BAB II LANDASAN TEORI II.1. Konsep Audit II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-2-00524-AK Bab...

24
7 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Konsep Audit II.1.1. Pengertian Audit Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf, A. A. (2003), Auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu satuan usaha yang dilaksanakan oleh seorang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang yang kompeten dan independen.” (h.1). Boynton, Johnson, dan Kell yang diterjemahkan oleh Rajoe, Gania, dan Budi (2003) mendefinisikan, “Auditing sebagai suatu proses sistematis untuk memperoleh serta mengevaluasi asersi-asersi kegiatan dan peristiwa ekonomi, dengan tujuan menetapkan derajat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.” (h.5). Dan menurut Agoes, S. (2004), “Auditing adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.” (h.3).

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI II.1. Konsep Audit II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2009-2-00524-AK Bab...

7

 

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Konsep Audit

II.1.1. Pengertian Audit

Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf, A. A. (2003),

“Auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi

yang dapat diukur mengenai suatu satuan usaha yang dilaksanakan oleh seorang

kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian

informasi dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya

dilakukan oleh seorang yang kompeten dan independen.” (h.1).

Boynton, Johnson, dan Kell yang diterjemahkan oleh Rajoe, Gania, dan Budi

(2003) mendefinisikan, “Auditing sebagai suatu proses sistematis untuk memperoleh

serta mengevaluasi asersi-asersi kegiatan dan peristiwa ekonomi, dengan tujuan

menetapkan derajat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah

ditetapkan sebelumnya serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pihak-pihak yang

berkepentingan.” (h.5).

Dan menurut Agoes, S. (2004), “Auditing adalah suatu pemeriksaan yang

dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen terhadap laporan

keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan

bukti-bukti pendukungnya dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai

kewajaran laporan keuangan tersebut.” (h.3).

8

 

II.1.2. Jenis-jenis Audit

Menurut Tunggal, A. W. (2001), jenis-jenis audit terbagi menjadi tiga, antara

lain:

1. Audit Laporan Keuangan (Financial Audit)

Audit laporan keuangan adalah audit yang dilakukan oleh seorang auditor

independen dan kompeten terhadap laporan keuangan yang disajikan oleh kliennya

untuk menyatakan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.

Dalam audit laporan keuangan, auditor menilai kewajaran laporan keuangan atas

dasar kesesuaiannya dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Hasil audit

atas laporan keuangan disajikan dalam bentuk tertulis berupa laporan audit yang

akan digunakan oleh pihak yang berkepentingan atas laporan tersebut seperti

pemegang saham, kreditur, dan pemerintah.

2. Audit Operasional (Operational Audit)

Audit operasional adalah audit yang dilakukan terhadap kegiatan operasi

perusahaan untuk menilai efisiensi, efektifitas, dan ekonomis operasi perusahaan.

Hasil audit operasional akan digunakan oleh pihak manjemen perusahaan.

3. Audit Ketaatan (Compliance Audit)

Audit ketaatan adalah audit yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah

pelaksanaan suatu operasi atau kegiatan telah sesuai dengan aturan atau kebijakan

tertulisnya. Hasil audit ketaatan umumnya dilaporkan kepada pihak yang

berwenang atau yang membuat kriteria. (h.4)

9

 

II.2. Audit Operasional

II.2.1. Pengertian Audit Operasional

Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf, A. A. (2003)

menyatakan, “Audit operasional merupakan penelaahan atas bagian manapun dari

prosedur dan metode operasi suatu organisasi untuk menilai efesiensi dan

efektivitasnya.” (h.4).

Agoes, S. (2004) mendefinisikan, “Audit operasional adalah suatu pemeriksaan

terhadap kegiatan operasi suatu perusahaan, termasuk kebijakan akuntansi dan kebijakan

operasional yang telah ditentukan oleh manajemen, untuk mengetahui apakah kegiatan

operasi tersebut sudah dilakukan secara efektif, efisien dan ekonomis.” (h.10).

Tunggal, A. W. (2001), mendefinisikan, “Audit operasional merupakan audit

atas operasi yang dilaksanakan dari sudut pandang manajemen untuk menilai ekonomi,

efisiensi, dan efektifitas dari setiap dan seluruh operasi, terbatas hanya pada keinginan

manajemen.” (h.1).

