BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1....

38
8 BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung a. Perspektif Teoritis David Easton, teoritisi politik pertama yang memperkenalkan pendekatan sistem politik, menyatakan bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurang- kurangnya tiga sifat, ketiga sifat tersebut adalah (1) terdiri dari banyak bagian- bagian, (2) bagian-bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung, (3) mempunyai perbatasan (boundaries) yang memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem lain. Sebagai suatu sistem, sistem Pilkada Langsung mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder (secondary system) atau sub-sub sistem (subsystems). Bagian-bagian tersebut adalah electoral regulation, electoral process, dan electoral law enforcement. Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai Pilkada Langsung yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi masing-masing. Electoral process dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan Pilkada yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik yang bersifat legal maupun teknikal. Electoral law enforcement yaitu penegakan hukum terhadap aturan- aturan Pilkada baik politis, administratif atau pidana. Ketiga bagian Pilkada Langsung tersebut sangat menentukan sejauh mana kapasitas sistem dapat menjembatani pencapaian tujuan dari proses awalnya. Masing-masing bagian

Transcript of BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1....

Page 1: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

8

BAB II

LANDASAN TEORITIS

2.1. Kajian Teori

2.1.1. Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung

a. Perspektif Teoritis

David Easton, teoritisi politik pertama yang memperkenalkan pendekatan

sistem politik, menyatakan bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurang-

kurangnya tiga sifat, ketiga sifat tersebut adalah (1) terdiri dari banyak bagian-

bagian, (2) bagian-bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung, (3)

mempunyai perbatasan (boundaries) yang memisahkannya dari lingkungannya

yang juga terdiri dari sistem lain. Sebagai suatu sistem, sistem Pilkada Langsung

mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder (secondary system)

atau sub-sub sistem (subsystems). Bagian-bagian tersebut adalah electoral

regulation, electoral process, dan electoral law enforcement. Electoral regulation

adalah segala ketentuan atau aturan mengenai Pilkada Langsung yang berlaku,

bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih

dalam menunaikan peran dan fungsi masing-masing. Electoral process

dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan Pilkada yang

merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik yang bersifat legal maupun

teknikal. Electoral law enforcement yaitu penegakan hukum terhadap aturan-

aturan Pilkada baik politis, administratif atau pidana. Ketiga bagian Pilkada

Langsung tersebut sangat menentukan sejauh mana kapasitas sistem dapat

menjembatani pencapaian tujuan dari proses awalnya. Masing-masing bagian

Page 2: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

9

tidak dapat dipisah-pisahkan karena merupakan suatu kesatuan utuh yang

komplementer.

Mekenisme, prosedur dan tata cara dalam Pilkada Langsung merupakan

dimensi electoral regulation. Secara teknis parameter mekanisme, prosedur dan

tata cara dalam sistem adalah yang terukur (measurable). Ben Reilly

mengonstatasikan tiga ukuran tersebut yang menurutnya juga komplementer dan

tak dapat dipisah-pisahkan. Ketiganya adalah:

1. Sistem pemilihan menerjemahkan jumlah suara yang diperoleh dalam

pemilihan menjadi kursi.

2. Sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubung yang

memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab pemimpin yang

telah mereka pilih.

3. Sistem pemilihan memberi dorongan terhadap pihak-pihak yang saling

bersaing pengaruh supaya melakukannya dengan cara yang tidak sama.

Pendeknya, untuk memperoleh hasil Pilkada Langsung yang demokratis, proses

yang dilalui pun harus demokratis pula, yang didalamnya mengandung aspek

keadilan, keterbukaan, dan kejujuran.

b. Perspektif Praktis

Kepala daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas

memimpin birokrasi menggerakkan jalannya roda pemerintahan. Fungsi-fungsi

pemerintahan terbagi menjadi perlindungan, pelayanan publik dan pembangunan

(protective, public service, and development). Kepala daerah menjalankan fungsi

pengambilan kebijakan atas ketiga fungsi pemerintahan itu. Dalam konteks

Page 3: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

10

struktur kekuasaan, kepala daerah adalah kepala eksekutif di daerah. Istilah

jabatan publik mengandung pengertian bahwa kepala daerah menjalankan fungsi

pengambilan kebijakan yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat (publik),

berdampak terhadap rakyat, dan dirasakan oleh rakyat. Oleh sebab itu, kepala

daerah harus dipilih oleh rakyat dan wajib mempertanggungjawabkan

kepercayaan yang telah diberikan kepada rakyat. Adapun dalam pejabat politik

terkandung maksud bahwa mekanisme rekrutmen kepala daerah dilakukan dengan

mekanisme politik, yaitu melalui pemilihan yang melibatkan elemen-elemen

politik, seperti rakyat dan partai-partai politik.

Pilkada merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap

tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik Gubernur/Wakil

Gubernur maupun Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota. Dalam

kehidupan politik di daerah, Pilkada merupakan satu kegiatan, yang nilainya

equivalen dengan pemilihan anggota DPRD. Equivalensi tersebut ditunjukkan

dengan kedudukan yang sejajar antara kepala daerah dan DPRD. Hubungan

kemitraan dijalankan dengan cara melaksanakan fungsi masing-masing sehingga

terbentuk mekanisme check and balances. Oleh sebab itu, Pilkada sesungguhnya

bagian dari sistem politik di daerah. Sistem Pilkada juga bagian sistem politik di

daerah.

Aktor utama sistem Pilkada adalah rakyat, partai politik dan calon kepala

daerah. Ketiga aktor tersebut terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang

dilaksanakan dalam rangkaian tahapan-tahapan kegiatan Pilkada Langsung.

Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain: pendaftaran pemilih, pendaftaran calon,

Page 4: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

11

penetapan calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan

calon terpilih.

Karena Pilkada Langsung merupakan implementasi demokrasi partisipatoris,

maka nilai-nilai demokrasi menjadi parameter keberhasilan pelaksanaan proses

kegiatan. Nilai-nilai tersebut diwujudkan malalui asas-asas Pilkada Langsung,

yang umumnya terdiri dari langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Sebagai implikasinya proses pelaksanaan tahapan-tahapan kegiatan di atas harus

menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai objektivitas, keterbukaan, keadilan

dan kejujuran. Partai-partai politik mempunyai kepentingan besar untuk

menjadikan calonnya terpilih sehingga tidak mungkin menyerahkan

penyelenggaraan pada mereka. Catatan Pilkada selama ini menunjukkan

penyelenggaraan Pilkada oleh partai-partai politik menimbulkan bias demokrasi,

seperti persekongkolan, nepotisme dan politik uang. Oleh sebab itu, kegiatan-

kegiatan tersebut harus diselenggarakan oleh lembaga yang diatur secara ketat

untuk menjaga dan menjamin dilaksanakannya nilai-nilai objektivitas,

keterbukaan, keadilan dan kejujuran. Lembaga tersebut harus mandiri,

independen, non-partisan dan bebas kepentingan politik dengan tujuan agar dapat

menjamin pelaksanaan masing-masing kegiatan secara tertib dan adil. (Lembaga

Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Universitas

Wahid Hasyim).

Untuk mengoptimalkan tujuan dan fungsi tersebut perlu lembaga yang secara

formal berfungsi mengawasi pelaksanaan tahapan-tahapan kegiatan tersebut.

