BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43893/3/BAB II.pdf · total biaya...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43893/3/BAB II.pdf · total biaya...
5
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada Bab II ini akan dijelaskan mengenai konsep, teori dan literatur yang
digunakan dalam penelitian ini sebagai dasar dan penunjang pembahasan terhadap
topik masalah Multiproduct Multivehicle Inventory Routing Problem. Adapun teori
yang akan dibahas di antaranya tentang sistem distribusi dan transportasi, konsep
manajemen persediaan, konsep pemrograman linier, Vehicle Routing Problem dan
Inventory Routing Problem.
2.1 Sistem Distribusi dan Transportasi
Sebagai bagian dari Supply Chain Management, logistik memiliki peranan
penting dalam perusahaan. Logistik berpengaruh besar terhadap biaya dan
keputusan perusahaan yang akhirnya akan mempengaruhi service level pada tiap
konsumen. Logistik adalah pengaturan sumber daya secara tepat waktu dalam
tempat yang tepat dengan biaya dan kualitas yang tepat (Rushton, et al., 2010).
Suatu sistem rantai pasok terdiri atas semua pihak yang terlibat dalam proses
pemenuhan permintaan konsumen, yang meliputi pihak pemasok, manufaktur,
distributor, retailer, dan konsumen. Dalam memenuhi permintaan konsumen, suatu
sistem rantai pasok biasanya memiliki fungsi distribusi (Chopra & Meindl, 2007).
Distribusi merupakan tahapan pemindahan dan penyampaian sebuah produk dari
supplier ke customer dalam supply chain (Chopra, 2003). Sedangkan Menurut Toth
& Vigo (2002), pendistribusian merupakan aktivitas pemilihan rute yang
dikunjungi, jumlah kendaraan yang digunakan saat pengiriman dan penyeimbangan
rute dengan tujuan agar dapat meminimalkan ongkos perjalanan. Secara garis besar,
distribusi merupakan pergerakan bahan maupun komoditas dari satu titik ke titik
lainnya dalam rantai pasok, dan termasuk di dalamnya adalah transportasi (atau
pengangkutan) dan pergudangan (Russell & Taylor, 2009).
Menurut Chopra (2003), sebagai penggerak kunci keuntungan dari
perusahaan, distribusi mempunyai pengaruh pada biaya supply chain dan
pengalaman customer. Karena pendistribusian yang baik dapat digunakan untuk
mencapai tujuan rantai pasok, dari meminimalkan biaya sampai meningkatkan
6
respons (Chopra, 2003). Salah satu cara untuk melakukan pendistribusian yang baik
yaitu dengan melakukan perancangan jaringan distribusi. Perubahan pada jaringan
distribusi secara tepat dapat mempengaruhi biaya inventory, transportasi, fasilitas
dan biaya handling. Oleh karena itu, tujuan dari proses perancangan jaringan
distribusi yaitu untuk menemukan keseimbangan optimal antara biaya fasilitas,
transportasi dan inventory (Perl & Sirisoponsilp, 1988). Dengan penerapan strategi
pada kegiatan distribusi dapat meminimalkan biaya transportasi dan inventory
(Burns, et al., 1985).
Menurut Nasution (2015), transportasi didefinisikan sebagai pemindahan
barang dan sumber daya dari tempat asal ke tempat tujuan. Dalam proses distribusi
fisik, diperlukan proses transportasi untuk memindahkan satu komoditas dari satu
tempat ke tempat lain dalam suatu rantai pasok. Dua pihak yang terlibat dalam
proses transportasi dalam rantai pasok adalah pengirim (shipper) dan pengangkut
(carrier). Adapun beberapa mode transportasi yang dapat dipilih dalam
pengangkutan komoditas dalam rantai pasok, antara lain: transportasi udara,
transportasi perairan, pipa, kereta, truk, jasa kurir, maupun kombinasi dari moda
transportasi yang ada (intermodal) (Chopra & Meindl, 2007). Keputusan pemilihan
transportasi mempengaruhi trade-off antara biaya transportasi dan biaya inventory.
Bagaimanapun, keputusan penentuan transportasi secara tepat akan meminimalkan
total biaya transportasi dan inventory (Perl & Sirisoponsilp, 1988).
2.1.1 Komponen Biaya Transportasi
Dalam pendistribusian produk, biaya transportasi berkontribusi besar pada
total biaya logistik. biaya yang dikeluarkan oleh transportasi sebesar lebih dari 30%
dari biaya logistik (Ganeshan & Harrison, 1995). Sedangkan menurut Ballou
(1999), pengeluaran biaya untuk transportasi sebesar 1/3 sampai dengan 2/3 dari
total biaya logistik. Oleh karena itu, upaya efisiensi melalui optimalisasi
penggunaan alat transportasi dan personilnya menjadi perhatian penting. Menurut
Nasution (2015) komponen biaya dibedakan menjadi biaya tetap (fixed cost) dan
biaya variabel (variable cost). Biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak
berubah dengan adanya output suatu operasi. Biaya tetap dalam transportasi
7
meliputi biaya modal, biaya sewa atau depresiasi kendaraan, biaya perizinan dan
administrasi dan biaya asuransi. Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang
besarnya berubah-ubah menurut perubahan output. Biaya variabel meliputi biaya
bahan bakar, biaya perawatan dan perbaikan, biaya pengemudi, dan biaya retribusi.
Sedangkan menurut Tseng (2004) biaya transportasi meliputi biaya koridor,
kontainer, palet, terminal, pegawai dan waktu.
2.1.2 Keputusan Persediaan dalam Sistem Distribusi dan Transportasi
Sebagai salah satu dari penggerak dasar Supply Chain Management,
keputusan transportasi dan persediaan memiliki peranan penting dalam sebuah
perusahaan khususnya pada kegiatan distribusi. Menurut Perl & Sirisoponsilp
(1988) keputusan transportasi terbagi ke dalam tiga tingkatan yaitu keputusan
strategis, taktis dan operasional. Keputusan strategis transportasi meliputi
keputusan pemilihan mode transportasi, tipe pengangkut (digunakan bersama,
kontrak atau milik sendiri). Keputusan taktis meliputi pemilihan alat pengangkut
dalam mode yang terpilih dan penentuan frekuensi pengiriman. Keputusan
operasional meliputi alokasi muatan ke kendaraan, penjadwalan dan penentuan rute
kendaraan serta penugasan kru. Sedangkan dalam keputusan persediaan terdapat
keputusan strategis dan taktis. Keputusan strategis persediaan meliputi total tingkat
persediaan di sistem dan lokasi persediaan. Sedangkan keputusan taktis meliputi
penentuan ukuran persediaan, tingkat persediaan pengaman dan pengendalian pada
lokasi yang berbeda. Sehingga antara dua keputusan ini mempunyai keterkaitan
yang saling mempengaruhi. Keterkaitan antara dua keputusan tersebut telah
dijabarkan dalam Perl & Sirisoponsilp (1988) dan Jayaraman (1998).