Boynton, Johnson, dan Kell yang diterjemahkan oleh Rajoe, Gania, dan Budi

(2003) mendefinisikan, “Audit operasional adalah suatu proses sistematis yang

mengevaluasi efektifitas, efisiensi dan kehematan operasi organisasi yang berada dalam

pengendalian menajemen serta melaporkan kepada orang-orang yang tepat hasil-hasil

evaluasi tersebut beserta rekomendasi perbaikan. Bagian-bagian penting dari definisi ini

adalah sebagai berikut:

10

 

1. Proses yang sistematis

Seperti dalam audit laporan keuangan, audit operasional menyangkut serangkaian

langkah atau prosedur yang logis, terstruktur, dan terorganisasi. Aspek ini

meliputi perencanaan yang baik, serta perolehan dan evaluasi secara objektif

bukti yang berkaitan dengan aktivitas yang sedang diaudit.

2. Mengevaluasi operasi organisasi

Evaluasi atas operasi ini harus didasarkan pada beberapa kriteria yang ditetapkan

dan disepakati. Dalam audit operasional, kriteria seringkali dinyatakan dalam

bentuk standar kinerja yang ditetapkan oleh manajemen. Namun, dalam beberapa

kasus, standar itu mungkin ditetapkan oleh suatu badan pemerintah atau oleh

industri. Kriteria ini kerap kali didefinisikan secara kurang jelas bila

dibandingkan dengan kriteria yang digunakan dalam audit atas laporan keuangan.

Auditing operasional mengukur derajat kesesuaian antara kinerja aktual dan

kriterianya.

3. Efektivitas, efisiensi, dan kehematan operasi

Tujuan utama dari auditing operasional adalah membantu manajemen organisasi

yang diaudit untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan kehematan operasi.

Jadi, auditing operasional terfokus pada masa depan. Hal ini sangat berlawanan

dengan audit atas laporan keuangan, yang mempunyai fokus historis.

4. Melaporkan kepada orang-orang yang tepat

Penerima laporan audit yang tepat adalah manajemen atau individu atau badan

yang meminta audit. Kecuali jika audit diminta oleh pihak ketiga, pembagian

laporan itu tetap berada dalam lingkungan entitas. Dalam sebagian besar kasus,

11

 

dewan komisaris dan komite audit adalah pihak yang menerima salinan laporan

audit operasional.

5. Rekomedasi perbaikan

Tidak seperti audit laporan keuangan, audit operasional tidak berakhir dengan

menyajikan laporan mengenai temuan. Audit operasional juga mencakup

pembuatan rekomendasi perbaikan. Pengembangan rekomendasi, sebenarnya

merupakan salah satu aspek yang paling menantang dalam jenis audit ini.”

(h.498-499).

Dari berbagai uraian sebelumnya kita menemukan tiga istilah yang sering

dihubungkan dengan inti persoalan dari kegiatan audit operasional, yaitu efektif,

efisiensi dan ekonomis. Pengertian dari ketiga istilah tersebut menurut Bayangkara,

I.B.K. (2008) adalah:

1. Efektif (effective)

Yaitu tingkat keberhasilan suatu perusahaan untuk mencapai tujuannya. Apakah

pelaksanaan suatu program atau aktivitas telah mencapai tujuannya. Efektifitas

merupakan ukuran dari output.

2. Efisien (effecient)

Berhubungan dengan bagaimana perusahaan melakukan operasinya, sehingga

dicapai optimalisasi penggunaan sumber daya yang dimiliki.

Efisiensi berhubungan dengan metode kerja (operasi).

12

 

3. Ekonomis (economist)

Berhubungan dengan bagaimana perusahaan dalam mendapatkan sumber daya

yang akan digunakan dalam setiap aktivitas. (h.12).

II.2.2. Tujuan Audit Operasional

Audit operasional bertujuan untuk menghasilkan perbaikan dalam pengelolaan

operasi atau aktivitas obyek yang diaudit, dengan memberikan saran-saran perbaikan

prestasi kerja sehingga menjadi lebih efektif, efisien dan ekonomis.

Menurut Agoes, S. (2004), “Tujuan umum dati audit operasional antara lain:

1. Untuk menilai kinerja (performance) dari manajemen dan berbagai fungsi yang

ada dalam perusahaan.

2. Untuk menilai apakah berbagai sumber daya (manusia, mesin, dana, harta dan

lainnya) yang dimiliki perusahaan telah digunakan secara efisien dan ekonomis.

3. Untuk menilai efektivitas perusahaan dalam mencapai tujuan (objective) yang

telah ditetapkan oleh top manajemen.

4. Untuk dapat memberikan rekomendasi kepada top manajemen untuk memperbaiki

kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam penerapan pengendalian intern, sistem

pengendalian manajemen, dan prosedur operasional perusahaan, dalam rangka

meningkatkan efisiensi, ekonomi, dan efektifitas dari kegiatan operasional

perusahaan.

13

 

Tujuan utama dalam audit operasional adalah untuk membantu pihak

manajemen dalam menemukan dan memecahkan beragam masalah dengan cara

merekomendasikan berbagai tindakan perbaikan yang diperlukan” (h.175).

