Bab II Landasan Teori II

15
! " ! BAB II LANDASAN TEORI II.1. T injauan Pustaka II.1.1 Definisi Asma Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi dapat menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Nelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala mengi serta batuk dengan karakteristik sebagai beriku t; timbul secara episodik dan atau kr onik, cenderung pada malam hari atau dini hari ( nokturnal ), musiman. A danya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat a sma at au atopi lain pada pasien atau keluarga, sedangkan seba b - sebab lain sudah disingkirkan (Nelson, 1996). Pedoman Nasional Asma Anak juga menggunakan batasan yang praktis dalam bentuk batasan operasional yaitu mengi berulang terkadang disertai batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara epis odik, cenderung pada malam hari atau dini hari (nokturnal), musiman, faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya ri wayat asma atau atopi la in pada pasien atau keluarganya (PPIDAI, 2004). II.1.2 Patogenesis Asma Pengertian sebelumnya asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang timbul mendadak, akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Mekanisme utama tim buln ya gejala asma diakibatkan hipe reaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama asma adalah mengatasi bronkospasme. Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran# ! ! respiratorik, menyebabkan terbatas nya aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit. T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi mesk ipun asma nya ringan atau tidak bergejala (PP IDAI, 2004). B anyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan manifestasi riwayat atopi melalui mekanisme IgE - dependent . Pada populasi diperkirakan faktor riwayat atopi memberikan kontrib usi pada 40 % penderita asma anak dan dewasa (PPIDAI, 2004). Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk Ig E spesifik oleh sel plasma. Ig E melekat pada Fc reseptor pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat ( immediate asthma reaction) (Warner, 2001). Terjadi degranulasi sel mast, dilepaskan mediator - mediator :

description

m

Transcript of Bab II Landasan Teori II

Page 1: Bab II Landasan Teori II

! " ! BAB II LANDASAN TEORI II.1. T injauan Pustaka II.1.1 Definisi Asma Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi dapat menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Nelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala mengi serta batuk dengan karakteristik sebagai beriku t; timbul secara episodik dan atau kr onik, cenderung pada malam hari atau dini hari ( nokturnal ), musiman. A danya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat a sma at au atopi lain pada pasien atau keluarga, sedangkan seba b - sebab lain sudah disingkirkan (Nelson, 1996). Pedoman Nasional Asma Anak juga menggunakan batasan yang praktis dalam bentuk batasan operasional yaitu mengi berulang terkadang disertai batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara epis odik, cenderung pada malam hari atau dini hari (nokturnal), musiman, faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya ri wayat asma atau atopi la in pada pasien atau keluarganya (PPIDAI, 2004). II.1.2 Patogenesis Asma Pengertian sebelumnya asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang timbul mendadak, akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Mekanisme utama tim buln ya gejala asma diakibatkan hipe reaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama asma adalah mengatasi bronkospasme. Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran# ! ! respiratorik, menyebabkan terbatas nya aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit. T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi mesk ipun asma nya ringan atau tidak bergejala (PP IDAI, 2004). B anyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan manifestasi riwayat atopi melalui mekanisme IgE - dependent . Pada populasi diperkirakan faktor riwayat atopi memberikan kontrib usi pada 40 % penderita asma anak dan dewasa (PPIDAI, 2004). Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk Ig E spesifik oleh sel plasma. Ig E melekat pada Fc reseptor pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat ( immediate asthma reaction) (Warner, 2001). Terjadi degranulasi sel mast, dilepaskan mediator - mediator : histamin, leukotrien C4(LTC4), prostaglandin D2(P GD2), tromboksan A2, tryptase. Mediator - mediator tersebut menimbulkan spasme otot b ronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut. Keada an ini akan segera pulih kembali ( serangan asma hilang) dengan pengobatan (Warner, 2001). Setelah 6 - 8 jam maka terjadi proses selanjutnya , disebut reaksi asma lambat (late asthma reaction). Akibat pengaruh sitokin IL3, IL4, GM - CSF yang diproduksi oleh sel mast dan sel limfosit T yang teraktivasi, aka n mengaktifkan sel - sel radang seperti eosinofil, basofil, monosit dan limfosit. Sedikitnya ada dua jenis T - helper ( Th), limfosit subtipe CD4 + telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL – 3 dan granulocyte – macrophage colony – stimulating factor (GM – CSF), Th - l terutama memproduksi IL – 2, IF gamma dan TNF beta sedangkan Th - 2 terutama memproduksi sitokin ya ng terlibat dalam asma, yaitu IL – 4, IL – 5 , IL – 9, IL – 13, dan IL – 16 (Warner, 2001).$ ! ! Sitokin yang dihasilkan oleh Th - 2 bertanggungjawab terjadinya reaks i hipersensitivitas tipe lambat. Masing - masing sel radang berkemampuan mengeluarkan mediator inflamasi. Eosinofil memproduksi LTC4, Eosinophil Peroxidase (EPX), Eosinophi l Cathion Protein (ECP) dan Major Basic Protein (MBP). Mediator - mediator tersebut merupakan mediator inflamasi yang menimbulkan kerusakan jaringan. Sel basofil mensekresi histamin, LTC4, PGD2. Mediator tersebut dapat menimbulkan bronkospasme (Warner, 2001) . Sel makrofag mensekresi IL - 8, platelet activating factor (PAF), regulated upon activation novel T cell expression and presumably secreted (RANTES) . Semua mediator diatas merupakan mediator

