BAB II LANDASAN TEORISTIS - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/bab_ii(31).pdf ·...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORISTIS - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/bab_ii(31).pdf ·...
17
BAB II
LANDASAN TEORISTIS
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai kerangka teori yang digunakan
sebagai landasan untuk menganalisis data sebagaimana telah dirumuskan dalam
Bab 1 Pendahuluan. Teori yang digunakan di dalam penelitian ini mengadopsi
strategi penolakan yang dikembangkan oleh Ookura (2002) dan teori kesopanan
yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson (1987) sebagai pendukung dalam
menganalisis bentuk penolakan sebagai strategi penolakan.
2.1. PENELITIAN TERDAHULU
2.1.1. Penelitian Tindak Tutur Penolakan
Beebe dan Takahashi (1989) dalam Aziz yang disitir Nurbaeti (2009:8),
melakukan studi untuk mengungkap realisasi pertuturan menolak yang dilakukan
oleh penutur bahasa Jepang yang sedang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa
asing dengan pembanding orang Amerika. Banyak orang percaya bahwa orang
Jepang adalah penutur bahasa yang memiliki ciri khas, misalnya seringkali
mengungpakan maaf dalam berbagai kesempatan, tidak bisa berbicara lugas, tidak
pernah mau mengeritik orang lain, lebih baik menghindarkan diri dari
pertentangan, dan tidak mau mengatakan sesuatu yang mereka tidak mau
mendengarnya. Sementara itu, orang Amerika dipercaya sebagai penutur yang
selalu lugas dan langsung ketika membuat penolakan. Beebe dan Takahashi juga
18
membuat formula semantik1 yang mengelompokkan strategi-strategi penolakan
berdasarkan hasil penelitian. Berikut ini adalah strategi penolakan dikembangkan
menjadi rumus semantik oleh Beebe et al (1990).
Tabel 2.1
Rumus Semantik Contoh Kalimat
I. Penolakan Langsung(直接ちょくせつ
的断り)
A. Performatif
(遂行すいこう
動詞を使う直接ちょくせつ
断り)
“Saya menolak” 「断り。」
B. Pernyataan non-performatif
(遂行すいこう
動詞を使わない直接ちょくせつ
断り)
1) “Tidak” (否定ひ て い
の副詞ふ く し
だけを使う)
2) Kesediaan negatif/ kemampuan
(やる気や能力の否定ひ て い
)
1) “Tidak” 「いいえ。」
2) “Saya tidak bisa”; “Saya
tidak akan melakukan~” ;
“Saya tidak berpikir
demikian”
「できない。;したくな
い。;そうは思わない。」
II. Penolakan Tidak Langsung(間接的かんせつてき
断り)
A. Pernyataan penyesalan
(謝罪しゃざい
・遺憾い か ん
な気持ち)
“Maafkan saya...”;”Saya merasa
tidak enak...”
「すまない。;悪い。」
B. Harapan (願望) “Saya berharap bisa membantu
anda...”
「手伝ってあげたいんだけ
ど。」
C. Maaf, Alasan, Penjelasan
(言い
い訳わけ
、理由、弁明べんめい
)
“Anak-anak saya akan ada di rumah
malam itu.”;“Saya menderita sakit
kepala.”
「私の息子はその夜に家にい
る。;私は頭痛がする。」
D. Pernyataan Alternatif
(代案提示だいあんていじ
)
1) Saya bisa melakukan X bukan Y
1) “Saya lebih suka...”; ”Saya
lebih suka...”
1Formula semantik adalah strategi yang digunakan untuk menampilkan tindak tutur tertentu (Kwon
dalam Anggreni, 2008:14)
19
(Yの代か
わりに、Xができる)
2) Kenapa anda tidak melakukan X
bukan Y
(Yの代か
わりに、Xをしたら?)
「私ならこうする。;私
は こ っ ち の 方 が す ぎ
だ。」
2) “Kenapa anda tidak meminta
(tolong) kepada orang lain?”
「 他 の 人 聞 い て み た
ら?」
E. Set kondisi penerimaan masa
depan atau masa lalu
(何々なら将来引きうけるある
いは何々ならあの時引きうけた
のにという条件じょうけん
を提示て い じ
するこ
と)
“Jika anda lebihcepat meminta
(memohon) kepada saya, saya
akan...”
「もし、もっと早く頼んでいた
ら、...がしたのに。」
F. Janji untuk penerimaan di masa
depan
(将来なら承知しょうち
するという約束)
“Saya akan melakukannnya lain
kali”; ”Saya berjanji saya akan..”
atau “Lain kali saya akan...”
「今度はする。;~すると約束
する。;今度~する。」
G. Menyatakan Prinsip
(信念しんねん
の陳述ちんじゅつ
)
“Saya tidak pernah melakukan bisnis
dengan teman.”
「私は友達と取引とりひき
は絶対ぜったい
しない
んだ。」
H. Pernyataan filosofi
(人生観じんせいかん
・決めたり文句も ん く
)
“Manusia tidak dapat terlalau hati-
hati.”
「人間はいくら用心ようじん
しても、し
すぎることはない。」
I. Usaha untuk menghalangi mitra
tutur
(相手を思い止とま
らせようという
試こころ
み)
1) Ancaman atau pernyataan
konsekuensi negatif terhadap
pemohon
(脅おど
し・依頼者にとって否定的ひていてき
な結果の陳述ちんじゅつ
)
2) Rasa bersalah
(依頼者に罪つみ
の意識い し き
を持たせる)
1) “Kalaupun malam ini ada
saya, tidak akan
menyenangkan kan?”
untuk menolak ajakan.