II.2.3. Jenis-jenis Audit Operasional

Menurut Agoes, S. (2004), “Audit operasional dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Audit Fungsional (Functional Audit)

Fungsi adalah sarana untuk mengkategorikan aktivitas perusahaan seperti fungsi

penjualan dan fungsi penagihan. Audit fungsional ini meliputi satu fungsi atau

lebih dalam organisasi. Keunggulan dari audit fungsional adalah memungkinkan

auditor melalukan spesialisasi. Kekurangan audit fungsional adalah tidak

dievaluasinya fungsi yang saling berkaitan.

2. Audit Organisasional (Organizational Audit)

Audit operasional atas suatu organisasi menyangkut keseluruhan unit organisasi

seperti departemen, cabang atau anak perusahaan. Penekanan audit organisasional

adalah seberapa efisien dan efektif fungsi-fungsi dalam organisasi berinteraksi,

rencana organisasi dalam metode-metode untuk mengkoordinasi aktivitas-aktivitas

merupakan hal yang penting dalam jenis pemeriksaan ini.

3. Penugasan Khusus (Special Assignment)

Penugasan audit operasional khusus timbul dalam permintaan manajemen.

Terdapat banyak variasi dalam pemeriksaan tersebut, misalnya penyelidikan

kemungkinan kecurangan dalam satu divisi.” (h.4).

14

 

II.2.4. Tahapan Audit Operasional

Menurut Agoes, S. (2004), “Tahap-tahap pemeriksaan operasional di bagi

menjadi beberapa tahap, yaitu:

1. Survei Pendahuluan (Preliminary Survey)

Survei pendahuluan dimaksudkan untuk mendapat gambaran mengenai bisnis

perusahaan yang dilakukan melalui tanya jawab dengan manajemen dan staf

perusahaan serta penggunaan questionnaires.

2. Penelaahan dan Pengujian atas Sistem Pengendalian Manajemen (Review and

Testing of Management Control System)

Untuk mengevaluasi dan menguji efektivitas dari pengendalian manajemen yang

terdapat di perusahaan. Biasanya menggunakan management control

quertionnaires (ICQ), flowchart dan penjelasan narrative serta dilakukan

pengetesan atas beberapa transaksi (walk through the documents)

3. Pengujian Terinci (Detailed Examination)

Melakukan pemeriksaan terhadap transaksi perusahaan untuk mengetahui apakah

prosesnya sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan manajemen. Dalam hal

ini auditor harus melakukan observasi terhadap kegiatan-kegiatan dari fungsi-

fungsi yang terdapat di perusahaan.

4. Pengembangan Laporan (Report Development)

Dalam menyusun laporan pemeriksaan, auditor tidak memberikan opini mengenai

kewajaran laporan keuangan perusahaan, laporan yang dibuat mirip dengan

management letter, karena berisi audit findings (temuan pemeriksaan) mengenai

penyimpangan yang terjadi terhadap kriteria (standard) yang berlaku yang

15

 

menimbulkan inefisiensi, inefektivitas, dan ketidakhematan (pemborosan) dan

kelemahan dalam sistem pengendalian manajemen (management Control System)

yang terdapat diperusahaan. Selain itu auditor juga memberikan saran-saran

perbaikan.” (h.11-12).

II.2.5. Jenis Bukti Audit

Menurut Arens, A.A. dan Loebbecke, J.K. yang diterjemahkan oleh Jusuf A.A.

(2001), “Jenis bahan bukti audit ada tujuh kategori, yaitu:

1. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik adalah inspeksi atau perhitungan aktiva berwujud oleh auditor.

Pemeriksaan fisik, sebagai alat yang langsung digunakan untuk memverifikasi

apakah suatu aktiva secara aktual ada dianggap sebagai salah satu bahan bukti yang

paling andal dan berguna.

2. Konfirmasi

Konfirmasi digambarkan sebagai penerimaan jawaban tertulis maupun lisan dari

pihak ketiga yang independen dalam memverifikasi akurasi informasi yang telah

diminta oleh auditor. Karena konfirmasi berasal dari sumber yang independen dari

klien, konfirmasi menjadi bahan bukti yang dianggap bernilai tinggi dan sering

dipakai.

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan pemeriksaan auditor atas dokumentasi dan catatan klien

untuk menyokong informasi yang ada atau seharusnya ada dalam laporan keuangan.

16

 

Dokumen yang diperiksa oleh auditor adalah catatan yang digunakan klien untuk

menyediakan informasi dalam melaksanakan usahanya.

4. Pengamatan

Pengamatan adalah penggunaan perasaan untuk menetapkan aktifitas tertentu.