Transportasi telah dikenal sejak dulu sebagai salah satu aktivitas penting
dalam fungsi distribusi fisik. Menurut Andersson, et al. (2010) pentingnya integrasi
antara keputusan transportasi dan persediaan yaitu untuk menjamin tingkat
persediaan agar tidak melebihi batas atas atau kurang dari batas bawah. Karena itu
penentuan kebijakan optimal untuk susunan sistem persediaan adalah keputusan
yang sulit. Beberapa literatur telah mengembangkan integrasi keputusan
transportasi - persediaan seperti dalam Santoso, et al. (2008, 2009) dan Andersson,
8
et al. (2010) dengan tujuan akhir untuk meminimalkan total biaya transportasi dan
persediaan. Baumol & Vinod (1970) merupakan yang pertama mencoba
menentukan pilihan shipper dari pilihan transportasi dalam pasar tunggal dan
hasilnya dipandang sebagai model yang menetapkan total biaya transportasi dan
persediaan yang berhubungan dengan pilihan transportasi.
2.2 Konsep Manajemen Persediaan
Pada setiap perusahaan, baik perusahaan kecil, perusahaan sedang maupun
perusahaan besar, persediaan sangat penting bagi kelangsungan hidup perusahaan.
Menurut Assauri (2004), persediaan merupakan sejumlah bahan-bahan yang
disediakan dan bahan-bahan dalam proses yang terdapat dalam perusahaan untuk
proses produksi, serta barang jadi atau produk yang disediakan untuk memenuhi
permintaan dari customer setiap waktu. Pada prinsipnya persediaan adalah sumber
daya yang menganggur (idle resources) yang keberadaannya menunggu proses
lebih lanjut, maksud lebih lanjut di sini dapat berupa kegiatan produksi seperti yang
dijumpai pada kegiatan manufaktur, kegiatan pemasaran yang dijumpai pada sistem
distribusi maupun kegiatan konsumsi seperti dijumpai pada sistem rumah tangga,
perkantoran dan lainnya (Bahagia, 2006).
Manajemen persediaan adalah kemampuan suatu perusahaan dalam mengatur
dan mengelola setiap kebutuhan barang baik barang mentah, barang setengah jadi
maupun barang jadi agar selalu tersedia baik dalam kondisi pasar yang stabil dan
berfluktuasi (Fahmi, 2012). Persediaan dalam suatu unit usaha dapat dikategorikan
sebagai modal kerja yang berbentuk barang. Keberadaannya tidak hanya dianggap
sebagai beban (liability) karena merupakan pemborosan (waste) tetapi juga
sekaligus dianggap sebagai kekayaan (asset) yang dapat dicairkan dalam bentuk
uang tunai. Karena merupakan sebuah pemborosan, keberadaan persediaan perlu
dieliminasi. Jika tidak memungkinkan untuk dieliminasi maka harus diminimalkan
dengan menjamin bahwa pemenuhan permintaan pemakainya tetap lancar. Secara
ideal persediaan tidak perlu ada, tetapi semua permintaan pemakai harus dapat
dipenuhi pada saat itu juga.
9
Di sisi lain, jika persediaan tidak tersedia atau tersedia dalam jumlah sedikit
dan tidak mencukupi, peluang terjadinya kekurangan persediaan (stockout) akan
semakin besar. Akibatnya, permintaan pemakai tidak dapat dipenuhi sehingga akan
menimbulkan ketidakpuasan pada pemakai. Hal ini mengakibatkan pemakai akan
lari ke usaha lain dan menjadi kerugian bagi perusahaan. Dengan demikian
keberadaan sebuah persediaan dalam suatu unit usaha perlu diatur sehingga
kelancaran pemenuhan permintaan pemakai dapat terjamin dan biaya yang
ditimbulkan menjadi sekecil mungkin. Oleh karena itu, tujuan manajemen
persediaan dapat disimpulkan sebagai melakukan pengelolaan persediaan dengan
tepat, sehingga biaya yang dikeluarkan lebih efisien dapat di saat bersamaan juga
mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada pelanggan dengan cara selalu
memenuhi permintaan.
2.2.1 Komponen Biaya Persediaan
Masalah utama yang ingin dicapai dalam pengendalian persediaan yaitu
meminimalkan total biaya persediaan. Berbagai macam biaya perlu diperhitungkan
pada saat mengevaluasi masalah persediaan. Biaya persediaan dikeluarkan sebesar
20% sampai 40% dari nilai harga (Ganeshan & Harrison, 1995). Dalam bukunya,
Joko (2004), menguraikan biaya-biaya dalam sistem persediaan di antaranya biaya
pengadaan (procurement cost), biaya penyimpanan (holding cost) dan biaya
kekurangan persediaan (stockout cost).
Biaya pengadaan (procurement cost) yaitu komponen biaya yang dikeluarkan
untuk memesan dan mengadakan barang sehingga siap untuk digunakan atau
diproses lebih lanjut. Biaya pengadaan ini meliputi biaya pembelian (purchasing
cost) dan biaya pengadaan barang (procurement cost). Biaya pembelian merupakan
biaya yang dikeluarkan untuk membeli barang. Jumlah barang yang dibeli dan
harga satuan barang tersebut akan berpengaruh terhadap biaya pembelian. Dalam
hal ini biaya pembelian bersifat variabel karena tergantung pada jumlah yang
dipesan. Pada biaya pengadaan barang (procurement cost), jika berdasarkan asal
barangnya, biaya pengadaan dibedakan menjadi dua yaitu biaya pembuatan dan
biaya pemesanan (ordering cost). Biaya pembuatan dikeluarkan jika barang yang
10
dibutuhkan diperoleh dengan cara diproduksi sendiri. Biaya ini timbul di dalam
lingkup pabrik yang meliputi penyusunan peralatan produksi, menyetel mesin,
penyusunan barang di gudang dan lain sebagainya. Sedangkan, biaya pemesanan
yaitu biaya yang dikeluarkan jika barang yang dibutuhkan diperoleh dari pihak luar.
Biaya ini meliputi biaya untuk menentukan supplier, pembuatan pesanan,
pengiriman pesanan, biaya pengangkutan, biaya penerimaan dan sebagainya. Biaya
ini sering diasumsikan konstan setiap kali pesan. Perhitungan biaya pemesanan
ditunjukkan pada rumus (1) berikut (Bahagia, 2006).
𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑚𝑒𝑠𝑎𝑛𝑎𝑛 = 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑖𝑛𝑡𝑎𝑎𝑛 × 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑟 𝑝𝑒𝑠𝑎𝑛 (1)
Biaya penyimpanan (holding cost) adalah semua pengeluaran biaya yang
timbul akibat menyimpan persediaan. Biaya-biaya ini meliputi biaya memiliki
persediaan (biaya modal), biaya kerusakan dan penyusutan, biaya gudang, biaya
administrasi dan pemindahan, biaya asuransi dan biaya kadaluwarsa. Biaya
memiliki persediaan (biaya modal) timbul karena adanya penumpukan barang di
gudang yang berarti penumpukan modal kerja, di mana modal perusahaan memiliki
nilai yang dapat diukur dengan suku bunga bank. Biaya ini sering diukur sebagai
persentase nilai persediaan untuk periode tertentu. Biaya kerusakan dan penyusutan
dapat terjadi pada barang yang disimpan seperti berat atau jumlahnya berkurang
mengakibatkan penambahan biaya dalam sistem persediaan. Umumnya biaya ini
timbul karena untuk memelihara dan merawat barang. Biaya ini biasanya diukur
dari pengalaman sesuai dengan persentasenya. Biaya gudang timbul karena barang
disimpan memerlukan tempat penyimpanan. Jika gudang beserta peralatannya
disewa maka biaya gudang adalah biaya sewa tersebut, sedangkan jika perusahaan
memiliki gudang sendiri, maka biaya gudang adalah biaya pajak tanah dan
keperluan untuk menunjang penyimpanan barang. Biaya administrasi dan
pemindahan dikeluarkan untuk keperluan administrasi persediaan barang yang ada,
baik pada saat pemasaran, penerimaan barang, penyimpanan dan biaya perpindahan
barang dari dan ke tempat penyimpanan, termasuk dalam biaya ini adalah upah
buruh dan biaya pengendalian peralatan. Biaya asuransi dikeluarkan guna
mengasuransikan barang untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti
11
kebakaran. Besarnya biaya ini tergantung dari jenis barang yang diasuransikan dan
perjanjian dengan pihak asuransi. Yang terakhir biaya kadaluwarsa (obsolescence)
yaitu biaya yang dikeluarkan perusahaan jika terdapat pergantian teknologi seperti
penggantian alat komunikasi, komputer dan lain-lain. Besarnya biaya penyimpanan
dapat dilihat pada persamaan (2) berikut (Bahagia, 2006).
𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛 = 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑎𝑛 × 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡 𝑝𝑒𝑟 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 (2)
Dalam prakteknya, biaya penyimpanan sukar dihitung secara pasti, sehingga
dilakukan pendekatan dengan suatu persentase tertentu dan biasanya di beberapa
perusahaan menerapkan biaya simpan berdasarkan persentase dari harga pembelian
(Baroto, 2002). Dalam Susanti, et al. (2015), biaya simpan dihitung berdasarkan
opportunity cost of capital dari harga barang yang disimpan yang didekati dengan
suku bunga pinjaman bank.
Biaya kekurangan persediaan (stockout cost) memiliki istilah lain yaitu
shortage cost. Merupakan biaya yang dikenakan apabila tidak terdapat persediaan
untuk memenuhi permintaan pada suatu waktu. Menurut Tersine (1994), biaya
stockout dibagi menjadi dua yaitu backorder cost dan lostsale cost dan keduanya
sulit diukur secara akurat. Backorder cost adalah biaya yang dikenakan ketika
terjadi permintaan sekarang oleh konsumen tetapi baru dapat dipenuhi pada saat
mendatang sehingga konsumen harus menunggu terlebih dahulu. Sedangkan
Lostsale cost yaitu biaya yang dikenakan ketika tidak dapat memenuhi permintaan
konsumen, sehingga mereka membatalkan permintaan tersebut. Biaya ini disebut
juga sebagai biaya kehilangan penjualan. Perhitungan biaya stockout terdapat pada
persamaan (3) berikut (Bahagia, 2006).
𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑘𝑒𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 × 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑘𝑒𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡 (3)
Dengan demikian, total biaya persediaan dapat dinyatakan dalam persamaan
(4) berikut (Bahagia, 2006).
12
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛
= 𝑏. 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑒𝑙𝑖𝑎𝑛 + 𝑏. 𝑝𝑒𝑚𝑒𝑠𝑎𝑛𝑎𝑛 + 𝑏. 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑎𝑛
+ 𝑏. 𝑘𝑒𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 (4)
Dalam penelitian Corsten & Gruen (2004) mereka mengemukakan saat
stockout terjadi pada customer maka terdapat akibat yang didapatkan yaitu
customer tidak membeli barang (9%), menunda pembelian (15%), mengganti
dengan merek lain (26%), mengganti dengan merek sama (19%) dan membeli
barang di tempat lain (31%).
2.2.2 Fungsi Persediaan
Menurut Heizer & Render (2015), persediaan dapat memiliki berbagai fungsi
yang menambah fleksibilitas operasi perusahaan. terdapat empat fungsi persediaan
di antaranya: pertama, untuk memberikan pilihan barang agar dapat memenuhi
permintaan pelanggan yang diantisipasi dan menyiapkan perusahaan dari fluktuasi
permintaan. Kedua, untuk memisahkan beberapa tahapan dari proses produksi.
Seperti jika persediaan sebuah perusahaan berfluktuasi, persediaan tambahan
mungkin diperlukan agar bisa memisahkan proses produksi dari pemasok. Ketiga,
untuk mengambil keuntungan dari potongan jumlah karena pembelian dalam
jumlah besar dapat menurunkan biaya pengiriman barang. Keempat, untuk
menghindari inflasi dan kenaikan harga.
2.3 Konsep Pemrograman Linier
Metode analisis yang paling baik untuk menyelesaikan persoalan alokasi
sumber daya ialah metode linier programming (Siagian, 1987). Linear
programming adalah suatu teknis matematika yang dirancang untuk membantu
manajer dalam merencanakan dan membuat keputusan dalam mengalokasikan
sumber daya yang terbatas untuk mencapai tujuan perusahaan. Tujuan perusahaan
pada umumnya adalah memaksimalkan keuntungan, namun karena terbatasnya
sumber daya maka perusahaan dapat juga meminimalkan biaya (Pangalajo, 2009).
Secara umum masalah linear programming sangat erat kaitannya dengan
pengalokasian sumber daya maupun sumber dana yang dapat berupa bahan baku,
13
tenaga kerja, mesin, maupun modal. Semua sumber daya dan sumber dana tersebut
pada umumnya memiliki jumlah yang terbatas. Oleh karena itu, pengalokasiannya
harus dilakukan dengan cara terbaik. Artinya keputusan yang diambil merupakan
pilihan dari berbagai macam alternatif yang tersedia (Hartanto, 2005).
