BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

20
II-1 BAB II LANDASAN TEORI II.1 Perpindahan Panas (Heat Transfer) Kalor adalah bentuk energi yang dirasakan manusia. Energi mewujudkan keadaan dimana jumlah energi yang dipindahkan dari manusia dan sekitarnya mencapai keseimbangan termal. Perpindahan panas merupakan sifat dasar alam sekitar, yaitu Hukum Termodinamika yang berbunyi bahwa kalor berpindah dari tekanan tinggi menuju ke tekanan yang lebih rendah. Perpindahan panas tersebut dibagi menjadi tiga mekanisme, yaitu sebagai berikut: a. Radiasi/ Hantaran Perpindahan kalor radiasi adalah pertukaran energi kalor dalam bentuk gelombang elektromagnet antara dua atau lebih objek pada suhu berbeda, yang dipisahkan oleh ruang atau perantara transparan atau tidak menyerap gelombang kalor. Van straaten (1967) menyatakan bahwa perpindahan kalor dari atap ke ceiling terutama berlaku secara radiasi, bukan konveksi ataupun pergerakan udara. Radiasi tidak dipengaruhi oleh pengalih udara meskipun suhu udara boleh dikurangi sedikit karena pengalih udara. Cahaya matahari yang jatuh pada bangunan dan menaikkan suhu dalam ruangan berlaku dalam dua keadaan. Pertama, apabila radiasi matahari mengenai bagian kulit luar bangunan, energi yang diserap menaikkan suhu permukaan kemudian menyebabkan panas berpindah ke dalam melalui dinding dan atap. Kedua, apabila radiasi matahari mengenai jendela, hampir semua energi masuk secara terus menerus melalui cermin ke dalam bangunan dan terperangkap di sana seperti kesan rumah cermin (Milne,1979). Radiasi yang diterima diserap oleh permukaan dinding yang seterusnya melepaskan radiasi gelombang panjang. Persamaan umum radiasi adalah Hukum Stefan-Botzmann. = 4 .............................................(2.1)

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-1

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1 Perpindahan Panas (Heat Transfer)

Kalor adalah bentuk energi yang dirasakan manusia. Energi mewujudkan

keadaan dimana jumlah energi yang dipindahkan dari manusia dan sekitarnya

mencapai keseimbangan termal. Perpindahan panas merupakan sifat dasar alam

sekitar, yaitu Hukum Termodinamika yang berbunyi bahwa kalor berpindah dari

tekanan tinggi menuju ke tekanan yang lebih rendah. Perpindahan panas tersebut

dibagi menjadi tiga mekanisme, yaitu sebagai berikut:

a. Radiasi/ Hantaran

Perpindahan kalor radiasi adalah pertukaran energi kalor dalam bentuk

gelombang elektromagnet antara dua atau lebih objek pada suhu berbeda, yang

dipisahkan oleh ruang atau perantara transparan atau tidak menyerap gelombang

kalor. Van straaten (1967) menyatakan bahwa perpindahan kalor dari atap ke

ceiling terutama berlaku secara radiasi, bukan konveksi ataupun pergerakan

udara. Radiasi tidak dipengaruhi oleh pengalih udara meskipun suhu udara boleh

dikurangi sedikit karena pengalih udara.

Cahaya matahari yang jatuh pada bangunan dan menaikkan suhu dalam

ruangan berlaku dalam dua keadaan. Pertama, apabila radiasi matahari mengenai

bagian kulit luar bangunan, energi yang diserap menaikkan suhu permukaan

kemudian menyebabkan panas berpindah ke dalam melalui dinding dan atap.

Kedua, apabila radiasi matahari mengenai jendela, hampir semua energi masuk

secara terus menerus melalui cermin ke dalam bangunan dan terperangkap di

sana seperti kesan rumah cermin (Milne,1979). Radiasi yang diterima diserap

oleh permukaan dinding yang seterusnya melepaskan radiasi gelombang

panjang.

Persamaan umum radiasi adalah Hukum Stefan-Botzmann.

