BAB II LANDASAN TEORITIK - sinta.unud.ac.id · negara hukum seperti halnya negara hukum Indonesia,...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORITIK - sinta.unud.ac.id · negara hukum seperti halnya negara hukum Indonesia,...
38
BAB II
LANDASAN TEORITIK
Sebagai karya ilmiah, kajian-kajian yang akan dilakukan tentunya harus
berdasarkan landasan teoritis. Guna mendapatkan kajian yang mendalam dan
ilmiah, dalam penelitian ini digunakan landasan teoritis baik berupa teori maupun
konsep. Kajian permasalahan dalam penelitian ini menyangkut persoalan retribusi
daerah yang secara substansial diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan yang dikaji bukan hanya menyangkut tentang
pendapatan daerah dan retribusi daerah, melainkan juga berkaitan dengan
pelaksanaan sistem pemerintahan daerah dan otonomi daerah. Berdasarkan model
kajian demikian, maka landasan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini
berupa teori negara hukum, teori keadilan, teori keberlakuan hukum, teori
kewenangan, teori pembentukan peraturan perundang-undangan, konsep otonomi
daerah, konsep retribusi daerah dan konsep perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
Teori-teori hukum diatas digunakan untuk mengkaji permasalahan-
permasalahan hukum dalam penelitian ini. Perlunya teori hukum sebagai
landasan pengkajian masalah hukum disampaikan oleh Brian H. Bix yang
mengatakan: Theories of law will tell one what it is that makes some rule (norm),
rule (norm) system, practice, or institution “legal” or “not legal”,“law” or “not
law.”18 Permasalahan hukum yang pertama yakni bagaimanakah kewenangan
pengaturan pemungutan retribusi daerah. Guna menganalisa permasalahan hukum
18Brian H Bix, 2009, Jurisprudence: Theory and Concept, Thomson Reuter (Legal)
Limited, London, h. 9.
39
tersebut akan dianalisa dengan menggunakan teori negara hukum, teori keadilan,
teori kewenangan, teori pembentukan peraturan perundang-undangan dan teori
keberlakuan hukum. Teori negara hukum, teori keadilan dan teori kewenangan
digunakan sebagai dasar analisa dari kewenangan pemungutan retribusi daerah.
Maksudnya, dengan menggunakan teori-teori tersebut akan dapat ditelusuri secara
mendalam mengenai dasar kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah
dalam mengadakan pemungutan retribusi di daerah Provinsi Bali serta kandungan
nilai keadilan dalam kewenangan pemungutan retribusi di daerah. Selanjutnya,
teori pembentukan peraturan perundang-undangan digunakan untuk menganalisa
tentang pengaturan pemungutan retribusi daerah di Provinsi Bali, baik dari
peraturan yang lebih tinggi sampai pada peraturan yang paling rendah. Dalam
teori keberlakuan hukum, digunakan sebagai pisau analisa dalam mengkaji
kaidah-kaidah hukum, substansi norma serta keberlakuan norma hukum tentang
retribusi daerah. Sehubungan dengan permasalahan pertama, dalam permasalahan
yang kedua yaitu bagaimanakah bentuk dan substansi norma peraturan perundang-
undangan dalam rangka peningkatan pendapatan daerah yang bersumber dari
retribusi daerah. Permasalahan hukum kedua ini dikaji dengan menggunakan
konsep otonomi daerah, konsep perimbangan keuangan antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dan konsep retribusi daerah. Konsep-konsep hukum tersebut
digunakan sebagai pisau analisa untuk membedah bentuk dan substansi norma
hukum dalam rangka peningkatan pendapatan daerah yang bersumber dari
retribusi daerah.
40
Konsep otonomi daerah digunakan untuk menelusuri secara mendalam
tentang kewenangan mengatur segala urusan Pemerintah Daerah terutama
menyangkut tentang retribusi daerah. Pada prinsipnya, konsep otonomi daerah
merupakan suatu konsep yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan di
daerah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah tersebut diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan
kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain
itu, Pemerintah Daerah wajib meningkatkan efektivitas dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demikian,
tentunya Pemerintah Daerah harus memperhatikan aspek-aspek hubungan antara
Pemerintah dengan Pemerintah Daerah dan antar daerah, potensi dan keaneka
ragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan
sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Konsep otonomi daerah digunakan untuk menganalisa permasalahan
pertama dalam penelitian ini, yaitu menganalisa tentang kewenangan pengaturan
pemungutan retribusi daerah. Untuk menganalisa kewenangan pengaturan
pemungutan retribusi daerah tersebut didasarkan pada konsep otonomi daerah
sehingga dapat ditelusuri secara mendalam tentang kewenangan pengaturan
retribusi daerah tersebut. Sehubungan dengan itu, konsep otonomi daerah ini
tersirat dalam konsideran menimbang huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa penyelenggaraan
41
pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat, peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Disamping itu, efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah ditingkatkan dengan lebih memperhatikan
aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antardaerah,
potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan
global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
2.1. Teori Negara Hukum
Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 secara tegas menentukan: "Negara Indonesia adalah Negara hukum".
Negara hukum Indonesia berlandaskan pada Pancasila sebagai dasar negara
dengan sila-sila sebagaimana termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 yang pada alinea pertama menyatakan bahwa "kemerdekaan merupakan hak
segala bangsa" yang merupakan afirmasi dari hak dasar untuk menentukan nasib
sendiri. Selanjutnya pada alinea kedua menyebutkan bahwa Negara Indonesia
yang merdeka adalah Negara Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Hal ini menegaskan bahwa kekuasaan hendaklah dijalankan dengan adil, artinya
negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Dalam alinea
ketiga tercantum hasrat Indonesia untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas,
42
yang menekankan HAM kolektif yang dimiliki sebuah bangsa, serta alinea
keempat mencantumkan hak sosial, ekonomi, politik dan pendidikan.19
Pengaturan Indonesia sebagai negara hukum dalam Undang-Undang Dasar
Negara Kesatuann Republik Indonesia Tahun 1945 juga menegaskan bahwa
segala tindakan penguasa atau pemerintah memerlukan suatu bentuk hukum
tertentu dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pernyataan tersebut mengandung arti adanya supremasi hukum dan konstitusi,
dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem
konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, adanya prinsip
peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjadi persamaan setiap warga
Negara dalam hukum serta jaminan keadilan bagi setiap orang termasuk
penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.20
Pada mulanya, bahasan mengenai negara hukum tersebut dikemukakan
oleh Friederich Julius Stahl21 yang mengemukakan bahwa ciri-ciri suatu negara
hukum harus mencerminkan empat unsur, yaitu: 1) adanya pengakuan hak asasi
manusia; 2) adanya pemisahan kekuasaan antara kekuasaan legislatif, eksekutif
dan yudikatif; 3) pemerintahan harus didasarkan atas asas legalitas atau atas dasar
undang-undang; 4) adanya pengadilan administrasi negara yang mengadili setiap
konflik antara penguasa dengan penduduk. Sebagaimana pandangan yang
dikemukakan oleh Friederich Julius Stahl yang kemudian pandangan tersebut
19 Sjachran Basah, 1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia, Alumni, Bandung, h. 11. 20Jimmly Assidiqie, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta, h,55. 21IDG.Atmadja, 1978, IlmuNegara, Senat Mahasiswa FH & PM. Unud, Denpasar, h. 43.
