BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43893/3/BAB II.pdf · total biaya...

21
5 BAB II LANDASAN TEORI Pada Bab II ini akan dijelaskan mengenai konsep, teori dan literatur yang digunakan dalam penelitian ini sebagai dasar dan penunjang pembahasan terhadap topik masalah Multiproduct Multivehicle Inventory Routing Problem. Adapun teori yang akan dibahas di antaranya tentang sistem distribusi dan transportasi, konsep manajemen persediaan, konsep pemrograman linier, Vehicle Routing Problem dan Inventory Routing Problem. 2.1 Sistem Distribusi dan Transportasi Sebagai bagian dari Supply Chain Management, logistik memiliki peranan penting dalam perusahaan. Logistik berpengaruh besar terhadap biaya dan keputusan perusahaan yang akhirnya akan mempengaruhi service level pada tiap konsumen. Logistik adalah pengaturan sumber daya secara tepat waktu dalam tempat yang tepat dengan biaya dan kualitas yang tepat (Rushton, et al., 2010). Suatu sistem rantai pasok terdiri atas semua pihak yang terlibat dalam proses pemenuhan permintaan konsumen, yang meliputi pihak pemasok, manufaktur, distributor, retailer, dan konsumen. Dalam memenuhi permintaan konsumen, suatu sistem rantai pasok biasanya memiliki fungsi distribusi (Chopra & Meindl, 2007). Distribusi merupakan tahapan pemindahan dan penyampaian sebuah produk dari supplier ke customer dalam supply chain (Chopra, 2003). Sedangkan Menurut Toth & Vigo (2002), pendistribusian merupakan aktivitas pemilihan rute yang dikunjungi, jumlah kendaraan yang digunakan saat pengiriman dan penyeimbangan rute dengan tujuan agar dapat meminimalkan ongkos perjalanan. Secara garis besar, distribusi merupakan pergerakan bahan maupun komoditas dari satu titik ke titik lainnya dalam rantai pasok, dan termasuk di dalamnya adalah transportasi (atau pengangkutan) dan pergudangan (Russell & Taylor, 2009). Menurut Chopra (2003), sebagai penggerak kunci keuntungan dari perusahaan, distribusi mempunyai pengaruh pada biaya supply chain dan pengalaman customer. Karena pendistribusian yang baik dapat digunakan untuk mencapai tujuan rantai pasok, dari meminimalkan biaya sampai meningkatkan

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/43893/3/BAB II.pdf · total biaya...

5

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada Bab II ini akan dijelaskan mengenai konsep, teori dan literatur yang

digunakan dalam penelitian ini sebagai dasar dan penunjang pembahasan terhadap

topik masalah Multiproduct Multivehicle Inventory Routing Problem. Adapun teori

yang akan dibahas di antaranya tentang sistem distribusi dan transportasi, konsep

manajemen persediaan, konsep pemrograman linier, Vehicle Routing Problem dan

Inventory Routing Problem.

2.1 Sistem Distribusi dan Transportasi

Sebagai bagian dari Supply Chain Management, logistik memiliki peranan

penting dalam perusahaan. Logistik berpengaruh besar terhadap biaya dan

keputusan perusahaan yang akhirnya akan mempengaruhi service level pada tiap

konsumen. Logistik adalah pengaturan sumber daya secara tepat waktu dalam

tempat yang tepat dengan biaya dan kualitas yang tepat (Rushton, et al., 2010).

Suatu sistem rantai pasok terdiri atas semua pihak yang terlibat dalam proses

pemenuhan permintaan konsumen, yang meliputi pihak pemasok, manufaktur,

distributor, retailer, dan konsumen. Dalam memenuhi permintaan konsumen, suatu

sistem rantai pasok biasanya memiliki fungsi distribusi (Chopra & Meindl, 2007).

Distribusi merupakan tahapan pemindahan dan penyampaian sebuah produk dari

supplier ke customer dalam supply chain (Chopra, 2003). Sedangkan Menurut Toth

& Vigo (2002), pendistribusian merupakan aktivitas pemilihan rute yang

dikunjungi, jumlah kendaraan yang digunakan saat pengiriman dan penyeimbangan

rute dengan tujuan agar dapat meminimalkan ongkos perjalanan. Secara garis besar,

distribusi merupakan pergerakan bahan maupun komoditas dari satu titik ke titik

lainnya dalam rantai pasok, dan termasuk di dalamnya adalah transportasi (atau

pengangkutan) dan pergudangan (Russell & Taylor, 2009).

Menurut Chopra (2003), sebagai penggerak kunci keuntungan dari

perusahaan, distribusi mempunyai pengaruh pada biaya supply chain dan

pengalaman customer. Karena pendistribusian yang baik dapat digunakan untuk

mencapai tujuan rantai pasok, dari meminimalkan biaya sampai meningkatkan

6

respons (Chopra, 2003). Salah satu cara untuk melakukan pendistribusian yang baik

yaitu dengan melakukan perancangan jaringan distribusi. Perubahan pada jaringan

distribusi secara tepat dapat mempengaruhi biaya inventory, transportasi, fasilitas

dan biaya handling. Oleh karena itu, tujuan dari proses perancangan jaringan

distribusi yaitu untuk menemukan keseimbangan optimal antara biaya fasilitas,

transportasi dan inventory (Perl & Sirisoponsilp, 1988). Dengan penerapan strategi

pada kegiatan distribusi dapat meminimalkan biaya transportasi dan inventory

(Burns, et al., 1985).

Menurut Nasution (2015), transportasi didefinisikan sebagai pemindahan

barang dan sumber daya dari tempat asal ke tempat tujuan. Dalam proses distribusi

fisik, diperlukan proses transportasi untuk memindahkan satu komoditas dari satu

tempat ke tempat lain dalam suatu rantai pasok. Dua pihak yang terlibat dalam

proses transportasi dalam rantai pasok adalah pengirim (shipper) dan pengangkut

(carrier). Adapun beberapa mode transportasi yang dapat dipilih dalam

pengangkutan komoditas dalam rantai pasok, antara lain: transportasi udara,

transportasi perairan, pipa, kereta, truk, jasa kurir, maupun kombinasi dari moda

transportasi yang ada (intermodal) (Chopra & Meindl, 2007). Keputusan pemilihan

transportasi mempengaruhi trade-off antara biaya transportasi dan biaya inventory.

Bagaimanapun, keputusan penentuan transportasi secara tepat akan meminimalkan

total biaya transportasi dan inventory (Perl & Sirisoponsilp, 1988).

