BAB II LANDASAN TEORI A. Perilaku Kecanduan Situs Jejaring ... · LANDASAN TEORI A. Perilaku...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. Perilaku Kecanduan Situs Jejaring ... · LANDASAN TEORI A. Perilaku...
16
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Perilaku Kecanduan Situs Jejaring Sosial Facebook
1. Pengertian Perilaku Kecanduan Situs Jejaring Sosial Facebook
Sarwono (2000) mendefinisikan perilaku sebagai sesuatu yang dilakukan
oleh individu satu dengan individu lain dan sesuatu itu bersifat nyata. Adapun
menurut Soetjipto (2007), kecanduan atau adiksi merupakan suatu gangguan
bersifat kronis dan kompulsif berulang-ulang untuk memuaskan diri pada
aktivitas tertentu. Individu yang mengalami kecanduan tidak dapat
menghentikan penggunaan pada suatu zat atau perilaku yang bersifat kompulsif
dan terbawa di kehidupan sehari-hari (Egger & Rauterberg, 1996).
Perilaku kecanduan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kecanduan dalam perilaku mengakses situs jejaring sosial facebook melalui
internet. Young (1996) yang meneliti tentang kecanduan terhadap internet
mendefinisikan kecanduan sebagai suatu keinginan atau dorongan yang tidak
terkontrol, menikmati penggunaan internet dan terus berlanjut walaupun
menyebabkan perilaku yang bermasalah. Kandell (1998) juga menyatakan
definisi kecanduan internet, yaitu sebagai ketergantungan psikologis terhadap
internet yang ditandai dengan meningkatnya keinginan untuk beraktivitas
dengan internet, meningkatnya toleransi untuk selalu menggunakan internet,
dan mengingkari bahwa, itu adalah perilaku yang bermasalah.
16
17
American Medical Association (dalam Yuniar, 2008) mengemukakan
bahwa penggunaan yang berlebihan setara dengan suatu kondisi perilaku
kompulsif (ketidakmampuan mencegah diri untuk melakukan suatu keinginan
sebab bila keinginan tersebut tidak dilakukan akan menimbulkan rasa cemas
atau perilaku agresif). Lebih lanjut, Yuniar (2008) menyatakan bahwa
kecanduan atau adiksi pada internet terjadi bila waktu yang digunakan untuk
bermain atau menggunakan internet untuk keperluan di luar pekerjaan
mencapai level yang mengganggu bahkan “merusak” aktivitas wajar sehari-
hari, yaitu aktivitas bekerja, sekolah, maupun kegiatan sosial, dan turunnya
produktivitas kerja dan prestasi belajar secara bermakna. Salah satu bentuk
kecanduan internet adalah cyber-relational addiction, yaitu kecanduan
terhadap situs pertemanan di dunia maya (Young, dkk., 1999). Facebook
merupakan situs pertemanan di dunia maya, sehingga kecanduan facebook
termasuk dalam kecanduan internet.
Facebook merupakan situs jejaring sosial online yang membuat
penggunanya dapat menampilkan diri dalam profil online, menambah “teman”
yang dapat memposting komentar, serta saling melihat profil satu sama lain.
Para pengguna facebook juga dapat bergabung dengan grup virtual berbasis
kesamaan minat, seperti kelas, hobi, minat, selera musik dan status hubungan
romantis melalui profil mereka (Ellison, dkk., 2007). Jadi dapat dikatakan
bahwa situs jejaring sosial facebook menyediakan kumpulan cara yang
beragam bagi penggunanya untuk dapat berinteraksi dengan pengguna
facebook lainnya, seperti memperbarui profil pribadi, memperbarui status,
18
berkirim komentar dan pesan, chatting, berdiskusi di grup, dll. Sebagai situs
jejaring sosial, facebook mampu memberikan kenyamanan tersendiri bagi para
penggunanya. Kenyamanan dalam penggunaannya tersebut dapat
menyebabkan kecanduan (Griffiths, 2000).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa,
perilaku kecanduan situs jejaring sosial facebook adalah perilaku yang sulit
terkontrol untuk mengakses situs jejaring sosial facebook, disertai dengan
meningkatnya toleransi untuk selalu mengakses situs jejaring sosial facebook
dan menikmati penggunaan situs jejaring sosial facebook. Individu yang
kecanduan atau teradiksi situs jejaring sosial facebook, sulit menghentikan
penggunaan facebook karena dirinya merasa nyaman dan menikmati saat
mengakses situs jejaring sosial facebook.
2. Aspek Perilaku Kecanduan Situs Jejaring Sosial Facebook
Young, dkk. (1999) mengungkapkan bahwa terdapat lima
pengelompokkan kecanduan internet berdasarkan aktivitas yang dilakukan,
yaitu menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan pornografi (Cybersexual
Addiction), bermain game online (Computer Games), kompulsif dalam
menjelajahi dunia maya dan mencari informasi (Information Overload),
meliputi hal-hal yang cukup luas misalnya judi dan belanja lewat internet (Net-
compulsions), dan kecanduan terhadap situs pertemanan di dunia maya (Cyber-
relational Addiction). Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa, kecanduan situs
jejaring sosial facebook termasuk ke dalam adiksi atau kecanduan internet.
19
Young (1996) mengembangkan suatu kuesioner singkat dengan delapan
kriteria berbentuk pertanyaan yang digunakan sebagai alat untuk mengetahui
perilaku adiksi internet, yang dapat membedakan antara pengguna internet
yang kecanduan dan yang tidak kecanduan. Delapan kriteria berupa pertanyaan
yang disebut Internet Addiction Diagnostic Questionnaire (IADQ) itu antara
lain:
a. Apakah anda merasa terus terikat dengan internet (memikirkan aktivitas
online sebelumnya atau membayangkan sesi online berikutnya)?
b. Apakah anda merasa membutuhkan tambahan waktu dalam penggunaan
internet agar mendapat kepuasan sesudah menggunakannya?
c. Apakah anda berulangkali merasa gagal untuk berusaha mengontrol,
mengurangi, atau berhenti meggunakan internet?
d. Apakah anda merasa memiliki waktu yang terbatas untuk beristirahat,
mudah berubah perasaan, depresi, atau sulit menyesuaikan diri ketika
mencoba mengurangi atau menghentikan penggunaan internet?
e. Apakah anda tetap online lebih lama daripada waktu yang sudah
direncanakan sebelumnya?
f. Apakah anda merasa akan timbul bahaya atau resiko kehilangan suatu
hubungan, pekerjan, pendidikan, atau kesempatan karir yang signifikan
karena penggunaan internet?
g. Apakah anda merasa harus berbohong pada anggota keluarga, terapis, atau
orang lain mengenai tingkat ketergantungan terhadap internet?
20
h. Apakah anda menggunakan internet sebagai cara untuk melarikan diri dari
masalah atau menghilangkan perasaan yang tidak menyenangkan (misalnya
merasa helplessness, merasa bersalah, cemas, depresi).
Apabila terdapat jawaban “ya” pada lima pertanyaan dari delapan pertanyaan
yang ada maka individu tersebut dikriteriakan sebagai pengguna internet yang
kecanduan (Young, 1996).
Kriteria Internet Addiction Diagnostic Questionnaire (IADQ) kemudian
dikembangkan menjadi Internet Addiction Test (IAT) berdasarkan enam aspek
(Young, 1998). Keenam aspek tersebut adalah:
a. Ciri khas (Salience)
Biasanya dikaitkan dengan pikiran-pikiran yang berlebihan secara mencolok
terhadap internet, berkhayal atau berfantasi mengenai internet, timbul rasa
mudah marah, bosan, panik, depresif karena terlalu banyak beraktivitas
internet.
b. Penggunaan yang berlebihan (Excessive use)
Penggunaan internet yang terlalu berlebihan biasanya dikaitkan dengan
hilangnya pengertian tentang penggunaan waktu atau pengabaian
kebutuhan-kebutuhan dasar dalam kehidupannya. Individu biasanya
menyembunyikan waktu online (waktu yang digunakan untuk mengakses
internet) dari keluarga atau orang terdekat.
c. Pengabaian pekerjaan (Neglect to work)
Individu mengabaikan pekerjaannya karena aktivitas internet, sehingga
produktivitas dan kinerjanya menurun karena berinternet.
