abbas, Harun Kadir, M. Zubair Rukha, Suharjono, Sunarto, dan

seorang perempuan yaitu Sapnidar. Kemudian pada tahun 1963, pasca berdirinya

beberapa fakultas jumlah mahasiswa Islam meningkat menjadi 13 orang

mahasiswa.42

Dalam keadaan mahasiswa Muslim yang berjumlah minoritas, mereka

sering mengadakan pertemuan-pertemuan dan diskusi kecil di Masjid An-Nur

Sanglah. Dalam keadaan sangat terbatas, apalagi mereka hidup di tengah-tengah

masyarakat mayoritas yang berbeda agama, membawa pengaruh terhadap

pemikirian dan kehidupan internal mahasiswa Islam tersebut. Hal tersebut

membawa akibat bagi terbentuknya perasaan solidaritas akibat persamaan nasib,

41Fakultas Kedokteran beserta Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan diresmikan

pada tanggal 7 Januari 1963 oleh Menteri Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan (PTIP). Selanjutnya

baca, "Peresmian Fakultas Kedokteran dan KHP Universitas Udayana: Perguruan Tinggi

Hendaknja Berdjiwa Revolusioner”, dalam Harian Pagi Suara Indonesia No. 16 Tahun XIV, Edisi Bali, Selasa 8 Januari 1963, (Denpasar: Suara Indonesia NV, 1963), p. I, Kolom 1-2.

42 Hasil wawancara dengan Widminarko (72 Tahun) pekerjaan: Pemimpin Redaksi Tokoh

(Mantan Ketua I Korda GMNI Bali-Nusra 1967--1969) alamat: Jl. Kori Agung Blok B/19, Perum.

Green Kori Sading, Badung.

48

pemikiran, serta agama yang kemudian mendorong untuk perlunya sebuah wadah

berhimpun di kalangan mahasiswa Muslim (ukhuwwah Islamiyah).43

Kehidupan masyarakat Denpasar pada waktu itu berada dalam kondisi

konflik antara komunisme dan anti-komunisme. Di kalangan kampus, CGMI

memainkan perannya yang sangat radikal dalam menggeser lawan-lawannya

berbeda ideologi. Terlihat sekali pertentangan-pertentangan antara partai-partai

dan organisasi-organisasi komunis dengan organisasi lainnya. Kemudian,

beberapa orang mahasiswa, yaitu Darmawan M. Rahman, Harun Kadir, serta

Rizani Idza Karnanda, yang awalnya merupakan kader GMNI Cabang Denpasar

memutuskan keluar dari organisasi tersebut. Banyaknya informasi yang mereka

dapatkan mengenai pertentangan-pertentangan dengan kaum komunis di Bali,

serta seringnya mengadakan pertemuan dengan mahasiswa Muslim lainnya di

Masjid, maka mereka memiliki tekad untuk menghimpun mahasiswa yang

beragama Islam di tengah-tengah masyarakat yang beragama lain.44

Pada waktu itu, mereka bersama beberapa mahasiswa Muslim lainnya

bertekad guna membentuk suatu wadah bagi mahasiswa Muslim di Bali dan

berkeyakinan bahwa tokoh-tokoh dan para pemuda Islam di Denpasar akan

memberikan bantuan kepada mereka. Mereka lalu mengadakan rapat di Kantor

Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Bali di Jalan Imam Bonjol No. 51 Denpasar.

Hadirnya wadah mahasiswa Islam ini awalnya merupakan wadah musyawarah

dan amal yang terkoordinir pada tingkat akademis dan diatur melalui sebuah kerja

43 Syawal Prasetiyana, “Gerakan Pemuda Islam di Bali 1962-1990” (Skripsi S1 Ilmu

Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana), (Denpasar: Tidak Dipublikasikan, 1997), p. 70.

44 ibid. p. 71.

49

organisasi. Selain itu, juga akan membantu dan bekerjasama dalam kebaikan dan

kemajuan dengan prinsip persaudaraan, pembangunan, dakwah, dan pendidikan.45

Akhirnya niat tersebut dapat terjuwud dengan diprakarsai oleh M. Rakib

Abbas B.A. dengan mengadakan rapat di SD Muhammadiyah Jalan Imam Bonjol

No. 51 Denpasar, maka pada 5 Februari 1963 didirikanlah Himpunan Mahasiswa

Islam (HMI) Cabang Denpasar dengan ketuanya Darmawan M. Rahman, B.A.

dan sekertarisnya M. Rizani Idza Karnanda. Kelengkapan-kelengkapan organisasi

lainnya yang juga dibentuk ialah komisariat-komisariat sebagai ujung tombak

HMI, yaitu:

1. Komisariat Fakultas Sastra;

2. Komisariat Fakultas Kedokteran;

3. Komisariat Kedokteran Hewan dan Peterakan;

4. Komisariat Sosial Politik Universitas Marhaen (sekarang Universitas

Mahendradatta);

5. Komisariat FKIP Saraswati (sekarang Universitas Mahasaraswati); dan

6. Komisariat AKOP (sekarang STIMI Handayani).

Selain itu juga, dibentuk juga seksi-seksi yaitu seksi penerangan, olahraga,

kesejahteraan, keputrian (kemudian menjadi KOHATI/Korps HMI-Wati), dan

kesenian.46

45 M. Rizani Idza Karnanda, “Sedjarah Berdirinja HMI di Bali”, dalam Hasil-Hasil

Musjawarah Daerah (MUSDA) HMI Bali-Nusra Tahun 1974, (Denpasar: Panitya MUSDA HMI

Bali-Nusra, 1974), dan Wawancara dengan K.H. Muhammad Taufik Asy’adi (66 Tahun) Pekerjaan: Ketua MUI Provinsi Bali (Mantan Ketua HMI Cabang Denpasar 1969-1972, 1972-

1974, Mantan Ketua PWM Muhammadiyah Bali 1995-2000, 2000-2005), alamat: Jalan Gunung

Bromo No. 54 Monang-Maning, Denpasar, pada 25 Mei 2014.

46Seksi Penerangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Tjabang Denpasar, Lampiran

Sedjarah Pembentukan HMI di Bali., (Denpasar: t.p., 1963), p. 1.

50

Dalam acara pembentukan tersebut dihadiri pula oleh pengurus

Muhammadiyah Denpasar, Pemuda Muhammadiyah, pengurus PII, sejumlah

undangan tokoh-tokoh Muslim lainnya, dan organisasi pelajar Islam lainnya.

Pendirian HMI ini juga melibatkan para tokoh-tokoh Islam di Denpasar, yaitu

dengan salah satunya menunjuk Fakih Hassan (Kepala SD Muhammadiyah I yang

pertama) sebagai penasihat. Beberapa nama tokoh Islam Denpasar seperti H.

Usman Shir Muhammad, Husin Shir Muhammad, Jafar Thalib (ketiganya

keturunan Arab-Pakistan), R. Rasmi Santosa, yang merupakan pedagang di Jalan

Sulawesi (Kampung Arab) menyokong pendirian HMI tersebut. Tokoh-tokoh

Muslim Denpasar tersebut untuk pertama kalinya menjadi donatur HMI, karena

melihat kepentingan umat Islam di Bali, khususnya Denpasar.47

Jika mencermati terbentuknya organisasi-organisasi mahasiswa tersebut,

nampak bahwa berdirinya Fakultas Sastra Udayana Universitas Airlangga yang

kemudian melebur dalam Universitas Udayana pada tahun 1962 dan situasi politik

antara kaum komunis versus anti-komunis merupakan salah satu faktor yang

terpenting bagi berdirnya organisasi-organisasi mahasiswa tersebut. Selain itu

juga, terbentuknya HMI di Denpasar juga terlihat bahwa adanya sokongan-

sokongan dan relasi antara kaum muda Islam (mahasiswa) dengan kaum tua.

Sokongan yang diberikan kepada mahasiswa Muslim tersebut umunya berasal dari

organisasi Muhammadiyah Bali dan beberapa mantan tokoh “keluarga bulan

47 Syawal Prasetiyana, op.cit., p. 73. Di Bali sendiri Muhammadiyah telah ada sejak 19

November 1934 yaitu dengan diresmikannya Muhammadiyah Cabang Negara. Kemudian setelah

itu Muhammadiyah berkembang di Bali dengan dibuka beberapa cabang di kota/kabupaten lainnya

di Bali, seperti di Singaraja pada 13 September 1939, dan pada 27 Februari 1953 di Denpasar.

Lihat I Ketut Ardhana, “Perkembangan Muhammadiyah di Bali (1934-1968)” (Skripsi S1),

(Yogyakarta: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1985), pp. 33--43.

51

bintang” (Partai Masjumi) Bali yang telah dibubarkan,48 seperti Haji Usman Shir

Muhammad atau K.H. Sutarjo Habib Adnan.

Pendirian HMI pada waktu itu berdiri pada landasan keinginan untuk

memberikan wadah bagi pengembangan dakwah dan pengkajian Islam. Ketika itu

potensinya memang tidak begitu besar, namun dapat memberikan andil

perjuangan yang positif kepada masyarakat. Dengan terbentuknya HMI sebagai

organisasi mahasiswa Islam tersebut memungkinkan adanya aktifitas-aktifitas dan

gerakan-gerakan yang dilakukan sebagai upaya memperjuangkan nilai-nilai dan

norma-norma (jihad fisabilillah) dalam berorganisasi yang berlandaskan

keagamaan.

2.3 Gerakan Mahasiswa Islam pada Masa Akhir Orde Lama: Perjuangan

Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara

Berdirinya Universitas Udayana dan fakultas-fakultas di lingkungannya

pada 17 Agustus 1962 dan disusul dengan berdirinya berbagai perguruan tinggi

lainnya seperti perguruan tinggi swasta pertama di Bali, yaitu Universitas

Marhaen (Unmar),49 dan kemudian berdiri pula Institut Hindu Dharma (IHD) pada

48Partai Masjumi dibubarkan oleh rezim Orde Lama berdasarkan Keppres. No. 200/1960,

tertanggal 17 Agustus 1960. Partai lain yang dibubarkan ialah Partai Sosialis Indonesia (PSI). Baca,

Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Grafiti, 1987), p. 386. Baca

juga Madinier, op.cit., pp. 257--267. Baca juga, Soebagijo I.N., Jusuf Wibisono: Karang di Tengah

Gelombang, (Jakarta: Gunung Agung, 1980), pp. 226--241. Baca Juga, S.U. Bajasut dan Lukman

Hakiem, Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito: Ketua Umum (Terakhir)

Partai Masjumi, (Jakarta: Kompas, 2014), p. 528. 49 Universitas Marhaen (Unmar) didirikan pada tanggal 17 Januari 1963 di Denpasar.

