BAB II LANDASAN TEORITIK, KERANGKA KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORITIK, KERANGKA...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORITIK, KERANGKA KONSEPTUAL DAN KERANGKA … · LANDASAN TEORITIK, KERANGKA...
39
BAB II
LANDASAN TEORITIK, KERANGKA KONSEPTUAL DAN KERANGKA
BERPIKIR
2.1 Landasan Teoritik
Berhubung dengan penulisan disertasi ini, penulis menggunakan tiga (3)
teori hukum dan satu (1) konsep hukum sebagai pijakan dalam menyelesaikan dua
(2) permasalahan yang telah diuraikan pada Bab (1) satu, kemudian sebagai dasar
dalam mengkaji masalah pada Bab III dan IV sebagai berikut:
1. Teori Konstitusi
2. Teori Kekuasaan
3. Teori Kewenangan
4. Konsep Negara Hukum
2.1.1 Teori Konstitusi
Relevansi teori konstitusi dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi
RDTL, terdapat sub-sub bagian antara lain:
1. Istilah dan konsep konstitusi
2. Tujuan dibentuk konstitusi
3. Hakikat konstitusi
4. Fungsi konstitusi
5. Kedudukan konstitusi
6. Karakter konstitusi
7. Mekanisme perubahan konstitusi
Konstitusi merupakan refleksi dari norma dasar Negara sebagai
pembentukan hukum-hukum lainnya, dan sebagai aturan dasar yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan oleh lembaga-lembaga negara serta mengatur
perlindungan hak asasi manusia, sebagaimana hal ini Negara Republik Demokratik
40
Timor-Leste. Kemudian teori konstitusi digunakan dalam menjustifikasi dan
membahas 2 rumusan masalah yang ada, Oleh sebab itu alasan dipilihnya teori
konstitusi, sebagai berikut:
Pertama, K-RDTL Tahun 2002 sebagai norma dasar bagi lembaga negara
terutama legislatif dan eksekutif dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96 K-RDTL Tahun 2002.
Kedua, sebagai aturan yang mengatur bangunan negara atau lembaga- lembaga
negara dalam penyelenggaraan pemerintahan secara umum diatur dalam Pasal 67
K-RDTL, serta kedudukan, kewenangan dan fungsi serta hubungannya antara
lembaga-lembaga tersebut dengan menganut prinsip pemisahan kekuasaan
(pembagian kekuasaan), Pasal 69 K-RDTL Tahun 2002.
Ketiga, mengatur hubungan negara dengan masyarakat yang harus tunduk
pada hukum yang berlaku diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (2) K-RDTL Tahun
2002. Keempat, memberikan perlindungan HAM terutama memberikan
perlindungan hak-hak konstitusional warga negara, sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 16 K-RDTL Tahun 2002.
1. Istilah dan Konsep Konstitusi
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis, constituer, yang berarti
membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan
suatu negara atau menyusun dan mengatakan suatu negara1, dari apa yang
dikatakan dapat dimengerti bahwa konstitusi itu adalah suatu pernyataan untuk
membentuk, menyusun suatu negara. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan
1 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni'matul Huda, 2005, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 7
41
pembentukan adalah proses, cara, perbuatan membentuk.2 Menurut hemat penulis
konstitusi atau pembentukan merupakan proses atau cara dalam perbuatan
membentuk.
Istilah konstitusi oleh Wirjono Prodjodikoro berasal dari kata kerja
“constituer” (Perancis) berarti membentuk, jadi konstitusi berarti pembentukan.3
Hemat peneliti konstitusi berarti pembentukan. Konstitusi dalam pengertian hukum
sering dipersamakan dengan Undang-Undang Dasar atau Grondwet, oleh L.J. van
Apeldoorn telah membedakan secara jelas, yaitu Grondwet (Undang-Undang
Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution
(konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis.4 Jadi secara
umum dapat dikatakan konstitusi dan undang-undang Dasar memiliki tidak
memiliki perbedaan.
Adanya persamaan dan perbedaan antara konstitusi dan undang-undang
dasar sebagaimana dikatakan oleh Oliver Cromwell yang menamakan Undang-
Undang Dasar itu sebagai Instrument of Government artinya bahwa Undang-
Undang Dasar sebagai pegangan untuk memerintah,5 hemat penulis Undang-
undang Dasar merupakan pedoman bagi pemerintah dalam menyelenggarakan
pemerintahan Negara.
Sedangkan James Bryce sebagaimana dikutip oleh CF Strong menyatakan;
konstitusi sebagai kerangka masyarakat politik (Negara). Yang diorganisir dan
2 Departemen Pendidikan Nasional, 2014, KBBI edisi ke IV, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, h.174 3 Wirjono Prodjodikoro, 1989, Asas-asas Hukum Tata Negara Indonesia, Dian Rakyat,
Jakarta, h. 10 4 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni'matul Huda, op.cit. h. 8 5 Dahlan Dkk, Loc.cit
42
melalui hukum. Dengan kata lain hukum menetapkan adanya lembaga-lembaga
permanen dengan fungsi yang telah diakui dan hak-hak yang telah ditetapkan. (A
frame of political society, organized through and by law, that is to say on in which
law has established permanent institutions with recognized function and definite
rights.6 Hemat penulis, konstitusi sebagai kerangka yang menetapkan fungsi dan
hak-hak lembaga-lembaga negara dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Sesungguhnya tidak ada perbedaan antara konstitusi dan undang-undang dasar
sebab pada dasarnya konstitusi dan UUD sama-sama mengatur fungsi dan hak-hak
dari lembaga-lembaga Negara dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Herman Heller membagi definisi konstitusi itu ke dalam tiga definisi
yakni:7
a) Konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam suatu masyarakat
sebagai suatu kenyataan (Die politische Verfassung als Gesellschaftliche
Wirklichkeit) dan belum merupakan konstitusi dalam arti hukum (ein
rechtsverfassung) atau dengan perkataan lain konstitusi itu masih
merupakan pengertian sosiologis atau politis dan belum merupakan hukum;
b) Baru setelah orang-orang mencari unsur hukumnya dari konstitusi yang
hidup dalam masyarakat itu untuk dijadikan dalam satu kesatuan kaidah
hukum, maka konstitusi itu disebut Rechtsverfassung (Die Verselbstandgle
Rechtsverfassung). Tugas untuk mencari unsur hukum dalam ilmu
pengetahuan hukum disebut dengan istilah abstraksi;
c) Kemudian orang mulai menuliskan dalam suatu naskah sebagai undang-
undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara. Dengan demikian
menjadi jelaslah bagi kita, bahwa bilamana kita menghubungkan pengertian
konstitusi tersebut dengan pengertian Undang-Undang Dasar, maka
Undang-Undang Dasar itu hanyalah merupakan sebagian dari pengertian
konstitusi itu sendiri. Dengan perkataan lain, konstitusi itu (die geschriebene
verfassung), menurut beberapa para sarjana merupakan sebagian dari
konstitusi dalam pengertian umum.
6 C.F. Strong 2010, Konstitusi-Konstitusi Politk Moderen Cet ke III, Nusa Media, Bandung,
h.14-15 7Astim Riyanto, op cit, h. 20.
43
Dikaitkan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi RDTL. Pertama,
Konstitusi RDTL Tahun 2002 di bentuk dalam sebuah dokumen tertulis, menilik
ke kehidupan social politik masyarakat yang sedang membangun terdapat berbagai
pelanggaran hukum (telah diuraikan di bab I), nilai keadilan, dan kepastian hukum,
demokratis dan persamaan di depan hukum, dan berbagai nilai-nilai lainnya tidak
tercapai sebagaimana diatur dalam pasal 6 K-RDTL Tahun 2002.8
Kedua, mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam bentuk hukum tertulis,
memerlukan penelusuran dan menemukan kandungan nilai yang dijadikan dasar
bagi terbentuknya konstitusi; dikaitkan dengan Negara RDTL, memang nilai- nilai
tersebut telah di tuangkan dalam K-RDTL Tahun 2002, namun untuk mewujudkan
nilai keadilan kepastian, persamaan didepan hukum demokratis, dll, menjadi
kenyataan, memerlukan kerja sama antara pemerintah dan warga negara melalui
mekanisme pembentukan lembaga peradilan baru (Mahkamah Konstitusi) dalam
sistem ketatanegaraan RDTL, agar sistem nilai-nilai tersebut dapat diwujudkan.
Ketiga, penulisan konstitusi tidak terlepas dari adanya kesepakatan dasar
antara warga masyarakat dalam menyusun naskah konstitusi. Terkait ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi, apabila Pemerintah RDTL berkeinginan
membentuk lembaga ini, memerlukan kesepakatan bersama seluruh rakyat dan
pemerintah melalui mekanisme revisi konstitusi dan referendum (dibahas pada bab
IV), diatur dalam Pasal 154 dan Pasal 66 K-RDTL Tahun 2002.9
8 Pasal 6 Konstitusi RDTL Tahun 2002, merupakan cita-cita atau tujuan-tujuan hendak
dicapai oleh negara RDTL dalam proses pembangunan Nasional 9 Pasal 66 dan Pasal 154 Konstitusi RDTL Tahun 2002, kedua pasal ini mengatur sistim
revisi Konstitusi RDTL Tahun 2002
44
Demikian konstitusi mengandung suatu permulaan dari segala macam
peraturan pokok mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar
bernama negara.10 Hemat penulis, ada dua hal mengenai pembentukan konstitusi
sebenarnya berdasarkan pengalaman ketatanegaraan masing-masing. Pertama,
konstitusi ada sebelum negara terbentuk. Kedua, setelah negara terbentuk,
kemudian baru membentuk konstitusi. Demikan konstitusi dijadikan sebagai norma
dasar penyelenggaraan pemerintahan negara dan penyangga negara. Lebih lanjut
norma dasar atau konstitusi adalah aturan-aturan dasar yang mengatur, tugas,
fungsi, kewenangan dan hubungan lembaga-lembaga penyelenggaraan pemerintah
negara.
Konstitusi merupakan wujud penormaan dari nilai-nilai luhur Negara
RDTL, meminjam pendapat K.C Wheare, 11 menjelaskan: “a constitution is indeed
the resultant of parallelogram of forces political, economic, and social which
operate at the time its adoption” (konstitusi merupakan hasil resultan dari segi
kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang beroperasi pada saat diadopsi). Hemat
penulis, konstitusi merupakan hasil kesepakatan bersama seluruh rakyat, yang
digunakan sebagai pedoman pada saat diselenggarakannya sebuah pemerintahan,
menurut Carl Schmitt, konstitusi merupakan keputusan atau konsensus bersama
tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (eine Gesammtentscheidung über
Art und Form einer politischen Einheit), yang disepakati oleh suatu bangsa.12Kedua
10 C.A.J.M Kortman, Constitutionalrecht, Loc.Cit 11 K.C. Wheare, 1969, Modern Constitution, Oxford University Press, London, h. 68
12 A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang
Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita VI. Disertasi Doktor Universitas
Indonesia, Jakarta, hal. 288, dalam Maria Farida Indrawati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang
45
pendapat ini, jelas memberikan pemahaman, terbentuknya konstitusi merupakan
hasil kesepakatan bersama masyarakat politik dari suatu bangsa. Kemudian A.A.H
Struycken sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri, menjelaskan bahwa konstitusi
merupakan sebuah dokumen formal yang berisikan empat hal pokok, yakni: 13
a) Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau;
b) Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
c) Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk
waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang; dan
d) Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan
bangsa hendak dipimpin.
Relevansinya dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi RDTL.
Unsur pertama, nilai filosofis yang terkandung dalam pembukaan K-RDTL Tahun
2002, nilai keadilan bagi rakyat RDTL yang memang selama ini diperjuangkan,
sebab keadilan tidak pernah diperoleh jika dalam penyelenggaraan pemerintahan
Negara, para penyelenggara Negara dalam tindakannya acapkali melanggar
peraturan perundang-undangan dan dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan yang dibentuk oleh lembaga legislative dan pemerintah atau banyaknya
peraturan perundang-undangan mengalami disharmonisasi secara hierarki hukum.
Unsur kedua, mengenai tingkat perkembangan ketatanegaraan, selama ini
kehidupan ketatanegaraan RDTL mengalami berbagai persoalan terutama sengketa
lembaga Negara dan pelanggaran hak-hak konstitusional warga Negara dan tidak
pernah dapat diselesaikan. Unsur ketiga, pandangan tokoh-tokoh bangsa yang telah
tertuang dalam K-RDTL Tahun 2002, merupakan cerminan dari nilai-nilai luhur
bangsa RDTL, dimana merupakan wujud kesepakatan bersama seluruh rakyat yang
Undangan: Dasar-Dasar Dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, h. 28.
13 Sri Soemantri, 2006, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, h.3
46
dipersatukan dalam sebuah lembaga Assembleia konstuante (Dewan Konstitusi).
Pada dasarnya K-RDTL Tahun 2002 merupakan keputusan badan yang
berwenang, sebagaimana telah dibentuk oleh Assembleia Konstituante (Dewan
Konstitusi) diatur dalam Pasal 167 ayat (1) K-RDTL Tahun 2002 yang menyatakan
bahwa: “Dengan disyahkannya Konstitusi Republik, Dewan Konstituante
menjelma menjadi Parlemen Nasional”. Dewan Konstitusi yang dibentuk pada
masa transisi pemerintahan UNTAET (united nation of transition administration
of East Timor) sesuai Regulasi UNTAET Nomor 2 Tahun 2001, dimana tugasnya
menyusun Konstitusi RDTL Tahun 2002 hingga disahkan pada tanggal 22 Maret
2002, kemudian lembaga ini secara langsung ditransformasikan menjadi lembaga
legislative (parlemen nasional) sesuai pasal yang disebutkan diatas.
Unsur keempat, keinginan rakyat RDTL belum tercapai keadilan,
kemakmuran dan tertib secara hukum sebab penyelenggara acapkali melanggar
ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana telah dipaparkan pada Bab I. dari uraian
ini, urgensi dibentuknya Mahkamah Konstitusi guna menyelesaikan persoalan
kenegaraan dan warga Negara, terutama disharmonisasi undang- undang dan hak-
hak warga Negara. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai langkah yang
baik bagi Negara RDTL, sebab untuk mewujudkan tuntutan-tuntutan masyarakat
atas nilai- nilai luhur, Mahkamah Konstitusi dapat mewujudkan hal tersebut. Tetapi
untuk membentuk Mahkamah Konstitusi, seyogyanya Pemerintah melakukan
revisi terhadap Pasal 123 ayat (1) huruf (a) K-RDTL Tahun 2002, karena secara
subtansi pasal ini tidak mengatur lembaga Mahkamah Konstitusi atau adanya
norma kosong artinya kalimatnya tidak jelas yang menyatakan “pengadilan-
47
pengadilan lainnya”.
Berkenan dengan lembaga peradilan telah diatur dalam Pasal 123 K-RDTL
Tahun 200214, tentang kategori-kategori pengadilan RDTL, secara subtansi
Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi diatur dalam Pasal 124 K-
RDTL,15 sebagai wadah peradilan tertinggi dalam mewujudkan nilai-nilai luhur
tersebut, kewenangan diberikan kepada Mahkamah Agung, namun dalam
menyelenggarakan kewenangannya Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 126 K-
RDTL Tahun 2002, tidak melaksanakan sesuai yang diamanatkan(dijelaskan pada
bab I).