2.1.1 Komponen Biaya Transportasi

Dalam pendistribusian produk, biaya transportasi berkontribusi besar pada

total biaya logistik. biaya yang dikeluarkan oleh transportasi sebesar lebih dari 30%

dari biaya logistik (Ganeshan & Harrison, 1995). Sedangkan menurut Ballou

(1999), pengeluaran biaya untuk transportasi sebesar 1/3 sampai dengan 2/3 dari

total biaya logistik. Oleh karena itu, upaya efisiensi melalui optimalisasi

penggunaan alat transportasi dan personilnya menjadi perhatian penting. Menurut

Nasution (2015) komponen biaya dibedakan menjadi biaya tetap (fixed cost) dan

biaya variabel (variable cost). Biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak

berubah dengan adanya output suatu operasi. Biaya tetap dalam transportasi

7

meliputi biaya modal, biaya sewa atau depresiasi kendaraan, biaya perizinan dan

administrasi dan biaya asuransi. Sedangkan biaya variabel adalah biaya yang

besarnya berubah-ubah menurut perubahan output. Biaya variabel meliputi biaya

bahan bakar, biaya perawatan dan perbaikan, biaya pengemudi, dan biaya retribusi.

Sedangkan menurut Tseng (2004) biaya transportasi meliputi biaya koridor,

kontainer, palet, terminal, pegawai dan waktu.

2.1.2 Keputusan Persediaan dalam Sistem Distribusi dan Transportasi

Sebagai salah satu dari penggerak dasar Supply Chain Management,

keputusan transportasi dan persediaan memiliki peranan penting dalam sebuah

perusahaan khususnya pada kegiatan distribusi. Menurut Perl & Sirisoponsilp

(1988) keputusan transportasi terbagi ke dalam tiga tingkatan yaitu keputusan

strategis, taktis dan operasional. Keputusan strategis transportasi meliputi

keputusan pemilihan mode transportasi, tipe pengangkut (digunakan bersama,

kontrak atau milik sendiri). Keputusan taktis meliputi pemilihan alat pengangkut

dalam mode yang terpilih dan penentuan frekuensi pengiriman. Keputusan

operasional meliputi alokasi muatan ke kendaraan, penjadwalan dan penentuan rute

kendaraan serta penugasan kru. Sedangkan dalam keputusan persediaan terdapat

keputusan strategis dan taktis. Keputusan strategis persediaan meliputi total tingkat

persediaan di sistem dan lokasi persediaan. Sedangkan keputusan taktis meliputi

penentuan ukuran persediaan, tingkat persediaan pengaman dan pengendalian pada

lokasi yang berbeda. Sehingga antara dua keputusan ini mempunyai keterkaitan

yang saling mempengaruhi. Keterkaitan antara dua keputusan tersebut telah

dijabarkan dalam Perl & Sirisoponsilp (1988) dan Jayaraman (1998).

Transportasi telah dikenal sejak dulu sebagai salah satu aktivitas penting

dalam fungsi distribusi fisik. Menurut Andersson, et al. (2010) pentingnya integrasi

antara keputusan transportasi dan persediaan yaitu untuk menjamin tingkat

persediaan agar tidak melebihi batas atas atau kurang dari batas bawah. Karena itu

penentuan kebijakan optimal untuk susunan sistem persediaan adalah keputusan

yang sulit. Beberapa literatur telah mengembangkan integrasi keputusan

transportasi - persediaan seperti dalam Santoso, et al. (2008, 2009) dan Andersson,

8

et al. (2010) dengan tujuan akhir untuk meminimalkan total biaya transportasi dan

persediaan. Baumol & Vinod (1970) merupakan yang pertama mencoba

menentukan pilihan shipper dari pilihan transportasi dalam pasar tunggal dan

hasilnya dipandang sebagai model yang menetapkan total biaya transportasi dan

persediaan yang berhubungan dengan pilihan transportasi.

2.2 Konsep Manajemen Persediaan

Pada setiap perusahaan, baik perusahaan kecil, perusahaan sedang maupun

perusahaan besar, persediaan sangat penting bagi kelangsungan hidup perusahaan.

Menurut Assauri (2004), persediaan merupakan sejumlah bahan-bahan yang

disediakan dan bahan-bahan dalam proses yang terdapat dalam perusahaan untuk

proses produksi, serta barang jadi atau produk yang disediakan untuk memenuhi

permintaan dari customer setiap waktu. Pada prinsipnya persediaan adalah sumber

daya yang menganggur (idle resources) yang keberadaannya menunggu proses

lebih lanjut, maksud lebih lanjut di sini dapat berupa kegiatan produksi seperti yang

dijumpai pada kegiatan manufaktur, kegiatan pemasaran yang dijumpai pada sistem

distribusi maupun kegiatan konsumsi seperti dijumpai pada sistem rumah tangga,

perkantoran dan lainnya (Bahagia, 2006).

Manajemen persediaan adalah kemampuan suatu perusahaan dalam mengatur

dan mengelola setiap kebutuhan barang baik barang mentah, barang setengah jadi

maupun barang jadi agar selalu tersedia baik dalam kondisi pasar yang stabil dan

berfluktuasi (Fahmi, 2012). Persediaan dalam suatu unit usaha dapat dikategorikan

sebagai modal kerja yang berbentuk barang. Keberadaannya tidak hanya dianggap

sebagai beban (liability) karena merupakan pemborosan (waste) tetapi juga

sekaligus dianggap sebagai kekayaan (asset) yang dapat dicairkan dalam bentuk

uang tunai. Karena merupakan sebuah pemborosan, keberadaan persediaan perlu

dieliminasi. Jika tidak memungkinkan untuk dieliminasi maka harus diminimalkan

dengan menjamin bahwa pemenuhan permintaan pemakainya tetap lancar. Secara

ideal persediaan tidak perlu ada, tetapi semua permintaan pemakai harus dapat

dipenuhi pada saat itu juga.

9

Di sisi lain, jika persediaan tidak tersedia atau tersedia dalam jumlah sedikit

dan tidak mencukupi, peluang terjadinya kekurangan persediaan (stockout) akan

semakin besar. Akibatnya, permintaan pemakai tidak dapat dipenuhi sehingga akan

menimbulkan ketidakpuasan pada pemakai. Hal ini mengakibatkan pemakai akan

lari ke usaha lain dan menjadi kerugian bagi perusahaan. Dengan demikian

keberadaan sebuah persediaan dalam suatu unit usaha perlu diatur sehingga

kelancaran pemenuhan permintaan pemakai dapat terjamin dan biaya yang

ditimbulkan menjadi sekecil mungkin. Oleh karena itu, tujuan manajemen

persediaan dapat disimpulkan sebagai melakukan pengelolaan persediaan dengan

tepat, sehingga biaya yang dikeluarkan lebih efisien dapat di saat bersamaan juga

mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada pelanggan dengan cara selalu

memenuhi permintaan.

2.2.1 Komponen Biaya Persediaan

Masalah utama yang ingin dicapai dalam pengendalian persediaan yaitu

meminimalkan total biaya persediaan. Berbagai macam biaya perlu diperhitungkan

pada saat mengevaluasi masalah persediaan. Biaya persediaan dikeluarkan sebesar

20% sampai 40% dari nilai harga (Ganeshan & Harrison, 1995). Dalam bukunya,

Joko (2004), menguraikan biaya-biaya dalam sistem persediaan di antaranya biaya

pengadaan (procurement cost), biaya penyimpanan (holding cost) dan biaya

kekurangan persediaan (stockout cost).