43
dikembangkan lagi oleh Scheltema dengan menyebutkan negara hukum memiliki
empat unsur utama yang masing-masing
mempunyai turunannya, yaitu:22
a. Adanya kepastian hukum:
1. Asas legalitas;
2. Undang-Undang yang mengatur tindakan yang berwenang sedemikian
rupa, hingga warga dapat mengetahui apa yang dapat diharapkan;
3. Undang-Undang tidak boleh berlaku surut;
4. Hak asasi dijamin oleh undang-undang;
5. Pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan lain.
b. Asas persamaan:
1. Tindakan yang berwenang diatur dalam undang-undang dalarn arti
materiil;
2. Adanya pemisahan kekuasaan.
c. Asas demokrasi:
1. Hak untuk memilih dan dipilih bagi warga negara;
2. Peraturan untuk badan yang berwenang ditetapkan oleh parlemen;
3. Parlemen mengawasi tindakan pemerintah.
d. Asas pemerintah untuk rakyat:
1. Hak asasi dijamin dengan Undang-Undang Dasar;
2. Pemerintahan secara efektif dan efisien.
Uraian mengenai negara hukum juga disampaikan oleh H.D. van Wijk23dengan
menyebutkan bahwa ciri-ciri negara hukum terdiri dari:
a. Pemerintahan menurut undang: kekuasaan pemerintah mendapatkan
kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Undang-Undang atau Undang-
Undang Dasar;
b. Hukum dasar: menjamin hak-hak dasar manusia dan dihormati oleh
penguasa;
c. Pembagian kekuasaan: kekuasaan pemerintah tidak boleh dipusatkan
dalam satu tangan, tetapi harus dibagi kepada lembaga-lembaga lain, yang
satu melakukan pengawasan dan mengimbangin terhadap yang lain;
d. Pengawasan hukum: tindakan pemerintah oleh aparatur kekuasaan dapat
diajukan kepada hakim yang tidak memihak yang berwenang menilai
apakah sesuai dengan hukum atau tidak.
22Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah, Alumni, Bandung, h.l 13. 23Ibid,h. 117-118.
44
Selanjutnya J.B.J.M. ten Berge mengatakan, negara hukum memiliki prinsip-
prinsip yang terdiri dari:
a. Asas legalitas. Pembatasan kebebasan warga negara (oleh pemerintah) harus
ditemukan dasarnya dalam Undang-Undang yang merupakan peraturan
umum. Keumuman Undang-Undang itu harus memberikan jaminan (terhadap
warga) dari tindakan yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis
tindakan yang tidak benar. Pelaksanaan wewenang oleh organ pemerintahan
harus dikembalikan dasarnya pada Undang-Undang tertulis, yakni Undang-
Undang formal;
b. Perlindungan hak asasi;
c. Keterikatan pemerintah pada hukum;
d. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum. Hukum
harus dapat ditegakkan , ketika hukum tersebut dilanggar. Pemerintah harus
menjamin bahwa di tengah masyarakat terdapat instrumen yuridis penegakan
hukum. Pemerintah dapat memaksa seseorang yang melanggar hukum
melalui sistem peradilan negara. Memaksakan hukum publik secara prinsip
merupakan tugas pemerintah;
e. Pengawasan oleh hakim merdeka. Superioritas hukum tidak dapat
ditunjukkan, jika aturan-aturan hukum hanya dilaksanakan dan ditegakkan
oleh organ-organ pemerintahan. Oleh karena itu, dalam setiap negara hukum
diperlukan pengawasan oleh hakim yang merdeka.24
Terhadap teori negara hukum tersebut, A. Mukthie Fadjar mengomentari
bahwa konsepsi atau ide negara hukum berhadapan secara kontroversial dengan
negara-negara kekuasaan (negara dengan pemerintahan absolut).25
Penyelenggaraan pemerintahan pada negara-negara Eropa Kontinental,
negara hukum dikenal dengan istilah rechtsstaat, yang antara lain dikembangkan
oleh Friederich Julius Stahl. Berbeda halnya pada negara-negara Anglo Saxon,
konsep negara hukum dikenal dengan istilah rule of law,26 dipelopori oleh A.V.
24Ibid, h. 118-119. Lihat juga: Miriam Budiardjo, 1982, Dasar-Dasar limn Politik,
Gramedia, Jakarta, h. 57-58 25A. Mukthie Fadjar, 2004, Tipe Negara Hukum, Cetakan Pertama, Bayumedia
Publishing, Malang, h. 10. 26Ibid, h. 20.
45
Dicey. Negara hukum (the rule of law) menurut pandangan A.V. Dicey27 memiliki
tiga unsur utama yaitu: a) supremacy of law (supremasi hukum); b) equality
before the law (persamaan di hadapan hukum); c) constitution based on individual
right (konstitusi yang didasarkan kepada hak-hak perorangan). Negara hukum
yang dianut Indonesia adalah negara hukum Pancasila yang menurut Philipus M.
Hadjon memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan
asas kerukunan;
b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-
kekuasaan negara;
c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan
merupakan sarana terakhir, dan
d. Keseimbangan hak dan kewajiban.28
Bertolak dari pandangan tentang negara hukum diatas, dapat disimpulkan
bahwa yang penting dalam suatu negara hukum adalah adanya pembatasan
kekuasaan oleh hukum sehingga hak-hak dasar rakyat terbebas dari tindakan
sewenang-wenang aparatur negara. Dalam suatu negara, aparatur negara memang
diberikan wewenang untuk mengatur rakyat, tetapi wewenang itu tidak dapat
dilakukan dengan sewenang-wenang melainkan harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Disamping terikat pada peraturan perundang-undangan, dalam suatu
negara hukum seperti halnya negara hukum Indonesia, hak asasi merupakan suatu
hal yang penting dan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 secara implisit menjamin keberadaan hak asasi. Hak-hak
27A.V. Dicey, 1952, Introduction to Study of La\v of the Constitution, Nineth Edition, Mac
Millan and Co, London, h. 223. 28 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia – Sebuah
Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, edisi khusus, Peradaban h. 85.
46
asasi yang diatur dalam konstitusi negara inilah yang kemudian disebut sebagai
hak konstitusi.
Pengakuan hak asasi yang terurai dalam ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut merupakan bukti bahwa
Indonesia tidak hanya secara konstitusional menyatakan sebagai negara hukum,
namun juga secara praktis yang dalam hal ini ditunjukkan dengan dianutnya
negara hukum dalam arti materiil atau yang dikenal dengan sebutan negara
kesejahteraan (welfare state). Dalam negara kesejahteraan, negara dituntut untuk
lebih banyak terlibat dalam urusan dan kepentingan masyarakat yang pada
dasarnya adalah dalam rangka untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Guna mewujudkan kesejahteraan rakyat, pemerintah diberikan kewenangan untuk
mengatur masyarakat tetapi pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut
tetap dalam bingkai hukum. Maksudnya, segala tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah dalam mengatur masyarakat tersebut harus didasarkan atas aturan
yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
2.2. Teori Keadilan
Pengkajian terhadap permasalahan pertama yakni wewenang pengaturan
pemungutan retribusi daerah Provinsi Bali digunakan teori keadilan sebagaimana
dikemukakan oleh Ulpianus dalam bukunya Peter Mahmud Marzuki yakni
"Justitia est perpetua et constants voluntas Jus suum cuique tribuendi"dalam
terjemahan bebasnya yaitu keadilan adalah suatu keinginan yang terus menerus
47
dan tetap untuk memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya.29
Maksudnya, bagi masyarakat diberikan perlindungan hukum sebesar hak-hak
yang diberikan hukum, yakni masyarakat diberi hak untuk setuju atau tidak setuju
dalam proses pemungutan retribusi, hak untuk mengajukan keberatan terhadap
pemungutan retribusi, hak untuk mengajukan banding sampai pada hak upaya
hukum peninjauan kembali. Selain itu, menurut Aristoteles bahwa adil artinya
memberikan kepada orang lain mengenai apa yang menjadi haknya, maka adil
dalam kaitan ini yakni agar dalam penyelesaian sengketa Hakim memutus sesuai
rasa keadilan masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang tepat,
sehingga masyarakat dapat memperoleh kepastian hukum. Lebih lanjut,
Aristoteles membedakan keadilan menjadi dua macam antara lain keadilan
distributif dan keadilan commutatief. "Keadilan distributif yaitu keadilan yang
memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya. Sedangkan keadilan
commutatief adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya
dengan tidak mengingat jasa-jasa perorangan".30 Istilah adil yang diberlakukan
dalam pemungutan retribusi daerah sangat berkaitan dengan budaya di Provinsi
Bali. Dengan demikian, dapat dirujuk pandangan dari Sudikno Mertokusumo
yang dikutip oleh Suhariningsih bahwa :
"....hakekat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau
tindakan dengan mengkajinya dengan suatu norma yang menurut pandang
subjektif (untuk kepentingan kelompoknya) melebihi norma-norma lain.
Dalam hal ini ada dua pihak yang terlibat yaitu pihak yang memperlakukan
dan pihak yang menerima perlakuan".31
29Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum Prenada Media, Jakarta, h. 59. 30L.J. Van Apeldorn, 1982, Pengantar llmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 13. 31Suhariningsih, 2009, Tanah Terlantar Asas Dan Pembaruan Konsep
MenujuPenertiban, Prestasi Pustaka, Jakarta, h. 43.