π‘žπ‘Ÿ = 𝑦𝐸𝐴𝑇4 .............................................(2.1)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-2

Dimana,

qr = Total energi yang dipancarkan

y = Konstanta Stefan-Botzmann

E = Emisifitas permukaan

A = luas permukaan

T = suhu mutlak derajat kelvin (K)

b. Konduksi/ Hantaran

Konduksi ialah perpindahan panas yang dihasilkan dari kontak langsung

antara permukaan-permukaan benda. Konduksi terjadi hanya dengan menyentuh

atau menghubungkan permukaan-permukaan yang mengandung panas. Setiap

benda mempunyai konduktivitas termal (kemampuan mengalirkan panas)

tertentu yang akan mempengaruhi panas yang dihantarkan dari sisi yang panas

ke sisi yang lebih dingin.

Laju perpindahan panas dinyatakan dalam hukum Fourier (Holman, 2001)

sebagai berikut:

...................................... (2.2)

Dimana,

qk = laju perpindahan kalor ( Watt)

k = konduktivitas termal, merupakan sifat material (W/m.C)

A = luas penampang yang tegak lurus dengan arah laju perpindahan

kalor (m2)

dT/dx = laju perubahan suhu T pada penampang terhadap jarak dalam

arah aliran panas x

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-3

c. Konveksi/ aliran

Konveksi adalah perpindahan panas yang terjadi antara permukaan padat

dengan fluida yang mengalir di sekitarnya dengan menggunakan media

penghantar berupa fluida (cairan/gas). Fluida yang bergerak membawa serta

panas molekul-molekulnya berpindah ke tempat yang baru lalu bercampur

dengan molekul yang ada di sana. Contoh konveksi adalah terjadinya

perpindahan panas dari satu sumber panas akibat adanya pergerakan udara yang

dapat dilihat pada Gambar II.1.

Gambar II.1 Perpindahan panas secara konveksi

(Buchori, 2011)

Terdapat dua jenis konveksi, yaitu :

1. Konveksi Alamiah/ Natural/ Free Convection, merupakan pergerakan

atau aliran energi fluida yang terjadi akibat perbedaan masa jenis fluida

tersebut, serta tidak ada tenaga luar yang mendorongnya. Bila suhu fluida

tinggi, ia akan menjadi lebih ringan dan mulai bergerak ke atas. Contoh

konveksi alamiah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah sistem

ventilasi rumah, serta aliran asap pada cerobong asap.

2. Konveksi Paksa/ Forced Convection, merupakan suatu kejadian dimana

fluida dipaksa mengalir ke tempat tertentu oleh tenaga dari luar, misalnya

dengan kipas angin.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-4

Perhitungan perpindahan panas akibat konveksi, menggunakan hukum

Newton untuk pendinginan, yaitu :

π‘žπ‘˜π‘œπ‘›π‘£ = β„Ž. 𝐴(𝑇𝑠 βˆ’ 𝑇𝑓)(π‘€π‘Žπ‘‘π‘‘) .................................(2.3)

Dimana,

h = koefisien konveksi, dengan satuan W/(m2.K)

A = luas permukaan konveksi

Ts = suhu permukaan

Tf = suhu fluida

II.2 Selubung Bangunan

Selubung bangunan adalah pemisah fisik antara ruang yang terkondisikan

oleh pendingin udara dengan ruang yang tidak terkondisikan; yaitu berupa dinding,

jendela, dan atap tembus atau yang tidak tembus cahaya. Selubung bangunan yang

baik dapat membatasi perpindahan udara, air, panas (termal), cahaya, dan

kebisingan dari luar ke dalam ruangan.

Sebagai elemen yang menyelubungi bangunan gedung, selubung bangunan

dirancang dengan 3 fungsi dasar:

1) pelindung terhadap pengaruh cuaca,

2) mencegah infiltrasi udara, dan

3) menghambat aliran perpindahan panas.

Desain selubung bangunan yang kurang baik pada suatu bangunan dapat

menyebabkan panas dari luar bangunan dengan mudahnya masuk melalui dinding,

jendela, pintu, dan ventilasi sehingga meningkatkan beban pendinginan (HVAC –

Heating, Ventilation, and Air Conditioning).

