BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)
II-1
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Perpindahan Panas (Heat Transfer)
Kalor adalah bentuk energi yang dirasakan manusia. Energi mewujudkan
keadaan dimana jumlah energi yang dipindahkan dari manusia dan sekitarnya
mencapai keseimbangan termal. Perpindahan panas merupakan sifat dasar alam
sekitar, yaitu Hukum Termodinamika yang berbunyi bahwa kalor berpindah dari
tekanan tinggi menuju ke tekanan yang lebih rendah. Perpindahan panas tersebut
dibagi menjadi tiga mekanisme, yaitu sebagai berikut:
a. Radiasi/ Hantaran
Perpindahan kalor radiasi adalah pertukaran energi kalor dalam bentuk
gelombang elektromagnet antara dua atau lebih objek pada suhu berbeda, yang
dipisahkan oleh ruang atau perantara transparan atau tidak menyerap gelombang
kalor. Van straaten (1967) menyatakan bahwa perpindahan kalor dari atap ke
ceiling terutama berlaku secara radiasi, bukan konveksi ataupun pergerakan
udara. Radiasi tidak dipengaruhi oleh pengalih udara meskipun suhu udara boleh
dikurangi sedikit karena pengalih udara.
Cahaya matahari yang jatuh pada bangunan dan menaikkan suhu dalam
ruangan berlaku dalam dua keadaan. Pertama, apabila radiasi matahari mengenai
bagian kulit luar bangunan, energi yang diserap menaikkan suhu permukaan
kemudian menyebabkan panas berpindah ke dalam melalui dinding dan atap.
Kedua, apabila radiasi matahari mengenai jendela, hampir semua energi masuk
secara terus menerus melalui cermin ke dalam bangunan dan terperangkap di
sana seperti kesan rumah cermin (Milne,1979). Radiasi yang diterima diserap
oleh permukaan dinding yang seterusnya melepaskan radiasi gelombang
panjang.
Persamaan umum radiasi adalah Hukum Stefan-Botzmann.
ππ = π¦πΈπ΄π4 .............................................(2.1)
II-2
Dimana,
qr = Total energi yang dipancarkan
y = Konstanta Stefan-Botzmann
E = Emisifitas permukaan
A = luas permukaan
T = suhu mutlak derajat kelvin (K)
b. Konduksi/ Hantaran
Konduksi ialah perpindahan panas yang dihasilkan dari kontak langsung
antara permukaan-permukaan benda. Konduksi terjadi hanya dengan menyentuh
atau menghubungkan permukaan-permukaan yang mengandung panas. Setiap
benda mempunyai konduktivitas termal (kemampuan mengalirkan panas)
tertentu yang akan mempengaruhi panas yang dihantarkan dari sisi yang panas
ke sisi yang lebih dingin.
Laju perpindahan panas dinyatakan dalam hukum Fourier (Holman, 2001)
sebagai berikut:
...................................... (2.2)
Dimana,
qk = laju perpindahan kalor ( Watt)
k = konduktivitas termal, merupakan sifat material (W/m.C)
A = luas penampang yang tegak lurus dengan arah laju perpindahan
kalor (m2)
dT/dx = laju perubahan suhu T pada penampang terhadap jarak dalam
arah aliran panas x
II-3
c. Konveksi/ aliran
Konveksi adalah perpindahan panas yang terjadi antara permukaan padat
dengan fluida yang mengalir di sekitarnya dengan menggunakan media
penghantar berupa fluida (cairan/gas). Fluida yang bergerak membawa serta
panas molekul-molekulnya berpindah ke tempat yang baru lalu bercampur
dengan molekul yang ada di sana. Contoh konveksi adalah terjadinya
perpindahan panas dari satu sumber panas akibat adanya pergerakan udara yang
dapat dilihat pada Gambar II.1.
Gambar II.1 Perpindahan panas secara konveksi
(Buchori, 2011)
Terdapat dua jenis konveksi, yaitu :
1. Konveksi Alamiah/ Natural/ Free Convection, merupakan pergerakan
atau aliran energi fluida yang terjadi akibat perbedaan masa jenis fluida
tersebut, serta tidak ada tenaga luar yang mendorongnya. Bila suhu fluida
tinggi, ia akan menjadi lebih ringan dan mulai bergerak ke atas. Contoh
konveksi alamiah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah sistem
ventilasi rumah, serta aliran asap pada cerobong asap.