「招待の「断り」とし
て、「今夜私がいても面
白くないだろう。」
2) Pelayan kepada pelanggan
yang ingin duduk sebentar. ;
“Saya tidak dapat hidup
20
3) Mengeritik permintaan/
permohonan, dll.
(Pernyataan merasa negatif atau
opini); Penghinaan/ Serangan
(依頼/ 依頼者への批判ひ は ん
(否定的ひていてき
感
情や意見の陳述ちんじゅつ
);侮辱ぶじょく
/ 非難ひ な ん
4) Permintaan bantuan, empati dan
bantuan dengan menjatuhkan (依
頼を辞や
めさたり、控ひか
えさせたり
することによって、助たす
け、
共感きょうかん
、援助えんじょ
を訴うった
える)
5) Melepaskan mitra tutur dari
tanggung jawab
(話し手の負担ふ た ん
を軽減けいげん
する)
6) Pembelaan diri (自己防衛じ こ ぼ う え い
)
hanya dengan melayanai
pelanggan yang hanya
memesan kopi.”
ゆっくりとするお客に対
してウエイトレスが「コ
ーヒーだけ注文するお客
様だけでは、私は生活が
できません。」
3) “Anda pikir anda siapa?”;
“Itu ide yang buruk!”
「自分を何さまだと思っ
ているのか。;なんてひ
どい考えなんだ!」
5) “Jangan khawatirkan ini.”;
“Tidak apa-apa.”; “Anda
tidak perlu~.”
「心配しないで。;大丈
夫だ。;しなくてもい
い。」
6) “Saya melakukan yang
terbaik.” ”Saya melakukan
semuanya yang dapat saya
lakukan.” ”Saya tidak
melakukan hal yang salah.”
「私は頑張っているん
だ。;できるだけのこと
はやっているんだ。;私
は間違ったことはやって
いない。」
21
J. Penerimaan yang berfungsi sebagai penolakan (「断り」の働きを有ゆう
す
る承諾しょうだく
)
1) Tidak spesifik, balasan yang tidak tentu (明確めいかく
でなく、不確定ふかくてい
な返事へ ん じ
)
2) Kurangnya antusiasme (熱意ね つ い
の欠如けつじょ
)
K. Penghindaran (回避か い ひ
)
1) Nonverbal (非言語的ひ げ ん ご て き
)
a. Diam (沈黙ちんもく
)
b. Ragu-ragu (躊躇ちゅうちょ
)
c. Tidak melakukan apapun
(何もしない)
d. Meninggalkan tempat/
pergi (bersikap tidak acuh)
(その場ば
を離はな
れる)
2) Verbal (言語的げんごてき
)
a. Pengalihan topik
pembicaraan (話題換転わだいかんてん
)
b. Gurauan (冗談じょうだん
)
c. Pengulangan sebagian
dari permohonan, dll
(依頼の一部を繰く
り返かえ
す)
d. Penundaan (延期え ん き
)
e. Berdalih (ヘッジ=言葉
を濁にご
す)
c. “Senin?”
「月曜日?」
d. “Saya akan
memikirkan ini.”
「 考 え て お き ま
す。」
e. “ya. Saya tidak
mengerti.”; “Saya
tidak yakin.”
「うん、分からな
い。;確信かくしん
できな
い。」
Ungkapan tambahan untuk menolak (断りへの付加的ふ か て き
表現)
1. Pernyataan dari opini positif/ perasaan
atau persetujuan (積極的せっきょくてき
な意見/ 感
“Itu ide yang bagus...”; “Dengan
senang hati...”
「それはいい考えだけど。;私
22
情、同意ど う い
の陳述ちんじゅつ
) も…やりたいんだけど。」
2. Pernyataan empati (共感きょうかん
の陳述ちんじゅつ
) “Saya tahu anda dalam keadaan
yang sulit.”
「あなたが大変な状況にいるの
は分かるんだけど。」
3. Pengisi jeda (間を持たせる表現) “uhh”; “hmm”; “oh”
「え~と、え~;うん、あの
う」
4. Rasa terimakasih/ Apresiasi (感謝かんしゃ
/
謝意し ゃ い
)
Berikut adalah rincian dari formula semantik diatas:
I. Direct (Penolakan Langsung)
Strategi yang menampilkan tindak ilokusi2 penolakan yang jelas, tidak
bermakna ambigu dan lebih ringkas. Penolakan yang disampaikan secara
langsung, diantaranya disampaikan sebagai berikut:
A. Menggunakan verba performatif.
Penutur menolak ajakan dengan menggunakan verba yang
menunjukkan tindakan penolakan.
B. Hanya mengatakan tidak.
C. Ungkapan ketidaksanggupan.
Penutur mengungkapkan ketidakmampuannya memenuhi
keinginan mitra tutur.