Pada saat berdirinya Unmar telah memiliki tiga guru besar sebagai tenaga pendidik tetap yaitu,

Prof. Dr, Suripto, S.H. (Rektor), Prof. Drs. Ernst Utrecht (PR I), dan Prof. Tirtodiningrat, S.H.

(Dosen). Berdirinya Unmar ini diharaplan dapat menjalankan fungsi utamanya yaitu sebagai

tempat penggdokan dan penggemblengan kader-kader Marhaenis yang Pro Pancasila, kader-kader

52

tahun 196350 tersebut membawa perkembangan baru bagi dunia pendidikan tinggi

Kota Denpasar khususnya dan Bali pada umumnya. Kota Denpasar terlihat

semakin ramai dengan adanya aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh para

mahasiswa, baik itu menyangkut perkuliahan maupun kegiatan-kegiatan yang

dilakukan di luar kampus. Di samping itu, juga seiring dengan perkembangan

dunia perguruan tinggi, maka status sebagai mahasiswa semakin terpandang di

dalam masyarakat.51

Tensi politik yang semakin meninggi pada era Orde Lama ini, membawa

pengaruh yang luas pada kalangan civitas academica yang baru berdiri di Kota

Denpasar. Perkembangan politik ke arah “Progresif Revolusioner” mendorong

para mahasiswa pada pemikiran yang memiliki kesadaran berpolitik dan

bermasyarakat yang tinggi. Oleh karena itu, kampus juga dijadikan sasaran

sebagai ajang kegiatan politik praktis. Adanya berbagai macam ideologi yang

dianut oleh mahasiswa sering menimbulkan konflik dikalangan mahasiswa.

Pertentangan paham ini membawa pengaruh luas dalam kehidupan kampus.

Konflik-konflik politik menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari dinamika

yang gandrung kepada Sosialisme Indonesia, kader-kader yang berdiri di barisan paling depan

dalam mempertahankan dan membela ideologi Pancasila dan kader-kader revolusi yang progresif-

revolusioner. Selanjutnya baca M. Wir, “Menjambut Dies Natalis ke-II Universitas Marhaen: Baji

Perguruan Tinggi Rakjat Marhaen Bertambah Besar, Tudjuan Utama Melahirkan Kader2

Marhaenis Pantjasila”, dalam Harian Pagi Suara Indonesia, Edisi Bali, Kamis 21 Djanuari 1965,

(Denpasar: Suara Indonesia NV, 1965), p. II, Kolom 5-7. Baca juga, Harian Pagi Suara Indonesia,

Edisi Bali, Djumat, 22 Djanuari 1965, (Denpasar: Suara Indonesia NV, 1965), p. III, Kolom 1-5.

Cf. Max Lane, op.cit., p. 80.

50 Institut Hindu Dharma (IHD) berdiri pada bulan Oktober 1963 di Denpasar dengan

rektor pertamanya ialah Prof. Dr. I.B. Mantra. Baca “Varia Mahasiswa: Panitya Masa Prabhakti

Institut Hindu Dharma Terbentuk”, dalam Harian Pagi Suara Indonesia, Edisi Bali No. 27, Tahun

XVI, Kemis, 17 September 1964, (Denpasar: Suara Indonesia NV, 1964), p. II, Kolom 4.

51Baca kembali, Sarlito Wirawan Sarwono, op.cit., pp.46--47.

53

kehidupan kampus. Konflik yang ditimbulkan pada waktu itu kurang diperhatikan

oleh penguasa.52

Sejak didirikannya Universitas Udayana pada tahun 1962 diadakan usaha-

usaha pendekatan terhadap organisasi-organisasi mahasiswa, baik yang intra

maupun ekstra kampus, yang bertujuan untuk menyatukan diri dalam sebuah

wadah organisasi. Usaha tersebut membuahkan hasil dengan terbentuknya

Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Denpasar.

Tercapainya kesepakatan dalam pembentukan PPMI yang dibentuk pada tahun

1962 dimaksudkan agar langkah mengganyang imperialisme dan kolonialisme

semakin kuat.53 Keanggotaan PPMI ini meliputi perwakilan berbagai organisasi

ekstra kampus di Denpasar, seperti HMI, GMNI, CGMI, PMKRI, GMKI,

Germindo, dan GMHB, dengan ketua umumnya M. Zubair Rukha dari GMNI.54

Organisasi ini pada awalnya terdapat kesatuan ide pemikiran, namun di balik itu

52Ida Bagus Putu Sujapa, op.cit., p. 47.

53“Pernjataan PPMI Konsulat Bali:Tuntut Prof. Dr. Mantra di Retool” dalam Harian Pagi

Suara Indonesia Edisi Bali, Selasa 24 Agustus 1965,(Denpasar: Suara Indonesia NV, 1965) p. I,

Kolom 6-7.

54Sebagaimana yang diungkapkan Widminarko dalam Ida Bagus Putu Sujapa, op.cit., p.

48. Selain PPMI yang merupakan wadah bagi organisasi ekstra kampus, terbentuk juga Majelis

Mahasiswa Indonesia yang merupakan federasi bagi organisasi-organisasi intra kampus, yaitu

Dewan Mahasiswa negeri maupun swasta yang ada di Indonesia, termasuk di Bali. Ketua MMI

Bali pertama ialah Mikail (Ketua I/FK Unud) dan I Wayan Bawa (Ketua II/FS Unud). Dalam

perjalanannya terjadi persaingan antara PPMI dengan MMI untuk berebut pengaruh politik.

Masing-masing organisasi mengklaim dirinya yang paling berhak untuk mewakili mahasiswa

Indonesia dalam kancah nasional maupun internasional, karena MMI menganggap PPMI terlalu

berpolitik praktis. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar anggota PPMI merupakan

onderbouw dari partai politik yang berkuasa pada saat itu. Namun, pengaruh organisasi ekstra

kampus ini masuk juga dalam tubuh MMI, melalui pemilihan-pemilihan dewan atau senat mahasiswa, karena tidak sedikit calon-calon yang maju merupakan anggota-anggota dari

organisasi ekstra kampus. Baca, Yudhi Irawanto, “Gerakan Mahasiswa di Bali Tahun 1966-1998”

(Skripsi S1), (Denpasar: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, 2006), p. 32.

Hasil wawancara dengan Widminarko (72 Tahun) pekerjaan: Pemimpin Redaksi Tokoh (Mantan

Ketua I Korda GMNI Bali-Nusra 1967--1969) alamat: Jl. Kori Agung Blok B/19, Perum. Green

Kori Sading, Badung, pada 15 April 2015.

54

semua dengan perbedaan ideologi masing-masing, terdapat perbedaan yang makin

lama semakin tajam sehingga tak jarang terjadi saling tuduh. Hal ini terus

berlanjut hingga ada keinginan untuk mengganyang HMI oleh CGMI yang

dianggap oleh CGMI kontra revolusioner, anti manipol, tidak progresif-

revolusioner, onderbouw Masjumi dan lainnya.55 Desakan-desakan dari CGMI

dan organisasi komunis lainnya untuk membubarkan HMI merebak hingga ke

daerah-daerah. Namun Presiden P.J.M. Dr. Ir. Soekarno dengan sabar tidak

berhasil dipengaruhi PKI dan antek-anteknya.56 Kemudian dikeluarkanlah Inpres

No. 08/INSTR. Tahun 1964 yang menginstruksikan agar Drs. E. Utrecht, S.H.,

Drs. Soedarpo, dan Drs. Amir Hamzah dipindah tugaskan dari lingkungan

55 Dalam rapat umum pada kongres CGMI di Senayan yang dihadiri oleh Presiden P.J.M.

Dr. Ir. Soekarno, Waperdam Dr. Leimena, dan Ketua CC PKI D.N. Aidit. Ketika itu Aidit dalam sambutannya kembali memprovokasi CGMI agar membubarkan HMI, dengan lantang Aidit

mengatakan “Mengapa Masjumi/GPII telah dibubarkan, HMI tidak dibubarkan? Kalau tidak dapat

membubarkan HMI, lebih baik pakai sarung!” serunya di depan lebih dari 10.000 massa CGMI

yang kemudian disambut yel-yel “Bubarkan HMI!”. Baca M. Alfan Alfian, op.cit., p. 85. Lihat

juga, Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, (Jakarta:

LP3ES, 1986), p. 318. Cf. Julius Pour (ed.), Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan &

Petualang-Catatan Julis Pour, (Jakarta: Kompas, 2010), pp.452--455.

56Selain itu Presiden P.J.M. Dr. Ir. Soekarno berhasil diyakinkan oleh beberapa tokoh-

tokoh Islam agar tidak membubarkan HMI, salah satunya ialah Menteri Agama K.H. Saifuddin

Zuhri (ayah dari Lukman Hakim Saifuddin Menteri Agama Era Presiden SBY dan Jokowi). Dalam

bukunya Berangkat Dari Pesantren antara lain ditulis, ketika terjadi pertemuan yang dihadiri pula oleh pengusaha Hasjim Ning tersebut terjadi sebuah dialog. Presiden mengatakan “Saya memberi

tahu saudara, selaku Menteri Agama, bahwa saya akan membubarkan HMI” yang kemudian oleh

K.H. Saifuddin Zuhri “Mengapa HMI akan dibubarkan”. “Berbagai laporan disampaikan pada

saya, bahwa di mana-mana HMI melakukan tindakan anti revolusi dan bersikap reaksioner” kata

Presiden, yang kemudian ditanya K.H. Saifuddin “Kadar antirevolusinya maupun kereaksionernya

sampai di mana?”, “Yaah, misalnya selalu bersikap aneh, tukang kritik, bersikap liberal, seolah-

olah hendak mengembalikan adat kebarat-baratan dan lain-lain” kata Presiden. Dalam dialog yang

berjalan sengit, Menteri Agama tidak sepakat dengan Presiden, dalam akhir dialog tersebut

Menteri Agama mengatakan “Bukan membela HMI, Pak! Saya tidak ingin Presiden berbuat

berlebihan. Itu termasuk tugas kami para pembantu Presiden” yang dijawab oleh Presiden “Bukan

berlebihan. Tetapi saya berbuat menurut geweten saya, perasaan hati saya”. Kemudian Menteri Agama merenung sejenak, lalu menentukan sikap terakhir “Kalau Bapak tetap membubarkan HMI,

artinya pertimbangan saya bertentangan dengan geweten Bapak, maka tugas saya sebagai

pembantu Bapak hanya sampai di sini!”,yang kemudian dijawab oleh Presiden sembari menyudahi

pertemuan tersebut “Baiklah, HMI tidak saya bubarkan. Tetapi saya minta jaminan HMI akan

menjadi organisasi yang progresif. Kau bersama Nasution, Roeslan Abdulgani, dan Sjarif Thayeb

harus membimbing HMI”. Baca M. Alfan Alfian, op.cit., pp. 234--235.