Karakteristik utama yang menunjukkan kemampuan selubung bangunan

untuk menahan panas dari luar dan mengurangi beban eksternal ditunjukkan dengan

nilai perpindahan termal menyeluruh atau Overall Thermal Transfer Value

(OTTV).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-5

II.3 Konsep Overall Thermal Transfer Value (OTTV)

Konsep OTTV mencakup tiga elemen dasar perpindahan panas melalui

selubung luar bangunan yaitu: konduksi panas melalui dinding tidak tembus

cahaya, radiasi matahari melalui kaca, dan konduksi panas melalui kaca.

Berdasarkan SNI-03-6389 (2011), nilai perpindahan termal menyeluruh

(OTTV) untuk setiap bidang dinding luar bangunan gedung dengan orientasi

tertentu dapat dihitung melalui persamaan berikut :

OTTVi = Ξ±[Uw x (1-WWR) x Tdek]+(SC x WWR xSF)+(Uf x WWR x Ξ”T) ....(2.4)

dimana:

OTTVi = nilai perpindahan termal menyeluruh pada dinding luar yang

memiliki arah atau orientasi tertentu (Watt/mΒ²).

Ξ± = absorbtance radiasi matahari.

Uw = transmitance termal dinding tak tembus cahaya (Watt/mΒ². K).

WWR = perbandingan luas jendela dengan luas seluruh dinding luar pada

orientasi yang ditentukan.

Tdek = beda temperatur ekuivalen (K).

SC = koefisien peneduh dari sistem fenestrasi.

SF = faktor radiasi matahari (Watt /mΒ²).

Uf = transmitancei termal fenestrasi (Watt/mΒ².K).

Ξ”T = beda temperatur perencanaan antara bagian luar dan bagian dalam

(diambil 5K).

Perhitungan OTTV seluruh dinding luar diperoleh melalui hasil perhitungan

OTTV pada semua bidang luar dijumlahkan dengan menggunakan rumus sebagai

berikut :

................................................(2.5)

Dimana:

Aoi = luas dinding pada bagian dinding luar i (mΒ²). Luas ini termasuk seluruh

permukaan dinding dan luas jendela.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-6

OTTVi = nilai perpindahan termal menyeluruh pada bagian dinding I sebagai

hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan (2.4).

Berdasarkan rumus OTTV Perpindahan panas pada selubung bangunan

dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain :

1. Absorbtance termal (Ξ±)

2. Transmitance termal (U)

3. Beda temperatur ekuivalen

4. Faktor rerata radiasi matahari

Untuk membatasi perolehan panas akibat radiasi matahari melalui selubung

bangunan, maka ditentukan nilai OTTV tidak melebihi 35 w/m2. Proses

perancangan OTTV dimulai dengan menentukan nilai-nilai variabel di dalam rumus

(nilai WWR, U dinding dan U kaca, SC, TDek, T, serta nilai SF) untuk menghitung

OTTV parsial (tiap-tiap orientasi selubung bangunan) dilanjutkan dengan

menghitung nilai OTTV total. Apabila nilai OTTV melebihi batas yang

disyaratkan, proses diulangi dengan terlebih dahulu menurunkan angka

absortivitas, mengurangi koefisien peneduh (SC) dan atau mengurangi angka

WWR.

II.3.1 Absorbtance termal (Ξ±)

Nilai absorbtance termal (Ξ±) untuk beberapa jenis permukaan dinding tak

transparan dapat dilihat pada Tabel II.1 dan Tabel II.2.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-7

Tabel II.1 Nilai Absorbtansi radiasi matahari untuk dinding luar dan atap tidak transparan

1)Untuk bangunan nuklir. Sumber: SNI-03-6389-2011

Tabel II.2 Nilai Absorbtansi radiasi matahari untuk cat permukaan dinding luar

Sumber: SNI-03-6389-2011

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-8

II.3.2 Transmitance termal (U)

Untuk dinding tidak transparan dan fenestrasi yang terdiri dari beberapa

lapis komponen bangunan, maka besarnya U dihitung dengan persamaan berikut :

π‘ˆ = 1

π‘…π‘‡π‘œπ‘‘π‘Žπ‘™ ..................................................(2.6)

Dimana,

RTotal = Resistansi termal total βˆ‘ 𝑅𝑖𝑖=0

Resistans termal terdiri dari :

a) Resistans lapisan udara luar (RUL)

Besarnya nilai RUL ditunjukkan pada Tabel II.3.