2 Tindak ilokusi adalah tindakan yang dilakukan dengan menuturkan sebuah tuturan yang memiliki
daya (force) tertentu yang menampilkan fungsi tuturan sesuai dengan konteks tuturan tersebut,
seperti memberitahu, memerintah, melarang dsb (Ibid dalam Anggreni, 2008:11)
23
II. Indirect (Penolakan Tidak Langsung)
Strategi yang tidak termasuk ke dalam ketiga kategori di atas. Di dalam
strategi ini, penolakan dilakukan melalui beberapa tahap dan dapat
dimengerti setelah pengajak menangkap maksud penolakan dari respon
yang diberikan tersebut. Yang termasuk strategi penolakan tidak langsung
adalah sebagai berikut (urutan penulisan tidak berhubungan dengan derajat
ketidaklangsungan strategi):
A. Mengungkapkan penyesalan atau permintaan maaf.
Dalam kasus penolakan, penggunaan strategi ini dipakai dengan
maksud untuk mengungkapkan penyesalan penutur karena tidak
dapat menyanggupi ajakan ataupun permohonan mitra tutur.
B. Harapan
Mengungkapkan harapan untuk dapat ikut berpartisipasi (dalam
undangan) atau dapat mengabulkan permintaan mitra tutur.
C. Alasan, penyebab, penjelasan.
Strategi ini digunakan penutur untuk menjelaskan mengapa
penutur tidak dapat memenuhi keinginan (undangan maupun
permintaan) mitra tutur.
D. Penawaran alternatif
Penutur mengusulkan alternatif lain sebagai pengganti ajakan yang
ditolak dengan maksud tetap menjaga hubungan baik dengan
pengajak.
E. Mengkondisikan waktu dimasa yang akan datang dan masa lalu
24
F. Janji untuk penerimaan dimasa depan
Penutur memberikan pernyataan dan berjanji menyanggupi hal
tersebut.
G. Menyatakan prinsip
H. Menyampaikan filosofi
I. Usaha untuk menghalangi mitra tutur
Penutur berusaha menghalangi/ menentang pendapat mitra tutur
1) Menyatakan pernyataan negatif
2) Rasa bersalah
3) Mengomentari permintaan mitra tutur
4) Meminta pertolongan, empaty dan bantuan
5) Membiarkan mitra tutur (requester) untuk keluar dari tanggung
jawab
6) Pertahanan diri
J. Menerima fungsi tersebut sebagai penolakan
1) Balasan yang tidak spesifik atau tidak terbatas
2) Kurangnya antusiasme
K. Penghindaran.
Penutur menggunakan taktik menunda memberikan respon atas
ajakan yang diberikan.
1) Non-verbal
a. Diam
b. Ragu-ragu
25
c. Tidak melakukan apa-apa
d. Bersikap tidak acuh
2) Verbal
a. Mengalihkan pembicaraan (topik)
b. Membuat candaan
c. Mengulang bagian dari pernyataan
d. Penundaan
e. Berdalih
Tambahan untuk penolakan
1. Pernyataan tentang pendapat positif atau persetujuan. Penutur
mengungkapkan pendapat yang positif atas ajakan yang ditawarkan.
2. Pernyataan empaty
3. Pengisi waktu jeda. Strategi ini digunakan sebagai pengisi waktu antara
selesainya tuturan yang dituturkan pengajak dengan dimulainya tuturan
penolakan yang akan diucapkan penutur.
4. Apresiasi atau terimakasih. Penutur mengekspresikan rasa terima
kasihnya atas ajakan yang ditawarkan kepadanya.
Hasil studi Brown dan Levinson menunjukkan bahwa kayakinan
kebanyakan orang tentang penutur bahasa Jepang tersebut tidak selalu dapat
dibuktikan karena ternyata orang Jepang dapat berbicara dan menolak secara
lugas dan langsung seperti halnya orang Amerika. Hal ini terutama mereka
lakukan terhadap mitra tutur yang status sosialnya relatif lebih rendah daripada
penutur. Akan tetapi, studi itu menunjukkan bahwa semakin mahir orang Jepang
26
tadi dalam berbahasa Inggris, strategi penolakan yang mereka tunjukkan akan
semakin tidak langsung. Hasil penelitian Beebe, Takahashi dan Uliss-Weltz tadi
pun membuktikan bahwa pada level sosiopragmatik, pembelajar menunjukkan
kepekaannya terhadap faktor-faktor sosiokultural3
di luar bahasa seperti
keakraban dengan mitra tutur dan hubungan kekerabatan dalam melakukan
strategi penolakan (Ibid dalam Anggreni, 2008:13).
Beebe, Takahashi dan Ulisse-Welts juga meneliti transfer pragmatik4
dalam penolakan atas permohonan, undangan, penawaran dan saran kepada orang
Jepang berbahasa Jepang, orang Jepang berbahasa Inggris dan orang Amerika
berbahasa Inggris. Hasilnya, ditemukan bahwa informan Jepang cenderung
mengubah gaya bicara mereka berdasarkan status mitra tutur dibandingkan
dengan penutur Inggris Amerika. Selain itu, orang Jepang juga cenderung
mengekspresikan penyesalan atau permintaan maaf ketika memulai penolakan
yang kemudian diikuti dengan pemberian alasan, sementara orang Amerika
hampir selalu memulai penolakan dengan ungkapan positif, seperti “I would like
to...” barulah diikuti dengan ungkapan penyesalan dan alasan.