Dalam pengamatan akan banyak kesempatan untuk melihat, mendengar, dan

mengevaluasi aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan.

5. Tanya jawab dengan klien

Tanya jawab adalah mendapatkan informasi tertulis atau lisan dari klien untuk

mendapatkan bahan bukti lain yang menguatkan melalui prosedur yang lain.

6. Pelaksanaan ulang

Pelaksanaan ulang mencakup pengecekan ulang suatu sample perhitungan dan

perpindahan informasi yang dilakukan klien selama periode yang diaudit.

7. Prosedur analitis

Prosedur analitis adalah mengunakan perbandingan dan hubungan untuk

menentukan apakah saldo akun tersaji secara layak.” (h.153-158).

II.2.6. Temuan Hasil Pemeriksaan

Menurut Bayangkara, IBK. (2008), “Penyusunan temuan yang baik harus

mencakup:

1. Kondisi (Condition)

Adalah keadaan yang menggambarkan kenyataan yang terjadi di perusahaan. Audit

operasional memerlukan temuan fakta awal dalam tahap pekerjaan lapangan (field

work). Ketika temuan fakta digunakan untuk menyatakan suatu kondisi, auditor

17

 

perlu memeriksa dan menguji operasi dan data terkait untuk membuat fakta lebih

jelas. Pernyataan kondisi ini memberikan titik referensi kepada temuan yang

berkaitan dengan kriteria yang ada.

2. Kriteria (Criteria)

Adalah ukuran atau standar yang harus diikuti atau kondisi yang seharusnya ada dan

merupakan standar yang harus dipatuhi oleh setiap bagian dalam perusahaan, yang

bisa berupa kebijakan yang telah ditetapkan manajemen, kebijakan perusahaan

sejenis atau kebijakan industri, peraturan pemerintah.

3. Sebab (Cause)

Adalah tindakan-tindakan yang menyimpang dari standar yang berlaku dan apa

penyebabnya terjadi kondisi tersebut di perusahaan serta bagaimana terjadinya.

Temuan audit tidaklah lengkap sampai auditor secara penuh mengindentifikasi

penyebab atau alasan terjadi penyimpangan dari kriteria. Faktor utama dari temuan

audit yaitu menentukan penyebab kelemahan. Penyebab ini adalah alasan kenapa

operasi menjadi efisien, efektif dan ekonomis.

4. Akibat (Effect)

Adalah dampak dari tindakan-tindakan yang menyimpang dari standar yang beraku.

Salah satu tujuan utama dalam melaksanakan audit operasional adalah mendorong

manajemen operasional melakukan tindakan positif untuk mengoreksi temuan atas

kekurangan operasional yang diidentifikasikan oleh tim audit.

5. Rekomendasi (Recommendation)

Menjelaskan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi kelemahan masalah yang

dikemukakan dalam temuan. Rekomendasi haruslah masuk akal diikuti dengan

18

 

sebuah penjelasan mengapa kondisi ini terjadi, penyebabnya, dan apa yang harus

dilakukan untuk mencegah berulang hal itu” (h.175).

II.3. Fungsi Pembelian

II.3.1. Definisi Pembelian

Menurut Assuri (1999), “Pembelian (purchase) merupakan salah satu fungsi

penting dalam berhasilnya operasi suatu perusahaan, karena fungsi ini dibebani

tanggung jawab untuk mendapatkan kualitas dan kuantitas bahan yang tersedia pada

waktu dibutuhkan, pada tingkat harga yang sesuai dengan harga yang berlaku” (h156).

Arens, A.A. dan Loebbecke, J.K. yang diterjemahkan oleh Jusuf, A.A. (2003)

mendefinisikan, “Permintaan pembelian (purchase requisition) adalah permintaan akan

barang dan jasa oleh pegawai yang berwenang. Bentuknya dapat berupa permintaan

perolehan untuk bahan-bahan oleh mandor atau pengawas gudang, reparasi di luar

pegawai kantor atau pabrik, atau asuransi oleh direktur perusahaan yang bertanggung

jawab atas properti peralatan.” (h.558).

II.3.2. Tujuan Audit Operasional atas Fungsi Pembelian

Tunggal, A. W. (2001) menyatakan, “Tujuan audit atas pembelian adalah

sebagai berikut:

1. Mengetahui ketaatan kegiatan pembelian terhadap prosedur dan kebijakan

perusahaan yang berlaku.

19

 

2. Menilai efektifitas kegiatan pembelian dalam penyediaan bahan baku dan bahan

pembantu yang dibutuhkan.

3. Menilai efesiensi kegiatan pembelian yang dapat dilihat dari biaya yang

dikeluarkan untuk mendapatkan dan memelihara bahan baku dan bahan pembantu

yang dibeli.