Tabel II.3 Nilai R lapisan udara permukaan untuk dinding dan atap

Sumber: SNI-03-6389-2011

Keterangan :

1) Emisivitas tinggi adalah permukaan halus yang tidak mengkilap

(non reflektif)

2) Emisivitas rendah adalah permukaan dalam yang sangat reflektif,

seperti alumunium foil

b) Resistans termal bahan (RK)

π‘…π‘˜ =𝑑

π‘˜ .....................................................(2.7)

Dimana,

t = tebal bahan (m);

k = nilai konduktivitas termal bahan (W/m. K).

Besarnya nilai k untuk berbagai jenis bahan dapat dilihat pada Tabel II.4

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-9

Tabel II.4 Nilai konduktivitas termal bahan bangunan

Bahan Bangunan Densitas (kg/m3) k (W/m.K)

Bata dengan lapisan plester 1760 0,807

Sumber: SNI-03-6389-2011

c) Resistansi termal rongga udara (RRU)

Nilai resistansi termal rongga udara ditunjukkan pada Tabel II.5.

Tabel II.5 Nilai R lapisan rongga udara

Sumber: SNI-03-6389-2011

d) Resistansi lapisan udara permukaan (RUP)

Nilai RUP ditunjukkan pada Tabel II.3.

II.3.3 Beda temperatur ekuivalen

Beda temperatur ekuivalen (TDEK ) dipengaruhi oleh :

1. Tipe, massa dan densitas konstruksi

2. Intensitas radiasi dan lama penyinaran

3. Lokasi dan orientasi bangunan

4. Kondisi perancangan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-10

Untuk menyederhanakan perhitungan OTTV, maka nilai TDEK untuk berbagai

tipe konstruksi tercantum pada Tabel II.6.

Tabel II.6 Beda temperatur ekuivalen untuk dinding

Sumber: SNI-03-6389-2011

II.3.4 Faktor rerata radiasi matahari

Faktor radiasi matahari bidang vertikal untuk berbagai orientasi dapat

dilihat pada Tabel II.7.

Tabel II.7 Faktor radiasi matahari (SF, W/m2) untuk berbagai orientasi

Sumber: Lampiran I Peraturan Walikota Bandung No. 1023 BGH tahun

2016

II.3.5 Koefisien Peneduh

Secara umum koefisien peneduh pada setiap sistem fenestrasi didapatkan

dengan mengalikan koefisien peneduh kaca (atau koefisien peneduh efektif dari

kaca dengan solar control film (kaca film) yang ada pada kaca) dengan koefisien

peneduh peralatan peneduh matahari seperti pada rumus berikut :

𝑆𝐢 =(𝐺.𝐼𝐷)+𝐼𝑑

𝐼𝑇 ............................................(2.8)

Dengan:

SC = koefisien peneduh sistem fenestrasi

G = Fraksi luar bagian jendela yang tereskpos ke matahari

ID = direct radiation (W/m2)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-11

Id = diffuse radiation (W/m2)

IT = total radiation (W/m2)

Catatan : Pada perhitungan OTTV, dampak peneduh dikarenakan krei

dalam dan tirai diabaikan.

II.4 Kenyamanan Termal

Kenyamanan termal adalah perasaan dari manusia yang menunjukkan

kepuasan terhadap suatu keadaan termal. Jika seseorang berada dalam ruangan yang

tertutup dalam jangka waktu yang lama, maka seseorang tersebut akan merasakan

ketidaknyamanan. Kondisi lingkungan yang nyaman secara termal diperlukan agar

kita dapat bekerja lebih produktif. Berdasarkan Satwiko (2008), terdapat 6 faktor

yang mempengaruhi tingkat kenyaman termal ( 4 faktor lingkungan dan 2 faktor

manusia ), antara lain :

