BAB II LANDASAN TEORI -...

24
11 BAB II LANDASAN TEORI A. Kekerasan (Violence) Pada saat ini, masalah kekerasan di negeri ini ternyata tidak hanya milik preman (yang selalu di identikan dengan kekerasan) tetapi juga siswa, dari tawuran antar sekolah, pacaran dengan kekerasan, dan sebagainya. Beberapa hal bisa dicermati dalam banyak kasus kekerasan yang mewarnai dunia pendidikan berkaitan dengan proses belajar sosial. Menurut Kamus Sosiologi, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda (Soekanto, 1999). Di dalam KUHP, pengertian kekerasan diatur dalam Pasal 89 KUHP yang menyatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Secara bahasa, kekerasan (violence) dimaknai Mansour sebagai serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang (dalam Fakih, 1996). Sementara menurut Galtung, terminologi kekerasan atau violence berasal dari bahasa latin vis vis yang berarti daya atau kekuatan dan latus yang berarti membawa sehingga bisa diartikan secara harfiah sebagai daya atau kekuatan untuk membawa (dalam Warsana, 1992). Manusia cenderung melakukan repetisi terhadap perilaku orang disekitarnya, terutama perilaku yang dipersepsikan dapat memberikan keuntungan bagi pelakunya atau sebagai pemecahan masalah yang efisien.

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI -...

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

11

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kekerasan (Violence)

Pada saat ini, masalah kekerasan di negeri ini ternyata tidak hanya

milik preman (yang selalu di identikan dengan kekerasan) tetapi juga siswa,

dari tawuran antar sekolah, pacaran dengan kekerasan, dan sebagainya.

Beberapa hal bisa dicermati dalam banyak kasus kekerasan yang mewarnai

dunia pendidikan berkaitan dengan proses belajar sosial.

Menurut Kamus Sosiologi, kekerasan adalah penggunaan kekuatan

fisik secara paksa terhadap orang atau benda (Soekanto, 1999). Di dalam

KUHP, pengertian kekerasan diatur dalam Pasal 89 KUHP yang menyatakan

bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan

menggunakan kekerasan. Secara bahasa, kekerasan (violence) dimaknai

Mansour sebagai serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun

integritas mental psikologis seseorang (dalam Fakih, 1996). Sementara

menurut Galtung, terminologi kekerasan atau violence berasal dari bahasa

latin vis vis yang berarti daya atau kekuatan dan latus yang berarti membawa

sehingga bisa diartikan secara harfiah sebagai daya atau kekuatan untuk

membawa (dalam Warsana, 1992).

Manusia cenderung melakukan repetisi terhadap perilaku orang

disekitarnya, terutama perilaku yang dipersepsikan dapat memberikan

keuntungan bagi pelakunya atau sebagai pemecahan masalah yang efisien.

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

12

Pemberitaan di televisi dan media cetak tentang bagaimana aksi kekerasan dan

akibatnya yang terjadi di berbagai tempat, mungkin saja menyebabkan

terjadinya peniruan perilaku itu oleh para siswa. Observasi langsung para

pelaku kekerasan terhadap kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh

angkatan-angkatan sebelumnya di tahun-tahun yang lalu kemudian ditiru oleh

siswa pada saat ini karena dianggap sebagai solusi efektif dalam memecahkan

suatu masalah. Proses belajar seperti itu dimungkinkan karena pengaruh

penguatan (reinforcement), baik berupa tiadanya punishment maupun reward

(Setyawati, 2010).

Jika siswa mengobservasi bahwa aksi kekerasan yang terjadi di

lingkungan sekolahnya tersebut tidak mendapatkan hukuman (baik oleh

kepala sekolah, guru maupun pihak berwajib), maka aksi yang sama akan

dilakukan oleh siswa di masa sekarang dan akan datang. Tidak ada ketegasan

dalam menerapkan aturan main yang seharusnya menjadi kesepakatan

bersama menimbulkan kecenderungan untuk melakukan kegiatan yang

melawan hukum dan dapat membentuk persepsi yang buruk terhadap

penegakan hukum. Jika siswa percaya bahwa melakukan kekerasan tidak akan

mendapatkan hukuman, maka siswa akan cenderung menggunakan kekerasan

untuk memperjuangkan kepentingannya dan mengaplikasikannya di

kehidupan sehari-hari dalam berinteraksi dengan orang lain sebagai suatu hal

yang tidak lagi tabu. Terutama ketika berinteraksi dengan orang-orang

terdekatnya seperti pacar atau keluarga (Setyawati, 2010).

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

13

B. Pacaran

Pacaran dapat diartikan sebagai hubungan khusus dengan lawan jenis

yang melukiskan sebuah pola ketertarikan antartubuh yang melibatkan

segenap emosi, jiwa dan raga. Makna asli pacaran berdasarkan etimologinya

adalah persiapan menikah. Menurut Kamus Bahasa Portugis-Brazil pacaran

atau yang lebih dikenal dengan istilah “namoro” adalah suatu kegiatan yang

menyangkut hubungan antar individu untuk mencoba saling menjajagi

perasaan dan atau secara seksual antara dua orang, melalui pertukaran

pengalaman dan hidup bersama guna saling lebih membina kecocokan dalam

berumah tangga (Mustika, 2009).