Page 2: Bab II Landasan Teori II

inflamasi yang meningkatkan proses peradangan m empertahankan pro ses inflamasi (Warner, 2001). Mediator inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun no n spesifik. Secara klinis, gejala asma menetap, penderita akan lebih peka terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat (PPIDAI, 2004). Gambar 1. Pat ogenesis Penyakit Asma ( Dikutip dari GINA 2002 )%& ! ! Inflamasi dan Remodeling Saluran Napas Sejalan dengan proses inflamasi kronik, kerusakan epitel bronkus merangsang proses perbaikan saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsion al yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau repair. Kerusakan epitel bronkus disebabkan dilepaskannya sitokin dari sel inflamasi seperti eosinofil. Kini dibuktikan bahwa otot polos saluran napas juga memproduksi sitokin dan kemokin seperti eotaxin, RANTES, GM - CSF dan IL - 5, juga faktor pertumbuhan dan mediator lipid, sehingga mengakibatkan penumpukan kolagen di lamina propia (Warner, 2001). Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosi nophil Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal (pse udothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten dan memberikan gambaran klinis asma kr onis (Warner, 2001). Gambar 2. Proses Inflamasi & Remodelling pd Asma (Dikutip dari GINA, 2002)%% ! ! Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat a ntiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan pro ses remodeling bertambah hebat (Warner, 2001). Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga a topi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila intervensi dini diberik an segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat untuk mencega h terjadinya proses remodeling (Warner, 2001). II.1.3. Patofisiologi Asma Manifestasi penyumbatan jalan nafas pada asma disebabkan oleh bronkokontriksi, hipersekres i mukus, edema mukosa, infiltrasi seluler, dan deskuama si sel epitel serta sel radang (Price, 1995). Berbagai rangsangan alergi dan rangsangan nonspesifik, akan adanya jalan nafas yang hiperaktif, mencetuskan respon bronkokontriksi dan radang. Rangsangan i ni meliputi alergen yang dihirup (tungau debu, tepungsari, sari kedelai, dan protein minyak jarak), protein sayuran lainnya, infeksi virus, asap rokok, polutan udara, bau busuk, obat - obatan (metabisulfi t), udara dingin, dan olah raga (Sundaru, 2006). Patol ogi asma berat adalah bronkokontriksi, hipertro fi otot polos bronkus, hipertrof i kelenjar mukosa, hipersekresi mucus, edema mukosa, infiltrasi sel radang (eosinofil, neutrofil, bas ofil, makrofag), dan deskuamasi. (Sundaru, 2006). Inflamasi saluran napas di temukan pada pasien asma merupakan hal yang mendasari g angguan fungsi adalah terdapat obstruksi saluran napas menyebabkan hambatan aliran udara sehingga dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang dihubungka n%’ ! ! dengan geja la khas pada asma yaitu batuk, sesak dan wheezing dan disertai hipereaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan . Batuk sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator inflamasi dan terutama p ada anak, batuk berulang bisa jadi merupakan satu - satunya gejala asma yang ditemukan. (Sundaru, 2006). II.1.4. Epidemiologi Asma Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita mempunyai gejala pada umur 1 tahun, sedangkan 80 - 90% anak yang mender ita asma gejala pertamany a muncul sebelum umur 4 - 5 tahun. Sebagian besar anak yang terkena kadang - kadang hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, yang relatif mudah