Dikaji lebih dalam sebenarnya Pasal 123 ayat (1) huruf (a) K-RDTL Tahun
2002, menyatakan bahwa: Kategori-kategori pengadilan di Republik Demokratik
Timor-Leste adalah sebagai berikut: (a).“Mahkamah Agung dan pengadilan-
pengadilan lainnya” subtansi pasal ini menunjukkan hierarki sistem peradilan
RDTL. Pertama, secara horizontal dalam sistem peradilan RDTL, kedudukan
Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan tertinggi, namun kata MA dan
pengadilan-pengadilan lain-lainnya, menunjukkan Mahkamah Agung bukan satu-
satunya pengadilan tertinggi tetapi masih ada pengadilan lain yang berkedudukan
sejajar. Terkait dengan pengadilan-pengadilan lainnya menjadi persoalan hukum
(norma kosong), oleh karena itu perlu adanya revisi (dibahas pada sub
14 Pasal 124 Konstitusi RDTL Tahun 2002, Mahkamah Agung 1. Mahkamah Agung adalah
lembaga yudikatif tertinggi dalam hierarki pengadilan-pengadilan, penjamin keseragaman
penggunaan undang-undang dan memiliki yurisdiksi di seluruh wilayah nasional. 2. Merupakan
wewenang Mahkamah Agung, menyelenggarakan peradilan terhadap materi-materi yang bersifat
yuridis-konstitusional dan electoral. 3. Ketua Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden Republik
diantara para hakim dari Mahkamah Agung untuk satu masa jabatan selama enam tahun. 15 Pasal 124 Konstitusi RDTL Tahun 2002, tentang definisi Mahkamah Agung yang
menjamin keseragaman pengadilan-pengadilan yang ada saat ini
48
selanjutnya) untuk mendudukkan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
sejajar dalam sistem peradilan RDTL.
Kedua, kemudian secara vertikal, Mahkamah Agung sebagai pengadilan
tertinggi yang membawahi sistem peradilan RDTL sebagaimana diatur dalam Pasal
124 ayat (1) dan Pasal 123 ayat (1) huruf (b dan c) K-RDTL Tahun 2002. Materi
muatan kedua pasal ini jelas. Pengadilan-pengadilan yang ada sekarang ataupun
yang akan dibentuk secara vertikal tetap berada dibawah Mahkamah Agung. Jika
demikian Mahkamah Konstitusi tidak mungkin berada dibawah Mahkamah Agung
alasannya, Mahkamah Konstitusi merupakan organ utama penafsir konstitusi.
2. Tujuan Dibentuk Konstitusi
Hubungan tujuan dibentuk konstitusi dengan ide pembentukan Mahkamah
K-RDTL Tahun 2002, secara filosofis, Mahkamah Konstitusi hadir untuk
membatasi kekuasan legislative dan eksekutif dalam menyelenggarakan
pemerintahan Negara. Pertama, menjamin kepastian terhadap pembentukan
peraturan perundangan yang bertentangan dengan K-RDTL Tahun 2002, artinya
setiap produk legislasi yang dibentuk oleh lembaga legislatif dan pemerintah,
Mahkamah Konstitusi mempunyai tugas untuk menilai secara formil maupun
materiil, apakah produk legislasi tersebut selaras atau tidak dengan K-RDTL Tahun
2002.
Kedua, menjamin agar para penyelenggara tidak melanggar hak-hak asasi
warga negara, maksudnya, apabila Mahkamah Konstitusi dibentuk, maka setiap
perbuatan atau pelanggaran penyelenggara negara yang bertentangan dengan
konstitusi, terutama hak-hak warga negara yang diatur oleh undang-undang
49
maupun peraturan-perundangan yang tidak selaras dengan konstitusi, warga negara
melakukan penuntutan atas hak yang diabaikan. Ketiga, menjamin
terselenggaranya pemerintahan yang demokratis. Sebagai lembaga yang
berkewenangan menjaga dan melindungi konstitusi, Mahkamah Konstitusi hadir
untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah dimana
acapkali terjadi benturan kewenangan antara lembaga negara, kemudian memiliki
kapasitas untuk membubarkan dan mengesahkan partai politik yang akan
mengikuti pemilihan umum sesuai syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Terkait dengan konstitusi memiliki tujuan tertentu yaitu untuk mengatur,
menertibkan dan sebagai penyangga penyelenggaraan Negara, seperti dikemukakan
oleh James Bryce, yang dikutip oleh Sri Soemantri, menyatakan terdapat tiga tujuan
(objectives) dari pembentukan suatu konstitusi, yakni:
a) Untuk membangun dan mempertahankan kerangka pemerintah di mana
pekerjaan negara dapat dilaksanakan secara efisien pada tujuan seperti
kerangka pemerintah berada di satu sisi untuk mengasosiasikan masyarakat
dengan pemerintah dan di sisi lain, untuk menjaga ketertiban umum, untuk
menghindari keputusan terburu-buru dan untuk mempertahankan
kelangsungan ditoleransi kebijakan; (“to establish and maintain a frame of
government under which the work of the state can be efficiently carried on,
the aims of such a frame of government being on the one hand to associate
the people with the government and on the other hand, to preserve public
order, to avoid hasty decision and to maintain a tolerable continuity of
policy)
b) Untuk memberikan keamanan karena hak-hak dari perseorangan warga
negara sebagai pribadi, properti, dan pendapat, sehingga ia tidak perlu takut
dari eksekutif tirani mayoritas(“to provide due security for the rights of the
individual citizen as respects person, property, and opinion, so that he shall
have nothing to fear from the executive of from the tyranny of an excited
majority”)
c) Untuk memegang negara bersama-sama, tidak hanya untuk mencegah
gangguan oleh pemberontakan atau pemisahan diri dari bagian bangsa,
tetapi untuk memperkuat kekompakan negara dengan menciptakan mesin
yang baik untuk menghubungkan bagian-bagian terpencil dengan pusat,
dan dengan motif menarik bagi setiap kepentingan dan sentimen, yang
50
semua bagian penduduk menginginkan untuk tetap bersatu di bawah
pemerintahan.(“to hold the state together, not only to prevent its disruption
by the revolt or secession of a part of the nation, but to strengthen the
cohesiveness of the country by creating good machinery for connecting the
outlying parts with the center, and by appealing to every motive of interest
and sentiment, that can leas all sections of the inhabitants to desire to
remain united under on governments).16
Wujud pertama, dari pandangan James Bryce dihubungkan ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi RDTL. Pertama, Konstitusi merupakan
kerangka bagi lembaga-lembaga negara dalam menyelenggarakan tugas, fungsi dan
kewenangannya masing-masing harus sesuai dengan yang telah dirumuskan atau
digariskan, diatur dalam Pasal 67 K-RDTL Tahun 2002, menyatakan bahwa:
“Lembaga-lembaga Kedaulatan Negara terdiri dari Presiden Republik, Parlemen
Nasional, Pemerintah dan Pengadilan”. Selanjutnya mengenai kewenangan
masing-masing lembaga Negara ditegaskan dalam Pasal 74 hingga Pasal 130 K-
RDTL Tahun 2002, Lembaga-lembaga Negara yang menyelenggarakan
pemerintahan acapkali terjadi benturan kewenangan atau timbulnya sengketa
kewenangan antara lembaga Negara yang tidak terselesaikan, maka hadir
Mahkamah Konstitusi bertugas menyelesaikan sengketa lembaga negara yang
terjadi.
Kedua, konstitusi mengatur perlindungan atas hak-hak individual atau Hak
asasi Manusia, pengaturan mengenai hal tersebut ditegaskan dalam K-RDTL
Tahun 2002, tertera jelas pada bagian II, judul I tentang Prinsip- Prinsip Umum dari
Pasal 16 sampai dengan Pasal 28, judul II tentang Hak, Kebebasan dan Jaminan
Pribadi dari Pasal 29 sampai Pasal 49, judul III tentang Hak dan Kewajiban
16 Sri Soemantri, 2006, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung,
h.56
51
Ekonomi, Sosial dan Budaya dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 61. Sebagaimana
para penyelenggara seringkali dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara
tidak mematuhi peraturan perundangan dan juga melanggar hak-hak warga Negara
sebagaimana telah dijelaskan pada Bab I, atas dasar inilah urgensi dibentuk
Mahkamah Konstitusi bertugas menjamin hak-hak asasi yang dilanggar oleh
penyelenggara Negara. Ketiga, konstitusi mengatur, membagi dan menciptakan
hubungan antara lembaga Negara, sebagaimana lembaga-lembaga Negara RDTL
dalam menyelenggarakan pemerintahan bersandar pada asas pemisahan kekuasaan,
diatur dalam Pasal 69 K-RDTL Tahun 2002, menyatakan bahwa; “Lembaga-
lembaga kedaulatan negara, dalam hubungan timbal balik dan dalam pelaksanaan
fungsi-fungsinya, tunduk pada prinsip pemisahan kekuasaan dan saling
ketergantungan secara fungsional sesuai dengan Konstitusi”.
Kemudian hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam wujud
check and balance, agar menghindari adanya penumpukan kewenangan dalam satu
lembaga Negara. Diatur dalam Pasal 5 K-RDTL Tahun 2002, tentang
desentralisasi, menyatakan bahwa: (1). Dalam organisasi teritorialnya, Negara
menghormati prinsip desentralisasi pemerintahan umum. (2). Undang-undang
mendefinisikan dan menetapkan ciri-ciri dari berbagai tingkatan teritorial,
demikian juga wewenang administratif badan-badan yang bersangkutan. (3). Oe-
Cusse Ambeno dan Atauro, secara administratif dan ekonomis, mendapatkan
perlakuan khusus.
Pembentukan Pemerintahan Daerah melalui penetapan perundang-
undangan yang tidak sesuai dengan konstitusi tidak melalui mekanisme judicial
52
review padahal fungsi pengadilan terutama Mahkamah Agung untuk menilai
subtansi suatu peraturan perundang-undangan tidak dilaksanakan sesuai amanat
Pasal 126 K-RDTL Tahun 2002. Selanjutnya dengan ide terbentuknya Mahkamah
Konstitusi, maka kewenangan menguji undang-undang diberikan kepada
Mahkamah Konstitusi sedangkan peraturan daerah dapat diuji oleh MA. Dengan
demikian kehadiran Mahkamah Konstitusi merupakan suatu kebutuhan dalam
struktur ketatanegaraan RDTL, sebab tanpa adanya lembaga penguji undang-
undang sebagaimana Mahkamah Konstitusi, niscaya persoalan kenegaraan tidak
dapat diselesaikan.
3. Hakikat Konstitusi
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya mengenai pengertian dalam
berbagai bahasa, konstitusi pada hakikatnya adalah hukum dasar negara, yang di
Indonesia dikenal dengan nama Undang-Undang Dasar. Terdapat tiga hal yang ada
dalam setiap konstitusi, yaitu bahwa konstitusi atau Undang-Undang Dasar harus:
a) Menjamin hak-hak asasi manusia atau warga negara;
b) Memuat ketatanegaraan suatu negara yang bersifat mendasar; dan
c) Mengatur tugas serta wewenang dalam negara yang juga bersifat
mendasar.17
Selain tiga muatan tersebut, Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi
mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian
rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang.
17 Sri Soemantri 1984 “Konstitusi serta Artinya Untuk Negara” dalam buku yang dihimpun
Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini,: Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 9
53
Dengan demikian, diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi.18 Jadi
pada Hakikat dari suatu konstitusi mengandung 2 makna yaitu: Pertama,
pengaturan dan pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga negara dan kedua,
menjamin dan melindungi hak-hak warga negara.
Dikaitkan dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi RDTL. Pertama,
K-RDTL Tahun 2002, telah mengatur pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga
negara, namun untuk mempertahankan eksistensi konstitusi sebagai hukum
tertinggi. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah atau
mekanisme yang tepat dalam melindungi dan menjaga kewibawaan konstitusi serta
membatasi kekuasaan lembaga negara yang ada, sebab Mahkamah Konstitusi hadir
sebagai pengadilan konstitusional yang menyelesaikan persoalan kenegaraan
Kedua, gagasan perlindungan hak-hak warga negara telah ditegaskan dalam K-
RDTL Tahun 2002, namun hal ini seringkali dilanggar oleh penyelenggara negara
melalui penetapan peraturan perundangan (telah dijelaskan pada bab I), oleh karena
itu untuk memberikan jaminan hak-hak warga negara dan kepastian atas suatu
peraturan perundang-undangan, perlu dibentuk Mahkamah Konstitusi yang
bertugas memberikan penilaian atas norma apakah bertentangan dengan K-RDTL
Tahun 2002, atau tidak, sehingga kepastian hukum dapat terjamin.
18 Dahlan Thaib, dkk, Op.Cit. h. 18. Negara itu merupakan sesuatu yang bersifat abstrak,
maka yang memegang serta menjalankan kekuasaan pemerintahan adalah seseorang atau
sekelompok orang. Kekuasaan dalam negara itu dapat disalahgunakan oleh mereka yang memegang
kekuasaan, lihat dalam Sri Soemantri dalam buku yang dihimpun Padmo Wahjono, Lo.Cit. hlm. 9.
Oleh karena itu, persoalan yang dianggap terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan
mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan.
54
4. Fungsi Konstitusi
Urgensi fungsi konstitusi dengan ide pembentukan mahkamah konstitusi
RDTL. Terkait dengan fungsi K-RDTL Tahun 2002, sebagai sarana dasar untuk
mengawasi proses-proses penyelenggara pemerintahan atau dapat juga berfungsi
sebagai dokumen nasional dan sebagai hukum tertinggi dalam membentuk sistym
peraturan perundang-undangan. K.C. Wheare memandang fungsi Konstitusi
mendeskripsikan seluruh system pemerintahan suatu Negara.19 Hemat penulis
fungsi konstitusi. Pertama, sebagai dasar atau pedoman penyelenggaraan
pemerintahan Negara secara umum, kedua, konstitusi merupakan hukum tertinggi
sebagai dasar bagi pembentukan hukum-hukum lain, Ketiga; mengatur hubungan
antara yang diperintah dan memerintah, keempat; mengatur hak-hak konstitusional
warga Negara.
Oleh karena itu demi mewujudkan fungsi konstitusi tersebut ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi RDTL merupakan sarana pengadilan
konstitusional dalam menyelenggarakan fungsi K-RDTL Tahun 2002.
Sebagaimana Henc Van Maarseven dan Ger van der Tang yang dijelaskan oleh I
Dewa Gede Atmadja dalam bukunya Teori Konstitusi dan Negara Hukum,
kegunaan tipologi konstitusi terkait dengan ilmu konstitusi berkenaan ketiga
peringkat teori konstitusi, yaitu:
a) Peringkat “general theory”, tipologi konstitusi dapat memperkaya dan
memperluas pengetahuan tentang konsep-konsep serta cara
mendeskripsikan dan menjelaskan konstitusi secara komprehensif;
b) Peringkat” comparative theory”, tipologi konstitusi dapat memperbaiki dan
c) Peringkat “national theory”, tipologi konstitusi dapat membantu dalam
menafsirkan konstitusi serta menjadi rujukan dalam menentukan klasifikasi
19 K.C. Wheare, 1973, Modern Constitutions, edisi ke III, Oxford University Press, New
York, h.7
55
konstitusi dan konsekuensi hukumnya.
d) Akhirnya tipologi digunakan juga untuk membedakan tipe konstitusi,
sehingga melalui konstitusi dapat membantu proses pembentukan
konstitusi baik mengganti atau mengamendemennya.20
Beranjak dari pemikiran diatas, fungsi K-RDTL Tahun 2002,dikaitkan
dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi. Pertama, sebagai general theory,
konstitusi gunakan sebagai ilmu pengetahuan hukum ketatanegaraan untuk
menemukan konsep-konsep baru yaitu konsep membentuk Mahkamah Konstitusi,
dan mendeskripsikan (sebagai gambaran) dalam konteks ketatanegaraan RDTL,
kemudian lembaga ini berfungsi menjelaskan fungsi konstitusi dalam menguji
produk legislatif.
Kedua, K-RDTL Tahun 2002, sebagai landasan dalam melakukan
perbandingan lembaga penguji undang-undang (Mahkamah Konstitusi) dengan
Negara lain, agar ke depan Mahkamah Konstitusi terbentuk fungsi-fungsi yang di
miliki oleh lembaga ini jelas, sekiranya juga menjadi bahan perbandingan dalam
menentukan dan menetapkan fungsi Mahkamah Konstitusi. Ketiga, sebagai
national theory, apabila Mahkamah Konstitusi RDTL terbentuk maka fungsinya
adalah untuk menafsirkan konstitusi dan menguji undang-undang yang berada
dibawah K-RDTL Tahun 2002,. Keempat; demikian untuk membentuk Mahkamah
Konstitusi, pemerintah perlu melakukan revisi, agar lembaga diletakkan sebagai
salah satu lembaga peradilan.