Program linear menyelesaikan kasus pada fungsi tujuan dan fungsi kendala
yang bersifat linier, yaitu pangkat dari variabelnya adalah 1 (Sutrisno, 2008). Untuk
menyelesaikan program linier, dapat digunakan metode grafik, yaitu
mentransformasikan formulasi ke dalam sebuah grafik. Tetapi metode ini hanya
efektif untuk formulasi dengan variabel sebanyak dua. Untuk formulasi dengan
variabel lebih dari dua, dapat menggunakan metode simpleks. Metode grafik dan
simpleks digunakan pada program linier dengan variabelnya dapat bernilai desimal.
Permasalahan dalam program linier tidak hanya mempunyai variabel desimal tetapi
dapat berupa bilangan bulat atau integer atau berupa bilangan biner yang bernilai 0
atau 1 (Castillo, et al., 2002). Karena dalam perkembangannya, ada program linier
di mana variabelnya harus bernilai bilangan bulat atau integer yang dikenal dengan
Integer Linear Programming (ILP) dan ada juga variabel yang bernilai 0 atau 1
yang dikenal dengan Binary Integer Linear Programming (BILP) dan ada juga
program linier yang merupakan campuran antara ILP dan BILP yaitu Mixed Integer
Linear Programming (MILP). Kelebihan MILP ini berada pada hasil output yang
optimal dengan adanya software komersial yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan MILP (Richards & How, 2002).
Penyelesaian persoalan dengan menggunakan teknik linear programming
bertujuan untuk mendapatkan hasil yang optimal yang dapat membentuk maksimal
keuntungan maupun minimasi biaya yang dikeluarkan. Penyelesaian tersebut
bermula dari bentuk umum (perumusan model) ke solusi feasible, dari feasible ke
feasible dasar dan akhirnya menjadi optimal (Hartanto, 2005). Dari uraian tersebut
dapat dikatakan bahwa linear programming merupakan salah satu teknik matematis
yang bertujuan untuk mendapatkan keputusan optimal (Hartanto, 2005).
Menurut Hartanto (2005), langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk
merumuskan model linier programming di antaranya: pertama, menentukan
variabel keputusan, variabel keputusan yang akan dicari diberi notasi dalam bentuk
14
matematis. Variabel keputusan adalah variabel yang secara lengkap
merepresentasikan keputusan-keputusan yang akan dibuat (Jabidi, 2012). Kedua,
menentukan fungsi batasan dari variabel keputusan, variabel keputusan yang telah
dibuat diubah ke dalam bentuk persamaan linier atau ketidaksamaan linier. Menurut
Jabidi (2012), fungsi batasan merupakan bentuk penyajian batasan secara
matematis mengenai kapasitas yang tersedia yang akan dialokasikan secara
optimal. Ketiga, menentukan fungsi tujuan, fungsi tujuan yang akan dicapai dari
variabel keputusan tadi digambarkan dalam satu set fungsi linier yang bertujuan
untuk memaksimalkan atau meminimalkan biaya. Pada umumnya nilai yang akan
dioptimalkan dinyatakan dalam fungsi F (x).
2.4 Vehicle Routing Problem (VRP)
Sistem pendistribusian harus dapat dioptimalkan oleh perusahaan untuk dapat
bersaing dengan perusahaan lain yang sejenis. Salah satu cara yang bisa dilakukan
adalah dengan mengoptimalkan transportasi. Salah satu permasalahan dalam
bidang transportasi adalah Vehicle Routing Problem (VRP). VRP pertama kali
diperkenalkan oleh Dantzig & Ramser (1959). VRP didefinisikan sebagai upaya
pencarian solusi yang meliputi penentuan sejumlah rute, di mana tiap rute dilalui
oleh satu kendaraan yang berawal dan berakhir di tempat asalnya, sehingga
permintaan atau kebutuhan semua konsumen dapat terpenuhi dengan tetap
memenuhi kendala operasional yang ada bersamaan untuk meminimalkan total
biaya transportasi (Laporte, 1992). Permasalahan VRP yaitu merancang sejumlah
rute kendaraan dengan biaya rendah di mana tiap kendaraan berawal dan berakhir
di depot, setiap konsumen hanya dilayani atau dikunjungi sekali oleh sebuah
kendaraan serta total permintaan yang dibawa tidak melebihi kapasitas kendaraan.
Menurut Toth & Vigo (2002), terdapat empat tujuan umum pada VRP yaitu:
pertama, meminimalkan biaya transportasi, terkait dengan jarak dan biaya tetap
yang berhubungan dengan kendaraan. Kedua, meminimalkan jumlah kendaraan
dan pengemudi serta sales yang dibutuhkan untuk melayani semua konsumen.
Ketiga, menyeimbangkan rute, waktu perjalanan dan muatan kendaraan. Keempat,
meminimalkan penalti akibat pelayanan yang kurang memuaskan dari konsumen.
15
Karakteristik dari VRP ada 5 yaitu jaringan rute, konsumen, depot, armada
kendaraan dan pengemudi di mana kelima karakteristik tersebut telah dijabarkan
dalam Toth & Vigo (2002).
2.5 Inventory Routing Problem (IRP)
Inventory Routing Problem (IRP) pertama kali diperkenalkan oleh Bell, et al.
(1983) dengan mengintegrasikan manajemen persediaan dan penjadwalan
kendaraan untuk distribusi perusahaan gas. Permasalahan IRP merupakan hasil
pengembangan dari kasus VRP yang termasuk dalam permasalahan NP-Hard. NP-
Hard merupakan permasalahan optimasi kombinasi yang kompleks. Untuk
menyelesaikan masalah sampai menghasilkan solusi optimal membutuhkan waktu
lama dan konsumsi memori banyak, terutama saat semakin meningkatnya ukuran
permasalahan (Gebhard, 2012). IRP merupakan koordinasi dari dua komponen
supply chain yaitu inventory (inventory management) dan transportasi (rute
kendaraan) (Jemai, et al., 2013). Koordinasi dari dua drivers supply chain ini sering
dikenal sebagai IRP, yang merupakan pokok khusus dalam sistem Vendor Managed
Inventory (VMI) (Zachariadis, et al., 2009).