1. Suhu udara, T (Temperature), 0C

2. Kelembaban udara relatif, RH (Relative Humidity), %

3. Kecepatan angin, V (Velocity), m/detik

4. Rata-rata suhu Permukaan Ruang, MRT (Mean Surface Radiant

Temperature), 0C

5. Aktivitas Manusia, met (Metabolism), W/m2. ( 1 met = 58,15 W/m2 sering

dibulatkan 58 W/m2 )

6. Pakaian yang dipakai, clo (clothing), m2degC/W. ( 1 clo = 0,155 m2degC/W)

Berdasarkan SNI-03-6572 (2001), untuk memenuhi kenyamanan termal

pengguna bangunan di Indonesia, tingkatan temperatur di daerah tropis dibagi

menjadi tiga bagian, antara lain dapat dilihat pada Tabel II.8.

Tabel II.8 Tingkatan temperatur di daerah tropis

Kondisi Kenyamanan Temperatur Efektif

Sejuk nyaman 20,50C ~ 22,80C

Nyaman optimal 22,80C ~ 25,80C

Hangat Nyaman 25,80C ~ 27,10C

Sumber: SNI-03-6389-2011

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-12

Dengan kelembaban udara relatif yang dianjurkan antara 40% ~ 50%, tetapi

untuk ruangan yang jumlah orangnya padat seperti ruang pertemuan, kelembaban

udara relatif masih diperbolehkan berkisar antara 55% ~ 60%.

Gambar II.2 Zona kenyamanan termal berdasarkan ASHRAE

( Sumber : SNI 03-6572-2001)

Berdasarkan Gambar II.2, zona kenyamanan termal dapat dicapai dengan

menggunakan alat penyejuk udara seperti air conditioning (AC). Menurut Sukamta

(2015), mesin pendingin udara, pendingin ruangan, pengkondisi udara, atau

penyaman udara adalah sistem atau mesin yang dirancang untuk menstabilkan

temperatur udara dan kelembaban suatu area yang digunakan untuk pendinginan

maupun pemanasan tergantung pada sifat udara pada waktu tertentu.

II.5 Air Conditioner (AC)

Air Conditioner (AC) merupakan sebuah alat yang mampu mengondisikan

udara. Dengan kata lain, AC berfungsi sebagai penyejuk udara. Penggunaaan AC

dimaksudkan untuk memperoleh temperatur udara yang diinginkan (sejuk atau

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-13

dingin) dan nyaman bagi tubuh. AC lebih banyak digunakan di wilayah yang

beriklim tropis dengan kondisi temperatur udara yang relatif tinggi (panas), seperti

di Indonesia. Dalam penggunaannya, AC tidak hanya menyejukkan atau

mendinginkan udara, tetapi bisa juga mengatur kebersihan dan kelembapan udara

di dalam ruangan sehingga tercipta kondisi udara yang berkualitas, sehat, dan

nyaman bagi tubuh. ( Handoko, 2008 )

Komponen utama sistem pendingin siklus kompresi uap adalah :

a. Kompresor

Kompresor adalah komponen yang berperan sebagai jantung dari sistem

pendingin udara yang berfungsi mengatur aliran refrigeran di dalam siklus

kompresi uap. Kompresor bekerja dengan memampatkan refrigeran sehingga

tekanan dan temperatur pada refrigeran akan meningkat.

b. Kondensor

Kondensor adalah alat untuk mengkondensasi uap refrigeran dari

kompresor yang memiliki tekanan dan temperatur yang tinggi. Kondensor akan

membuat temperatur refrigeran menjadi turun, sehingga fasa refrigeran akan

berubah dari uap menjadi cair. Proses kondensasi harus dalam tekanan yang

tinggi karena refrigeran sangat mudah menguap.

c. Katup ekspansi

Katup ekspansi merupakan alat yang berfungsi untuk menurukan tekanan

dan temperatur dari refrigeran. Alat ini juga dapat berfungsi sebagai alat untuk

mengatur laju alir refrigeran.

d. Evaporator

Evaporator merupakan alat yang berfungsi untuk menguapkan refrigeran

dengan menyerap panas udara yang dikondisikan, sehingga temperatur udara

yang telah melewati evaporator akan menjadi dingin karena kalor yang ada

pada udara akan diserap oleh evaporator.