Hemat penulis secara umum fungsi konstitusi merupakan cerminan dari
nilai-nilai suatu bangsa yang dituangkan dalam bentuk dokumen resmi, sehingga
20 I Dewa Gede Atmadja, 2015, Teori Konstitusi dan Negara Hukum, SetaraPress, Malang,
h. 28-29
56
menjadikannya sebagai pedoman atau dasar bagi penyelenggaraan pemerintahan
secara umum, yang harus ditaati oleh setiap penyelenggara negara maupun
masyarakat serta berfungsi sebagai dasar hukum atau norma tertinggi bagi
pembentukan Peraturan perundang-undangan yang lain.
Berdasarkan fungsi konstitusi secara umum terkait dengan ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi RDTL. Pertama, nilai ideology yaitu ideologi
Negara hukum yang dianut oleh Negara RDTL, fungsi Mahkamah Konstitusi;
menjaga dan melindungi konstitusi (the protector of constitution), nilai filosofis
konstitusi: nilai keadilan, kepastian hukum, persamaan didepan hukum, nilai
demokratis, fungsi Mahkamah Konstitusi menegakkan nilai-nilai dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, kemudian nilai social-culture, ini berkaitan dengan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus sesuai nilai-nilai yang
tertanam dalam masyarakat, namun apabila ada pertentangan, maka fungsi
Mahkamah Konstitusi menguji secara formal maupun materiil, sehingga nilai dari
sebuah undang-undang menyimpang dari culture-social masyarakat.
Kedua, landasan penyelenggaraan pemerintahan secara umum, maka
konstitusi dijadikan sebagai pedoman, pengaturan fungsi, tugas dan wewenang
telah jelas, namun seringkali terjadi sengketa kewenangan, oleh karena itu agar
dapat menyelesaikan persoalan ini, Mahkamah Konstitusi perlu dihadirkan dalam
sistem ketatanegaraan RDTL guna menyelesaikan persoalan tersebut. Ketiga,
fungsi konstitusi terkait dengan pembentukan Mahkamah Konstitusi, sebagai
wujud perlindungan hak-hak warga Negara apabila dilanggar oleh penyelenggara
Negara. Keempat, fungsi konstitusi dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Konstitusi
57
jika dibentuk oleh Pemerintah, sebagai organ utama, tugas utamanya menguji
produk peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga legislative dan
pemerintah serta peraturan perundang-undangan).
5. Kedudukan konstitusi
Urgensi kedudukan konstitusi dan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi
RDTL, Kedudukan K-RDTL Tahun 2002, sebagai norma fundamental dalam
menyelenggarakan pemerintahan secara umum, namun Konstitusi tidak
sepenuhnya di patuhi oleh penyelenggara, akibat adanya berbagai pelanggaran
yang dilakukan, untuk menghindari hal ini, perlu membentuk lembaga Mahkamah
Konstitusi, akan tetapi secara subtansi dalam Pasal 123 ayat (1) huruf (a) K-RDTL
Tahun 2002, tidak mengatur pembentukan lembaga MK. Oleh karena itu
memperkuat kedudukan Konstitusi RDTL dalam norma fundamental, perlu
melakukan revisi terhadap subtansi pasal yang disebutkan, sehingga Mahkamah
Konstitusi dalam melakukan tugas dan fungsinya mengawasi penyelenggara
pemerintahan umum, dan menindak tindakan pelanggaran dan perbuatan
penyelenggara pemerintahan.
Konstitusi menempati kedudukan yang begitu krusial di dalam kehidupan
ketatanegaraan sebuah Negara sebab konstitusi menjadi tolak ukur kehidupan
berbangsa dan bernegara yang penuh dengan fakta sejarah perjuangan para
pahlawannya. Walaupun konstitusi yang terdapat di dunia ini tidak sama satu
dengan lainnya baik dalam hal bentuk, isi, maupun tujuan namun pada umumnya
semuanya memiliki kedudukan formal yang sama, yakni sebagai: Konstitusi
sebagai Hukum Dasar sebab konstitusi berisi ketentuan dan aturan tentang perihal
58
yang mendasar dalam kehidupan sebuah Negara dan Konstitusi sebagai Hukum
Tertinggi. I.D.G Atmadja dalam buku memberikan penjelasan mengenai
kedudukan konstitusi dapat diidentifikasi, 3 (tiga) kedudukan dari konstitusi suatu
Negara.21
Pertama, dilihat dari posisi “konstitusi” sebagai “hukum dasar” (basic law),
mengandung norma-norma dasar yang mengarahkan bagaimana pemerintah
mendapatkan kewenangan mengorganisasikan penyelenggaraan kekuasaan
Negara. Kedua, dari segi hierarki Peraturan perundang-undangan, “konstitusi”
sebagai “hukum tertinggi” kedudukannya “kuat” artinya produk hukum lainnya
tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, dan kalau bertentangan harus
dibatalkan. Pembatalan itu dapat melalui asas Preferensia, yakni asas hukum”lex
superior derogate legi inferior” (peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
mengesampingkan peraturan hukum yang lebih rendah. Pembatalan pernyataan
produk dapat dilakukan melalui “judicial review” oleh Mahkamah Agung,
pengujian Peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap
undang-undang; atau Mahkamah Konstitusi, pengujian undang- undang terhadap
Undang-Undang Dasar (Konstitusi)
Ketiga, konstitusi sebagai dokumen hukum dan politik menempati
kedudukan “istimewa”, selain subtansi atau materi muatannya memuat norma
hukum dasar, juga berisi piagam kelahiran suatu Negara baru (a birth certificate),
inspirasi merealisasi cita-cita Negara dan cita-cita hukum, karena itu norma
konstitusi juga mengendalikan norma-norma lainnya. Disimpulkan kedudukan
21 I.D.G.Atmadja, 2012, Hukum Konstitusi, Setara Press, Malang, h.38-40
59
konstitusi sebagai norma tertinggi bagi terselenggaranya kekuasaan Negara,
sebagai dasar pembentukan Peraturan-perundang-undangan dibawah Konstitusi,
serta merupakan dokumen tertulis secara valid. Relevansinya dengan ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi RDTL, bertujuan untuk mempertahankan
eksistensi atau kedudukan konstitusi sebagai norma dasar (basic law), dikarenakan
lembaga Mahkamah Konstitusi bertugas menguji produk peraturan-perundang-
undangan yang bertentangan dengan konstitusi melalui mekanisme judicial review,
sehingga peraturan perundangan yang diuji memiliki kekuatan hukum yang
mengikat bagi penyelenggara dan warga Negara.
6. Karakter Konstitusi
Urgensi karakter konstitusi dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi
RDTL; karakter K-RDTL Tahun 2002, tidak terlepas dari bentuk Negara RDTL
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RDTL Tahun 2002. Sebab
dengan diketahuinya karakter konstitusi RDTL tahun 2002, ide pembentukan
Mahkamah Konstitusi RDTL dapat terwujud. Demikian untuk mengetahui karakter
K-RDTL Tahun 2002,, secara umum karakter konstitusi dijelaskan oleh I.D.G
Atmadja, menjelaskan 3 model dari karakter konstitusi sebagai berikut: Pertama,
konstitusi bersifat sekuler dan non sekuler; konstitusi yang bersifat sekuler,
mendesain norma Konstittusinya menentukan pemisahan secara tegas antara
kehidupan agama dengan urusan-urusan kenegaraan. Dibalik itu konstitusi yang
bersifat non sekuler, mendesain Konstittusinya tidak dapat dilepaskan dari tradisi
agama masyarakatnya. Kedua, model konstitusi yang legitimasinya di tentukan oleh
organ-organ formal dan membuka akses yang luas bagi partisipasi masyarakat,
60
model konstitusi yang legitimasinya formal, karakter Konstittusinya legalistic
formal, tidak respons terhadap tuntutan masyarakat, dan mengabaikan rasa keadilan
masyarakat.
Ketiga, model konstitusi Negara serikat dan Negara kesatuan berbeda
dalam karakternya konstitusi Negara serikat pada umumnya, norma Konstittusinya
rinci. Memuat secara rinci apa yang merupakan urusan yang menjadi kewenangan
federal (pusat), para pakar hukum, menamakan “teori residu”( teori sisa). Oleh
karena itu sifat konstitusi serikat adalah rigid. Sedangkan konstitusi negara
kesatuan norma tidak rinci, memuat aturan yang bersifat garis besar saja, memuat
rincian urusan yang merupakan kewenangan pemerintah daerah, urusan pemerintah
selebihnya merupakan kewenangan pemerintah pusat, sifat konstitusi negara
kesatuan pada umumnya flexible atau luwes.22 Hemat penulis, secara umum
terdapat tiga model karakter konstitusi yaitu: konstitusi sekuler dan non sekuler,
konstitusi legitimasi dan konstitusi Negara serikat dan Negara kesatuan
Berdasarkan pandangan diatas, dikaitkan dengan K-RDTL Tahun 2002,,
termasuk dalam konstitusi Negara kesatuan, walaupun tidak sesuai pandangan
diatas, namun secara subtansi mengatur lembaga-lembaga negara, hubungan
lembaga negara, hubungan pemerintah pusat dan daerah, jaminan terhadap hak
asasi manusia serta mekanisme perubahan K-RDTL Tahun 2002,. Dan mengenai
K-RDTL bersifat fleksibel atau rigid, dapat terlihat dari mekanisme perubahan
yang ditetapkan dalam K-RDTL Tahun 2002. Relevansinya dengan ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi RDTL, kehadiran lembaga Mahkamah
22 I.D.G.Atmadja, 2012, Hukum Konstitusi, Setara Press, Malang, h. 41-42
61
Konstitusi. Pertama, mengawasi penyelenggaraan pemerintahan secara umum
(hubungan antara lembaga negara). Kedua; mengawasi pemerintah melalui
mekanisme pengujian undang-undang yang bertentangan dengan K-RDTL Tahun
2002,dan ketiga, menjamin perlindungan hak-hak asasi warga negara.
7. Mekanisme Perubahan Konstitusi
Negara Republik Demokratik Timor-Leste sebagai salah penganut ideologi
negara hukum, agar dapat mempertahankan eksistensi Negara hukum terus ke
depan, memerlukan lembaga peradilan (Mahkamah Konstitusi) yang memiliki
integritas dalam menjaga dan melindungi prinsip negara hukum yang ditegaskan
dalam Pasal 1 ayat (1) K-RDTL Tahun 2002. Kemudian untuk meletakkan lembaga
Mahkamah Konstitusi, Pemerintah perlu melakukan revisi terhadap Pasal 123 ayat
(1) huruf (a) K-RDTL Tahun 2002,, dan memasukkan Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga utama sebagaimana lembaga Negara yang ada dalam Pasal 67 K-
RDTL Tahun 2002.
Terkait dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi, penulis
memaparkan mekanisme perubahan Konstitusi sesuai pendapat C.F Strong,
mengatakan bahwa prosedur perubahan terhadap konstitusi-konstitusi ada 4 cara
perubahan, yaitu:
1) Perubahan konstitusi ini terjadi melalui tiga macam kemungkinan yaitu:
cara ke satu bahwa yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan legislative,
akan tetapi menuntut pembatasan-pembatasan tertentu artinya bahwa
sidang pemegang kekuasaan legislates harus dihadiri oleh sekurang-
kurangnya sejumlah anggota tertentu yang disebut Kuorum. Umpamanya
sekurang-kurang 2/3 dari seluruh anggota pemegang kekuasaan legislative
harus hadir. Keputusan untuk mengubah konstitusi adalah sah, apabila
disetujui oleh umpamanya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Cara ke dua
Bahwa untuk mengubah konstitusi, lembaga perwakilan rakyatnya harus
dibubarkan dan kemudian diselenggarakan pemilihan umum. Lembaga
62
perwakilan rakyat yang diperbaharui inilah yang kemudian melaksanakan
wewenang untuk mengubah konstitusi. Cara ke tiga, Cara ini terjadi dan
berlaku dalam system dua kamar. Untuk mengubah konstitusi, ke dua
kamar lembaga perwakilan rakyat harus mengadakan sidang gabungan.
2) Secara garis besar prosedur yang kedua ini berlangsung apabila ada
kehendak untuk mengubah konstitusi, maka lembaga negara yang diberi
wewenang untuk itu mengajukan usul perubahan kepada rakyat dalam suatu
referendum atau Plebisit.
3) Cara ketiga berlaku bagi negara dalam negara yang berbentuk negara
serikat. Oleh karena itu konstitusi dalam negara yang berbentuk negara
serikat ini dianggap sebagai ’perjanjian antara negara-negara bagian, maka
perubahan terhadapnya harus dengan persetujuan sebagian terbesar negara-
negara tersebut.
4) Cara keempat ini dapat dijalankan baik dalam negara serikat maupun dalam
negara kesatuan, apabila kehendak untuk mengubah undang- undang dasar,
maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka dibentuk lah suatu
lembaga-lembaga khusus yang tugas dan wenangnya mengubah
konstitusi.23
Dari pendapat Strong, unsur pertama dan kedua sangat berkaitan dengan
kewenangan merevisi K-RDTL Tahun 2002. Pertama, kewenangan melakukan
revisi berada pada Parlemen Nasional diatur dalam Pasal 95 ayat (3) huruf (i)
dan 154 ayat (1), Pasal 155 ayat (1) K-RDTL Tahun 2002. Kedua, lembaga Negara
yang diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan referendum adalah Presiden
RDTL diatur dalam Pasal 66 ayat (2) K-RDTL Tahun 2002. Dengan demikian
kewenangan merevisi konstitusi RDTL tahun 2002 terletak pada Parlemen
Nasional dan Presiden RDTL atas dasar usulan 1/3 anggota parlemen nasional dan
usulan mendasar dari pemerintah serta disahkan oleh 2/3 anggota Parlemen
nasional. Berkenan dengan mekanisme revisi K-RDTL Tahun 2002, sebagaimana
telah diuraikan ada 2 hal: Pertama, melalui Parlemen Nasional, kedua; melalui
penyelenggara referendum oleh Presiden RDTL. Secara Teoritis mengenai
23 C.F. Strong, 2008, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern (Penerjemah Derta Sri W),
Penerbit Nusa Media, h. 181-232
63
perubahan konstitusi, dalam bahasa Inggris dikenal (2) istilah yaitu;
1) Constitutional amendment, yakni; mengamandamen konstitusi melalui
penambahan Bab, Pasal, dan ayat (addition), perbaikan (revision) serta
pencabutan atau penghapusan Bab pasal, dan ayat (repeal)
2) Constitutional reform, yakni pembaharuan konstitusi atau dikenal sebagai
constitutional review.24
Dari dua istilah diatas, Negara RDTL menganut istilah pertama, yakni
revision atau perbaikan. Hubungannya dengan Pasal 123 ayat (1) huruf (a), K-
RDTL Tahun 2002, yang telah terjadi kekaburan norma merupakan kewenangan
Parlemen Nasional melalui anggota dan fraksi-fraksinya yang berinisiatif
melakukan revisi, yang berlandaskan pada Pasal 154 K-RDTL Tahun 2002. Dan
penyelenggaraan referendum dapat terlaksana jika 2/3 anggota Parlemen Nasional
menyetujui revisi melalui Referendum yang diselenggarakan Presiden RDTL. Jadi
pada hakikatnya revisi dapat terlaksana apabila ada persetujuan dari 2/3 anggota
Parlemen Nasional. Dikaitkan dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi
dalam sistem ketatanegaraan RDTL, Pemerintah perlu mempertimbangkan revisi
konstitusi, sebab apabila tidak merevisi K-RDTL Tahun 2002, maka Mahkamah
Konstitusi niscaya terbentuk, oleh karena itu Pemerintah (arti luas) harus
bersungguh-sungguh melakukan revisi, kemudian belajar dari persoalan
penyelenggaraan pemerintahan negara yang selama ini menyimpang dari konstitusi
dan juga mengikuti pengalaman Negara- negara yang telah lebih dulu mengadopsi
Mahkamah Konstitusi ke dalam sistem ketatanegaraan.