VMI adalah salah satu metode dalam logistik yang dapat memberikan nilai
tambah (Mirzapour & Rekik, 2014). Dalam sistem VMI, pihak perusahaan atau
distributor memonitor dan mengatur persediaan pada wholesaler atau retailer
(Romano, 2015). Pada prakteknya, VMI menerapkan kondisi win-win solutions
untuk manajemen persediaan, pihak supplier membuat keputusan pemenuhan
berdasarkan persediaan secara spesifik dan kebijakan supply chain (untuk
menghemat biaya distribusi dan produksi dengan mengombinasi dan
mengoordinasikan permintaan serta pengiriman untuk customer yang berbeda),
sementara pihak customer tidak memiliki wewenang untuk mengontrol dan
mengatur persediaannya (Coelho, et al., 2012).
Secara umum perbedaan antara VRP dan IRP yaitu pada Vehicle Routing
Problem (VRP) berkaitan dengan permasalahan mencari rute yang meminimasi
sebuah indikator ekonomi seperti meminimasi biaya transportasi. Di sisi lain, IRP
berkaitan dengan mencari rute optimal dan kebijakan persediaan di mana tidak
16
mengizinkan kekurangan stok (stockout) untuk setiap customer, sedangkan pada
VRP tidak menyangkut hal demikian (Soysal, et al., 2015). Pada IRP, jumlah dan
waktu pengiriman pada tiap customer serta rute kendaraan merupakan keputusan
yang harus dibuat oleh pembuat keputusan secara terus menerus (Soysal, et al.,
2015). Menurut Bertazzi, et al. (2002), dalam IRP terdapat tiga keputusan yang
harus dibuat yaitu kapan harus mengirimkan pada tiap customer, berapa banyak
yang harus dikirim kepada customer untuk melayaninya dan bagaimana
mengombinasikan customer ke dalam rute untuk dilalui kendaraan.
2.5.1 Penerapan dan Penyelesaian Permasalahan IRP
Penerapan dari IRP sendiri terdapat berbagai macam dalam industri yang
meliputi permasalahan distribusi gas alam cair, bahan baku industri kertas,
distribusi makanan pada rantai pasok supermarket, komponen automobil, produk
perishable, barang-barang makanan atau minuman, semen, bahan bakar, darah dan
limbah minyak organik (Coelho & Laporte, 2013b). Selain itu, Lmariouh, et al.
(2017) melakukan penerapan IRP pada perusahaan Air Minum Dalam Kemasan
(AMDK). Untuk menyelesaikan IRP, terdapat beberapa metode dan algoritma yang
dikembangkan secara heuristik dan eksak. Terdapat juga kombinasi dari metode
heuristik dan program matematis yang dikenal sebagai math-heuristik (Lmariouh,
et al., 2017).
Metode heuristik umumnya hanya bisa menyelesaikan permasalahan
sederhana IRP seperti dalam kasus Anily & Federgruen (1990); Burns, et al. (1985);
Dror, et al. (1985); Dror & Levy (1986). Sedangkan metode meta-heuristik dibahas
dalam Gendreau & Potvin (2010); Raidl, et al. (2010). Dalam Lmariouh, et al. (2017),
dalam penyelesaian IRP terdapat beberapa metode heuristik dan meta-heuristik di
antaranya Local Search, Variable Neighborhood Search, Greedy Randomized
Adaptive Search Procedures, Memetic Algorithms, Adaptive Large Neighborhood
Search, Column Generation, Tabu Search dengan MILP, Column Generation
dengan Game Theory dan Genetic Algorithms.
17
2.5.2 Pertimbangan Konsumsi Bahan Bakar dalam IRP
Karena meningkatnya perhatian pada aspek lingkungan, pemerintah dan
organisasi bisnis mencoba untuk mengurangi emisi karbon dari kegiatan logistik
(Ercan & Cinar, 2017). Sejak kegiatan transportasi memberi dampak secara
signifikan pada pemanasan global di dunia, logistik dengan memperhatikan aspek
lingkungan dan skema transportasi telah dikembangkan untuk mendapat kebijakan
berkelanjutan tanpa berdampak pada lingkungan (Alkawaleet, et al., 2014). Banyak
penelitian mengenai IRP dengan mempertimbangkan faktor lingkungan seperti
dalam Treitl, et al. (2014) dan Al Shamsi, et al. (2014) yang memasukkan faktor
emisi pada IRP untuk memperkirakan konsumsi bahan bakar.
Beberapa studi IRP lain yang mempertimbangkan konsumsi bahan bakar
juga terdapat pertimbangan emisi CO2 di antaranya Al Shamsi, et al. (2014), Soysal
(2016), Soysal, et al. (2015, 2016), Cheng, et al. (2016), Zhalechian, et al. (2016),
Kumar, et al. (2016), Tavakkoli-Moghaddam & Raziei (2016), Qiu, et al. (2017)
dan Ercan & Cinar (2017). Menurut Demir, et al. (2011) faktor yang
mempengaruhi konsumsi bahan bakar dikategorikan ke dalam empat macam yaitu
kendaraan, pengemudi, kondisi lingkungan dan kondisi lalu lintas. Mirzapour &
Rekik (2014) serta Alkawaleet, et al. (2014) juga memasukkan faktor emisi dalam
studi IRP mereka. Bagaimanapun, kedua studi tersebut menggunakan jarak sebagai
pendekatan perhitungan untuk emisi, yaitu emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan
per unit jarak dan tidak mempertimbangkan faktor lainnya seperti muatan
kendaraan dan kecepatan kendaraan. Terdapat studi lain yaitu VRP yang
mempunyai permasalahan serupa tentang konsumsi bahan bakar atau emisi seperti
dalam Franceschetti, et al. (2013). Bagaimanapun, konsumsi bahan bakar atau
emisi sulit dihitung secara pasti menggunakan rumus. Namun, model emisi dari
Barth, et al. (2005) merupakan formulasi yang meliputi banyak faktor.
2.5.3 Metode Penentuan Konsumsi Bahan Bakar
Dalam menentukan konsumsi bahan bakar kendaraan terdapat beberapa
metode yang bisa digunakan. Menurut Pīrs, et al. (2008), penentuan konsumsi
bahan bakar dapat dilakukan dengan masa uji coba jalan dan uji coba laboratorium.
18
Dalam penentuan uji coba dapat menggunakan beberapa metode di antaranya
metode volume, metode skala, metode aliran, metode elektronik dan metode analisa
struktur dari pembuangan gas. Metode volume yaitu penentuan konsumsi bahan
bakar berdasarkan volume. Metode skala ditentukan berdasarkan berat konsumsi
bahan bakar. Metode aliran yaitu penentuan jumlah konsumsi bahan bakar dalam
unit volume atau berat. Metode elektronik ditentukan oleh kondisi impuls kontrol
dari sistem supply. Satuan yang biasa digunakan sebagai acuan konsumsi bahan
bakar adalah mpg (miles per gallon) atau liter/100km.