Page 3: Bab II Landasan Teori II

ditangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut - larut, biasanya lebih ban yak yang terus menerus dari pada yang musiman. Hal tersebut yang menjadikannya tidak mampu dan mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari hari ke hari (Sundaru, 2006). Di Australia prevalensi asma usia 8 - 11 tahun pada tahun 1982 sebesar 12,9% meningkat menjadi 29,7% pada tahun 1992. Penelitian di Indonesia memberikan hasil yang bervarias i antara 3% - 8%, penelitian di Ma nado, Palembang, Ujung Pandang, dan Yogyakarta memberikan angka berturut - turut 7,99%; 8,08%; 17% dan 4,8%. Peneli tian epidemiologi asma juga dilakukan pada siswa SLTP di beberapa tempat di Indonesia , antara lain: Palembang, dimana p revalensi asma sebesar 7,4%; Jakarta prev alensi asma sebesar 5,7% dan Bandung prevalensi asma sebesar 6,7%. Belum dapat disimpulkan kecen derungan perubahan prevalensi berdasarkan bertambahnya usia karena sedikitnya penelitian dengan sasaran siswa SLTP, namun tampak terjadinya penurunan ( outgrow ) prevalensi asma sebanding dengan bertambahnya usia terutama setelah usia sepuluh tahun. Hal ini yang menyebabkan prevalensi asma pada orang dewasa lebih rendah jika dibandingkan dengan angka kejadian asma pada anak (Manfaati, 2004).%( ! ! Tabel 1. Prevalensi Asma di Indonesia Sumber : Buku Ajar Respirologi Anak, 2010 II.1.5. Etiologi Asma Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor autonom, imunologis, infeksi, endokrin dan psikolog is dalam tingkat pada berbagai individu. Aktivitas bronkokontriktor neural diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom. Ujung sensoris vagus pada epitel jalan nafas, disebut reseptor batuk atau iritan, tergantung pada lokasinya, mencetus kan ref leks arkus cabang aferen, yang pada ujung cabang eferen merangsang kontraksi otot polos bronkus (Sundaru, 2006). Neurotransmisi peptida intestinal vasoaktif (PIV) memulai relaksasi otot polos bronkus. Neurotramnisi peptida vasoaktif merupakan suatu neurope ptida dominan yang dilibatkan pada terbukanya jalan nafas (Sundaru, 2006). Faktor imunologi penderita asma ekstrinsik atau alergi, terjadi setelah pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti debu rumah, tepung sari dan ketombe. Seringkali, kadar IgE total maupun spesifik penderita seperti ini meningkat terhadap antigen yang terlibat. Pada penderita lainnya dengan asma yang serupa secara klinik t idak ada bukti keterlibatan IgE dimana uji kuli t negatif dan kadar IgE rendah. Bentuk asma inilah yang paling ser ing ditemukan pada usia 2 tahun pertama juga orang dewasa (asma yang timbul lambat), disebut dengan asma intrinsik (Sundaru, 2006). Peneliti (Kota) Tahun Jumlah Sampel Umur (Tahun) Prevalensi (%) Djajanto (Jakarta) Rosmayudi (Bandung) Dahlan (Jak arta) Arifin (Palembang) Rosalina (Bandung) Yunus F (Jakarta) Kartasasmita CB (Bandung) Rahajoe NN (Jakarta) 1991 1993 1996 1996 1997 2001 2002 2002 1200 4865 - 1296 3118 2234 2678 2836 1296 6 – 12 6 – 12 6 – 12 13 – 15 13 – 15 13 – 14 6 – 7 13 – 14 13 – 14 16,4 6,6 17,4 5,7 2,6 11,5 3,0 5,2 6,7%) ! ! Faktor endokrin menyebabkan asma lebih buruk dalam hubungannya dengan kehamilan dan men s truasi atau pada saat wanita menopa use, dan asma membaik pada beberapa anak saat pubertas , hal ini dikaitkan dengan hormonal . Selain itu f aktor psikologis emosi dapat memicu gejala - gejala asma pada b eberapa anak dan dewasa yang menderita penyakit asma, tetapi emosional atau sifat dan peril aku dijumpai pada anak asma lebih sering dari pada anak dengan penyakit kronis lainnya dikaitkan dengan psikologis yang labil pada anak (Sundaru, 2006). II.1.6. Faktor Resiko Asma Beberapa faktor re siko timbulnya asma bronkial telah diketahui secara pasti , antara lai n: riwayat keluarga, tingkat sos ial ekonomi rendah, etnis, daerah perkotaan, letak geografi tempat tinggal, memelihara anjing atau kucing dalam rumah, terpapar asap rokok. Secara umum faktor risiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar, faktor re siko yang berhubungan dengan terjadinya atau berkembangnya asma dan faktor re siko yang berhubungan dengan terjadinya eksaserbasi atau serangan asma yang disebut trigger faktor atau faktor pencetus (GINA,2006). Adapun faktor re siko pencetus asma bronkial antara lain : A. Asap Rokok B. Tungau Debu Rumah C. Jenis Kelamin D. Binatang Piaraan E. Jenis Makanan F. Perabot Rumah Tangga G. Perubahan Cuaca H. Riwayat Penyakit Keluarga A. Asap Rokok Asap rokok dapat menyebabkan asma, baik pada perokok itu sendiri maupun orang - orang yang ter kena asap rokok. Suatu penelitian di%* ! !