2. Konveksi Paksa/ Forced Convection, merupakan suatu kejadian dimana
fluida dipaksa mengalir ke tempat tertentu oleh tenaga dari luar, misalnya
dengan kipas angin.
II-4
Perhitungan perpindahan panas akibat konveksi, menggunakan hukum
Newton untuk pendinginan, yaitu :
πππππ£ = β. π΄(ππ β ππ)(π€ππ‘π‘) .................................(2.3)
Dimana,
h = koefisien konveksi, dengan satuan W/(m2.K)
A = luas permukaan konveksi
Ts = suhu permukaan
Tf = suhu fluida
II.2 Selubung Bangunan
Selubung bangunan adalah pemisah fisik antara ruang yang terkondisikan
oleh pendingin udara dengan ruang yang tidak terkondisikan; yaitu berupa dinding,
jendela, dan atap tembus atau yang tidak tembus cahaya. Selubung bangunan yang
baik dapat membatasi perpindahan udara, air, panas (termal), cahaya, dan
kebisingan dari luar ke dalam ruangan.
Sebagai elemen yang menyelubungi bangunan gedung, selubung bangunan
dirancang dengan 3 fungsi dasar:
1) pelindung terhadap pengaruh cuaca,
2) mencegah infiltrasi udara, dan
3) menghambat aliran perpindahan panas.
Desain selubung bangunan yang kurang baik pada suatu bangunan dapat
menyebabkan panas dari luar bangunan dengan mudahnya masuk melalui dinding,
jendela, pintu, dan ventilasi sehingga meningkatkan beban pendinginan (HVAC β
Heating, Ventilation, and Air Conditioning).
Karakteristik utama yang menunjukkan kemampuan selubung bangunan
untuk menahan panas dari luar dan mengurangi beban eksternal ditunjukkan dengan
nilai perpindahan termal menyeluruh atau Overall Thermal Transfer Value
(OTTV).
II-5
II.3 Konsep Overall Thermal Transfer Value (OTTV)
Konsep OTTV mencakup tiga elemen dasar perpindahan panas melalui
selubung luar bangunan yaitu: konduksi panas melalui dinding tidak tembus
cahaya, radiasi matahari melalui kaca, dan konduksi panas melalui kaca.
Berdasarkan SNI-03-6389 (2011), nilai perpindahan termal menyeluruh
(OTTV) untuk setiap bidang dinding luar bangunan gedung dengan orientasi
tertentu dapat dihitung melalui persamaan berikut :
OTTVi = Ξ±[Uw x (1-WWR) x Tdek]+(SC x WWR xSF)+(Uf x WWR x ΞT) ....(2.4)
dimana:
OTTVi = nilai perpindahan termal menyeluruh pada dinding luar yang
memiliki arah atau orientasi tertentu (Watt/mΒ²).
Ξ± = absorbtance radiasi matahari.
Uw = transmitance termal dinding tak tembus cahaya (Watt/mΒ². K).
WWR = perbandingan luas jendela dengan luas seluruh dinding luar pada
orientasi yang ditentukan.
Tdek = beda temperatur ekuivalen (K).
SC = koefisien peneduh dari sistem fenestrasi.
SF = faktor radiasi matahari (Watt /mΒ²).
Uf = transmitancei termal fenestrasi (Watt/mΒ².K).
ΞT = beda temperatur perencanaan antara bagian luar dan bagian dalam
(diambil 5K).
Perhitungan OTTV seluruh dinding luar diperoleh melalui hasil perhitungan
OTTV pada semua bidang luar dijumlahkan dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
................................................(2.5)
Dimana:
Aoi = luas dinding pada bagian dinding luar i (mΒ²). Luas ini termasuk seluruh
permukaan dinding dan luas jendela.
II-6
OTTVi = nilai perpindahan termal menyeluruh pada bagian dinding I sebagai
hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan (2.4).