II.5.1 Prinsip Kerja Sistem Pendingin Kompresi Uap

Sistem refrigerasi kompresi uap merupakan siklus yang banyak digunakan

dalam sistem refrigerasi atau untuk aplikasi sistem pendinginan (Arismunandar,

1991). Sistem pendingin kompresi uap terditri dari empat komponen utama, yaitu

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-14

kompresor, kondensor, alat ekspansi dan evaporator. Susunan empat komponen

tersebut secara skematik ditunjukkan pada Gambar II.3.

Gambar II.3 Siklus refrigerasi kompresi uap

( Sumber : Stoecker dan Jones, 1982 )

Berdasarkan Gambar II.3, langkah pertama pada siklus kompresi uap adalah

langkah kompresi menggunakan kompresor. Kompresor adalah alat untuk

memampatkan fluida kerja (refrigeran), jadi refrigeran yang masuk ke dalam

kompresor AC dialirkan ke kondenser yang kemudian dimampatkan di kondenser.

Pada kondenser, kalor penguapan yang terkandung di dalam refrigeran akan

dikeluarkan sehingga fase refrigeran akan berubah dari fase uap menjadi fase cair.

Adapun besarnya kalor yang dilepaskan oleh kondenser adalah jumlah dari energi

kompressor yang diperlukan dan energi kalor yang diambil evaparator dari

substansi yang akan didinginkan.

Refrigeran yang sudah dikondensasikan kemudian dilewatkan melalui

katup ekspansi. Pada katup ekspansi ini, tekanan dan temperatur refrigeran

diturunkan sehingga fase refrigeran berubah dari fase cair ke fase uap. Setelah

diekspansi, refrigeran kemudian dialirkan ke evaporator. Pada evaporator,

refrigeran akan di evaporasikan sehingga fase refrigeran berubah dari fase cair ke

fase uap. Perubahan fase ini disebabkan karena adanya proses penyerapan panas

dengan kalor yang didinginkan, kemudian tekanan refrigeran dinaikkan kembali

dengan cara dimampatkan menggunakan kompresor. Proses tersebut akan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-15

berlangsung terus-menerus sehingga disebut sebagai siklus refrigerasi. Skema dan

diagram dari siklus refrigerasi kompresi uap ideal dapat dilihat pada Gambar II.4.

Gambar II.4 Skema dan diagram T-s dari siklus kompresi uap ideal

Menurut Stoecker dan Jones (1982), siklus refrigerasi kompresi uap ideal

terdiri dari empat proses yang dapat dilihat pada Gambar II.4. Proses kompresi uap

ideal terdiri dari:

1. Proses kompresi

Berdasarkan Gambar II.4, proses kompresi terjadi dari titik 1 ke titik

2. Pada proses ini refrigeran dimampatkan oleh kompresor, sehingga

tekanan pada refrigeran akan meningkat yang berdampak pada perubahan

enthalpy. Besarnya perubahan ini menunjukkan besar nya kerja kompresi

yang dilakukan pada uap refrigeran.

Win = ṁ (h2 – h1) ................................... (2.9)

Dimana,

ṁ = laju aliran massa refrigeran (kg/s)

h = enthalpy (kJ/kg)

2. Proses kondensasi

Setelah refrigeran dimampatkan oleh kompresor, refrigeran akan

mengalami proses kondensasi. Berdasarkan Gambar II.4, proses kondensasi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-16

berlangsung dari titik 2 ke titik 3. Proses kondensasi terjadi pada kondensor,

dimana refrigeran berfasa uap dari kompresor didinginkan oleh fluida

pendingin pada tekanan konstan. Besarnya kalor yang dipindahkan selama

proses ini merupakan beda enthalpy dari titik 2 dan titik 3. Adapun kalor

yang dilepaskan dari kondensor ke lingkungan adalah:

Qout = ṁ (h2 – h3)...................................... (2.10)

3. Proses Ekspansi

Setelah refrigeran didinginkan oleh kondensor, refrigeran akan

mengalami proses ekspansi yang terjadi di katup ekspansi atau pipa kapiler.