24 I Dewa Gede Atmadja,2015, Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum, Setara Press,
Malang, h.61
64
2.1.2 Teori Kekuasaan
Relevansi teori kekuasaan dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi
Republik Demokratik Timor-Leste (RDTL), terdapat sub-sub yang berkaitan antara
lain;
1) Istilah dan konsep kekuasaan
2) Fungsi kekuasaan
3) Jenis kekuasaan
4) Hakikat kekuasaan
Selanjutnya dipaparkan sebagai berikut;
1) Istilah dan konsep Kekuasaan
Istilah kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut power, macht (dalam bahasa
Belanda) dan pouvoir atau puissance (dalam bahasa Perancis). Dalam Black’s Law
Dictionary, istilah kekuasaan (power) berarti: “The right, ability, authority, or
faculty of doing something. . . . A power is an ability on the part of a person to
produce a change in a given legal relation by doing or not doing a given act”.25
Hak, kemampuan, otoritas, atau fakultas melakukan sesuatu…... Kekuatan adalah
kemampuan seseorang untuk menghasilkan perubahan dalam hubungan hukum
tertentu dengan melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. Esensinya
bahwa kekuasaan harus sesuai hukum.
Kemudian istilah kekuasaan terbentuk dari kata kuasa dengan imbuhan ke
dan akhiran an. Dalam kamus kata kekuasaan diberi arti “kuasa” (untuk mengurus,
memerintah dan sebagainya), kemampuan, kesanggupan, kekuatan. Adapun kata
25 Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, 6th ed., West Publishing Co., St.
Paul Minn., h. 1169.
65
kuasa sendiri diberi arti; pertama, kemampuan atau kesanggupan (untuk berbuat
sesuatu), kekuatan (selain badan atau benda); kedua, kewenangan atas sesuatu atau
menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dan sebagainya) sesuatu; ketiga,
orang yang diberi kewenangan untuk mengurus (mewakili dan sebagainya),
keempat, mampu, sanggup, kuat; kelima, pengaruh (gengsi, kesaktian dan
sebagainya) yang ada seseorang karena jabatannya.26 Hemat penulis kekuasaan
merupakan kewenangan untuk melakukan sesuatu oleh karena kemampuan yang
dimilikinya.
Kekuasaan dikonsepsikan sebagai kemampuan yang legal, kapasitas atau
kewenangan untuk bertindak, yang khususnya pada proses mendelegasikan
kewenangan. Kekuasaan dalam pemahaman ini merujuk pada kewenangan atau
hak yang oleh sebagian orang harus mendapatkan pihak lain untuk melakukan
segala yang mereka anggap sebagai wewenang. Kekuasan merupakan hak
seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu artinya kekuasaan bukan
diberikan oleh orang lain. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan dalam arti
bahwa; ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (The ruler
dan ruled).27 Artinya kekuasaan ini tidak berhubungan dengan hukum sebagaimana
dikatakan oleh Henc Van Maarseven sebut sebagai Blote Macht.28 Kemudian
kekuasaan yang berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai
26 WJS Poerwadarminta, 1983, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bali Pustaka, Jakarta, h.
528-529 27 Miriam Budiardjo, 2000, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
h. 37
28 Suwoto Mulyosudarmo. 1990, Kekuasaan Dan Tanggungjawab Presiden Ri Suatu
Penelitian Segi-Segi Teoritik Dan Yuridik Pertanggungjawaban Kekuasaan, Pasca Sarjana
Universitas Airlangga, Surabaya, H.30
66
wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem
hukum ini dipahami sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi
oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara. Dalam hukum publik,
wewenang berkaitan dengan kekuasaan.29 Hemat penulis kekuasaan dan wewenang
memiliki makna yang sama. Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan
wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif
adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu Negara
dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya,
yaitu: (a). hukum (b). kewenangan (wewenang) (c). keadilan (d). kejujuran (e).
Kebijak-lestarian, dan (f) kebijakan.30 Pada intinya kekuasan berdasarkan hukum,
artinya hukumlah yang mengendalikan kekuasaan.
Dengan demikian konsep kekuasan terbagi dalam 2 unsur yakni: Pertama,
konsep kekuasan yang ditentukan dengan kemampuan untuk melakukan dan tidak
melakukan yang tidak sesuai hukum artinya hak yang dipunyai atau diberikan oleh
orang lain dalam melakukan suatu perbuatan yang tidak berdasarkan hukum.
Kedua, konsep kekuasaan yang berdasarkan hukum artinya Kekuasaan merupakan
inti dari penyelenggaraan Negara agar Negara dalam keadaan bergerak (de
staat in beweging) agar Negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas,
berprestasi, dan berkerja melayani warganya. Oleh karena itu Negara harus diberi
kekuasaan. Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau organ
Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan (een ambten complex)
29 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya,
tanpa tahun, h 112 30 Rusadi Kantaprawira, 1998, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, (Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, h. 37-38
67
yang diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu
berdasarkan konstruksi subyek kewajiban.
2) Fungsi Kekuasaan
Urgensi fungsi kekuasaan dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi
RDTL. Penyelenggaraan pemerintahan secara umum merupakan fungsi kekuasaan
oleh lembaga-lembaga negara telah ditegaskan K-RDTL Tahun 2002. Lembaga-
lembaga ini antara lain Presiden, Parlemen Nasional, Pemerintah dan Pengadilan,
walaupun pengaturan fungsi kekuasaan lembaga- lembaga ini telah ditegaskan,
namun selama ini melakukan pelanggaran konstitusional, oleh karena itu untuk
menyelesaikan persoalan ini dan mengawasi fungsi-fungsi lembaga negara,
membutuhkan lembaga yang sungguh-sungguh memiliki kredibilitas hukum yaitu
Mahkamah Konstitusi untuk mengawasi fungsi-fungsi kekuasaan lembaga negara.
Pada prinsipnya, Konstitusi atau Undang-Undang Dasar suatu negara
merupakan pencatatan (registrasi) pembagian kekuasaan di dalam suatu negara.
Fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang lebih
dikenal sebagai Trias Politika. Trias Politika beranggapan bahwa kekuasaan negara
terdiri atas tiga macam kekuasaan: Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan
membuat undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule making
function); kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-
undang (rule application function). Ketiga. kekuasaan yudikatif atau kekuasaan
mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjudication function).31 Intinya
ada 3 fungsi kekuasaan yaitu: fungsi legislasi, fungsi eksekutif dan fungsi yudikatif.
31 Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi.
Buana Ilmu, Jakarta, h. 311
68
Pembagian kekuasaan menurut fungsinya menujukkan perbedaan antara
fungsi Terdapat tiga fungsi kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori
hukum maupun politik, yaitu fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Baron de
Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara itu dilembagakan
masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu
fungsi (functie), dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam
arti yang mutlak (separation of power).32 Di sini Montesquieu menginginkan fungsi
kekuasaan ketiga lembaga ini tidaklah saling mencampuri satu sama lain.
Konsep tersebut dewasa ini sudah tidak relevan lagi, mengingat tidak
mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan
secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Hal ini
dapat dilihat bahwa hubungan antar cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif dan
yudikatif) itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya
bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip
checks and balances. Dikaitkan dengan penyelenggaraan pemerintahan RDTL
bersandar pada asas pemisahan kekuasaan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 69
K-RDTL Tahun 2002,,33 Negara RDTL tidak menggunakan secara murni prinsip
pemisahan kekuasan sebagaimana diungkapkan trias politika, sebab sifat saling
ketergantungan lembaga negara sangatlah penting dalam menyelenggarakan
pemerintahan. Namun sifat ketergantungan inilah yang acapkali disalahgunakan
32 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Konstitusi Press, Jakarta, h. 9 33 Pasal 69 konstitusi RDTL tahun 2002, tentang Prinsip pemisahan kekuasaan Lembaga-
lembaga kedaulatan negara, dalam hubungan timbal balik dan dalam pelaksanaan fungsi-
fungsinya, tunduk pada prinsip pemisahan kekuasaan dan saling ketergantungan secara fungsional
sesuai dengan Konstitusi.
69
oleh lembaga-lembaga Negara yang pada akhirnya menimbulkan persoalan
kenegaraan, padahal secara tegas K-RDTL Tahun 2002 telah mengatur fungsi
masing-masing lembaga Negara.
Relevansi fungsi kekuasan dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi
RDTL, termasuk dalam fungsi kekuasaan yudikatif, dimana kekuasaan mengadili
dan menyelesaikan serta memberikan putusan atas pelanggaran-pelanggaran
konstitusional, oleh karena itu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
kenegaraan tersebut, diperlukan lembaga peradilan baru yaitu Mahkamah
Konstitusi.
3) Jenis Kekuasaan
Urgensi jenis kekuasaan dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi
RDTL, dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara RDTL terdapat 4 lembaga
Negara yang diatur dalam Pasal 67 Konstitusi RDTL Tahun 2002:34Pertama,
Kekuasaan legislative terletak pada parlemen nasional, lembaga ini memiliki fungsi
diatur dalam Pasal 92 Konstitusi RDTL Tahun 2002.35 Kedua, Kekuasaan eksekutif
terletak pada Pemerintah yang diatur dalam Pasal 103 dan Pasal 104 K-RDTL
Tahun 2002,36 Pemerintah memiliki kekuasan menyelenggarakan pemerintahan
yang berada pada perdana menteri dan menterinya. Sedangkan Presiden juga
merupakan bagian dari lembaga eksekutif namun bukan sebagai penyelenggara
34 Pasal 67 konstitusi RDTL tahun 2002 tentang; Badan-badan kedaulatan Lembaga-
lembaga Kedaulatan Negara terdiri dari Presiden Republik, Parlemen Nasional, Pemerintah dan
Pengadilan 35 Pasal 92 konstitusi RDTL tahun 2002 Definisi Parlemen Nasional adalah lembaga
kedaulatan Republik Demokratik Timor-Leste, perwakilan dari seluruh warga negara Timor-Leste
dengan wewenang legislatif, pengawasan dan pengambilan keputusan politik. 36 Pasal 103 Konstitusi RDTL Tahun 2002, menyatakan bahwa Pemerintah adalah badan
kedaulatan Negara yang bertanggungjawab atas pengendalian dan pelaksanaan politik umum
Negara dan merupakan badan tertinggi Pemerintahan Umum
70
pemerintahan secara umum, hanya merupakan symbol kepala negara yang diatur
dalam Pasal 74 K-RDTL Tahun 2002.37 Ketiga; kekuasaan yudikatif berada di
pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 118 K-RDTL Tahun 2002.38
Demikian dari yang dipaparkan, Negara RDTL memiliki 4 lembaga negara
lembaga Legislative (Parlemen Nasional), lembaga Eksekutif (Presiden dan
Pemerintah) dan Yudikatif (Pengadilan), berkedudukan sederajat dalam struktur
ketatanegaraan RDTL dan dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara
memiliki jenis kekuasaan yang berbeda sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
Selanjutnya untuk mengetahui jenis kekuasaan yang dimiliki oleh Mahkamah
Konstitusi RDTL.
Secara umum jenis kekuasaan sebagai berikut: (a) kekuasaan Eksekutif,
yaitu yang dikenal dengan kekuasaan pemerintahan dimana mereka secara teknis
menjalankan roda pemerintahan, (b) kekuasaan Legislatif, yaitu sesuatu yang
berwenang membuat, dan mengesahkan perundang-undangan sekaligus
mengawasi roda pemerintahan, (c) kekuasaan Yudikatif, yaitu sesuatu kekuasaan
penyelesaian hukum, yang didukung oleh kekuasaan kepolisian, demi menjamin
law enforcement/ pelaksanaan hukum.39 Intinya jenis kekuasaan ada 3 yaitu
legislative, eksekutif dan yudikatif relevansinya dengan ide pembentukan
Mahkamah Konstitusi RDTL, dari ketiga jenis kekuasaan diatas.
37 Pasal 74 ayat (1) Konstitusi RDTL Tahun 2002, menyatakan bahwa; Presiden Republik
adalah kepala Negara, lambang dan penjamin kemerdekaan nasional dan persatuan Negara, pengatur
jalannya institusi-institusi demokratis 38 Pasal 118 Konstitusi RDTL Tahun 2002 menyatakan; 1. Pengadilan adalah badan
kedaulatan dengan wewenang untuk menjalankan hukum, atas nama rakyat. 2. Dalam menjalankan
fungsi-fungsinya, pengadilan berhak memperoleh bantuan dari aparat pemerintah lainnya. 3.
Putusan pengadilan adalah mutlak untuk dilaksanakan dan berada diatas kebijakan penguasa mana-
pun juga. 39 Imam Hidayat, 2009, Teori-Teori Politik,: Setara Press, Malang, h. 31
71
Pertama, Mahkamah Konstitusi termasuk dalam kekuasaan yudikatif
maksudnya sebagai salah satu pengadilan khusus selain Mahkamah Agung sebagai
pengadilan tinggi negara. Kedua; dalam menyelenggarakan kekuasaan yudikatif
memiliki kewenangan, tugas dan fungsi yang berbeda sesuai yang ditegaskan
dalam konstitusi. Ketiga; lembaga memiliki kedudukan yang sama dalam struktur
ketatanegaraan. Namun untuk mendudukkan keduanya sejajar secara kelembagaan,
perlunya pemerintah melakukan revisi Pasal 123 ayat (1) huruf (a), Pasal 124 dan
Pasal 126 K-RDTL Tahun 2002. Agar lembaga Mahkamah Konstitusi dalam
menyelenggarakan kekuasaan yudikatif tidak di intervensi oleh lembaga lain
terutama Mahkamah Agung.
4) Hakikat Kekuasaan
Urgensi hakikat konstitusi dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi
RDTL. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara RDTL yang
menganut sistem negara hukum, sehingga setiap kekuasaan harus dibatasi oleh
hukum. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) K-RDTL
Tahun 2002, maka untuk membatasi kekuasaan dari lembaga negara yang ada atas
tidak yang bertentangan dengan K-RDTL Tahun 2002. ide pembentukan
Mahkamah Konstitusi merupakan wujud dari pembatasan kekuasaan dalam
menjaga konsistensi K-RDTL Tahun 2002.
Sebagaimana S. Mertokusumo, mengatakan, hukum ada karena kekuasaan
yang sah. Kekuasaan yang sah menciptakan hukum. Ketentuan-ketentuan yang
tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya bukan hukum. Sebaliknya,
hukum itu sendiri pada hakikatnya kekuasaan. Hukum mengatur, mengusahakan
72
ketertiban, dan membatasi ruang gerak individu. Tidak mungkin hukum
menjalankan fungsi itu jika tidak merupakan kekuasaan. Intinya, hukum merupakan
kekuasaan untuk mengusahakan ketertiban. Desertasi tidak boleh diartikan bahwa
karena hukum itu merupakan kekuasaan lantas dihalalkan munculnya hukum
kekuasaan, yaitu: hukum bagi mereka yang berkuasa.40 Hemat penulis, kekuasaan
tanpa hukum maka akan menimbulkan ketidak sewenang-wenang oleh penguasa,
oleh karena itu kekuasaan perlu diatur dan dibatasi oleh hukum.
Dikaitkan dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi RDTL. Pertama,
untuk membatasi kekuasaan lembaga negara-lembaga yang telah jelas di atur dalam
K-RDTL Tahun 2002, namun kekuasaan acapkali dilanggar oleh penyelenggara
Negara, Mahkamah Konstitusi sebagai wadah peradilan konstitusional perlu
dibentuk dalam sistem ketatanegaraan RDTL, sehingga persoalan yang tidak
pernah diselesaikan, ke depan dengan harapan dapat di jamin oleh Mahkamah
Konstitusi.