Metode volume, metode skala dan metode aliran mampu memberikan
keakuratan konsumsi bahan bakar (Pīrs, et al., 2008). Pengukuran konsumsi bahan
bakar dengan metode volume diberikan pada persamaan (5) berikut (Pīrs, et al.,
2008).
𝐶 =𝑉(1 + 𝛼[𝑇𝑜 − 𝑇𝐹])
𝐿× 100 (5)
Keterangan,
C = konsumsi bahan bakar (liter/100km)
V = volume konsumsi bahan bakar (liter)
α = koefisien ekspansi bahan bakar (untuk solar dan premium 0,001 per K)
To = temperatur standar (oC)
TF = temperatur bahan bakar (oC)
L = jarak selama pengetesan (km)
Sedangkan menurut Syaputra (2015), metode umum yang biasa digunakan
untuk menghitung konsumsi bahan bakar adalah dengan full to full, yaitu dengan
membagi jarak tempuh dengan pemakaian bahan bakar antar pengisian penuh
tangki. Jarak tempuh diketahui dari odometer kendaraan sedangkan konsumsi
bahan bakar diketahui dari jumlah liter bahan bakar yang diperlukan pada saat
pengisian penuh. Cara ini bisa digunakan untuk mengetahui konsumsi bahan bakar
ketika kendaraan tanpa muatan maupun dengan muatan.
19
Sementara itu, Cheng, et al. (2016) mengenalkan formulasi untuk
menghitung konsumsi bahan bakar dengan mempertimbangkan faktor muatan
kendaraan. Model ini dikembangkan berdasarkan formulasi dari Xiao, et al. (2012)
untuk menghitung konsumsi bahan bakar yang diperlukan dari titik satu ke titik
lain. Persamaan (6) berikut merupakan model yang dikembangkan.
𝐹𝐶𝑖𝑗𝑡 = (𝜌0
𝜌∗ − 𝜌0
𝐶𝑄𝑖𝑗𝑡) 𝑐𝑖𝑗 (6)
Keterangan :
FCijt = konsumsi bahan bakar dari titik i ke titik j di periode t
ρ0 = rate konsumsi bahan bakar kendaraan ketika kosong (l/km)
ρ* = rate konsumsi bahan bakar kendaraan saat muatan penuh (l/km)
C = kapasitas muatan kendaraan
Qijt = total berat produk yang dibawa oleh kendaraan melalui jalur (i,j) di
periode t
cij = jarak antara titik i ke titik j
2.5.4 Macam-macam Inventory Routing Problem
Permasalahan IRP memiliki berbagai varian di antaranya Periodic IRP
(PIRP), Multiperiod IRP, Multivehicle IRP (MIRP), Multiproduct IRP dan
Multivehicle Multiproduct IRP (MMIRP). Selain itu terdapat juga kombinasi
permasalahan VRP dengan IRP seperti Multitrip Inventory Routing Problem with
Time Windows, Shift Time Limits and Variable Delivery Time (MTIRPTW-STL-
VDT) yang diperkenalkan oleh Campbell & Savelsbergh (2004). Sementara itu,
Iassinovskaia, et al. (2017) memperkenalkan Pickup and Delivery Inventory
Routing Problem with Time Windows (PDIRPTW).
2.5.5 Multiproduct Multivehicle Inventory Routing Problem (MMIRP)
Multiproduct Multivehicle Inventory Routing Problem (MMIRP) merupakan
salah satu permasalahan terkini dalam supply chain. Permasalahan ini merupakan
bagian dari Inventory Routing Problem (IRP) di mana terdapat beberapa produk
dan beberapa armada kendaraan, yang mana hal ini lebih mendekati permasalahan
20
kehidupan nyata (Lmariouh, et al., 2017). MMIRP adalah permasalahan di mana
supplier memiliki tugas untuk mendistribusikan beberapa produk kepada
sekumpulan customer yang tersebar secara geografis menggunakan armada
kendaraan, customer dan kendaraan memiliki kapasitas persediaan maksimal yang
dapat dibagi dengan semua produk (Coelho & Laporte, 2013a).
Tujuan dari MMIRP menurut Coelho & Laporte (2013a) yaitu untuk
meminimalkan total biaya distribusi dan persediaan saat memenuhi permintaan
customer. Karakteristik rencana pemenuhan dalam MMIRP memiliki beberapa
batasan sebagai berikut. Pertama, tingkat persediaan pada tiap customer tidak
pernah melebihi kapasitas maksimumnya. Kedua, tingkat persediaan tidak
diizinkan bernilai negatif (berkurang atau mengalami stockout). Ketiga, setiap
kendaraan dari supplier menggunakan satu rute tiap periode. Keempat, setiap rute
berawal dan berakhir di supplier. Kelima, permintaan produk yang dibawa tidak
boleh melebihi kapasitas kendaraan.
Beberapa studi MMIRP diselesaikan metode heuristik dan eksak untuk
menyelesaikan masalah ini. Terdapat juga metode stokastik yang secara khusus
mempertimbangkan parameter ketidakpastian seperti permintaan, biaya
transportasi dan inventory dan lain-lain. Tabel 2.1 berikut menunjukkan metode
penyelesaian dari kasus MMIRP.
Tabel 2.1. Metode penyelesaian MMIRP di beberapa penelitian
Peneliti Metode
Heuristik Eksak
Huang & Lin (2010)
Coelho & Laporte (2013a)
Rahimi, et al. (2016)
Ercan & Cinar (2017)
Hasni, et al. (2017)
Lmariouh, et al. (2017)
Berdasarkan tabel 2.1 di atas penelitian Coelho & Laporte (2013a)
menggunakan algoritma Branch and Cut dan Solutions Improvement Algorithm
untuk memperkirakan solusi biaya baru yang dihasilkan dari menghapus titik dan
menyisipkannya kembali. Huang & Lin (2010) menggunakan algoritma Ant Colony
21
Optimization yang telah dimodifikasi. Hasil yang didapatkan yaitu modifikasi
algoritma Ant Colony Optimization lebih baik dari Ant Colony Optimization
konvensional berdasarkan biaya stockout, total biaya, total failure length dan jarak
tempuh. Ercan & Cinar (2017) menggunakan Mixed Integer Linear Programming
(MILP) untuk kasus deterministik dan Mixed Integer Linear Stochastic
Programming (MILSP) untuk kasus stokastik dengan metode Sample Average
Approximation (SAA). Penelitian ini menggunakan set data yang dihasilkan oleh
Coelho & Laporte (2013a). Kesimpulan yang didapatkan pengolahan dengan
MMIRP dengan MILP yang diusulkan memiliki selisih 1% terhadap solusi optimal.