Berdasarkan rumus OTTV Perpindahan panas pada selubung bangunan
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain :
1. Absorbtance termal (Ξ±)
2. Transmitance termal (U)
3. Beda temperatur ekuivalen
4. Faktor rerata radiasi matahari
Untuk membatasi perolehan panas akibat radiasi matahari melalui selubung
bangunan, maka ditentukan nilai OTTV tidak melebihi 35 w/m2. Proses
perancangan OTTV dimulai dengan menentukan nilai-nilai variabel di dalam rumus
(nilai WWR, U dinding dan U kaca, SC, TDek, T, serta nilai SF) untuk menghitung
OTTV parsial (tiap-tiap orientasi selubung bangunan) dilanjutkan dengan
menghitung nilai OTTV total. Apabila nilai OTTV melebihi batas yang
disyaratkan, proses diulangi dengan terlebih dahulu menurunkan angka
absortivitas, mengurangi koefisien peneduh (SC) dan atau mengurangi angka
WWR.
II.3.1 Absorbtance termal (Ξ±)
Nilai absorbtance termal (Ξ±) untuk beberapa jenis permukaan dinding tak
transparan dapat dilihat pada Tabel II.1 dan Tabel II.2.
II-7
Tabel II.1 Nilai Absorbtansi radiasi matahari untuk dinding luar dan atap tidak transparan
1)Untuk bangunan nuklir. Sumber: SNI-03-6389-2011
Tabel II.2 Nilai Absorbtansi radiasi matahari untuk cat permukaan dinding luar
Sumber: SNI-03-6389-2011
II-8
II.3.2 Transmitance termal (U)
Untuk dinding tidak transparan dan fenestrasi yang terdiri dari beberapa
lapis komponen bangunan, maka besarnya U dihitung dengan persamaan berikut :
π = 1
π πππ‘ππ ..................................................(2.6)
Dimana,
RTotal = Resistansi termal total β π ππ=0
Resistans termal terdiri dari :
a) Resistans lapisan udara luar (RUL)
Besarnya nilai RUL ditunjukkan pada Tabel II.3.
Tabel II.3 Nilai R lapisan udara permukaan untuk dinding dan atap
Sumber: SNI-03-6389-2011
Keterangan :
1) Emisivitas tinggi adalah permukaan halus yang tidak mengkilap
(non reflektif)
2) Emisivitas rendah adalah permukaan dalam yang sangat reflektif,
seperti alumunium foil
b) Resistans termal bahan (RK)
π π =π‘
π .....................................................(2.7)
Dimana,
t = tebal bahan (m);
k = nilai konduktivitas termal bahan (W/m. K).
Besarnya nilai k untuk berbagai jenis bahan dapat dilihat pada Tabel II.4
II-9
Tabel II.4 Nilai konduktivitas termal bahan bangunan
Bahan Bangunan Densitas (kg/m3) k (W/m.K)
Bata dengan lapisan plester 1760 0,807
Sumber: SNI-03-6389-2011
c) Resistansi termal rongga udara (RRU)
Nilai resistansi termal rongga udara ditunjukkan pada Tabel II.5.
Tabel II.5 Nilai R lapisan rongga udara
Sumber: SNI-03-6389-2011
d) Resistansi lapisan udara permukaan (RUP)
Nilai RUP ditunjukkan pada Tabel II.3.
II.3.3 Beda temperatur ekuivalen
Beda temperatur ekuivalen (TDEK ) dipengaruhi oleh :
1. Tipe, massa dan densitas konstruksi
2. Intensitas radiasi dan lama penyinaran
3. Lokasi dan orientasi bangunan
4. Kondisi perancangan
II-10
Untuk menyederhanakan perhitungan OTTV, maka nilai TDEK untuk berbagai
tipe konstruksi tercantum pada Tabel II.6.
Tabel II.6 Beda temperatur ekuivalen untuk dinding
Sumber: SNI-03-6389-2011
II.3.4 Faktor rerata radiasi matahari
Faktor radiasi matahari bidang vertikal untuk berbagai orientasi dapat
dilihat pada Tabel II.7.