Kedua, untuk menciptakan ketertiban hukum, kehadiran lembaga
Mahkamah Konstitusi RDTL untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum
artinya sebagai pengadilan konstitusional dapat menjamin hak-hak warga negara
yang dilanggar oleh penyelenggara negara sehingga dapat mewujudkan rasa
keadilan bagi warga negara. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang
acapkali mengalami disharmonisasi, dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi, agar
kepastian hukum dapat terjamin dan tidak menimbulkan multitafsir di masyarakat.
40 S. Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, h. 20-
21
73
2.1.3 Teori Kewenangan
Relevansi ide pembentukan Mahkamah Konstitusi RDTL dengan teori
kewenangan, terdapat sub-sub yang saling terkait yaitu;
1) Istilah dan konsep wewenang dan kewenangan
2) Sifat kewenangan
3) Sumber kewenangan
Selanjutnya penulis akan memaparkan istilah konsep dan sumber
kewenangan sebagai berikut:
1. Istilah, konsep wenang, wewenang dan kewenangan
Secara etimologi wenang, wewenang dan kewenangan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia mengandung beberapa pengertian, (1) wenang dan wewenang
artinya hak dan kekuasaan untuk bertindak, (2) kewenangan; kekuasaan membuat
keputusan, memerintah, dan melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain, (3)
hak; fungsi yang boleh tidak dilakukan.41 Jadi Kewenangan berasal dari kata dasar
wenang dan wewenang diartikan hak dan kekuasaan untuk bertindak Jadi kata
kewenangan berasal dari kata wenang memiliki makna hak dan kekuasaan.
Kewenangan disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari
kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif
administratif. Kewenangan yang biasanya terdiri dari beberapa wewenang adalah
kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu
bidang pemerintahan.42 Menurut hemat penulis, kewenangan yang berdasarkan
41 Departemen Pendidikan Nasional, 2013, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Ke-
Empat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.1560 42 Prajudi Atmosudirdjo,Hukum Administrasi Negara, , Ghalia Indonesia, Jakarta h.78
74
pada hukum.
Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian kewenangan
dan wewenang. Kita harus membedakan antara kewenangan (authority, gezag)
dengan wewenang (competence, bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang
disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan
oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel”
(bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-
wewenang (rechtsbevoegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum
publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat
keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka
pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang
utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.43 Pada hakikatnya
wewenang merupakan bagian dari kewenangan yang dilahirkan oleh undang-
undang.
Kaitannya dengan wewenang itu, H.D Stout mengatakan bahwa,
Bevoegdheid is een begrip uit het bestuurlijke organisatierecht, wat kan wor den
omschrevev als het geheel van regels dat betrekking heft op de verkrijging en
uitoefening van Bestuursrechtelijke bevoegdheden door publickrechtelijke
rechtssubjecten in het bestuursrechtelijke rechtsverkeer (wewenang merupakan
pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan
sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan
penggunaan wewenang pemerintah oleh subyek hukum public di dalam
43 Ateng Syafrudin, 2000, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih
dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas Parahyangan, Bandung, h. 22
75
hubungan hukum public).44 Sesuai pengertian yang diuraikan perlu penetapan dan
pengaturan melalui aturan hukum atas suatu wewenang yang diberikan ataupun
diperoleh oleh lembaga negara dan instansi pemerintah sebagai penyelenggara
pemerintahan.
Kewenangan mempunyai kedudukan penting dalam kajian hukum tata
negara dan dalam hukum administrasi, begitu pentingnya kedudukan wewenang ini
sehingga F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek menyebutnya sebagai konsep inti
dalam hukum tata negara dan Hukum Administrasi”het begrip bevoegheid is dan
ooken kernbegrip in het staats-en administratief recht (kewenangan yang di
dalamnya terkandung hak dan kewajiban).45 Jadi dalam kewenangan terdapat dua
hal penting yaitu hak dan kewajiban artinya, hak untuk menetapkan dan
memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan suatu keputusan atau putusan,
kemudian kewajiban artinya melaksanakan kewajiban sebagai penyelenggara
pemerintahan melalui pelayanan terhadap masyarakat. Dengan demikian antara
wewenang dan kewenangan berasal dari kata wenang, dikonsepkan kewenangan
diperoleh atau dilahirkan oleh undang- undang.
2) Sifat kewenangan
Urgensi sifat kewenangan dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi
RDTL. Bercermin dari sifat kewenangan yang dimiliki oleh lembaga Negara RDTL
(dijelaskan pada bab I), mengakibatkan pelanggaran-pelanggaran konstitusional
yang tidak diselesaikan artinya timbulnya kesewenangan-wenangan yang
44 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,, h
100
45 Ridwan HR, Ibid, h. 101-102
76
dilakukan oleh penyelenggara negara dalam hal pembentukan keputusan yang
bertentangan dengan K-RDTL Tahun 2002, oleh karena itu ide pembentukan
Mahkamah Konstitusi untuk mengatasi tindakan kesewenangan-wenangan
lembaga-lembaga negara, dalam artian menguji seluruh keputusan yang berupa
pembentukan peraturan perundang-undangan bentukan Parlemen Nasional dan
Pemerintah, dan jaminan konstitusional bagi warga negara atas tindakan
penyelenggara Negara.
Berkenan dengan sifat kewenangan lembaga-lembaga Negara RDTL
melalui pembentukan keputusan dan pelanggaraan konstitusional, perlu memahami
sifat kewenangan pemerintahan sebagaimana Indroharto mengungkapkan sifat
kewenangan pemerintahan; yang bersifat terikat, fakultatif, dan bebas, terutama
dalam kaitannya dalam kewenangan pembuatan dan penerbitan keputusan-
keputusan (besluiten) dan ketetapan-ketetapan (beschikkingan) oleh organ
pemerintahan, sehingga dikenal ada keputusan yang bersifat terikat dan bebas:
Pertama, pada wewenang yang bersifat terikat, yakni terjadi apabila
peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana
wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak
menentukan tentang isi dan keputusan yang harus diambil. Kedua, wewenang
fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan
tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan,
sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-hal atau keadaan tertentu
sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya.
77
Ketiga, wewenang bebas, ialah: terjadi ketika peraturan dasarnya
memberikan kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk
menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau
peraturan dasarnya memberi ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata usaha
negara yang bersangkutan.46 Hemat penulis, terdapat tiga sifat wewenang antara
lain wewenang terikat, fakultatif dan wewenang bebas yang digunakan oleh organ
pemerintahan menyelenggarakan pemerintahan.
Berpijak pada ketiga kewenangan, kewenangan bebas terkait dengan
penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga Negara RDTL seringkali di salah
gunakan padahal asas legalitas (dipaparkan pada sub selanjutnya) yang ditegaskan
dalam Pasal 2 ayat (2) K-RDTL Tahun 2002, maksudnya bahwa setiap tindakan
yang dilakukan oleh penyelenggara negara harus sesuai hukum yang berlaku.
Kemudian untuk memberikan penilaian apakah sifat kewenangan bebas yang
dimiliki oleh penyelenggara Negara RDTL bertentangan atau sesuai koridor hukum
merupakan kewenangan Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 126 ayat (1)
K-RDTL Tahun 2002, namun hal ini tidak pernah dilakukan, maka persoalan
penilaian atas sifat kewenangan bebas penyelenggara pemerintahan tidak tersentuh
sama sekali.
Selanjutnya mengenai sifat kewenangan bebas, Philipus mandiri Hadjon
mengutip pendapat N. M. Spelt dan Ten Berge, membagi kewenangan bebas dalam
dua kategori yaitu kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan
penilaian (beoordelingsverijheid) yang selanjutnya disimpulkan bahwa ada dua
46 Ridwan HR, 2011, hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h.107
78
jenis kekuasaan bebas yaitu: pertama, kewenangan untuk memutuskan mandiri;
kedua, kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (verge norm).47
Menurut hemat penulis, kewenangan bebas ini merupakan kewenangan yang
dimiliki oleh lembaga yudisial secara mandiri dalam memberikan penilaian atau
interpretasi atas norma-norm kabur, norma konflik dan norma kosong.
Relevansinya dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi RDTL.
Pertama, kewenangan untuk memutuskan mandiri, maksudnya ide membentuk
mahkamah konstitusi ditempatkan sebagai salah lembaga yudisial yang harus
ditegaskan sesuai konstitusi, sehingga penyelenggaraan kekuasan yudisial dapat
bertindak dan menetapkan suatu putusan yang sifatnya final dan mengikat secara
hukum tanpa ada ikut campur dari lembaga-lembaga negara lain atas berbagai
persoalan kenegaraan. Kedua, kewenangan interpretasi terhadap norma-norma
tersamar (varge norm) artinya pembentukan peraturan perundang-undangan oleh
lembaga legislative dan ekskutif yang selama ini menimbulkan penafsiran yang
berbeda di kalangan masyarkat atau adanya disharmonisasi hukum dan tidak
diuji keabsahan normanya, kehadiran mahkamah konstitusi untuk menguji dan
menginterpretasikan norma perundang-undangan yang tidak sesuai K-RDTL Tahun
2002.
3) Sumber kewenangan
Urgensi sumber kewenangan dengan ide pembentukan Mahkamah
Konstitusi RDTL dikaitkan dengan negara RDTL yang mewarisi tradisi negara
hukum dari Eropa Kontinental, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) K-RDTL
47 Philipus M. Hadjon, Ibid, h. 112
79
Tahun 2002, menyatakan bahwa: ”Negara tunduk kepada Konstitusi dan Undang-
Undang”. Subtansi pasal ini menegaskan secara tegas, bagi penyelenggara dan
warga negara harus tunduk pada konstitusi dan undang-undang artinya setiap orang
yang melakukan pelanggaran atau perbuatan harus di tindak sesuai hukum yang
berlaku.
Di dalam negara hukum dikenal asas legalitas yang menjadi pilar utamanya
dan merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap
penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama
bagi negara-negara hukum dan sistem kontinental.48 Hemat penulis, asas legalitas
merupakan dasar penyelenggaraan pemerintahan bagi negara- negara yang
mewarisi tradisi negara hukum Rechtsstaat atau Eropa kontinental. Berkenan
dengan asas legalitas merupakan landasan penyelenggaraan pemerintahan umum
oleh lembaga-lembaga negara sesuai kewenangan yang dipertegas dalam K-RDTL
Tahun 2002.
Kemudian untuk mengetahui kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh
masing-masing lembaga tersebut, meminjam pendapat Philipus M. Hadjon yang
mengemukakan bahwa kewenangan diperoleh melalui tiga sumber yaitu; atribusi,
delegasi, mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian
kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar, kewenangan delegasi dan Mandat
adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.49 Intinya kewenangan ada 3
yaitu: atribusi, delegasi dan mandat
48 Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya,
tanpa tahun, h. 112
49 Philipus M. Hadjon, Ibid, h.112
80
Bedanya kewenangan delegasi terdapat adanya pemindahan atau pengalihan
kewenangan yang ada, atau dengan kata lain pemindahan kewenangan atribusi
kepada pejabat di bawahnya dengan dibarengi pemindahan tanggung jawab.
Sedangkan pada kewenangan mandat yaitu dalam hal ini tidak ada sama sekali
pengakuan kewenangan atau pengalih tanganan kewenangan, yang ada hanya janji-
janji kerja intern antara penguasa dan pegawai (tidak adanya pemindahan tanggung
jawab atau tanggung jawab tetap pada yang memberi mandat). Setiap kewenangan
dibatasi oleh isi atau materi, wilayah dan waktu. Cacat dalam aspek aspek tersebut
menimbulkan cacat kewenangan (onbevoegdheid) yang menyangkut cacat isi, cacat
wilayah, dan cacat waktu.
Meskipun asas legalitas mengandung kelemahan, ia tetap menjadi prinsip
utama dalam setiap negara hukum. Telah disebutkan bahwa asas legalitas
merupakan dasar dalam setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan.
Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus
memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.
Substansi asas legalitas adalah wewenang, yakni “Het vermogen tot het verrchten
van bepaalde rechtshandelingen” yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan-
tindakan hukum tertentu.50Pada hakekatnya kewenangan untuk menyelenggarakan
pemerintahan harus diatur dalam peraturan perundang- undangan, agar dapat
menghindari tindakan sewenang-wenang dari pejabat Negara terhadap masyarakat.
Lebih lanjut dikatakan Philipus Mandiri Hadjon berpendapat: istilah
wewenang atau kewenangan sering sejajarkan dengan istilah bahasa Belanda yakni
50 Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, PT RajaGranfindo
Persada, Jakarta, h. 97-98
81
bevoegheid. Dalam hukum Indonesia wewenang atau kewenangan digunakan
sebagai konsep hukum publik, sedangkan bevoegheid digunakan sebagai konsep
hukum publik dan privat. Sebagai suatu konsep hukum publik, wewenang atau
kewenangan terdiri dari sekurang-kurangnya 3 komponen yakni pengaruh, dasar
hukum dan konformitas hukum.51 Hemat penulis, kewenangan perlu dipertegas
secara hukum, sebab dalam kewenangan sendiri mengandung hak-hak dan
kewajiban yang dapat atau tidak dilakukan oleh pelaksana kewenangan, hal ini juga
memberikan implikasi terhadap pemberi kewenangan jika disalahgunakan atau
tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dan hak adalah fungsi yang
dimiliki oleh penyelenggara negara boleh atau tidak menetapkan keputusan, dan
kewajiban ialah kewenangan penyelenggara negara harus melaksanakan keputusan
sesuai atau tidak dengan hukum.
Secara teoritik kewenangan dalam undang-undang dapat diperoleh dengan
melalui 3 cara yaitu: atribusi, delegasi dan mandate. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh H.D. Van Wiljk dan Willem Konijnenbelt mendefinisikan
sebagai berikut:
1) Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-
undang kepada organ pemerintahan.
2) Delegasi adalah pelimpahan wewenang dari satu organ pemerintahan
kepada organ pemerintahan lainnya
3) Mandate terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya.52
51 Philipus.Mandiri Hadjon, 1998, tentang wewenang, Fakultas Hukum, Universitas
Airlangga, Surabaya, h.1 52 H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, op.cit hal 129, dalam Buku Ridwan HR, Op.cit, h.
104-105
82
Berbeda dengan pendapat Van Wijk, F.A.M. Stroink dan J.G.Steenbeek
menyebutkan bahwa hanya ada dua cara organ pemerintahan memperoleh
wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan
wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang
telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada
organ lain, jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi).53 Kewenangan
atribusi merupakan kewenangan asli yang melimpahkan kewenangan delegasi.
Sehubungan dengan kedua pendapat diatas, yang lebih jelas dan mendekati
pengertian kewenangan adalah Van Wijk, F.A.M. Stroink dan J.G.Steenbeek,
karena kewenangan yang baru merupakan kewenangan yang dilahirkan oleh
konstitusi atau undang-undang, sedangkan pelimpahan kewenangan antara organ
satu ke organ lain yang disebut delegasi ini pun bisa saja dilakukan, jika ada
lembaga Negara yang melimpahkan kewenangannya untuk dilaksanakan oleh
organ pemerintah sebagai penerima delegasi sesuai ketentuan telah diatur oleh
Peraturan perundang-undangan.
Merujuk dari berbagai pendapat diatas, sumber kewenangan lembaga-
lembaga Negara RDTL (Presiden, Parlemen Nasional, Pemerintah dan Pengadilan)
merupakan kewenangan asli yang dilahirkan oleh Konstitusi RDTL Tahun 2002.