4. Memberikan saran-saran dan rekomendasi.” (h.117).

II.3.3. Fungsi-Fungsi dalam Pembelian

Menurut Boynton, Johnson, dan Kell yang diterjemahkan oleh Rajoe, Gania,

dan Budi (2003) “Proses transaksi pembelian mencakup fungsi-fungsi pembelian

berikut:

1. Pengajuan pembelian

Permintaan yang diajukan oleh perusahaan untuk melakukan transaksi dengan

pembelian lain yang meliputi:

a. Pencantuman nama pemasok pada daftar pemasok yang telah disetujui.

b. Pengajuan kembali permintaan barang dan jasa

c. Pembuatan pesanan pembelian

2. Penerimaan barang dan jasa

Penerimaan atau pengiriman fisik barang atau jasa yang mencakup:

a. Penerimaan barang

b. Penyimpanan barang yang diterima untuk persediaan

c. Pengembalian barang ke pemasok

20

 

3. Pencatatan kewajiban

Pengakuan formal oleh perusahaan atas kewajiban hukum meliputi:

a. Pembuatan voucher pembayaran dan pencatatan kewajiban

b. Pertanggungjawaban atas transaksi yang telah dicatat.” (h.92).

II.3.4. Dokumen-Dokumen dalam Fungsi Pembelian

Menurut Narko (2007) “Dokumen-dokumen yang terkait dalam fungsi

pembelian antara lain:

1. Surat permintaan pembelian

Adalah permintaan akan barang dan jasa oleh pegawai yang berwenang. Bentuknya

dapat berupa permintaan perolehan untuk bahan-bahan oleh mandor atau pengawas

gudang, reparasi di luar oleh pegawai kantor atau pabrik, atau asuransi oleh direktur

perusahaan yang bertanggung jawab atas properti dan peralatan.

2. Surat permintaan daftar harga

Bagian pembelian biasanya secara periodik meminta daftar harga barang-barang

kepada pemasok atau calon pemasok. Bila barang yang akan dibeli dalam jumlah

(baik kuantitas atau jumlah rupiah) yang besar, maka sering kali prosedur lelang

terlebih dahulu.

3. Order pembelian

Adalah dokumen yang mencatat deskripsi, jumlah dan informasi yang berkaitan

dengan barang dan jasa yang dibeli oleh perusahaan.

21

 

4. Laporan penerimaan barang

Adalah dokumen yang dibuat pada saat barang berwujud diterima yang

menunjukkan deskripsi tentang barang, jumlah yang diterima, tanggal penerimaan

dan data lain yang relevan.

5. Faktur dari pemasok

Adalah yang menunjukan hal-hal seperti deskripsi dan jumlah barang dan jasa yang

diterima, harga termasuk ongkos angkut, syarat potongan tunai dan tanggal

penerimaan kas.

6. Voucher hutang

Adalah surat perintah untuk membayar sejumlah tertentu, kepada pihak tertentu.

Dengan kata lain dokumen ini berfungsi sebagai otorisasi pembayaran uang.”

(h.127).

II.3.5. Prosedur Pembelian

Menurut Boynton, Johnson, dan Kell yang diterjemahkan oleh Rajoe, Gania,

dan Budi (2003) “Prosedur-prosedur pembelian terdiri dari:

1. Pengajuan pembelian

Jika persediaan telah mencapai titik pemesanan kembali maka Bagian Penyimpanan

akan membuat surat pengajuan pembelian yang akan didistribusikan kepada Bagian

Pembelian.

2. Pembuatan pemesanan pembelian

Setelah surat pengajuan pembelian disetujui oleh pembelian maka surat tersebut

akan dikirim ke pemasok untuk jenis barang yang ditentukan harganya dan

22

 

dikirimkan pada waktu yang ditentukan. Departemen pembelian mempunyai

kewenangan untuk menerbitkan surat pesanan pembelian hanya setelah menerima

pengajuan pembelian yang disetujui dengan benar. Pesanan pembelian harus berisi

uraian yang jelas mengenai barang dan jasa yang diinginkan, kuantitas, nama, dan

alamat pemasok serta harus diberi nomor dan ditanta tangani oleh pejabat pembelian

yang berwenang. Lembar asli pemesanan pembelian dikirimkan kepada pemasok

dan salinannya didistribusikan secara internal ke departemen penerimaan,

departemen hutang usaha dan departemen yang mengajukan permintaan itu.