21
d. Antisipasi (Anticipation)
Internet digunakan sebagai strategi coping dari masalah, yaitu sarana untuk
melarikan diri atau mengabaikan permasalahan yang terjadi di kehidupan
nyata. Akibatnya, lama kelamaan aktivitas internet menjadi aktivitas yang
paling penting dalam hidup sehingga mendominasi pikiran, perasaan, dan
perilaku.
e. Ketidakmampuan mengontrol diri (Lack of control)
Ketidakmampuan dalam mengontrol diri sendiri mengakibatkan
bertambahnya waktu yang digunakan untuk melakukan aktivitas dengan
internet, baik dalam bentuk frekuensi maupun durasi waktu.
f. Mengabaikan kehidupan sosial (Neglect to social life)
Individu mengabaikan kehidupan sosialnya, yaitu sengaja mengurangi
kegiatan sosial atau rekreasi demi mengakses internet. Individu yang banyak
menggunakan waktunya untuk melakukan aktivitas yang ada kaitannya
dengan internet, akan mengurangi aktivitasnya di luar aktivitas yang
berkaitan dengan internet.
Goldberg (1996) juga menyampaikan aspek atau kriteria adiksi internet.
Individu dikriteriakan teradiksi atau kecanduan internet apabila memenuhi
minimal tiga kriteria dari tujuh kriteria yang ada, selama 12 bulan atau lebih
(Goldberg, 1996). Tujuh kriteria tersebut antara lain:
a. Toleransi (tolerance) didefinisikan sebagai salah satu dari pernyataan
berikut:
22
1) Kebutuhan untuk meningkatkan waktu penggunaan internet yang
mencolok untuk mencapai kepuasan
2) Menurunnya efek yang dirasakan dari penggunaan internet yang terus
menerus dalam waktu yang sama
b. Penarikan diri (withdrawal), yang terwujud melalui salah satu dari
pernyataan 1) atau 2) berikut:
1) Karakteristik sindrom penarikan diri
a) Penghentian atau pengurangan pemakaian internet akan terasa berat
dan lama
b) Dua dari beberapa simptom berikut (yang berkembang beberapa hari
hingga satu bulan setelah kriteria a) yaitu:
(1) agitasi psikomotor (gejolak psikomotor)
(2) kecemasan
(3) pemikiran yang obsesif mengenai apa yang terjadi di internet
(4) fantasi atau mimpi mengenai internet
(5) gerakan jari seperti mengetik baik disadari atau tidak
c) Simptom pada kriteria b) menyebabkan distress atau kerusakan sosial,
baik yang berhubungan dengan dunia kerja atau fungsi lainnya
2) Menggunakan internet service online lainnya untuk menghilangkan atau
menghindari simptom-simptom penarikan diri
c. Internet sering digunakan lebih lama dari yang direncanakan
d. Adanya hasrat yang kuat atau upaya yang tidak brhasil dalam
mengendalikan penggunaan internet
23
e. Menghabiskan banyak waktu untuk kegiatan yang berhubungan dengan
internet
f. Penghentian kegiatan-kegiatan sosial yang penting, pekerjaan ataupun
kegiatan rekreasi untuk penggunaan internet
g. Penggunaan internet tetap dilakukan walaupun telah mengetahui akan
adanya masalah-masalah fisik, sosial, pekerjaan, atau masalah psikologis
yang muncul karena penggunaan internet.
Penelitian ini menggunakan kriteria dari Young (1998) yang tertuang
dalam Internet Addiction Test (IAT) sesuai dengan enam aspek yang
menunjukkan tanda-tanda individu yang mengalami kecanduan internet, yaitu
salience, excessive use, neglect to work, anticipation, lack of control, dan
neglect to social life, yang akan dimodifikasi dan disesuaikan dengan bentuk
kecanduan dalam salah satu kelompok adiksi internet yaitu Cyber-relational
Addiction (kecanduan terhadap situs pertemanan di dunia maya). Pertimbangan
pemilihan aspek tersebut adalah karena aspek-aspek tersebut merupakan aspek
dari alat ukur Internet Addiction Test (IAT) yang dalam penelitian ini akan
digunakan sebagai acuan pada Facebook Addiction Test untuk mengukur
perilaku kecanduan facebook pada remaja yang menjadi subjek penelitian. Alat
ukur IAT yang dimodifikasi untuk mengukur perilaku kecanduan facebook
telah digunakan pada penelitian sebelumnya, yaitu pada penelitian Yulianti
(2014) tentang hubungan antara pengungkapan diri dengan kecanduan
facebook pada remaja. Alat ukur tersebut memiliki koefisien realibitas sebesar
0,902 dalam hasil penelitian Yulianti (2014).
24
3. Faktor-faktor Perilaku Kecanduan Situs Jejaring Sosial Facebook
Young (2004) mengungkapkan bahwa, internet addiction termasuk
cyber-relational addiction (kecanduan terhadap situs pertemanan di dunia
maya) yang terjadi pada pelajar ditimbulkan oleh adanya beberapa faktor,
antara lain:
a. Akses internet gratis dan unlimited
Ketika seorang pelajar berada di sekolah yang memiliki hotspot area, maka
pelajar tersebut berkesempatan untuk mengakses internet secara gratis dan
unlimited. Hal itu memungkinkan intensitas beraktivitas online yang
dilakukan pelajar semakin meningkat.
b. Banyaknya waktu luang
Sebagian besar pelajar berada di kelas selama 12-16 jam setiap minggu.
Waktu luang yang dimiliki pelajar dapat digunakan untuk membaca, belajar,
bermain bersama teman, atau menjelajahi lingkungan baru di luar sekolah.
Namun beberapa dari pelajar di masa sekarang ini telah melupakan hal-hal
tersebut dan lebih banyak menghabiskan waktu luangnya untuk aktivitas
online.
c. Pengalaman baru tanpa kontrol dari orang tua
Dalam dunia online tidak ada kontrol dari orang tua, sehingga pelajar dapat
berinteraksi dalam chat room atau instant messaging dengan teman
sepanjang malam tanpa adanya keluhan dari orang tua.
25
d. Tidak ada monitoring atau pemeriksaan atas apa yang mereka katakan atau
lakukan ketika online
Ketika pelajar berada di sekolah, terdapat para tenaga pendidik yang
memiliki kewajiban untuk memantau atau mengawasi setiap kegiatan
pelajar. Namun ketika pelajar melakukan aktivitas online, maka aktivitas
tersebut dapat luput dari pengawasan para tenaga pendidik.
e. Intimidasi sosial dan pengasingan diri
Beberapa pelajar merasa tidak dapat bergabung dalam kelompok
pertemanan di sekolahnya. Tetapi ketika pelajar tersebut mencoba
bergabung dalam kelompok pertemanan atau komunitas di dunia maya,
mereka memiliki kesempatan untuk mendapatkan banyak teman baru dari
dunia maya khususnya dari situs pertemanan. Hal itu dapat menyebabkan
pelajar tersebut menggunakan situs jejaring pertemanan di dunia maya
sebagai penghilang perasaan tidak menyenangkan seperti marah, cemas,
depresi, akibat berbagai tekanan masalah yang dimilikinya.
Lebih lanjut, The Computer-Addiction Services pada Harvard University
(dalam Yuniar, 2008) menyebutkan bahwa, usia menjadi faktor yang berperan
dalam kecenderungan internet addiction, yaitu kelompok usia remaja
mempunyai rasa ingin tahu yang besar, sehingga para remaja menjadi “haus”
akan informasi, dan informasi tersebut dapat dengan mudah diperoleh di
internet beserta situs-situs yang ada di dalamnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa, faktor-
faktor yang menyebabkan perilaku kecanduan situs jejaring sosial adalah akses
26
internet gratis dan unlimited, banyaknya waktu luang, pengalaman baru tanpa
kontrol dari orang tua, tidak ada monitoring atau pemeriksaan atas apa yang
mereka katakan atau lakukan ketika online, intimidasi sosial dan pengasingan
diri, serta usia khususnya usia remaja.
4. Perilaku Kecanduan Situs Jejaring Sosial Facebook pada Remaja
Perempuan
Facebook merupakan situs jejaring sosial online yang membuat
penggunanya dapat menampilkan diri dalam profil online, menambah “teman”
yang dapat memposting komentar, serta saling melihat profil satu sama lain.