Sebagaimana kewenangan pembentukan Peraturan perundang- undangan terletak
pada lembaga legislative (Parlemen Nasional) dan Pemerintah (eksekutif) diatur
dalam Pasal 95 dan 96 K-RDTL tahun 2002,54 kedua, lembaga ini sama-sama
53 F.A.M Stroink dan J.G.Steenbeek, Op.cit, hal 129, dalam Ridwan HR, Loc.Cit, h. 105
54 Pasal 95 dan 96 konstitusi RDTL tahun 2002, menetapkan kewenangan kedua lembaga
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
83
memiliki kewenangan atributif (asli), perbedaannya terletak pada kewenangan
pembentukan undang-undang yang sifatnya formal merupakan tanggungjawab
lembaga Legislatif.
Sedangkan kewenangan pembentukan undang-undang yang sifatnya
materiil berada di tangan eksekutif, sebagaimana dikatakan oleh Yohanes Usfunan,
bahwa: undang-undang dalam arti materil adalah setiap keputusan yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang daya mengikatnya kepada setiap
orang, inilah yang dimaksud dengan peraturan peraturan perundang-undangan,
dalam arti formal undang-undang adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerja
sama antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislative yang mengikat secara
umum.55 Hemat penulis, ada dua hal dari pendapat diatas; undang-undang materiil
yang dibentuk oleh pemerintah dan undang-undang dalam arti formal merupakan
hasil kerja sama lembaga Eksekutif dan Legislatif.
Peraturan perundang-undangan yang sifatnya materiil merupakan
kewenangan pemerintah, sedangkan kedua: undang-undang sifatnya formal
merupakan kerja sama antara lembaga Legislative dan Eksekutif melalui proses
pembentukan hingga mencapai persetujuan atau kesepakatan secara bersama di
sidang paripurna sebagaimana diatur dalam Pasal 98 K-RDTL Tahun 2002.
Selanjutnya persyaratan Yuridis ”Juridiche Gelding” sangat penting dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan ini Bagir Manan mencatat
55 Yohanes Usfunan, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik
Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Demokratis dalam pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Tetap dalam Bidang Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Udayana, Denpasar Tanggal 1
Mei 2004, h.10
84
beberapa hal penting yaitu:56
Pertama, Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan
perundang-undangan, setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh
badan atau pejabat yang berwenang. Kalau tidak peraturan perundang-undangan itu
batal demi hukum” van rechtwegeneting”. Dianggap tidak pernah ada dan segala
akibatnya batal secara hukum.
Kedua, Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan
perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau
diperintahkan oleh perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau
sederajat.
Ketiga, Keharusan mengikuti cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak
ikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum,
misalnya keharusan peraturan Daerah ditetapkan oleh kepala daerah
dengan persetujuan DPRD
Keempat, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Pembuatan peraturan perundang-undangan harus memenuhi syarat yang di
kemukakan oleh Bagir Manan, hal tersebut juga tidak terlepas dari hierarki norma
hukum yang dimiliki oleh suatu Negara. Sebagaimana dikatakan oleh Yohanes
Usfunan bahwa: dalam kaitannya dengan syarat keempat, teori penjenjangan norma
hukum “Hans Kelsen” menentukan norma yang berlaku tingkatannya lebih rendah
memiliki daya mengikat (daya laku) apabila bersumber dan berdasarkan norma
yang lebih tinggi, demikian juga ketiga persyaratan lainnya sangat penting dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.57Intinya pembentukan
peraturan perundang-undangan harus berpijak pada norma yang berada diatas dan
seterusnya.
56 Ibid, h.17
57 Ibid, h. 17
85
Syarat keempat yang dikemukakan oleh Yohanes Usfunan, dikaitkan
dengan Negara RDTL, pembentukan peraturan perundang-undangan berada pada
lembaga legislative (Parlemen Nasional) dan eksekutif (Pemerintah), tetapi yang
menjadi persoalan, belum adanya undang-undang mengenai hierarki norma,
sehingga acapkali pembentukan peraturan perundang-undangan menimbulkan
tumpang tindih kewenangan antara kedua lembaga tersebut, adanya konflik,
kekaburan dan kekosongan norma hukum pada saat pembentukan peraturan
perundang-undangan, baik yang di keluarkan oleh legislative maupun eksekutif.
Relevansi dengan penulisan ini, dalam Pasal 123 ayat (1) huruf (a) K-RDTL
Tahun 2002, telah terjadi kekosongan norma. Padahal fungsi peraturan perundang-
undangan sebagaimana dikatakan Yohanes Usfunan dalam Orasi Ilmiah
pengangkatan Guru Besar tetap tahun 2004, bahwa: dalam peraturan perundang-
undangan berfungsi mengatur hak dan kewajiban, mengatur penyelesaian
perselisihan, menetapkan nilai-nilai yang dianggap oleh pemerintah dan
masyarakat, mengatur tentang siapa dan hal-hal yang dipandang perlu
diatur.58Pandangan ini jelas mengisyaratkan jika suatu peraturan perundang-
undangan (Pasal 123 ayat (1) huruf (a) K-RDTL Tahun 2002) tidak mengatur
pembentukan Mahkamah konstitusi, maka hal ini perlu dikaji dan diatur dalam
Konstitusi RDTL Tahun 2002 dan/atau membentuk undang-undang yang mengatur
tentang Mahkamah Konstitusi.
58 Yohanes Usfunan, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik
Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Demokratis dalam pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Tetap dalam Bidang Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Udayana, Denpasar Tanggal 1
Mei 2004, h.10
86
Kemudian dalam menciptakan suatu lingkungan yang mendukung proses
pembangunan, maka tugas undang-undang yang paling penting adalah memberi
arahan atau petunjuk untuk merubah perilaku masyarakat.59 Intinya undang-
undang dibuat untuk menciptakan tata tertib bagi masyarakat oleh Van Apeldoorn,
mencatat tujuan hukum untuk menciptakan perdamaian, keadilan dan
kesejahteraan,60 dijabarkan oleh Yohanes Usfunan; pertama yang harus
diwujudkan yaitu menciptakan perdamaian dalam masyarakat. Dengan kata lain
masyarakat yang damai adalah masyarakat yang dalam keadaan tertib hukum
sebagai kriteria dalam tingkah laku. Akan tetapi tertib hukum yang dimaksud bukan
merupakan tertib hukum paksaan. Sebab jika terjadi hal itu berarti tertib hukum tadi
bertentangan dengan cita hukum. Tujuan pencapaian hukum untuk keadilan dan
kesejahteraan sangat bergantung kepada tertib hukum dalam masyarakat dalam
melakukan tindakan harus berdasarkan peraturan perundang- undangan.
Terkait dengan penulisan ini, adanya kekosongan norma dalam Pasal 123
ayat (1) huruf (a) K-RDTL Tahun 2002. Pertama, merupakan kewenangan
Parlemen Nasional untuk melakukan revisi terhadap pasal diatas sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 95 K-RDTL Tahun 2002, maksudnya kewenangan asli atau
atribusi yang dimiliki oleh Parlemen Nasional untuk membentuk Mahkamah
Konstitusi melalui cara revisi Konstitusi, yang diatur dalam Pasal 154 dan 155 K-
RDTL Tahun 2002.
Kedua, sebagai lembaga negara Parlemen Nasional memiliki kewenangan
untuk menetapkan undang-undang mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi
59 Ibid, h 18
60 Ibid, h.23-24
87
sebagai lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan RDTL dan mempertegas
kewenangannya secara jelas, agar dalam menyelenggarakan kewenangan judicial
review61 terhadap suatu norma hukum mengalami disharmonisasi (kekaburan,
konflik dan kekosongan norma) sesuai konstitusi.
Kemudian mengenai kewenangan judicial review yang berada pada
Mahkamah Konstitusi, sebagaimana Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan
konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ
selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum
itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini
produk hukum tersebut tidak konstitusional. Untuk itu dapat diadakan organ khusus
seperti pengadilan khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi (constitutional
court), atau kontrol terhadap konstitusionalitas undang- undang (judicial review)
diberikan kepada pengadilan biasa, khususnya Mahkamah Agung. Organ khusus
yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang
yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ lain.
Sedangkan jika sebuah pengadilan biasa memiliki kompetensi menguji
konstitusionalitas undang-undang, mungkin hanya dalam bentuk menolak untuk
menerapkannya dalam kasus konkret ketika menyatakan bahwa undang-undang
61 Mauro Cappelletti, 1989, the Judicial Process in Comparative Perspective, Clarendon
Press, Oxford, h 120. Kewenangan judicial review adalah Proses penerjemahan tersebut terkait
dengan pertanyaan question Juris yang juga harus dijalankan oleh para hakim dalam sebuah lembaga
kehakiman, hakim tidak hanya memeriksa fakta-fakta (judex factie), tetapi juga mencari,
menemukan dan menginterpretasikan hukumnya (judex Juris). Artinya, penekanan pada proses
interpretasinya ini (proses review) mengakibatkan judicial review menjadi isu yang punya kaitan
erat dengan struktur ketatanegaraan suatu negara bahkan hingga ke proses politik pada suatu negara.
Konsep ini memiliki hubungan erat dengan struktur tata-negara suatu negara yang menempatkan
dan menentukan lembaga mana sebagai pelaksana kekuasaan tersebut. menurut Mauro Capelletti,
secara substantif mengartikan judicial review sebagai sebuah proses penerjemahan nilai-nilai yang
ditentukan oleh konstitusi melalui sebuah metode tertentu untuk menjadi suatu keputusan tertentu
88
tersebut tidak konstitusional sedangkan organ lain tetap diwajibkan
menerapkannya.62 Menurut hemat penulis, esensinya kehadiran lembaga penguji-
undang-undang secara khusus untuk menilai norma perundang-undangan yang
dibentuk oleh lembaga legislatif dan eksekutif apakah bertentangan atau tidak
dengan norma yang lebih tinggi (konstitusi).
Dengan demikian ide pembentukan Mahkamah Konstitusi RDTL adalah
kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang yang
bertentangan dengan K-RDTL Tahun 2002, memutus sengketa lembaga Negara,
pembubaran partai politik, impeachment kepada pejabat Negara dan melindungi
hak asasi manusia, yang bertujuan untuk menegakan hukum konstitusi yang
menjadi dasar sebuah Negara hukum sebab Konstitusi berfungsi untuk mengatur
penyelenggaraan Negara yang dilakukan oleh organ-organ Negara. Agar organ-
organ Negara ini dapat berjalan dengan baik, maka organ-organ Negara tersebut
harus diberikan dan dibatasi kewenangannya sesuai dengan fungsinya. Dengan
adanya pengaturan dan pembatasan kewenangan inilah diharapkan bahwa organ-
organ Negara tersebut dapat menyelenggarakan tugas dan fungsinya dengan baik
dan agar tidak terjadi kewenangan yang saling tumpang tindih diantara organ-organ
Negara tersebut.
2.2 Kerangka Konseptual
Berhubungan dengan penulisan ini, penulis menguraikan konsep-konsep
yang sesuai dengan judul penelitian Disertai dan kerangka berpikir sebagai berikut:
1. Konsep negara hukum
62 Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New York:, h
157
89
2. Konsep Ide.
3. Konsep Mahkamah Konstitusi.
4. Konsep Sistem Ketatanegaraan.
5. Kerangka Berpikir.
2.2.1 Konsep Negara Hukum
Relevansi konsep Negara hukum dan ide pembentukan Mahkamah
Konstitusi RDTL terdapat sub-sub yang berkaitan sebagai berikut; Istilah Negara
hukum dan Konsep Negara hukum. Terkait konsep Negara hukum digunakan
sebagai landasan untuk memecahkan permasalahan pada bab IV dan mengkaji,
menjelaskan konsep Negara hukum yang digunakan Negara RDTL.
1) Istilah Negara hukum
Istilah Negara hukum sebenarnya merupakan terjemahan dari bahasa
Inggris; rule of law63 atau Rechtsstaat dalam istilah bahasa Jerman, atau Etat de
Droit dalam bahasa Perancis yang secara umum mengandung pengertian identik,
yaitu: kedaulatan atau supremasi hukum atas orang dan pemerintah terikat oleh
hukum.64 Hemat penulis sebenarnya istilah Negara hukum pada dasarnya sama,
63 Brian A. Garner, 2009, Black Law Dictionary, ninth edition, West. a Thomson business,
Amerika Serikat, h. 1448, rule of law (1Sc) 1. A substantive legal principle <under the rule of law
known as respond superior, the employer is answerable for all wrongs committed by an employee
in the course of the employment>. 2. The supremacy of regular as opposed to arbitrary power
<citizens must respect the rule of law>. - Also termed supremacy of law. 3. The doctrine that every
person is subject to the ordinary law within the jurisdiction <all persons within the United States
are within the American rule of law>. 4. The doctrine that general constitutional principles are the
result of judicial decisions determining the rights of private individuals in the courts <under the
rule of law, Supreme Court case law makes up the bulk of what we call "constitutional law">. 5.
Loosely, a legal ruling; a ruling on a point of law <the ratio decidendi of a case is any rule of law
reached by the judge as a necessary step in the decision>. [cases: courts c=>s7.] Statute is held not
to extend to bishops, even though they have spiritual promotion, because deans are the highest
persons named, and bishops are of a higher order. Cf. Ejusdem generis; expressio unius est exclusio
alterius; noscitur a sociis
64 IDG Palguna, Op.cit., h.23
90
namun dari sejarah kelahirannya berbeda, sebab konsep Negara hukum Rechtsstaat
diwakili oleh Negara yang berada di Eropa kontinental dan konsep rule of law
mewakili Negara-negara Anglo Saxon. Sedangkan Etat de Droit yang berkembang
di Perancis merupakan terjemahan literal dari Rechstsstaat yang mengandung dua
pengertian luas.65 Demikian antara konsep rechstsaat dan Etat Droit sebenarnya
memiliki makna yang sama yaitu Negara hukum.
Menelusuri konsep Negara hukum dimulai dari Negara Yunani kuno telah
ada gagasan, cita, atau ide Negara hukum, selain terkait dengan konsep
‘rechtsstaat’dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang
berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat
dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi.
‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan.66 Rechtsstaat dan the
rule of law merupakan warisan masa lalu yang dikembangkan terus menurus oleh
para ahli hukum, sehingga menemukan dua konsep tersebut dan digunakan oleh
berbagai Negara dalam menyelenggarakan pemerintahan.
Selanjutnya Istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan
hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam buku Plato berjudul
65 Michael Rosenfeld, 2005, Constitutional Adjudication in Europa and Unites States,
Paradoxes and Contras dalam IDG Palguna, Ibid, h 85-86, Etat de Droit memiliki persamaan makna
dengan Rechtsstaat yang mengadung pengertian luas yaitu; (1) the state exclusively in a legal
manner, i.e. it operates of law. Since it is sovereign, the states founds and delimits the national legal
system, namely all of the rule it dictates to itself and these that derived from them. As the source of
law, the state is competent to define its own competences. (2) the state is subjected to law, the
objective pursued is that of framing and limiting that state by means of laws. Political power is
framed by law, by means of the following guarantees; separation of power, which implies in
particular the independence of judiciary from political agencies; proclamation of right and liberties;
and judicial review of legislation and administrative acts 66 Plato, The Laws, Penguin Classics, edisi tahun 1986. Diterjemahkan dan diberi kata
pengantar oleh Trevor J. Saunders. PDF
91
“Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul
“The Laws”67, jelas tergambar ide nomokrasi itu sesungguhnya telah ada sejak
lama yang dikembangkan dari zaman Yunani Kuno. Dengan demikian istilah
negara hukum sebenarnya telah berkembang dari zaman yunani kuno yaitu
nomokrasi artinya negara berdasarkan hukum, istilah negara hukum secara umum
memiliki 2 makna yakni negara hukum (Rechtsstaat) dan Rule Of law.
2) Konsep Negara hukum
Urgensi konsep negara hukum dengan ide pembentukan Mahkamah
Konstitusi RDTL. Negara RDTL sebagai negara yang menganut negara hukum
diatur dalam Pasal 1 ayat (1) konstitusi RDTL tahun 2002, walaupun telah ada
penegasan tersebut. Perlu dikaji dalam mengenai konsep negara hukum yang dianut
negara RDTL, agar ide pembentukan Mahkamah Konstitusi dapat terealisasi dalam
struktur ketatanegaraan RDTL, penulis memaparkan, perkembangan negara hukum
melalui pemikiran-pemikiran sarjana hukum yang ada saat ini.