55

Universitas Negeri Brawijaya.57 Drs. Ernst Utrecht merupakan dosen Universitas

Negeri Brawijaya Cabang Jember yang pertama kalinya dan paling ngotot untuk

membubarkan HMI di kampus. 58 Menurut sumber tersebut juga perlu diambil

langkah-langkah untuk menertibkan organisasi HMI agar bersih dari unsur-unsur

yang dapat menghambat jalannya revolusi. Selain itu juga akhirnya ada

pengakuan dari pemerintah agar HMI menjadi alat revolusi yang progresif

revolusioner.59

Organisasi-organisasi kepemudaan Islam, termasuk HMI yang tergabung

dalam Generasi Muda Islam (Gemuis) pada kondisi yang semakin memanas

tersebut berusaha untuk membangun komitmen keislaman dalam upaya

menentang dan melawan setiap usaha-usaha yang akan menghancurkan mereka.

Hal ini membuat terjadinya pergeseran peran dan fungsi organisasi-organisasi

tersebut, yaitu yang pada awalnya hanya untuk peningkatan kualitas anggota

bergeser ada aktivitas-aktivitas politik. Pergeseran ini sifatnya insidentil dan

temporer, dalam artian tidak terikat dalam ruang dan waktu. Hal ini dapat dilihat

pada bidang organisasi-organisasi tersebut, tidak ada bidang di struktur organisasi

dan program kerja yang berorientasi dalam lapangan keagamaan, keilmuan, dan

partisipasi kepada masyarakat dan proses pembangunan, selain bidang internal

organisasi. Sehingga, dapat diasumsikan bahwa gerakan dibidang politik praktis

57Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 08/Instr. Tahun 1964, Jakarta: Sekertariat

Negara Kabinet Presiden, tanggal 4 Juli 1964.

58Ahmadani G. Martha (et al), op.cit.,p. 335

59 Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 08/Instr. Tahun 1964, loc.cit.

56

tersebut muncul ketika situasi dan kondisi eksternal (terutama sosial-politik)

menyentuh elemen-elemen yang mendasar dari organisasi.60

Aksi-aksi yang dilakukan PKI bersama organisasi-organisasi sayapnya

menunjukkan kecenderungan tidak menonjolkan individu anggotanya, namun

gerakannya. Aksi-aksi yang dilakukan kelihatannya selalu ditolerir dan dibiarkan

oleh penguasa daerah. Hal ini memperlihatkan adanya dukungan dari penguasa

kepada aksi-aksi yang dilakukan oleh PKI. 61 Seperti misalnya tidak adanya

ketegasan sikap dari Gubernur Anak Agung Bagus Sutedja pada saat itu terhadap

kasus-kasus yang dialami oleh GMNI dan PNI akibat aksi-aksi yang dilakukan

CGMI dan PKI.62

Semakin hari PKI dan onderbouwnya semakin meningkatkan aktivitas

pengganyangan terhadap lawan-lawan politiknya, namun tampaknya hal tersebut

tidak menggetarkan hati para pemuda Muslim, termasuk para mahasiswa Muslim

di Denpasar. Untuk menghadapi kaum komunis tersebut, HMI Cabang Denpasar

pada sekitar tahun 1964 melalui para pengurus-pengurusnya, sepeti Darmawan M.

Rahman, Rizani Idza Karnanda, dan Harun Kadir gencar melakukan safari

dakwah ke berbagai masjid untuk menggelorakan semangat anti komunis di

kalangan umat Islam Denpasar, serta melakukan pengkajian Islam terutama

Qur’an dan Hadist. Metode yang dilakukan oleh HMI Cabang Denpasar yaitu

60 Lihat, Kanwil Depag Propinsi Bali. Direktori Lembaga Dakwah Propinsi Bali,

(Denpasar: Proyek Penerangan Bimbingan dan Dakwah/Khutbah Agama Islam Propinsi Bali,

1991/1992), passim. 61 Hasil wawancara dengan I Ketut Suwandhi (69 Tahun) pekerjaan: Wakil Ketua DPRD

Provinsi Bali (Mantan Aktivis GSNI 1965), alamat: Jalan Veteran Gang III/2, Denpasar, 16 April

2015.

62Mengenai kejadian ini dapat dilihat pada Ida Bagus Putu Sujapa, op.cit., p. 95--97.

57

dengan menyebarkan anggota HMI ke berbagai masjid dan musholla di Denpasar

terutama ketika waktu-waktu sholat. Selain itu juga dilakukan safari dakwah pada

ibadah Jum’at, yaitu dengan mengisi khutbah Jum’at, seperti yang dilakukan oleh

beberapa anggota HMI lainnya. Hal ini kemudian ditiru dan diikuti organisasi-

organisasi pemuda dan pelajar Islam lainnya, seperti Pemuda Muhammadiyah, GP.

Anshor, atau PII.63

Bahkan para pemuda Muslim yang tergabung dalam beberapa organisasi,

melakukan aksi di bawah koordinasi Gemuis pada September 1965. Mereka

berkumpul di sekitar Masjid An-Nur guna menyatakan solidaritas terhadap HMI

dan PII 64 yang terus mendapat serangan dari kaum komunis untuk segera

dibubarkan. Bahkan mereka juga melakukan aksi coret-coret serta membawa

poster dengan bertuliskan Langkahi Majatku, sebelum bubarkan HMI-PII. Yang

pertama kali melakukan aksi corat-coret tersebut ialah Mafrukin dari Pemuda

Muhammadiyah.65

Tensi politik yang semakin memanas dan memuncak, pada tanggal 30

September 1965, PKI dengan Dewan Revolusinya melakukan usaha coup d’etat

terhadap pemerintah Republik Indonesia yang sah. Usaha ini didahului dengan

63 Seperti yang diungkapkan Rizani Idza Karnanda dalam Syawal Prasetiyana, op.cit., p.

95.

64 Ketika itu PII bersama HMI sangat sering diteror oleh kaum komunis (PKI) atau

onderbouwnya seperti IPPI, CGMI, atau Gerwani seperti yang terjadi di Kanigoro, Kediri Jawa

Timur, pada 13 Januari 1965. Ketika itu PII sedang melaksanakan training di Kanigoro, tiba-tiba

tempat latihan itu diserbu oleh ribuan Pemuda Rakyat dan BTI yang bersenjata lengkap. Qur’an

dan berbagai macam buku agama diinjak-injak. Para pengasuh pesantren tempat training tersebut seperti Kyai Said Koenan dan K.H. Jauhari dianiaya. Sementara para pengurus PII digiring ke

polsek setempat, dengan tuduhan bahwa Masjumi sebagai organisasi terlarang, telah melakukan

tindakan makar dengan menyelenggarakan training politik di wilayah tersebut. Baca H. Abdul

Mun’im DZ, op.cit., p.124.

65Syawal Prasetiyana, op.cit., p. 122.

58

melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa pucuk pimpinan TNI

Angkatan Darat. 66 Sehubungan dengan terjadinya peristiwa tersebut secara

spontanitas semangat rakyat bangkit untuk melakukan penumpasan PKI dan

anasir-anasirnya.

Demikian juga di Bali, aksi-aksi massa yang dipelopori oleh Front

Marhaenis dan bersama-sama dengan partai-partai politik yang ada di Bali

menuntut agar Gubernur Anak Agung Bagus Sutedja diberhentikan dari

jabatannya dan mengutuk aksi G30S/PKI.67 Di kalangan perguruan tinggi di Bali

66 Belakangan diketahui dengan pasti bahwa para jenderal yang akan diculik dan dibunuh

yaitu:

-Menteri/Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani;

-Mayor Jenderal Suprapto;

-Mayor Jenderal S. Parman;

-Mayor Jenderal M.T. Harjono; -Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo;

-Letnan Satu Pierre Andreas Tendean (Ajudan Menhamkan/Pangab. Jenderal A.H.

Nasution);

-Aipda. Karel Satsuit Tubun;

Gerakan tersebut kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September atau yang lebih

dikenal dengan G30S/PKI. Kelompok ini membunuh para jenderal tersebut dengan alasan untuk

mengagalkan usaha perebutan kekuasaan negara dan menyelamatkan Presiden Soekarno dari

Dewan Jenderal yang dipimpin oleh para jenderal senior seperti Menhamkan/Pangab. Jenderal

A.H. Nasution. Gerakan ini kemudian berhasil ditumpas oleh pasukan TNI dibawah komando

Jenderal Besar H.M. Soeharto. Baca H. Abdul Mun’im DZ, op.cit., pp. 132--135. Cf. Ulf

Sundhaussen, op.cit., pp. 343--439. Julius Pour (ed.), op.cit., pp.1--498.

67Baca, “Pernjataan 5 Parpol di Bali: Bubarkan PKI dan Ormas2nja, Bubarkan Partindo jg

bersikap tidak djelas dan berindikasi terlibat Kontrev, Petjat Gub. Kdh. Bali Sutedja karena

dukung “G-30-S”, dalam Harian Pagi Suara Indonesia Edisi Bali, No. 94, Tahun ke XVII, Minggu,

21 Nopember 1965, (Denpasar: Suara Indonesia NV, 1965), p. I, Kolom 5--6. Baca juga, “Front

Nasional TK I & II Mohon Kepada Presiden: Berhentikan A.A.B. Sutedja Selaku Gubernur,

Nonaktifkan Selaku Ketua Front Nasional” dalam Harian Pagi Suara Indonesia Edisi Bali, No.

102, Tahun ke XVII, Selasa, 30 Nopember 1965, (Denpasar: Suara Indonesia NV, 1965), p. I,

Kolom 1--4. Cf. “Gab. Seksi DPRGR Bali Putuskan Tidak Akui A.A.B. Sutedja, Ketua DPRGR

Mohon Presiden Memberhentikan Sebagai Gubernur”, dalam Harian Pagi Suara Indoensia Edisi

Bali, No. 104, Tahun ke XVII, 2 Desember 1965, (Denpasar: Suara Indonesia NV, 1965), p. I,

Kolom 1--4. Lihat juga, I Ngurah Suryawan, passim. Sebenarnya dalam skala nasional HMI merupakan organisasi pertama yang menyatakan sikap untuk terhadap coup d’etat G30S/PKI.