Demikian pula studi yang dilakukan oleh Ito (1989) dalam Aziz
(Nurbaeti, 2009:8) yang menunjukkan adanya perbedaan realisasi pertuturan
menolak yang dilakukan oleh orang-orang Jepang bila dibandingkan dengan
orang Amerika. Dengan menggunakan pola pikir yang dikembangkan Brown dan
3 Kemampuan sosiokultural adalah kemampuan penutur untuk menentukan apakah suatu tindak
tutur dapat diterima atau cocok dipakai pada situasi tertentu, hingga ke pemilihan satu atau lebih
formula semantik yang tepat pada situasi tindak tutur tersebut (Cohen dalam Anggreni, 2008:13) 4 Transfer pragmatik disini mengacu pada peralihan kemampuan komunikatif sosiokultural bahasa
pertama dalam melakukan tindak tutur ataupun fungsi apapun dari bahasa kedua, dalam usaha
mencapai fungsi tertentu dari bahasa (Beebe, Takahashi dan Uuliss-Weltz dalam Anggreni,
2008:13)
27
Levinson (1987), Ito mengemukakan bahwa orang Jepang lebih suka
menggunakan kesantunan negatif dengan strategi yang samar-samar menunjukkan
penolakan, sementara orang Amerika lebih suka dengan cara langsung
mengatakan tidak dengan kesantunan positif. Cara-cara yang sama yang dilakukan
oleh orang-orang Jepang tersebut, juga ditunjukkan dalam hasil studi yang
dilakukan oleh peneliti lain, seperti Aramaki (1999), Ken Eishuu (2008) dan
Ookura (2002).
2.2. TINJAUAN PUSTAKA
2.2.1. Teori Kesopanan
Sebuah interaksi sosial akan terjalin dengan baik jika ada syarat-syarat
tertentu yang terpenuhi, salah satunya adalah kesadaran akan bentuk sopan santun.
Faktor-faktor yang mempengaruhi suatu percakapan ditinjaui dari tingkat
kesopanan sosialnya antara lain, usia, kekuasaan, tingkat formalitas, keadaan, dan
wilayah bahasa. Holmes dalam Kuntjara (2003:36) mendefinisikan kesopanan
sebagai “Behavior which actively expresess positive concern for other , as well as
non-imposing distancing behavior” yaitu sikap yang menyatakan keprihatinan
yang positif pada orang lain, serta sikap menjaga jarak yang sifatnya tidak
memaksa.
Sedangkan Brown dan Levinson dalam Kuntjara (2003:35)
mendevinisikan kesopanan sebagai “Redressive actios taken to counter balance
the disruptive effect of Face Threatening Act” yaitu perbuatan yang dilakukan
untuk mengatasi akibat yang merugikan disebabkan oleh ancaman yang
28
memalukan. Sikap dan perbuatan ini menurut Brown dan Levinson menunjukan
suatu usaha untuk melindungi muka5 lawan bicaranya dalam dua hal. Pertama,
muka negatif seseorang, yaitu yang merujuk pada keinginan orang yang diajak
bicara untuk tidak diganggu dan dipaksakan untuk melakukan kehendak
pembicara. Kedua, muka positif seseorang, yaitu yang merujuk pada keinginan
orang yang diajak bicara untuk disukai, dikagumi, diterima oleh orang lain dan
diperlakukan sebagai bagian dari suatu kelompok. Karena ada dua sisi muka yang
terancam yaitu muka negatif dan muka positif, maka kesantunan pun dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif)
dan kesantunan positif (untuk menjaga muka positif). Dengan kata lain kesopanan
negatif merupakan ujaran yang menunjukkan rasa hormat dan kesopanan positif
merupakkan ujaran untuk menunjukkan rasa kesetia-kawanan. Perbuatan atau
ucapan yang ditunjukan pada muka negatif dan muka positif seseorang ini disebut
oleh Brown dan Levinson sebagai Face Threatening Act (FTA)6 atau perbuatan
yang mengancam muka seseorang dan yang bisa mempermalukannya.
Biasanya orang akan melakukan strategi-strategi tertentu untuk melakukan
perbuatan FTA ini. Brown dan Levinson menunjukkan dua strategi yang sering
dipakai banyak orang. Strategi yang pertama disebut sebagai tindak kesopanan
yang positif atau possitive politeness. Tindak sopan santun yang positif ini bersifat
meminimalisasikan FTA dengan cara penutur meyakinkan pada mitra tutur dan
berusaha untuk memenuhi harapan mitra tutur. Dalam tindak sopan santun yang
5 Face - “muka” didefinisikan sebagai “harga diri individu” atau “citra diri masyarakat yang setiap
anggotanya ingin untuk menegaskan dirinya” (Nurbaeti, 2009:13) 6 Face-Threatening Act (tindakan mengancam wajah). FTA adalah suatu ancaman bagi setiap
wajah seseorang dan wajahnya sendiri, dengan membuat suatu pertanyaan, saran, dengan
mengkritiknya, menyarankan atau mengungkapkan kesalahan, terima kasih dan sebagainya.
29
sifatnya negatif atau negative politeness, penutur mencoba manyampaikan pada
mitra tutur dan tidak ingin memaksakan mitra tutur untuk melakukan apa yang
diinginkan oleh penutur.
Ada lima tipe strategi kesantunan dalam menghadapi FTA yang diuraikan
oleh mereka. Berikut ini adalah gambaran strategi kesantunan Brown dan
Levinson.