Istilah mengoptimalkan diartikan bahwa tugas yang dijalankan untuk tahapan-

Page 5: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

12

tahapan kegiatan diselenggarakan dengan sebaik-baiknya menurut kriteria

demokrasi dan ketentuan Perundang-Undangan. Oleh sebab itu, secara struktural

lembaga tersebut menjadi bagian dari penyelenggara namun bersifat otonom,

independen dan non-partisan. Kalau strukturnya diatas membawahi

penyelenggara, keberadaan lembaga bisa memunculkan terjadinya deadlock (jalan

buntu) proses Pilkada apabila optimalisasi tahapan kegiatan yang terhambat

ditafsirkan sebagai kesalahan yang harus dihentikan. Sebaliknya, jika di bawah

atau menjadi bagian dari penyelenggara Pilkada namun tidak bersifat otonom,

tujuan optimalisasi tidak akan tercapai karena mudah diintervensi dan dikooptasi.

Oleh sebab itulah, di beberapa Negara maju lembaga pengawasan pemilihan tidak

dibentuk karena penyelengara benar-benar otonom, independen dan non-partisan.

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali

disebut Pilkada atau Pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala

daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk

daerah setempat yang memenuhi syarat. Kepala daerah dan wakil kepala daerah

adalah; Gubernur dan Wakil Gubernur untuk Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati

untuk Kabupaten, Walikota dan Wakil Walikota untuk Kota.

Sebelum tahun 2005, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya UU No.

32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Pemilihan Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang

Penyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim Pemilu,

Page 6: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

13

sehingga secara resmi bernama "Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah" atau "Pemilukada". Pilkada pertama yang diselenggarakan

berdasarkan Undang-Undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta Pilkada adalah

pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang

menyatakan bahwa peserta Pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon

perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-Undang ini

menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa

pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh

partai politik lokal.

c. Jenis-Jenis Sistem Pemilu

Sistem pemilihan umum adalah merupakan salah satu instrumen

kelembagaan penting di dalam negara demokrasi. Demokrasi itu di tandai dengan

3 (tiga) syarat yakni; adanya kompetisi di dalam memperebutkan dan

mempertahankan kekuasaan, adanya partisipasi masyarakat, adanya jaminan hak-

hak sipil dan politik. Untuk memenuhi persyaratan tersebut diadakanlah sistem

pemilihan umum, dengan sistem ini kompetisi, partisipasi, dan jaminan hak-hak

politik bisa terpenuhi dan dapat dilihat. Secara sederhana sistem politik berarti

instrumen untuk menerjemahkan perolehan suara di dalam pemilu ke dalam kursi-

kursi yang di menangkan oleh partai atau calon. Sistem pemilu di bagi menjadi

dua kelompok yakni:

Page 7: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

14

1. Sistem Distrik (satu daerah pemilihan memilih satu wakil)

Di dalam sistem distrik satu wilayah kecil memilih satu wakil tunggal atas

dasar suara terbanyak, sistem distrik memiliki variasi, yakni:

a. First Past the Post, sistem yang menggunakan single member district dan

pemilihan yang berpusat pada calon, pemenangnya adalah calon yang

memiliki suara terbanyak.

b. The Two Round System, sistem ini menggunakan putaran kedua sebagai

landasan untuk menentukan pemenang pemilu. Hal ini dilakukan untuk

menghasilkan pemenang yang memperoleh suara mayoritas.

c. The Alternative Vote, sama seperti First Past the Post bedanya para

pemilih diberi otoritas untuk menentukan preferensinya melalui penentuan

ranking terhadap calon-calon yang ada.

d. Block Vote, para pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon

yang terdapat dalam daftar calon tanpa melihat afiliasi partai dari calon-

calon yang ada.

2. Sistem Proporsional (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil)

Dalam sistem ini satu wilayah besar memilih beberapa wakil, prinsip utama

di dalam sistem ini adalah adanya terjemahan capaian suara di dalam Pemilu oleh

peserta Pemilu ke dalam alokasi kursi di lembaga perwakilan secara proporsional,

sistem ini menggunakan sistem multimember districts. ada dua macam sistem di

dalam sistem proporsional, yakni;

Page 8: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

15

a. List Proportional Representation, disini partai-partai peserta pemilu

menunjukkan daftar calon yang diajukan, para pemilih cukup memilih

partai. Alokasi kursi partai didasarkan pada daftar urut yang sudah ada.

b. The Single Transferable Vote, para pemilih diberi otoritas untuk

menentukan preferensinya, pemenangnya didasarkan atas penggunaan

kuota.

Perbedaan pokok antara Sistem Distrik dan Proporsional adalah bahwa cara

menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi

perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.

Di Indonesia sudah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum sejak

kemerdekaan Indonesia hingga tahun 2009. Sistem pemilihan umum yang di anut

oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan

Proporsional, adanya usulan sistem Pemilihan Umum Distrik di Indonesia yang

sempat diajukan, ternyata di tolak. Pemilu-Pemilu paska Soeharto tetap

menggunakan Sistem Proporsional dengan alasan bahwa sistem ini dianggap

sebagai sistem yang lebih pas untuk Indonesia. Hal ini berkaitan dengan tingkat

kemajemukan masyarakat di Indonesia yang cukup besar. Terdapat kekhawatiran

ketika Sistem Distrik di pakai akan banyak kelompok-kelompok yang tidak

terwakili khususnya kelompok kecil. Disamping itu sistem Pemilu merupakan

bagian dari apa yang terdapat dalam UU Pemilu 1999 yang di putuskan oleh para

wakil rakyat yang duduk di DPR. Para wakil rakyat tersebut berpandangan bahwa

Sistem Proporsional itu lebih menguntungkan dari pada Sistem Distrik. Sistem

Proporsional tetap dipilih menjadi sistem Pemilihan Umum di Indonesia bisa jadi

Page 9: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

16

sistem ini yang akan terus di pakai. Hal ini tak lepas dari realitas yang pernah

terjadi di Negara-Negara lain bahwa mengubah Sistem Pemilu itu merupakan

sesuatu yang sangat sulit perubahan itu dapat memungkinkan jika terdapat

perubahan politik yang radikal. Di Indonesia sendiri Sistem Proporsional telah

mengalami perubahan-perubahan yakni dari perubahan Proporsional tertutup

menjadi Sistem Proporsional Semi Daftar Terbuka dan Sistem Proporsional

Daftar Terbuka.

Pasca pemerintahan Soeharto 1999, 2004 dan 2009 terdapat perubahan

terhadap Sistem Pemilu di Indonesia yakni terjadinya modifikasi Sistem

proporsional di Indonesia, dari Proporsional Tertutup menjadi Proporsional Semi

Daftar Terbuka. Dilihat dari daerah pemilihan terdapat perubahan antara Pemilu

1999 dengan masa Orde Baru. pada Orde Baru yang menjadi daerah pilihan

adalah Provinsi, alokasi kursinya murni di dasarkan pada perolehan suara di

dalam satu Provinsi, sedangkan di tahun 1999 Provinsi masih sebagai daerah

pilihan namun sudah menjadi pertimbangan Kabupaten/Kota dan alokasi kursi

dari partai peserta Pemilu didasarkan pada perolehan suara yang ada di masing-

masing Provinsi tetapi mulai mempertimbangkan perolehan calon dari masing-

masing Kabupaten/Kota. Pada Pemilu 2004 daerah pemilihan tidak lagi Provinsi

melainkan daerah yang lebih kecil lagi meskipun ada juga daerah pemilihan yang

mencakup satu Provinsi seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung,

Kepulauan Riau, Yogyakarta, Bali, NTB, semua Provinsi di Kalimantan, Sulawesi

Utara dan Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irian Jaya

Barat. masing-masing daerah pilihan mendapat jatah antara 3-12 kursi. Pada

Page 10: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

17

Pemilu 2009 besaran daerah pemilihan untuk DPR diperkecil antara 3-10.