Berdasarkan Gambar II.4, proses ekspansi berlangsung dari titik 3 ke titik

4. Pada proses ini terjadi penurunan tekanan refrigeran dari tekanan

kondensasi (titik 3) sampai tekanan evaporasi (titik 4), sehingga

menyebabkan fasa refrigeran berubah dari cair menjadi uap campuran. Pada

proses ekspansi, temperatur refrigeran juga turun dari temperatur

kondensasi ke temperatur evaporasi. Proses ini merupakan proses adiabatik

karena tidak ada perubahan enthalpy refrigeran.

h4 = h3 .............................................. (2.11)

4. Proses Evaporasi

Proses evaporasi merupakan proses penguapan yang terjadi pada

evaporator. Berdasarkan Gambar II.4, proses evaporasi berlangsung dari

titik 4 ke titik 1. Pada proses evaporasi, refrigeran akan mengalami

penguapan akibat penyerapan kalor dari fluida yang didinginkan (udara atau

air). Besarnya kalor yang diserap adalah beda enthalpy titik 1 dan titik 4

yang disebut dengan efek pendinginan.

Qin = ṁ (h1 – h4) …................................. (2.12)

II.5.2 Kinerja Sistem Pendingin Udara

Prestasi Air Conditioning dinyatakan dalam COP (Coefisient of

Performance). Coefficient of Performance (COP) siklus refrigerasi merupakan

perbandingan antara kalor yang diserap pada proses evaporasi (efek pendinginan)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-17

dengan kerja kompresor. Dengan demikian, COP dapat dihitung dengan persamaan

(2.13).

............................. (2.13)

Sistem pendingin udara memiliki standar efisiensi minimum yang

diperbolehkan selama beroperasi. Adapun standar effisiensi untuk sistem HVAC

ditunjukkan pada Tabel II.9.

Tabel II.9 Effisiensi minimum dari peralatan tata udara yang dioperasikan dengan listrik

Sumber : SNI 03-6390-2011

II.5.3 Efektivitas Heat Exchanger

Menurut (Incopera,1981) efektivitas suatu heat exchanger didefinisikan

sebagai perbandingan antara perpindahan panas yang sebenarnya dengan

perpindahan panas maksimum yang mungkin terjadi pada alat heat exchanger.

Efektivitas Heat exchanger (πœ€) dapat dihitung dengan persamaan berikut :

πœ€ =π‘π‘’π‘Ÿπ‘π‘–π‘›π‘‘π‘Žβ„Žπ‘Žπ‘› π‘˜π‘Žπ‘™π‘œπ‘Ÿ π‘ π‘’π‘π‘’π‘›π‘Žπ‘Ÿπ‘›π‘¦π‘Ž

π‘π‘’π‘Ÿπ‘π‘–π‘›π‘‘π‘Žβ„Žπ‘Žπ‘› π‘˜π‘Žπ‘™π‘œπ‘Ÿ π‘šπ‘Žπ‘˜π‘ π‘–π‘šπ‘’π‘š ............................... (2.14)

Perpindahan panas adalah energi yang dilepaskan oleh fluida panas atau energi

yang diterima oleh fluida dingin yang dapatdihitung dengan persamaan berikut :

𝐢𝑂𝑃 =𝑄𝑖𝑛

π‘„π‘œπ‘’π‘‘ =

π‘„π‘’π‘£π‘Žπ‘π‘œπ‘Ÿπ‘Žπ‘‘π‘œπ‘Ÿ

π‘Šπ‘˜π‘œπ‘š

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-18

Q = οΏ½Μ‡οΏ½ π‘₯ 𝐢𝑝 π‘₯ βˆ†π‘‡ …….…............................... (2.15)

Dimana,

Cp = kalor spesifk fluida (KJ/Kg 0C)

II.5.4 Beban Pendinginan

Berdasarkan SNI-03-6572 (2001), beban pendingin ruangan adalah laju aliran

kalor yang harus diambil dari dalam ruangan untuk mempertahankan temperatur

dan kelembaban udara relatif ruangan pada kondisi yang diinginkan.