3. Penerimaan barang dan jasa

Penerimaan barang atau jasa ini biasanya membuktikan bahwa suatu transaksi dan

penetapan kewajiban telah terjadi. Personil departemen penerimaan harus

membandingkan barang yang diterima dengan uraian yang tercantum pada pesanan

pembelian, menghitung barang dan memeriksa kemungkinan adanya barang yang

rusak. Departemen penerimaan harus membuat laporan penerimaan barang

bernomor urut untuk setiap pesanan yang diterima, untuk mendokumentasikan

bahwa barang telah diterima dan bahwa kewajiban telah ditetapkan. Laporan

penerimaan eksistensi atau kejadian untuk transaksi pembelian. Departemen

penerimaan setelah menerima barang lalu menyerahkan barang tersebut kepada

gudang.

4. Pencatatan kewajiban

Penerimaan barang atau jasa biasanya menetapkan suatu kewajiban bagi perusahaan

untuk menyelesaikan transaksi. Pengendalian atas pencatatan kewajiban dan asersi

yang berkaitan meliputi memberikan kode atas distribusi akun dengan menunjukkan

23

 

akun aktiva atau beberapa harus didebet ke voucher tersebut, membandingkan

tanggal laporan penerimaan dengan tanggal pencatatan voucher dimana kedua

tanggal harus berada pada periode akuntansi yang sama, melaksanakan pengecekan

atas keakuratan matematis dari setiap voucher dan faktur pemasok.” (h.93).

II.4. Fungsi Hutang

II.4.1. Definisi Hutang Lancar

Menurut Hendriksen yang diterjemahkan oleh Liyono, W. (1999), “Pandangan

pertama menyatakan bahwa kewajiban lancar terdiri dari kewajiban yang harus dibayar

dalam satu tahun atau sebelum akhir siklus operasi perusahaan. Pandangan kedua

menyatakan bahwa kewajiban lancar terdiri dari kewajiban-kewajiban yang

pembayarannya membutuhkan penggunaan aktiva lancar yang timbul perolehan barang-

barang yang akan digunakan dalam siklus operasi.” (h.269).

Menurut Munawir (2002) mendefinisikan, “Hutang lancar atau hutang jangka

pendek adalah kewajiban keuangan perusahaan yang pelunasannya atau pembayarannya

akan dilakukan dalam jangka pendek (satu tahun sejak tanggal neraca) dengan

menggunakan aktiva lancar yang dimiliki oleh perusahaan.” (h.18).

Weygandt, Kieso, dan Kimmel (2002) mendefinisikan, “Current liability is a

debt with two key features: (1) it can reasonably be expected to be paid from existing

current assets or through the creation of orher current liabilities. And (2) it will be paid

within one year or the operating cyle, whichecer is longer.” (h.446).

24

 

II.4.2. Prosedur Pencatatan Hutang

Menurut Mulyadi (2001), prosedur pencatatan hutang dibagi menjadi dua

metode: account payable procedure dan voucher payable procedure.

Account Payable Procedure

Dalam prosedur ini catatan hutang yang digunakan berupa kartu hutang yang berisi

nomor faktur dari pemasok, jumlah yang terhutang, jumlah pembayaran dan saldo

hutang.

Dokumen yang digunakan adalah:

1. Faktur dari pemasok

2. Kwitansi tanda terima uang yang ditandatangani oleh pemasok atau tembusan surat

pemberitahuan (remittance advice) yang dikirim ke pemasok, yang berisi

keterangan untuk apa pembayaran tersebut dilakukan.

Catatan akuntansi yang digunakan adalah:

1. Kartu hutang, untuk mencatat mutasi dan saldo hutang kepada tiap kreditur.

2. Jurnal pembelian, untuk mencatat transaksi pembelian.

3. Jurnal pengeluaran kas, untuk mencatat transaksi pembayaran hutang dan

pengeluaran kas lainnya.

Prosedur pencatatan hutang sebagai berikut:

• Pada saat faktur dari pemsok telah disetujui untuk dibayar:

1. Faktur dari pemasok dicatat dalam jurnal pembelian.

2. Informasi dalam jurnal pembelian kemudian di-posting ke dalam kartu hutang.

• Pada saat jumlah dalam faktur dibayar:

3. Cek dicatat dalam jurnal pengeluaran kas.

25

 

4. Informasi dalam jurnal pengeluaran kas di posting ke dalam kartu hutang.

Voucher Payable Procedure

Dalam prosedur ini catatan hutang yang digunakan berupa arsip voucher (bukti kas

keluar). Pencatatan hutang hanya melalui dua tahap: pencatatan hutang dalam register

bukti kas keluar (voucher register) dan jurnal pengeluaran kas.

Dokumen yang digunakan adalah: Bukti kas keluar atau kombinasi bukti kas keluar dan

cek yang mempunyai fungsi: (1) sebagai surat perintah kepada bagian kassa untuk

melakukan pengeluaran kas sejumlah yang tercantum didalamnya, (2) sebagai

pemberitahuan kepada kreditor mengenai tujuan pembayarannya (remittance advice),

dan (3) sebagai media dasar pencatatan hutang.