Ketika itu pada tanggal 1 Oktober 1965, utusan dari PB HMI yaitu Darmin P. Siregar dan Ekky

Syahruddin menghadap Pangdam V Jaya Mayjend. Umar Wirahadikusumah, dan menyampaikan

sikap PB HMI bahwa pemberontakan (coup d’etat) itu dilakukan PKI, HMI menuntut supaya PKI

dibubarkan dan HMI akan memberikan bantuan apa saja yang diminta pemerintah untuk

menumpas pemberontakan PKI tersebut. Lihat Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran

59

ternyata muncul juga aksi-aksi penolakan, walaupun aksinya masih dalam bentuk

pernyataan-pernyataan yang mengutuk G30S/PKI tersebut. HMI Cabang

Denpasar yang gerakannya dipusatkan di kampus Fakultas Sastra bekerjasama

dengan GMNI Denpasar dan anggota-anggota PPMI lainnya (GMHB, PMKRI,

GMKI) beserta MMI Bali membentuk aksi bersama yang disebut panitia aksi

PPMI-MMI Bali.68 Peristiwa ini membuat bangkitnya semangat mahasiswa dan

kaum pemuda Bali, termasuk Denpasar untuk menumpas PKI, dan mengkutuk

tindakan tersebut.69 Panitia Aksi Bersama PPMI-MMI ini pada tahap awalnya

mengeluarkan pernyataan bersama mengutuk G30S/PKI yang didalangi oleh PKI

HMI: Suatu Kritik dan Koreksi untuk Kebangkitan Kembali HMI, (Jakarta: Misaka Galiza, 2006),

p. 41.

68Panitia aksi ini dibentuk pada tanggal 25 November 1965. Selanjutnya baca, “PPMI-

MMI Kpd. Panglima Kodam XVI/U: Mahasiswa Siap Tunggu Komando”, dalam Harian Pagi Suara Indonesia Edisi Bali, No. 103, Tahun ke XVII, Rebo, 1 Desember 1965, (Denpasar: Suara

Indonesia NV, 1965), p. III, Kolom 5--7.

69 Di Bali aksi penumpasan terhadap komunis awalnya agak lamban. Di sana PKI

dilindungi oleh Brigjen. Sjafiuddin, seorang Soekarnois yang gigih dan salah seorang informannya

yang utama mengenai Dewan Jenderal dan Gubernur Anak Agung Bagus Sutedja, seorang anggota

Partindo, partai yang paling bersekutu erat dengan PKI. Namun, setelah seorang prajurit (prajurit

intelijen Kompi D. 471 bernama Regar) dan dua anggota GP. Anshor tewas terbunuh dalam

sebuah bentrokan antara sepasukan tentara dengan pemuda GP. Anshor dari Desa Loloan Barat

dengan pemuda komunis yang tergabung dalam Pemuda Rakyat di Desa Tegal Badeng, Jembrana

pada akhir bulan November 1965. Bentrokan tersebut terjadi karena menurut laporan terjadi rapat

gelap untuk melakukan coup d’etat kekuasaan di wilayah Jembrana, sehingga serombongan pemuda GP. Ansor yang mendapat laporan tersebut mengantar dua orang tentara intelijen dari

Kompi D. 471 ke tempat rapat gelap PKI di Desa Tegal Badeng. Pada saat yang bersamaan juga

pasukan-pasukan TNI bersama Front Pancasila (kebanyakan PNI) menuju desa di sebelah utara

kota dan di sebelah timur Kota Negara. Malam tersebut disinyalir adanya konsentrasi orang-orang

PKI di dekat desa Djerong-Dewa (Brangbang) dan sekitar setra Desa Sebetan Banjar Satrya.

Selain itu juga dilaporkan ditemukan adanya koper milik Anak Agung Dhenia (adik Gubernur

Sutedja) yang merupakan gembong PKI dan lulusan Peking, dalam koper tersebut ditemukan

adanya berkas-berkas yang berisi dokumen perebutan kekuasaan di Jembrana (G 30 N Jembrana).

Pasca kejadian tersebut penumpasan orang-orang komunis dimulai di Bali. Di Bali PNI-lah dengan

bantuan Nahdlatul Ulama’ (di beberapa desa Muslim) yang menumpas orang-orang komunis,

sampai pada bulan Desember pasukan RPKAD yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo didatangkan dari Jawa untuk meredam aksi penumpasan yang kian brutal. Baca I Ngurah

Suryawan, op.cit., pp. 142--172. Cf. H. Abdul Mun’im DZ, op.cit., pp. 153--158. Lihat pula Ulf

Sundhaussen, op.cit., pp. 382--383. Hasil wawancara dengan JBRM Soedjiwo (75 Tahun)

Pekerjaan: Pensiunan Bagian Keuangan TNI AD (mantan Bendahara Umum PMKRI Cabang

Denpasar periode 1964-1969, Komandan Kompi Resimen Mahasiswa Ugrasena) alamat: Jl.

Diponegoro, Gang Berlian No. 15 Sanglah Denpasar, pada 20 Februari 2015.

60

dan memohon kepada Presiden Soekarno agar PKI berserta onderbouwnya segera

dibekukan. Pernyataan ini kemudian disusul dengan tindakan memecat dan

memberhentikan anggota-anggota CGMI yang duduk dalam organisasi Senat

Mahasiswa, Dewan Mahasiswa, MMI, dan PPMI Bali.70 Panitia Aksi Bersama

PPMI-MMI Bali ini kemudian juga mengeluarkan pernyataan yang ditujukan

kepada pucuk pimpinan perguruan tinggi di Bali dan pemerintah agar memecat

dan memberhentikan dosen-dosen yang tergabung dalam HSI (Himpunan Sarjana

Indonesia, onderbouw PKI).71 Panitia Aksi Bersama PPMI-MMI juga memohon

kepada Presiden Soekarno agar segera memecat Gubernur Anak Agung Bagus

Sutedja dan menggantinya dengan orang yang benar-benar Pancasilais dan

Manipolis.72 Kemudian juga Panitia Aksi Bersama PPMI-MMI ini meminta pula

agar segera dilakukan pembekuan terhadap PKI dan onderbouwnya di daerah Bali

70 Baca, “Senat Mahasiswa Fak. Sastra Bersih Dari Oknum2 G-30S”, dalam Harian Pagi

Suara Indonesia No. 77 Tahun Ke XVII, Rebo 3 Nopember 1965, (Denpasar: Suara Indonesia NV,

1965), p. II, kolom 1-2. Baca pula, “Sidang Paripurna M.M.I. Komda Nusra Sukses”, dalam

Harian Pagi Suara Indonesia No. 83 Tahun Ke XVII, Selasa 9 Nopember 1965, (Denpasar: Suara

Indonesia NV, 1965), p. II, Kolom 2--3. Cf. “AKOP larang CGMI Ikuti Kuliah” dalam Harian Pagi Suara Indonesia, ibid., p. I, Kolom 4--6. Cf. “Unud Bersihkan Diri”, dalam Harian Pagi

Suara Indonesia No. 80 Tahun Ke XVII, Sabtu, 6 Nopember 1965, (Denpasar: Suara Indonesia NV,

1965), p. I, Kolom 1-2.

71Baca, “Dituntut: Drs. Harto & Drs. Nadi diretul, Germindo Supaja Dinonaktifkan”,

dalam Harian Pagi Suara Indonesia No. 96 Tahun Ke XVII, Senin, 22 Nopember 1965, (Denpasar:

Suara Indonesia NV, 1965), p. I, Kolom 6. Cf. “Keluar HSI” dalam Harian Pagi Suara Indonesia

No. 98 Tahun Ke XVII, Djumaat, 26 Nopember 1965, (Denpasar: Suara Indonesia NV, 1965), p. I,

Kolom 3. Hasil wawancara dengan Widminarko (72 Tahun) pekerjaan: Pemimpin Redaksi Tokoh

(Mantan Ketua I Korda GMNI Bali-Nusra 1967--1969) alamat: Jl. Kori Agung Blok B/19, Perum.

Green Kori Sading, Badung 72 Lihat “DPRGR Gianjar-PPMI-MMI: Mohon Presiden Berhentikan Gub. A.A. Bgs.

Sutedja”, dalam Harian Pagi Suara Indonesia No. 103 Tahun Ke XVII, Rebo, 1 Desember 1965,

(Denpasar: Suara Indonesia NV, 1965), p. I, Kolom 6--7. Cf. “PPMI-MMI Menuntut: I.B.

Kompiang Dibebaskan Dari Tugas”, dalam Harian Pagi Suara Indonesia No. 124 Tahun Ke XVII,

Rebo, 22 Desember 1965, (Denpasar: Suara Indonesia NV, 1965), p. I, Kolom 6--7.

61

dan para mahasiswa anggota PPMI-MMI, termasuk HMI akan siap membantu

TNI dalam penumpasan tersebut.73

Di kalangan pelajar Bali, termasuk Denpasar juga dilakukan aksi-aksi

yang serupa. Organisasi pelajar yang tergabung dalam ormas Pelajar Progresif

Revolusioner Daerah Bali (setelah mengeluarkan unsur-unsur pelajar

komunisnya) juga mengutuk G30S/PKI yang didalangi oleh PKI serta menuntut

supaya IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia, onderbouw PKI) dan Germindo

(onderbouw Partindo) dibubarkan.74

Untuk menjawab aspirasi masyarakat sekaligus memulihkan ketertiban di

Bali, maka pada tanggal 3 November 1965 Pepelrada Bali membekukan aktivitas

PKI dan onderbouwnya di Bali. Pepelrada Bali juga memerintahkan supaya

semua papan nama dan atribut-atribut PKI harus segera diturunkan, 75 serta

pemberlakuan wajib lapor bagi segenap pimpinan PKI dan onderbouwnya dari

73Lihat kembali, “PPMI-MMI Kpd. Panglima Kodam XVI/U: Mahasiswa Siap Tunggu

Komando”, loc.cit. Cf. “Panglima XVI/Udayana Brigdjen Sjafiudin, Hantjur Leburkan

Kemampuan dan Kemauan G 30 S”, dalam Harian Pagi Suara Indonesia No. 104 Tahun Ke XVII,

Kemis, 2 Desember 1965, (Denpasar: Suara Indonesia NV, 1965), p. I, Kolom 3--5.

74Pernyataan bersama yang dikeluarkan ormas pelajar ini mendapat sokongan luas dari

para pelajar Bali. Pada tanggal 16 November 1965, PII Cabang Badung bersama IPM, IPNU,

GSNI, GPP, GSHB, PPSK, dan GSKI mengeluarkan pernyataan bersama mengutuk G30S/PKI

dan menuntut supaya IPPI, PPI, dan Gerpindo dibubarkan serta anggotanya supaya tidak diberikan

izin bersekolah. Lihat Pernjataan Bersama No. 001/Pernj./Orpel/Bd/1965, (Denpasar, 16

November 1965), yang ditandatangani oleh delapan ormas yang disebutkan di atas. Cf. “Pernjataan

Bersama Ormas Peladjar di Bali”, dalam Harian Pagi Suara Indonesia, No. 96, Tahun ke XVII,

Selasa 23 November 1965, (Denpasar: Suara Indonesia NV, 1965), p. II, Kolom 3--4. Lihat juga

“Pepelrada Bali Brigdjen Sjafiuddin, Partindo dan Ormas2nja Dibekukan Melibatkan Diri dlm

G30S”, dalam Harian Pagi Suara Indonesia, Selasa 7 Desember 1965, (Denpasar: Suara

Indonesia NV, 1965), p. I, Kolom 4.