Penggunaan konsep Negara hukum sebagai landasan untuk mengkaji ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan RDTL, sebab
konsep Negara hukum menjadi pedoman dalam menyelenggarakan pemerintahan
dan dari konsep ini juga telah melahirkan peradilan konstitusional, dimana lembaga
ini menjamin terselenggara pemerintahan berdasarkan hukum.
Perumusan yuridis tentang gagasan konstitusionalisme dicapai pada abad
ke-19 dan akhir abad ke-20, yang ditandai dengan pemberian istilah Rechtsstaat
(diberikan oleh ahli-ahli hukum Eropa Kontinental) atau Rule of Law (diberikan
67 Plato, The Laws, Penguin Classics, edisi tahun 1986. Diterjemahkan dan diberi kata
pengantar oleh Trevor J. Saunders. PDF
92
oleh ahli Anglo-Saxon).68. Frederich Julius Stahl dari kalangan ahli Eropa Barat
Kontinental memberikan ciri-ciri Rechtsstaat sebagai berikut: (a) hak asasi
manusia; (b) pemisahan atau pembagian kekuasaan; (c)pemerintahan berdasarkan
peraturan-peraturan (Wetmatigheid van bestuur); dan (d) peradilan administrasi
dalam perselisihan.69
Sementara itu, A.V. Dicey, seorang ahli dari kalangan Anglo-Saxon
memberikan ciri Rule of Law sebagai berikut: (a) supremasi hukum dalam arti tidak
boleh ada kesewenang-wenangan sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika
melanggar hukum; (b) Kedudukan yang sama di depan hukum bagi rakyat biasa
maupun bagi pejabat; dan (c) terjaminnya hak asasi manusia oleh undang- undang
dan keputusan-keputusan pengadilan.70
Berdasarkan uraian kedua pendapat tersebut, terdapat perbedaan antara
kedua konsep tersebut; perbendaan konsep negara hukum Rechtsstaat dan konsep
rule of law. Pertama, perbedaan, konsep Rechtsstaat, meletakan pengadilan
administrasi bagi tindakan yang dilakukan oleh penguasa, sedangkan konsep rule of
law; tidak mengatur pengadilan administrasi bagi tindakan penguasa. Kedua,
persamaan kedua konsep ini terletak pada asas legalitas penyelenggaraan
pemerintahan Negara artinya menjunjung tinggi supremasi hukum dan adanya
perlindungan terhadap hak asasi manusia.
68 Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya:
Bina Ilmu, h. 71-74. 69 Oemar Seno Adji, 1966, “Prasarana” Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, Jakarta:
Seruling Mas, h. 24.
70 E.C.S. Wade & G. Gogfrey, Constitutional Law: An Out Line of the law and practice of
The Citizen and the Including Central and Local Government, the Citizen and The State and
Administratif Law, 7 th, Edition Longmans, London, 1965, hal 50-51., dalam buku Teori dan Hukum
Konstitusi,2008, Anwar.C. In Trans Publishing, h.16
93
Demikian dari perbedaan dan persamaan kedua konsep Negara hukum,
kaitannya ide pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Demokratik Timor-
Leste, Negara RDTL menempatkan hukum sebagai pilar utama dalam
menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) K-
RDTL Tahun 2002,71 artinya hukumlah yang memegang kekuasaan tertinggi,
sehingga penyelenggaraan pemerintahan Negara dan rakyatnya harus tunduk pada
hukum yang berlaku.
Penulis, menggunakan konsep Negara hukum dari Brukens yang di jelaskan
oleh Yohanes Usfunan karena lebih mendekati prinsip-prinsip Negara hukum yang
dianut oleh Negara RDTL serta dilengkapi Oemar Seno Adji. Suatu Negara
dikatakan sebagai Negara hukum (Rechtsstaat) menurut Burkens dan Yohanes
Usfunan sebagai berikut:
1) Asas legalitas. Setiap tindakan pemerintahan didasarkan atas peraturan
perundang-undangan (wettelijke gronslag). Dengan landasan ini, undang-
undang dalam arti formil dan UUD sendiri merupakan tumpuan dasar
tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini, pembentukan undang-undang
merupakan bagian penting dari Negara hukum
2) Pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung bahwa kekuasaan Negara
tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
3) Hak-hak dasar (grondrechten) merupakan sasaran perlindungan dari
pemerintah terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan
pembentukan undang-undang
4) Pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia saluran melalui pengadilan
yang bebas untuk menguji keabsahan tindak pemerintahan
(“rechtmatigeheidstoetsing”),72
71 Pasal 1 ayat 1 konstitusi RDTL tahun 2002, menyatakan bahwa; Republik Demokratik
Timor-Leste adalah suatu Negara hukum yang demokratik, berdaulat, merdeka dan bersatu,
berdasarkan keinginan Rakyat dan penghormatan terhadap martabat manusia 72 Yohanes Usfunan, 2015, Hukum, HAM dan Pemerintahan, Udayana Universitas Pres,
h.242-243
94
Keempat unsur ini sangat relevan dengan prinsip Negara hukum yang
dianut oleh Negara RDTL, sebagaimana yang dikemukakan oleh Yohanes Usfunan
bahwa: Unsur pertama, mensyaratkan setiap tindakan harus berdasarkan hukum.
Dalam hal ini peraturan per-undang-undangan yang berlaku membatasi kekuasaan
penguasa dalam menjalankan fungsinya. Unsur kedua, pembagian kekuasaan
Negara bertujuan membatasi kekuasaan penguasa agar dapat menghindari tindakan
sewenang-wenang. Melalui pembagian kekuasaan kepada badan eksekutif.
Legislative dan yudisial hal tersebut akan menghindari penumpukan kekuasaan
yang dapat menimbulkan absolutisme.73 Dari pandangan ini jelas bahwa
penyelenggaraan pemerintahan Negara harus berdasarkan koridor hukum, sehingga
dapat menghindari tindakan sewenang dari penguasa dengan cara adanya
pengaturan kewenangan bagi lembaga-lembaga Negara.
Unsur ketiga, menunjukkan secara jelas pentingnya perlindungan hak-hak
asasi manusia. Sesuai prinsip Negara hukum. Perlindungan hak-asasi manusia
merupakan suatu tuntutan yang harus dipenuhi penguasa. Perlindungan hak asasi
manusia tidak sekedar sebagai suatu pengakuan dalam konstitusi melainkan lebih
dari, dituntut adanya pelaksanaannya. Unsur keempat, tentang peradilan
administrasi dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk melindungi warga
Negara yang terlibat sengketa dengan pemerintah. Unsur tersebut mensyaratkan.
Agar seseorang yang merasa dirugikan oleh Negara karena hak-haknya dilanggar
dapat menuntut hak-hak tersebut melalui lembaga peradilan semacam ini.74 Jadi
sebagai sebuah Negara hukum, wajib memberikan perlindungan dan jaminan bagi
73 Yohanes Usfunan Loc.cit 74 Yohanes Usfunan, Op.Cit, h.111-112
95
warga negaranya melalui system peradilan yang independen.
Karakter ke-empat unsur tersebut berhubungan langsung dengan ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi RDTL. Pertama, pembentukan peraturan
perundangan-undangan oleh lembaga legislative maupun pemerintah belum
memenuhi prinsip-prinsip dasar pembentukan peraturan perundang-undangan baik,
sebab peraturan perundang-undangan yang dibentuk memungkinkan mengalami
disharmonisasi norma. Kedua, pembagian kekuasan antara lembaga Negara tidak
sesuai prinsip-prinsip yang digariskan dalam K-RDTL Tahun 2002, sehingga
menimbulkan sengketa lembaga Negara yang tidak diselesaikan melalui
pengadilan.
Ketiga, pelanggaran demi pelanggaran yang dilakukan penyelenggara
Negara terhadap warga Negara acapkali diabaikan oleh Negara, padahal sebagai
Negara yang menganut prinsip Negara hukum, warga Negara patut diberikan
perlindungan. Keempat, pengawasan pengadilan yang dinilai tidak imparsial dan
independen dalam menangani berbagai perkara baik yang dilakukan oleh
penyelenggara Negara ataupun warga Negara. Oleh karena itu ide pembentukan
Mahkamah Konstitusi merupakan mekanisme yang tepat guna mengatasi
persoalan-persoalan yang ada, tujuannya agar setiap produk legislasi dapat diuji
secara formil maupun materiil sebelum diundangkan dan sengketa lembaga Negara
serta pelanggaraan hak-hak asasi warga negara yang memang menjadi persoalan
tersendiri dapat diselesaikan melalui peradilan konstitusional
Berdasarkan pemaparan diatas, demi mencapai ke-empat unsur Negara
hukum, Negara Republik Demokratik Timor-Leste dapat membentuk Mahkamah
96
Konstitusi sebagai wadah peradilan konstitusional seperti dijelaskan oleh Oemar
Seno Adji bahwa; dalam Negara hukum pengakuan dan jaminan hak asasi manusia
harus dijunjung tinggi karena hak asasi manusia sebagai basic requirement.75
Hemat penulis, pengadilan mempunyai fungsi untuk mengawasi setiap tindak-
tanduk pemerintah yang telah menyalahgunakan kekuasaannya, harus tidak sesuai
hukum yang berlaku.
Dengan demikian ide pembentukan Mahkamah Konstitusi RDTL untuk
mewujudkan Negara hukum seperti yang dipaparkan, seyogyanya dalam
menyelenggarakan pemerintahan Negara RDTL terutama melakukan pengujian
peraturan perundang-undangan, sengketa lembaga Negara dan perlindungan hak
asasi manusia, membutuhkan pengadilan yang memiliki integritas dalam
melakukan pengawasan secara efektif dan efisien bagi penyelenggara Negara dan
warganya. Maka perlunya pemerintah membentuk Mahkamah Konstitusi sebagai
salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan yang ada, sebab Mahkamah
Konstitusi merupakan suatu lembaga peradilan yang dinilai memiliki kewenangan
dalam menjaga dan melindungi prinsip-prinsip Negara hukum.
Demikian konsep Negara hukum yang telah diuraikan telah disederhanakan
dalam tulisan: “An Elementary Approach to the Rule of Law”, dengan pendekatan
elementery terhadap negara hukum yaitu;
1. Kategori elemen prosedural
a) Pemerintahan dengan hukum (rule by law)
b) Tindakan negara harus tunduk pada hukum
c) Legalitas formal (hukum harus jelas dan pasti muatannya, mudah
diakses dan bisa diprediksi pokok perkaranya, serta diterapkan pada
semua orang).
75 Loc.cit. h.113
97
d) Demokrasi (persetujuan menentukan atau mempengaruhi muatan dan
tindakan hukum)76
2. Kategori kedua: Elemen-elemen substantif
a) Subordinasi semua hukum dan interpretasinya terhadap prinsip-prinsip
fundamental dari keadilan
b) Perlindungan hak asasi dan kebebasan perorangan
c) Pemajuan hak asasi sosial
d) Perlindungan hak kelompok Subordinasi semua hukum dan
interpretasinya terhadap prinsip-prinsip fundamental dari keadilan77
3. Kategori ketiga: Mekanisme kontrol (lembaga-lembaga pengawal negara
hukum)
a) Lembaga peradilan yang independen (terkadang diperluas menjadi trias
politica)
b) Lembaga-lembaga lain yang memiliki tanggung jawab dalam menjaga
dan melindungi elemen-elemen negara hukum.78
Dari ketiga elemen Negara hukum yang telah diuraikan tersebut, dikaitkan
dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi RDTL. Pertama, inti elemen
prosuedural adalah dalam penyelenggaran pemerintahan Negara, segala tindakan
penyelenggara harus berdasarkan hukum, hal inilah yang tidak termanifestasi
dalam bingkai ketatanegaraan RDTL, sebagaimana telah diuraikan pada bab I, oleh
sebab itu, agar hukum dapat di tegakkan sesuai prinsip supermasi hukum dan nilai
keadilan, perlunya pemerintah dan seluruh elemen kenegaraan yang
menyelenggarakan pemerintahan sesuai hukum, namun apabila dalam tindakannya
tidak sesuai koridor hukum harus ditindak sesuai perbuatannya.
Selanjutnya untuk menindak perbuatan atau pelanggaran yang dilakukan
penyelenggara negara kepada warga negaranya dalam bentuk pembentukan norma
76 Tulisan ini merupakan terjemahan dari versi Bahasa Inggris yang berjudul: ‘An
Elementary Approach to the Rule of Law’, yang telah dimuat dalam Hague Journal on the Rule of
Law 2:48-73, 2010. Tulisan ini adalah versi modifikasi dari versi yang sudah dimuat dalam: Safitri,
M.A., A. Marwan & Y. Arizona (eds.) (2011), Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan
Kritik. Jakarta: Epistema Institute & HuM dalam Kajian sosio-legal/ Penulis: Sulistyowati Irianto
dkk. Ed.1. Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Univer-
sitas Groningen, 2012 h.55 77 Ibid, h, 64 78 Ibid, h, 60
98
suatu undang-undang ataupun tindakan nyata, maka warga negara berhak untuk
melakukan tuntutan kepada negara dengan prosudur hukum yang jelas melalui
pembentukan dan penegakan hukum. Kedua, elemen subtantif, hakekatnya terletak
pada nilai keadilan, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pembentukan dan
penegakan hukum seyogyanya dalam penyelenggaraan negara RDTL terutama
lembaga legislatif dan lembaga eksekutif seharusnya mementingkan kehidupan
warga negara, dengan memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi dan
memajukan hak sosialnya.
Ketiga, adanya lembaga pengawal negara hukum, dengan berbagai
persaolan ketatanegaraan RDTL yang tidak pernah diselesaikan oleh lembaga
peradilan yang ada saat ini, maka urgensi dibentuk Mahkamah Konstitusi
merupakan sebuah lembaga peradilan yang diharapkan memiliki tanggungjawab
dalam melindugi dan mengawal prinsip-prinsip atau elemen negara hukum demi
mewujudkan prinsip fundamental dari keadilan. Dengan demikian ketiga katogri
elemen negara hukum merupakan acuan bagi negara untuk membentuk dan
meletakan Mahkamahk Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan RDTL, sebagai
salah satu lembaga negara yang mengawal dan melindungi elemen-elemen Negara
hukum.
2.2.2 Konsep Ide
Sebelum memaparkan lebih jauh mengenai pengertian ide. Penulis terlebih
dahulu menjelaskan beberapa pengertian Kata ide dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia mendefinisikan 2 (dua) arti yaitu: (1). Rancangan yang tersusun dalam
pemikiran; gagasan; cita-cita. (2). Ide atau perasan yang benar-benar menyelimuti
99
pikiran.79Konsep ide dijabarkan dalam KBBI lebih jelas ialah: Pertama, kemudian
pada halaman lain KBBI kata gagasan artinya hasil pemikiran ide atau dasar
gagasan tentu sesuatu sebagai pokok atau tumpuan untuk pemikiran
selanjutnya.80Konsep ide merupakan pokok atau inti dari pemikiran yang telah
tersusun sedemikian rupa, terencana, melalui proses dan menemukan hasil
semaksimal mungkin. Sedangkan dalam kamus ilmiah popular mengartikan ide
adalah rancangan pikiran, prakarsa, gagasan, cita-cita, proses mental pada sisi
pengetahuan.81 Definisi dari kamus ilmiah populer disimpulkan bahwa: hasil
berpikir dalam membentuk suatu rancangan dasar sesuai dengan pengetahuan yang
dimiliki oleh seseorang melalui mekanisme tertentu atau metode.