Tabel II.7 Faktor radiasi matahari (SF, W/m2) untuk berbagai orientasi
Sumber: Lampiran I Peraturan Walikota Bandung No. 1023 BGH tahun
2016
II.3.5 Koefisien Peneduh
Secara umum koefisien peneduh pada setiap sistem fenestrasi didapatkan
dengan mengalikan koefisien peneduh kaca (atau koefisien peneduh efektif dari
kaca dengan solar control film (kaca film) yang ada pada kaca) dengan koefisien
peneduh peralatan peneduh matahari seperti pada rumus berikut :
ππΆ =(πΊ.πΌπ·)+πΌπ
πΌπ ............................................(2.8)
Dengan:
SC = koefisien peneduh sistem fenestrasi
G = Fraksi luar bagian jendela yang tereskpos ke matahari
ID = direct radiation (W/m2)
II-11
Id = diffuse radiation (W/m2)
IT = total radiation (W/m2)
Catatan : Pada perhitungan OTTV, dampak peneduh dikarenakan krei
dalam dan tirai diabaikan.
II.4 Kenyamanan Termal
Kenyamanan termal adalah perasaan dari manusia yang menunjukkan
kepuasan terhadap suatu keadaan termal. Jika seseorang berada dalam ruangan yang
tertutup dalam jangka waktu yang lama, maka seseorang tersebut akan merasakan
ketidaknyamanan. Kondisi lingkungan yang nyaman secara termal diperlukan agar
kita dapat bekerja lebih produktif. Berdasarkan Satwiko (2008), terdapat 6 faktor
yang mempengaruhi tingkat kenyaman termal ( 4 faktor lingkungan dan 2 faktor
manusia ), antara lain :
1. Suhu udara, T (Temperature), 0C
2. Kelembaban udara relatif, RH (Relative Humidity), %
3. Kecepatan angin, V (Velocity), m/detik
4. Rata-rata suhu Permukaan Ruang, MRT (Mean Surface Radiant
Temperature), 0C
5. Aktivitas Manusia, met (Metabolism), W/m2. ( 1 met = 58,15 W/m2 sering
dibulatkan 58 W/m2 )
6. Pakaian yang dipakai, clo (clothing), m2degC/W. ( 1 clo = 0,155 m2degC/W)
Berdasarkan SNI-03-6572 (2001), untuk memenuhi kenyamanan termal
pengguna bangunan di Indonesia, tingkatan temperatur di daerah tropis dibagi
menjadi tiga bagian, antara lain dapat dilihat pada Tabel II.8.
Tabel II.8 Tingkatan temperatur di daerah tropis
Kondisi Kenyamanan Temperatur Efektif
Sejuk nyaman 20,50C ~ 22,80C
Nyaman optimal 22,80C ~ 25,80C
Hangat Nyaman 25,80C ~ 27,10C
Sumber: SNI-03-6389-2011
II-12
Dengan kelembaban udara relatif yang dianjurkan antara 40% ~ 50%, tetapi
untuk ruangan yang jumlah orangnya padat seperti ruang pertemuan, kelembaban
udara relatif masih diperbolehkan berkisar antara 55% ~ 60%.
Gambar II.2 Zona kenyamanan termal berdasarkan ASHRAE
( Sumber : SNI 03-6572-2001)
Berdasarkan Gambar II.2, zona kenyamanan termal dapat dicapai dengan
menggunakan alat penyejuk udara seperti air conditioning (AC). Menurut Sukamta
(2015), mesin pendingin udara, pendingin ruangan, pengkondisi udara, atau
penyaman udara adalah sistem atau mesin yang dirancang untuk menstabilkan
temperatur udara dan kelembaban suatu area yang digunakan untuk pendinginan
maupun pemanasan tergantung pada sifat udara pada waktu tertentu.
II.5 Air Conditioner (AC)
Air Conditioner (AC) merupakan sebuah alat yang mampu mengondisikan
udara. Dengan kata lain, AC berfungsi sebagai penyejuk udara. Penggunaaan AC
dimaksudkan untuk memperoleh temperatur udara yang diinginkan (sejuk atau
II-13
dingin) dan nyaman bagi tubuh. AC lebih banyak digunakan di wilayah yang
beriklim tropis dengan kondisi temperatur udara yang relatif tinggi (panas), seperti
di Indonesia. Dalam penggunaannya, AC tidak hanya menyejukkan atau
mendinginkan udara, tetapi bisa juga mengatur kebersihan dan kelembapan udara
di dalam ruangan sehingga tercipta kondisi udara yang berkualitas, sehat, dan
nyaman bagi tubuh. ( Handoko, 2008 )
Komponen utama sistem pendingin siklus kompresi uap adalah :
a. Kompresor
Kompresor adalah komponen yang berperan sebagai jantung dari sistem
pendingin udara yang berfungsi mengatur aliran refrigeran di dalam siklus
kompresi uap. Kompresor bekerja dengan memampatkan refrigeran sehingga
tekanan dan temperatur pada refrigeran akan meningkat.