Para pengguna facebook juga dapat bergabung dengan grup virtual berbasis
kesamaan minat, seperti kelas, hobi, minat, selera musik dan status hubungan
romantis melalui profil mereka (Ellison, dkk., 2007). Jadi dapat dikatakan
bahwa, situs jejaring sosial facebook menyediakan kumpulan cara yang
beragam bagi penggunanya untuk dapat berinteraksi dengan pengguna
facebook lainnya, seperti memperbarui profil pribadi, memperbarui status,
berkirim komentar dan pesan, chatting, berdiskusi di grup, dll. Sebagai situs
jejaring sosial, facebook mampu memberikan kenyamanan tersendiri bagi para
penggunanya. Kenyamanan dalam penggunaannya tersebut dapat
menyebabkan kecanduan (Griffiths, 2000).
Kecanduan dalam penggunaan internet dan situs-situs di dalamnya
terlihat dari intensitas waktu yang digunakan individu untuk terpaku di depan
alat elektronik berkoneksi internet untuk mengakses situs-situs tersebut, yang
berakibat pada banyaknya waktu yang dihabiskan individu yang bersangkutan
27
untuk online. Terkait dengan hal tersebut, Santrock (2012) menyatakan bahwa
jumlah remaja yang menghabiskan waktunya untuk online semakin meningkat.
Selain itu, remaja menempati proporsi paling besar sebagai pengguna situs-
situs di internet seperti situs jejaring sosial online (Subrahmanyam &
Greenfield, 2008).
Lembaga penelitian Pew Research (2015) menyatakan bahwa, setidaknya
71% remaja dengan rentang usia 13 hingga 17 tahun menggunakan situs
jejaring sosial Facebook, bahkan, 41% di antaranya mengaku bahwa, facebook
adalah situs yang paling sering dikunjungi. Penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa, facebook masih menjadi situs jejaring sosial yang paling populer dan
yang paling sering digunakan di kalangan remaja pada tahun 2015.
Penelitian yang dilakukan oleh Pew Research (2015) melaporkan bahwa,
remaja dengan usia 15 sampai 17 tahun sebagai yang paling sering
menggunakan situs jejaring sosial facebook dibandingkan dengan remaja yang
berusia lebih muda. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa, remaja
perempuan lebih mendominasi penggunaan jejaring sosial dibandingkan
dengan remaja laki-laki. Sejalan dengan hasil penelitian Pew Research (2015)
tersebut, Buntaran dan Helmi (2015) menyatakan bahwa, subjek penelitian
remaja perempuan lebih tinggi intensitas penggunaan jejaring sosial online
dibandingkan dengan subjek remaja laki-laki.
28
B. Kesepian
1. Pengertian Kesepian
Kesepian diartikan oleh Peplau dan Perlman (dalam Baron & Byrne,
2005) sebagai suatu reaksi emosional dan kognitif individu terhadap
dimilikinya hubungan yang lebih sedikit dan lebih tidak memuaskan daripada
yang diinginkan oleh individu tersebut. Burger (dalam Baron & Byrne, 2005)
menjelaskan bahwa Individu yang tidak menginginkan teman bukanlah orang
yang kesepian, tetapi individu yang menginginkan teman dan tidak
memilikinya adalah orang yang kesepian.
Menurut Sears, dkk. (1994), kesepian menunjukkan pada kegelisahan
subjektif yang dirasakan pada saat hubungan sosial kehilangan ciri-ciri
pentingnya. Hilangnya ciri-ciri tersebut bisa bersifat kuantitatif, yaitu mungkin
tidak mempunyai banyak teman, atau hanya mempunyai sedikit teman, tidak
sepeti yang diharapkan. Tetapi kekurangan itu juga dapat bersifat kualitatif,
yaitu mungkin dirasa bahwa hubungannya dangkal, atau kurang memuaskan
dibandingkan dengan apa yang diharapkan (Sears, dkk., 1994). Sesuai dengan
pernyataan tersebut, Peplau dan Perlman (1982) mengatakan bahwa, kesepian
adalah perasaan yang timbul jika harapan untuk terlibat dalam hubungan yang
akrab dengan seseorang tidak tercapai.
Russell (1996) berpendapat bahwa, kesepian merupakan suatu keadaan
yang terjadi pada individu, dan kondisi tersebut muncul dari sistem-sistem
psikofisik yang menentukan karakteristik perilaku dan berpikir. Kesepian, baik
yang kronis maupun yang sementara, merupakan sebuah kesadaran yang penuh
29
perasaan sakit mengenai hubungan sosial individu yang kurang banyak atau
kurang berarti dibandingkan dengan yang individu tersebut harapkan (Myers,
2012). Sementara Weiss (dalam Cacioppo & Hawkley, 2011) menjelaskan
kesepian sebagai suatu stres negatif yang bersifat kronis tanpa suatu
manifestasi.
Kesepian terjadi di dalam diri seseorang dan tidak dapat dideteksi hanya
dengan melihat orang itu (Sears, dkk., 1994). Sarwono (2002) mengatakan
bahwa kesepian harus dibedakan dengan kesendirian. Kesepian bersifat
subjektif, sedangkan kesendirian lebih bersifat fisik objektif, yaitu suatu
keadaan dimana seseorang sedang tidak bersama orang lain (Sarwono, 2002),
atau terpisah dari orang lain, dan dapat menyenangkan atau tidak
menyenangkan (Sears, dkk., 1994). Sementara menurut Sullivan (dalam Peplau
& Perlman, 1982), kesepian merupakan kondisi yang tidak menyenangkan, dan
berdasarkan pengalaman yang berhubungan dengan tidak mencukupinya
kebutuhan akan bentuk hubungan yang akrab. Lebih lanjut, Semat (dalam
Peplau & Perlman, 1982) berpendapat bahwa kesepian merupakan hasil dari
interpretasi dan evaluasi individu terhadap hubungan sosial yang dianggapnya
tidak memuaskan.
Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli di atas, dapat disimpulkan
bahwa kesepian adalah suatu keadaan tidak menyenangkan yang dirasakan
individu, akibat hubungan sosial yang dimilikinya tidak berjalan sesuai dengan
yang diharapkannya, baik karena individu tersebut tidak mempunyai teman
atau jumlah temannya sedikit, maupun karena kualitas hubungan yang dijalin
30
oleh individu tersebut tidak akrab atau kurang memuaskan baginya. Jadi tidak
tercapainya harapan individu terkait dengan hubungan di lingkungan sosial dan
hubungan yang akrab dengan seseorang, dapat menyebabkan individu tersebut
merasa kesepian.
2. Aspek-aspek Kesepian
Russell (1996) menjelaskan bahwa, kesepian didasari tiga asek, yaitu:
a. Kepribadian (Personality)
Karakteristik pada individu yang muncul dari sistem-sistem psikofisik yang
menentukan perilaku dan berpikir pada lingkungan sekitar. Dalam hal ini,
individu yang kesepian dapat dikarakteristikkan sesuai dengan perilaku dan
perasaan kesehariannya.
b. Kepatutan sosial (Social desirability)
Adanya keinginan sosial yang diharapkan individu pada kehidupan di
lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini, individu ingin mendapatkan
penerimaan yang pada akhirnya berujung pada keinginan untuk memperoleh
pengakuan dari masyarakat sekitar.
c. Depresi (Depression)
Suatu bentuk tekanan dalam diri yang mengakibatkan adanya perasaan tidak
berdaya dan kehilangan harapan, yang disertai perasaan sedih, kehilangan
minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju kepada
meningkatnya keadaan mudah lelah yang sangat nyata dan berkurangnya
aktivitas.
31
Weiss (dalam Sears, dkk., 1994) membagi aspek kesepian dalam dalam
dua dimensi, yaitu:
a. Kesepian secara emosional
Kesepian emosional timbul dari ketiadaan figur kasih sayang yang intim,
seperti yang bisa diberikan oleh orang tua kepada anaknya atau yang bisa
diberikan tunangan atau teman akrab kepada seseorang. Lebih lanjut,
Clinton & Anderson (dalam Bogaerts, dkk., 2006) mengemukakan bahwa,
kesepian emosional menunjukkan kurang intimnya dalam berhubungan
dengan teman dekat, dan hal ini tidak berkaitan dengan jumlah hubungan
pertemanan itu sendiri.
b. Kesepian secara sosial
Kesepian sosial terjadi apabila individu kehilangan rasa terintegrasi secara
sosial atau terintegrasi dalam suatu komunikasi, yang bisa diberikan oleh
sekumpulan teman atau rekan sekerja. Weiss (dalam Bogaerts, dkk., 2006)
menyatakan bahwa, kesepian sosial disebabkan karena kurangnya jaringan
sosial yang dapat memberikan seorang individu a sense of connection
dengan orang-orang lain. Clinton & Anderson (dalam Bogaerts, dkk., 2006)
menyatakan bahwa, kesepian sosial secara khusus mengindikasikan
kurangnya hubungan pertemanan dan terkait pula dengan banyaknya teman
dekat yang dimiliki.