Prosedur pencatatan hutang sebagai berikut:

1. One-time Voucher Procedures. Dalam prosedur ini setiap faktur dari pemasok

dibuat satu set voucher yang terdiri dari 3 lembar. Procedur ini dibagi menjadi dua:

a. One-time voucher procedure dengan dasar tunai (cash basis). Dalam prosedur ini

faktur yang diterima oleh fungsi akuntansi dari pemasok disimpan dalam arsip

sementara menurut tanggal jatuh temponya. Saat tanggal jatuh tempo, fungsi

akuntansi membuat bukti kas keluar dan kemudian mencatatannya dalam jurnal

pengeluaran kas.

b. One-time voucher procedure dengan dasar waktu (accrual basis). Dalam

prosedur ini faktur diterima oleh bagian hutang dari pemasok dan langsung

dibuatkan bukti kas keluar oleh bagian hutang, kemudian dilakukan pencatatan

dalm voucher register. Saat bukti kas keluar tersebut jatuh tempo, dokumen ini

26

 

dikirimkan ke bagian kassa untuk membuat cek. Pengeluaran cek dicatat dalam

jurnal pengeluaran cek.

2. Built-up Voucher Procedures. Dalam prosedur ini satu set voucher dapat digunakan

untuk menampung lebih dari satu faktur dari pemasok. Faktur yang diterima oleh

fungsi akuntansi dari pemasok dicatat dalam bukti kas keluar, kemudian keduanya

disimpan sementara dalam arsip menurut abjad. Jika ada lagi faktur dari pemasok

yang sama, maka dicatat juga dalam bukti kas yang sama. Setelah dicatat bukti kas

tersebut dikembalikan dalam arsip bukti kas keluar yang belum dibayar (unpaid

voucher file). Saat jatuh tempo pembayaran, bukti kas keluar tersebut dikeluarkan,

dicatat oleh fungsi akuntansi ke dalam register bukti kas keluar, dan kemudian

diserahkan kepada fungsi keuangan untuk dibuatkan cek. Cek ini dicatat oleh fungsi

keuangan dalam register bukti kas keluar beserta dokumen pendukungnya

dikembalikan lagi ke fungsi akuntansi untuk disimpan dalam arsip bukti kas keluar

yang telah dibayar (paid voucher file)

II.5. Pengendalian Intern

II.5.1. Definisi Pengendalian Intern

Ikatan Akuntan Indonesia (2004) mendefinisikan pengertian struktur

pengendalian intern sebagai berikut: “Struktur pengendalian intern satuan usaha terdiri

dari kebijakan dan prosedur yang ditetapkan untuk memperoleh keyakinan yang

memadai bahwa tujuan satuan usaha yang spesifik akan dapat dicapai.” (h.319).

Niswonger, Warren, Reeves, dan Fees yang diterjemahkan oleh Sirait dan

Gunawan (1999) menyatakan, “Pengendalian Intern (internal control) merupakan

27

 

kebijakan dan prosedur yang melindungi aktiva dari penyalahgunaan, memastikan

bahwa informasi usaha akurat dan memastikan bahwa perundang-undangan serta

peraturan dipatuhi sebagaimana mestinya.” (h.183).

Hartadi (1999) menyatakan, “Sistem pengendalian intern meliputi struktur

organisasi, semua metode dan ketentuan-ketentuan yang terkoordinasi yang dianut

dalam perusahaan untuk melindungi harta kekayaan, memeriksa ketelitian , dan seberapa

jauh data akuntansi dapat dipercaya, meningkatkan efisiensi usaha dan mendorong

ditaatinya kebijakan perusahaan yang telah ditetapkan.” (h.3).

Boynton, Johnson, dan Kell yang diterjemahkan oleh Rajoe, Gania, dan Budi

(2003) menyatakan, “Pengendalian intern (internal control) adalah suatu proses yang

dilaksanakan oleh dewan direksi, manajemen, personel lainnya dalam suatu entitas, yang

dirancang untuk menyediakan keyakinan yang memadai berkenaan dengan pencapaian

tujuan dalam kategori berikut:

• Keandalan pelaporan keuangan.

• Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.

• Efektivitas dan efisiensi operasi.” (h.373).