Biaya pengadaan (procurement cost) yaitu komponen biaya yang dikeluarkan

untuk memesan dan mengadakan barang sehingga siap untuk digunakan atau

diproses lebih lanjut. Biaya pengadaan ini meliputi biaya pembelian (purchasing

cost) dan biaya pengadaan barang (procurement cost). Biaya pembelian merupakan

biaya yang dikeluarkan untuk membeli barang. Jumlah barang yang dibeli dan

harga satuan barang tersebut akan berpengaruh terhadap biaya pembelian. Dalam

hal ini biaya pembelian bersifat variabel karena tergantung pada jumlah yang

dipesan. Pada biaya pengadaan barang (procurement cost), jika berdasarkan asal

barangnya, biaya pengadaan dibedakan menjadi dua yaitu biaya pembuatan dan

biaya pemesanan (ordering cost). Biaya pembuatan dikeluarkan jika barang yang

10

dibutuhkan diperoleh dengan cara diproduksi sendiri. Biaya ini timbul di dalam

lingkup pabrik yang meliputi penyusunan peralatan produksi, menyetel mesin,

penyusunan barang di gudang dan lain sebagainya. Sedangkan, biaya pemesanan

yaitu biaya yang dikeluarkan jika barang yang dibutuhkan diperoleh dari pihak luar.

Biaya ini meliputi biaya untuk menentukan supplier, pembuatan pesanan,

pengiriman pesanan, biaya pengangkutan, biaya penerimaan dan sebagainya. Biaya

ini sering diasumsikan konstan setiap kali pesan. Perhitungan biaya pemesanan

ditunjukkan pada rumus (1) berikut (Bahagia, 2006).

𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑚𝑒𝑠𝑎𝑛𝑎𝑛 = 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑖𝑛𝑡𝑎𝑎𝑛 × 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑟 𝑝𝑒𝑠𝑎𝑛 (1)

Biaya penyimpanan (holding cost) adalah semua pengeluaran biaya yang

timbul akibat menyimpan persediaan. Biaya-biaya ini meliputi biaya memiliki

persediaan (biaya modal), biaya kerusakan dan penyusutan, biaya gudang, biaya

administrasi dan pemindahan, biaya asuransi dan biaya kadaluwarsa. Biaya

memiliki persediaan (biaya modal) timbul karena adanya penumpukan barang di

gudang yang berarti penumpukan modal kerja, di mana modal perusahaan memiliki

nilai yang dapat diukur dengan suku bunga bank. Biaya ini sering diukur sebagai

persentase nilai persediaan untuk periode tertentu. Biaya kerusakan dan penyusutan

dapat terjadi pada barang yang disimpan seperti berat atau jumlahnya berkurang

mengakibatkan penambahan biaya dalam sistem persediaan. Umumnya biaya ini

timbul karena untuk memelihara dan merawat barang. Biaya ini biasanya diukur

dari pengalaman sesuai dengan persentasenya. Biaya gudang timbul karena barang

disimpan memerlukan tempat penyimpanan. Jika gudang beserta peralatannya

disewa maka biaya gudang adalah biaya sewa tersebut, sedangkan jika perusahaan

memiliki gudang sendiri, maka biaya gudang adalah biaya pajak tanah dan

keperluan untuk menunjang penyimpanan barang. Biaya administrasi dan

pemindahan dikeluarkan untuk keperluan administrasi persediaan barang yang ada,

baik pada saat pemasaran, penerimaan barang, penyimpanan dan biaya perpindahan

barang dari dan ke tempat penyimpanan, termasuk dalam biaya ini adalah upah

buruh dan biaya pengendalian peralatan. Biaya asuransi dikeluarkan guna

mengasuransikan barang untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti

11

kebakaran. Besarnya biaya ini tergantung dari jenis barang yang diasuransikan dan

perjanjian dengan pihak asuransi. Yang terakhir biaya kadaluwarsa (obsolescence)

yaitu biaya yang dikeluarkan perusahaan jika terdapat pergantian teknologi seperti

penggantian alat komunikasi, komputer dan lain-lain. Besarnya biaya penyimpanan

dapat dilihat pada persamaan (2) berikut (Bahagia, 2006).

𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛 = 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑎𝑛 × 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡 𝑝𝑒𝑟 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 (2)

Dalam prakteknya, biaya penyimpanan sukar dihitung secara pasti, sehingga

dilakukan pendekatan dengan suatu persentase tertentu dan biasanya di beberapa

perusahaan menerapkan biaya simpan berdasarkan persentase dari harga pembelian

(Baroto, 2002). Dalam Susanti, et al. (2015), biaya simpan dihitung berdasarkan

opportunity cost of capital dari harga barang yang disimpan yang didekati dengan

suku bunga pinjaman bank.

Biaya kekurangan persediaan (stockout cost) memiliki istilah lain yaitu

shortage cost. Merupakan biaya yang dikenakan apabila tidak terdapat persediaan

untuk memenuhi permintaan pada suatu waktu. Menurut Tersine (1994), biaya

stockout dibagi menjadi dua yaitu backorder cost dan lostsale cost dan keduanya

sulit diukur secara akurat. Backorder cost adalah biaya yang dikenakan ketika

terjadi permintaan sekarang oleh konsumen tetapi baru dapat dipenuhi pada saat

mendatang sehingga konsumen harus menunggu terlebih dahulu. Sedangkan

Lostsale cost yaitu biaya yang dikenakan ketika tidak dapat memenuhi permintaan

konsumen, sehingga mereka membatalkan permintaan tersebut. Biaya ini disebut

juga sebagai biaya kehilangan penjualan. Perhitungan biaya stockout terdapat pada

persamaan (3) berikut (Bahagia, 2006).

𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑘𝑒𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 × 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑘𝑒𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝑢𝑛𝑖𝑡 (3)

Dengan demikian, total biaya persediaan dapat dinyatakan dalam persamaan

(4) berikut (Bahagia, 2006).

12

𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛

= 𝑏. 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑒𝑙𝑖𝑎𝑛 + 𝑏. 𝑝𝑒𝑚𝑒𝑠𝑎𝑛𝑎𝑛 + 𝑏. 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑎𝑛

+ 𝑏. 𝑘𝑒𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 (4)

Dalam penelitian Corsten & Gruen (2004) mereka mengemukakan saat

stockout terjadi pada customer maka terdapat akibat yang didapatkan yaitu

customer tidak membeli barang (9%), menunda pembelian (15%), mengganti

dengan merek lain (26%), mengganti dengan merek sama (19%) dan membeli

barang di tempat lain (31%).

2.2.2 Fungsi Persediaan

Menurut Heizer & Render (2015), persediaan dapat memiliki berbagai fungsi

yang menambah fleksibilitas operasi perusahaan. terdapat empat fungsi persediaan

di antaranya: pertama, untuk memberikan pilihan barang agar dapat memenuhi

permintaan pelanggan yang diantisipasi dan menyiapkan perusahaan dari fluktuasi

permintaan. Kedua, untuk memisahkan beberapa tahapan dari proses produksi.