Menurut Duval dan Miller (1985), pacaran adalah hubungan antara

laki-laki dan perempuan yang diwarnai keintiman. Keduanya terlibat dalam

perasaan cinta dan saling mengakui pasangan sebagai pacar. Adapun

komponen utama dari pacaran diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Bertemu di suatu tempat yang telah ditetapkan bersama untuk berkasih-

kasihan

2. Dilakukan dengan kekasih atau teman lain jenis yang tetap

3. Perilaku menyenangkan yang diinginkan oleh pasangannya yang lain.

Straus (2004) mendefinisikan pacaran sebagai hubungan khusus yang

melibatkan pertemuan untuk berinteraksi sosial dan melakukan aktivitas

bersama-sama dengan maksud yang eksplisit ataupun implisit untuk

melanjutkan hubungan tersebut hingga salah satu pihak mengakhiri atau

sampai beberapa hubungan lain yang lebih berkomitmen dipelihara (misalnya,

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

14

pertunangan, atau pernikahan). Norma-norma sosial untuk berpacaran dan

perilaku berpacaran sebenarnya berbeda menurut banyak dimensi, yang

meliputi perbedaan individu, ras/ etnis dan perbedaan kelompok sosial

ekonomi, sejarah, dan konteks budaya. Di samping perbedaan-perbedaan ini,

ada juga beberapa persamaan struktural yang melekat; sebagai contoh, sebuah

hubungan khusus biasanya menghabiskan watu dan tenaga dari masing-

masing pihak. Oleh karena itu, proses interaksi sosial yang khas tersebut

kemungkinan akan berlaku terlepas dari apakah hubungan ini diatur oleh

orang tua atau teman, oleh koran atau internet, atau salah satu pihak mulai

mengembangkan hubungan tersebut.

Pada umumnya, siswa yang berpacaran memiliki hubungan yang lebih

intim dari berbagai segi, baik itu komitmen maupun fisik. Keintiman ini

menyebabkan rawannya terjadi perilaku tidak sehat, mulai dari yang ringan

hingga berat seperti seks bebas dan terjadinya dominasi berlebihan dari salah

satu pihak yang berujung pada terjadinya kekerasan dalam pacaran.

C. Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)

1. Definisi Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)

Pada kasus kekerasan dalam pacaran cinta telah membutakan

batas humanisme. Meskipun korban mendapat perlakuan yang tak pantas

dari pasangannya namun selalu saja bersedia memaafkan dan akhirnya

kembali menjalani hubungan yang tak sehat ini. Biasanya pihak-pihak

yang terlibat kekerasan dalam pacaran (KDP) kemudian mengalami

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

15

disonansi kognitif, mereka tak dapat lagi memakai pandangan yang normal

dalam memaknai pacaran yang sehat. Antara korban dan pelaku telah

timbul suatu ketergantungan yang tak sehat, mereka terlarut dalam

kekerasan yang berselimutkan kasih sayang. Sebagian besar menganggap

bahwa hal tersebut adalah bagian duka yang harus dilaluinya dalam suka

duka sebuah hubungan sehingga persepsi yang timbul pada diri korban

mengenai kekerasan dalam pacaran adalah bentuk kasih sayang yang

berbeda (Arika, 2007).

Menurut Abbot (1992) kekerasan dalam pacaran adalah segala

bentuk tindakan yang mempunyai unsur kekerasan yang meliputi

pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik maupun psikologis

yang terjadi dalam hubungan pacaran. Hal ini dapat dilakukan oleh pria

maupun wanita, bahkan pada pasangan sejenis seperti gay atau lesbi

(Arika, 2007). Meski hubungan pacaran belum diikat pernikahan, ternyata

banyak yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya.

Dari beberapa definisi kekerasan dalam pacaran (KDP) di atas

dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah

perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan

termasuk penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan penelantaran

termasuk juga ancaman yang menghasilkan kesengsaraan di dalam lingkup

hubungan pacaran.

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

16

2. Karakteristik Korban Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)

Adapun karakteristik korban kekerasan dalam pacaran kekerasan

dalam pacaran (KDP) adalah sebagai berikut : (Sugarman, and Hotaling,

1989)

a. Perempuan muda, berusia antara 12 hingga 18 tahun lebih sering

menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh kenalan, teman, atau

pacar dibandingkan perempuan yang lebih tua (Bachman, R; Saltzman,

L.E, 1995).

b. Perempuan yang memiliki teman (peer group) pernah menjadi korban

kekerasan seksual lebih sering menjadi korban kekerasan dalam

pacaran (Gwartney-Gibbs, P. A.; Stockard, J.; and Bohmer, S, 1987).

c. Perempuan yang jarang pergi ke tempat ibadah (Makepeace, J. M,

1987)

d. Perempuan yang memiliki bekas pacar banyak (Gray, H.M.; Foshee,

V, 1997).

e. Perempuan yang sering berpacaran dan perempuan yang pernah

mengalami kekerasan serupa sebelumnya (Agenton, S., 1983).

3. Bentuk-Bentuk Perilaku Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)

Jurnal Perempuan (2002) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk

prilaku dari kekerasan dalam pacaran (KDP) yaitu : (Arieka, 2007)

a. Kekerasan Emosional

Bentuk kekerasan ini biasanya jarang disadari, karena

memang wujudnya tidak kelihatan. Namun sebenarnya, kekerasan ini

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

17

justru akan menimbulkan perasaan tertekan, tidak bebas dan tidak

nyaman. Bentuk kekerasan non fisik ini antara lain berupa :

1)Pemberian julukan yang mengandung olok-olok, membuat seseorang

jadi bahan tertawaan, 2) Cemburu yang berlebihan, 3) Membatasi

pasangannya untuk melakukan kegiatan yang disukai, 4) Pemerasan

(memaksa meminta uang, meminta barang dan sebagainya), 5)

Mengisolasi/larangan berteman, 6) Larangan bersolek, 7)Larangan

bersikap ramah pada orang lain.

b. Kekerasan Fisik

Bentuk kekerasan fisik ini antara lain berupa :

1) Memukul, 2) Menampar, 3) Menendang, 4) Menjambak rambut

Ini biasanya dilakukan karena pasangannya tidak mau menuruti

kemauannya atau dianggap telah melakukan kesalahan.

c. Kekerasan Seksual

Bentuk kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan

seksual, dan pelecehan seksual, yaitu :

1) Rabaan, 2) Ciuman, 3) Sentuhan yang dilakukan tanpa persetujuan.