Gambar II.5 Contoh beban pendinginan ruangan

( Sumber : SNI 03-6572-2001 )

Beban pendingin ruangan dibagi dalam 2 bagian yaitu :

1. Beban pendingin luar (external cooling load).

Beban pendingin ini terjadi akibat penambahan panas didalam ruangan yang

dikondisikan karena sumber kalor dari luar yang masuk melalui selubung

bangunan (building envelope), atau kerangka bangunan (building shell) dan

dinding partisi. Sumber kalor luar yang termasuk beban pendinginan ini adalah :

a. Penambahan kalor radiasi matahari melalui benda transparan seperti kaca.

b. Penambahan kalor konduksi matahari melaluidinding luar dan atap.

c. Penambahan kalor konduksi matahari melalui benda transparan seperti

kaca.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-19

d. Penambahan kalor melalui partisi, langit-langit dan lantai.

e. Infiltrasi udara luar yang masuk ke dalam ruangan yang dikondisikan.

f. Ventilasi udara luar yang masuk ke dalam ruangan yang dikondisikan.

2. Beban pendinginan dalam (internal cooling load).

Beban pendinginan ini terjadi karena dilepaskannya kalor sensibel maupun kalor

laten dari sumber yang ada di dalam ruangan yang dikondisikan. Sumber kalor

yang termasuk beban pendinginan ini adalah :

a. Penambahan kalor karena orang yang ada di dalam ruang yang

dikondisikan.

b. Penambahan kalor karena adanya pencahayaan buatan di dalam ruang

yang dikondisikan.

c. Penambahan kalor karena adanya motor-motor listrikyang ada di dalam

ruang yang dikondisikan.

d. Penambahan kalor karena adanya peralatan-peralatan listrik atau pemanas

yang ada di dalam ruangan yang dikondisikan.

II.6 Analisis Ekonomi Teknik

Beberapa metode yang dilakukan untuk menilai sebuah proyek konservasi

energi itu layak secara ekonomi antara lain payback period dan NPV (Net Present

Value).

a) Payback Period, adalah jangka waktu / periode yang diperlukan untuk

membayar kembali semua investasi yang telah dikeluarkan dalam pelaksanaan

suatu proyek. Perhitungan Payback Period dilakukan dengan cara sebagai

berikut :

𝑃𝑃 =𝐼 (𝑅𝑝)

π‘ π‘Žπ‘£π‘–π‘›π‘” (𝑅𝑝/π‘‘π‘Žβ„Žπ‘’π‘›) ……………….......………… (2.16)

Dimana,

PP = Payback Period

I = Besarnya investasi

saving = Besarnya penghematan yang diperoleh

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI II.1 (Heat Transfer)

II-20

Semakin cepat kemampuan proyek dalam mengembalikan biaya-biaya yang

telah dikeluarkan maka semakin baik proyek tersebut atau semakin kecil nilai

PP pada suatu proyek maka proyek tersebut semakin baik.

b) NPV (Net Present Value), merupakan manfaat bersih tambahan yang diterima

proyek selama umur proyek pada tingkat discount factor tertentu. Metode NPV

diperoleh dengan melakukan discounting biaya dan pendapatan pada laju

bunga tertentu, selanjutnya dikurangi dengan present value dari aliran biaya

dari present value aliran pendapatan. Sebuah proyek dikatakan layak apabila

perhitungan NPV bernilai positif atau lebih dari nol.

……………….......………. ….(2.17)

Dimana :

NPV = Net Present Value

Bt = Present Value Benefit

Ct = Present Value Cost

i = Discount Factor

n = Tahun (Waktu)

Metode NPV memiliki beberapa indikator, diantaranya:

NPV > 0 (nol) β†’ usaha/proyek layak (feasible) untuk dilaksanakan

NPV < 0 (nol) β†’ usaha/proyek tidak layak (feasible) untuk dilaksanakan

NPV = 0 (nol) β†’ usaha/proyek berada dalam keadaan BEP dimana TR =

TC dalam bentuk present value.

n

t ti

CtBtNPV

1 )1(