Seperti jika persediaan sebuah perusahaan berfluktuasi, persediaan tambahan

mungkin diperlukan agar bisa memisahkan proses produksi dari pemasok. Ketiga,

untuk mengambil keuntungan dari potongan jumlah karena pembelian dalam

jumlah besar dapat menurunkan biaya pengiriman barang. Keempat, untuk

menghindari inflasi dan kenaikan harga.

2.3 Konsep Pemrograman Linier

Metode analisis yang paling baik untuk menyelesaikan persoalan alokasi

sumber daya ialah metode linier programming (Siagian, 1987). Linear

programming adalah suatu teknis matematika yang dirancang untuk membantu

manajer dalam merencanakan dan membuat keputusan dalam mengalokasikan

sumber daya yang terbatas untuk mencapai tujuan perusahaan. Tujuan perusahaan

pada umumnya adalah memaksimalkan keuntungan, namun karena terbatasnya

sumber daya maka perusahaan dapat juga meminimalkan biaya (Pangalajo, 2009).

Secara umum masalah linear programming sangat erat kaitannya dengan

pengalokasian sumber daya maupun sumber dana yang dapat berupa bahan baku,

13

tenaga kerja, mesin, maupun modal. Semua sumber daya dan sumber dana tersebut

pada umumnya memiliki jumlah yang terbatas. Oleh karena itu, pengalokasiannya

harus dilakukan dengan cara terbaik. Artinya keputusan yang diambil merupakan

pilihan dari berbagai macam alternatif yang tersedia (Hartanto, 2005).

Program linear menyelesaikan kasus pada fungsi tujuan dan fungsi kendala

yang bersifat linier, yaitu pangkat dari variabelnya adalah 1 (Sutrisno, 2008). Untuk

menyelesaikan program linier, dapat digunakan metode grafik, yaitu

mentransformasikan formulasi ke dalam sebuah grafik. Tetapi metode ini hanya

efektif untuk formulasi dengan variabel sebanyak dua. Untuk formulasi dengan

variabel lebih dari dua, dapat menggunakan metode simpleks. Metode grafik dan

simpleks digunakan pada program linier dengan variabelnya dapat bernilai desimal.

Permasalahan dalam program linier tidak hanya mempunyai variabel desimal tetapi

dapat berupa bilangan bulat atau integer atau berupa bilangan biner yang bernilai 0

atau 1 (Castillo, et al., 2002). Karena dalam perkembangannya, ada program linier

di mana variabelnya harus bernilai bilangan bulat atau integer yang dikenal dengan

Integer Linear Programming (ILP) dan ada juga variabel yang bernilai 0 atau 1

yang dikenal dengan Binary Integer Linear Programming (BILP) dan ada juga

program linier yang merupakan campuran antara ILP dan BILP yaitu Mixed Integer

Linear Programming (MILP). Kelebihan MILP ini berada pada hasil output yang

optimal dengan adanya software komersial yang dapat digunakan untuk

menyelesaikan permasalahan MILP (Richards & How, 2002).

Penyelesaian persoalan dengan menggunakan teknik linear programming

bertujuan untuk mendapatkan hasil yang optimal yang dapat membentuk maksimal

keuntungan maupun minimasi biaya yang dikeluarkan. Penyelesaian tersebut

bermula dari bentuk umum (perumusan model) ke solusi feasible, dari feasible ke

feasible dasar dan akhirnya menjadi optimal (Hartanto, 2005). Dari uraian tersebut

dapat dikatakan bahwa linear programming merupakan salah satu teknik matematis

yang bertujuan untuk mendapatkan keputusan optimal (Hartanto, 2005).

Menurut Hartanto (2005), langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk

merumuskan model linier programming di antaranya: pertama, menentukan

variabel keputusan, variabel keputusan yang akan dicari diberi notasi dalam bentuk

14

matematis. Variabel keputusan adalah variabel yang secara lengkap

merepresentasikan keputusan-keputusan yang akan dibuat (Jabidi, 2012). Kedua,

menentukan fungsi batasan dari variabel keputusan, variabel keputusan yang telah

dibuat diubah ke dalam bentuk persamaan linier atau ketidaksamaan linier. Menurut

Jabidi (2012), fungsi batasan merupakan bentuk penyajian batasan secara

matematis mengenai kapasitas yang tersedia yang akan dialokasikan secara

optimal. Ketiga, menentukan fungsi tujuan, fungsi tujuan yang akan dicapai dari

variabel keputusan tadi digambarkan dalam satu set fungsi linier yang bertujuan

untuk memaksimalkan atau meminimalkan biaya. Pada umumnya nilai yang akan

dioptimalkan dinyatakan dalam fungsi F (x).

2.4 Vehicle Routing Problem (VRP)

Sistem pendistribusian harus dapat dioptimalkan oleh perusahaan untuk dapat

bersaing dengan perusahaan lain yang sejenis. Salah satu cara yang bisa dilakukan

adalah dengan mengoptimalkan transportasi. Salah satu permasalahan dalam

bidang transportasi adalah Vehicle Routing Problem (VRP). VRP pertama kali

diperkenalkan oleh Dantzig & Ramser (1959). VRP didefinisikan sebagai upaya

pencarian solusi yang meliputi penentuan sejumlah rute, di mana tiap rute dilalui

oleh satu kendaraan yang berawal dan berakhir di tempat asalnya, sehingga

permintaan atau kebutuhan semua konsumen dapat terpenuhi dengan tetap

memenuhi kendala operasional yang ada bersamaan untuk meminimalkan total

biaya transportasi (Laporte, 1992). Permasalahan VRP yaitu merancang sejumlah

rute kendaraan dengan biaya rendah di mana tiap kendaraan berawal dan berakhir

di depot, setiap konsumen hanya dilayani atau dikunjungi sekali oleh sebuah

kendaraan serta total permintaan yang dibawa tidak melebihi kapasitas kendaraan.

Menurut Toth & Vigo (2002), terdapat empat tujuan umum pada VRP yaitu:

pertama, meminimalkan biaya transportasi, terkait dengan jarak dan biaya tetap

yang berhubungan dengan kendaraan. Kedua, meminimalkan jumlah kendaraan

dan pengemudi serta sales yang dibutuhkan untuk melayani semua konsumen.

Ketiga, menyeimbangkan rute, waktu perjalanan dan muatan kendaraan. Keempat,

meminimalkan penalti akibat pelayanan yang kurang memuaskan dari konsumen.

15

Karakteristik dari VRP ada 5 yaitu jaringan rute, konsumen, depot, armada

kendaraan dan pengemudi di mana kelima karakteristik tersebut telah dijabarkan

dalam Toth & Vigo (2002).

2.5 Inventory Routing Problem (IRP)

Inventory Routing Problem (IRP) pertama kali diperkenalkan oleh Bell, et al.