32
Peplau dan Perlman (1982) membagi aspek-aspek kesepian menjadi tiga
pendekatan, yaitu:
a. Kebutuhan akan keintiman
Pendekatan ini menekankan pada kebutuhan seorang individu dalam
berhubungan dengan orang lain. Menurut Weiss (dalam Peplau & Perlman,
1982), kesepian pada individu tidak terjadi begitu saja tetapi disebabkan
oleh tidak adanya hubungan antar pribadi yang intim yang dimiliki individu.
Adanya kesepian menjadi jawaban dari tidak adanya beberapa bentuk
hubungan persahabatan yang istimewa atau hubungan yang lebih baik
b. Proses kognitif
Pendekatan ini menekankan kepada persepsi dan evaluasi individu terhadap
hubungan sosial yang dimiliknya. Flanders, dkk. (dalam Peplau & Perlman,
1982) berpendapat bahwa kesepian merupakan hasil dari ketidakpuasan
sesorang terhadap hubungan interpersonalnya. Dalam pendekatan ini,
dinyatakan bahwa kesepian terjadi saat seseorang mempersepsikan adanya
kesenjangan antara hubungan interpersonal yang diharapkan dengan
hubungan interpersonal yang dicapainya (Semat dalam Peplau & Perlman,
1982).
c. Penguatan sosial
Menurut pendekatan ini, kesepian merupakan suatu keadaan yang
diakibatkan perasaan ketidakterpenuhinya kebutuhan hubungan sosial
individu. Individu dapat merasa kesepian apabila interaksi sosial yang
33
dialaminya kurang menyenangkan dan tidak dapat menghasilkan penguatan
hubungan sosial.
Penelitian ini menggunakan aspek kesepian yang dikemukan oleh Russell
(1996), yaitu kepribadian (personality), kepatutan sosial (social desirability),
depresi (depression). Alasan digunakannya aspek tersebut dalam penelitian ini
adalah karena aspek tersebut telah sering dipakai oleh para peneliti sebelumnya
untuk mengukur tingkat kesepian dalam penelitian-penelitian tentang kesepian.
Selain itu, aspek tersebut sejak tahun 1980 sampai 1996 terus dikembangkan
oleh para peneliti, dan akhirnya menghasilkan alat ukur kesepian (loneliness)
yaitu UCLA Loneliness Scale (Version 3) dengan nilai reliabilitas 0,94.
3. Faktor-faktor Kesepian
Peplau dan Perlman (1982) membagi faktor yang menjadi penyebab
kesepian ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah peristiwa atau
perubahan yang menimbulkan terjadinya kesepian (precipitate event).
Sedangkan kelompok yang kedua adalah faktor-faktor yang memungkinkan
individu cenderung merasa kesepian atau faktor-faktor yang membuat kesepian
dirasakan terus-menerus (predisposing and maintaining factor). Berikut adalah
penjelasan lebih lanjut mengenai kedua kelompok dari faktor penyebab
kesepian tersebut
a. Precipitate event
Terdapat dua perubahan umum yang menimbulkan terjadinya kesepian.
Perubahan yang paling umum adalah menurunnya hubungan sosial
seseorang sampai di bawah tingkat optimal. Contoh dari perubahan ini
34
antara lain, berakhirnya hubungan dekat akibat kematian, perceraian atau
putus hubungan cinta. Perubahan juga dapat terjadi saat seseorang pindah ke
suatu lingkungan baru dan berpisah secara fisik dengan orang-orang
dekatnya (Peplau & Perlman, 1982). Perubahan yang kedua adalah
perubahan pada kebutuhan atau keinginan sosial seseorang. Perubahan ini
biasanya terjadi seiring dengan bertambahnya usia seseorang dan akan
menimbulkan kesepian jika tidak diikuti dengan penyesuaian pada
hubungan sosial yang aktual.
b. Predisposing and maintaining factor
Dalam kelompok ini, yang menyebabkan individu lebih rentan terhadap
kesepian adalah adanya keberagaman dari faktor personal dan situasional
individu. Kedua faktor inilah yang meningkatkan kecenderungan seseorang
merasakan kesepian dan juga mempersulit seseorang untuk mendapatkan
kepuasan hubungan sosialnya kembali (dalam Peplau & Perlman, 1982).
Menurut Peplau dan Perlman, terdapat beberapa karakteristik personal yang
dapat dihubungkan dengan kesepian. Individu yang mengalami kesepian
biasanya pemalu, introvert, dan tidak punya cukup keinginan untuk
mengambil resiko dalam berhubungan sosial. Kesepian juga sering
dihubungkan dengan pencelaan terhadap diri sendiri (self deprecation) dan
self esteem yang rendah. Menurut para sosiolog (dalam Peplau & Perlman,
1982), selain faktor situasional, nilai-nilai kebudayaan yang berlaku juga
dapat menyebabkan seseorang mengalami kesepian.
35
Sears, dkk. (1994) menyatakan bahwa kesepian setidaknya dipengaruhi
oleh empat faktor berikut ini:
a. Faktor usia
Stereotip yang populer menggambarkan bahwa, usia tua sebagai masa
kesepian yang besar. Tetapi hasil penelitian memperlihatkan bahwa
kesepian tertinggi terjadi pada remaja dan pemuda, dan yang terendah
terjadi pada orang yang lebih tua. Penelitian yang dilakukan oleh Parlee
(dalam Sears, dkk., 1994) mengungkapkan bahwa 79 % orang yang berusia
di bawah 18 tahun mengaku kadang-kadang atau seringkali merasa
kesepian.
b. Faktor pengalaman individu
Pengalaman masa kanak-kanak dalam keluarga mempengaruhi kesepian di
masa selanjutnya. Sebuah penelitian besar yang dilakukan oleh Rubenstein
dan Shaver (dalam Sears, dkk., 1994) terhadap orang Amerika, menemukan
bahwa individu dewasa yang orang tuanya bercerai dimungkinkan lebih
besar untuk mengalami kesepian, terutama jika perceraian tersebut terjadi
sebelum orang itu berusia 6 tahun.
c. Faktor kepribadian introvert
Kepribadian introvert biasanya ditandai dengan ciri-ciri lebih suka menutup
diri, penyendiri, pemalu, lebih sadar diri, dan kurang asertif. Individu yang
memiliki kepribadian seperti ini sering mengalami kesepian.
36
d. Faktor ketidakmampuan menjalin hubungan yang baik dengan orang lain
Individu yang mengalami kesepian umumnya tidak mampu menjalin
hubungan yang baik dengan orang lain dan tidak memiliki keterampilan
sosial yang baik. Individu seperti itu seringkali gagal dalam menjalin
hubungan dengan orang lain.
Menurut Baron dan Byrne (2005), kesepian terbentuk dari kombinasi
ketiga faktor berikut:
a. Faktor genetis
McGuire dan Clifford (dalam Baron & Byrne, 2005) melakukan investigasi
genetis mengenai tingkah laku kesepian. Data yang dihasilkan secara
konsisten mengindikasikan bahwa kesepian dapat diatribusikan sebagian
pada faktor-faktor keturunan. Contohnya, ditemukan bahwa, kembar identik
lebih serupa karakteristiknya daripada kembar fraternal, dimana hal ini
mengindikasikan bahwa, kesamaan genetis yang lebih besar menghasilkan
kesamaan yang lebih besar pada kesepian.
b. Pengalaman individu
Ponzetti dan James (dalam Baron & Byrne, 2005) menyatakan bahwa,
kesepian pada masa remaja ditemukan lebih besar pada orang-orang yang
tidak memiliki hubungan yang dekat dengan seorang kakak atau adik,
terutama jika ada konflik antara kakak beradik. Lebih lanjut, Braza, dkk.