75Baca, “Penguasa Pelaksanaan Dwi Kora Daerah Bali, Surat Keputusan No. Kep-PPD.

2/1/234”, dalam Harian Pagi Suara Indonesia, No. 79, Tahun ke XVII, Djumaat, 5 Nopember

1965, (Denpasar: Suara Indonesia NV, 1965), p. III, Kolom 4. Cf. “Penguasa Pelaksanaan Dwi

Kora Daerah Bali, Surat Keputusan No. KEP-PPD. 2/1/233”, dalam Harian Pagi Suara Indonesia,

No. 78, Tahun ke XVII, Kemis 4 Nopember 1965, (Denpasar: Suara Indonesia NV, 1965), p. III,

Kolom 6--7.

62

tingkat CDB hingga Com Resort (CR).76 Dengan adanya keputusan ini membuat

banyak CR PKI dan onderbouwnya membubarkan diri.

Walaupun PKI telah dibubarkan, namun ketegangan di Denpasar dan Bali

belum juga mereda. 77 Rakyat dan mahasiswa semakin menuntut agar PKI

dibubarkan dan Gubernur Bali diberhentikan. Untuk mengatasi kekacauan

tersebut, akhirnya kekuasaan Pepelrada Bali atas keputusan Presiden diserahkan

kepada Pangdam XVI Udayana dan diikuti pemberhentian dari jabatannya

Gubernur Anak Agung Bagus Sutedja.78

Pembersihan terhadap anasir-anasir yang terlibat G30S/PKI di Bali

mencapai puncaknya, setelah datangnya pasukan Resimen Para Komando

Angkatan Darat (RPKAD) pada bulan Desember 1965. Dalam aksi ini, HMI dan

organisasi mahasiswa lainnya beserta Menwa Ugrasena memberikan bantuan

sepenuhnya kepada TNI. 79 Kedatangan pasukan RPKAD ke Bali, mempunyai

tujuan untuk mengarahkan dan memimpin, serta menyalurkan semangat rakyat,

76 Baca “Komando Daerah Angkatan Kepolisian XV Bali, Pengumuman No. Pol:

16/PENG/1965”, dalam Harian Pagi Suara Indonesia, No. 80, Tahun ke XVII, Sabtu 6 Nopember

1965, (Denpasar: Suara Indonesia NV, 1965), p. III, Kolom 1--3.

77Lihat, “Kaskodam XVI/Udayana: Keadaan di Bali Semakin Gawat”, dalam Harian

Pagi Suara Indonesia, No. 109, Tahun ke XVII, Selasa 7 Desember 1965, (Denpasar: Suara

Indonesia NV, 1965), p. I, Kolom 1--3. Cf. “Djendral2 Ke Bali: Masalah Bali Dapat Perhatian

Penuh”, dalam Harian Pagi Suara Indonesia, No. 112, Tahun ke XVII, Djumaat 10 Desember

1965, (Desember: Suara Indonesia NV, 1965), p. 1, Kolom 1--2.

78Baca, “Gub. Kdh. Bali Sutedja Dibebaskan Dari Djabatan”, dalam Harian Pagi Suara

Indonesia, No. 119, Tahun ke XVII, Djumaat 17 Desember 1965, (Denpasar: Suara Indonesia NV,

1965), p. I, Kolom 1--4. Cf. Sukarmen, Sekelumit Dharma Bakti dan Sumbangsih Bagi

Perwujudan Bali Dwipa Jaya, (Denpasar: t.p., 1978), p. 19.

79 Bantuan yang diberikan mahasiswa khususnya Menwa Ugrasena terhadap RPKAD

dalam menumpas G30S/PKI dapat terlihat dari ceramahnya Mayor Djasmin (Komandan Batalyon

RPKAD) di depan anggota-anggota Menwa Ugrasena di Aula Fakultas Sastra Unud, dalam

sambutannya ia meminta mahasiswa agar Kota Denpasar khususnya segera dikembalikan seperti

semula, dan ia ingin sekali menyaksikan kehidupan masyarakat Bali yang sebenarnya. Selanjutnya

baca, “Baret2 Merah Bermuntjulan di Seluruh Bali” dalam Suluh Indonesia, Minggu 26 Desember

1965, p. I, Kolom 6--7.

63

pemuda, mahasiswa, dan pelajar dalam penumpasan, sehingga tidak terjadi

pengorbanan yang sia-sia.80

Setelah melakukan tugasnya selama tiga minggu di Bali, pasukan RPKAD

telah menunjukkan hasil yang cukup baik. Keamanan dan ketertiban di Bali,

termasuk Denpasar sudah dapat dipulihkan. Keberhasilan ini dapat tercapai karena

masyarakat Bali umumnya beserta, para mahasiswa, pelajar, dan pemuda

khususnya, termasuk kaum Muslim memberikan bantuan sepenuhnya kepada

pasukan RPKAD tersebut. Bahkan pada masa ini Rizani Idza Karnanda selaku

Ketua Umum HMI Cabang Denpasar dibekali oleh pihak militer sepucuk pistol

jenis FN untuk membela dirinya karena dirinya dikejar-kejar oleh para aktivis

CGMI. 81 Rizani Idza Karnanda dikejar-kejar oleh para aktivis CGMI karena

80Baca, “Tindakan ABRI-Massa Rakjat Harus Searah Dlm Menumpas G 30 S sampai

Keakar2nja”, dalam Harian Pagi Suara Indonesia, No. 114, Tahun ke XVI, Minggu 12 Desember

1965, (Denpasar: Suara Indonesia NV, 1965), p. I, Kolom 1. Baca juga, “Dan RPKAD Major

Djasmin: laksanakan dg Konsekwen Adjaran Pembesrev. Bung Karno, Dinegara Makmur

Komunis Tidak Laku”, dalam Harian Pagi Suara Indonesia, No. 122, Tahun Ke XVII, Senin 20

Desember 1965, (Denpasar: Suara Indonesia NV, 1965), p. I, Kolom 3--6. Hasil wawancara

dengan I Ketut Suwandhi, S.Sos. (69 Tahun) pekerjaan: Wakil Ketua DPRD Provinsi Bali

(Mantan Aktivis GSNI 1965), alamat: Jalan Veteran Gang III/2, Denpasar, pada 16 April 2015.

81Pada waktu itu banyak para pengurus organisasi mahasiswa maupun kepemudaan yang

anti komunis memegang senjata yang diberikan oleh pihak militer, seperti salah satu Ketua GP Anshor Jombang yang dibekali pistol oleh pihak militer ataupun Soemarno Dipodisastro salah

seorang pengurus PB HMI yang membawa pistol ketika mendampingi Ketua Umum PB HMI Drs

(med.) Sulastomo pada saat perjalanan ke Solo-Yogya pada 17 Oktober 1965, di mana dalam

perjalanan tersebut para rombongan PB HMI sempat dihadang sekelompok tentara dan orang sipil

orang yang tidak jelas berasal dari mana. Selain itu pihak CGMI maupun beberapa anasir PKI ada

juga yang membawa pistol, namun entah dari mana mereka mendapatkannya, kemungkinan besar

dari pihak Republik Rakyat Tiongkok (RRT) seperti yang ditulis oleh Rosihan Anwar dalam

catatan hariannya pada tanggal 25 Agustus 1965 menulis bahwa didaratkan di beberapa Jawa

Tengah dan Jawa Barat (Mauk, Pangandaran, Tegal, Pacitan) kurang lebih 37.000 pucuk senjata

ringan (termasuk pistol) beberapa minggu sebelumnya, yang mana di Jawa Barat dapat disergap

oleh Pasukan Siliwangi di bawah komando Mayjend. Umar Wirahadikusumah dan Mayjend. Ibrahim Adjie. Sedangkan yang di Jawa Tengah diketahui lokasinya namun tidak disergap oleh

tentara. Baca, Hermawan Sulistiyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang

Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966), (Jakarta: Pensil-324, 2011), pp. 197--198. Lihat juga M.

Alfan Alfian, op.cit., p. 245. Hasil wawancara dengan JBRM Soedjiwo (75 Tahun) Pekerjaan:

Pensiunan Bagian Keuangan TNI AD (mantan Bendahara Umum PMKRI Cabang Denpasar

periode 1964-1969, Komandan Kompi Resimen Mahasiswa Ugrasena) alamat: Jl. Diponegoro,

64

selaku Ketua Umum HMI Cabang Denpasar Rizani memberikan bantuan dalam

penumpasan anasir-anasir komunis ke hampir seluruh pelosok Bali. Bahkan

Rizani Idza Karnanda harus pergi meninggalkan kosannya di sekitar Sanglah

setiap menjelang Maghrib dan terpaksa bermalam di Pantai Sanur maupun Kuta.

Walaupun dibekali sepucuk pistol jenis FN, Ridzani Idza Karnanda tidak mau

menggunakannya untuk membunuh karena menurutnya pantang bagi dirinya

untuk membunuh karena masalah hidup dan mati merupakan urusan Allah SWT.82

Mengenai teror-teror dari CGMI maupun anasir-anasir PKI lainnya terhadap para

aktivis diungkapkan pula oleh JBRM Soedjiwo yang merupakan mantan

Bendahara Umum Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI)

Cabang Denpasar periode 1964--1969, sekaligus mantan Komandan Kompi

Resimen Mahasiswa (Menwa) Ugrasena menyatakan bahwa dirinya juga

mengalami hal serupa yang dialaminya pada akhir tahun 1965 (bulan November-

Desember). JBRM Soedjiwo mengatakan:

“…waktu itu saya selain kuliah juga nyambi kerja di Bagian Keuangan

Kodam… itu lho yang sebelahnya Ajendam sekarang. Waktu itu jam 11 malem

saya pulang habis tugas jaga… pake sepeda onthel ke asrama di Jalan Gunung

Agung… karena saya bujang saya dapet kamar sendiri… waktu sampai di

Jembatan Tukad Badung yang dekat BCA sekarang itu lho, saya di stop sama

kawan saya anak Sastra, anak CGMI… katanya mau nunut (ikut/Bahasa Jawa-

pen) juga ke rumahnya, rumahnya di sekitar Pemedilan… Nah waktu di dekat

perempatan Puri (Pemecutan-pen) saya kaya ditodong senjata… saya tau itu

senjata lha wong rasane kok anyep-anyep (dingin/Bahasa Jawa-pen) begitu…

Nah waktu itu dia tanya saya dengan sedikit bentak KAMU PMKRI APA

Gang Berlian No. 15 Sanglah Denpasar, pada 20 Februari 2015. Mengenai senapan dari RRT lihat,

Rosihan Anwar,op. cit., p. 370.