Hasni, et al. (2017) menggunakan General Variable Neighborhood Search
(GVNS). Ia membandingkan dengan algoritma Branch and Cut dengan kesimpulan
algoritma GVNS tersebut mampu untuk menyelesaikan kasus untuk jumlah
customer 10 sampai 100, tujuh periode, tujuh kendaraan dan lima produk. Rahimi,
et al. (2016) memperkenalkan bi-objective mathematical model yang digunakan
untuk menyelesaikan permasalahan distribusi produk perishable. Kesimpulan yang
dihasilkan yaitu dapat mengurangi produk rusak dan mengurangi emisi kendaraan.
Lmariouh, et al. (2017) menggunakan model matematis MILP yang diperkenalkan
oleh Coelho & Laporte (2013a) untuk penyelesaian kasus distribusi AMDK.
2.5.6 Model matematis Multiproduct Multivehicle Inventory Routing Problem
Model matematis MMIRP yang digunakan pada penelitian ini diperkenalkan
oleh Ercan & Cinar (2017). Pada model matematis MMIRP ini menggunakan
Mixed Integer Linear Programming (MILP). Dalam Ercan & Cinar (2017),
mendefinisikan 𝒢 = (𝒱,𝒜) sebagai grafik jalur di mana 𝒱 = {0,1,...,N} adalah
sekumpulan titik supplier dan customer dan 𝒜 = {( 𝑖 , 𝑗 ) | 𝑖 , 𝑗 ∈ ∀ , 𝑖 ≠ 𝑗 } merupakan
set jalur yang menghubungkan antar titik-titik tersebut. Titik 0 merujuk pada
supplier, dan titik-titik pada set 𝒱' = 𝒱 \ 0 merepresentasikan customer. Terdapat
set produk ℳ = {1,...,M} yang akan didistribusikan ke berbagai customer oleh
supplier. Terdapat armada kendaraan heterogen 𝒦 = {1,...,K} yang tersedia untuk
mengirimkan produk ke sejumlah customer.
22
Dalam beberapa literatur, formulasi untuk merepresentasikan konsumsi
bahan bakar telah dikenalkan khususnya untuk permasalahan routing problem
dalam Demir, et al. (2014) dan Ma, et al. (2014). Dalam Kopfer & Kopfer (2013)
dan Kara, et al. (2007) konsumsi bahan bakar dihitung dengan mempertimbangkan
muatan, jarak, dan fitur kendaraan. Variabel keputusan 𝑥𝑖𝑗𝑘𝑡 merupakan bilangan
biner {0,1} yang akan bernilai 1 jika kendaraan k mengunjungi titik j setelah titik i
pada periode waktu t, selain itu bernilai 0. Variabel keputusan 𝑞𝑖𝑗𝑘𝑚𝑡 menjadi
variabel kontinu yang menunjukkan jumlah produk m yang dibawa oleh kendaraan
k pada jalur (i,j) pada periode t. Total fuel cost (TFC) atau total biaya bahan bakar
direpresentasikan dengan persamaan (7) berikut.
𝑇𝐹𝐶 = 𝑢 ∑ 𝑑𝑖𝑗 ( ∑ ∑ 𝑎𝑘𝑥𝑖𝑗𝑘𝑡 + ∑ ∑ ∑ 𝑏𝑘𝑞𝑖𝑗𝑘𝑚
𝑡 𝑤𝑚
𝑡∈𝒯𝑘∈𝒦𝑚∈ℳ𝑡∈𝒯𝑘∈𝒦
) (7)
(𝑖,𝑗)∈𝒜
Di mana u adalah harga bahan bakar, 𝑎𝑘 merupakan rate konsumsi bahan
bakar per kilometer untuk kendaraan k ketika kosong, 𝑏𝑘 merupakan rate konsumsi
bahan bakar per muatan per kilometer untuk kendaraan k. Variabel keputusan 𝐼𝑖𝑚𝑡
merupakan tingkat persediaan produk m di titik i pada akhir periode t. Total
inventory cost (TIC) atau total biaya persediaan dihitung dengan persamaan (8)
berikut.
𝑇𝐼𝐶 = ∑ ∑ ∑ 𝐼𝑖𝑚𝑡 ℎ𝑖𝑚 (8)
𝑡∈𝒯𝑚∈ℳ𝑖∈𝒱′
Tabel 2.2 berikut ini merupakan definisi dari tiap parameter, variabel
keputusan, fungsi tujuan dan kendala dari model matematis MMIRP.
23
Tabel 2.2. Definisi formulasi MMIRP
Set indeks
𝒱 Set titik, 𝒱 = {0,1, . . . , 𝑁}, di mana 0 menunjukkan supplier
𝒱′ = 𝒱 \ 0 customer
𝒜 Set jalur 𝒜 = {(𝑖, 𝑗)|𝑖, 𝑗 ∈ ∀, 𝑖 ≠ 𝑗}
ℳ Set produk ℳ = {1, … , 𝑀}
𝒦 Set kendaraan 𝒦 = {1, … , 𝐾}
𝒯 Set periode 𝒯 = {1, … , 𝑇}
Variabel Keputusan
𝑥𝑖𝑗𝑘𝑡
Bilangan biner, bernilai 1 jika kendaraan k mengunjungi titik j
setelah titik i, selain itu bernilai 0 (𝑖, 𝑗 ∈ 𝒱, 𝑘 ∈ 𝒦, 𝑡 ∈ 𝒯)
𝑞𝑖𝑗𝑘𝑚𝑡
Total jumlah produk m yang dibawa dari titik i ke titik j oleh
kendaraan k pada waktu t (𝑖, 𝑗 ∈ 𝒱, 𝑚 ∈ ℳ, 𝑘 ∈ 𝒦, 𝑡 ∈ 𝒯)
𝐼𝑖𝑚𝑡
Tingkat persediaan produk m di titik i pada akhir periode t (𝑖 ∈𝒱′, 𝑚 ∈ ℳ, 𝑡 ∈ 𝒯)
𝑅𝑖𝑚𝑡
Jumlah total produk yang diterima pada titik i dari supplier pada
waktu t (𝑖 ∈ 𝒱′, 𝑚 ∈ ℳ, 𝑡 ∈ 𝒯)
Parameter
𝑠𝑚𝑡
Jumlah produk m yang tersedia untuk dikirim oleh supplier pada
waktu t (𝑡 ∈ 𝒯)
𝑐𝑖𝑚𝑡
Permintaan untuk produk m oleh titik i pada periode t (𝑖 ∈𝒱′, 𝑚 ∈ ℳ, 𝑡 ∈ 𝒯)
ℎ𝑖𝑚 Biaya persediaan per unit untuk produk m di titik i (𝑖 ∈ 𝒱′, 𝑚 ∈ℳ)
𝐼𝑖𝑚0 Inisial tingkat persediaan titik i untuk produk m (𝑖 ∈ 𝒱′, 𝑚 ∈ ℳ)
𝐻𝐶𝑖 Kapasitas persediaan untuk titik i (𝑖 ∈ 𝒱′)
𝑑𝑖𝑗 Jarak dari titik i ke titik j (𝑖, 𝑗 ∈ 𝒱)
𝑄𝑘 Kapasitas kendaraan k (𝑘 ∈ 𝒦)
𝑎𝑘 Konsumsi bahan bakar kendaraan k per kilometer ketika tanpa
muatan (𝑘 ∈ 𝒦)
𝑏𝑘 Konsumsi bahan bakar kendaraan k per unit muatan per kilometer
(𝑘 ∈ 𝒦)
𝑤𝑚 Berat untuk satu unit produk m (𝑚 ∈ ℳ)
u Harga bahan bakar
Model MILP untuk permasalahan MMIRP diformulasikan sebagai berikut.