48
Esensi dari perlakuan terhadap kedua belah pihak (antara Pemerintah
Daerah Provinsi Bali dengan masyarakat), dalam konteks ini mengharuskan
keadilan itu bisa terwujud dalam penilaian yang menjunjung tinggi kepentingan
bersama melalui rechtsidee yaitu mensejahterakan rakyat melalui peningkatan
pendapatan daerah.
Selaras dengan beberapa pandangan tentang keadilan diatas, apabila dalam
pelaksanaan pemungutan retribusi tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah akan menimbulkan
ketidakadilan bagi masyarakat atau swasta. Retribusi memegang peranan penting
dan sangat strategis dalam penerimaan daerah.
Pandangan tersebut diatas menekankan tentang pentingnya masalah
kepastian hukum, keadilan dan efisiensi dalam pemungutan retribusi daerah. Hal
ini sesuai dengan tujuan hukum yang pada dasarnya ingin mewujudkan kepastian
dan keadilan bagi masyarakat. Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang
sekaligus merupakan bagian yang sering dibahas dalam filsafat hukum. Berkaitan
dengan tujuan hukum, memang tidak hanya keadilan saja tetapi juga kepastian
hukum. Pada hakekatnya, retribusi daerah bertujuan untuk mewujudkan keadilan
dalam soal pemungutan. Asas keadilan harus senantiasa dipegang teguh, baik
dalam prinsip mengenai perundang-undangan maupun dalam praktek sehari-hari.
Atas dasar itu, syarat mutlak bagi pembuat Undang-Undang Pajak dan Retribusi,
juga bagi aparatur pemerintah yang melaksanakannya adalah pertimbangan-
pertimbangan dan perubahan yang adil pula.
49
Berhubungan dengan penerapan asas keadilan ini, maka dapat dipahami
bahwa setiap orang harus membayar retribusi sesuai dengan kepentingannya.
Apabila setiap orang telah membayar retribusi yang didasarkan pada
kepentingannya, maka itu merupakan perwujudan dari keadilan. Demikian
pula,menjadi hak setiap orang untuk diperlakukan secara adil dalam pengenaan
retribusi kepada dirinya.
Bertolak dari pandangan tersebut, disamping mengutamakan hak
masyarakat untuk mewujudkan keadilan, dalam hal ini pemerintah juga wajib
mewujudkan keadilan melalui regulasinya, baik regulasi dalam bentuk Undang-
Undang maupun ditingkat daerah berupa peraturan daerah. Menurut John Rawls
keadilan sosial sebagai "the difference principle dan the principle of fair equality
of opportunity. Inti dari the difference principle adalah bahwa perbedaan sosial
dan ekonomi harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi
mereka yang paling kurang beruntung".32 Lebih lanjut, John Rawls menjelaskan
tentang situasi ketidaksamaan tersebut harus diberikan aturan yang sedemikian
rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah.
Hal tersebut dapat terjadi apabila dua syarat terpenuhi.
Pertama, "situasi ketidaksamaan menjamin maksimum minimum bagi
golongan orang yang-paling lemah. artinya situasi masyarakat harus
sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang
mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua,
ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang.
Maksudnya, supaya semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam
hidup".33
32Umar Sholehudin, 2011, Hukum dan Keadilan Masyarakat, Setara Press, Malang, h.42 33Ibid.
50
Berdasarkan pandangan tersebut, semua perbedaan antara orang berdasarkan
ras, golongan, kulit, agama, dan perbedaan lain yang bersifat primordial harus
ditolak. Dalam hubungannya dengan retribusi daerah, dimana Pemerintah Daerah
harus dapat menjamin keuntungan bagi masyarakat lemah.
Dalam hal ini, Pemerintah Daerah harus mampu memberikan jaminan
kepada masyarakat lemah sebagai subjek retribusi dalam memberikan retribusi.
Sedangkan yang kedua, Pemerintah Daerah Provinsi Bali memberikan
kesempatan yang sama kepada semua orang ataupun badan sebagai subjek
retribusi untuk memperoleh objek retribusi. Dalam pandangan yang kedua ini,
Pemerintah Daerah Provinsi Bali memberikan peluang kepada masyarakat
maupun badan hukum untuk menikmati objek retribusi di Daerah Provinsi Bali.
Senada dengan situasi ketidaksamaan tersebut, John Rawls menegaskan
bahwa penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan harus memperhatikan dua
prinsip keadilan yakni:
"pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar
yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang.
Sedangkan yang kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial
ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat
timbal balik bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok
beruntung maupun tidak beruntung".34
Dengan demikian terdapat perbedaan ekonomi didalam kehidupan
masyarakat. Prinsip perbedaan ini mengharuskan diaturnya struktur dasar
masyarakat yang sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-
hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan
orang-orang yang paling kurang beruntung. Dalam kaitannya dengan pemungutan
34Ibid.
51
retribusi daerah bahwa Pemerintah Daerah Provinsi Bali harus memberikan hak
dan kesempatan yang sama dalam menikmati objek retribusi agar tidak terjadi
kesenjangan sosial ekonomi antar masyarakat maupun pihak swasta. Disamping
itu pula, dari pihak Pemerintah juga harus mampu mengatur kesenjangan sosial
ekonomi tersebut melalui kebijakan pemerintah daerah. Sehingga diperoleh
keuntungan dari pemungutan retribusi secara timbal balik antara pihak
masyarakat, swasta (sebagai subjek dari pemungutan retribusi) dan Pemerintah
Daerah Provinsi Bali.
2.3. Teori Keberlakuan Hukum
Dalam analisis teori perundang-undangan, maka kajiannya bisa dilihat dari
sistem hukum karena berkaitan dengan berlakunya suatu peraturan hukum.
Soerjono Soekanto35 menguraikan bahwa ada tiga hal yang mempengaruhi tentang
berlakunya hukum yang kemudian disebut dengan gelding theorie, yaitu : 1)
Kaidah hukum tersebut berlaku secara yuridis, tetapi berlakunya suatu aturan
hukum secara yuridis yang diistilahkan oleh Hans Kelsen sebagai aturan yang
memiliki keabsahan, bukan berarti aturan tersebut dengan sendirinya sudah
berlaku efektif. Hans Kelsen36 membagi keberlakuan menjadi dua bagian yaitu
keabsahan dan efektifitas. Keabsahan hanyalah dilihat dari aspek prosedural,
sedangkan efektivitas melihat dari sisi penerapannya. Kelsen menyebutkan bahwa
keabsahan dan keefektifan tidak mungkin terjadi secara bersamaan. Norma hukum
35Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung, h. 29. Lihat juga: Bagir
Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill Co., Jakarta, h. 13-17. 36Hans Kelsen, 2008, Pure Theory of Law, terjemahan Raisul Muttaqien, Nusa Media,
Bandung, h. 13
52
menjadi absah sebelum ia menjadi efektif, yakni sebelum ia diterapkan dan
dipatuhi. Malahan dikatakan bahwa keefektifan merupakan suatu syarat
keabsahan dalam artian bahwa kefektifan harus menyertai penetapan norma
hukum agar norma itu tidak kehilangan keabsahannya; 2) Kaidah hukum itu
berlaku secara sosiologis yakni aturan hukum itu diterima oleh masyarakat secara
dapat berlaku secara efektif, walaupun kaidah tersebut dipaksakan berlakunya
oleh penguasa meskipun tidak diterima oleh masyarakat (teori kekuasaan) atau
tatanan hukum itu bersifat represif,37 atau bisa juga kaidah itu berlaku karena
diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan); 3) Kaidah hukum tersebut
berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif
yang tertinggi. Ditegaskan juga bahwa berlakunya kaidah hukum karena faktor-
faktor tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan dan tidak terpisah satu sama
lain. Kalau dipandang secara terpisah maka akan menimbulkan pengertian: a)
kalau suatu kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis maka kemungkinan besar
kaidah tersebut merupakan kaidah mati (dode regel); b) apabila hanya berlaku
secara sosiologis saja dalam arti teori kekuasaan atau hukum yang bersifat
represif, maka kaidah tersebut hanya berlaku karena aturan pemaksa
(dwangmaatregel); c) apabila berlakunya hanya karena faktor filosofis saja, maka
kaidah hukum itu hanya merupakan hukum yang dicita-citakan saja (ius
constituendum). Dengan demikian, agar suatu kaidah hukum dapat benar-benar
berfungsi dan ditegakkan dengan baik, maka ada beberapa faktor yang
menentukan, yaitu: 1) Faktor hukumnya atau peraturannya sendiri; Faktor
37Philippe Nonet & Philip Selznick, 2003, Law and Society Transition: Toward
Responsive Law, terjemahan Rafael Eddy Bosco, Penerbit HuMa, Jakarta, h.23
53
hukumnya sendiri yang harus menjadi persyaratan utama adalah mempunyai
cukup kejelasan baik dari segi makna maupun arti ketentuan yang menjadi
substansi peraturan tersebut. Di samping itu faktor sanksi merupakan salah satu
faktor yang menentukan berlakunya suatu peraturan secara efektif. Secara empirik
dampak sanksi baik yang bersifat negatif maupun positif akan nampak dari tingkat
kepatuhan atau ketaatan masyarakat terhadap peraturan yang berlaku.