82Ketika itu Sanur dan Kuta masih berupa desa dan banyak hutan-hutan disekitarnya serta

belum ramai seperti sekarang. Seperti yang diceritakan oleh alm. Rizani Idza Karnanda kepada

Nur Arianto pada tahun 2003. Hasil wawancara dengan Nur Arianto (34 Tahun) Pekerjaan: Swasta

(Mantan Sekertaris Umum HMI Cabang Denpasar Periode 2004-2005) alamat: Jl. Imam Banjol

Gang 100/5 No. 2, Banjar Samping Buni, Pemecutan, Kota Denpasar, pada 18 Mei 2015.

65

GMNI?!! Saya jawab DUA-DUANYA!! Nah dia tanya lagi KAMU PMKRI

APA GMNI?!! Saya jawab DUA-DUANYA!! Nah waktu itu saya pura-pura

bilang ban saya kempes… ban saya kempes… supaya dia turun… Nah

menjelang di perempatan saya belok saya sepak dia sampai jatuh… Waktu dia

jatuh langsung ngebut saya… Ndak liat saya dia ngejar apa tidak… Sampai di

Asrama saya ditanya, masih saudara sepupu yang juga jadi tentara, kenapa dik

kok ngos-ngosan? Saya jawab ya tadi habis ditodong senjata sama CGMI, nah

saudara saya bilang tunggu nanti saya bereskan… nah jam 3 pagi saya digedor

diberitahu kalo dia sudah dibereskan, saya tanya dia bener bawa senjata?

Dijawab iya… nah saya ndak tahu di mana mayatnya, dikubur di mana saya

ndak tahu…83

Bantuan dari elemen masyarakat, khususnya HMI Cabang Denpasar

kemudian sangat diapresiasi oleh pihak militer. Hal ini terlihat dalam sambutan

Mayor Djasmin yang merupakan Komandan Batalyon RPKAD pada malam

perpisahan, disambutannya Mayor Djasmin mengatakan bahwa rakyat Bali

mempunyai semangat yang sangat tinggi. Sementara itu, Kolonel Sarwo Edhie

Wibowo dalam acara ramah tamah di Tabanan mengatakan semangat rakyat Bali

dalam menumpas gerakan kontra revolusi G30S/PKI harus sedikit ditekan, dan

mengharapkan sepeninggal RPKAD Pulau Bali harus lebih aman.84

Terjadinya serta gagalnya coup d’etat G30S/PKI mengakibatkan

perubahan politik yang drastis dari rezim Orde Lama menuju Orde Baru. Hal ini

membuat HMI dan organisasi-organisasi anti komunis lainnya, seperti PMII,

PMKRI, SOMAL, dan lainnya mendesak kepada pimpinan PPMI untuk segera

mengadakan kongres. Desakan ini dilakukan dengan berbagai surat-surat

83Hasil wawancara dengan JBRM Soedjiwo (75 Tahun) Pekerjaan: Pensiunan Bagian

Keuangan TNI AD (mantan Bendahara Umum PMKRI Cabang Denpasar periode 1964-1969,

Komandan Kompi Resimen Mahasiswa Ugrasena) alamat: Jl. Diponegoro, Gang Berlian No. 15 Sanglah Denpasar, pada 20 Februari 2015. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Mbah

Jiwo atas kesediannya membuka pengalaman kelam yang beliau hadapi.

84 Baca, “Sepeninggal RPKAD, Bali Harus Lebih Aman”, dalam Harian Pagi Suara

Indonesia, No. 135, Tahun ke XVII, 4 Djanuari 1966, (Denpasar: Suara Indonesia NV, 1966), p. I,

Kolom 1--3.

66

pernyataan dan melalui rapat-rapat Presidium PPMI pada tanggal 10 dan 25

Oktober 1965 yang dihadiri anggota-anggota presidium MMB, PMB, dan

PMKRI.85 Namun, usaha-usaha HMI dan organisasi lainnya selalu ditentang oleh

GMNI, akibat dari GMNI yang masih menunggu “penyelesaian politik” dari

Presiden.86

Ketidakmampuan PPMI menanggapi situasi nasional yang berubah, telah

mendorong HMI dan organisasi-organisasi anti komunis lainnya mengambil

inisiatif sendiri dalam memberikan reaksi terhadap coup d’etat G30S/PKI. Atas

dorongan dari Menteri PTIP Brigjend. dr. Syarif Thayeb dan didukung oleh

sebagian besar organisasi mahasiswa, maka pada tanggal 25 Oktober 1965

dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Pimpinan KAMI

berbentuk presidium pusat yang terdiri dari ketua-ketua organisasi mahasiswa

yang tergabung di dalamnya. Presidium KAMI pusat yang terpilih yaitu:

Ketua Periodik : Zamroni, B.A. (PMII)

Ketua-ketua :- Cosmas Batubara (PMKRI)

- Yozar Azwar (SOMAL)

- Elyas (SOMAL)

- David Napitupulu (Mapancas)

Sekertaris Jendral :- Nazar Nasution (HMI)

85 Ketika itu HMI dan Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis/onderbouw PSI) diskors

oleh PPMI sejak Kongres V pada 1961 karena masing-masing organisasi tersebut dianggap

onderbouw partai terlarang yaitu Masjumi dan PSI. Baca M.Alfan Alfian, op.cit., pp. 175--181.

86 Lihat kembali, Ahmadani G. Martha, op.cit., p. 354.

67

-Djoni Hardjasumantri (IMADA)87

Terbentuknya KAMI membuat berbagai daerah dengan segera membentuk

KAMI di daerahnya masing-masing. Hal ini membuat para mahasiswa Denpasar

tidak tinggal diam, pada tanggal 25 Oktober 1966 HMI Cabang Denpasar dan

beberapa organisasi ekstra kampus lainnya mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa

Indonesia (KAMI) Bali yang peresmiannya dilakukan di SMA Swastiastu

Denpasar (Sekarang SMAK Santo Yoseph) yang beranggotakan HMI, GMNI,

PMKRI, GMKI dan GMHB. 88 Dalam struktural kepengurusan KAMI, HMI

dipercaya memegang komando KAMI Bali hal ini terlihat dari susunan KAMI

Bali, yaitu:

Ketua Periodik : Rizani Idza Karnanda, B.A. (HMI)

Ketua-ketua : -Raka Ariana (GMNI)

-You Bun Bing (Paulus Riyadi) (PMKRI)

-Alex Pangkahila (GMKI)

-Anom Pudja (GMHB)

Sekertaris : Enos Fred Nailius.89

87 Ibid.,p. 358. Lihat juga Yozar Azwar, Angkatan 66: Sebuah Catatan Mahasiswa,

(Jakarta: Sinar Harapan, 1981), pp.1--206. Walaupun HMI merupakan organisasi terbesar

mahasiswa Islam pada saat itu, HMI hanya mendapat posisi sebagai sekjen. Hal ini, sebenarnya

merupakan permintaan dari Menteri PTIP agar HMI tidak memegang peranan dalam penting

dalam KAMI dan bermain di balik layar. Alasan politis ini diminta karena HMI masih “dianggap”

sebagai onderbouw Masjumi. Seperti yang diungkapkan Ketua Umum PB HMI Periode 1963-

1966 Sulastomo dalam M. Alfan Alfian, op.cit., p. 181

88 Hasil wawancara dengan Widminarko (72 Tahun) pekerjaan: Pemimpin Redaksi Tokoh

(Mantan Ketua I Korda GMNI Bali-Nusra 1967--1969) alamat: Jl. Kori Agung Blok B/19, Perum.

Green Kori Sading, Badung, pada 15 April 2015.

89“Lihat, “Pendjelasan KAMI Wil. Bali”, dalam Harian Pagi Suluh Marhaen, No. 167,

Tahun ke XVIII, 14 Pebruari 1967, (Denpasar: Jajasan Gesuri, 1967), p. II, Kolom 5.

68

Rizani Idza Karnanda dalam wawancaranya dengan Tabloid Tokoh ketika

masih hidup menceritakan salah satu kiprah KAMI Bali dalam pemberantasan

anasir-anasir G30S/PKI yaitu dengan mencari keberadaan mantan Gubernur Bali

yang terlibat G30S/PKI yaitu Anak Agung Bagus Sutedja. Rizani mengatakan:

“Saat-saat terakhir KAMI, tahun 1967 saya bersama beberapa teman ke

Jakarta “memburu” Gubernur Bali Anak Agung Bagus Sutedja yang

terlibat PKI. Kami mampir di rumah Ibu Ahmad Yani. Beliau menanyakan

tujuan kami. Kami jelaskan bahwa kami ingin mencari Gubernur Sutedja

yang dikabarkan lari ke Jakarta. Ibu Yani menghubungkan kami per

telepon ke Pak Harto yang waktu itu Pjs. Presiden. Kami diterima Pak

Harto. Kami malah dipinjami jip untuk mengunjungi Lubang Buaya. Tiap

saat kami diberi hormat oleh tentara di jalan, terutama ketika masuk ke

wilayah Lubang Buaya. Cuma, tujuan utama mencari Sutedja, tak berhasil.

Kami ketemu Pangdam Jaya, tetapi beliau tak mengetahui. Terakhir ada

kabar, Sutedja sudah ada di RRC”90

Selain itu juga HMI Cabang Denpasar patut berbangga karena Ketua HMI

Cabang Denpasar, yaitu Rizani Idza Karnanda dipercaya sebagai anggota DPRD-

GR Bali (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Gotong Royong) pada tahun 1967

mewakili unsur mahasiswa,91 karena kedudukannya sebagai Ketua KAMI Bali.

Namun pada tahun 1969, akibat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12

Tahun 1969 yang menyatakan bahwa kursi parlemen yang berasal dari Golongan

Karya harus diisi oleh orang Golongan Karya murni yang bukan simpatisan partai

politik tertentu. Hal ini membuat kemudian Ridzani Idza Karnanda harus di recall

90 Anonim, “Drs H.M. Rizani Idsa Karnanda, MBA: Ketua Panitia Kejuaraa Dunia

Berselancar 123 Kali” dalam Widminarko dan Roso Daras (ed.), Orbit: Kumpulan Artikel Rubrik

Orbit Tabloid Khas Tokoh. (Jakarta: Penerbit Tabloid Tokoh, 2000), p. 202.