Perbedaan lain berkaitan dengan pilihan terhadap kontestan. pada Pemilu 1999

dan Orde Baru para pemilih cukup memilih tanda gambar kontestan Pemilu. Pada

tahun 2004 para pemilih boleh mencoblos tanda gambar kontestan Pemilu dan

juga mencoblos calonnya. Hal ini dimaksudkan agar pemilih dapat mengenal dan

menentukan siapa yang menjadi wakil di DPR dan memberikan kesempatan pada

calon yang tidak berada di nomor atas untuk terpilih asalkan memenuhi jumlah

Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), dikatakan perubahan Proporsional ini Semi

Daftar Terbuka karena penentuan siapa yang akan mewakili partai didalam

perolehan kursi di DPR/DPRD tidak didasarkan pada perolehan suara tebanyak

melainkan tetap berdasarkan nomor urut, kalaupun di luar nomor urut harus

memiliki suara yang mencukupi BPP.

Sistem Proporsional Semi Daftar Terbuka sendiri pada dasarnya merupakan

hasil sebuah kompromi. dalam pembahasan RUU mengenai hasil Pemilu pada

2002, PDIP, GOLKAR, PPP terang-terangan menolak Sistem Daftar Terbuka,

dikarenakan penentuan Calon Legislatif merupakan hak partai peserta Pemilu.

Memang jika diberlakukannya Sistem Daftar Terbuka akan mengurangi otoritas

partai di dalam menyeleksi Calon Legislatif mana saja yang di pandang lebih pas

duduk di DPR/DPRD. Tetapi tiga partai itu akhirnya menyetujui perubahan hanya

saja perubahannya tidak terbuka secara bebas melainkan setengah terbuka.

Perubahan-perubahan desain kelembagaan seperti itu pada kenyataannya tidak

membawa perubahan yang berarti. Ada beberapa penyebab diantaranya yaitu,

pada kenyataannya para pemilih tetap lebih suka memilih tanda gambar dari pada

Page 11: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

18

menggabungkannya dengan memilih calon yang ada di dalam daftar pemilih

karena lebih mudah. Selain itu, di lihat dari tingkat keterwakilan masih

mengandung masalah. Permasalahan ini khususnya berkaitan dengan

perbandingan jumlah suara dengan jumlah alokasi kursi di DPR/DPRD kepada

partai-partai, di sisi lain juga nilai BPP antara daerah pemilihan yang satu dengan

daerah pemilihan yang lain memiliki perbedaan. Hal ini terkait dua hal yakni

pertama terdapat upaya untuk mengakomodasi gagasan adanya keterwakilan yang

berimbang antara Jawa dan luar Jawa, kedua secara kelembagaan terdapat

keputusan bahwa satu daerah pemilihan mininal memiliki 3 kursi, implikasinya

adalah terdapatnya daerah pemilih bahwa BPP nya berada di bawah rata-rata

BPP nasional tetapi ada juga yang berada dia atas BPP nasional.

Mengingat Sistem Pemilu yang sudah di modifikasi dan mengalami sedikit

perbaikan itu masih tidak terlepas dari kekurangan, terdapat usul untuk melakukan

modifikasi Sistem Proporsional lanjutan. Kalau pada Pemilu 2004 sudah dipakai

Sistem Daftar Setengah Terbuka, untuk Pemilu-Pemilu selanjutnya usulan

digunakannya Sistem Daftar Terbuka, di dalam sistem ini digunakan nomor urut

di dalam daftar calon tidak lagi dijadikan ukuran untuk menjadikan calon mana

yang mewakili partai di dalam perolehan kursi sekitarnya tidak ada calon yang

memenuhi BPP yang di jadikan ukurannya adalah calon yang memperoleh suara

terbanyak. Sistem ini juga mendapat dukungan dari PAN akan tetapi PDIP

menolak, sebagimana dikemukakan oleh Tjahjo Kumolo, dengan menghapuskan

nomor urut itu justru membuka peluang money politics dan dianggap

mendeligitimasi keberadaan partai, demikian juga Jusuf Kalla (GOLKAR)

Page 12: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

19

menurutnya Sistem Terbuka tanpa nomor urut dapat dilakukan secara teoritis tapi

sulit praktiknya. Perdebatan semacam itu telah di selesaikan di dalam UU Pemilu

No. 10 Tahun 2008. UU ini merupakan aturan dasar untuk Pemilu 2009 di dalam

UU ini memang disebutkan bahwa pada Pemilu 1999 Indonesia menganut Sistem

Daftar Terbuka, tetapi kenyataanya Indonesia masih menganut Sistem Semi

Daftar Terbuka. Hal ini tidak terlepas dari aturan bahwa calon yang memperoleh

suara terbanyak di dalam suatu partai tidak otomatis terpilih menjadi wakil, tapi

yang membedakan dengan Pemilu 2004 adalah bahwa di dalam Pemilu 2009 yang

memperoleh suara minimal 30% dari BPP memiliki kesempatan mewakili partai

di dalam perolehan kursi meskipun tidak berada di nomor urut, jadi, di samping

itu Pemilu 2009 juga memperkuat tuntutan pemberian kepada perempuan, semua

partai wajib menyertakan calon perempuan sebanyak 30%, atau 1 dari setiap 3

calon harus perempuan. Tetapi aturan wajib ini tidak disertai sanksi yang jelas dan

tegas manakala ada partai-partai yang melanggarnya.

Keputusan sebagaimana yang terdapat di dalam UU No. 10 tahun 2008

mengalami perubahan setelah hampir setahun, kemudian MK mengabulkan

tentang suara terbanyak sebagai patokan untuk mengalokasikan kursi kepada

partai-partai yang memperoleh kursi. Keputusan ini menjadikan Sistem Pemilu di

Indonesia benar-benar masuk kedalam kategori Sistem Proporsional Daftar

Terbuka. Calon yang memperoleh suara terbanyak yang akan lolos menjadi

anggota DPR/DPRD dari partai yang memperoleh alokasi kursi. Akibat dari

perubahan-perubahan itu, Pemilu 2009 dan bisa jadi Pemilu-Pemilu selanjutnya

memiliki konsekuensi-konsekuensi tersendiri. Pertama, kompetisi partai semakin

Page 13: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

20

kuat seiring di berlakukannya Parliementary Threshold, Parliementary Threshold

adalah dimungkinkannya sistem multipartai sederhana di dalam pemerintahan di

tingkat pusat, multipartai di dalam pemerintahan di daerah dan di Pemilu. Hasil

Pemilu 2009 menunjukkan 9 partai yang mendapat kursi di DPR yaitu Hanura,

Gerindra, PKS, PAN, PKB, GOLKAR, PPP, PDIP, Partai Demokrat karena lolos

Parliementary Threshold dan tidak sedikit juga partai-partai yang tidak memiliki

kursi di DPR tetapi mendapat kursi di DPRD. Hal ini dikarenakan ketentuan

Parliementary Threshold hanya berlaku untuk DPR bukan untuk DPRD. Realitas

ini memperkuat pandangan bahwa aturan main di dalam Sistem Pemilu itu

mewakili implikasi yang cukup besar pada alokasi kursi atau perwakilan dan

kekuatan-kekuatan politik yang ada, dan pengecilan besaran daftar pilih untuk

Pemilu anggota DPR, Kedua, kompetisi internal partai semakin tinggi, Kompetisi

akhir ini mencakup kompetisi antarcalon di dalam setiap Dapil dan antar

calon laki-laki dan perempuan. Kompetisi ini menjadi sangat tinggi setelah

pengalokasian kursi menggunakan mekanisme (suara terbanyak).

d. Asas-Asas Pilkada Langsung

Rumusan mengenai asas-asas Pilkada Langsung tertuang dalam Pasal 56 Ayat

(1) UU No. 32/2004 dan ditegaskan kembali pada Pasal 4 Ayat (3) PP No. 6/2005.