II.5.2. Komponen Pengendalian Intern

Boynton, Johnson, dan Kell yang diterjemahkan oleh Rajoe, Gania, dan Budi

(2003), “Mengidentifikasikan lima komponen pengendalian intern yang saling

berhubungan:

1. Lingkungan pengendalian (control environment) menetapkan suasana suatu

organisasi, yang mempengaruhi kesadaran akan pengendalian dari orang-orangnya

28

 

lingkungan pengendalian merupakan fondasi dari semua komponen pengendalian

intern lainnya, yang menyediakan disiplin dan struktur.

2. Penilaian risiko (risk assessment) merupakan pengidentifikasian dan analisis

entitas mengenai risiko yang relevan terhadap pencapaian tujuan entitas, yang

membentuk suatu dasar mengenai bagaimana risiko harus dikelola.

3. Aktivitas pengendalian (control activities) merupakan kebijakan dan prosedur

yang membantu meyakinkan bahwa perintah manajemen telah dilaksanakan.

4. Informasi dan komunikasi (information and communication) merupakan

pengidentifikasian, penangkapan dan pertukaran informasi dalam suatu bentuk dan

kerangka waktu yang membuat orang mampu melaksanakan tanggung jawabnya.

5. Pemantauan (monitoring) merupakan suatu proses yang menilai kualitas kinerja

pengendalian intern pada suatu waktu” (h.374).

II.5.3. Pemahaman dan Evaluasi atas Pengendalian Intern

Menurut Agoes, S. (2004), “Ada tiga cara yang bisa digunakan akuntan publik

dalam melakukan pemahaman atas pengendalian intern, yaitu:

1. Internal Control Questionnaires

Cara ini banyak digunakan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP), karena dianggap

lebih sederhana dan praktis. Biasanya KAP sudah memiliki satu set ICQ yang

standar, yang bisa digunakan untuk memahami dan mengevaluasi pengendalian

intern diberbagai jenis perusahaan. Pertanyaan-pertanyaan dalam ICQ diminta

untuk di jawab Ya (Y), atau Tidak (T), atau Tidak Relevan (TR). Jika pertanyaan-

29

 

pertanyaan tersebuat sudah disusun dengan baik, maka jawaban “Ya” akan

menunjukkan ciri internal control yang baik, “Tidak” akan menunjukkan ciri

internal control yang lemah, “Tidak Relevan” berarti pertanyaan tersebut tidak

relevan untuk perusahaan tersebut. Yang perlu diperhatikan adalah:

a. Auditor harus menanyakan langsung pertanyaan-pertanyaan di ICQ kepada

staf klien dan kemudian mengisi sendiri jawabannya, jangan sekedar

menyerahkan ICQ kepada klien untuk diisi.

b. Untuk repeat engagement (penugasan yang berikutnya) ICQ tersebut harus

dimutakhirkan berdasarkan hasil tanya jawab dengan klien.

c. Adanya kecenderungan bahwa klien akan memberikan jawaban seakan-akan

pengendalian intern sangat baik. Karena itu auditor harus melakukan

compliance test untuk membuktikan efektivitas dari pengendalian intern klien.

2. Bagan Arus (Flow Chart)

Flow chart menggambarkan arus dokumen dalam sistem dan prosedur di suatu

unit usaha, misalnya dalam flow chart untuk sistem dan prosedur pembelian,

hutang usaha dan pengeluaran kas, digambarkan arus dokumen mulai dari

permintaan pembelian (purchase requisition), order pembelian (purchase order)

sampai dengan pelunasan hutang yang berasal dari pembelian tersebut.

Untuk auditor yang terlatih baik, penggunaan flow chart lebih disukai karena

auditor bisa lebih cepat melihat apa saja kelemahan-kelemahan dan kebaikan-

kebaikan dari suatu sistem dan prosedur.

30

 

Untuk penugasan tahun-tahun berikutnya, auditor harus selalu memuktahirkan

(mengupdate) flow chart tersebut untuk mengetahui apakah terdapat perubahan-

perubahan dalam sistem dan prosedur perusahaan.

Setelah flow chart dibuat, auditor harus melakukan walk though, yaitu mengambil

dua atau tiga dokumen untuk mentest apakah prosedur yang dijalankan sesuai

dengan apa yang digambarkan dalam flow chart. Misalnya ambil satu set dokumen

untuk pelunasan hutang yang berasal dari pembelian persediaan secara kredit.

Periksa apakah semua dokumen (purchase requistion, purchase order, receiving

report, supplier invoice dan cash payment voucher) sudah diproses sesuai dengan

prosedur yang digambarkan dalam flow chart pembelian, hutang, dan pengeluaran

kas.

3. Narrative

Dalam hal ini auditor menceritakan dalam bentuk memo, sistem dan prosedur

akuntansi yang berlaku di perusahaan, misalnya prosedur pengeluaran kas. Cara

ini biasa digunakan untuk klien kecil yang pembukuannya sederhana.” (h.86-87).