Plan Strategy
Do the FTA Don’t do the FTA
on record off record
bald on record face saving act
possitive politeness negative politeness
Lesser - - - - - - - - - - - - - (FTA の重さ) - - - - - - - - - - - - - Greater
Adapun penjelasan dari gambar diatas adalah sebagai berikut:
1. Don’t do the FTA, penutur sama sekali menghindari FTA yang mengganggu
mitra tutur. Dengan begitu, tentunya penutur juga gagal untuk mencapai
komunikasi yang diinginkannya. Oleh karena tidak adanya refleks linguistik
yang menarik dari strategi ini, Brown dan Levinson tidak membahasnya.
30
2. Off Record, yaitu strategi tidak langsung, menghindari gangguan secara
eksplisit dan tegas terhadap mitra tutur.
3. Negative Politeness, yaitu strategi yang berorientasi pada keinginan mitra
tutur yang tidak dirintangi. Serupa dengan positive politeness, penutur
mengakui bahwa mitra tutur ingin dihormati, tetap penutur juga menganggap
bahwa dia memaksa/ mengganggu mitra tutur, sehingga penutur memberikan
kebebasan kepada mitra tutur untuk menanggapi FTA yang dilakukan penutur.
Strategi ini mengekspresikan pengendalian dan penghindaran penutur atas
gangguan terhadap mitra tutur.
4. Positive Politeness, yaitu strategi yang berorientasi pada citra positif yang
dituntut oleh mitra tutur; penutur mengakui keinginan mitra tutur agar
keinginannya dihormati. Dalam hal ini, FTA diperkecil dengan jaminan
bahwa umumnya penutur menginginkan beberapa keinginan mitra tutur,
seperti keinginan mitra tutur untuk dihormati hak dan kewajibannya. Karena
sama seperti mitra tutur, penutur berharap FTA yang dilakukannya tidak
menjadi evaluasi negatif di muka mitra tutur. Strategi ini mengekspresikan
solidaritas, keramah-tamahan dan dalam hubungan timbal balik.
5. Bald On Record, yaitu strategi yang tidak ada usaha untuk meminimalkan
ancaman terhadap “muka” mitra tutur. Strategi ini dilakukan secara terus
terang, jelas, tidak ambigu dan singkat.
31
2.2.2. Penolakan dan Kebudayaan Jepang
Sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, manusia tidak
dapat lepas dari bantuan orang lain. Untuk itu setiap hari manusia berinteraksi
dengan manusia lain. Untuk dapat berinteraksi dengan baik, manusia melakukan
komunikasi. Dalam berkomunikasi, manusia berhak agar privasi dan hubungan
sosialnya dengan orang lain tidak rusak (Nurbaeti, 2009:12). Namun ada kalanya
saat berkomunikasi, manusia dihadapkan pada situasi yang sulit ketika harus
menolak ajakan ataupun permohonan orang. Tidak jarang situasi seperti ini
menimbulkan kesalahpahaman terlebih jika penutur dan mitra tutur berasal dari
budaya yang berbeda. Kartomihardjo (1993) dalam Anggreni (2008:16)
menyatakan penolakan adalah sebuah respon atau reaksi negatif yang diberikan
untuk menjawab sebuah permintaan, ajakan dan tawaran. Strategi penolakan di
setiap negara tentunya bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya dan
kebiasaan setempat. Seseorang yang baru masuk ke dalam budaya baru harus
dapat menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Dalam komunikasi antar
budaya7, terkadang muncul kesalahpahaman di antara penutur asli dengan bukan
penutur asli yang menggunakan bahasa yang sama tetapi tidak dapat
menyampiakan pesan yang sama dalam berkomunikasi (Yamagashira dalam
Anggreni, 2008). Contoh perbedaan budaya yang sangat bertolak belakang adalah
budaya Jepang dan Amerika. Pada penolakan dalam budaya Jepang penyampaian
dilakukan dengan samar-samar, menghindari ungkapan penolakan langsung
(indirect), pemilihan bahasa memperhatikan status mitra tutur, menyampaikan
7 Komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan,
misalnya antar suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial (Samovar dan Porter, 1976:25)
32
rasa panyesalan dan sebagainya. Sedangkan penolakan yang dilakukan oleh orang
Amerika cenderung to the point, jelas dan tidak ambigu.
Namun bukan berarti orang Jepang tidak pernah mengatakan iie. Mereka
akan dengan mudah mengatakan kata iie apabila makna dari iie tersebut tidak
akan menyakiti dan mengganggu hubungan dengan lawan bicara (Budiarsih,
2006:19). Osamu dan Nobuko (1989) dalam Budiarsih (2006) menyatakan
“「ノー」と言っても、人を傷つけたり、人間関係を危うくするおそれが
ない場合には、安心して「ノー」と言う。” (“no” to ittemo, hito o kizutari,
ningen kankei o ayauku suru osorega nai baai niwa, anshinshite “no” to iu.)
(Akan dengan tenang mengatakan “tidak” apabila tidak menyakiti dan
mengganggu hubungan dengan orang lain.). Mizutani Osamu et al dalam Nurbaeti
(2009:18) menuliskan, kata-kata seperti (dame da) “jangan”, (iya da) “tidak”,
(chigatte iru yo) “berbeda”, (iie) “tidak”, (dame) “jangan”, (machigai) “salah”,
merupakan kata-kata yang digunakan dalam hubungan saudara dan rekan sejawat.