Selengkapnya bunyi Pasal 56 Ayat (1) berbunyi :

“Kepala Daerah danWakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon

yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur, dan adil.”

Dengan asas-asas tersebut. Dapat dikatakan bahwa Pilkada Langsung di

Indonesia telah menggunakan prinsip yang berlaku umum yang berlaku umum

Page 14: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

21

dalam rekrutmen pejabat publik atau pejabat politik yang terbuka. Dalam UU No.

22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, penyelenggara

Pemilihan Umum dalam hal ini KPU, KPU Provinsi maupun KPUD harus

berpedoman pada asas: Mandiri, Jujur, Adil, Kepastian hukum, Tertib

penyelenggara Pemilu, Kepentingan umum, Keterbukaan, Proporsionalitas,

Profesionalitas, Akuntabilitas, Efisiensi, Efektivitas.

2.1.2. Komisi Pemilihan Umum (KPU)

2.1.2.1. Visi dan Misi Komisi Pemilihan Umum (KPU)

1) Visi

Terwujudnya Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilihan Umum

yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel, demi

terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD

1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2) Misi

a. Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki

kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan

Pemilihan Umum.

b. Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,

adil, akuntabel, edukatif dan beradab.

Page 15: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

22

c. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang

bersih, efisien dan efektif.

d. Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara

adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara

konsisten sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

e. Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif

dalam Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat

Indonesia yang demokratis.

2.1.2.2. Tugas dan Wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan

Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 Tentang

Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja

Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk

melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai

berikut :

1. Merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum.

2. Menerima, meneliti dan menetapkan Partai-Partai Politik yang berhak

sebagai peserta Pemilihan Umum.

3. Membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan

mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat

sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS.

4. Menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk

setiap daerah pemilihan.

Page 16: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

23

5. Menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah

pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II.

6. Mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil

Pemilihan Umum.

7. Memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.

Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 terdapat tambahan

huruf:

1. Tugas dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.

Sedangkan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tersebut

juga ditambahkan, bahwa selain tugas dan kewenangan KPU sebagai dimaksud

dalam Pasal 10, selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Pemilihan Umum

dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum.

2.1.2.3. Penyelenggara Pilkada Langsung

Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan

KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum

(Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Khusus di Nanggroe Aceh

Darussalam, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP)

dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).

Penyelenggara menentukan kualitas pelaksanaan Pilkada Langsung. Pilkada

Langsung yang berkualitas umumnya diselenggarakan oleh lembaga yang

independen, mandiri dan non-partisan. Dengan kelembagaan penyelenggara yang

demikian, objektivitas dalam arti transparansi dan keadilan bagi pemilih dan

Page 17: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

24

peserta Pilkada relatif bisa dioptimalkan. Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden

dan Wakil Presiden tahun 2004 merupakan bukti kinerja kelembagaan

penyelenggara yang independen, mandiri dan non-partisan.

Fungsi utama penyelenggara adalah merencanakan dan menyelenggarakan

tahapan-tahapan kegiatan. Fungsi tersebut bisa optimal apabila dilengkapi

mekanisme kontrol dan pertanggungjawaban (accountability) sehingga

dibutuhkan pengawasan. Ada tiga jenis pengawasan, yakni pengawasan internal,

semi-internal dan eksternal. Pengawasan internal dilaksanakan melalui

mekanisme organisasi yang bersifat struktural dalam bentuk supervisi dan

pengambilan keputusan yang bersifat kolektif kolegial melalui mekanisme pleno.

Pengawasan eksternal diwujudkan melalui pemantauan dan pengawasan oleh

masyarakat, Partai Politik, Pers, dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM). Sedangkan pengawasan semi-internal dilakukan dengan pembentukan

lembaga pengawasan yang mandiri, otonom dan independen namun berada di

dalam struktur penyelenggara yang bertugas mengawasi pelaksanaan tahapan-

tahapan kegiatan. Fungsi utama lembaga pengawas adalah mengoptimalkan

penyelenggaraan tahapan-tahapan kegiatan.

Berbeda dengan penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan

Wakil Presiden yang memposisikan KPU yang bersifat nasional, tetap dan

mandiri sebagai pemegang mandat tunggal penyelenggaraan, UU No. 32/2004

membagi kewenangan penyelenggaraan Pilkada Langsung kepada tiga institusi,

yakni DPRD, KPUD dan Pemerintah Daerah. Secara fungsional, kedudukan

ketiga institusi tersebut berbeda menurut tugas dan wewenangnya.

Page 18: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

25

1. DPRD merupakan pemegang otoritas politik.

Dimaksud pemegang otoritas politik adalah bahwa DPRD merupakan

representasi rakyat yang memiliki kedaulatan dan memberikan mandat

penyelenggaraan Pilkada Langsung, berwujud pemberitahuan mengenai

berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah kepada Kepala Daerah dan KPUD.

Karena mekanisme itu bersifat politis, prosedur tersebut berimplikasi pada

kekuatan hukum penyelenggaraan namun tidak berimplikasi pada

pertanggungjawaban secara hukum. Karena KPUD harus bersifat mandiri,

independen dan non-partisan, maka pertanggungjawabannya kepada publik.

Mekanismenya adalah penyampaian laporan pelaksanaan tahapan kegiatan ke

DPRD. Penilaian politis DPRD dilakukan terhadap kinerja (baik atau kurang)

KPUD. Kritik, saran dan aspirasi rakyat disampaikan DPRD dengan tujuan

memperbaiki kinerja KPUD. Dengan demikian, penilaian DPRD tidak memiliki

implikasi hukum, misalnya membatalkan tahapan kegiatan atau membubarkan

KPUD.

Masih sebagai pemegang otoritas politik yang merupakan representasi rakyat,

DPRD juga menyelenggarakan rapat paripurna untuk mendengarkan penyampaian

visi, misi dan program dari Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah. Tujuannya, agar DPRD dan rakyat mengenal visi, misi dan program calon

dengan baik.

2. KPUD sebagai pelaksana teknis.

Sebagai pemegang mandat penyelenggaraan, KPUD secara teknis bertugas

melaksanakan tahapan-tahapan kegiatan, dari tahap pendaftaran pemilih sampai

Page 19: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

26

penetapan calon terpilih. KPUD juga membuat regulasi (aturan), mengambil

keputusan dan membuat kebijakan yang harus sesuai dengan koridor hukum dan

ketentuan Perundangan.

3. Pemerintah Daerah menjalankan fungsi fasilitasi.

Pemerintah Daerah berkewajiban memberikan fasilitasi proses Pilkada

Langsung meliputi bidang anggaran, personalia dan kebijakan sebagai eksekutif.

Selain itu, ada beberapa tugas teknis yang harus dilaksanakan untuk menunjang

pelaksanaan tahapan kegiatan.

Konstruksi penyelenggara Pilkada Langsung tersebut memperlihatkan

semangat otonomi daerah atau desentralisasi. KPUD tidak memiliki hubungan

struktural baik dengan DPRD dan Pemerintah Daerah maupun dengan KPU.

KPUD merupakan penyelenggara Pilkada Langsung tertinggi di wilayah kerjanya.