Page 4: Bab II Landasan Teori II

Finlandia menunjukkan bahwa orang dewasa yang terkena asap rokok berpeluang menderita asma dua kali lipat dibandingkan orang yang tidak terkena asap rokok (Jaakkola et al, 2001) . Studi lain menunjukkan bahwa seseorang p enderita asma yang terkena asap rokok selama satu jam, maka akan mengalami sekitar 20% kerusakan fungsi paru . (Dahms et al, 1998). P ada anak - anak, asap rokok akan memberikan efek lebih parah dibandingkan orang dewasa, i ni disebabkan leba r saluran pernafas an anak lebih sempit, sehingga jumlah nafas anak akan lebih cepat dari orang dewasa. Akibatnya, jumlah asap rokok yang masuk ke dalam saluran pernapasan menjadi lebih banyak dibanding berat badannya. Selain itu, karena sistem pertahanan tubuh yang belum b erkembang, munculnya gejala asma pada anak - anak jauh leb ih cepat dibanding orang dewasa (Ramaiah, 2006). Hasil analisis 4.000 orang anak berumur 0 - 5 tahun menunjukkan bahwa anak - anak yang orang tuanya merokok 10 batang perhari, menyebabkan peningkatan juml ah kasus asma serta mempercepat munculnya gejala asma pada anak - anaknya. Begitu juga anak yang kembali dari rumah sakit setelah perawatan asma akut, penyembuhan akan terganggu karena orang tua yang merokok (Abulhosn et al, 1997). Efek asap rokok ini tidak hanya memberikan efek negatif pada anak - anak yang telah lahir, tapi juga pada janin yang masih ada di dalam rahim. Karena itu, di negara maju seperti Jepang, diseluruh rumah sakit bersalin tidak tersedia tempat yang bisa merokok. Ini karena mereka benar - b enar mengerti akan bahaya rokok tersebut. Bayi yang akan dilahirkan dari seorang ibu yang merokok selama dalam masa kehamilan akan lebih sering mengalami penyakit saluran pernafasan termasuk asma bronkial pada masa anak - anak (Ramaiah, 2006). Pembakaran tem bakau sebagai sumber zat iritan dalam rumah yang menghasilkan campuran gas yang komplek dan partikel - partikel berbahaya. Lebih dari 4500 jenis kontaminan telah dideteksi dalam tembakau, diantaranya hidrokarbon polisiklik, karbon monoksida, karbon dioksida, nitri t oksida, nikotin, dan akrolein (GINA,2006).%+ ! ! Gambar 3. Bahan kimia yang terkandung dalam rokok ( Dikutip dari http://bebasrokok.files.wordpress.com/2008/01/ba haya - merokok.gif?w=500 ) Secara umum, tipe pe rokok dibagi menjadi dua, yaitu (Aula, 2010) : a. Perokok aktif ( active smoker ) Seseorang yang benar - benar memiliki kebiasaan merokok. Merokok sudah menjadi bagian hidupnya, sehingga tidak enak bila sehari saja t idak merokok. Merokok dapat menaikkan risiko berke mbangnya asma walaupun sedikit bukti - bukti bahwa merokok aktif merupakan faktor risiko berkembangnya asma secara umum ataupun karena pekerjaan pada pekerja yang terpapar dengan beberapa sensitisasi di tempa t b ekerja (Danusaputro, 2000). b. Perokok pasif ( passive smoker ) Seseorang yang tidak memiliki kebiasaan merokok, namun terpaksa harus mengisap asap rokok yang dihembuskan oleh orang lain yang kebetulan didekatnya. Anak - anak secara bermakna terpapar asap rok ok. Sisi aliran asap yang terbakar lebih panas dan lebih toksik dari pada asap yang dihirup perokok, terutama dalam mengiritasi mukosa jalan nafas. Paparan asap tembakau pasif berakibat lebih berbahaya gejala penyakit saluran nafas bawah (batuk, lendir dan mengi) dan naiknya risiko asma dan serangan asma (Danusaputro, 2000).%" ! ! B. Tungau Debu Rumah Tungau debu adalah penyebab paling umu m diseluruh dunia. Alergi tungau lebih s e ring terjadi di kota dan Negara berkembang. Hal ini terjadi karena rumah modern dan peng gunaan teknik insulasi memuningkankan tungau hidup lebih baik (Ramaniah, 2005) . Asma bronkial dikaitkan oleh masuknya suatu alergen misalnya tungau debu . Tungau debu akan mengeluarkan feses yang dilapisi protein pada setiap butir partikelnya. yang menyebab kan reaksi alergi bagi penderita asma apabila masuk ke dalam saluran nafas. Ketika tungau ini mati, tubuhnya yang membusuk ber campur dengan debu rumah tangga (Ramaiah, 2006). Tungau debu rumah memiliki ukuran 0,1 - 0,3 mm dan lebar 0,2 mm biasanya terdapat di tempat - tempat atau benda - be nda yang banyak mengandung debu (Vitahealth, 2006). Misalnya debu yang berasal dari karpet dan jok kursi, terutama yang berbulu tebal dan lama tidak dibersihkan, juga dari tumpukan kora n,buku, pakaian lama (Danusaputro, 2000) . C. Jenis Kelamin Jumlah kejadian asma pada anak laki - laki lebih banyak diba ndingkan dengan anak perempuan (Sundaru, 2006). Perbedaan jenis kelamin pada insidensi penyakit asma bervariasi, tergantung usia dan perbedaan karakter biologi. Insidensi penyakit as ma pada anak laki - laki