Perbuatan tanpa persetujuan atau pemaksaan itu biasanya disertai

ancaman akan ditinggalkan, akan menyengsarakan atau ancaman

kekerasan fisik.

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

18

4. Dampak Perilaku Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)

Menurut Minna (2010) dampak perilaku kekerasan pacaran yang

dilakukan secara emosional adalah sebagai berikut :

a. Menurunnya rasa percaya diri

Agresivitas dalam berkomunikasi seperti: membentak, memaki, tidak

menghargai pendapat korban (disepelekan), melarang bergaul, tidak

pernah diajak diskusi yang sehat, mengancam, maupun melecehkan

akan membuat korban menjadi bahan olok-olokan atau tertawaan bagi

teman-temannya maupun di tempat umum. Hal ini secara otomatis

akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. Korban merasa

minder untuk bergaul terutama ketika memasuki lingkungan yang

baru. Akibatnya, korban terhambat kehidupan sosialnya karena tidak

mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan.

b. Meningkatnya rasa cemas

Rasa tertekan yang dialami korban secara terus menerus akan

membuatnya memiliki rasa cemas yang berlebihan. Korban dihantui

rasa takut melakukan kesalahan kepada pacarnya. Setiap kali

melakukan aktivitas, korban merasa cemas dan takut hal itu tidak

berkenan di hati pacarnya dan membuat pacarnya marah. Rasa cemas

yang dialami korban secara terus menerus terbawa dalam kehidupan

sehari-hari korban ketika ia bersosialisasi dengan lingkungannya.

Korban menjadi sulit mempercayai orang lain sehingga dalam

kehidupan sosialnya korban sulit bergaul dengan orang lain, lama

kelamaan hal ini akan membuat korban terisolir dari lingkungannya.

c. Menurunnya produktivitas kerja atau prestasi

Terbatasnya ruang gerak aktivitas sosial korban akibat kekerasan

dalam pacaran. Pengawasan yang dilakukan pelaku menjadikan korban

terbatas ruang geraknya, termasuk ruang gerak sosialnya. Hal ini

diperparah dengan beberapa perasaan tidak senang yang diungkapkan

pelaku ketika mengetahui beberapa aktivitas pacarnya. Pelaku

mungkin tidak melarangnya, tapi ungkapan tidak senangnya sudah

cukup membuat korban menghentikan aktivitas rutin kegemarannya.

d. Mengalami sakit fisik

Koalisi Antikekerasan di Alabama menyebutkan bahwa satu dari tiga

anak mengalami kekerasan fisik selama pacaran usia dini. Bentuknya

seperti mendorong, memukul, mencekik, dan membunuh. Kejahatan

tersebut sangat tertutup karena pihak korban ataupun pelaku tidak

mengakui adanya masalah selama hubungan kencan. Kekerasan fisik

ini dapat berefek psikis pula, seperti menurunnya konsentrasi, perasaan

malu, dan sebagainya.

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

19

5. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)

Penyebab kekerasan dalam pacaran (KDP) dalam Jurnal

Perempuan tahun 2002, antara lain: (Arieka, 2007)

a. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan

Pola asuh orang tua adalah interaksi antara orang tua dengan

anaknya selama mengadakan pengasuhan”. Interaksi ini dapat dilihat

dari beberapa segi antara lain dari cara orang tua memberikan

peraturan dan disiplin, hadiah dan hukuman, juga tanggapan terhadap

keinginan anak. Oleh karena itu orang tua besar sekali andilnya dalam

pembentukan dan perkembangan, baik fisik maupun psikis anak,

terutama konsep diri anak mengingat konsep diri merupakan inti

kepribadian.

Ketika seorang anak memiliki pengalaman menjadi korban

kekerasan pada masa kecil atau menyaksikan tindak kekerasan dalam

keluarganya, sangat berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan juga

ketika dia dewasa

b. Peer group

Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh

kembang manusia. Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok

biasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi,

nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku

dalam kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya

kelompok semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut

peer group.

Teman sebaya memang memiliki pengaruh yang besar dalam

memberikan kontribusi semakin tingginya angka kekerasan antar

pasangan. Berteman dengan teman yang sering terlibat kekerasan dapat

meningkatkan resiko terlibat kekerasan dengan pasangannya.

c. Media massa

Media massa sedikit banyak juga memberikan kontribusi

terhadap munculnya perilaku agresif terhadap pasangan. Tayangan

kekerasan yang sering muncul dalam program siaran televisi maupun

adegan sensual dalam film tertentu dapat memicu tindakan kekerasan

terhadap pasangan dalam hubungan pacaran.

Tingkat kekerasan pada remaja di Indonesia, entah itu tawuran,

pemerasan antar teman, ataupun kekerasan terhadap pasangan rawan

terjadi pada tingkat pelajar SMP ke atas. Banyaknya memori

kekerasan yang tersimpan di otak, membuat para remaja ini bersifat

sangat permisif bahkan terkadang sangat agresif terhadap kekerasan

yang terjadi dilingkungannya.

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

20

d. Kepribadian

Salah satu akar kekerasan adalah karena faktor kepribadian.

Pada gangguan jiwa ada yang diistilahkan dengan gangguan

kepribadian. Salah satunya adalah gangguan kepribadian dengan pola

agresif. Orang yang mengalami gangguan kepribadian pola agresif ini

dicirikan dengan tingkah laku yang mudah tersinggung dan destruktif

bila keinginannya tidak tercapai atau bila menghadapi situasi yang

menyebabkannya menjadi frustrasi.

Selain gangguan kepribadian, tingkah laku kekerasan juga

terjadi karena adanya kepribadian status. Kepribadian status adalah

kepribadian yang dimiliki oleh seseorang berkaitan dengan statusnya.