(dalam Baron & Byrne, 2005) menjelaskan bahwa, kegagalan untuk
membangun keterampilan sosial yang tepat pada masa kanak-kanak
37
berakibat pada interaksi yang tidak sukses dengan teman-teman sebaya pada
masa selanjutnya, dan akhirnya menyebabkan kesepian.
c. Pengaruh budaya
Menurut Rokach (dalam Baron & Byrne, 2005), budaya memiliki pengaruh
pada kesepian dan kemungkinan asal-usulnya. Orang-orang Amerika Utara
menempatkan kesalahan utama pada hubungan intim yang tidak terpenuhi,
sedangkan orang-orang Asia Selatan lebih mengatribusikan kesepian pada
ketidakmampuan personal, seperti kekurangan pada karakter.
Cacioppo dan Hawkley (2011) menjelaskan bahawa terdapat enam faktor
yang mempengaruhi kesepian, yaitu:
a. Faktor sosiodermografis
Faktor struktural seperti usia, jenis kelain, rasa tau etnis, pendidikan, dan
pendapatan, membatasi peluang untuk berintegrasi ke dalam suatu
kelompok dan peran sosial. Faktor-faktor ini berkontribusi terhadap
perbedaan individu dalam kesepian.
b. Peran sosial
Peran individu dalam suatu kelompok atau adanya suatu aktivitas dalam
komunitas tertentu dapat menanggulangi seseorang dalam kesepian.
c. Kualitas dan kuantitas sosial
Jaringan sosial yang lebih kecil dan jarangnya interaksi yang berkaitan
dengan kualitas hubungan sosial dengan orang lain dapat mengakibatkan
perasaan kesepian.
38
d. Kesehatan
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kesehatan dapat memberikan
hambatan untuk berinteraksi sosial, seperti keterbatasan fungsional yang
dapat berpengaruh dalam melakukan komunikasi secara efektif.
e. Disposisi
Karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan kesepian termasuk di
antaranya adalah kurangnya keramahan, penghargaan diri yang rendah, rasa
malu yang berlebihan, permusuhan, ketidaknyamanan terhadap penampilan,
kecemasan, pesimisme, dan takut penilaian negatif.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya kesepian antara lain faktor
genetis, usia, sosiodemografis, kesehatan, kepribadian introvert,
ketidakmampuan menjalin hubungan baik dengan orang lain, pengalaman
individu, menurunnya hubungan sosial, berakhirnya hubungan dekat, berpisah
secara fisik dengan orang-orang dekat, peran sosial, kualitas dan kuantitas
sosial, serta pengaruh budaya.
C. Self Disclosure
1. Pengertian Self Disclosure
Self Disclosure, yang dapat pula disebut keterbukaan diri atau
pengungkapan diri, diartikan sebagai kegiatan membagi perasaan dan
informasi yang akrab dengan orang lain (Sears, dkk., 1994). Sejalan dengan
pernyataan tersebut, Dindia (dalam Taylor, dkk., 2009) mengatakan bahwa self
39
disclosure adalah tipe khusus dari percakapan dimana individu berbagi
informasi dan perasaan pribadi dengan orang lain.
Devito (1997) berpendapat bahwa self disclosure adalah jenis
komunikasi dimana seorang individu mengungkapkan informasi tentang diri
yang biasanya disembunyikan. Pendapat yang hampir sama dengan pernyataan
tersebut dikemukakan oleh Fisher (1996), yaitu self disclosure merupakan
penyingkapan informasi tentang diri yang pada saat lain tidak dapat diketahui
oleh pihak lain. Sedangkan Wheeless, dkk. (1986) menyatakan bahwa, self
disclosure adalah bagian dari referensi diri yang dikomunikasikan individu
secara lisan pada suatu kelompok kecil.
Derlega, dkk. (dalam Scouthen, 2007) menyebutkan bahwa, self
disclosure adalah memberikan informasi pribadi mengenai diri. Lebih lanjut,
Derlega, dkk. (dalam Kennedy-Moore & Watson, 1999) mendefinisikan self
disclosure sebagai pengungkapan verbal atas pikiran, perasaan, dan
pengalaman seorang individu. Self disclosure merupakan kemampuan
mengungkapkan aspek intim dari diri individu kepada orang lain (Myers,
2012). Selain sebagai bentuk pengungkapan, Jourard & Lasakow (dalam
Joinson & Paine, 2007) menyebutkan bahwa, self disclosure sebagai proses
membuat diri dikenal oleh orang lain.
Menurut Johnson (dalam Supratiknya, 1995), self disclosure adalah
mengungkapkan reaksi atau tanggapan terhadap situasi yang sedang dihadapi
serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau yang berguna
untuk memahami tanggapan di masa kini. Johnson (dalam Supratiknya, 1995)
40
berpendapat bahwa self disclosure berarti membagikan perasaaan kepada orang
lain tentang sesuatu yang telah dikatakan atau dilakukan, atau perasaan
terhadap kejadian-kejadian yang baru saja disaksikan.
Morton (dalam Sears, 1994) menjelaskan bahwa, self disclosure dapat
bersifat deskriptif maupun evaluatif. Dalam self disclosure deskriptif, individu
mengungkapkan berbagai fakta mengenai dirinya yang mungkin belum
diketahui oleh orang lain, seperti pekerjaannya, tempat tinggalnya, partai yang
didukungnya pada pemilihan umum, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam
self disclosure evaluatif, individu mengemukakan pendapat atau perasaan
pribadinya, seperti bahwa, dirinya menyukai orang-orang tertentu, merasa
cemas karena terlalu gemuk, tidak suka bangun pagi, dan lain-lain.
Berdasarkan beberapa pendapat dari para ahli di atas, dapat disimpulkan
bahwa self disclosure adalah kegiatan membagi informasi pribadi yang
dilakukan individu mengenai dirinya kepada orang lain, dimana informasi
tersebut dapat berupa ungkapan berbagai fakta mengenai diri, pengalaman
yang telah dilakukan, dan dapat juga berupa ungkapan perasaan,
pikiran/pendapat terhadap suatu hal/kejadian atau objek. Selain sebagai bentuk
pengungkapan, self disclosure juga dapat sebagai proses yang membuat diri
seorang individu dikenal oleh orang lain.
41
2. Aspek-aspek Self Disclosure
Wheeless (1986) mengemukakan lima aspek dari self disclosure, yaitu:
a. Intent
Aspek ini terkait dengan kesadaran inidvidu dalam melakukan self
disclosure. Individu melakukan self disclosure secara sadar dan mempunyai
tujuan.
b. Amount
Aspek ini berfokus pada kuantitas individu dalam melakukan self
disclosure. Kuantitas tersebut berkaitan dengan jumlah dan tingkat
keseringan individu dalam melakukan self disclosure.
c. Positiveness
Aspek ini berfokus pada kemampuan individu dalam mengungkapkan hal-
hal positif tentang dirinya kepada orang lain.
d. Depth
Aspek ini terkait dengan kedalaman individu dalam mengungkapkan
informasi tentang dirinya. Apabila individu terbuka kepada orang lain, maka
individu tersebut cenderung akan mengungkapkan informasi tentang dirinya
secara mendalam.
e. Honesty
Aspek ini berfokus pada kejujuran individu dalam mengungkapkan
informasi tentang dirinya kepada orang lain.
42
Fisher (1996) menyebutkan aspek self disclosure sebagai berikut:
a. Jumlah, yaitu berupa banyaknya informasi tentang diri yang diungkap.
b. Valensi, yaitu informasi mengenai diri yang dinilai positif atau negatif.
c. Keakraban, yaitu sejauh mana derajat informas itu mencerminkan orang
yang bersangkutan secara personal atau pribadi atau perasaan-perasaan yang
paling dalam dari diri.
Penelitian ini menggunakan aspek self disclosure yang dikemukakan oleh
Wheeless (1986), yaitu: intent, amount, positiveness, depth, dan honesty.
Alasan digunakannya aspek tersebut dalam penelitian ini adalah karena aspek
tersebut telah sering digunakan oleh para peneliti sebelumnya untuk mengukur
self disclosure dalam penelitian-penelitian tentang self disclosure.
3. Faktor-faktor Self Disclosure
Menurut Devito (1997), ada beberapa faktor yang mempengaruhi self
disclosure, antara lain:
a. Besar kelompok
Self disclosure lebih banyak terjadi dalam kelompok kecil daripada dalam
kelompok besar. Kelompok yang terdiri dari dua orang merupakan
lingkungan yang paling cocok untuk melakukan self disclosure dengan satu
pendengar, pihak yang melakukan self disclosure dapat meresapi tanggapan
dengan cermat.