Page 5: Bab II Landasan Teori II

usia 2 - 5 tahun ternyata 2 kali lebih sering dibandingkan anak perempuan sedangkan pada usia 14 tahun risiko asma anak lak i - laki 4 kali lebih sering. K unjungan ke rumah sakit 3 kali lebih sering dibanding anak perempuan pada usia ter sebut, tetapi pada usia 20 tahun kekerapan asma pada laki - laki merup akan kebalikan dari insiden ini (Yunus, 2006). Peningkatan re siko pada anak laki - laki disebabkan semakin sempitnya saluran pernapasan, pe rubahan pada pita suara, dan mungkin terjadi pening katan IgE pada laki - laki yang cende rung membatasi respon bernapas (Sundaru, 2006) Didukung lagi oleh adanya hipotesis dari observasi yang menunjukkan tidak ada perbedaan ratio diameter saluran pernafasam laki -%# ! ! laki dan perempuan setelah berumur 10 tahun, ke mungkin an disebabkan perubahan ukuran rongga dada yang terjadi pada masa puber laki - laki dan tidak pada perempuan. Predisposisi perempuan yang mengalami asma lebih tinggi pada laki - laki mulai ketika masa puber, sehingga prevalensi asma pada anak yang semul a laki - laki lebih tinggi dari pada perempuan mengalami perubahan dimana nilai prevalensi pada perempuan le bih tinggi dari pada laki - laki (GINA, 2006). D. Binatang Peliharaan Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing, hamster, burung dapat menja di sumber alergen inhalan. Sumber penyebab asma adalah alergen protein yang ditemukan pada bulu binatang di bagian muka dan ekskresi. Alergen tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil (sekitar 3 - 4 mikron) dan dapat terbang di udara sehingga menyebabkan se rangan asma, terutama dari burung dan hewan menyusui karena bulu akan rontok dan terbang mengikuti udara (Sundaru, 2006). E. Jenis Makanan Alergi makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu pencetus asma meskipun penelitian membuktikan alergi ma kanan sebagai pencetus bronkokontriks i pada 2% - 5% anak dengan asma (Ramaiah, 2006). Meskipun hubungan antara sensitivitas terhadap makanan tertentu dan perkembangan asma masih diperdebatkan, tetapi bayi dan anak - anak yang sensitif terhadap makanan terte ntu atau menderita enteropathy atau colitis karena alergi makanan tertentu akan cenderung menderita asma. (GINA, 2006). Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan laut, kacang, berbagai buah - buahan seperti tomat, strawberry, mangga, d urian berperan menjadi pe ncetus seranga asma (Handayani, 2004).%$ ! ! Makanan produk industri dengan pewarna buatan (misal: tartazine ), pengawet ( metabisulfit ), vetsin ( monosod i um glutamat - MSG) juga bisa memicu serangan asma. Makanan yang terutama sering mengaki batkan reaksi yang fatal ada lah kacang, ikan laut dan telor (Handayani, 2004). Penelitian di A rab Saudi membandingkan makanan pengidap asma dengan tidak asm a. Anak A rab Saudi yang tinggal di daerah perkotaan banyak menunjukkan gejala nafas berbunyi atau mengi. Anak - anak ini sering bersantap di gerai - gerai makanan cepat saji dan secara signifikan kurang mendapatkan asupan makanan tradisional, termasuk sayuran, susu, makanan yang kaya serat, vitamin dan mineral (Sundaru, 2006). F. Perabot Rumah Tangga. Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan pencemar biologis (virus, bakteri, jamur), formadehyde, volatile organic coumpounds (VOC), combustion products (CO1, NO2, SO2) yang biasanya berasal dari asap rokok dan asap dapur. Sumber polutan VOC berasal dari semprotan serangga, cat, pembersih, kosmetik, Hairspray , deodorant, pewangi ruangan, segala sesuatu yang disemprotkan dengan aerosol sebagai propelan dan pengencer (solvent) seperti thinner. Sumber formaldehid dalam ruangan adalah bahan bangun an, insulasi , furnitur, karpet (Ramaiah, 2006). Paparan polutan formaldehid dapat mengakibatkan terjadinya iritasi pada mata dan saluran pernapasan bagian atas. Partikel debu, khususnya respilable dust disamping menyebabkan ketidak nyamanan juga dapat men yebabkan reak si peradangan paru (Handayani, 2004). G. Perubahan Cuaca Kondisi cuaca seperti temperatur dingin, tingginya kelembaban dapat menyebabkan asma lebih parah, epidemik yang dapat membuat asma menjadi lebih parah berhubungan dengan badai dan meningkatnya konsentr asi partikel alergenik (Ramaiah, 2006).’& ! ! Dimana partikel tersebut dapat menyapu pollen sehingga terbawa oleh air dan udara. Perubahan tekanan atmosfer dan suhu memperburuk asma sesak nafas dan pengeluaran lendir yang berlebihan. Ini umum terjadi ketika kele mbaban tinggi, hujan, badai selama musim dingin. Udara yang kering dan dingin menyebabkan sesak di salur an pernafasan (Ramaiah,

Page 6: Bab II Landasan Teori II

2006). Menurut Linacre (1999) asma berhubungan dengan iklim, Kota besar seperti Auck land, Brisbane, Hong kong dan New Orlean s yan g mempunyai suhu panas >24 o C dan rata rata curah hujan ta h unan >100cm, mempunyai prevalensi asma yang tinggi. RS Cipto menunjukkan penderita dengan perubahan udara kemungkinan akan mengalami asma 31.83 x lebih besar dari penderita tanpa perubahan cuaca. Ha l ini diperkuat dengan penelitian di Amerika seikat yang membuktikan bahwa ada hubungan antara kunjungan asma dengan cuaca dingin dan kering pada musim semi (Kalsteinet et al , 1995 ) . H. Riwayat Penyakit Keluarga Telah dibuktikan oleh banyak peneliti bahwa bil a kedua orang tua menderita penyakit alergi, maka kemungkinan 60% anaknya akan menderita penyakit alergi, baik asma, rhinitis, dermatitis atopi atau bentuk alergi lainnya. Bila salah satu orang tua menderita penyakit alergi, maka kemungkinan 40% anak merek a akan menderita alergi. Apabila kedua duanya tidak ter kena penyakit alergi , maka kemungkina n 15% menderita penyakit alergi (Ramaiah, 2006). Lebih kur a ng 25% p enderita penyakit asma, kelu arga dekatnya juga menderita asma, meskipun asmanya tidak aktif lagi, diantara kelu arga pender ita asma 2/3 memperlihatkan test alergi positif ( Sundaru , 2006 ) . Re siko orang tua dengan asma mempunyai anak dengan asma adalah tiga kali lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga dengan asma disertai dengan salah satu riwayat atop i. Predisposisi keluarga untuk mendapatkan penyakit asma yaitu kalau anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai risiko menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi’% ! ! sekitar 50% jika kedua orang tua asmatisk. Asma tidak selalu ada pada kembar monozigot , tingkat stabilitas bronkokontriksi pada olahraga ada pada kembar identik, t etapi tidak pada kembar dizigot (Sundaru, 2006) Orang tua asma kemungkinan 8 - 16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma, terlebih lagi bila anak al ergi terhadap tungau debu rumah (Ramaiah, 2006). II.1.7. Diagnosis Asma Penegakkan diagnosis untuk penyakit asma didasarkan dari anamnesis, pemeriksaan f isik dan pemeriksaan penunjang (Ramailah, 2006). A. Anamnesis Didapatkan keluhan episodik berupa batuk kronik berulang, mengi, sesak atau berat di dada. Adanya penyakit alergi yang lain pada pasien ataupun keluarganya seperti rhinitis alergika, dermatis at o pik, dll . Selain itu perlu diketahui fak tor pencetus serangan dapat memicu timbulnya serangan. Faktor - faktor pencetus pada asma yaitu : • Infeksi virus saluran napas: influenza • Pemajanan terhadap allergen tungau, debu rumah, bulu binatang • Pemajanan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi • Kegiatan jasmani : lari • Ekspresi emosional takut, marah, frustasi • Obat - obat a spirin, penyekat beta, OAINS • Lingkungan kerja : uap zat kimia • Polusi udara • Pengawet makanan : sulfit • Lain - lain : haid, kehamilan, sinusitis’’ ! ! Yang membedakan asma dengan penyakit paru lainnya yaitu pada serangan asma dapat hilang dengan atau tanpa obat, arti nya serangan asma tanpa diobati ada yang hilang dengan sendirinya. B. Pemeriksaan Fisik Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma tergantung derajat obstruksi saluran napas antara lain terdapat ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernafasan cepat sampai sianosis, dll. C. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan uji fungsi paru sebelum dan sesudah pemberian metakolin atau bronkodilator sebelum dan sesudah olahraga dapat membantu menegakkan diagnosis asma. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter atau yang lebih lengkap dengan spirometer, uji yang lain dapat melalui provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan ( exercise ), udara kering dan dingin, atau dengan NaCl hipertonis. Penggunaan peak flow meter merupakan hal penting dan perlu diupayakan, karena selain mendukung diagnosis, juga mengetahui keberhasilan untuk tata laksana asma, selain itu dapat juga menggunakan lembar catatan harian sebagai alternative. Pemeriksaan penunjang lain nya yang dapat dilakukan antara lain : pemeriksaan sputum, eosinofil total, uji kulit, kada total IgE atau spesifik IgE, foto dada dan analisa gas darah. II.1.8. Komplikasi Asma Komplikasi yang mungkin akibat penyakit asma bronkia l, antara lain sebagai berikut (Vitahealth, 2006) : A. Pne umothorax B. Pneumomedia stinum dan emfisema subkutis C. Atelektasis D. Gagal napas E. Bronkhitis F. Fraktur iga’( ! ! II.1.9 Klasifikasi dan Derajat Asma Berdasarkan faktor penyebabnya asma dibagi menjadi : (Hartantyo, 1997) A. Asma ekstrinsik Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang diseb abkan karena rea ksi alergi penderita