Dengan demikian ide merupakan gagasan awal yang direncanakan secara
bertahap dengan menggunakan dasar pengetahuan yang benar, maka akan
mencapai hasil yang diinginkan, dikaitkan ide dalam ranah hukum sebagaimana
dikatakan oleh Rousseau telah memperlihatkan bagiamana ide hukum (cita hukum)
memperoleh bentuknya yang khas dalam perundang-undangan, artinya kebebasan
tampil dalam undang-undang yang berlaku sama bagi setiap orang, jadi dalam suatu
bentuk abstrak dan umum.82Pembentukan undang-undang merupakan naskah yang
perlu disusun dengan cermat dan sistematis, dan terbuka bagi warga Negara,
tujuannya diberlakukan undang-undang agar setiap warga masyarakat menaatinya.
79 Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2013,
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 516
80 KBBI, Ibid, h.405 81 Pius A. Partanto & M.Dahlan Al Barry, 2001, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya,
h. 243
82Meuwissen, 2013, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan
Filsafat Hukum,(diterjemahkan oleh Arif Sidharta), Cet Ke IV, Refika Aditama, Bandung, h.11
100
Kemudian sifat khas (hakikat) dari ide hukum atau cita hukum (rechtside)
adalah tugas penting filsafat hukum. Dalil bahwa semua Kultur (hukum, seni, ilmu,
agama) adalah perwujudan dari suatu ide (atau asas) berasal dari Neo-Kantianisme.
Dalam bidang hukum dalil itu terutama dipertahankan oleh Radbruch. Ia
menjabarkan ide-hukum dalam tiga aspek yakni kepastian hukum, kegunaan dan
keadilan.83Dengan demikian ide hukum merupakan kandungan dari nilai-nilai
abstrak (kepastian, kegunaan, dan keadilan hukum), maka tugas filsafat hukum
untuk mencari, mengkonstruksikannya dalam kenyataan. Dikaitkan dengan ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi RDTL, ide dari nilai-nilai yang terkandung
dalam K-RDTL Tahun 2002 untuk dikonstruksikan menjadi kenyataan, maka
perlunya ide membentuk Mahkamah Konstitusi dalam struktur ketatanegaraan
sebagai perwujudan nilai-nilai tersebut.
2.2.3 Konsep Mahkamah Konstitusi
Kamus besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mahkamah adalah badan
atau tempat memutuskan hukum atas suatu perkara atau pelanggaran; pengadilan;84
sedangkan dalam kamus Oxford Dictionary, memberikan pendefinisian tentang
pengadilan (Court) menjadi 2 yaitu:
a) Noun (Law) the place where legal trials the place and where crimes, atc.
Are judged: the civil/criminal court;
b) (The court)[Sing] the people in a court especially those who make the
decisions, such as the judge and jure:85
83 Ibid, h. 20-21 84 KBBI, Ibid, h.856 85 International Student Editon, 2004, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Oxford
Univertsity Press, h.303
101
Kemudian dalam kamus black law Dictionary, membagi pengadilan dalam
5 pengertian yaitu:
Court, n. 1. A governmental body consisting of one or more judged who sit to
adjudicate disputes and administer justice a question of law for the court to
decide “A court …… is a permanently organized body, with independent
judicial powers defined by law, meeting at a time and place fixed by law for
the judicial public administration of justice”, 2.The judge or judges who sit on
such a governmental body the court asked the parties to approach the bench.
3. A legislative assembly in Massachusetts, in the legislature. 4. The locale for
a legal proceeding an out-of-court statement. 5. The building where the judge
or judges convence to adjudicate disputes and administer justice the lawyers
agreed to meet at the court at 8.00 a.am also termed (in sense 5) courthouse.86
Berkaitan dengan uraian diatas, sebagaimana diungkapkan oleh I Dewa
Gede Atmadja, mengatakan, bahwa: Definisi leksikal paling mudah ditemukan
dalam “kamus” biasanya dengan urutan alphabets (abjad), tetapi kelemahan
definisi leksikal itu, arti yang diberikan lebih dari satu hingga kurang menjamin
kepastian makna, dan menimbulkan multi tafsir, multi pemahaman.87 Pada
dasarnya suatu definisi belum dikatakan benar karena mengandung banyak makna
dan multi interpretasi.
Oleh karena itu perlunya didukung oleh pendapat para ahli, agar dapat
dijamin kepastian maknanya lebih jelas, menurut pendapatnya Djokosoetono
bahwa: ada empat (4) tahap dan sekaligus empat macam rechtspraak yang dikenal
dalam sejarah, yaitu sebagai berikut:
a) Rechtspraak naar ongeschreven recht (hukum adat), yaitu pengadilan yang
didasarkan atas ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti pengadilan
adat.
b) Rechtspraak naar precedenten, yaiut pengadilan yang didasarkan atas
prinsip precedent atau putusan-putusan hakim yang terdahulu, seperti yang
86 Bryan A.Garden, 1999, Black’s Law Dictionary, , Seventh Edition, west Group , ST Paul,
Min, h. 356
87 I Dewa Gede Atmadja, 2012, Hukum Konstitusi: Problamatika Konstitusi Indonesia
Sesudah Perubahan UUD1945, Setara Press, Malang, h. 24
102
dipraktikkan di Inggris.
c) Rechtspraak naar rechtsboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas
kitab-kitab hukum, seperti dalam praktik pengadilan agama (Islam) yang
menggunakan compendium atau kitab-kitab ulama ahlussunnah wal-
jama’ah atau kitab-kitab ulama syi’ah.
d) Rechtspraak naar wetboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas
ketentuan undang-undang ataupun kitab undang-undang. Pengadilan
demikian ini merupakan penjelmaan dari paham hukum positif atau modern
wetgeving yang mengutamakan peraturan perundang-undangan yang
bersifat tertulis (geschreven wetgeving).88
Penjelasan diatas, unsur ke-empat terkait ide pembentukan Mahkamah
Konstitusi RDTL, perlunya diatur dan ditetapkan dalam K-RDTL Tahun 2002,
dalam penyelenggaraan kewenangannya ke depan sesuai yang diamanatkan, oleh
Jimly Asshiddiqie bahwa; pengadilan adalah lembaga kehakiman yang menjamin
tegaknya keadilan melalui penerapan undang-undang dan kitab undang-undang
(wet en wetboeken) dimaksud.89 Simpulannya bahwa; fungsi pengadilan untuk
menegakkan keadilan hukum.
Relevansinya dengan ide pembentukan Mahkamah Konstitusi RDTL
merupakan sebuah pengadilan yang berfungsi menguji norma undang-undang yang
bertentangan dengan Undang-undang Dasar (konstitusi), sebagaimana dalam
konteks ketatanegaraan RDTL Mahkamah Konstitusi dikontruksikan: Pertama,
sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di
tengah kehidupan masyarakat, maksudnya eksistensi dan kewibawaan konstitusi
akan selalu terjaga dengan kehadiran Mahkamah Konstitusi yang bertugas menguji
seluruh peraturan perundang-undangan dan menjamin hak-hak warga negara yang
88 Djokosoetono, 1982. Hukum Tata Negara, Kuliah diHimpun oleh Hakim Alrasid pada
tahun 1959,: Ghalia Indonesia, Jakarta, h 117., dalam Jimly Asshiddiqie, 2012, Pengantar Ilmu
Hukum Tata Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.313
89 Jimly Asshiddiqie, 2012, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, h.313
103
dilanggar oleh penyelenggara negara, sehingga dapat mewujudkan nilai keadilan.
Kedua, Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar
konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen Negara secara
konsisten dan bertanggungjawab. Ketiga, di tengah kelemahan system konstitusi
yang ada, artinya penyelenggaraan pemerintahan negara oleh para penyelenggara
tidak mematuhi prinsip Konstitusi RDTL Tahun 2002, oleh karena itu kehadiran
Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup
dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat,
Dengan demikian Secara filosofis ide pembentukan Mahkamah Konstitusi
RDTL sebagai penyeimbang bagi terselenggaranya pemerintahan negara sesuai
hukum dan menegakkan prinsip-prinsip Negara hukum yang terkandung dalam
Konstitusi RDTL Tahun 2002.
2.2.4 Konsep Sistem Ketatanegaraan
Sebelum melangkah lebih jauh menjelaskan sistem ketatanegaraan, perlu
diuraikan istilah sistem berasal dari bahasa Yunani ”systema” yang mempunyai
pengertian demikian:
a) Suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian (whole
compounded of serval parts)90
b) Hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen secara
teratur (”an organized, functioning relationship among units or
components”)91
90 Shrode, William A dan Voich,Jr., 1974, Organization and Management Basic Systim
Concepts, Irwan Book Co, h 1 91 Richard D. Irwin, 1979,Awad, System Analysis and Design, Homewood, Illinois, h. 4,
104
Demikian sistem merupakan suatu keseluruhan yang tersusun dan saling
berhubungan satu sama lain. Selanjutnya dalam kamus Besar Bahasa Indonesia
menguraikan bahwa: sistem merupakan perangkat unsure yang secara teratur saling
berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.92Jadi sistem merupakan unsur-unsur
yang saling terkait yang dapat membentuk suatu himpunan.
Sedangkan ketatanegaraan, kata dasarnya: Tata negara adalah seperangkat
prinsip dasar yang mencakup peraturan susunan pemerintah, bentuk negara, dsb
yang menjadi dasar pengaturan negara kemudian dalam kamus ilmiah popular
mendefinisikan tata negara adalah seperangkat sistem dalam pelaksanaan
pemerintahan negara93 dan ketatanegaraan adalah ihwal Tata Negara (politik
dsbnya).94Jadi ketatanegaraan merupakan suatu sistem penataan dan
penyelenggaraan pemerintahan Negara. Secara epistemology menurut J.H.A.
logmen sebagaimana dikutip A. Ahsin Thohari, mendefinisikan sistem
ketatanegaraan sebagai perangkat unsur ketatanegaraan yang secara teratur saling
berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas yang mencakup beberapa hal, yaitu:
1) Pembentukan jabatan-jabatan dan susunannya;
2) Penunjukan para pejabat;
3) Kewajiban-kewajiban, tugas-tugas yang terikat pada jabatan;
4) Wibawa, wewenang hukum, yang terikat pada jabatan;
5) Lingkungan daerah dan personel, atas nama tugas dan wewenang jabatan itu
meliputinya;
6) Hubungan wewenang dari jabatan-jabatan antara satu sama lain;
7) Peralihan jabatan;
8) Hubungan antara jabatan dan pejabat.95
92 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia 2013,
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.1320
93 Pius A. Partanto dan M. Dahlan Barry,2001, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya,
h. 748
94 Pius A. Partanto Loc.Cit
95 A. Ashin Thohari, Komisi yudisial dan Reformasi Peradilan; Elsam, Jakarta, h.36-37
105
Dari pendapat Logmen disederhanakan oleh penulis bahwa: pembentukan
lembaga-lembaga negara dan mengisi jabatan-jabatannya, serta saling
berhubungan satu sama lain sesuai aturan yang berlaku, menurut hemat penulis,
Sistem ketatanegaraan adalah penataan kelembagaan negara yang diatur dalam
sebuah undang-undang dasar (konstitusi), dimana sebagai dasar penyelenggaraan
pemerintahan oleh organ-organ atau lembaga-lembaga dan institusi kenegaraan
berdasarkan norma hukum yang berlaku.
Kaitannya dengan sistem ketatanegaraan, maka para pakar hukum Tata
Negara membagi sistem ketatanegaraan dalam dua sudut pandang: pertama sistem
ketatanegaraan menurut sifatnya; dan kedua, sistem ketatanegaraan menurut
pembagian kekuasaan. Secara umum suatu sistem ketatanegaraan berdasarkan
pembagian kekuasaan, membagi kekuasaan pemerintahan ke dalam “Trichotmy
System” yang terdiri dari eksekutif, legislative, dan yudisial, yang biasa disebut
dengan trias politik.96Dengan demikian sistem ketatanegaraan merupakan
pembagian kekuasaan lembaga-lembaga Negara dalam menyelenggarakan
pemerintahan negara sesuai dengan fungsi, tugas dan kewenangannya diatur oleh
undang-undang dasar (konstitusi) suatu Negara, dan setiap penyelenggara Negara
harus tunduk atasnya. Hubungannya dengan ide pembentukan Mahkamah
Konstitusi RDTL, apabila dibentuk dan diletakkan dalam sistem ketatanegaraan
RDTL, maka fungsinya mengawasi penyelenggaraan negara oleh lembaga-
lembaga Negara RDTL yang memang acapkali melanggar ketentuan-ketentuan
yang diamanatkan dalam Konstitusi RDTL Tahun 2002.
96Titik Tutik Triwulan, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandamen UUD 1945, Kencana Pernada Media Group, Jakarta, h.8-9
106
2.3 Kerangka berpikir
Dipicu dari pemikiran filosofis, yuridis, dan sosiologis-politis, ide
pembentukan Mahkamah Konstitusi RDTL dalam sistem ketatanegaraan RDTL,
penulis merumuskan dua (2) masalah yaitu:
1) Apakah landasan filosofis ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di
Negara RDTL?
2) Bagaimana model kedudukan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam Sistem ketatanegaraan RDTL prespektif ius constituendum?
Berkenaan dengan dua (2) masalah tersebut, penulis menggunakan tiga (3)
teori dan satu (1) konsep sebagai acuan dalam pembahasan bab iii dan iv. Ide
pembentukan Mahkamah konstitusi RDTL, sebenarnya ide ini mencerminkan
nilai-nilai yang termuat dalam konstitusi RDTL Tahun 2002 yaitu: nilai demokrasi,
keadilan, dan menjunjung tinggi harkat martabat manusia dan perlindungan HAM,
terkait dengan nilai-nilai ini, pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan suatu
urgensi dalam sistem ketatanegaraan RDTL, sebab kehadiran Mahkamah
Konstitusi diharapkan memiliki tanggungjawab untuk menyeimbangkan sistem
peradilan yang selama ini belum tidak terselenggara sesuai prinsip kekuasan
peradilan yang independen dan imparsial dalam menyelenggarakan fungsi dan
tugas semestinya.
Kemudian alasan paling mendasar adalah kewenangan yang dimiliki
Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 126 Konstitusi RDTL Tahun
2002, begitu luas, maka dengan pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem
ketatanegaraan Republik Demokratik Timor-Leste sebagian kewenangan
107
Mahkamah Agung (MA) dapat diserahkan dan diselenggarakan oleh Mahkamah
Konstitusi (MK).
Berkaitan dengan ide pembentukan MK RDTL, sesungguhnya tidak diatur
dalam konstitusi, walaupun dalam Pasal 123 ayat (1) huruf (a) K-RDTL Tahun
2002, menyatakan pembentukan pengadilan-pengadilan lain, namun tetap saja
terjadi norma kabur. Supaya terlaksananya pembentukan lembaga ini, pemerintah
(arti luas) perlu melakukan revisi Pasal 123 atau hanya pada Pasal 123 ayat (1) huruf
(a) K-RDTL Tahun 2002 atau hanya menetapkan Mahkamah Konstitusi melalui
undang-undang. Aplikasi dari penggunaan teori-teori dan konsep digambarkan pada
bagan sebagai berikut:
108
BAGAN PENELITIAN
IDE PEMBENTUKAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
NEGARA REPUBLIK
DEMOKRATIK TIMOR LESTE
IDE DASAR Filosofis-yuridis
PENGALAMAN KETATANEGARAAN
Sosiologis-politik
INTERNAL RDTL:
Yang digali dari bahan-
bahan konstitusi
dan perundan g- undangan dari aspek
filosofis dan teoritik
EXTERNAL RDTL:
Yang digali dari bahan-
bahan konstitusi
dan perundan g- undangan negara lain dari aspek
filosofis
INTERNAL
RDTL : Yang
digali dari
praktek
Ketatanegaraa n
internal RDTL,
hal-hal apa yang
menjadi
kenyataan dalam menyelesaika n
persoalan ketatanegaraa n
EXTERNAL RDTL: Yang digali dari praktek
Ketatanegaraa n diluar RDTL,
misalnya bagaimana Indonesia
menyelesaika n sengketa antar
lembaga negara
PEMECAHAN MASALAH 1 & 2
KESIMPULAN DAN saran