Fungsi tujuan MMIRP.
min 𝑢 ∑ 𝑑𝑖𝑗 ( ∑ ∑ 𝑎𝑘𝑥𝑖𝑗𝑘𝑡 + ∑ ∑ ∑ 𝑏𝑘𝑞𝑖𝑗𝑘𝑚
𝑡 𝑤𝑚
𝑡∈𝒯𝑘∈𝒦𝑚∈ℳ𝑡∈𝒯𝑘∈𝒦
) + ∑ ∑ ∑ 𝐼𝑖𝑚𝑡 ℎ𝑖𝑚 (9)
𝑡∈𝒯𝑚∈ℳ𝑖∈𝒱′(𝑖,𝑗)∈𝒜
24
Fungsi tujuan pada persamaan (9) bertujuan untuk meminimasi total biaya.
Total biaya tersebut didapatkan dari jumlah biaya transportasi ditambah dengan
jumlah biaya persediaan.
Dengan fungsi pembatas sebagai berikut.
∑ ∑ 𝑥𝑖𝑗𝑘𝑡 ≤ 1
𝑘∈𝒦𝑗∈𝒱,𝑗≠𝑖
∀𝑖 ∈ 𝒱′, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (10)
Persamaan (10) memastikan bahwa setiap customer dikunjungi sebanyak
sekali di setiap periode waktu.
∑ 𝑥𝑖𝑗𝑘𝑡 = ∑ 𝑥𝑗𝑖𝑘
𝑡
𝑗∈𝒱,𝑗≠𝑖𝑗∈𝒱,𝑗≠𝑖
∀𝑖 ∈ 𝒱′, ∀𝑘 ∈ ∀𝑡 ∈ 𝒯 (11)
Persamaan (11) menjamin bahwa jika kendaraan tiba pada titik i di periode
waktu t, maka harus meninggalkan titik tersebut pada periode yang sama.
∑ 𝑥𝑖𝑗𝑘𝑡 ≤ 1
𝑘∈𝒦
∀(𝑖, 𝑗) ∈ 𝒜, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (12)
Berdasarkan persamaan (12), sebanyak satu kendaraan yang bisa
menggunakan jalur (i,j) di tiap periode waktu.
∑ 𝑥0𝑗𝑘𝑡 ≤ 1
𝑗∈𝒱′
∀𝑘 ∈ 𝒦, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (13)
Pada persamaan (13), kendaraan melakukan perjalanan sebanyak sekali di
tiap periode waktu.
∑ ∑ 𝑞𝑗𝑖𝑘𝑚𝑡
𝑘∈𝒦𝑗∈𝒱,𝑗≠𝑖
= 𝑅𝑖𝑚𝑡 + ∑ ∑ 𝑞𝑖𝑗𝑘𝑚
𝑡
𝑘∈𝒦𝑗∈𝒱,𝑗≠𝑖
∀𝑖 ∈ 𝒱′, ∀𝑚 ∈ ℳ, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (14)
Persamaan (14) memastikan bahwa selisih antara jumlah incoming dan
outgoing produk m di titik i harus sama dengan jumlah produk m yang diterima oleh
titik i di periode waktu t.
𝐼𝑖𝑚𝑡−1 + 𝑅𝑖𝑚
𝑡 = 𝑐𝑖𝑚𝑡 + 𝐼𝑖𝑚
𝑡 ∀𝑖 ∈ 𝒱′, ∀𝑚 ∈ ℳ, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (15)
25
Persamaan (15) memberi tingkat persediaan produk m untuk tiap titik i di
periode waktu t.
∑ 𝑞𝑖𝑗𝑘𝑚𝑡
𝑚∈ℳ
𝑤𝑚 ≤ 𝑄𝑘𝑥𝑖𝑗𝑘𝑡 ∀(𝑖, 𝑗) ∈ 𝒜, ∀𝑘 ∈ 𝒦, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (16)
Persamaan (16) merupakan batasan kapasitas kendaraan, di mana jumlah
produk yang dibawa tidak boleh melebihi kapasitas kendaraan.
∑ ∑ 𝑞0𝑗𝑘𝑚𝑡
𝑘∈𝒦𝑗∈𝒱′
≤ 𝑠𝑚𝑡 ∀𝑚 ∈ ℳ, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (17)
Persamaan (17) memastikan bahwa jumlah total produk m yang dikirimkan
oleh supplier tidak boleh melebihi jumlah ketersediaan produk di supplier.
∑ 𝐼𝑖𝑚𝑡
𝑚∈ℳ
𝑤𝑚 ≤ 𝐻𝐶𝑖 ∀𝑖 ∈ 𝒱′, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (18)
Persamaan (18) menjamin bahwa tingkat persediaan titik tidak boleh melebihi
kapasitas persediaan dalam tiap periode.
𝑞𝑖𝑗𝑘𝑚𝑡 ≥ 0 ∀𝑖, 𝑗 ∈ 𝒱, ∀𝑚 ∈ ℳ, ∀𝑘 ∈ 𝒦, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (19)
𝑥𝑖𝑗𝑘𝑡 ∈ {0.1} ∀𝑖, 𝑗 ∈ 𝒱, ∀𝑘 ∈ 𝒦, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (20)
𝐼𝑖𝑚𝑡 ≥ 0 ∀𝑖 ∈ 𝒱, ∀𝑚 ∈ ℳ, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (21)
𝑅𝑖𝑚𝑡 ≥ 0 ∀𝑖 ∈ 𝒱′, ∀𝑚 ∈ ℳ, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (22)
Persamaan (19), (20), (21), (22) memberikan batasan bilangan bulat (integer)
dan nonnegatif untuk variabel keputusan.