Kepribadian status ini seringkali berbeda bahkan sangat berbeda

dengan kepribadian asli dari orang yang bersangkutan. Peristiwa

kekerasan yang menimpa para pasangan kekasih oleh kekasihnya

sendiri adalah contoh dari kepribadian status tersebut. Pada kehidupan

sehari-hari mungkin para remaja yang melakukan tindak kekerasan ini

tidak pernah melakukan hal yang sama kepada orang lain. Status

sebagai pacar menyebabkannya berperilaku keras terhadap pacarnya.

e. Peran jenis kelamin

Pada banyak kasus, korban kekerasan dalam pacaran adalah

perempuan. Hal ini terkait dengan aspek sosio budaya yang

menanamkan peran jenis kelamin yang membedakan laki-laki dan

perempuan. Laki-laki dituntut untuk memiliki citra maskulin dan

macho, sedangkan perempuan feminim dan lemah gemulai. Laki-laki

juga dipandang wajar jika agresif, sedangkan perempuan diharapkan

untuk mengekang agresifitasnya. Walaupun kesetaraan jender sudah

marak dibicarakan, namun masih terdapat pandangan di masyarakat

akan superioritas maskulin yang diidentikkan dengan laki-laki.

Dari uraian di atas tampak bahwa faktor-faktor sosial seperti pola

asuh dan lingkungan keluarga, peer group, media massa, dan pembagian

peran menurut jenis kelamin adalah faktor dominan yang menyebabkan

terjadinya kekerasan dalam pacaran disamping faktor yang lain yaitu

kepribadian individu. Dan pada dasarnya kepribadian individu terbentuk

dari lingkungan sosialnya. Dari penyebab-penyebab kekerasan dalam

pacaran tersebut pada akhirnya akan menimbulkan dampak fisik dan psikis

yang mempengaruhi kehidupan sosial pelaku dan korban.

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

21

D. Konseling Kelompok Behavioristik

1. Konsep Dasar Teori Behavioral

Terapi perilaku adalah penerapan aneka ragam teknik dan

prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Terapi ini

menyertakan penerapan yang sistematis prinsip-prinsip belajar pada

pengubahan perilaku ke arah cara-cara yang adaptif. Dalam konsep

behavioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat

diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar.

Pada dasarnya, terapi perilaku diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh

perilaku baru, penghapusan perilaku yang maladatif, serta memperkuat

dan mempertahankan perilaku yang diinginkan.(Corey, 2007).

Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh

lingkungan sosial budayanya. Segenap perilaku manusia itu dipelajari.

Para behaviorist mengemukakan teori belajar: bagaimana belajar terjadi

sebagai hasil dari pengaruh lingkungan. Bandura memberikan 3 (tiga)

konsep penting yang menjelaskan bagaimana teori belajar sosial

mempengaruhi pembelajaran Miller (dalam Kusumadewi, 2009 ):

a. Belajar melalui observasi atau pengamatan bukan semata-mata sekedar

meniru perilaku orang lain. Seorang anak dapat membangun perilaku

baru secara simbolis dengan mendengarkan orang lain atau hanya

dengan membaca. Perilaku overt (yang dapat dilihat/diobservasi)

bahkan tidak begitu diperlukan agar pembelajaran dapat terjadi.

b. Meskipun reinforcement tidak diperlukan dalam pembelajaran, namun

hal ini sangat membantu dalam hal pengaturan-diri pada anak. Mereka

dapat mengamati perilaku apa saja yang sedang terjadi di sekitar

mereka dan membedakannya menjadi reinforcement dan punishment,

lalu menggunakan pengamatan ini sebagai sumber informasi dalam

membantu mereka membuat batasan-batasan, mengevaluasi performa

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

22

mereka, membangun standar perilaku, menetapkan tujuan, kemudian

memutuskan kapan menerapkan hasil pengamatan tersebut.

c. Reciprocal Determinism menjelaskan model perubahan perilaku.

Terdapat tiga sumber pengaruh dalam teori ini yang saling

berinteraksi: individu, perilakunya, dan lingkungan. Perlu diingat

bahwa lingkungan tidak selalu memegang peranan penting. Yang

paling penting untuk diketahui, perilaku yang ditampilkan oleh

seseorang juga membantu membentuk lingkungannya, yang kemudian

memberikan timbal balik terhadap dirinya. Pada Gambar 2.1.

Dijelaskan bagaimana hubungan antara Behavior (B) = perilaku,

Person (P) = individu atau kognitif/persepsi, dan Environment (E) =

lingkungan,yang saling berpengaruh (interlocking) dan bergantung

satu denganlainnya (interdependent).

Gambar 2.1

Hubungan antara Behavior (B) = perilaku, Person (P) = individu atau

kognitif/persepsi, dan Environment (E) = lingkungan

Dalam masa perkembangan, remaja menjadi lebih terampil

dalam pembelajaran melalui pengamatan (observational learning).

Observational Learning atau yang biasa dikenal dengan modelling

memiliki asumsi dasar, yaitu perilaku individu sebagian besar diperoleh

dari hasil belajar melalui observasi atau hasil pengamatan perilaku orang

lain (yang menjadi role model). Seperti halnya perilaku kekerasan dalam

pacaran menurut Minna (2010) dapat terjadi karena dampak buruk dari

lingkungan keluarga ataupun dari teman sebanyanya (peer group).

Thoresen (Shertzer & Stone, 1980) sebagaimana dikutip oleh

Surya (1988), memberi ciri-ciri pendekatan behavioral sebagai berikut:

a Kebanyakan perilaku manusia dapat dipelajari dan karena itu dapat

dirubah.