Page 7: Bab II Landasan Teori II

terhadap a lergen dan tidak membawa pengaruh apa - apa terhadap orang yang sehat. B. Asma intrinsik Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terh adap pemicu yang berasal dari a lergen. Asma ini disebabkan oleh stres, i nfeksi dan kodisi lingkungan yang buruk seperti kelembaban, suhu, polusi udara dan aktivitas olahraga yang berlebihan. Pembagian derajat asma dibuat oleh Phelan dkk (dikutip dari Konsensus Pediatri International III tahun 1998) terbagii 3, yaitu : A. Asma e pisodik jarang Merupakan 75% populasi pada anak. Ditandai oleh adanya episode <1x setiap 4 - 6 minggu, mengi setelah aktivitas berat, tidak terdapat gejala di antara episode serangan, dan fungsi paru normal diantara serangan. Terapi profilaksis tidak dibutuh kan. B. Asma episodik sering Merupakan 20% dari populasi asma pada anak. Ditandai dengan frekuensi serang yang lebih sering dan timbul mengi saat aktivitas sedang, tetapi dapat dicegah dengan pemberian agonis ! - 2 . Gejala kurang dari 1x/minggu dan fungsi paru di antara serangan hampir normal. Terapi profilaksis biasanya dibutuhkan. C. Asma persisten Terjadi pada sekitar 5% dari populasi. Ditandai dengan seringnya terjadinya serangan, mengi timbul saat aktivi tas ringan, sangat dibutuhkan agonis ! - 2 pada interval gejala. Gejala timbul lebih dari 3x/minggu. Terapi profilaksis sangat dibutuhkan.’) ! ! Tabel 2. Pembagian Derajat A sma. No. Parameter klinis kebutuhan obat dan faal paru Asma episodik jarang (asma ringan ) Asma episodik sering (asma sedang) Asma persisten (asma berat) 1. Frekuensi serangan < dari 1x/bulan > dari 1x/bulan Sering 2. Lamanya serangan Beberapa hari Seminggu atau Lebih Tidak ada Remisi 3. Intensitas serangan Ringan Lebih berat Berat 4. Dian tara serangan Tanpa gejala Ada gejala Gejala siang Malam 5. Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu 6. Pemeriksaan fisik luar serangan Normal Mungkin Terganggu Tidak pernah Normal 7. Obat pengendali (anti inflamasi) Tid ak perlu Perlu non - steroid Perlu steroid 8. Faal paru diluar Serangan PEF/PEVI>80 % PEF/PEVI 60 - 80% PEV/FEVI<60% & Variabilitas 20 - 30% 9. Faal paru pada saat serangan Variabilitas Variabilitas 20 - 30% Variabilitas 50% Sumber : Konsensus Nasional Pen angan an Asma Pada Anak. 1994.’* ! ! Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) penggolongan asma berdasarkan beratnya penyakit dibagi 4 (empat) yaitu: 1. Asma Intermiten (asma jarang) • Gejala kurang dari seminggu • Serangan singkat • Gejala pada malam hari < 2 kali dalam sebulan • FEV 1 atau PEV > 80% • PEF atau FEV 1 variabilitas 20% – 30% 2. Asma mild persistent (asma persisten ringan) • Gejala lebih dari sekali seminggu • Serangan mengganggu aktivitas dan tidur • Gejala pada malam hari > 2 kali sebulan • FEV 1 atau PEV > 8 0% • PEF atau FEV 1 variabilitas < 20% – 30% 3. Asma moderate persistent (asma persisten sedang) • Gejala setiap hari • Serangan mengganggu aktivitas dan tidur • Gejala pada malam hari > 1 dalam seminggu • FEV 1 tau PEV 60% – 80% • PEF atau FEV 1 variabilitas > 30% 4. Asma severe persistent (asma persisten berat) • Gejala setiap hari • Serangan terus menerus • Gejala pada malam hari setiap hari • Terjadi pembatasan aktivitas fisik • FEV 1 atau PEF = 60% • PEF atau FEV variabilitas > 30%’+ ! ! II.1.10. Penatalaksanaan Asma Obat asma dapat d ibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda ( reliever ) dan obat pengendali ( controller ). Kelompok pertama adalah obat pereda atau pelega atau obat serangan. Obat pelega (reliever) asma ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi maka obat ini tidak digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali, sering disebut sebagai obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar a sma ya itu inflamasi respitorik kronik (Taufik, 2009). Obat asma dapat diberikan lewat beberapa cara seperti oral, inhalasi atau injeksi. Keuntungan utama obat inhalasi adalah menghasilkan efek langsung ke saluran nafas, y ang menghasilkan konsentrasi lok al tinggi dengan r esiko sistemik yang kurang (Taufik, 2009). Tabel 3. Penggolongan obat asma Co n troller Reliever • Kortikosteroid ( inhalasi, sistemik ) • Leucotriene modifeier • Long acting ! - 2 agonist ( LABA ) • Chromolin : Sodium cromoglycate dan Ned ocromil Sodiem • Teofilin lepas lambat • Anti IgE • Antikolinergik : Tiotropium • Short acting ! - 2 agonist ( SABA ) • Kortikosteroid sistemik • Antikolinergik : Ipratropium bromide, oxitropium • Teofilin Sumber: http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/09/penatalaksanaan - asma - masa - kini_files - of -