Terhadap orang yang sepertinya harus membangun jarak, misalnya terhadap
atasan, penggunaan kata iie bukanlah suatu kondisi hubungan yang umum/ normal,
melainkan cenderung berperan untuk menyatakan hal yang kurang/ tidak
menghormati maksud dan perasaan mitra tutur. Dari kutipan tersebut, penulis
menyimpulkan bahwa kata-kata penolakan pada masyarakat Jepang yang
disampaikan secara langsung hanya dapat dipakai pada orang dalam (内 ) yang
mempunyai hubungan yang erat dengan penutur atau pada orang yang status
sosial/ usia lebih rendah dari penutur.
33
Hal tersebut tidak lepas dari pengaruh budaya masyarakat Jepang.
Penutur asli bahasa Jepang biasanya bicara dengan menghindari menyatakan
dengan tegas sebuah penolakan (Ibid dalam Anggreni, 2008:18), sehingga kata-
kata permintaan maaf disertai pernyataan penyesalan pun bisa dipakai orang
Jepang untuk memperhalus pernyataan penolakan. Bahkan pernyataan yang
bermakna ambigu pun terkadang digunakan orang Jepang untuk menghindari
pernyataan penolakan secara langsung. Hal ini merupakan dampak dari pemikiran
orang Jepang yang berlandaskan budaya amae (甘え)8. Selain itu, budaya Jepang
yang mempengaruhi pemikiran masyarakat Jepang dalam mengungkapkan
penolakan adalah enryo. Enryo berarti keseganan (Matsuura, 1994:166) dan dapat
diterjemahkan dengan pengendalian atau sikap hati-hati. Enryo menghalangi
pembicara Jepang untuk menyampaikan keinginannya secara langsung. Juga,
secara kultural dianggap kurang sopan meminta langsung pada orang lain atas apa
yang diinginkan. Selanjutnya adalah omoyari yang berarti keseganan, tenggang
rasa (Matsuura, 1994:764). Maksud dari budaya omoyari ini adalah lazimnya
orang Jepang melakukan empaty kepada mitra tutur, dapat merasakan apa yang
orang lain rasakan seolah-olah mengalami sendiri. Selain itu, budaya Jepang juga
tidak lepas dari budaya enkyoku yang artinya tidak langsung, terselubung,
tersamar (Matsuura, 166). Makna ungkapan ini dalam dunia bahasa dimaksudkan
sebagai mengutarakan sesuatu dengan cara melingkar. Jadi, apabila seseorang
ingin langsung mengutarakan maksud hatinya kepada mitra tutur, maka orang
terebut tidak berkata langsung pada pokok pernasalahannya, tetapi menggunakan
8 Amae diartikan sebagai kebergantungan terhadap kebaikan atau anggapan orang lain. (Ibid dalam
Anggreni, 2008:18)
34
ungkapann lain yang bersifat berputar. Dalam proses ini dia berusaha memberikan
bayangan kepada mitra tutur apa yang manjadi tujuan dari pembicaraannya
(Edizal dalam Nurbaeti, 2009:20).
2.2.3. Ungkapan dan Strategi Penolakan
Ungkapan yang biasa digunakan dalam menolak suatu ajakan atau
undangan adalah 「~はちょっと。」9、「~は、ちょっと...なの
で。」. Terdapat beberapa opsi pilihan ketika menolak ajakan atau undangan dari
orang lain, hal tersebut tergantung kepada individu masing-masing bagaimana
memilih ungkapan penolakan yang benar sesuai dengan status ataupun kedekatan
penutur dengan mitra tutur. Contohnya sebagai berikut:
[誘い] 一緒に映画に行きませんか。
[sasoi] isshoni eigani ikimasenka.
[Ajakan] (maukah pergi ke bioskop bersama?)
[断り] すみません。今ちょっと...。
[kotowari] (sumimasen. Ima chotto....)
[kotowari] (maaf, sekarang sedikit...)
いいえ、今日は...。
(iie, kyouwa....)
(tidak, hari ini...)
すみません。実は用事があって...。
(sumimasen. Jitsuwa youjiga atte....)
(maaf. Sebenarnya sudah ada keperluan....)
ああ、今日はちょっと都合がわるいんです...。
(aa, kyouwa chotto tsugou ga waruindesu....)
(hmm, hari ini maaf sedang tidak enak badan.)
(Ichigawa, 2005:103)
9「~は、ちょっと。」adalah ungkapan yang menunjukkan perasaan negatif.
35
Ketika menolak suatu ajakan, biasanya diikuti oleh ungkapan permintaan
maaf, ungkapan harapan untuk kesempatan yang akan datang dan mengemukakan
alasan penolakan.
Berikut adalah contoh penggunaan ungkapan penolakan:
A: これから飲みに行くんだけど、一緒に行こうよ。
(kore kara nomini ikundakedo, isshoni ikouyo.)
(saya bermaksud pergi untuk minum, ayo pergi bersama.)
B: 今日はちょっと。また今度誘ってください。
(kyouwa chotto. Mata kondo sasotte kudasai.)
(hari ini maaf... tolong undang lain waku.)
A: これから飲みに行くんだけど、一緒に行こうよ。
(korekara nomini ikundakedo, isshoni ikouyo.)
(saya bermaksud pergi untuk minum, ayo pergi bersama.)
B: 今日は、お酒はちょっと。明日、朝早いんです。
(kyouwa, osakewa chotto. Ashita, asa hayaindesu. )
(hari ini, tidak minum sake... besok harus berangkat lebih pagi.)