43
b. Perasaan menyukai
Individu melakukan self disclosure kepada orang-orang yang disukai atau
dicintai, dan tidak akan melakukan self disclosure kepada orang yang tidak
disukai.
c. Efek diadik
Individu melakukan self disclosure apabila orang yang lain juga melakukan
self disclosure. Self disclosure atau pengungkapan diri menjadi lebih akrab
apabila dilakukan sebagai tanggapan atas self disclosure orang lain.
d. Kompetensi
Individu yang kompeten lebih banyak melakukan self disclosure daripada
individu yang kurang kompeten. Individu yang kompeten mempunyai rasa
percaya diri yang diperlukan untuk lebih melakukan self disclosure.
Individu yang kompeten memiliki lebih banyak hal positif tentang diri untuk
diungkapkan daripada individu yang tidak kompeten.
e. Kepribadian
Individu yang pandai bergaul dan extrovert melakukan self disclosure lebih
banyak daripada individu yang kurang pandai bergaul dan lebih introvert.
f. Topik
Individu cenderung lebih melakukan self disclosure atau membuka diri
tentang topik tertentu daripada topik yang lain. Sebagai contoh, individu
lebih mungkin mengungkapkan informasi diri tentang pekerjaan atau
hobinya daripada tentang kehidupan seks atau situasi keuangannya.
44
g. Jenis kelamin
Faktor terpenting yang mempengaruhi self disclosure adalah jenis kelamin.
Umumnya pria lebih kurang terbuka daripada wanita.
Mesch dan Beker (2010) mengemukakan dua faktor yang mempengaruhi
self disclosure, yaitu:
a. Usia
Usia seorang individu merupakan salah satu indikator atas perilakunya.
Selama masa remaja, keterlibatan secara sosial dari individu mengalami
peningkatan, disertai dengan kecenderungan untuk mengungkapkan
informasi pribadi. Beberapa studi menunjukan bahwa, selama masa remaja,
seorang remaja membangun kemampuan untuk membina kedekatan
berdasarkan tingkat keterbukaan, kejujuran, dan pengungkapan diri (self
disclosure). Remaja memiliki kecenderungan melakukan self disclosure
kepada teman sebaya, daripada kepada orang tua mereka. Buhrmester &
Prager (dalam Mesch & Beker, 2010) menyatakan bahwa, hal tersebut
memainkan peran penting dalam pembangunan hubungan, memberikan
remaja sumber daya sosial yang membantunya menangani isu-isu yang
menjadi perhatian pada setiap titik dalam kehidupan remaja.
b. Perbedaan Gender
Gender merupakan faktor penting yang berkaitan dengan self disclosure.
Dalam penelitiannya, Murstein dan Adler (dalam Mesch & Beker, 2010)
mengungkapkan bahwa tingkat self disclosure yang lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pria. Menurut Shulman, dkk. (dalam Mesch & Beker, 2010),
45
terdapat pengaruh dari perbedaan gender terhadap self disclosure dalam
konteks remaja, baik secara kuantitas maupun kualitas. Dalam studi yang
dilakukan oleh Camarena, dkk. (dalam Mesch & Beker, 2010), ditemukan
bahwa remaja perempuan cenderung memiliki skor self disclosure lebih
tinggi dibandingkan laki-laki. Penjelasan untuk perbedaan gender dalam self
disclosure, dihubungkan dengan variasi dalam sosialisasi gender, dimana
laki-laki secara tradisional diajarkan untuk menahan diri dalam berbagi
perasaan mereka, sedangkan perempuan diharapkan untuk menjadi lebih
ekspresif dan terbuka dalam berkomunikasi. Cho (dalam Mesch & Beker,
2010) menyatakan bahwa perempuan lebih mudah dalam membentuk rasa
percaya ketika melakukan komunikasi online dibandingkan laki-laki, dan
untuk alasan ini, self disclosure pada perempuan lebih tinggi.
Taylor, dkk. (2009) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang
menjadi alasan dalam individu melakukan self disclosure. Faktor-faktor
tersebut antara lain:
a. Penerimaan sosial
Individu mengungkap informasi tentang dirinya atau melakukan self
disclosure guna meingkatkan penerimaan sosial dan agar disukai orang lain.
b. Pengembangan hubungan
Berbagi informasi pribadi dan keyakinan pribadi (melakukan self
disclosure) adalah salah satu cara untuk mengawali hubungan dan bergerak
ke arah intimasi.
46
c. Ekspresi diri
Terkadang individu berbicara tentang perasaannya untuk “melepaskan
himpitan di dada.” Setelah bekerja keras seharian, individu mungkin ingin
memberi tahu temannya tentang perasaan jengkelnya pada atasan dan
bagaimana kesalnya karena tak dihargai. Mengekspresikan perasaan dan
melakukan self disclosure dapat mengurangi stres.
d. Klarifikasi diri
Dalam proses berbagi perasaan atau pengalaman pribadi kepada orang lain
(melakukan self disclosure), individu mungkin mendapatkan pemahaman
dan kesadaran yang lebih luas. Berbicara kepada teman tentang masalah
yang sedang dihadapi mungkin bisa membantu menjelaskan pemikiran
tentang situasi. Pendengar akan memberikan informasi yang berguna
tentang realitas sosial.
e. Kontrol sosial
Individu mungkin mengungkapkan atau menyembunyikan informasi tentang
dirinya sebagai alat kontrol sosial. Misalnya individu sengaja tidak
berbicara tentang dirinya untuk melindungi privasi, atau individu mungkin
menekankan topik atau ide yang menciptakan kesan baik bagi dirinya di
mata pendengar.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa,
faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya self disclosure antara lain faktor
besar kelompok, perasaan menyukai, efek diadik, kompetensi, kepribadian,
47
topik, usia, perbedaan gender/jenis kelamin, penerimaan sosial, pengembangan
hubungan, ekpresi diri, klarifikasi diri, dan kontrol sosial.
A. Hubungan antara Kesepian dan Self Disclosure dengan Perilaku Kecanduan
Situs Jejaring Sosial Facebook pada Remaja Perempuan
Menurut Santrock (2012), remaja di seluruh dunia semakin bergantung pada
internet. Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh
Subrahmanyam & Greenfield (2008) bahwa, remaja menempati proporsi paling
besar sebagai pengguna situs-situs di internet seperti situs jejaring sosial online.
Jumlah remaja yang menghabiskan waktunya untuk online semakin meningkat
(Santrock, 2012). Griffiths (2000) mengungkapkan bahwa, internet terutama situs-
situs yang ada di dalamnya, dapat memberikan kenyamanan tersendiri bagi para
penggunanya, dan kenyamanan dalam penggunaannya tersebut dapat
menyebabkan adiksi atau kecanduan.
Kecanduan dapat diartikan sebagai perilaku yang digunakan dalam upaya
untuk melarikan diri dari keadaan yang tidak nyaman ke keadaan yang nyaman
atau untuk bersenang-senang. Kecanduan dalam penggunaan internet terlihat dari
intensitas waktu yang digunakan individu untuk terpaku di depan alat elektronik
berkoneksi internet yang berakibat pada banyaknya waktu yang dihabiskan
individu tersebut untuk online. Kandell (1998) mendefinisikan kecanduan internet
sebagai ketergantungan psikologis terhadap internet yang ditandai dengan
meningkatnya keinginan untuk beraktivitas dengan internet, meningkatnya
toleransi untuk selalu menggunakan internet, dan mengingkari bahwa, itu adalah
48
perilaku yang bermasalah. Salah satu bentuk kecanduan internet adalah cyber-
relational addiction, yaitu kecanduan terhadap situs pertemanan di dunia maya
(Young, dkk., 1999), dan salah satu situs pertemanan di dunia maya adalah
facebook.
Melalui facebook, para penggunanya dapat memperoleh dan menjalin
hubungan pertemanan dengan banyak orang. Individu terhubung dengan orang
lain melalui permintaan otomatis untuk memiliki status sebagai teman. Satu orang
meminta status pertemanan dengan orang lain. Setelah permintaan diterima,
keduanya adalah teman di facebook. Foto profil dan nama teman muncul pada
setiap halaman profil, yang berfungsi sebagai hyperlink ke profil teman di
facebook (Freeman, 2011). Oleh karena itu, situs jejaring sosial facebook seakan
menjadi solusi bagi para pengguna, khususnya para remaja yang rentan kesepian,
untuk membentuk hubungan dengan orang lain dan memasuki lingkungan
pergaulan yang lebih luas.