91 Widminarko, Widminarko Mandiri Belajar Sendiri: Jejak Warga Bali Kelahiran

Banyuwangi, (Denpasar: Pustaka Tokoh, 2013), pp. 217--218.

69

dari anggota DPRD-GR Bali akibat kedekatannya dengan Partai Muslimin

Indonesia (Parmusi) Cabang Badung.92

Walaupun begitu dalam perkembangannya KAMI Bali tidak banyak

mengalami kemajuan yang berarti. Hal ini dikarenakan sering terjadinya

pertentangan pendapat di antara anggota-anggotanya, terutama antara HMI-

PMKRI dengan GMNI-GMHB. Salah satu pertentangan pendapat tersebut dapat

terlihat ketika dalam penentuan tema peringatan TRITURA pada tahun 1967.

Pada waktu itu HMI dan PMKRI menghubungkannya dengan Deklarasi

Kebenaran dan Keadilan yang diucapkan Mashuri, S.H. (Dirjen Perguruan Tinggi

dan Ilmu Pengetahuan), sedangkan GMNI dan GMHB menolak

menghubungkannya dengan Deklarasi Kebenaran dan Keadilan tersebut,93 karena

menurut GMNI dan GMHB deklarasi tersebut dengan jelas merongrong

kewibawaan Presiden Dr. Ir. Soekarno yang ketika itu masih menjadi Presiden

Indonesia yang sah. Namun pada tahun Dalam perjalanannya KAMI Bali tidak

92 Hasil wawancara dengan Widminarko (72 Tahun) pekerjaan: Pemimpin Redaksi Tokoh

(Mantan Ketua I Korda GMNI Bali-Nusra 1967--1969) alamat: Jl. Kori Agung Blok B/19, Perum.

Green Kori Sading, Badung, pada 15 April 2015. Kedekatan antara Ridzani Idza Karnanda selaku

Ketua HMI Cabang Denpasar dengan Parmusi sebenarnya membawa nama pribadi. Namun

kedekatan ini diidentikkan dengan dekatnya HMI khususnya dengan Parmusi, akibat banyaknya alumni HMI termasuk Ketua PB HMI periode 1963--1966 yaitu Drs. (Med.) Sulastomo dan

beberapa alumni HMI lainnya ketika itu yang menjadi pengurus Pimpinan Pusat Parmusi. Lihat,

Sulastomo, Hari-Hari Yang Panjang 1963-1966, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989), pp. 94--97.

93Lihat, “GMNI-GMHB Tolak Deklarasi Kebenaran & Keadilan: GMNI Tidak Tahu

Menahu”, dalam Harian Pagi Suluh Marhaen, No. 138, Tahun ke XVIII, Rebo 11 Djanuari 1967,

(Denpasar: Jajasan Gesuri, 1967), p. I, Kolom 2--3. Cf. “Pendjelasan KAMI Wil. Bali”, loc.cit.

Lihat juga, “Kebatilan Deklarasi Ala Mashuri Semakin Terbongkar: SS Kehakiman, ISRI, GMNI,

GSNI Tuntut Mashuri Diretul”, dalam Harian Pagi Suluh Marhaen, No. 131, Tahun ke XVIII,

Rebo 4 Djanuari 1967, (Denpasar: Jajasan Gesuri, 1967), p. I, Kolom 3--4. Mengenai isi Deklarasi

Kebenaran dan Keadilan yang ditandatangani oleh Asikin Kusumaatmadja dan Mashuri, S.H. yaitu:

1. Agar Presiden Soekarno dipecat dengan tidak hormat berdasarkan Instruksi Kogam No.

09/Kogam/5/66 dan Instrruksi KOTI No. 22/KOTI/05.2;

2.Demi tegaknya keadilan hukum perlu dengan segera diadakan pemeriksaan menurut

hukum terhadap Presiden Soekarno;

Lihat kembali, Ahmaddani G. Martha (et al), op.cit., p. 406.

70

bisa berbuat banyak untuk memajukan organisasinya karena seringnya konflik

intern di antara anggotanya.

2.4 Gerakan Mahasiswa Islam pada Masa Awal Orde Baru: Kembali Ke

Kampus hingga Membangun Keummatan-Keindonesiaan

Pasca keberhasilan dalam menumbangkan Presiden Soekarno, sebagian

mahasiswa mengembangkan gagasan “kembali ke kampus”. Para mahasiswa

menganggap perjuangan mahasiswa telah sampai pada titik batas, pemerintah baru

di bawah Presiden Soeharto diberi kesempatan memperlihatkan kinerjanya,

gagasan tesebut berkembang seiring keinginan mahasiswa untuk independen dan

menghindari permainan politik. Mereka bukan satu kelompok politik yang

berusaha mendapatkan kekuasaan, melainkan suatu kekuatan moral yang

menginginkan negara mencapai cita-citanya. 94 Pasca tahun 1966, gerakan

mahasiswa (baik religius maupun nasionalis) muncul dengan peran sebagai

korektor terhadap realitas sosial dan politik yang diakibatkan oleh praktik

kekuasaan pemerintah yang berkuasa. Pemikiran untuk mengoreksi strategi

pembangunan Orde Baru menjadi salah satu fokus perhatian yang paling

mendasar di kalangan mahasiswa. Gerakan mahasiswa menghadapi kenyataan

yang membedakan antara idealisme dan praktik, antara retorika keadilan pada

tahun 1966 dan realitas sistem politik tahun 1970-an. 95 Gerakan mahasiswa

94 Onghokham, “Angkatan Muda dalam Sejarah dan Politik”, dalam Majalah Prisma No.

12, Tahun VI, Desember 1977. (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1977), p. 20.

95 Burhan D.Magenda, “Gerakan Mahasiswa dan Hubungannya dengan Sistem Politik:

Suatu Tinjauan”, dalam Majalah Prisma, No. 12, Tahun VI, Desember 1977, (Jakarta: Pustaka

LP3ES Indonesia, 1977), p. 8.

71

merubah pola geraknya, dari gerakan ideologi menjadi gerakan yang mengkritisi

kebijakan pembangunan pemerintahan Orde Baru.

Hal ini juga membuat HMI mengubah strategi pergerakannya menjadi

lebih ke dalam (ekslusif) dengan lebih masuk ke dalam ranah keislaman, walau

tetap mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru yang tidak sesuai

harapan rakyat. Pada era tersebut HMI menyelenggarakan kongres ke-IX yang

diselenggarakan di Malang pada bulan Mei 1969. Dalam kongres tersebut, HMI

Cabang Denpasar mengirimkan Taufik Asy’adi (selaku Ketua HMI Cabang

Denpasar), Zein Mahfud, Roihan, serta Ahmad Sobari. Delegasi HMI Cabang

Denpasar ketika itu berangkat menuju Malang dengan menggunakan bus. Pada

saat kongres HMI Cabang Denpasar dan HMI cabang lainnya sepakat untuk

memilih Nurcholish Madjid sebagai ketua umum PB HMI untuk periode kedua96

dan juga ikut mengesahkan dan menetapkan doktrin ideologi HMI yang dikenal

dengan Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) serta menyempurnakan sistem

pengkaderan HMI.97

96Nurcholish Madjid terpilih kembali sebagai Ketua Umum PB HMI periode 1969-1972

dengan suara mayoritras mutlak, menyingkirkan satu-satunya lawan yaitu Tawang Alun (Ketua

HMI Cabang Yogyakarta) yang hanya mendapatkan suara dari 10 Cabang, Wawancara dengan

K.H. Muhammad Taufik Asy’adi (66 Tahun) Pekerjaan: Ketua MUI Provinsi Bali (Mantan Ketua

HMI Cabang Denpasar 1969-1972, 1972-1974, Mantan Ketua PWM Muhammadiyah Bali 1995-

2000, 2000-2005), pada tanggal 25 Mei 2014, alamat: Jalan Gunung Bromo No. 54 Monang-

Maning, Denpasar. Lihat juga, Ragil Armando, “K.H. Muhammad Taufik Asy’adi 1948-2014:

Seorang Ulama’ Bali Pejuang Pluralisme” (Tugas Akhir Matakuliah Biografi Prodi. Ilmu Sejarah

Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana. Denpasar: Tidak Dipublikasikan, 2014), p. 34.

97 Pada kongres kesembilan ini jenjang pengkaderan HMI ini disempurnakan dari empat

tingkatan menjadi lima tingkatan yaitu Pre Entry Training atau Masa Perkenalan Calon

(MAPERCA) yang diselenggrakan oleh pengurus cabang, Basic Training (atau biasa disebut LK

1) yang diselenggrakan pengurus komisariat dan rayon, Intermediate Training )atau biasa disebt

LK 2) yang diselenggrakan pengurus cabang, Advanced Training (atau biasa disebut LK 3) yang

diselenggarakan pengurus BADKO, serta seminar nasional yang diselenggrakan oleh PB HMI.

Lihat M. Alfan Alfian, op.cit., p. 148.

72

Kemudian, pada tahun 1968 atas prakarsa Taufik Asy’adi, HMI Cabang

Denpasar membentuk Islam Study Club (ISC). ISC ini melakukan kegiatan-

kegiatan diskusi rutin mengenai Islam dan masyarakat, serta menerbitkan buletin

dengan nama Suara Mahasiswa. Setahun kemudian banyak anggota PII yang ikut

dalam kegiatan ISC dan juga menerbitkan buletin yang dinamakan Suara Pelajar.

Aktivitas ini berlangsung hanya sampai tahun 1975, di mana pada tahun tersebut

aktivitas ISC mengalami kemunduran dan akhirnya bubar dengan sendirinya.98

Tak hanya itu, HMI Cabang Denpasar juga melakukan kerjasama dengan

berbagai organisasi mahasiswa eksternal lainnya. Hal ini terlihat dari adanya

Kelompok Cipayung Bali yang berdiri pada era 1970-an. Kelompok Cipayung ini

merupakan wadah koordinasi dari organisasi kemahasiswaan dan pemuda guna

membicarakan hal-hal yang dianggap perlu mengenai pembangunan daerah

maupun nasional. Kelompok Cipayung di Bali terdiri dari organisasi-organisasi

seperti HMI, GMNI, PMKRI, GMKI, dan GMHB. Tak hanya itu, Kelompok

Cipayung di Bali juga melibatkan organisasi mahasiswa dan pemuda Hindu

sebagai anggota.99 Kegiatannya lebih bersifat insidentiil dan persekutuan ini tidak

98 Wawancara dengan K.H. Muhammad Taufik Asy’adi (66 Tahun) Pekerjaan: Ketua

MUI Provinsi Bali (Mantan Ketua HMI Cabang Denpasar 1969-1972, 1972-1974, Mantan Ketua

PWM Muhammadiyah Bali 1995-2000, 2000-2005), alamat: Jalan Gunung Bromo No. 54

Monang-Maning, Denpasar, pada tanggal 25 Mei 2014.