(1983) dengan mengintegrasikan manajemen persediaan dan penjadwalan

kendaraan untuk distribusi perusahaan gas. Permasalahan IRP merupakan hasil

pengembangan dari kasus VRP yang termasuk dalam permasalahan NP-Hard. NP-

Hard merupakan permasalahan optimasi kombinasi yang kompleks. Untuk

menyelesaikan masalah sampai menghasilkan solusi optimal membutuhkan waktu

lama dan konsumsi memori banyak, terutama saat semakin meningkatnya ukuran

permasalahan (Gebhard, 2012). IRP merupakan koordinasi dari dua komponen

supply chain yaitu inventory (inventory management) dan transportasi (rute

kendaraan) (Jemai, et al., 2013). Koordinasi dari dua drivers supply chain ini sering

dikenal sebagai IRP, yang merupakan pokok khusus dalam sistem Vendor Managed

Inventory (VMI) (Zachariadis, et al., 2009).

VMI adalah salah satu metode dalam logistik yang dapat memberikan nilai

tambah (Mirzapour & Rekik, 2014). Dalam sistem VMI, pihak perusahaan atau

distributor memonitor dan mengatur persediaan pada wholesaler atau retailer

(Romano, 2015). Pada prakteknya, VMI menerapkan kondisi win-win solutions

untuk manajemen persediaan, pihak supplier membuat keputusan pemenuhan

berdasarkan persediaan secara spesifik dan kebijakan supply chain (untuk

menghemat biaya distribusi dan produksi dengan mengombinasi dan

mengoordinasikan permintaan serta pengiriman untuk customer yang berbeda),

sementara pihak customer tidak memiliki wewenang untuk mengontrol dan

mengatur persediaannya (Coelho, et al., 2012).

Secara umum perbedaan antara VRP dan IRP yaitu pada Vehicle Routing

Problem (VRP) berkaitan dengan permasalahan mencari rute yang meminimasi

sebuah indikator ekonomi seperti meminimasi biaya transportasi. Di sisi lain, IRP

berkaitan dengan mencari rute optimal dan kebijakan persediaan di mana tidak

16

mengizinkan kekurangan stok (stockout) untuk setiap customer, sedangkan pada

VRP tidak menyangkut hal demikian (Soysal, et al., 2015). Pada IRP, jumlah dan

waktu pengiriman pada tiap customer serta rute kendaraan merupakan keputusan

yang harus dibuat oleh pembuat keputusan secara terus menerus (Soysal, et al.,

2015). Menurut Bertazzi, et al. (2002), dalam IRP terdapat tiga keputusan yang

harus dibuat yaitu kapan harus mengirimkan pada tiap customer, berapa banyak

yang harus dikirim kepada customer untuk melayaninya dan bagaimana

mengombinasikan customer ke dalam rute untuk dilalui kendaraan.

2.5.1 Penerapan dan Penyelesaian Permasalahan IRP

Penerapan dari IRP sendiri terdapat berbagai macam dalam industri yang

meliputi permasalahan distribusi gas alam cair, bahan baku industri kertas,

distribusi makanan pada rantai pasok supermarket, komponen automobil, produk

perishable, barang-barang makanan atau minuman, semen, bahan bakar, darah dan

limbah minyak organik (Coelho & Laporte, 2013b). Selain itu, Lmariouh, et al.

(2017) melakukan penerapan IRP pada perusahaan Air Minum Dalam Kemasan

(AMDK). Untuk menyelesaikan IRP, terdapat beberapa metode dan algoritma yang

dikembangkan secara heuristik dan eksak. Terdapat juga kombinasi dari metode

heuristik dan program matematis yang dikenal sebagai math-heuristik (Lmariouh,

et al., 2017).

Metode heuristik umumnya hanya bisa menyelesaikan permasalahan

sederhana IRP seperti dalam kasus Anily & Federgruen (1990); Burns, et al. (1985);

Dror, et al. (1985); Dror & Levy (1986). Sedangkan metode meta-heuristik dibahas

dalam Gendreau & Potvin (2010); Raidl, et al. (2010). Dalam Lmariouh, et al. (2017),

dalam penyelesaian IRP terdapat beberapa metode heuristik dan meta-heuristik di

antaranya Local Search, Variable Neighborhood Search, Greedy Randomized

Adaptive Search Procedures, Memetic Algorithms, Adaptive Large Neighborhood

Search, Column Generation, Tabu Search dengan MILP, Column Generation

dengan Game Theory dan Genetic Algorithms.

17

2.5.2 Pertimbangan Konsumsi Bahan Bakar dalam IRP

Karena meningkatnya perhatian pada aspek lingkungan, pemerintah dan

organisasi bisnis mencoba untuk mengurangi emisi karbon dari kegiatan logistik

(Ercan & Cinar, 2017). Sejak kegiatan transportasi memberi dampak secara

signifikan pada pemanasan global di dunia, logistik dengan memperhatikan aspek

lingkungan dan skema transportasi telah dikembangkan untuk mendapat kebijakan

berkelanjutan tanpa berdampak pada lingkungan (Alkawaleet, et al., 2014). Banyak

penelitian mengenai IRP dengan mempertimbangkan faktor lingkungan seperti

dalam Treitl, et al. (2014) dan Al Shamsi, et al. (2014) yang memasukkan faktor

emisi pada IRP untuk memperkirakan konsumsi bahan bakar.

Beberapa studi IRP lain yang mempertimbangkan konsumsi bahan bakar

juga terdapat pertimbangan emisi CO2 di antaranya Al Shamsi, et al. (2014), Soysal

(2016), Soysal, et al. (2015, 2016), Cheng, et al. (2016), Zhalechian, et al. (2016),

Kumar, et al. (2016), Tavakkoli-Moghaddam & Raziei (2016), Qiu, et al. (2017)

dan Ercan & Cinar (2017). Menurut Demir, et al. (2011) faktor yang

mempengaruhi konsumsi bahan bakar dikategorikan ke dalam empat macam yaitu

kendaraan, pengemudi, kondisi lingkungan dan kondisi lalu lintas. Mirzapour &

Rekik (2014) serta Alkawaleet, et al. (2014) juga memasukkan faktor emisi dalam

studi IRP mereka. Bagaimanapun, kedua studi tersebut menggunakan jarak sebagai

pendekatan perhitungan untuk emisi, yaitu emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan

per unit jarak dan tidak mempertimbangkan faktor lainnya seperti muatan

kendaraan dan kecepatan kendaraan. Terdapat studi lain yaitu VRP yang

mempunyai permasalahan serupa tentang konsumsi bahan bakar atau emisi seperti

dalam Franceschetti, et al. (2013). Bagaimanapun, konsumsi bahan bakar atau

emisi sulit dihitung secara pasti menggunakan rumus. Namun, model emisi dari

Barth, et al. (2005) merupakan formulasi yang meliputi banyak faktor.