Disamping itu faktor lain yang berpengaruh terhadap ketaatan masyarakat
adalah terletak pada kepentingan masyarakat yang dilindungi dengan berlakunya
peraturan tersebut; 2) Faktor petugas atau penegak hukum. Secara sosiologis,
antara hukum dan pelaksana hukum merupakan dua hal yang berbeda, dimana
hukum termasuk perundang-undangan dan berbagai asas hukum yang
mendasarinya merupakan suatu yang abstrak, sebaliknya penegakan hukum
termasuk Pengadilan merupakan suatu yang konkret. Penghubung antara yang
abstrak dan konkret itu dalam bekerjanya hukum adalah penegak hukum,
utamanya para hakim di Pengadilan; 3) Faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung pelaksanaan kaidah hukum. Faktor sarana dan fasilitas sangat penting
dalam menentukan dan memperlancar penegakan hukum. Petugas penegak hukum
apabila tidak ditunjang oleh ketersediaan fasilitas dan sarana sangat tidak
mungkin secara optimal akan dapat melakukan penegakan hukum; 4) Faktor
masyarakat dan kebudayaan dari lingkungan tempat berlakunya peraturan
tersebut. Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan
satu sama lain, sedangkan kebudayaan adalah suatu sistem norma dan nilai yang
teorganisasi menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut. Faktor masyarakat dan
54
kebudayaan ini memegang peranan sangat penting, hal ini berkaitan dengan taraf
kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat. Kesadaran hukum
merupakan suatu proses yang mencakup unsur pengetahuan hukum, pemahaman
hukum, sikap hukum dan perilaku hukum. Tingkat kesadaran hukum tercapai
apabila masyarakat mematuhi hukum.
Kerangka pemikiran Soerjono Soekanto di atas pada intinya hampir sama
dengan pandangan M. Friedman38 yang mengemukakan bahwa sebuah sistem
hukum, pertama mempunyai struktur, dalam arti para penegak hukum dan
lembaga pembuat aturan, kedua memiliki substansi, meliputi aturan, norma dan
perilaku nyata manusia yang berada didalam sistem itu. Termasuk pula dalam
pengertian substansi ini adalah semua produk, seperti keputusan, aturan baru yang
disusun dan dihasilkan oleh orang yang berada didalam sistem itu pula. Aspek
ketiga, budaya hukum meliputi kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapan
masyarakat terhadap hukum. Struktur dapat diibaratkan sebagai mesin. Substansi
adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya hukum (legal
culture) adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan
dan mematikan mesin itu, serta bagaimana mesin itu harus digunakan. M.
Friedman selanjutnya mengemukakan bahwa fungsi dari sistem hukum tersebut
adalah: 1) Fungsi kontrol (social control), yang menurut Donald Black bahwa
semua hukum berfungsi sebagai kontrol sosial pemerintah; 2) Berfungsi sebagai
cara penyelesaian sengketa (dispute settlement) dan konflik (conflict).
Penyelesaian sengketa ini biasanya untuk penyelesaian yang sifatnya berbentuk
38Lawrence M. Friedman, 2009, The Legal System, A Social Science Perspektive.
Terjemahan M Khozim, NusaMedia, Bandung, h. 21
55
pertentangan lokal berskala kecil (mikro). Sebaliknya pertentangan-pertentangan
yang bersifat makro dinamakan konflik; 3) Fungsi redistribusi atau rekayasa
social (redistributive function or social engineering function). Fungsi ini
mengarah pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang
berencana yang ditentukan oleh pemerintah; 4) Fungsi pemeliharaan social (social
maintenance function). Fungsi ini berguna untuk menegakkan struktur hukum
agar tetap berjalan susuai dengan aturan mainnya (rule of the game). Dalam
pandangan M. Friedman, sistem hukum tersebut dibayangkan sebagai struktur
sebuah mesin, substansinya adalah “mengenai untuk apa mesin itu dibuat?”, dan
budaya hukumnya adalah “apa dan siapakah yang memutuskan untuk
menghidupkan dan mematikan mesin itu?” serta menentukan “bagaimana mesin
itu akan digunakan”. Unsur-unsur tersebut membentuk suatu proses yang
melingkar, sehingga setelah evaluasi hukum berakhir, akan kembali masuk ke
masyarakat hukum lagi.39
Sedangkan J.J.H.Brugink40 menjabarkan keberlakuan hukum sebagai
berikut: a) Keberlakuan faktual atau empiris, yaitu perilaku sebenarnya dari para
anggota masyarakat apakah mematuhi atau tidak mematuhi suatu aturan hukum,
termasuk juga dalam pengertian ini adalah pejabat hukum yang berwenang
menerapkan dan menegakkan atau tidak suatu aturan hukum tersebut.
Keberlakuan ini mensyaratkan adanya penelitian adanya penelitian empiris
mengenai perilaku masyarakat. Atau setidak-tidaknya mengenai keberlakuan ini
39 Muhamad Erwin, 2012, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 108. 40J. J. H. Bruggink, 1999, aiih bahasa oleh Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum,
Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 147-157.
56
haruslah didukung dengan data-data atau bukti-bukti yang valid yang
menunjukkan adanya kepatuhan atau bahkan pembangkangan; b) Keberlakuan
normatif atau formal, yaitu keberlakuan yang didasarkan pada eksistensi dari
suatu aturan hukum di dalam suatu sistem aturan (hierarkhi peraturan). Aturan-
aturan hukum yang bersifat khusus dalam sistem aturan tersebut, haruslah
bertumpu pada aturan-aturan hukum yang bersifat lebih umum. Aturan yang
khusus ini haruslah merupakan derivasi dari aturan yang umum yang memiliki
strata yang lebih tinggi dalam konteks hierarki aturan. Keberlakuan secara
normatif ini tidak membicarakan mengenai isi atau substansi dari suatu aturan
tersebut, melainkan membatasi diri bahwa suatu aturan itu haruslah dipandang
berlaku apabila ia terbukti merupakan derivasi dari aturan umum yang berada
diatasnya. Tempat suatu aturan khusus di dalam sistem aturan adalah fokus utama
dari penilaian keberlakuan ini; c) Keberlakuan evaluatif, yaitu keberlakuan suatu
aturan hukum itu, dari segi isinya, dipandang benar, bernilai ataupun penting
terhadap perilaku sosial masyarakat. Pendekatan terhadap keberlakuan evaluatif
ini dapat dilakukan dengan dua jalan. Pertama yaitu melalui upaya abstraksi
terhadap keberlakuan empiris, dimana keberlakuan empiris ini tetaplah merupakan
pintu masuk utama untuk mendapatkan kesimpulan apakah suatu aturan hukum
itu dipatuhi ataupun tidak dipatuhi oleh masyarakat. Setelah itu, kenyataan
empiris ini kemudian diabstraksi dan dinilai secara lebih filosofis. Sedangkan,
yang kedua adalah pendekatan yang dilakukan langsung secara filosofis
(pendekatan kefilsafatan) tanpa melalui penelitiann empiris terhadapnya.