b. Kondensor
Kondensor adalah alat untuk mengkondensasi uap refrigeran dari
kompresor yang memiliki tekanan dan temperatur yang tinggi. Kondensor akan
membuat temperatur refrigeran menjadi turun, sehingga fasa refrigeran akan
berubah dari uap menjadi cair. Proses kondensasi harus dalam tekanan yang
tinggi karena refrigeran sangat mudah menguap.
c. Katup ekspansi
Katup ekspansi merupakan alat yang berfungsi untuk menurukan tekanan
dan temperatur dari refrigeran. Alat ini juga dapat berfungsi sebagai alat untuk
mengatur laju alir refrigeran.
d. Evaporator
Evaporator merupakan alat yang berfungsi untuk menguapkan refrigeran
dengan menyerap panas udara yang dikondisikan, sehingga temperatur udara
yang telah melewati evaporator akan menjadi dingin karena kalor yang ada
pada udara akan diserap oleh evaporator.
II.5.1 Prinsip Kerja Sistem Pendingin Kompresi Uap
Sistem refrigerasi kompresi uap merupakan siklus yang banyak digunakan
dalam sistem refrigerasi atau untuk aplikasi sistem pendinginan (Arismunandar,
1991). Sistem pendingin kompresi uap terditri dari empat komponen utama, yaitu
II-14
kompresor, kondensor, alat ekspansi dan evaporator. Susunan empat komponen
tersebut secara skematik ditunjukkan pada Gambar II.3.
Gambar II.3 Siklus refrigerasi kompresi uap
( Sumber : Stoecker dan Jones, 1982 )
Berdasarkan Gambar II.3, langkah pertama pada siklus kompresi uap adalah
langkah kompresi menggunakan kompresor. Kompresor adalah alat untuk
memampatkan fluida kerja (refrigeran), jadi refrigeran yang masuk ke dalam
kompresor AC dialirkan ke kondenser yang kemudian dimampatkan di kondenser.
Pada kondenser, kalor penguapan yang terkandung di dalam refrigeran akan
dikeluarkan sehingga fase refrigeran akan berubah dari fase uap menjadi fase cair.
Adapun besarnya kalor yang dilepaskan oleh kondenser adalah jumlah dari energi
kompressor yang diperlukan dan energi kalor yang diambil evaparator dari
substansi yang akan didinginkan.
Refrigeran yang sudah dikondensasikan kemudian dilewatkan melalui
katup ekspansi. Pada katup ekspansi ini, tekanan dan temperatur refrigeran
diturunkan sehingga fase refrigeran berubah dari fase cair ke fase uap. Setelah
diekspansi, refrigeran kemudian dialirkan ke evaporator. Pada evaporator,
refrigeran akan di evaporasikan sehingga fase refrigeran berubah dari fase cair ke
fase uap. Perubahan fase ini disebabkan karena adanya proses penyerapan panas
dengan kalor yang didinginkan, kemudian tekanan refrigeran dinaikkan kembali
dengan cara dimampatkan menggunakan kompresor. Proses tersebut akan
II-15
berlangsung terus-menerus sehingga disebut sebagai siklus refrigerasi. Skema dan
diagram dari siklus refrigerasi kompresi uap ideal dapat dilihat pada Gambar II.4.
Gambar II.4 Skema dan diagram T-s dari siklus kompresi uap ideal
Menurut Stoecker dan Jones (1982), siklus refrigerasi kompresi uap ideal
terdiri dari empat proses yang dapat dilihat pada Gambar II.4. Proses kompresi uap
ideal terdiri dari:
1. Proses kompresi
Berdasarkan Gambar II.4, proses kompresi terjadi dari titik 1 ke titik
2. Pada proses ini refrigeran dimampatkan oleh kompresor, sehingga
tekanan pada refrigeran akan meningkat yang berdampak pada perubahan
enthalpy. Besarnya perubahan ini menunjukkan besar nya kerja kompresi
yang dilakukan pada uap refrigeran.