2.5.3 Metode Penentuan Konsumsi Bahan Bakar

Dalam menentukan konsumsi bahan bakar kendaraan terdapat beberapa

metode yang bisa digunakan. Menurut Pīrs, et al. (2008), penentuan konsumsi

bahan bakar dapat dilakukan dengan masa uji coba jalan dan uji coba laboratorium.

18

Dalam penentuan uji coba dapat menggunakan beberapa metode di antaranya

metode volume, metode skala, metode aliran, metode elektronik dan metode analisa

struktur dari pembuangan gas. Metode volume yaitu penentuan konsumsi bahan

bakar berdasarkan volume. Metode skala ditentukan berdasarkan berat konsumsi

bahan bakar. Metode aliran yaitu penentuan jumlah konsumsi bahan bakar dalam

unit volume atau berat. Metode elektronik ditentukan oleh kondisi impuls kontrol

dari sistem supply. Satuan yang biasa digunakan sebagai acuan konsumsi bahan

bakar adalah mpg (miles per gallon) atau liter/100km.

Metode volume, metode skala dan metode aliran mampu memberikan

keakuratan konsumsi bahan bakar (Pīrs, et al., 2008). Pengukuran konsumsi bahan

bakar dengan metode volume diberikan pada persamaan (5) berikut (Pīrs, et al.,

2008).

𝐶 =𝑉(1 + 𝛼[𝑇𝑜 − 𝑇𝐹])

𝐿× 100 (5)

Keterangan,

C = konsumsi bahan bakar (liter/100km)

V = volume konsumsi bahan bakar (liter)

α = koefisien ekspansi bahan bakar (untuk solar dan premium 0,001 per K)

To = temperatur standar (oC)

TF = temperatur bahan bakar (oC)

L = jarak selama pengetesan (km)

Sedangkan menurut Syaputra (2015), metode umum yang biasa digunakan

untuk menghitung konsumsi bahan bakar adalah dengan full to full, yaitu dengan

membagi jarak tempuh dengan pemakaian bahan bakar antar pengisian penuh

tangki. Jarak tempuh diketahui dari odometer kendaraan sedangkan konsumsi

bahan bakar diketahui dari jumlah liter bahan bakar yang diperlukan pada saat

pengisian penuh. Cara ini bisa digunakan untuk mengetahui konsumsi bahan bakar

ketika kendaraan tanpa muatan maupun dengan muatan.

19

Sementara itu, Cheng, et al. (2016) mengenalkan formulasi untuk

menghitung konsumsi bahan bakar dengan mempertimbangkan faktor muatan

kendaraan. Model ini dikembangkan berdasarkan formulasi dari Xiao, et al. (2012)

untuk menghitung konsumsi bahan bakar yang diperlukan dari titik satu ke titik

lain. Persamaan (6) berikut merupakan model yang dikembangkan.

𝐹𝐶𝑖𝑗𝑡 = (𝜌0

𝜌∗ − 𝜌0

𝐶𝑄𝑖𝑗𝑡) 𝑐𝑖𝑗 (6)

Keterangan :

FCijt = konsumsi bahan bakar dari titik i ke titik j di periode t

ρ0 = rate konsumsi bahan bakar kendaraan ketika kosong (l/km)

ρ* = rate konsumsi bahan bakar kendaraan saat muatan penuh (l/km)

C = kapasitas muatan kendaraan

Qijt = total berat produk yang dibawa oleh kendaraan melalui jalur (i,j) di

periode t

cij = jarak antara titik i ke titik j

2.5.4 Macam-macam Inventory Routing Problem

Permasalahan IRP memiliki berbagai varian di antaranya Periodic IRP

(PIRP), Multiperiod IRP, Multivehicle IRP (MIRP), Multiproduct IRP dan

Multivehicle Multiproduct IRP (MMIRP). Selain itu terdapat juga kombinasi

permasalahan VRP dengan IRP seperti Multitrip Inventory Routing Problem with

Time Windows, Shift Time Limits and Variable Delivery Time (MTIRPTW-STL-

VDT) yang diperkenalkan oleh Campbell & Savelsbergh (2004). Sementara itu,

Iassinovskaia, et al. (2017) memperkenalkan Pickup and Delivery Inventory

Routing Problem with Time Windows (PDIRPTW).

2.5.5 Multiproduct Multivehicle Inventory Routing Problem (MMIRP)

Multiproduct Multivehicle Inventory Routing Problem (MMIRP) merupakan

salah satu permasalahan terkini dalam supply chain. Permasalahan ini merupakan

bagian dari Inventory Routing Problem (IRP) di mana terdapat beberapa produk

dan beberapa armada kendaraan, yang mana hal ini lebih mendekati permasalahan

20

kehidupan nyata (Lmariouh, et al., 2017). MMIRP adalah permasalahan di mana

supplier memiliki tugas untuk mendistribusikan beberapa produk kepada

sekumpulan customer yang tersebar secara geografis menggunakan armada

kendaraan, customer dan kendaraan memiliki kapasitas persediaan maksimal yang

dapat dibagi dengan semua produk (Coelho & Laporte, 2013a).

Tujuan dari MMIRP menurut Coelho & Laporte (2013a) yaitu untuk

meminimalkan total biaya distribusi dan persediaan saat memenuhi permintaan

customer. Karakteristik rencana pemenuhan dalam MMIRP memiliki beberapa

batasan sebagai berikut. Pertama, tingkat persediaan pada tiap customer tidak

pernah melebihi kapasitas maksimumnya. Kedua, tingkat persediaan tidak

diizinkan bernilai negatif (berkurang atau mengalami stockout). Ketiga, setiap

kendaraan dari supplier menggunakan satu rute tiap periode. Keempat, setiap rute

berawal dan berakhir di supplier. Kelima, permintaan produk yang dibawa tidak

boleh melebihi kapasitas kendaraan.

Beberapa studi MMIRP diselesaikan metode heuristik dan eksak untuk

menyelesaikan masalah ini. Terdapat juga metode stokastik yang secara khusus

mempertimbangkan parameter ketidakpastian seperti permintaan, biaya

transportasi dan inventory dan lain-lain. Tabel 2.1 berikut menunjukkan metode

penyelesaian dari kasus MMIRP.

Tabel 2.1. Metode penyelesaian MMIRP di beberapa penelitian

Peneliti Metode

Heuristik Eksak

Huang & Lin (2010)

Coelho & Laporte (2013a)

Rahimi, et al. (2016)

Ercan & Cinar (2017)

Hasni, et al. (2017)

Lmariouh, et al. (2017)

Berdasarkan tabel 2.1 di atas penelitian Coelho & Laporte (2013a)

menggunakan algoritma Branch and Cut dan Solutions Improvement Algorithm

untuk memperkirakan solusi biaya baru yang dihasilkan dari menghapus titik dan

menyisipkannya kembali. Huang & Lin (2010) menggunakan algoritma Ant Colony

21

Optimization yang telah dimodifikasi. Hasil yang didapatkan yaitu modifikasi

algoritma Ant Colony Optimization lebih baik dari Ant Colony Optimization

konvensional berdasarkan biaya stockout, total biaya, total failure length dan jarak

tempuh. Ercan & Cinar (2017) menggunakan Mixed Integer Linear Programming

(MILP) untuk kasus deterministik dan Mixed Integer Linear Stochastic

Programming (MILSP) untuk kasus stokastik dengan metode Sample Average

Approximation (SAA). Penelitian ini menggunakan set data yang dihasilkan oleh

Coelho & Laporte (2013a). Kesimpulan yang didapatkan pengolahan dengan

MMIRP dengan MILP yang diusulkan memiliki selisih 1% terhadap solusi optimal.