KPUD tidak bertanggung jawab secara hukum kepada DPRD dan Pemerintah

Daerah. Dalam pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota,

KPU Kabupaten/Kota adalah penyelenggara tertinggi dan tidak bertanggung

jawab kepada KPU provinsi atau KPUD dalam pemilihan Gubernur/Wakil

Gubernur, KPU provinsi menjadi penyelenggara tertinggi dan tidak bertanggung

jawab kepada KPU. Masih dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, KPU

Kabupaten/Kota menjadi bagian yang harus memberikan pertanggungjawaban

teknis kepada KPU provinsi. Tanggung jawab politis KPUD adalah kepada publik

melalui DPRD sehingga KPUD menjadi penyelenggara yang benar-benar

independen, mandiri dan non-partisan.

Page 20: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

27

KPUD dalam Pilkada Langsung merupakan metamorphosis dari KPU Provinsi

dan KPU Kabupaten/Kota yang dibentuk berdasarkan UU No. 12/2003, KPUD

merupakan lembaga yang bertanggungjawab terhadap berbagai bidang dan aspek

perencanaan, penyelenggaraan, dan pengendalian penyelenggaraan Pilkada

Langsung.

2.1.2.4. Dasar Hukum Penyelenggaraan Pilkada.

Dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

ada beberapa acuan yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam penyelenggaraan

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. UUD 1945 pada pasal 18

ayat (4) yang berbunyi: Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai

kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara

demokratis. Dari pasal 18 ayat (4) tersebut dapat diungkapkan, bahwa kepala

daerah pemerintah di daerah Provinsi sebagai kepala pemerintah disebut

Gubernur, dan Kepala Daerah di daerah Kabupaten sebagai kepala pemerintah

disebut Bupati, serta kepala daerah di daerah Kota sebagai Kepala Daerah disebut

Walikota. Semua jabatan kepala daerah Gubernur, Bupati dan Walikota dilakukan

pemilihan secara demokratis. Pengertian demokratis dijelaskan oleh UU No. 32

Tahun 2004 dengan pertimbangan pemilihan secara demokratis terhadap kepala

daerah tersebut, dengan mengingat bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut

UU No. 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak memiliki

tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Page 21: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

28

maka pemilihan secara demokratis dalam UU No. 32 Tahun 2004 dilakukan oleh

rakyat secara langsung. Dalam UU No. 22 Tahun 2003 dalam pasal 61 bahwa

DPRD Provinsi mempunyai fungsi: legislasi, anggaran dan pengawasan.

Disamping UUD 1945 pada pasal 18 ayat (4) dan UU No. 22 Tahun 2003 ada

beberapa dasar hukum yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan dalam

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yaitu UU No. 32 Tahun

2004 Tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 06 Tahun 2005

menjadi acuan sekaligus pedoman bagi KPUD untuk membuat berbagai produk

aturan KPUD berupa Peraturan KPUD yang berkaitan langsung dengan

penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

sebagaimana dijelaskan pada Pasal 65 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004.

Ada beberapa penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, sebagai

berikut:

1. Pemilihan pada pasal 56 sampai pasal 67.

2. Penetapan Pemilih pada pasal 68 sampai dengan pasal 74.

3. Kampanye pada pasal 75 sampai dengan pasal 85.

4. Pemungutan Suara pada pasal 86 sampai dengan pasal 106.

5. Penetapan calon terpilih dan Pelantikan pada pasal 107 sampai dengan

pasal 111.

6. Pemantau Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada pasal

113 dan pasal 114.

Page 22: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

29

7. Ketentuan Pidana Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

pada pasal 115 sampai dengan pasal 119.

Sebagai turunan dari UU No. 32 Tahun 2004 pemerintah mengeluarkan

Peraturan Pemerintah No. 06 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan,

Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,

sebagai berikut:

1. Persiapan Pemilihan pada pasal 2 dan pasal 3.

2. Penyelenggaraan Pemilihan pada pasal 4 sampai dengan pasal 14.

3. Penetapan Pemilih pada pasal 15 sampai dengan pasal 35.

4. Pendaftaran dan Penetapan Pasangan Calon dijelaskan pada pasal 36

sampai dengan pasal 53.

a. Peserta Pemilihan dijelaskan pada pasal 36 sampai dengan pasal 40.

b. Pendaftaran Pasangan Calon dijelaskan pada pasal 41, pasal 42 dan

pasal 138.

c. Penelitian Pasangan Calon dijelaskan pada pasal 43 sampai dengan

pasal 49.

d. Penetapan dan Pengumuman Pasangan Calon dijelaskan pada pasal 50

sampai dengan pasal 53.

5. Kampanye dijelaskan pada pasal 54 sampai dengan pasal 69

a. Pelaksanaan kampanye pada pasal 54 dan pasal 55.

b. Bentuk Kampanye pada pasal 56 sampai dengan pasal 59.

c. Larangan Kampanye pada pasal 60 sampai dengan pasal 63.

d. Dana Kampanye pada pasal 65 sampai dengan pasal 69.

Page 23: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

30

6. Pemungutan dan Penghitungan Suara pada pasal 70 sampai dengan pasal

94.

7. Penetapan Calon Terpilih Pengesahan Pengangkatan dan Pelantikan pada

pasal 95 sampai dengan pasal 104.

8. Pengawasan dan Pemantauan Pemilihan pada pasal 105 sampai dengan

pasal 122.

9. Pengawas Pemilihan pada pasal 105 sampai dengan pasal 114.

10. Pemantau Pemilihan pada pasal 115 sampai dengan pasal 122.

UU No. 32 Tahun 2004 dan penjelasan, serta Peraturan Pemerintah No. 06

Tahun 2005 dan penjelasan dijadikan sebagai panduan dalam penyelenggaraan

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

2.1.3. Evaluasi Kinerja

2.1.3.1. Evaluasi

Evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka

(rating) dan penilaian (assessment). Evaluasi kinerja sangat penting untuk menilai

akuntabilitas organisasi dalam menghasilkan pelayanan publik. Akuntabilitas

bukan sekedar kemampuan menunjukkan bagaimana uang publik dibelanjakan,

akan tetapi meliputi apakah uang tersebut dibelanjakan secara ekonomis, efektif,

dan efisien. Pendapat William N. Dunn, istilah evaluasi mempunyai arti yaitu:

“Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal),

pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment), kata-kata yang menyatakan

usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya. Dalam arti

Page 24: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

31

yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai

atau manfaat hasil kebijakan” (Dunn, 2003).

Adapun menurut Taliziduhu Ndraha dalam buku Konsep Administrasi dan

Administrasi di Indonesia berpendapat bahwa evaluasi merupakan proses

perbandingan antara standar dengan fakta dan analisa hasilnya (Ndraha, 1989).

Kesimpulannya adalah perbandingan antara tujuan yang hendak dicapai dalam

penyelesaian masalah dengan kejadian yang sebenarnya, sehingga dapat

disimpulkan dengan analisa akhir apakah suatu kebijakan harus direvisi atau

dilanjutkan.

Sudarwan Danim mengemukakan definisi penilaian (evaluating) adalah:

“Proses pengukuran dan perbandingan dari hasil-hasil pekerjaan yang nyatanya

dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya. Ada beberapa hal yang penting

diperhatikan dalam definisi tersebut, yaitu:

1. Bahwa penilaian merupakan fungsi organik karena pelaksanaan fungsi

tersebut turut menentukan mati hidupnya suatu organisasi.

2. Bahwa penilaian itu adalah suatu proses yang berarti bahwa penilaian

adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan oleh administrasi dan

manajemen.

3. Bahwa penilaian menunjukkan jurang pemisah antara hasil pelaksanaan

yang sesungguhnya dengan hasil yang seharusnya dicapai” (Danim, 2000).