E

P

B

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

23

b Perubahan-perubahan khusus terhadap lingkungan individual dapat

membantu dalam merubah perilaku-perilaku yang relevan; prosedur-

prosedur konseling berusaha membawa perubahan-perubahan yang

relevan dalam perilaku klien dengan merubah lingkungan.

c Prinsip-prinsip belajar sosial, seperti misalnya “reinforcement” dan

“social modeling”, dapat digunakan untuk mengembangkan prosedur-

prosedur konseling.

d Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahan-

perubahan dalam perilaku-perilaku khusus klien diluar wawancara

konseling.

e Prosedur-prosedur konseling tidak statik, tetap, atau ditentukan

sebelumnya, tetapi dapat secara khusus didisain untuk membantu klien

dalam memecahkan masalah khusus.

2. Tujuan Konseling Prilaku

Loekmono (2003) menjelaskan tujuan konseling perilaku yang

utama adalah menyediakan keadaan-keadaan dan lingkungan-lingkungan

agar perilaku yang tidak sesuai dapat dihapuskan sesudah itu konseli akan

diajar untuk menguasai perilaku baru yang sesuai untuk menggantikan

perilaku yang tidak sesuai itu. Menurut konselor konseling perilaku masa

kini, tujuan yang hendak dituju sebenarnya ditentukan oleh konseli sendiri

di dalam suasana hubungan yang hangat. Peran konselor adalah membantu

konseli memilih tujuan yang hendak dituju, agar sesuai untuk dirinya dan

diterima oleh masyarakat.

Cormier dan Cormier (dalam Loekmono, 2003) menjelaskan

bahwa proses penentuan tujuan ini biasanya dilakukan bersama antara

konselor dengan konseli menurut urutan berikut:

a. Konselor menjelaskan sifat dan msksud tujuan kepada konseli.

b. Konseli menentukan perubahan atau tujuan khusus yang diinginkan.

c. Konseli dan konselor mengkaji dan meilai kesesuaian tujuan yang

dinyatakan oleh konseli.

d. Secara bersama mengidentifikasi resiko-resiko yang berhubungan

dengan tujuan itu dan menilai resiko-resiko itu.

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

24

e. Secara bersama juga mendiskusikan kebaikan yang diperoleh dai

tujuan itu.

f. Berdasarkan informasi yang diperoleh mengenai tujuan yang

dinyatakan oleh konseli, konselor dan konseli akan membuat

keputusan sebagai berikut:

1). Untuk meneruskan konseling atau,

2). Untuk mempertimbangkan kembali tujuan yang dinyatakan oleh

konseli atau

3). Untuk merujuk konseli pada konselor lain agar keinginan dan

hasrat konseli tidak kosong dan konselor sendiri tidak merasa

hampa dan kecewa.

Dari uraian di atas bahwa dalam konseling perilaku yang

dipentingkan adalah perubahan perilaku, karena bagi pendukung konseling

perilaku, perubahan akan dengan sendirinya menghasilkan perubahan-

perubahan bagian lain seperti emosi dan kognitif.

3. Peranan Konselor dan Teknik Prosedur Konseling Perilaku

Menurut Loekmono (2003) ada 4 (empat) peranan utama yang

harus dimainkan konselor konseling perilaku yaitu :

a Dalam konseling perilaku konselor sebagai pakar, guru yang aktif

mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang saintifik yang dapat

dipakai untuk mengobati masalah-masalah yang dihadapi konselinya.

b Konselor dijadikan model, atau contoh teladan untuk konseli.

c Konselor hendaknya terampil dalam semua ataupun dengan sebagian

besar teknik yang dipakai dalam konseling perilaku yang beraneka

ragam.

d Konselor juga harus mempunyai orientasi yang baik ke arah

penyelidikan dan statistik agar ia dapat melaksanakan penilaian dengan

obyektif.

Salah satu sumbangan terapi perilaku adalah pengembangan

prosedur-prosedur terapeutik yang spesifik yang memiliki kemungkinan

untuk diperbaiki melalui metode ilmiah. Dalam terapi perilaku, teknik-

teknik spesifik yang beragam bisa digunakan secara sistematis dan hasil-

hasilnya bisa dievaluasi. Teknik-teknik ini bisa digunakan jika saatnya

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

25

tepat untuk menggunakannya, dan banyak diantaranya yang bisa

dimasukkan ke dalam praktek psikoterapi yang berlandaskan model-model

lain.

Menurut Loekmono (2003) ada tiga hal yang menarik mengenai

teknik dan prosedur yang terdapat di dalam konseling perilaku:

a) Konseling perilaku mempunyai banyak teknik dan strategi yang telah

diusahakan dan diketahui efektif.

b) Konseling perilaku mengutamakan perilaku yang nyata atau overt,

maka dengan mudah dapat diketahui keberhasilannya atau kegagalan

suatu teknik atau strategi tertentu.

c) Konselor perilaku tidak membelenggu seorang konselor. Konselor

dapat mengkombinasikan teknik-teknik dan strategi-strategi untuk

menjadikan pendekatan elektrik.

4. Strategi Yang Dipakai Dalam Konseling Kelompok Behavioral

Konseling kelompok behavioralistik adalah suatu proses

interpersonal yang dinamis yang memusatkan pada kesadaran berfikir dan

tingkah laku, seta melibatkan pada fungsi-fungsi terapi yang

dimungkinkan, serta berorientasi pada kenyataan-kenyataan,

membersihkan jiwa, saling percaya mempercayai, pemeliharaan,

pengertian, penerimaan dan bantuan (Loekmono, 2003).

Menurut Loekmono (2003) terdapat beberapa strategi yang

dipakai dalam konseling perilaku sebagai berikut: (1) Latihan Relaksasi.

(2) Desentisasi Sistematik. (3) Konseling Impulsif. (4) Aversif. (5) Latihan

Asertif. (6) Teknik-teknik kognitif. Dalam penelitian yang akan dilakukan,

peneliti memfokuskan kepada teknik latihan asertif.