Win = αΉ (h2 β h1) ................................... (2.9)
Dimana,
αΉ = laju aliran massa refrigeran (kg/s)
h = enthalpy (kJ/kg)
2. Proses kondensasi
Setelah refrigeran dimampatkan oleh kompresor, refrigeran akan
mengalami proses kondensasi. Berdasarkan Gambar II.4, proses kondensasi
II-16
berlangsung dari titik 2 ke titik 3. Proses kondensasi terjadi pada kondensor,
dimana refrigeran berfasa uap dari kompresor didinginkan oleh fluida
pendingin pada tekanan konstan. Besarnya kalor yang dipindahkan selama
proses ini merupakan beda enthalpy dari titik 2 dan titik 3. Adapun kalor
yang dilepaskan dari kondensor ke lingkungan adalah:
Qout = αΉ (h2 β h3)...................................... (2.10)
3. Proses Ekspansi
Setelah refrigeran didinginkan oleh kondensor, refrigeran akan
mengalami proses ekspansi yang terjadi di katup ekspansi atau pipa kapiler.
Berdasarkan Gambar II.4, proses ekspansi berlangsung dari titik 3 ke titik
4. Pada proses ini terjadi penurunan tekanan refrigeran dari tekanan
kondensasi (titik 3) sampai tekanan evaporasi (titik 4), sehingga
menyebabkan fasa refrigeran berubah dari cair menjadi uap campuran. Pada
proses ekspansi, temperatur refrigeran juga turun dari temperatur
kondensasi ke temperatur evaporasi. Proses ini merupakan proses adiabatik
karena tidak ada perubahan enthalpy refrigeran.
h4 = h3 .............................................. (2.11)
4. Proses Evaporasi
Proses evaporasi merupakan proses penguapan yang terjadi pada
evaporator. Berdasarkan Gambar II.4, proses evaporasi berlangsung dari
titik 4 ke titik 1. Pada proses evaporasi, refrigeran akan mengalami
penguapan akibat penyerapan kalor dari fluida yang didinginkan (udara atau
air). Besarnya kalor yang diserap adalah beda enthalpy titik 1 dan titik 4
yang disebut dengan efek pendinginan.
Qin = αΉ (h1 β h4) β¦................................. (2.12)
II.5.2 Kinerja Sistem Pendingin Udara
Prestasi Air Conditioning dinyatakan dalam COP (Coefisient of
Performance). Coefficient of Performance (COP) siklus refrigerasi merupakan
perbandingan antara kalor yang diserap pada proses evaporasi (efek pendinginan)
II-17
dengan kerja kompresor. Dengan demikian, COP dapat dihitung dengan persamaan
(2.13).
............................. (2.13)
Sistem pendingin udara memiliki standar efisiensi minimum yang
diperbolehkan selama beroperasi. Adapun standar effisiensi untuk sistem HVAC
ditunjukkan pada Tabel II.9.
Tabel II.9 Effisiensi minimum dari peralatan tata udara yang dioperasikan dengan listrik
Sumber : SNI 03-6390-2011
II.5.3 Efektivitas Heat Exchanger
Menurut (Incopera,1981) efektivitas suatu heat exchanger didefinisikan
sebagai perbandingan antara perpindahan panas yang sebenarnya dengan
perpindahan panas maksimum yang mungkin terjadi pada alat heat exchanger.
Efektivitas Heat exchanger (π) dapat dihitung dengan persamaan berikut :
π =ππππππππβππ πππππ π ππππππππ¦π
ππππππππβππ πππππ ππππ πππ’π ............................... (2.14)
Perpindahan panas adalah energi yang dilepaskan oleh fluida panas atau energi
yang diterima oleh fluida dingin yang dapatdihitung dengan persamaan berikut :
πΆππ =πππ
πππ’π‘ =
πππ£ππππππ‘ππ
ππππ
II-18
Q = οΏ½ΜοΏ½ π₯ πΆπ π₯ βπ β¦β¦.β¦............................... (2.15)
Dimana,
Cp = kalor spesifk fluida (KJ/Kg 0C)
II.5.4 Beban Pendinginan
Berdasarkan SNI-03-6572 (2001), beban pendingin ruangan adalah laju aliran
kalor yang harus diambil dari dalam ruangan untuk mempertahankan temperatur
dan kelembaban udara relatif ruangan pada kondisi yang diinginkan.