Evaluasi mempunyai karakteristik yang membedakannya dari metode-metode

analisis kebijakan lainnya yaitu:

Page 25: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

32

1. Fokus nilai. Evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada

penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan

program.

2. Interdependensi Fakta-Nilai. Tuntutan evaluasi tergantung baik ”fakta”

maupun “nilai”.

3. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau. Tuntutan evaluatif, berbeda

dengan tuntutan-tuntutan advokat, diarahkan pada hasil sekarang dan masa

lalu, ketimbang hasil di masa depan.

4. Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai

kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus

cara. (Dunn, 2003)

Berdasarkan penjelasan di atas, karakteristik evaluasi terdiri dari empat

karakter. Yang pertama yaitu fokus nilai, karena evaluasi adalah penilaian dari

suatu kebijakan dalam ketepatan pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan. Kedua

yaitu interdependensi fakta-nilai, karena untuk menentukan nilai dari suatu

kebijakan bukan hanya dilihat dari tingkat kinerja tetapi juga dilihat dari bukti

atau fakta bahwa kebijakan dapat memecahkan masalah tertentu. Ketiga yaitu

orientasi masa kini dan masa lampau, karena tuntutan evaluatif diarahkan pada

hasil sekarang dan masa lalu sehingga hasil evaluasi dapat dibandingkan nilai dari

kebijakan tersebut. Keempat yaitu dualitas nilai, karena nilai-nilai dari evaluasi

mempunyai arti ganda baik rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada

maupun nilai yang diperlukan dalam mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain.

2.1.3.2. Kinerja.

Page 26: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

33

Kinerja (Performance) adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari

fungsi-fungsi pekerjaan/kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. (Bernardin

dan Russel, 1993 dalam As’ad : 2003).

Kinerja adalah penampilan hasil kerja pegawai baik secara kuantitas maupun

kualitas, kinerja dapat berupa penampilan kerja perorangan maupun kelompok,

kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dan agregasi kinerja

sejumlah individu dalam organisasi. (Yaslis Ilyas, 2003)

Kinerja mengandung dua komponen: kompetensi berarti individu atau

organisasi memiliki kemampuan untuk mengidentifikasikan tingkat kinerjanya,

produktivitas adalah kompetensi tersebut dapat diterjemahkan kedalam tindakan

atau kegiatan-kegiatan yang tepat untuk mencapai hasil kinerja (outcome) (Yaslis

Ilyas, 2002).

Kinerja merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan

kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi

dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi atau perusahaan serta

mengetahui dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional. Mink

(1993) mengemukakan pendapatnya bahwa individu yang memiliki kinerja yang

tinggi memiliki beberapa karakteristik, yaitu diantaranya: berorientasi pada

prestasi, memiliki percaya diri, berpengendalian diri dan kompetensi.

Evaluasi kinerja disebut juga “Performance evaluation” atau “Performance

appraisal”. Leon C. Mengginson mengemukakan evaluasi kinerja atau penilaian

prestasi adalah “penilaian prestasi kerja (Performance appraisal), suatu proses

yang digunakan pimpinan untuk menentukan apakah seseorang karyawan

Page 27: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

34

melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.” (Dalam

Mangkunegara, 2005). Berdasarkan pendapat tersebut, maka evaluasi kinerja

merupakan suatu proses penilaian kinerja aparatur yang dilakukan untuk melihat

tanggung jawab pekerjaannya setiap hari apakah terjadi peningkatan atau

penurunan sehingga pemimpin bisa memberikan suatu motivasi penunjang untuk

melihat kinerja aparatur kedepannya.

Evaluasi kinerja kemudian di definisikan oleh Society for Human Resource

Management yaitu “The process of evaluting how well employees perform their

jobs when compared to a set of standards, and then communicating that

information to employees. (Proses mengevaluasi sejauh mana kinerja aparatur

dalam bekerja ketika dibandingkan dengan serangkaian standar, dan

mengkomunikasikan informasi tersebut pada aparatur).” (Dalam Wirawan 2009).

Berdasarkan definisi tersebut, maka evaluasi kinerja merupakan suatu proses

untuk mengetahui sejauh mana kinerja aparatur bila dibandingan dengan

serangkaian standarisasi yang dilakukan untuk bekerja sesuai komunikasi

informasi yang telah diberikan oleh pimpinan. Evaluasi kinerja dilakukan juga

untuk menilai seberapa baik aparatur bekerja setelah menerima informasi dan

berkomunikasi dengan aparatur yang lain agar pekerjaan sesuai dengan kemauan

pimpinan dan kinerja para aparatur itu sendiri dapat terlihat secara baik oleh

pimpinan dan masyarakat selaku penilai.

Fungsi evaluasi kinerja yang dikemukakan Wirawan (2009) sebagai berikut :

1. Memberikan balikan kepada aparatur ternilai mengenai kinerjanya. Ketika

merekrut pegawai (ternilai), aparatur harus melaksanakan pekerjaan yang

Page 28: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

35

ditugaskan kepadanya sesuai dengan uraian tugas, prosedur operasi, dan

memenuhi standar kinerja.

2. Alat promosi dan demosi. Hampir disemua sistem evaluasi kinerja, hasil

evaluasi digunakan untuk mengambil keputusan memberikan promosi

kepada aparatur ternilai yang kinerjanya memenuhi ketentuan pemberian

promosi. Promosi dapat berupa kenaikan gaji, pemberian bonus atau

komisi, kenaikan pangkat atau menduduki jabatan tertentu. Sebaliknya,

jika kinerja aparatur ternilai tidak memenuhi standar atau buruk, instansi

menggunakan hasilnya sebagai dasar untuk memberikan demosi berupa

penurunan gaji, pangkat atau jabatan aparatur ternilai.

3. Alat memotivasi ternilai. Kinerja ternilai yang memenuhi standar, sangat

baik, atau superior, evaluasi kinerja merupakan alat untuk memotivasi

kinerja aparatur. Hasil evaluasi dapat digunakan instansi untuk memotivasi

aparatur agar mempertahankan kinerja yang superior dan meningkatkan

kinerja baik atau sedang.

4. Penentuan dan pengukuran tujuan kinerja. Sistem evaluasi kinerja yang

menggunakan prinsip managemen by objectives, evaluasi kinerja dimulai

dengan menentukan tujuan atau sasaran kerja aparatur ternilai pada awal

tahun.

5. Konseling kinerja buruk. Evaluasi kinerja, tidak semua aparatur mampu

memenuhi standar kinerjanya atau kinerjanya buruk. Hal itu mungkin

karena ia menghadapi masalah pribadi atau ia tidak berupaya

menyelesaikan pekerjaannya secara maksimal. Bagi aparatur seperti ini

Page 29: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

36

penilai akan memberikan konseling mengenai penyebab rendahnya kinerja

ternilai dan mengupayakan peningkatan kinerja ditahun mendatang.

Konseling dapat dilakukan sebelum evaluasi kinerja jika atasan dapat

mengetahui kelambanan aparatur.

6. Pemberdayaan aparatur. Evaluasi kinerja merupakan alat untuk

memberdayakan aparatur agar mampu menaiki tangga atau jenjang karier.