Page 8: Bab II Landasan Teori II

drsmed.pdf .’" ! ! Tujuan dari pengobatan adalah asma yang terkontrol, ditandai : • Gejala kronik minimal, idealnya tidak ada sama se kali termasuk gejala asma malam. • Minimal (jarang) mengalami serangan. • Tidak ada kujungan ke unit gawat darurat. • Kebutuhan pemakaian agonis !2 minimal. • Aktivitas normal tidak terganggu. • Variasi APE harian kecil dari 20 %. • Nilai APE mendekati normal. • Efek samping obat minimal atau tidak ada sama sekali. Pemberian Obat Asma berdasarkan Tingkat Keparahan : Tahap 1 : Intermiten Controller : tidak diperlukan. Reliever : SABA : agonis ! 2 inhalasi bila perlu tapi kurang dari sekali seminggu. Intensitas pengobatan tergantung kepada berat - ringannya serangan. Inhalasi agonis ! 2 atau kromolin atau nedokromil sebelum exercise atau paparan terhadap alerg en. Tahap 2 : Persisten Ringan : Controller : Obat harian :, 200 – 500 mcg, atau kromolin , atau nedokromil , atau teofilin lepas lambat . Kortikosteroid inhalasi Jika perlu, tingkatkan dosis kortikosteroid inhalasi. Kalau dosis yang sedang dipakai 500 mcg ti ngkatkan sampai 800 mcg, atau tambahkan bronkodilator aksi lama (terutama untuk serangan asma malam) : agonis !2 inhalasi aksi lama atau teofilin lepas lambat, atau agonis !2 oral. Reliever : SABA : agonis !2 inhalasi bila perlu,tidak lebih dari 3 – 4 kali sehari. Tahap 3 : Persisten Sedang : Controller : Obat harian : Kortikosteroid inhalasi , 800 – 2000 mcg dan L ABA, terutama untuk asma malam : agonis !2 inhalasi aksi lama atau teofilin lepas lambat atau agonis !2 aksi lama oral. Reliever : SABA : agonis !2 inhalasi bila perlu, tidak lebih dari 3 – 4 kali sehari.’# ! ! Tahap 4 : Persisten Berat : Controller : Obat haria n : Kortikosteroid inhalasi , 800 – 2000 mcg atau lebih dan LABA : Agonis !2 aksi lama atau teofilin lepas lambat, dan/atau agonis !2 aksi lama oral dan Kortikosteroid oral jangka lama. Reliever : SABA : agonis !2 inhalasi bila perlu. PENATALAKSANAAN SERAN GAN ASMA DI RUMAH SAKIT Serangan asma berat berpotensi untuk mengancam jiwa atau status asmatikus. Perawatan harus segera dan pengobatan paling aman dilaksanakan dirumah sakit atau di inst alasi gawat darurat rumah sakit (Taufik, 2009). Penilaian awal: Anam nesis singkat dan pemeriksaan fisik sehubungan dengan serangan asma ini sangat penting sebelum memberikan pengobatan. Anamnesis ringkas meliputi: • Beratnya keluhan meliputi keterbatasan aktifitas dan gangguan tidur. • Semua obat - obat yang dipakai. • Waktu mulai serangan dan penyebab serangan. • Perawatan dirumah sakit dan kunjungan ke bagian gawat darurat karena serangan asma sebelumnya. Pemeriksaan fisik meliputi: • Menilai beratnya serangan ( l ihat pembagian derajat serangan ). • Menentukan adanya komplikasi (pneumoni a, atelektase, pneumotorak atau pneumomediastinum ) Penilaian fungsi paru meliputi: • APE dan VEP1 sekurang - kuranya setiap jam, dengan pengukuran awal di lakukan sebelum pengobatan kalau memungkinkan. • Saturasi O2 dengan “ pulse oxymetry ” kalau ada. Pemeriksaa n penunjang lain : • Rontgen foto toraks jika dicurigai adanya komplikasi kardio - pulmoner.’$ ! ! • Analisa gas darah pada penderita dengan APE 30 - 50% perkiraan atau perburukan setelah pengobatan awal. PaO2 kurang dari 60 mmHg dan/ atau PaCO2 lebih dari 45 mmHg menun jukan kegagalan nafas dan merupakan indikasi untuk masuk Ruang Perawatan Intensif (ICU) PENGOBATAN Pengobatan berikut ini biasanya diberika n bersamaan untuk dapat secepat mungkin mengatasi serangan asma (Taufik, 2009). a. Pemberian oksigen: Oksi gen diberikan 4 - 6 L/menit untuk mendapatkan saturasi O2 90% atau lebih. b. Agonis !2 : Agonis !2 aksi singkat biasanya diberikan secara nebulasi setiap 20 menit selama satu jam pertama (salbutamol 5 mg atau fenoterol 2,5 mg, tarbutalin 10 mg). Pemberian secara parenteral agonis !2 dapat dilakukan bila pemberian secara nebulasi tidak memberikan hasil. c. Adrenalin (epinefrin ) : Obat ini dapat diberikan secara intramuskuler atau subkutan bila: Agonis !2 tidak tersedia atau tidak ada respon terhadap agonis !2 inhalasi. d. Bronkod ilator tambahan: Kombinasi agonis !2 dengan antikolinergik (Ipratropium Bromida) memberikan efek bronkodilator yang lebih baik dari pada diberikan sendiri - sendiri. Obat ini diberikan sebelum mempertimbangkan aminofilin. Mengenai aminofilin dalam mengatas i serangan ini masih ada kontroversi. Walaupun ada manfaatnya, akan tetapi aminofilin intravena tidak dianjurkan dalam 4 jam pertama pada penanganan serangan asma. Aminofilin intravena dengan dosis 6 mg pe r kgBB diberikan secara pelan (dalam 10 menit ) dibe rikan pada penderita asma akut berat yang perlu perawatan dirumah