A: これから飲みに行くんだけど、一緒に行こうよ。
(korekara nomini ikundakedo, isshoni ikouyo.)
(saya bermaksud pergi untuk minum, ayo pergi bersama.)
B: 今日はちょっと用事があるんです。すみません。
(kyouha chotto youjiga arundesu. Sumimasen.)
(hari ini maaf (tidak bisa) sudah ada keperluan. Maaf.)
Seperti yang telah penulis utarakan diatas, ketika menyampaikan
penolakan hendaknya memberikan alasan yang spesifik. Berikut ini adalah
ungkapan yang biasa dipakai untuk menjelaskan alasan penolakan yang spesifik.
ちょっと用事がありますので。
(chotto youjiga arimasu node.)
(maaf, karena sudah ada keperluan.)
先約がありまして。
(senyakuga arimashite.)
(sudah ada janji sebelumnya.)
36
これから出かけますので。
(korekara dekakemasunode.)
(saya akan segera pergi sekarang.)
先約がある。
(yakusokuga aru.)
(sudah ada janji sebelumnya.)
Selanjutnya adalah mengungkapkan harapan untuk kesempatan yang
akan datang. Dalam mengungkapkan penolakan, mengungkapakan harapan untuk
kesempatan yang akan datang juga digunakan. Berikut ini adalah ungkapan
pengharapan kesempatan yang akan datang.
また、誘ってください。
(mata sasotte kudasai.)
(tolong undang.)
また、今度誘ってください。
(mata, kondo sasotte kudasai.)
(tolong undang di lain waktu.)
また、是非誘ってください。
(mata, zehi sasottekudasai.)
(lain kali tolong diundang ya!)
また、次の機会に誘ってください。
(mata, tsugino kikaini sasotte kudasai.)
(tolong undang di kesempatan berikutnya.)
また、機会があれば、誘ってください。
(mata, kikaiga areba, sasotte kudasai.)
(jika ada kesempatan lain, tolong undang.)
Pada situasi yang ringan, dapat juga menggunakan ungkapan penolakan
seperti dibawah ini.
また、今度にしとくよ10。
(mata, kondoni shitokuyo.)
(lain waktu akan saya persiapkan.)
10
「しとく」adalah ragam lisan dari「しておく」
37
また、今度にしよう(よ)。
(mata, kondoni shiyou.)
(kita kerjakan di lain waktu)
また、今度にしない?
(mata, kondoni shinai?)
(bisakah dikerjakan dilain waktu?)
今度は付き合うから。
(kondowa tsukiau kara)
(lain kali akan menemani.)
Berikut ini adalah contoh ungkapan penolakan yang halus dan sopan.
「悪いけど(悪いんだけど)/ 悪いのですが」
(warui kedo (waruin dakedo)/ waruino desuga)
(tidak bagus yaa..)
「残念だけど / 残念ですが(残念なのですが)」
(zannendakedo/ zanendesuga (zanennano desuga))
(sayang sekali...)
「せっかくだけど/ せっかくですが」
(sekkaku dakedo/ sekkaku desuga)
(sayang sekali...)
「本当は [行きたい] んだけど / 是非 [行きたい] のですが」
(hontouwa [ikitai] n dakedo/ zehi [ikitai]no desuga)
(sebenarnya ingin pergi, tapi... )
Menurut teori yang diadopsi dari Ookura (2002), unsur-unsur pembentuk
ungkapan penolakan dalam bahasa Japang adalah sebagai berikut:
1) よびかけ (yobikake) (Panggilan)
2) 侘び (wabi) (Permintaan Maaf)
3) 理由 (riyuu) (Alasan)
4) 欠席 (kesseki) (Ketidakikutsertaan)
5) こと言及 (koto genkyuu) (Menyebutkan Acara)
38
6) 招待感謝 (shoutai kansha) (Mengekspresikan Rasa Terimakasih Atas
Undangannya)
7) 招待言及 (shoutai genkyuu) (Penyebutan Undangan)
8) 前回約束 (zenkai yakushouku) (Janji Sebelumnya)
9) 期待表明 (kitai hyoumei) (Mengekspresikan Harapan)
10) 期待祈念 (kitai kinen) (Mendoakan/ Harapan)
11) 残念 (zannen) (Penyesalan)
12) 出席努力 (shusseki doryoku) (Usaha Kehadiran)
13) 謝辞 (shaji) (Ucapan Terimakasih)
14) 辞去 (jikyo) (Pamit)
15) 出席参加願望 (shusseki sanka kibou) (Keinginan Kehadiran)
16) その他 (sono ta) (Lain-lain)
2.2.4. Komunikasi Antar Budaya
Menurut Mulyana dan Rakhmat (Mulyana, 2007:59), komunikasi
antarbudaya adalah sumber dan penerimanya berasal dari budaya yang berbeda-
beda. Komunikasi antarbudaya terjadi bila pemberi pesan adalah anggota suatu
budaya lainnya. Dengan demikian, komunikasi antarbudaya dalam banyak ragam
yang situasi yang berkisar dari interaksi-interaksi antarorang yang berbeda yang
mempunyai budaya dominan yang sama, namun mempunyai subkultur atau
subkelompok yang berbeda.