Evaluasi kinerja menentukan apakah kinerja aparatur dapat dipergunakan

sebagai ukuran untuk meningkatkan kariernya. (Wirawan, 2009)

Berdasarkan fungsi di atas, evaluasi kinerja merupakan alat yang digunakan

oleh instansi pemerintahan atau organisasi tertentu untuk menilai kinerja para

aparatur yang lamban. Evaluasi kinerja untuk memotivasi para aparatur untuk

meningkatkan kinerjanya, pemberian konseling membantu para aparatur untuk

mencegah kinerja yang terlalu lamban sehingga sebelum diadakan evaluasi kinerja

para pemimpin sudah lebih dulu menjalankan konseling untuk mengadakan

perbaikan pada waktu mendatang. Evaluasi kinerja merupakan alat motivasi bagi

para aparatur untuk menaikkan standar kerja mereka, selain sebagai alat untuk

memotivasi, evaluasi kinerja juga untuk mengukur tujuan kerja serta

memberdayakan para aparatur.

2.1.3.3. Pengukuran Kinerja dan Akuntabilitas Publik.

Tugas utama Pemerintah sebagai organisasi sektor publik terbesar adalah

untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat

merupakan sebuah konsep yang sangat multi kompleks. Kesejahteraan masyarakat

tidak hanya berupa kesejahteraan fisik yang bersifat material saja, namun

Page 30: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

37

termasuk kesejahteraan nonfisik yang lebih bersifat inmaterial. Dalam suatu

negara yang berbentuk Kerajaan Negara memiliki Raja, namun dalam Negara

berbentuk Republik yang dimiliki Negara adalah rakyat atau masyarakat. Oleh

karena itu, rakyat atau masyarakat yang harus dilayani oleh Negara. Negara

berkewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya.

Dalam suatu pemerintahan demokrasi, hubungan antara pemerintah dan

masyarakat dapat digambarkan sebagai suatu hubungan keagenan (agency

relationship), dalam hal ini pemerintah berfungsi sebagai agen yang diberi

kewenangan untuk melaksanakan kewajiban tertentu yang ditentukan oleh

masyarakat kewenangan untuk melaksanakan kewajiban tertentu yang ditentukan

oleh masyarakat sebagai prinsipal, baik secara langsung maupun tidak langsung

melalui wakil-wakilnya. Dalam hubungan keagenan, pemerintah sebagai agen

harus melaksanakan apa yang menjadi kepentingan masyarakat sebagai

prinsipalnya. Apabila pemerintah yang berkuasa tidak bekerja untuk kepentingan

masyarakat, maka masyarakat sebagai prinsipal dapat memberikan sanksi kepada

agennya, misalnya dengan tidak memilihnya untuk periode berikutnya atau

mengganti pemerintah yang sedang memegang kekuasaan saat itu.

Hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang demikian merupakan

sebuah hubungan pertanggungjawaban, dalam hal ini pemerintah sebagai agen

harus mempertanggungjawabkan aktivitas dan kinerjanya kepada masyarakat

yang telah memberikan dana (public fund) kepada pemerintah.

Pertanggungjawaban kepada masyarakat ini disebut akuntabilitas publik.

Berdasarkan teori keagenan tidak ada jaminan agen (pemerintah) selalu bertindak

Page 31: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

38

atas kepentingan prinsipal (masyarakat). Pemerintah sebagai agen memiliki

perilaku oportunis (opportunistic behavior), yaitu pemerintah bertindak untuk

kepentingan dan kesejahteraannya sendiri bukan kesejahteraan masyarakat yang

menjadi prinsipalnya (Watt dan Zimmerman, 1986, Godfrey et al, 1997).

Dalam hubungan keagenan seringkali muncul masalah berupa adanya

informasi asimetrik, yaitu informasi yang tidak dimiliki secara sama oleh tiap-tiap

pihak. Pemerintah memiliki informasi yang lebih banyak mengenai kinerja

organisasi yang sesungguhnya, sedangkan masyarakat hanya memperoleh

informasi kinerja secara terbatas atau bahkan tidak sama sekali. Permasalahan lain

yang mungkin muncul dalam hubungan keagenan adalah adanya moral hazard.

Moral hazard memiliki banyak bentuk, dalam konteks kepada masyarakat luas,

dilakukannya korupsi, kolusi dan nepotisme. Pemberian informasi mengenai

kinerja pemerintah kepada masyarakat merupakan cara untuk mengurangi

informasi asimetrik di sektor publik.

Di samping itu, di tubuh pemerintah sendiri dikembangkan hubungan patron-

client antara pemerintah yang sedang berkuasa dengan patron-patron politiknya.

Hubungan ini seringkali bertujuan untuk mengamankan dan melanggengkan

kekuasaan. Hubungan patron-client ini dapat berupa konspirasi antara pemerintah

yang sedang berkuasa dengan partai politik terbesar, militer, pelaku pasar atau

kaum kapitalis, dan kaum intelektual untuk menciptakan hegemoni politik.

Apabila hubungan patron-client tersebut semakin kuat, maka efek negatif

yang mungkin muncul adalah lahirnya rezim berkuasa secara otoriter dan absolut.

Di samping itu, kekuasaan yang absolut tersebut akan semakin sulit dikontrol

Page 32: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

39

masyarakat dan menimbulkan korupsi yang akut. Untuk meminimalkan dan

mengantisipasi timbulnya pemerintahan yang menyimpang tersebut diperlukan

suatu sistem akuntabilitas publik. Untuk menciptakan sistem akuntabilitas publik

yang baik diperlukan saluran-saluran akuntabilitas yang bersistem dengan baik

sehingga sistem tersebut mampu mencegah berbagai bentuk penyimpangan yang

mungkin terjadi (Mulgan, 1997).

2.1.3.4. Dimensi Akuntabilitas Publik.

Kewajiban agen untuk mengelola sumber daya, melaporkan dan

mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan

sumber daya publik kepada pihak pemberi mandat (principal). Dalam konteks

organisasi pemerintah, akuntabilitas publik adalah pemberian informasi atas

aktivitas dan kinerja pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Penekanan utama akuntabilitas publik adalah pemberian informasi kepada publik

dan konstituen lainnya yang menjadi pemangku kepentingan (stakeholder).

Akuntabilitas publik juga terkait dengan kewajiban untuk menjelaskan dan

menjawab pertanyaan mengenai apa yang telah, sedang dan direncanakan akan

dilakukan organisasi sektor publik.

Akuntabilitas berbeda dengan konsep responsibilitas (responsibility).

Akuntabilitas dapat dilihat sebagai salah satu elemen dalam konsep responsibilitas.

Akuntabilitas berarti kewajiban mempertanggungjawabkan apa yang telah

dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang, sedangkan responsibilitas

merupakan akuntabilitas yang berkaitan dengan kewajiban untuk menjelaskan

kepada orang/pihak lain yang memiliki kewenangan untuk meminta

Page 33: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

40

pertanggungjawaban dan memberikan penilaian. Namun harus diingat bahwa

tuntutan akuntabilitas harus diikuti dengan pemberian kapasitas untuk

melaksanakan, keleluasaan (diskresi), dan kewenangan.

Akuntabilitas publik terdiri atas dua macam, yaitu akuntabilitas vertikal

(vertical accountability) dan akuntabilitas horizontal (horizontal accountability).

Akuntabilitas vertikal (vertical accountability) adalah akuntabilitas kepada

otoritas yang lebih tinggi, misalnya akuntabilitas kepala dinas kepada Bupati atau

Walikota, Menteri kepada Presiden, Kepala Unit kepada Kepala Cabang, Kepala

Cabang kepada CEO, dan sebagainya. Akuntabilitas horizontal (horizontal

accountability) adalah akuntabilitas kepada publik secara luas atau terhadap

sesama lembaga lainnya yang tidak memiliki hubungan atasan bawahan.