Sullivan (dalam Santrock, 2012) menyatakan bahwa, mempunyai banyak
teman atau sahabat menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sosial
selama masa remaja. Jika remaja gagal untuk menjalin pertemanan atau
persahabatan, maka remaja akan mengalami kesepian (Santrock, 2012). Kesepian
diartikan oleh Peplau dan Perlman (dalam Baron & Byrne, 2005) sebagai suatu
reaksi emosional dan kognitif individu terhadap dimilikinya hubungan yang lebih
sedikit dan lebih tidak memuaskan daripada yang diinginkan oleh individu
tersebut. Kesadaran akan kesepian menyebabkan remaja terdorong untuk berusaha
memperluas pergaulan dan menjalin hubungan akrab dengan cara tertentu. Salah
49
satu cara yang dapat ditempuh oleh remaja tersebut yaitu dengan aktif secara
online dalam situs jejaring sosial facebook.
Jin (2013) mengungkapkan bahwa, individu-individu yang kesepian
cenderung melihat facebook sebagai media untuk mengkoneksikan diri dengan
lingkungan sosial. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Skues, dkk. (2012)
mengatakan bahwa subjek penelitiannya dengan tingkat kesepian yang tinggi
menggunakan situs jejaring sosial facebook dalam beraktivitas online untuk
mengkompensasi kurangnya hubungan offline atau kebutuhan sosial di dunia
nyata. Schwartz (2010) juga melakukan penelitian tentang kesepian dan
penggunaan situs jejaring sosial facebook, dan hasil penelitiannya tersebut
menyatakan bahwa, kesepian berkorelasi positif dengan penggunaan aktif
facebook.
Penelitian lain terkait dengan kesepian dan penggunaan facebook dilakukan
oleh Ryan dan Xenos (2011). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa,
pengguna facebook cenderung lebih ekstrovert, narsis, dan kurang cermat, serta
secara sosial kesepian, dibandingkan dengan non pengguna. Selanjutnya,
frekuensi penggunaan facebook dan preferensi penggunaan fitur spesifiknya juga
terbukti bervariasi sebagai akibat dari karakteristik tertentu, seperti kesepian,
neurotisisme, rasa malu, dan narsisme (Ryan & Xenos, 2011). Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa kesepian yang dirasakan individu dapat menjadi salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap frekuensi penggunaan situs jejaring sosial
facebook pada individu tersebut.
50
Morahan-Martin dan Schumacher (2003) menyatakan bahwa, individu-
individu yang kesepian cenderung aktif secara online pada situs jejaring sosial
karena terdapat kemungkinan terbentuknya hubungan pertemanan atau
persahabatan melalui situs jejaring sosial. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa individu
yang merasa kesepian akan meningkatkan intensitasnya dalam menggunakan situs
jejaring sosial, karena individu yang merasa kesepian tersebut dapat mencari
teman baru dan mencari kepuasan dengan teman-temannya dalam situs jejaring
sosial (Morahan-Martin & Schumacher, 2003). Penelitian lain tentang kesepian
dan penggunaan situs jejaring sosial online maupun internet dilakukan oleh Kraut,
dkk. (1998), yang menunjukkan bahwa, individu yang lebih banyak
menghabiskan waktunya untuk menggunakan internet merupakan individu yang
seringkali merasakan kesepian dan depresi. Terkait dengan penelitian-penelitian
tersebut, Pratarelli, dkk. (1999) mengungkapkan bahwa, penggunaan internet
secara berlebihan dapat disebut sebagai kecanduan internet dan situs-situs di
dalamnya, sehingga penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa, kesepian
merupakan prediktor dalam penggunaan aktif facebook hingga penggunaan
berlebih atau kecanduan terhadap facebook.
Remaja sering menggunakan facebook dalam kehidupan sosialnya, sebagai
tempat menyalurkan suasana hati dan pikiran, serta mengembangkan jaringan
sosial (Selwyn, 2007). Berbagai aktivitas yang dapat dilakukan individu dalam
menggunakan facebook antara lain: membaca dan merespon pesan/catatan;
membaca komentar pada profile page; membuka wall milik teman; menulis
komentar; meminta izin pertemanan da menambah teman baru; mengecek wall;
51
mengubah profile; melakukan update status; menggunakan fitur poked, winked,
dan gift; mencari musik atau band; melakukan upload dan mengomentari foto,
mengganti profile picture; dan bergabung dalam grup (Subrahmanyam &
Greenfield, 2008). Aktivitas-aktivitas tersebut cenderung menuntut individu untuk
membagikan berbagai informasi mengenai diri sendiri pada orang lain, yang
berartinya bahwa individu diberikan fasilitas untuk membuka diri saat mengakses
facebook.
Keinginan untuk memiliki hubungan dengan orang lain sangatlah besar
selama masa remaja (Papalia, dkk., 2009), dan keinginan tersebut biasanya
disertai dengan kecenderungan untuk membuka diri atau melakukan self
disclosure. Self disclosure diartikan oleh Johnson (dalam Supratiknya, 1995)
sebagai kegiatan individu dalam membagikan perasaaannya kepada orang lain
tentang sesuatu yang telah dikatakan atau dilakukannya, atau perasaan terhadap
kejadian-kejadian yang baru saja disaksikannya. Terkait dengan kecenderungan
remaja untuk melakukan self disclosure, situs jejaring sosial facebook, yang telah
menjadi bagian dari tren dan gaya hidup saat ini, merupakan media yang
memudahkan remaja untuk melakukan self disclosure.
Penelitian tentang self disclosure dan penggunaan situs jejaring sosial
facebook dilakukan oleh Skues, dkk. (2012). Hasil dari penelitian tersebut
menyatakan bahwa, subjek dengan tingkat self disclosure yang tinggi dilaporkan
menghabiskan lebih banyak waktu di facebook. (Skues, dkk., 2012). Pernyataan
tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Kilamanca (2010), bahwa self
disclosure memiliki hubungan yang signifikan dengan intensitas remaja dalam
52
mengakses situs jejaring sosial. Semakin tinggi tingkat self disclosure remaja,
maka penggunaan situs jejaring sosial oleh remaja tersebut juga cenderung
semakin tinggi, baik dari segi frekuensi maupun durasi pemakaian. Davis, dkk.
(2002) menyebutkan bahwa, semakin tinggi intensitas seseorang mengungkapkan
informasi pribadi secara online, yang dicirikan dari penggunaan situs jejaring
sosial yang berlebihan, maka semakin tinggi pula penggunaan internet bermasalah
yang mereka alami. Salah satu bentuk penggunaan internet bermasalah tersebut
yaitu kecanduan terhadap internet khususnya situs jejaring sosial yang ada di
dalamnya. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Pratarelli, dkk. (1999) juga
mengungkapkan bahwa penggunaan internet secara berlebihan dapat disebut
sebagai kecanduan internet dan situs-situs di dalamnya. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa self disclosure merupakan prediktor dalam penggunaan aktif
Facebook hingga penggunaan berlebih atau kecanduan terhadap facebook.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tedapat hubungan
antara kesepian dan self disclosure dengan perilaku kecanduan situs jejaring sosial
facebook pada remaja. Dengan kata lain, tingkat kesepian dan self disclosure
remaja yang tinggi, berkorelasi positif dengan kecenderungan remaja tersebut
teradiksi atau kecanduan situs jejaring sosial facebook.
B. Hubungan antara Kesepian dengan Perilaku Kecanduan Situs Jejaring
Sosial Facebook pada Remaja Perempuan
Selama masa remaja, Sullivan (dalam Santrock, 2012) menyatakan bahwa,
mempunyai banyak teman atau sahabat menjadi sangat penting untuk memenuhi
53
kebutuhan sosial. Secara khusus, Sullivan menyatakan bahwa, kebutuhan akan
intimasi meningkat di masa remaja awal, dan memotivasi remaja untuk mencari
sahabat. Jika remaja gagal untuk menjalin persahabatan yang akrab, mereka akan
mengalami kesepian (Santrock, 2012). Terkait dengan hal itu, Desmita (2012)
juga mengungkapkan bahwa, akan muncul perasaan kesepian pada diri remaja
yang merasa ditolak atau diabaikan oleh teman sebayanya.