Strategi yang digunakan dalam konseling kelompok behavioral

dalam penelitian ini adalah dengan menerapkan latihan asertif. Latihan

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

26

asertif (assertive training) adalah salah satu teknik dalam tritmen ganguan

perilaku dimana konseli diinstruksikan, diarahkan, dilatih, serta didukung

untuk bersikap asertif dalam menghadapi situasi yang tidak nyaman atau

kurang menguntungkan bagi dirinya. Menurut Corey (2007) perilaku

asertif adalah ekspresi langsung, jujur, dan pada tempatnya dari pikiran,

perasaan, kebutuhan, atau hak-hak seseorang tanpa kecemasan yang

beralasan. Langsung artinya pernyataan tersebut dapat dinyatakan tanpa

berbelit-belit dan dapat terfokus dengan benar. Jujur berarti pernyataan

dan gerak-geriknya sesuai dengan apa yang diarahkannya. Sedangkan pada

tempatnya berarti perilaku tersebut juga memperhitungkan hak-hak dan

perasaan orang lain serta tidak melulu mementingkan dirinya sendiri.

Sedangkan Alberti dan Emmons (2002) mendefinisikan

asertivitas sebagai perilaku yang mempromosikan kesetaraan dalam

hubungan manusia, yang memungkinkan kita untuk bertindak menurut

kepentingan diri sendiri, untuk membela diri sendiri tanpa kecemasan yang

tidak semestinya, untuk mengekspresikan perasaan dengan jujur dan

nyaman, untuk menerapkan hak-hak pribadi kita tanpa menyangkali hak-

hak orang lain. Menurut Sunardi (2010) Asertif dapat diartikan sebagai

kemampuan untuk menyatakan diri dengan tulus, jujur, jelas, tegas,

terbuka, sopan, spontan, apa adanya, dan tepat tentang keinginan, pikiran,

perasaan dan emosi yang dialami, apakah hal tersebut yang dianggap

menyenangkan ataupun mengganggu sesuai dengan hak-hak yang dimiliki

dirinya tanpa merugikan, melukai, menyinggung, atau mengancam hak-

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

27

hak, kenyamanan, dan integritas perasaan orang lain. Perilaku asertif tidak

dilatarbelakangi maksud-maksud tertentu, seperti untuk memanipulasi,

memanfaatkan, memperdaya atau pun mencari keuntungan dari pihak lain.

L’Abate & Milan (1985) menjelaskan ada 3 (tiga) tipe perilaku asertif

yaitu : (Sunardi, 2010)

a. Asertif untuk menolak (Refusal Assertiveness)

Perilaku asertif dalam konteks ketidaksetujuan atau ketika seseorang

berusaha untuk menghalangi atau mencampuri pencapaian tujuan

orang lain. hal ini membutuhkan keterampilan sosial untuk menolak

atau menghindari campur tangan orang lain.

b. Asertif untuk memuji (Commendatory Assertiveness)

Ekspresi-ekspresi dari perasaan positif seperti penghargaan, apresiasi

dan menyukai dapat dilihat untuk memfasilitasi hubungan

interpersonal yang baik. Kemampuan untuk memuji orang lain dalam

cara yang hangat, tulus dan bersahabat dapat menjadi kemampuan

yang memiliki kekuatan hebat dan berfungsi untuk membuat seseorang

menjadi penguat dan partner interaksi yang menyenangkan.

c. Asertif untuk meminta (Request Assertiveness)

Perilaku asertif jenis ini terjadi ketika seseorang meminta orang lain

untuk membantunya mencapai tujuan atau memenuhi kebutuhannya.

Perilaku asertif ini sering dipadukan dengan penolakan, dalam situasi

menolak permintaan orang lain dan meminta perubahan berperilaku

meminta. Fungsi dari jenis perilaku asertif ini adalah agar menghindari

terjadinya konflik yang sama dikemudian hari.

Pengertian asertif seringkali disalah artikan dengan agresif,

berikut Sunardi (2010) menjelaskan relevansi asertif dengan non-asertif

dan agresif yaitu:

a. Asertif

Dalam kehidupan atau komunikasi sehari-hari, orang yang

asertif akan lebih memilih pola interaksi “I’m okay, you’re okay” atau

menggunakan pernyataan-pernyataan yang lebih mencermintan

tangung jawab pribadi, seperti penggunaan kata-kata ”saya” dari pada

”mereka ” atau ”kamu”. Misalnya, ”saya sedih, marah, dan malu ketika

saya tahu ...” dari pada ”kamu pembohong, tidak disiplin, dan tidak

dapat dipercaya karena ....”. Dengan demikian, orang yang asertif akan

memiliki kebebasan untuk meluapkan perasaan apa pun yang

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

28

dirasakan, dan berani mengambil tanggung jawab terhadap perasaan

yang dialaminya dan menerima orang lain secara terbuka. Memiliki

keberanian untuk tidak membiarkan orang lain mengambil manfaat

dari perasaan yang dialaminya, tetapi orang lain pun memiliki

kebebasan untuk mengungkap apa yang dirasakannya.

b. Non asertif-pasif

Dalam perilaku pasif, seseorang tidak tidak memberikan

reaksi atau mengekspresikan perasaan negatif yang dialaminya secara

jujur dan terbuka, tetapi dilakukan dengan menyimpan perasaannya

tersebut, menarik diri, menerima, atau menggerutu. Perilaku non

asertif-pasif hakekatnya adalah bentuk ketidakjujuran emosi,

kegagalan diri atau kekalahan diri yang didasari oleh perasaan-

perasaan takut, cemas, mengindari konflik, keininginan untuk mencari

jalan keluar paling mudah, dan bahkan ketidakmampuan untuk

memahami diri dan memenuhi kebutuhan untuk bersikap sabar. Pola

komunikasi yang berkembang pada kelompok nonasertif-pasif adalah

“I’m not okay, you’re okay”.