Akuntabilitas publik harus dilakukan oleh organisasi sektor publik terdiri atas

beberapa aspek. Dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh lembaga-

lembaga publik tersebut antara lain (Hopwood dan Tomkins, 1984; Elwood,

1993):

1. Akuntabilitas Hukum dan Kejujuran (accountability for probity and

legality)

Akuntabilitas lembaga-lembaga publik untuk berperilaku jujur dalam bekerja

dan menaati ketentuan hukum yang berlaku. Akuntabilitas hukum berkaitan

dengan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam

menjalankan organisasi, sedangkan akuntabilitas kejujuran berkaitan dengan

penghindaran penyalahgunaan jabatan (abuse of power), korupsi dan kolusi.

Akuntabilitas hukum menuntut penegakan hukum (law enforcement), sedangkan

Page 34: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

41

akuntabilitas kejujuran menuntut adanya praktik organisasi yang sehat tidak

terjadi malpraktik dan maladministrasi.

2. Akuntabilitas Manajerial (managerial accountability)

Pertanggungjawaban lembaga publik untuk melakukan pengelolaan organisasi

secara efisien dan efektif. Akuntabilitas manajerial dapat juga diartikan sebagai

akuntabilitas kinerja (performance accountability). Inefisiensi organisasi publik

adalah menjadi tanggung jawab lembaga yang bersangkutan dan tidak boleh

dibebankan kepada klien atau customer-nya. Akuntabilitas manajerial juga

berkaitan dengan akuntabilitas proses (process accountability) yang berarti bahwa

proses organisasi harus dapat dipertanggungjawabkan, dengan kata lain tidak

terjadi inefisiensi dan ketidakefektifan organisasi. Analisis terhadap sektor publik

akan banyak berfokus pada akuntabilitas manajerial. Namun perlu dipahami

bahwa akuntabilitas manajerial ini berbeda dengan akuntabilitas komersial.

Akuntabilitas manajerial merupakan akuntabilitas bawahan kepada atasan dalam

suatu organisasi, sedangkan akuntabilitas komersial merupakan akuntabilitas

suatu perusahaan kepada pemiliknya misalnya akuntabilitas perusahaan

BUMN/BUMD kepada pemerintah sebagai pemilik. Akuntabilitas manajerial

menjadi perhatian utama manajer sektor publik dalam melaksanakan sistem

manajemen berbasis kinerja.

3. Akuntabilitas Program (program accountability)

Akuntabilitas program berkaitan dengan pertimbangan apakah tujuan yang

ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah organisasi telah

mempertimbangkan alternatif program yang memberikan hasil yang optimal

Page 35: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

42

dengan biaya yang minimal. Lembaga-lembaga publik harus

mempertanggungjawabkan program yang telah dibuat sampai pada pelaksanaan

program. Dengan kata lain akuntabilitas program berarti bahwa program-program

organisasi hendaknya merupakan program yang bermutu yang mendukung

strategi dan pencapaian misi, visi dan tujuan organisasi.

4. Akuntabilitas Kebijakan (policy accountability)

Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban lembaga publik

atas kebijakan-kebijakan yang diambil. Lembaga-lembaga publik hendaknya

dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang telah ditetapkan dengan

mempertimbangkan dampak dimasa depan. Dalam membuat kebijakan harus

dipertimbangkan apa tujuan kebijakan tersebut, mengapa kebijakan itu diambil,

siapa sasarannya, pemangku kepentingan (stakeholder) mana yang akan

terpengaruh dan memperoleh manfaat dan dampak (negatif) atas kebijakan

tersebut.

5. Akuntabilitas Finansial (financial accountability)

Pertanggungjawaban lembaga-lembaga publik untuk menggunakan uang

publik (public money) secara ekonomi, efisien dan efektif, tidak ada pemborosan

dan kebocoran dana serta korupsi. Akuntabilitas finansial menekankan pada

ukuran anggaran dan finansial. Akuntabilitas finansial sangat penting karena

pengelolaan keuangan publik akan menjadi perhatian utama masyarakat.

Akuntabilitas finansial mengharuskan lembaga-lembaga publik untuk membuat

laporan keuangan untuk menggambarkan kinerja finansial organisasi kepada

pihak luar. Meskipun informasi mengenai kinerja finansial sangat penting, namun

Page 36: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

43

saat ini ada keyakinan bahwa ukuran kerja finansial saja tidak cukup, karena

ukuran finansial hanya menggambarkan salah satu aspek kinerja organisasi secara

keseluruhan. Untuk memperbaiki sistem pengukuran kinerja dan akuntabilitas

kepada berbagai pemangku kepentingan yang berbeda-beda, ukuran kinerja

nonfinansial harus dikembangkan dalam organisasi sektor publik. Ukuran

nonfinansial dalam menentukan akuntabilitas hasil semakin penting dalam sistem

manajemen berbasis kinerja. Akuntansi sektor publik memiliki peran yang sangat

penting dalam mendorong terciptanya akuntabilitas finansial. Kekuatan utama

akuntansi adalah pada pemberian informasi. Informasi keuangan merupakan

produk akuntansi yang sangat powerful untuk mempengaruhi pengambilan

keputusan, meskipun informasi bukanlah satu-satunya informasi yang dibutuhkan

untuk mendukung pengambilan keputusan.

2.2. Penelitian yang Relevan

Dalam penyusunan karya ilmiah ini mengacu pada hasil penelitian skripsi oleh

Pradipta Budhi Setyawan mahasiswa Universitas Sebelas Maret Tahun 2010 yang

berjudul “Evaluasi kinerja Komisi Pemilihan Umum Daerah Ponorogo Dalam

Penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 Di Kabupaten

Ponorogo”, bahwa Kinerja Komisi Pemilihan Umum Daerah Ponorogo dalam

penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 termasuk dalam

kategori cukup dilihat dari indikator Responsivitas, Responsibilitas, Akuntabilitas,

Transparansi.

2.3. Kerangka Berpikir Penelitian

Page 37: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

44

Kerangka Penelitian adalah model konseptual tentang bagaimana teori

berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah

yang penting, kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah:

Bagan 2.1

Kerangka Pikir Penelitian

KPU Kota Salatiga dalam Penyelengaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah

Kota Salatiga terbagi dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan

dan tahap penyelesaiaan dengan hasil terpilihnya Calon Walikota terpilih

Yulianto, SE. MM dan H. Muh. Haris, SS. MM, namun dalam tahap penyelesaian

KPU Kota Salatiga mendapat gugatan PHPU dari Pasangan Calon Ir. Hj. Diah

Sunarsasi dan M. Teddy Sulistio, SE oleh karena itu dilaksanakan evaluasi

penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

yang dilihat dari dimensi Akuntabilitas Publik yang terbagi dalam Akuntabilitas

Hukum dan Kejujuran, Akuntabilitas Program, Akuntabilitas Kebijakan,

Akuntabilitas manajerial dan Akuntabilitas Finansial sehingga dari hasil evaluasi

Hasil Kinerja KPU

Kota Salatiga

Evaluasi Kinerja KPUD

Dimensi kinerja :

1. Akuntabilitas Hukum dan

Kejujuran.

2. Akuntabilitas Manajerial.

3. Akuntabilitas Program.

4. Akuntabilitas Kebijakan.

5. Akuntabilitas Finansial.

Hasil Pilkada Pelaksanaan

Pilkada

Umpan Balik

Untuk Pilkada Berikutnya

Persiapan Pilkada

Penyelesaian

Pilkada

KPU Kota Salatiga

Page 38: BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2563/3/T1_172008017_BAB II.pdfdalam menunaikan peran dan fungsi ... Nilai-nilai tersebut

45

tersebut akan dijadikan umpan balik untuk KPU Kota Salatiga untuk

penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

kedepan.