Contohnya dari keberlakuan hukum secara evaluatif ini adalah terhadap sifat
57
mewajibkan atau obligatoritas suatu aturan hukum. Apabila berdasarkan isinya.
suatu aturan hukum itu dianggap penting atau bernilai, maka aturan hukum itu
memiliki kekuatan mengikat (verbidende krachf). Keberlakuan hukum dengan
kekuatan mengikatnya dalam masyarakat tersebut sangat diperlukan untuk
menciptakan ketertiban, termasuk ketertiban dalam pemungutan retribusi daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Karena itu maka pembentukan
hukum untuk mengatur kekuasaan dan masyarakat merupakan conditio sine qua
non (syarat mutlak) 41 dan dengan demikian, pengaturan hukum dapat membatasi
kekuasaan serta tidak menggilas masyarakat yang tidak punya kekuasaan. Dalam
pandangan Hans Kelses sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie dan M. Ali
Safa’at,42 suatu norma hukum valid apabila norma hukum tersebut memiliki
kekuatan mengikat (binding force) terhadap orang yang perilakunya diatur.
Aturan adalah hukum, hukum yang jika valid adalah norma, dan hukum adalah
norma yang memberikan sanksi.
2.4. Teori Kewenangan
Kewenangan merupakan bagian dari kekuasaan yang memiliki dimensi
hukum. Menurut Miriam Budiardjo, kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau
sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau
kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan
41 Munir Fuady, 2005, Filsafat dan Teori Hukum Postmodern, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 153. 42 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Konstitusi Press, Jakarta, h.36.
58
dan tujuan dari orang atau negara.43 Sebagai yang berdimensi hukum, maka
kewenangan adalah bersumber dari konstitusi dan peraturan perundang-undangan
yang lain. Dalam Black’s Law Dictionary,44 dijelaskan kewenangan merupakan:
“Right to exercise powers; to implement and enforces laws; to exact obedience; to
command; to judge, Control over; jurisdiction. Often synonymous with power.”
Dalam hal ini kewenangan yang juga kadang disebut kekuasaan dikaitkan dengan
bagaimana menerapkan dan menegakan hukum.
Ateng Syafrudin berpendapat, ada perbedaan antara pengertian
kewenangan dan wewenang.45 Kita harus membedakan antara kewenangan
(authority, gezag) dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan
adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan
yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu
onderdeel (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan
terdapat wewenang-wewenang (rechtsbevoegdheiden). Wewenang merupakan
lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak "hanya
meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi
wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta
distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
H.D. Stoud memberikan pengertian terhadap wewenang sebagai berikut:
Bevoegheid wet kan warden omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke
bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke
43Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Penerbit Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, h. 35 44 Henry Campbell Black, 1978, Black’s Law Dictionary, West Publishing, USA, h. 121. 45Ateng Syafrudin, 2000, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan
Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas Parahyangan, Bandung, h. 22.
59
rechtsverkeer (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan
yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh
objek hukum publik dalam hukum publik).46
Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam
melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan
keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara
atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan
yang asli atas dasar konstitusi (UUD 1945). Pada kewenangan delegasi, harus
ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain.
Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang,
akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam
pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk
bertindak atas nama mandator (pemberi mandat).
Dalam kaitan dengan konsep atribusi, delegasi, ataupun mandat, J.G.
Brouwer dan A.E. Schilder, mengatakan:47
a. with atribution, power is granted to an administrative authority by an
independent legislative body. The power is initial (originair), which is to say
that is not derived from a previously existing power. The legislative body
creates independent and previously non existent powers and assigns them to
an authority.
b. Delegation is a transfer of an acquired atribution of power from one
administrative authority to another, so that the delegate (the body that the
acquired the power) can exercise power in its own name.
c. With mandate, there is not transfer, but the mandate giver (mandans) assigns
power to the body (mandataris) to make decision or take action in its name.
46Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan
Pemerintah, Penerbit Alumni, Bandung, h.4 47J.G. Brouwer dan Schilder, 1998, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars Aeguilibri,
Nijmegen, h.16-17.
60
Dari pandangan tersebut dapat dilihat bahwa J.G. Brouwer dan A.E. Schilder
berpendapat atribusi merupakan kewenangan yang diberikan kepada suatu organ
institusi pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu badan legislatif yang
independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari kewenangan
yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan
bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan memberikan kepada organ yang
berkompeten.
Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari
suatu organ institusi pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator organ
yang telah memberi kewenangan dapat menguji kewenangan tersebut atas
namanya, sedangkan pada mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan
tetapi pemberi mandat mandator memberikan kewenangan kepada organ lain
mandataris untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas
namanya.
Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi Pada
atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada
delegasi. Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan
secara besar-besaran, tetapi hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan
hukum menentukan mengenai kemungkinan delegasi tersebut.
Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi),
sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan
demikian, pejabat organ dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber
kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat
61
diperoleh bagi pejabat atau organ institusi pemerintahan dengan cara atribusi,
delegasi dan mandat. Kewenangan organ institusi pemerintah adalah suatu
kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan
mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan
yuridis yang benar.48
Berdasarkan kerangka teori tersebut, maka analisisnya nanti adalah
dimaksudkan untuk menemukan kemungkinan adanya ketidak harmonisan antara
sumber-sumber pendapatan yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah
berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah provinsi dengan
penjabaran urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi sesuai dengan
prinsip otonomi daerah yang seluas-luasnya. Pada satu sisi pemerintah provinsi
dalam konteks otonomi daerah diberikan urusan dan kewenangan untuk
menyelenggarakan pemerintahan daerah, pada sisi yang lain terdapat pembatasan
bagi pemerintah daerah untuk menentukan pajak dan retribusi daerah yang
merupakan sumber kewenangan dibidang pendapatan daerah. Penelitian ini
diharapkan nanti dapat mengungkapkan konsistensi pengaturan kewenangan
dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan antara urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintah dengan kewenangan pemerintah daerah.
2.5. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Sebelum memahami teori pembentukan peraturan perundang-undangan,
ada baiknya dipahami terlebih dahulu tentang pengertian dari peraturan
48Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 219
62
perundang-undangan. Seringkali peraturan perundang-undangan diartikan sebagai
hukum. Pada dasarnya, hukum dapat diklasifikasikan dalam berbagai
pengelompokan. Apabila hukum dikelompokkan berdasarkan bentuknya, maka
hukum itu adalah hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.49 Dalam Undang-
Undang Dasar 1945, Negara mengakui adanya hukum tidak tertulis dalam
ketatanegaraan Indonesia. Pengakuan oleh Negara tersebut tersirat dalam
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yakni :
Undang-Undang Dasar suatu negara ialah sebagian dari hukumnya dasar
negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang
disampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang
tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam
praktek penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis.
Berdasarkan penjelasan dari Undang-Undang Dasar 1945 tersebut diatas
bahwa Negara Indonesia terdapat hukum dasar tertulis dan hukum dasar tidak
tertulis. Apabila di tingkat aturan dasar diakui adanya hukum dasar tidak tertulis
maka ini menunjukkan bahwa adanya pengakuan hukum tidak tertulis. Hukum
tidak tertulis ini berupa hukum adat dan hukum kebiasaan. Sedangkan hukum
tertulis berupa Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden dan Peraturan Daerah.50
Pada sisi lain, Bagir Manan menyebutkan bahwa peraturan perundang-
undangan adalah :
e. Setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan
jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang
bersifat atau mengikat umum;
49 Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia,
Mandar Maju, h. 35. 50 Ibid.
63
f. Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi ketentuan-
ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu
tatanan.
g. Merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau
abstrak umum artinya tidak mengatur atau tidak ditujukan pada
obyek, peristiwa atau gejala konkrit tertentu;
h. Dengan mengambil pemahaman dalam kepustakaan Belanda,
peraturan perundang-undangan lazim disebut wet materiele zin,
atau sering juga disebut dengan algemeen verbindende voorschrift
yang meliputi antara lain: de supranationale algemeen verbindende
voorschriften, wet, AmvB, de Ministeriele verordening, de
gemeentelijke raadsverordeningen, de provincial staten
verordeningen.51
Terlepas dari perbedaan pengertian peraturan perundang-undangan
tersebut, berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa peraturan
perundang-undangan merupakan bagian dari hukum. Hanya saja pengertian
hukum memiliki pengertian yang lebih luas daripada peraturan perundang-
undangan. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sangat terkait
dengan pembentukan hukum. Maksudnya, tujuan pembentukan hukum juga
sangat penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.52
Peraturan perundang-undangan merupakan suatu hal yang sangat penting
dalam kehidupan bernegara terutama dalam rangka menjalankan pemerintahan.