Hubungan antara budaya dan komunikasi bersifat timbal balik dan saling
mempengaruhi. Perbedaan budaya sangat berpengaruh terhadap proses
39
komunikasi. Agar terciptanya komunikasi antarbudaya yang berhasil, ada
beberapa faktor budaya yang harus diperhatikan. Berikut adalah standar etika
komunikasi menurut K.S Sitaram dan Roy Cogdell yang dikutip oleh Johannesen
dalam Deddy Mulyana:
1. Memperlakukan budaya khalayak dengan penghormatan yang sama
diberikan terhadap budaya sendiri.
2. Memahami landasan budaya dan nilai-nilai orang lain.
3. Tidak pernah menganggap lebih tinggi standar etika yang diyakininya
dibanding dengan etika orang lain.
4. Berusaha keras memahami kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan orang lain.
5. Menghargai cara berpakaian orang-orang dari budaya lain.
6. Tidak memandang rendah orang lain karena ia berbicara dengan aksen
yang berbeda dari aksen seseorang.
7. Tidak menciptakan suasana untuk menebalkan stereotip tentang orang lain.
8. Tidak memaksakan nilai yang diyakininya kepada orang yang berbeda
budaya.
9. Berhati-hati dengan simbol non-verbal yang digunakna pada budaya lain.
10. Tidak berbicara dengan bahasa yang sama dengan orang dari budaya yang
sama dihadapan orang yang tidak mengerti bahasa tersebut.
Berdasarkan dari standar etika yang telah dikemukakan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa standar etika dapat dikategorika kedalam tiga hal, yaitu:
40
a. Kognitif (pengetahuan)
Pengetahuan tentang budaya lain, memahami landasan nilai-nilai budaya
dan kebiasaan sangat diperlukan dalam komunikasi antarbudaya. Menurut
Mulyana (Mulyana, 2007:60), ketika kita berkomunikasi dengan orang
dari suku, agama atau ras yang bebeda, kita dihadapkan dengan sistem
nilai atau aturan yang berbeda. Oleh karena itu, memahami sistem nilai
orang lain adalah suatu keharusan.
b. Afektif (sikap)
Sikap terhadap budaya lain hendaknya menghargai dan tidak memandang
rendah budaya lain serta harus memperhatikan prilaku non-verbal, seperti:
kontak mata, ekspresi wajah, nada suara, senyuman, gerakan isyarat dan
sejenisnya, dalam komunikasi antar budaya sebab prilaku non-verbal
budaya A dapat jauh berbeda dengan budaya B. Prilaku non-verbal yang
salah digunakan kepada orang yang berbeda budaya bisa dinilai tidak etis.
c. Psikomotorik (perilaku)
Berkomunikasi dengan orang yang berbeda budaya perlu adanya rasa
menghormari budaya tersebut dengan segala aspeknya, serta perlu
menghindari stereotip, yaitu generalisasi yang bersifat negatif atas
sekelompok orang atau (suku, agama dan rasa) dengan mengabaikan
perbedaan-perbedaan individual. Sehingga komunikasi antar budaya yang
berbeda akan berjalan baik.
41
2.3. FAKTOR PENGHAMBAT KOMUNIKASI
Menurut Mulyana (2007) dalam berkomunikasi, sering muncul masalah-
masalah yang dapat menghambat komunikasi. Untuk dapat berkomunikasi dengan
baik, maka perlu memperhatikan faktor-faktor apa saja yang dapat menghambat
komunikasi. Berikut ini adalah faktor-faktor penghambat komunikasi:
a. Kreadibilitas penutur rendah
Penutur yang tidak berwibawa di hadapan mitra tutur, menyebabkan
berkurangnya perhatian mitra tutur terhadap penutur.
b. Kurang memahami latar belakang sosial dan budaya
Nilai-nilai sosial budaya yang berlaku di suatu komunitas atau masyarakat
harus diperhatikan, sehingga penutur dapat menyampaikan pesan dengan
baik, tidak bertentangan dengan nilai-nilai sosial budaya yang berlaku.
Sebaliknya, antara pihak-pihak yang berkomunikasi perlu menyesuaikan
diri dengan kebiasaan yang berlaku.
c. Kurang memahami karakteristik mitra tutur
Karakteristik mitra tutur meliputi tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin
dan sebagainya perlu dipahami oleh penutur. Apabila penutur kurang
memahami, cara komunikasi yang dipilih mungkin tidak sesuai dengan
karakteristik mitra tutur dan hal ini dapat menghambat komunikasi karena
dapat menimbulkan kesalah pahaman.
d. Prasangka buruk
Prasangka negatif antara pihak-pihak yang terlibat komunikasi harus
dihindari, karena dapat mendorong ke arah sikap apatis dan penolakan.
42
e. Verbalistis
Komunikasi yang hanya berupa penjelasan verbal berupa kata-kata saja
akan membosankan dan mengaburkan mitra tutur dalam memahami
makna pesan.
f. Komunikasi satu arah
Komunikasi berjalan satu arah, dari penutur kepada mitra tutur terus
menerus dari awal sampai akhir, menyebabkan hilangnya kesempatan
mitra tutur untuk meminta penjelasan terhadap hal-hal yang belum
dimengerti.
g. Tidak digunakan media yang tepat
Pilihan penggunaan media yang tidak tepat menyebabkan pesan yang
disampaikan sukar dipahami oleh mitra tutur.
h. Perbedaan bahasa
Perbedaan bahasa menyebabkan terjadinya prbedaan penafsiran terhadap
simbol-simbol tertentu.