Page 9: Bab II Landasan Teori II

sakit, jika penderita tidak mendapat teofilin dalam 48 jam sebelumnya. e. Kortikosteroid: Kortikosteroid sistemik dapat mempercepat penyembuhan serangan yang refrakter terhadap obat bronkodilat or.(& ! ! Pemberian secara oral sama efektifnya dengan intra vena dan lebih disukai karena lebih gampang dan lebih murah. Kortikosteroid baru memberikan efek minimal setelah 4 jam. Kortikosteroid diberikan bila: • Serangan asma sedang sampai berat. • Inhalasi agonis !2 tidak memperlihatkan perbaikan atau: • Serangan timbul walaupun penderita telah mendapat kortikosteroid oral jangka panjang. • Serangan sebelumnya juga membutuhkan kortikosteroid ora l. Kriteria untuk perawatan dirumah sakit: • Respon terhadap pengobatan dalam 1 - 2 jam tidak adekuat. • Penyempitan berat saluran nafas menetap ( APE < 40% perkiraan / nilai terbaik pribadi ). • Riwayat asma berat, apalagi saat membutuhkan perawatan dirumah sakit. • Penderita asma dengan resiko tinggi. • Keluhan sudah berlangsung lama sebel um datang ke rumah sakit. • Tempat tinggal jauh dan kondisi kurang sehat. Kriteria untuk masuk Ruang Rawat Intensif: • Tidak ada respon terhadap pengobatan awal di bagian gawat darurat atau keadaan memburuk dengan cepat. • Adanya disorientasi, mengantuk atau keh ilangan kesadaran. • Adanya ancaman henti nafas: hipoxemia walaupun sudah diberi oksigen ( PO2 < 60 mHg dan / atau PCO2 > 45 mmHg ) Diruang rawat intensif kemungkinan diperlukan tindakan intubasi bila: • Keadaan terus memburuk walaupun terapi sudah optimal. • Pa sien kelela han. • PCO2 meningkat.(% ! ! II.2. Kerangka Teori II.3. Kerangka Konsep Variabel Independent Variabel D ependent Lingkungan : • Perubahan Cuaca • Asap Rokok • Binatang Peliharaann • ,-.-/0 ! Alergi : • Makanan • Tungau Debu Riwayat Penyakit Keluarga (Genetik) Asma Bronkial Riwayat Penyakit Keluarga Jenis Makanan Perubahan Cuaca Tungau Debu Asap Rokok Binatang Peliharaan Jenis Kelamin Perabotan Rumah Tangga Asma Bronkial Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti ! 1 !(’ ! ! II.4. Hipotesis H1 : Ada hubungan antara riwayat penyakit keluarga de ngan angka kejadian asma di Puskesmas Tanah Sareal Bogor H2 : Ada hubungan antara pajanan asap rokok dengan angka kejadian asma di Puskesmas Tanah Sareal Bogor . II.5 Keterbatasan Penelitian Sedikitnya ketersediaan data baik dari literatur maupun internet menjadi penghambat pengumpulan informasi serta data penelitian sebelumnya yang dapat dijadikan acuan oleh peneliti. Selain itu kemampuan peneliti masih terbatas dalam hal pendanaan, waktu dan tenaga sehingga variabel yang digunakan hanya riwayat penyakit keluarga dan asap rokok saja. !