Hasni, et al. (2017) menggunakan General Variable Neighborhood Search

(GVNS). Ia membandingkan dengan algoritma Branch and Cut dengan kesimpulan

algoritma GVNS tersebut mampu untuk menyelesaikan kasus untuk jumlah

customer 10 sampai 100, tujuh periode, tujuh kendaraan dan lima produk. Rahimi,

et al. (2016) memperkenalkan bi-objective mathematical model yang digunakan

untuk menyelesaikan permasalahan distribusi produk perishable. Kesimpulan yang

dihasilkan yaitu dapat mengurangi produk rusak dan mengurangi emisi kendaraan.

Lmariouh, et al. (2017) menggunakan model matematis MILP yang diperkenalkan

oleh Coelho & Laporte (2013a) untuk penyelesaian kasus distribusi AMDK.

2.5.6 Model matematis Multiproduct Multivehicle Inventory Routing Problem

Model matematis MMIRP yang digunakan pada penelitian ini diperkenalkan

oleh Ercan & Cinar (2017). Pada model matematis MMIRP ini menggunakan

Mixed Integer Linear Programming (MILP). Dalam Ercan & Cinar (2017),

mendefinisikan 𝒢 = (𝒱,𝒜) sebagai grafik jalur di mana 𝒱 = {0,1,...,N} adalah

sekumpulan titik supplier dan customer dan 𝒜 = {( 𝑖 , 𝑗 ) | 𝑖 , 𝑗 ∈ ∀ , 𝑖 ≠ 𝑗 } merupakan

set jalur yang menghubungkan antar titik-titik tersebut. Titik 0 merujuk pada

supplier, dan titik-titik pada set 𝒱' = 𝒱 \ 0 merepresentasikan customer. Terdapat

set produk ℳ = {1,...,M} yang akan didistribusikan ke berbagai customer oleh

supplier. Terdapat armada kendaraan heterogen 𝒦 = {1,...,K} yang tersedia untuk

mengirimkan produk ke sejumlah customer.

22

Dalam beberapa literatur, formulasi untuk merepresentasikan konsumsi

bahan bakar telah dikenalkan khususnya untuk permasalahan routing problem

dalam Demir, et al. (2014) dan Ma, et al. (2014). Dalam Kopfer & Kopfer (2013)

dan Kara, et al. (2007) konsumsi bahan bakar dihitung dengan mempertimbangkan

muatan, jarak, dan fitur kendaraan. Variabel keputusan 𝑥𝑖𝑗𝑘𝑡 merupakan bilangan

biner {0,1} yang akan bernilai 1 jika kendaraan k mengunjungi titik j setelah titik i

pada periode waktu t, selain itu bernilai 0. Variabel keputusan 𝑞𝑖𝑗𝑘𝑚𝑡 menjadi

variabel kontinu yang menunjukkan jumlah produk m yang dibawa oleh kendaraan

k pada jalur (i,j) pada periode t. Total fuel cost (TFC) atau total biaya bahan bakar

direpresentasikan dengan persamaan (7) berikut.

𝑇𝐹𝐶 = 𝑢 ∑ 𝑑𝑖𝑗 ( ∑ ∑ 𝑎𝑘𝑥𝑖𝑗𝑘𝑡 + ∑ ∑ ∑ 𝑏𝑘𝑞𝑖𝑗𝑘𝑚

𝑡 𝑤𝑚

𝑡∈𝒯𝑘∈𝒦𝑚∈ℳ𝑡∈𝒯𝑘∈𝒦

) (7)

(𝑖,𝑗)∈𝒜

Di mana u adalah harga bahan bakar, 𝑎𝑘 merupakan rate konsumsi bahan

bakar per kilometer untuk kendaraan k ketika kosong, 𝑏𝑘 merupakan rate konsumsi

bahan bakar per muatan per kilometer untuk kendaraan k. Variabel keputusan 𝐼𝑖𝑚𝑡

merupakan tingkat persediaan produk m di titik i pada akhir periode t. Total

inventory cost (TIC) atau total biaya persediaan dihitung dengan persamaan (8)

berikut.

𝑇𝐼𝐶 = ∑ ∑ ∑ 𝐼𝑖𝑚𝑡 ℎ𝑖𝑚 (8)

𝑡∈𝒯𝑚∈ℳ𝑖∈𝒱′

Tabel 2.2 berikut ini merupakan definisi dari tiap parameter, variabel

keputusan, fungsi tujuan dan kendala dari model matematis MMIRP.

23

Tabel 2.2. Definisi formulasi MMIRP

Set indeks

𝒱 Set titik, 𝒱 = {0,1, . . . , 𝑁}, di mana 0 menunjukkan supplier

𝒱′ = 𝒱 \ 0 customer

𝒜 Set jalur 𝒜 = {(𝑖, 𝑗)|𝑖, 𝑗 ∈ ∀, 𝑖 ≠ 𝑗}

ℳ Set produk ℳ = {1, … , 𝑀}

𝒦 Set kendaraan 𝒦 = {1, … , 𝐾}

𝒯 Set periode 𝒯 = {1, … , 𝑇}

Variabel Keputusan

𝑥𝑖𝑗𝑘𝑡

Bilangan biner, bernilai 1 jika kendaraan k mengunjungi titik j

setelah titik i, selain itu bernilai 0 (𝑖, 𝑗 ∈ 𝒱, 𝑘 ∈ 𝒦, 𝑡 ∈ 𝒯)

𝑞𝑖𝑗𝑘𝑚𝑡

Total jumlah produk m yang dibawa dari titik i ke titik j oleh

kendaraan k pada waktu t (𝑖, 𝑗 ∈ 𝒱, 𝑚 ∈ ℳ, 𝑘 ∈ 𝒦, 𝑡 ∈ 𝒯)

𝐼𝑖𝑚𝑡

Tingkat persediaan produk m di titik i pada akhir periode t (𝑖 ∈𝒱′, 𝑚 ∈ ℳ, 𝑡 ∈ 𝒯)

𝑅𝑖𝑚𝑡

Jumlah total produk yang diterima pada titik i dari supplier pada

waktu t (𝑖 ∈ 𝒱′, 𝑚 ∈ ℳ, 𝑡 ∈ 𝒯)

Parameter

𝑠𝑚𝑡

Jumlah produk m yang tersedia untuk dikirim oleh supplier pada

waktu t (𝑡 ∈ 𝒯)