Peraturan perundang-undangan yang dibentuk tentulah harus dibuat dengan baik,
sesuai dengan harapan sehingga dapat mewujudkan cita-cita yang digariskan oleh
suatu negara. Menurut Rudolf Stammler,53 pembentukan hukum adalah konstruksi
pikiran yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum kepada cita-cita
51 Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-undangan-jenis, fungsi dan Materi
Muatan, Kanisius, Yogyakarta, h. 10-11. 52 I Nyoman Suyatna, 2011, Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam
Pembentukan Peraturan Daerah, Disertasi, Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, Malang, h. 157. 53Sidharta, 2006, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, CV.
Utomo, Bandung, h. 496.
64
yang diinginkan masyarakat. Pandangan yang dikemukakan oleh Stammler
tersebut selanjutnya dipertegas oleh Gustav Radbruch yang mengemukakan dua
fungsi cita hukum, yaitu sebagai dasar konstitutif pembentukan hukum dan
sekaligus sebagai tolok ukur regulatif untuk menilai adil atau tidak adilnya suatu
hukum positif. Penting diperhatikan dalam pembentukan hukum yaitu pesan
Montesquieu54 yang mewanti-wanti para legislator agar tidak mengusahakan
keseragaman yang berlebihan dalam sebuah sistem hukum karena masing-masing
negara memiliki asas hukum berbeda yang menjiwai sistem hukum. Dalam kaitan
ini diuraikan juga pengalamannya dengan pernyataan: “Ketika saya melakukan
perjalanan ke sebuah negeri, saya tidak meneliti apakah hukumnya baik,
melainkan apakah hukum yang ada dilaksanakan, karena dimanapun selalu ada
hukum yang baik”.
Menurut Cicero adagium ubi societas ibi ius55 artinya dimana ada
masyarakat, disana pasti ada hukum. Hal tersebut mencerminkan betapa eratnya
hubungan cita hukum dengan pembentukan hukum. Tanpa masyarakat tidak
mungkin ada hukum, karena hukum dibutuhkan oleh masyarakat guna mengatur
kehidupan masyarakat agar tercipta ketertiban dan kenyamanan. Oleh karena itu,
dalam membentuk hukum hanya masyarakat atau bangsa itulah yang tahu hukum
apa yang dibutuhkan dicitakan. Berlandaskan pada ajaran cita hukum tersebut,
maka pembentukan hukum harus dilakukan dengan konsep dari mereka, oleh
mereka, dan untuk mereka, sesuai dengan nilai-nilai hukum yang tumbuh dan
54 Montesquieu, 2007, The Spirit of Laws: Dasar-dasar Ilmu Hukum dan Ilmu Politik,
diterjemahkan dari: Montesquieu, The Spirit of Law, University of California Press, 1977, oleh
M.Khoirul Anam, Penerbit Nusamedia, Bandung, hal. 27 dan 357. 55Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia,
Mandar Maju, Bandung, h. 21.
65
berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Terkait dengan hal ini, John Locke
sebagaimana dikutip Bayu Dwi Anggono, berpendapat bahwa Undang-Undang
yang dibuat oleh kekuasaan legislatif merupakan undang-undang yang dapat
memberikan kebaikan bagi masyarakat luas (make them for the public good) atau
memuat unsur-unsur kepentingan umum.56
Meuwissen57 mengatakan bahwa pembentukan hukum adalah penciptaan
hukum baru dalam arti umum, yaitu berkaitan dengan perumusan aturan-aturan
umum, yang dapat berupa penggantian atau perubahan aturan-aturan yang sudah
berlaku. Pembentukkan hukum juga dapat ditimbulkan dari keputusan-keputusan
konkret, dan peraturan perundang-undangan adalah jenis pembentukan hukum
yang paling penting dan juga paling modern.
Terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, dapat dilihat
teori pembentukan peraturan perundang-undangan yang dikemukakan oleh Jimly
Asshiddiqie yang mengembangkan landasan pembentukan peraturan perundang-
undangan atas lima landasan, yaitu: landasan filosofis, sosiologis, yuridis, politis,
dan administratif.58 Empat landasan pertama filosofis, sosiologis, politis, yuridis
dikatakan sebagai landasan mutlak yang harus selalu ada dalam setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan, sedangkan landasan administratif
bersifat fakultatif atau tidak mutlak harus selalu ada, karena dicantumkan
tidaknya landasan administratif tersebut tergantung kepada kebutuhan.
56Bayu Dwi Anggono, 2014, Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia,
Konstitusi Press, Jakarta, h. 23. 57Meuwissen, 2007, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, dan
Filsafat Hukum, Penerjemah: B. Arief Sidharta, Cetakan Pertama, Refika Aditama, Bandung, h. 9. 58Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.117
66
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik juga dikemukakan
oleh Ann Seidman dengan menekankan pada 4 empat unsur yang harus
diperhatikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:
i. Pemerintahan berdasarkan hukum: para pembuat keputusan membuat
keputusan bukan berdasarkan kepada intuisi para pembuat keputusan
tersebut atau kecenderungan sesat, namun sesuai dengan norma-norma
yang telah disepakati yang didasarkan kepada akal sehat dan pengalaman;
ii. Pertanggungjawaban: para pembuat keputusan secara terbuka
bertanggungjawab kepada umum, menyerahkan keputusan mereka untuk
dikaji instansi yang berwenang, yang lebih tinggi kedudukannya dan pada
akhirnya oleh orang-orang yang berhak rttetnilih dalam pemilihan;
iii. Transparansi: para pejabat menjalankan pemerintahan secara terbuka
sehingga masyarakat dan khususnya pers dapat mengetahui dan
memperdebatkan rinciannya; dan
iv. Partisipasi: pihak-pihak yang dipengaruhi oleh suatu keputusan yang akan
ditetapkan -the stakeholders (pihak yang mempunyai kepentingan) -
memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan
masukan,kritik dan mengambil bagian dalam pembuatan keputusan
keputusan pemerintah.59
Guna menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik, menurut
pandangan Ann Seidman et.al, dalam proses pembentukan peraturan perundang-
undangan, harus dilakukan melalui kajian-kajian yang mengutamakan pencarian
solusi terhadap perilaku bermasalah baik dari pelaku peran (role occupant)
maupun lembaga pelaksana (implementing agency). Pengkajian untuk
mendapatkan solusi terbaik dalam pembentukan perundang-undangan te'rsebut
dilakukan melalui 7 (tujuh) kategori yang oleh Ann Seidman disingkat. dengan
istilah ROCCIPI yaitu singkatan dari: Rule (Peraturan), Opportunity
(Kesempatan); Capacity (Kemampuan); Communication (Komunikasi); Interest
(Kepentingan); Process (Proses); dan Ideology (Ideologi). Ketujuh kategori
59Ann Seidman, et.al, 2002, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan
Masyarakat Yang Demokratis: Sebuah Panduan untuk Pembuat Rancangan Undang-undang,
Diterjemahkan oleh: Yohanes Usfunan, dkk. Edisi Kedua, Proyek Blips II, Departemen
Kehakiman dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, h.8.
67
tersebut selanjutnya dapat dikelompokan atas dua faktor penyebab, yaitu faktor
subyektif yang meliputi interest (kepentingan) dan ideology (ideologi) serfa faktor
obyektif meliputi rule (peraturan), opportunity (kesempatan), capacity
(kemampuan), communication (komunikasi), dan process (proses). Masing-
masing kategori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:60
a. Rule (peraturan), yang dapat dimulai dari pertanyaan perancang peraturan
perundang-undangan yaitu mengapa orang berperilaku demikian dihadapan
peraturan perundang-undangan yang bila disimak ada lima kemungkinan
penyebab terhadap permasalahan tersebut, yaitu: kekaburan, kurang jelas
atau rancunya kata-kata dalam norma peraturan perundang-undangan;
kemungkinan adanya norma dalam peraturan perundang-undangan yang
mengizinkan perilaku yang bermasalah; kekosongan norma sehingga
peraturan perundang-undangan tidak mengatur penyebab-penyebab dari
prilaku bermasalah; peraturan perundang-undangan tersebut mungkin
mengijinkan pelaksanaan yang tidak transparan, tidak bertanggungjawab
dan tidak partisipatif; dan kemungkinan adanya norma yang ;rnemberikan
kewenangan yang tidak perlu kepada pejabat pelaksana dalam memutuskan
apa dan bagaimana mengubah perilaku bermasalah tersebut.
b. Opportunity (kesempatan), artinya apakah ada pengaturan dalam peraturan
perundang-undangan yang memungkinkan mereka yang dikenai aturan
tersebut berperilaku sebagaimana diperintahkan oleh peraturan perundang-
60Ann Seidman, et.al, ibid, h. 115-121.