c. Non asertif-agresif

Sedangkan pada perilaku nonasertif-agresif, reaksi yang

diberikan diekspresikan keluar dan dilakukan secara terbuka melalui

tindakan aktif berupa pengancaman atau penyerangan, dilakukan

secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk fisik atau

verbal. Tindakan yang dilakukan secara langsung, misalnya marah-

marah, memukul, menuntut, dominan, egois, menyerang, dan

sebagainya. Sedangkan tindakan tidak langsung, misalnya dengan

menyindir, menyebar gosip, dan sebagainya. Tindakan agresif ini

biasanya sengaja dilakukan dengan maksud untuk melukai,

melecehkan, menghina, mempermalukan, menyakiti, merendahkan dan

bahkan menguasai pihak lain. Dalam pola komunikasi mereka

cenderung menggunakan pola “You’re not okay, I’m okay”. Dengan

kata lain, seseorang dikatakan bersikap non-asertif, jika ia gagal

mengekspresikan perasaan, pikiran dan pandangan/keyakinannya

secara tulus, jujur, sopan, dan apa adanya tanpa maksud untuk

merendahkan hak-hak atau mengancam integritas perasaan orang lain,

sehingga justru menimbulkan respons dari orang lain yang tidak

dikehendaki atau negatif.

Pada hakikatnya, tindakan asertif yang merupakan tindakan

untuk mempertahankan hak-hak personal yang dimilikinya adalah

upaya untuk mencapai kebebasan emosi, yaitu kemampuan untuk

menguasai diri, bersikap bebas dan menyenangkan, merespon hal–hal

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

29

yang disukai atau tidak disukai secara tulus dan wajar, dan

mengekspresikan cinta dan kasih sayang pada orang yang sangat

berarti dalam hidupnya. Apakah seseorang menunjukkan perilaku

asertif atau tidak, akan tampak sekali dalam respons-respons yang

diberikan bagi bentuk pembelaan diri, ketika seseorang itu

diperlakukan tidak adil oleh orang lain atau lingkungannya.

Faktanya dalam kehidupan sosial sehari-hari, banyak orang

enggan bersikap asertif dan memilih bersikap non asertif, seperti

memendam perasaannya, berpura-pura, menahan perbedaan pendapat

atau sebaliknya dengan bersikap agresif. Keengganan ini umumnya

karena dilandasi oleh rasa takut dan khawatir mengecewakan orang

lain, takut tidak diterima oleh kelompok sosialnya, takut dianggap

tidak sopan, takut melukai perasaan atau menyakiti hati orang lain,

takut dapat memutuskan tali hubungan persaudaraan atau

persahabatan, dan sebagainya.

Padahal, dengan membiarkan diri untuk bersikap non-asertif

justru dapat mengancam hubungan yang ada karena salah satu pihak

kemudian akan merasa dimanfaatkan oleh pihak lain, tidak

menyelesaikan masalah-masalah emosional yang dihadapi,

menurunkan harga diri, atau bahkan dapat menjadi “bom waktu” yang

sewaktu-waktu dapat mengancam kelangsungan hubungan pribadi dan

sosial dan kesehatan mental seseorang, yaitu resiko terhadap timbulnya

kecemasan dan stres.

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

30

Alberti dan Emmons (2002) secara umum orang yang

berperilaku asertif, akan memiliki karakteristik antara lain sebagai

berikut:

a Mengekspresikan diri sendiri,

b Menghomati hak-hak orang lain,

c Jujur,

d Langsung dan tegas,

e Menyetarakan, menguntungkan kedua pihak dalam sebuah hubungan

baik dengan kata-kata (termasuk isi pesan) maupun tanpa kata-kata

(termasuk gaya pesannya),

f Positif sesekali (mengekspresikan kasih sayang, pujian, penghargaan)

dan negatif sesekali (mengekspresikan batasan, amarah, kritik)

g Layak bagi orang dan situasi masing – masing, bukan universal

h Bertanggung jawab secara sosial

i Belajar, bukan pembawaan lahiriah

Karakteristik maupun ciri-ciri tersebut turut mendukung seseorang dalam

menampilkan perilaku asertif, dan turut menggambarkan bahwa asertivitas

tersebut bukan pembawaan lahiriah namun suatu keterampilan

interpersonal yang dapat dipelajari, dikembangkan dan ditingkatkan

(Alberti & Emmons, 2002).

Pada setiap pelatihan asertivitas yang diprakasai oleh Smith

(dalam Michel & Fursland, 2008), merumuskan mengenai “bill of

assertive rights”; hak-hak asertivitas merupakan hak yang kita miliki

sebagai manusia, yang terdiri sebagai berikut:

a. Hak untuk menentukan sendiri dalam bertingkah laku, pemikiran, dan

emosi serta bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan

konsekuensi yang ditimbulkannya,

b. Hak untuk berkata “tidak”,

c. Hak untuk mempertahankan perilaku diri sendiri tanpa dengan

menyatakan alasan atau penjelasan tertentu,

d. Hak untuk memberikan pertimbangan atau penilaian, jika kita

bertanggung jawab untuk untuk menemukan solusi dalam

permasalahan orang lain,

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

31

e. Hak untuk merubah pemikiran diri sendiri,

f. Hak untuk tidak setuju terhadap opini seseorang,

g. Hak untuk membuat kesalahan dan bertanggung jawab terhadap

kekeliruan yang telah terjadi,

h. Hak untuk berkata “ saya tidak tahu”,

i. Hak untuk membuat keputusan yang tidak masuk akal,

j. Hak untuk berkata “ saya tidak mengerti”,

k. Hak untuk berkata “saya tidak peduli”.