99 Wawancara dengan K.H. Muhammad Taufik Asy’adi (66 Tahun) Pekerjaan: Ketua

MUI Provinsi Bali (Mantan Ketua HMI Cabang Denpasar 1969-1972, 1972-1974, Mantan Ketua

PWM Muhammadiyah Bali 1995-2000, 2000-2005), alamat: Jalan Gunung Bromo No. 54

Monang-Maning, Denpasar, pada tanggal 25 Mei 2014. Dan juga Wawancara dengan Prof. Aron

Meko Mbete (66 Tahun), pekerjaan: Guru Besar Sosiolinguistik Unud (Mantan Ketua PMKRI Denpasar 1967-1974, Mantan Anggota KNPI Bali) alamat: Jalan Tunggul Ametung III B 1/4,

Ubung Kaja, Denpasar, pada tanggal 28 Mei 2014. Sejak bubarnya KAMI pada tahun 1969,

masing-masing organisasi mahasiswa ekstra kampus berjalan sendiri-sendiri, sehingga gerakan-

gerakan protes yang dilakukan awal tahun 1970-an menemui jalan buntu. Untuk menggalang

kembali kerjasama di antara organisasi-organisasi ekstra kampus maka pada 22 Januari 1972

bertempt di Cipayung, Bogor, empat organisasi yaitu HMI, GMNI, PMKRI, dan GMKI

73

mempunyai kepengurusan yang permanen. Kegiatannya biasanya dilakukan

bergantian di tempat organisasi yang diserahi tugas sebagai penyelenggara. 100

Namun, dalam perkembangannya persekutuan ini menjadi tidak intensif dan lama

kelamaan jarang atau hampir tidak pernah melakukan diskusi bersama. Hanya saja

dalam kegiatan yang dilakukan oleh salah satu organisasi misalnya, organisasi

yang lainnya akan diundang untuk menghadiri acara tersebut.101

HMI Cabang Denpasar menjalin hubungan baik dengan tokoh-tokoh lintas

agama, maupun politik Bali, seperti Gubernur Bali Brigjen. Soekarmen,

Pangdam/IX Udayana, Bupati Badung, Bikkhu Giri, dan tokoh-tokoh lainnya.

Seperti yang diungkapkan oleh Taufik Asy’adi:

“Ya hubungannya kita mengadakan kadang-kadang acara-acara juga

ngundang pemerintah, eee.. Gubernurnya pada waktu itu Pak Karmen

itu. Kemudian juga dari Pangdam juga kita adakan, eee.. kontak untuk

ceramah juga kita adakan. Dan kunjungan konsultasi, eee.. Dengan

pemerintah juga kita, eee.. tetap ada. Seperti pada waktu itu Pak, eee..

Mulyono misalnya di Sekda. Pak Mulyono yang sudah pensiun itu di

Gubernuran juga kontak. Ya ada pengajian-pengajian, kajian-kajian,

ada kebersamaan dengan, setelah adanya kelompok Cipayung juga

bersama-sama yang lain juga, eee.. Mengadakan kontak.”

Pada masa Orde Baru, gerakan mahasiswa Islam mengalami masa-masa

yang penting. Pada tahun 1970 Nurcholish Madjid (Ketua PB HMI) melontarkan

menyelenggarakan studi bersama tentang Indonesia yang Kita Cita-Citakan. Akhir dari studi ini

melahirkan kesepakatan membentuk Kelompok Cipayung, kesepakatan ini ditandatangani oleh

Akbar Tandjung (Ketua Umum PB HMI), Soerjadi (Ketua Umum DPP GMNI), Chris Siner Key

Timu (Ketua Presidium PP PMKRI), dan Binsar Sianipar (Ketua Umum PP GMKI). Kemudian

setelah itu PMII pad 16 April 1972 ikut serta dalam kelompok ini. Selanjutnya baca, Ahmadani G.

Martha (et al), op.cit., p. 432. 100 Wawancara dengan Sindhu Andredita (21 Tahun), Pekerjaan: Mahasiswa HI-FISIP

Unud, Ketua GMNI Cabang Denpasar, alamat: Jln. Banteng 1 Denpasar, pada 4 Januari 2015.

101Baca Djamaluddin, “Sedikit Catatan Mengenai Kelompok Cipayung” dalam makalah

Diskusi Bulanan HMI Cabang Denpasar, 12 September 1981.

74

gagasannya tentang pembaharuan kembali ajaran Islam. Ide-ide yang yang

diutarakan ternyata membawa polemik di kalangan generasi muda Islam di

Denpasar khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Pandangan-pandangan

Nurcholish Madjid sebelum tahun 1970-an dinilai sebagai pandangan seorang

Muslim idealis. Namun, ide pembaharuan dalam makalahnya yang disampaikan

dalam acara silaturrahim dan halal bi halal organisasi pemuda, pelajar, mahasiswa,

dan sarjana Muslim di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1970 berjudul Keharusan

Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat membuat citra

Nurcholish Madjid tergeser dan tercopot, pandangannya dianggap berubah.

Menarik sekali untuk dilihat pandangan Nurcholish Madjid di sini karena

mempengaruhi pemikiran para mahasiswa dan pemuda Islam di Kota Denpasar.102

Pembaharuan pemikiran saat itu harus mencakup pengetahuan tingkat tinggi

mengenai dunia modern, maka tanggung jawab pembaharuan, menurut

Nurcholish Madjid telah berpindah ke kelas intelektual Muslim seperti HMI, PII,

GPII, dan lainnya.103

Pemikiran Nurcholish Madjid mengenai ide sekularisasi sempat menjadi

pembicaraan sengit di kalangan umat Muslim di Bali, khususnya di Denpasar.

Dalam pandangannya, Nurcholish Madjid tidak bermaksud menerima paham

sekularisame. Nurcholish Madjid mengatakan:

102Utomo Danandjaja, Pembaharuan Pemikiran Islam, (Jakarta: Islamic Research Centre,

1970), pp.1--13. Lihat juga Dawam Rahardjo, “Islam dan Modernisasi: Catatan atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid”, sebuah pengantar dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan

dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987), p. 19. Cf. Martin van Bruinessen (ed.), Rakyat Kecil,

Islam, dan Politik, (Yogyakarta: Gading Publishing, 2013), pp.150--156. Lihat juga Madinier,

op.cit., pp. 430--431.

103Utomo Danandjaja, op.cit. p. 257. Lihat juga, Martin van Bruinessen, loc.cit.

75

“Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme,

sebab secularism is the name for an ideology, a new closed world view

which function very much like a new religion (sekularisme ialah istilah

untuk sebuah ideology, sebuah pandangan dunia baru yang tertutup,

yang berfungsi mirip agama). Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah

setiap bentuk perkembangan yang bersifat membebaskan. Proses

pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan

sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang

disangkanya Islami itu, di mana yang transendental dan mana yang

temporal”104

Ide ini menjadi perdebatan sengit di kalangan umat Islam di Indonesia,

termasuk di Denpasar. Perdebatan ini terlihat dari golongan tua dan muda, serta

pengikut pemikiran Nurcholish Madjid dengan kelompok kontra terhadap

pemikiran tersebut. Kelompok tua yang menentang pemikiran tersebut dimotori

oleh para ulama’-ulama’ kaum tradisionalis, khususnya NU, sedangkan kaum

muda, khususnya para anggota HMI mendukung pemikiran Nurcholish Madjid.

Pertentangan ini berarti pertentangan antara HMI dan PII. Tokoh-tokoh pengikut

Nurcholish Madjid di Denpasar di antaranya Rizani Idza Karnanda, Abdullah

Nawawy, Rakib Abbas, Ahmad Banta, Sidik, dan beberapa orang lainnya. Mereka

pada umunya merupakan anggota HMI Cabang Denpasar sebelumnya. Selain itu,

tokoh-tokoh pengikut Nurcholish Madjid yang merasakan langsung pemikiran

tersebut serta terlibat konflik pemikiran, yaitu Taufik Asy’adi (Ketua HMI

Cabang Denpasar Periode 1970-1971), Abdullah Jawas, Mustamin, Syafrul Andi

Fakih, dan lainnya, sedangkan kelompok yang menntang umumnya berasal dari

kalangan PII, seperti Zein Mahfud, Ali Sahib, dan Ahmad Sastra.105

104Nurcholish Madjid, “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi

Ummat”, dalam Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987), p. 207.

105 Wawancara dengan K.H. Muhammad Taufik Asy’adi (66 Tahun) Pekerjaan: Ketua

MUI Provinsi Bali (Mantan Ketua HMI Cabang Denpasar 1969-1972, 1972-1974, Mantan Ketua

76

Kedua kelompok tersebut kemudian membuat berbagai basis-basis dan

kajian-kajian seputar pemikiran tersebut. Hingga pada tanggal 25 Agustus 1971

Study Group Denpasar mengundang langsung Nurcholish Madjid menjadi

pembicara dalam diskusi tentang Pembaharuan Pemikiran Islam yang diadakan di

Masjid An-Nur. Diskusi ini dihadiri oleh para tokoh-tokoh Islam, baik dari kaum

tua maupun kaum muda. Dalam diskusi yang berjalan sengit hampir saja menjadi

“pengadilan” bagi Nurcholish Madjid. Walaupun pada akhirnya diskusi ini tetap

tidak mencairkan suasana pertentangan pemikiran. Hanya bagi anggota HMI

Cabang Denpasar saja yang dominan dapat menerima dan mengikuti pemikiran

Cak Nur.106 Pertentangan pemikiran ini terjadi hingga dekade 1980-an. Pasca ide

sekularisasi tersebut dan pemikiran pembaharuan Nurcholish Madjid mereda,

hingga kaum yang kontra dapat menerima apa yang dilontarkan oleh para

pembaharu tersebut.

PWM Muhammadiyah Bali 1995-2000, 2000-2005), alamat: Jalan Gunung Bromo No. 54 Monang-Maning, Denpasar, pada tanggal 25 Mei 2014.

106 Wawancara dengan K.H. Muhammad Taufik Asy’adi (66 Tahun) Pekerjaan: Ketua

MUI Provinsi Bali (Mantan Ketua HMI Cabang Denpasar 1969-1972, 1972-1974, Mantan Ketua

PWM Muhammadiyah Bali 1995-2000, 2000-2005), alamat: Jalan Gunung Bromo No. 54

Monang-Maning, Denpasar, pada tanggal 25 Mei 2014.