68
undangan tersebut atau sebaliknya mengatur perilaku yang tidak mungkin
dilakukan.
c. Capacity (kemampuan), apakah mereka yang dikenai peraturan memiliki
kemampuan berperilaku seperti yang ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan. Pada kategori ini perhatian dapat dipusatkan pada ciri-ciri pelaku
yang menyulitkan atau tidak memungkinkan mereka berperilaku
sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang.
d. Communication (komunikasi), pada tataran ini ketidaktahuan pihak yang
dikenai aturan norma dalam peraturan perundang-undangan yang
diberlakukan mungkin dapat menjelaskan mengapa dia berperilaku tidak
sesuai. Dapat juga ditanyakan, apakah pihak yang berwenang telah
mengambil langkah-langkah yang memadai untuk mengkomunikasikan
peraturan-peraturan yang ada kepada para pihak yang dikenai aturan. Hanya
orang yang mengetahui perintah yang dikenai kepadanya saja yang akan
dengan secara sadar mematuhi peraturan perundang-undarigan.
e. Interest (kepentingan) yaitu mengacu kepada pandangan pihak yang dikenai
oleh peraturan perundang-undangan tentang akibat dan manfaat untuk
mereka sendiri, bukan hanya berupa insentif materiil tetapi juga insentif non
materiil.
f. Process (proses), yakni berdasar kriteria dan prosedur apakah para pihak
yang dikenai oleh peraturan perundang-undangan memutuskan untuk
mematuhi Undang-Undang atau tidak. Biasanya orang-orang memutuskan
sendiri apakah akan mematuhi peraturan atau tidak.
69
g. Ideology (ideologi) merupakan kategori subyektif kedua dari kemungkinan
penyebab prilaku, selain kepentingan (interest), dan secara luas kategori ini
dapat ditafsirkan mencakup motivasi-motivasi subyektif dari perilaku yang
tidak dicakup dalam kepentingan. Kategori ideologi ini termasuk semua hal
mulai dari nilai, sikap dan selera, hingga ke mitos dan asumsi-asumsi
tentang dunia, kepercayaan keagamaan dan ideologi politik, sosial dan
ekonomi.
Menyimak pandangan pembentukan peraturan perundang-undangan di atas
maka dalam alam keIndonesiaan, pembentukan peraturan perundang-undangan
harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang merupakan dasar untuk mencapai
masyarakat adil dan makmur sesuai dengan cita-cita negara sebagaimana tertuang
dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Artinya, pembentukan peraturan
perundang-undangan, disamping harus memperhatikan norma-norma peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi termasuk Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara dengan
jabaran-jabarannya yang merupakan dasar filosofis pembentukan peraturan
perundang-undangan Indonesia, juga harus mencerminkan nilai-nilai demokrasi
dengan memberikan keleluasaan kepada daerah otonom untuk mengatur dan
menyelenggaraan pemerintahan daerah. Tidak terkecuali tentunya pembentukan
peraturan perundang-undangan dibidang pendapatan daerah dalam mendukung
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
70
2.6. Konsep Otonomi Daerah
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata autos
yang artinya sendiri dan nomos berarti undang-undang, sehingga bila kedua kata
tersebut digabung memiliki arti membuat perundang-undangan sendiri. Bila
dikaitkan dengan konsep otonomi daerah berarti daerah dapat membuat peraturan
daerah sendiri. Dalam tataran berbeda, Van der Pot61 menyebutkan, otonomi
daerah memiliki arti menjalankan rumah tangganya sendiri (eigen huishouding).
Otonomi dalam pandangan Astim Riyanto62merupakan wujud dari asas
desentralisasi dalam negara kesatuan yang bentuk daerahnya disebut daerah
otonom, sehingga dalam negara kesatuan, yang dipandang sebagai asas adalah
desentralisasi. Sebagai suatu asas, otonomi digunakan pada negara serikat, karena
pemerintah negara bagian lazim disebut juga negara (state) yang berkedudukan
setaraf (horizontal, coordinate, concurrent) dengan pemerintah federal.
Pandangan yang berbeda terkait hubungan desentralisasi dengan otonomi
dikemukakan oleh Bagir Manan yang menurutnya otonomi hanyalah salah satu
bentuk desentralisasi dan desentralisasi tidak sama dengan otonomi. Diuraikan
juga oleh Bagir Manan, desentralisasi bukanlah asas melainkan suatu proses dan
yang asas adalah otonomi.63 Karena merupakan proses, desentralisasi
dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada daerah guna melaksanakan
pemerintahan daerah sehingga penyelenggaraan pemerintahan tidak terpusat
61M. Laica Marzuki, 2006, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Cetakan Kedua, Direktorat
Jenderal dan Kepaniteraan MPR-RI, Jakarta, h. 161. 62Astim Riyanto, 2006, Aktualisasi Negara Kesatuan etelah Perubahan Atas Pasal 18
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia ahun 1945, "Disertasi" Program Pascasarjana
Universitas Padjadjaran, Bandung, h.409. 63Bagir Manan, 2004, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Get. Ill, Pusat Studi Hukum
Fakultas Hukum DM, Yogyakarta, h. 11.
71
(sentralistis). Dengan demikian, pandangan yang dikemukakan oleh Bagir Manan
tersebut mencerminkan bahwa tujuan penerapan desentralisasi yaitu dalam rangka
menghindari agar tidak terjadi sentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
Pengaturan mengenai pengertian otonomi dapat dilihat dalam Pasal 1
angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang menentukan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Pengertian demikian menunjukan bahwa hakekat otonomi adalah
kebebasan daerah untuk mengatur dan menyelenggarakan sendiri urusan
pemerintahan daerah berdasarkan inisiatif sendiri sesuai dengan aspirasi
masyarakat daerah. Walaupun daerah diberikan kebebasan mengatur dan
menyelenggarakan pemerintahan daerah, tetapi kewenangan tersebut tidak boleh
bertentangan dengan konstitusi, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, maupun kepentingan nasional, karena otonomi daerah
tersebut diselenggarakan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada dasarnya, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, otonomi
dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu otonomi terbatas dan otonomi luas.64
Kedua bentuk otonomi tersebut memiliki ciri masing-masing, yaitu: otonomi
terbatas bercirikan: pertama, urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan
secara kategoris dan pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu. Kedua,
64 Bagir Manan, Menyongsong ..., ibid.,hlm. 37.
72
sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa, sehingga daerah
otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara
mengatur dan mengurus rumah tangga daerahmya. Ketiga, sistem hubungan
keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan
kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi
daerah. Sedangkan ciri otonomi luas bertolak dari prinsip bahwa kecuali yang
ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat, maka semua urusan pemerintahan
pada dasarnya menjadi urusan rumah tangga daerah.
Penerapan otonomi luas di Indonesia dapat dilihat dalam Penjelasan
Umum angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang menguraikan:
"...Pemberian otonomi seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Disamping itu, melalui
otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia...".
Bertolak dari konsep otonomi di atas, maka daerah otonom, baik
provinsi,kabupaten, maupun kota, diberikan kewenangan seluas-luasnya dalam
menyelenggarakan pemerintahan daerah, termasuk dalam membentuk peraturan
perundang-undangan dibidang penggalian pendapatan daerah guna mendukung
penyelenggaran pemerintahan daerah. Walaupun disadari ada pembatasan yang
menghalangi pemerintahan daerah dalam membentuk peraturan perundang-
73
undangan dibidang pengalian pendapatan daerah, namun untuk itulah perlu
dilakukan kajian yang dapat memberikan solusi agar prinsip pemberian otonomi
daerah berupa memberikan kebebasan kepada daerah untuk berinovasi dan
berkreativitas menggali potensi pendapatan daerah sehingga dapat secara
maksimal mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah.