Bagian yang terpenting dari hak-hak asertivitas bahwa setiap

hak asertivitas yang dirumuskan tersebut berhubungan dengan rasa

kebertanggung jawaban terhadap diri sendiri dan juga terhadap individu

lain ketika sedang berinteraksi dengannya. Seringkali terdapat individu

yang berpikir bahwa mereka sedang berlaku asertif, tetapi mereka

mengkesampingkan hak-hak orang lain dan konsekuensi yang

ditimbulkannya.

Lebih lanjut dijelaskan oleh Rees & Graham (dalam Sunardi,

2010), inti dari latihan asertif adalah penanaman kepercayaan bahwa

asertif dapat dilatihkan dan dikembangkan, memilih kata-kata yang tepat

untuk tujuan yang mereka inginkan, saling mendukung, pengulangan

perilaku asertif dalam berbagai situasi, dan umpan balik bagi setiap peserta

dari trainer maupun peserta. Menurut pendapat Corey (2007), manfaat

latihan asertif yaitu membantu bagi orang-orang yang:

a. Tidak mampu mengungkapkan kemarahan dan perasaan tersinggung.

b. Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang

lain untuk mendahuluinya.

c. Memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak.”

d. Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-

respons positif lainnya.

e. Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan

pikiran-pikiran sendiri.

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

32

Wahyuningsih, dkk (2010) juga menyatakan hal yang hampir

sama bahwa teknik latihan asertif sangat relevan digunakan pada

permasalahan yang menyangkut hubungan sosial. Misalnya dalam lingkup

sekolah, dan organisasi, dan sebagainya. Dimana seringkali terjadi

kebingungan pandangan mengenai asertif, agresi, dan sopan. Tujuan

latihan asertif diantaranya:

a Mengajarkan individu untuk menyatakan diri mereka dalam suatu cara

sehingga memantulkan kepekaan kepada perasaan dan hak-hak orang

lain.

b Meningkatkan keterampilan behavioralnya sehingga mereka bisa

menentukan pilihan apakah pada situasi tertentu perlu berperilaku

seperti apa yang diinginkan atau tidak

c Mengajarkan pada individu untuk mengungkapkan diri dengan cara

sedemikian rupa sehingga terefleksi kepekaanya terhadap perasaan dan

hak orang lain

d Meningkatkan kemampuan individu untuk menyatakan dan

mengekspresikan dirinya dengan enak dalam berbagai situasi sosial

e Menghindari kesalah pahaman dari pihak lawan komunikasi

Loekmono (2003) menjelaskan beberapa strategi yang harus

dilakukan dalam memberikan pelatihan asertif, antara lain;

a. Pengajaran – konselor menerangkan kepada konseli perilaku khusus

yang diharapkannya;

b. Respons – konselor memberikan respons positif juga negatif kepada

konseli berkaitan dengan perilakunya sesudah diberi pengarahan;

c. Percontohan – ada kalanya konselor menunjukan contoh perilaku

kepada konseli. Ini dapat dilakukan secara hidup atau dengan memakai

audio visual;

d. Keasyikan – konseli akan berlatih melalui permainan peranan perilaku

tertentu dan ia akan dikritik oleh konselor;

e. Penguatan sosial – dari waktu ke waktu konseli akan diberi pujian;

f. Tugas atau PR - konseli akan diberi tugas untuk dikerjakan

Shaffer dan Galinsky (dalam Corey, 2007) menerangkan

bagaimana kelompok-kelompok latihan asertif dibentuk dan berfungsi.

Kelompok terdiri atas 8 – 10 anggota memiliki latar belakang sama, dan

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

33

session terapi berlangsung selama dua jam. Terapis bertindak sebagai

penyelenggara dan pengarah permainan peran, pelatih, pemberi kekuatan,

dan sebagai model peran. Dalam diskusi kelompok, terapis bertindak

sebagai ahli, memberikan bimbingan dalam situasi-situasi bermain peran,

dan memberikan umpan balik kepada para anggota. Lebih lanjut Shaffer

dan Galinsky (dalam Corey, 2007) menjelaskan prosedur dasar latihan

asertif dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Session pertama, yang dimulai dengan pengenalan diktatik tentang

kecemasan sosial yang tidak realistis, pemusatan pada belajar

menghapuskan responss-responss internal yang tidak efektif yang telah

mengakibatkan kekurang tegasan dan pada belajar peran perilaku baru

yang asertif.

b. Session kedua, bisa memperkenalkan sejumlah latihan relaksasi, dan

masing-masing anggota menerangkan perilaku yang spesifik dalam

situasi-situasi intrapersonal yang dirasakan menjadi masalah. Para

anggota kemudian membuat perjanjian untuk menjalankan perilaku

menegaskan diri yang semula mereka hindari.

c. Session ketiga para anggota menerangkan tentang perilaku

menegaskan diri yang telah dicoba dijalankan oleh mereka dalam

situasi-situasi kehidupan nyata. Mereka berusaha mengevaluasi dan

jika mereka belum sepenuhnya berhasil, kelompok harus menjalankan

permainan peran.

d. Session keempat penambahan latihan relaksasi, pengulangan perjanjian

untuk menjalankan perilaku menegaskan diri, yang diikuti oleh

evaluasi.

e. Session kelima bisa disesuaikan dengan kebutuhan anggota. Sejumlah

kelompok sering berfokus pada permainan peran tambahan, evaluasi,

dan latihan, sedangkan kelompok lainnya berfokus pada usaha

mendiskusikan sikap-sikap dan perasaan yang telah membuat perilaku

menegaskan diri sulit dijalankan.

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/1680/3/T1_132007023_BAB II.pdf · akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. ... Banyaknya

34

E. Hipotesis Penelitian

Sesuai dengan teori yang dikemukakan dalam konseling kelompok

behavioral maka hipotesis yang dikemukan dalam penelitian ini adalah :

Konseling kelompok behavioral mampu menurunkan perilaku kekerasan

dalam pacaran (KDP) pada siswa-siswi Kelas XI SMA Bhinneka Karya 2

Kabupaten Boyolali.