Gambar II.5 Contoh beban pendinginan ruangan
( Sumber : SNI 03-6572-2001 )
Beban pendingin ruangan dibagi dalam 2 bagian yaitu :
1. Beban pendingin luar (external cooling load).
Beban pendingin ini terjadi akibat penambahan panas didalam ruangan yang
dikondisikan karena sumber kalor dari luar yang masuk melalui selubung
bangunan (building envelope), atau kerangka bangunan (building shell) dan
dinding partisi. Sumber kalor luar yang termasuk beban pendinginan ini adalah :
a. Penambahan kalor radiasi matahari melalui benda transparan seperti kaca.
b. Penambahan kalor konduksi matahari melaluidinding luar dan atap.
c. Penambahan kalor konduksi matahari melalui benda transparan seperti
kaca.
II-19
d. Penambahan kalor melalui partisi, langit-langit dan lantai.
e. Infiltrasi udara luar yang masuk ke dalam ruangan yang dikondisikan.
f. Ventilasi udara luar yang masuk ke dalam ruangan yang dikondisikan.
2. Beban pendinginan dalam (internal cooling load).
Beban pendinginan ini terjadi karena dilepaskannya kalor sensibel maupun kalor
laten dari sumber yang ada di dalam ruangan yang dikondisikan. Sumber kalor
yang termasuk beban pendinginan ini adalah :
a. Penambahan kalor karena orang yang ada di dalam ruang yang
dikondisikan.
b. Penambahan kalor karena adanya pencahayaan buatan di dalam ruang
yang dikondisikan.
c. Penambahan kalor karena adanya motor-motor listrikyang ada di dalam
ruang yang dikondisikan.
d. Penambahan kalor karena adanya peralatan-peralatan listrik atau pemanas
yang ada di dalam ruangan yang dikondisikan.
II.6 Analisis Ekonomi Teknik
Beberapa metode yang dilakukan untuk menilai sebuah proyek konservasi
energi itu layak secara ekonomi antara lain payback period dan NPV (Net Present
Value).
a) Payback Period, adalah jangka waktu / periode yang diperlukan untuk
membayar kembali semua investasi yang telah dikeluarkan dalam pelaksanaan
suatu proyek. Perhitungan Payback Period dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
ππ =πΌ (π π)
π ππ£πππ (π π/π‘πβπ’π) β¦β¦β¦β¦β¦β¦.......β¦β¦β¦β¦ (2.16)
Dimana,
PP = Payback Period
I = Besarnya investasi
saving = Besarnya penghematan yang diperoleh
II-20
Semakin cepat kemampuan proyek dalam mengembalikan biaya-biaya yang
telah dikeluarkan maka semakin baik proyek tersebut atau semakin kecil nilai
PP pada suatu proyek maka proyek tersebut semakin baik.
b) NPV (Net Present Value), merupakan manfaat bersih tambahan yang diterima
proyek selama umur proyek pada tingkat discount factor tertentu. Metode NPV
diperoleh dengan melakukan discounting biaya dan pendapatan pada laju
bunga tertentu, selanjutnya dikurangi dengan present value dari aliran biaya
dari present value aliran pendapatan. Sebuah proyek dikatakan layak apabila
perhitungan NPV bernilai positif atau lebih dari nol.
β¦β¦β¦β¦β¦β¦.......β¦β¦β¦. β¦.(2.17)
Dimana :
NPV = Net Present Value
Bt = Present Value Benefit
Ct = Present Value Cost
i = Discount Factor
n = Tahun (Waktu)
Metode NPV memiliki beberapa indikator, diantaranya:
NPV > 0 (nol) β usaha/proyek layak (feasible) untuk dilaksanakan
NPV < 0 (nol) β usaha/proyek tidak layak (feasible) untuk dilaksanakan
NPV = 0 (nol) β usaha/proyek berada dalam keadaan BEP dimana TR =
TC dalam bentuk present value.
n
t ti
CtBtNPV
1 )1(