𝑐𝑖𝑚𝑡

Permintaan untuk produk m oleh titik i pada periode t (𝑖 ∈𝒱′, 𝑚 ∈ ℳ, 𝑡 ∈ 𝒯)

ℎ𝑖𝑚 Biaya persediaan per unit untuk produk m di titik i (𝑖 ∈ 𝒱′, 𝑚 ∈ℳ)

𝐼𝑖𝑚0 Inisial tingkat persediaan titik i untuk produk m (𝑖 ∈ 𝒱′, 𝑚 ∈ ℳ)

𝐻𝐶𝑖 Kapasitas persediaan untuk titik i (𝑖 ∈ 𝒱′)

𝑑𝑖𝑗 Jarak dari titik i ke titik j (𝑖, 𝑗 ∈ 𝒱)

𝑄𝑘 Kapasitas kendaraan k (𝑘 ∈ 𝒦)

𝑎𝑘 Konsumsi bahan bakar kendaraan k per kilometer ketika tanpa

muatan (𝑘 ∈ 𝒦)

𝑏𝑘 Konsumsi bahan bakar kendaraan k per unit muatan per kilometer

(𝑘 ∈ 𝒦)

𝑤𝑚 Berat untuk satu unit produk m (𝑚 ∈ ℳ)

u Harga bahan bakar

Model MILP untuk permasalahan MMIRP diformulasikan sebagai berikut.

Fungsi tujuan MMIRP.

min 𝑢 ∑ 𝑑𝑖𝑗 ( ∑ ∑ 𝑎𝑘𝑥𝑖𝑗𝑘𝑡 + ∑ ∑ ∑ 𝑏𝑘𝑞𝑖𝑗𝑘𝑚

𝑡 𝑤𝑚

𝑡∈𝒯𝑘∈𝒦𝑚∈ℳ𝑡∈𝒯𝑘∈𝒦

) + ∑ ∑ ∑ 𝐼𝑖𝑚𝑡 ℎ𝑖𝑚 (9)

𝑡∈𝒯𝑚∈ℳ𝑖∈𝒱′(𝑖,𝑗)∈𝒜

24

Fungsi tujuan pada persamaan (9) bertujuan untuk meminimasi total biaya.

Total biaya tersebut didapatkan dari jumlah biaya transportasi ditambah dengan

jumlah biaya persediaan.

Dengan fungsi pembatas sebagai berikut.

∑ ∑ 𝑥𝑖𝑗𝑘𝑡 ≤ 1

𝑘∈𝒦𝑗∈𝒱,𝑗≠𝑖

∀𝑖 ∈ 𝒱′, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (10)

Persamaan (10) memastikan bahwa setiap customer dikunjungi sebanyak

sekali di setiap periode waktu.

∑ 𝑥𝑖𝑗𝑘𝑡 = ∑ 𝑥𝑗𝑖𝑘

𝑡

𝑗∈𝒱,𝑗≠𝑖𝑗∈𝒱,𝑗≠𝑖

∀𝑖 ∈ 𝒱′, ∀𝑘 ∈ ∀𝑡 ∈ 𝒯 (11)

Persamaan (11) menjamin bahwa jika kendaraan tiba pada titik i di periode

waktu t, maka harus meninggalkan titik tersebut pada periode yang sama.

∑ 𝑥𝑖𝑗𝑘𝑡 ≤ 1

𝑘∈𝒦

∀(𝑖, 𝑗) ∈ 𝒜, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (12)

Berdasarkan persamaan (12), sebanyak satu kendaraan yang bisa

menggunakan jalur (i,j) di tiap periode waktu.

∑ 𝑥0𝑗𝑘𝑡 ≤ 1

𝑗∈𝒱′

∀𝑘 ∈ 𝒦, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (13)

Pada persamaan (13), kendaraan melakukan perjalanan sebanyak sekali di

tiap periode waktu.

∑ ∑ 𝑞𝑗𝑖𝑘𝑚𝑡

𝑘∈𝒦𝑗∈𝒱,𝑗≠𝑖

= 𝑅𝑖𝑚𝑡 + ∑ ∑ 𝑞𝑖𝑗𝑘𝑚

𝑡

𝑘∈𝒦𝑗∈𝒱,𝑗≠𝑖

∀𝑖 ∈ 𝒱′, ∀𝑚 ∈ ℳ, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (14)

Persamaan (14) memastikan bahwa selisih antara jumlah incoming dan

outgoing produk m di titik i harus sama dengan jumlah produk m yang diterima oleh

titik i di periode waktu t.

𝐼𝑖𝑚𝑡−1 + 𝑅𝑖𝑚

𝑡 = 𝑐𝑖𝑚𝑡 + 𝐼𝑖𝑚

𝑡 ∀𝑖 ∈ 𝒱′, ∀𝑚 ∈ ℳ, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (15)

25

Persamaan (15) memberi tingkat persediaan produk m untuk tiap titik i di

periode waktu t.

∑ 𝑞𝑖𝑗𝑘𝑚𝑡

𝑚∈ℳ

𝑤𝑚 ≤ 𝑄𝑘𝑥𝑖𝑗𝑘𝑡 ∀(𝑖, 𝑗) ∈ 𝒜, ∀𝑘 ∈ 𝒦, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (16)

Persamaan (16) merupakan batasan kapasitas kendaraan, di mana jumlah

produk yang dibawa tidak boleh melebihi kapasitas kendaraan.

∑ ∑ 𝑞0𝑗𝑘𝑚𝑡

𝑘∈𝒦𝑗∈𝒱′

≤ 𝑠𝑚𝑡 ∀𝑚 ∈ ℳ, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (17)

Persamaan (17) memastikan bahwa jumlah total produk m yang dikirimkan

oleh supplier tidak boleh melebihi jumlah ketersediaan produk di supplier.

∑ 𝐼𝑖𝑚𝑡

𝑚∈ℳ

𝑤𝑚 ≤ 𝐻𝐶𝑖 ∀𝑖 ∈ 𝒱′, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (18)

Persamaan (18) menjamin bahwa tingkat persediaan titik tidak boleh melebihi

kapasitas persediaan dalam tiap periode.

𝑞𝑖𝑗𝑘𝑚𝑡 ≥ 0 ∀𝑖, 𝑗 ∈ 𝒱, ∀𝑚 ∈ ℳ, ∀𝑘 ∈ 𝒦, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (19)

𝑥𝑖𝑗𝑘𝑡 ∈ {0.1} ∀𝑖, 𝑗 ∈ 𝒱, ∀𝑘 ∈ 𝒦, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (20)

𝐼𝑖𝑚𝑡 ≥ 0 ∀𝑖 ∈ 𝒱, ∀𝑚 ∈ ℳ, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (21)

𝑅𝑖𝑚𝑡 ≥ 0 ∀𝑖 ∈ 𝒱′, ∀𝑚 ∈ ℳ, ∀𝑡 ∈ 𝒯 (22)

Persamaan (19), (20), (21), (22) memberikan batasan bilangan bulat (integer)

dan nonnegatif untuk variabel keputusan.