2.7. Konsep Retribusi Daerah
Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah, disebutkan bahwa pengertian retribusi daerah adalah
pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan
orang pribadi atau badan.
Pada prinsipnya retribusi sama dengan pajak. Unsur-unsur pengertian
pajak sama dengan retribusi yang membedakannya adalah bahwa imbalan atau
kontra prestasi dalam retribusi langsung dapat dirasakan oleh pembayar. Unsur-
unsur yang melekat dalam retribusi antara lain Pungutan retribusi berdasarkan
undang-undang, pungutannya dapat dipaksakan, pemungutannya dilakukan oleh
Negara, digunakan sebagai pengeluaran masyarakat umum dan imbalan atau
prestasi dapat dirasakan secara langsung oleh pembayar retribusi.
Berdasarkan definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa retribusi
adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa yang disediakan oleh
pemerintah daerah. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
74
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menganut sistem tertutup (ClosedList
System) bagi Daerah provinsi dan kabupaten/kota untuk memungut selain yang
sudah ditentukan oleh undang-undang. Hal ini mengakibatkan daerah mengalami
kesulitan untuk mengembangkan inovasi, mengambil inisiatif dan berprakarsa
dalam rangka menggali sumber-sumber pendapatan yang baru. Pada Pasal 286
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ditegaskan bahwa :
(1) Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang-Undang yang
pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Perda.
(2) Pemerintah Daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain
di luar yang diatur dalam undang-undang.
(3) Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 285 ayat (1) huruf a angka 3 dan Iain-lain
pendapatan asli daerah yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
285ayat (1) huruf a angka 4 ditetapkan dengan Perda dengan berpedoman
pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada waktu berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, ditentukan bahwa daerah masih dapat
menetapkan jenis pungutan selain yang ditetapkan dalam Undang-Undang
sepanjang sesuai kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut
termasuk yang dilakukan oleh Daerah kabupaten dan kota. Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000 kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang melarang adanya
pungutan oleh Pemerintah Daerah selain yang sudah ditentukan oleh undang-
undang. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
disatu sisi ingin mendorong otonomi ke arah pemberdayaan, inisiatif, prakarsa dan
meningkatkan kesejahteraan, sedangkan pada sisi lain undang-undang tentang
Pemerintahan Daerah itu juga menentukan bahwa Daerah provinsi dan
75
kabupaten/kota dilarang memungut pajak dan retribusi diluar yang diatur di dalam
undang-undang. Ketidakkonsistenan pengaturan tersebut tentunya sangat
berpengaruh terhadap Provinsi Bali sebagai salah satu daerah otonom yang
memiliki urusan wajib yang harus diatur dengan Perda yang dapat dijadikan
potensi sumber pendapatan. Di samping itu Bali sebagai daerah pariwisata
memiliki urusan pilihan yang sangat potensial dijadikan sumber pendapatan bagi
Daerah Provinsi, namun terkendala oleh adanya ketentuan yang membatasi
kewenangan untuk melakukan penggalian pendapatan.
Substansi norma yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut
memerlukan suatu pengkajian dengan mengacu pada format wewenang
sebagaimana yang dikemukakan diatas. Karena pada satu sisi substansi aturan
menghendaki agar daerah senantiasa mengembangkan kreativitas dalam
mengelola urusan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, sedangkan pada
sisi lain dibuat ada pembatasan yang tidak boleh dilakukan oleh daerah khususnya
dalam rangka menggali sumber pendapatan yang baru.
2.8. Konsep Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Berdasarkan konsep retribusi diatas, bahwa retribusi merupakan pungutan
daerah sebagai pembayaran atas jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah.
Selain itu, dalam konsep retribusi daerah menganut sistem tertutup bagi Daerah
Provinsi dan kabupaten/kota untuk memungut selain yang sudah ditentukan oleh
undang-undang. Dengan demikian, Pemerintah daerah diberikan mengadakan
pungutan dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. Dalam
penyelenggaraan otonomi daerah pada prinsipnya adalah untuk mewujudkan
76
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, peran
serta masyarakat serta daya saing daerah. Oleh karena itu Pemerintah Pusat
menyerahkan sebagian kewenangannya kepada Pemerintah Daerah melalui asas
desentralisasi. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selanjutnya dalam angka 2 pasal ini menyebutkan bahwa Pemerintahan Daerah
adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana dengan penyerahan kewenangan
dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah tersebut semata-mata untuk
menciptakan daerah otonom. Maksudnya, agar Pemerintah Daerah dapat
mengatur daerahnya sendiri termasuk mengatur keuangan dan kesejahteraan
masyarakatnya. Daerah otonom seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yakni
Daerah otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
77
Republik Indonesia. Terciptanya daerah otonom ini menimbulkan konsekuensi
bahwa Pemerintah Daerah seharusnya mampu melaksanakan penyelenggaraan
pemerintahannya secara mandiri dengan mengoptimalisasi potensi sumber daya
yang berada di daerah.
Pemerintah Daerah dapat dikatakan menjalankan otonominya bila mampu
mengurus urusan rumah tangganya secara mandiri. Pada kenyataannya, hingga
saat ini Pemerintah Daerah masih belum lepas dari Pemerintah Pusat dan justru
semakin berketergantungan terutama dalam permasalahan keuangan.Seperti yang
disebutkan dalam Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah bahwa hubungan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil,
proporsional, demokratis, transparan dan bertanggung jawab. Dengan demikian,
Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan hubungan dengan Pemerintah Pusat
memiliki hubungan yang meliputi hubungan wewenang, keuangan, yang
dilaksanakan secara adil dan selaras.
Perimbangan keuangan pusat dan derah merupakan konsekuensi dari
pelaksanaan desentralisasi dengan segala instrumen meliputi dana alokasi umum,
dana alokasi khusus dan dana bagi hasil serta berbagai pendapatan daerah
lainnnya yang sah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Kebijakan
perimbangan pusat dan daerah dipandang sebagai kebijakan yang tepat mengingat
pelaksaan desentralisasi yang membutuhkan biaya. Kebijakan ini memiliki tujuan
mulia untuk mengurangi kesenjangan antara pemerintah daerah dan pusat
sehingga penyelenggaraan pelayanan publik dapat berjalan dengan optimal,
78
meningkatkan kesejahteraan masayarakat dalam rangka pemberdayaan, serta
membantu pemerintah daerah menyelenggarakan pemerintahan dengan baik
seseuai prinsip Good Governance.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah menyatakan
bahwa perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah adalah :
“Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional,
demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan
penyelenggaraan Desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi,
kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan
penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan”.
Sejalan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah tersebut
Pemerintah bermaksud menerapkan prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan menerapkan
prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial, maka pemerataan keuangan antara pusat
dan daerah dapat diselenggarakan secara proporsional sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan dari tiap-tiap daerah. Dengan demikian, perimbangan keuangan pusat
dan daerah tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan potensi daerah,
kepadatan penduduk dan tingkat pendapatan daerahnya. Selanjutnya, dalam Pasal
10 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah dinyatakan bahwa dana perimbangan tersebut meliputi dana bagi
hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Dana bagi hasil sebagai salah
satu sumber dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yaitu dana yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (selanjutnya disingkat
APBN) yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk
79
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Hanya saja
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dirasakan kurang adil bagi Provinsi Bali
sebagai daerah otonom yang memiliki potensi unggulan di bidang pariwisata dan
budaya, dimana masyarakatnya mayoritas bergerak di bidang pariwisata. Secara
faktual Bali sebagai daerah tujuan wisata yang banyak dikunjungi wisatawan
sangat berpotensi menyumbangkan devisa kepada negara, justru tidak
mendapatkan bagian dari devisa tersebut, mengingat dasar pemberian dana bagi
hasil hanya bertumpu pada sumber daya alam, sebagaimana diatur dalam Pasal 11
ayat (1) yang selanjutnya dipertegas pada ayat (3) yang menentukan bahwa
sumber daya alam yang dimaksud adalah: a) kehutanan; b) pertambangan umum;
c) perikanan; d) pertambangan minyak bumi; d) pertambangan gas bumi; dan f)
pertambangan panas bumi. Dengan demikian aspek pariwisata dan budaya tidak
digunakan sebagai dasar perhitungan untuk pemberian dana bagi hasil.