Kesepian diartikan oleh Peplau dan Perlman (dalam Baron & Byrne, 2005)
sebagai suatu reaksi emosional dan kognitif individu terhadap dimilikinya
hubungan yang lebih sedikit dan lebih tidak memuaskan daripada yang diinginkan
oleh individu tersebut. Heinrich & Gullone (dalam Myers, 2012) mengungkapkan
bahwa para remaja lebih banyak yang mengalami kesepian dibandingkan dengan
orang dewasa. Hal serupa juga dinyatakan oleh Sears, dkk. (1994), yaitu hasil
penelitian memperlihatkan bahwa kesepian yang tertinggi terjadi di antara para
remaja dan pemuda, dan yang terendah terjadi diantara orang yang lebih tua.
Parlee (dalam Sears, dkk., 1994) melaporkan bahwa, dalam suatu penelitian besar,
79% subjek yang berusia 18 tahun dinyatakan kadang-kadang atau seringkali
merasa kesepian.
Kesadaran akan kesepian menyebabkan remaja terdorong untuk berusaha
memperluas pergaulan dan menjalin hubungan akrab dengan cara tertentu. Salah
satu cara yang dapat ditempuh oleh remaja tersebut yaitu dengan aktif secara
online dalam situs jejaring sosial facebook. Jin (2013) menyatakan bahwa
individu-individu yang kesepian cenderung melihat facebook sebagai media untuk
mengkoneksikan diri dengan lingkungan sosial. Sejalan dengan pernyataan
54
tersebut, Skues, dkk. (2012) mengungkapkan bahwa, subjek penelitiannya dengan
tingkat kesepian yang tinggi menggunakan situs jejaring sosial facebook dalam
beraktivitas online untuk mengkompensasi kurangnya hubungan offline atau
kebutuhan sosial di dunia nyata.
Individu dapat memperoleh dan menjalin hubungan dengan banyak orang
melalui facebook, karena salah satu aktivitas utama pada penggunaan facebook
adalah memperoleh teman di facebook. Individu terhubung dengan orang lain
melalui permintaan otomatis untuk memiliki status sebagai teman. Satu orang
meminta status pertemanan dengan orang lain. Setelah permintaan diterima,
keduanya adalah teman di facebook. Foto profil dan nama teman muncul pada
setiap halaman profil, yang berfungsi sebagai hyperlink ke profil teman di
facebook (Freeman, 2011). Oleh karena itu, situs jejaring sosial facebook seakan
menjadi solusi bagi para pengguna, khususnya para remaja yang rentan kesepian,
untuk membentuk hubungan dengan orang lain dan memasuki lingkungan
pergaulan yang lebih luas.
Penelitian tentang kesepian dan penggunaan situs jejaring sosial facebook
dilakukan oleh Schwartz (2010). Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa
kesepian berkorelasi positif dengan penggunaan aktif facebook. Penelitian lain
terkait dengan kesepian dan penggunaan facebook dilakukan oleh Ryan dan
Xenos (2011). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengguna facebook
cenderung lebih ekstrovert, narsis, dan kurang cermat, serta secara sosial
kesepian, dibandingkan dengan non pengguna. Selanjutnya, frekuensi penggunaan
facebook dan preferensi penggunaan fitur spesifiknya juga terbukti bervariasi
55
sebagai akibat dari karakteristik tertentu, seperti kesepian, neurotisisme, rasa
malu, dan narsisme (Ryan & Xenos, 2011). Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa kesepian yang dirasakan individu dapat menjadi salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap frekuensi penggunaan situs jejaring sosial facebook pada
individu tersebut.
Morahan-Martin dan Schumacher (2003) menyatakan bahwa, individu-
individu yang kesepian cenderung aktif secara online pada situs jejaring sosial
karena terdapat kemungkinan terbentuknya hubungan pertemanan atau
persahabatan melalui situs jejaring sosial. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa individu
yang merasa kesepian akan meningkatkan intensitasnya dalam menggunakan situs
jejaring sosial, karena individu yang merasa kesepian tersebut dapat mencari
teman baru dan mencari kepuasan dengan teman-temannya dalam situs jejaring
sosial (Morahan-Martin & Schumacher, 2003). Penelitian lain tentang kesepian
dan penggunaan situs jejaring sosial online maupun internet dilakukan oleh Kraut,
dkk. (1998), yang menunjukkan bahwa individu yang lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk menggunakan internet merupakan individu yang seringkali
merasakan kesepian dan depresi. Terkait dengan penelitian-penelitian tersebut,
Pratarelli, dkk. (1999) mengungkapkan bahwa, penggunaan internet secara
berlebihan dapat disebut sebagai kecanduan internet dan situs-situs di dalamnya,
sehingga penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa kesepian merupakan
prediktor dalam penggunaan aktif facebook, hingga penggunaan berlebih atau
kecanduan terhadap facebook.
56
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, tedapat hubungan
antara kesepian dengan perilaku kecanduan situs jejaring sosial facebook pada
remaja. Dengan kata lain, tingkat kesepian remaja yang tinggi, berkorelasi positif
dengan kecenderungan remaja tersebut teradiksi atau kecanduan situs jejaring
sosial facebook.
C. Hubungan Self Disclosure dengan Perilaku Kecanduan Situs Jejaring Sosial
Facebook pada Remaja Perempuan
Selama masa remaja, pada umumnya keinginan untuk memiliki hubungan
dengan orang lain sangatlah besar (Papalia, dkk., 2009). Keinginan tersebut
biasanya disertai dengan kecenderungan untuk mengungkapkan informasi pribadi.
Beberapa studi menunjukan bahwa selama masa remaja, seorang remaja
membangun kemampuan untuk membina kedekatan berdasarkan tingkat self
disclosure (Mesch & Beker, 2010).
Self disclosure diartikan oleh Johnson (dalam Supratiknya, 1995) sebagai
kegiatan individu dalam membagikan perasaaannya kepada orang lain tentang
sesuatu yang telah dikatakan atau dilakukannya, atau perasaan terhadap kejadian-
kejadian yang baru saja disaksikannya. Remaja memiliki kecenderungan
melakukan self disclosure kepada teman sebaya, daripada kepada orang tua
mereka. Hal itu terjadi karena remaja menyatakan bahwa, dirinya lebih
mengandalkan teman daripada orang tua untuk memenuhi kebutuhan akan
kebersamaan, untuk meyakinkan harga diri, dan untuk menjalin keakraban
(Furman & Buhrmester dalam Santrock, 2003).
57
Santrock (2003) mengungkapkan bahwa, ketika para remaja ditanya apa
yang remaja inginkan dari seorang teman atau sahabat, dan bagaimana remaja
dapat mengetahui seseorang merupakan sahabat mereka atau bukan, remaja sering
mengatakan bahwa, sahabat akan membagi masalah dengan mereka, memahami
mereka, dan mendengarkan mereka pada saat mereka berbicara tentang pemikiran
dan perasaan mereka sendiri. Selain itu, kehidupan remaja dengan permasalahan-
permasalahannya membuat remaja cenderung membutuhkan orang lain untuk
berbagi dan menceritakan keluh kesahnya.
Terkait kebutuhan remaja untuk berbagi dan menceritakan keluh kesahnya,
situs jejaring sosial facebook, yang telah menjadi bagian dari tren dan gaya hidup
saat ini, merupakan media yang memudahkan remaja untuk menyalurkan keluh
kesah dan berbagi informasi. Hal itu sesuai dengan pernyataan Selwyn (2007),
bahwa remaja sering menggunakan facebook dalam kehidupan sosialnya, sebagai
tempat menyalurkan suasana hati dan pikiran. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan
melalui facebook seperti menulis profil, chatting, memperbarui status, mengirim
pesan, merupakan bentuk self disclosure atau pengungkapkan diri kepada orang
lain. Melalui situs jejaring sosial facebook ini, seorang remaja dapat membagikan
informasi tentang dirinya, perasaannya, aktivitas yang sedang dilakukannya, dan
lain-lain, kepada teman-teman yang ada dalam akun facebook yang dimilikinya,
dan pada saat itulah self disclosure berlangsung.
Penelitian tentang self disclosure dan penggunaan situs jejaring sosial
facebook dilakukan oleh Skues, dkk. (2012). Hasil dari penelitian tersebut
menyatakan bahwa subjek dengan tingkat self disclosure yang tinggi dilaporkan
58
menghabiskan lebih banyak waktu di facebook. (Skues, dkk., 2012). Pernyataan
tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Kilamanca (2010), bahwa self
disclosure memiliki hubungan yang signifikan dengan intensitas remaja dalam
mengakses situs jejaring sosial. Semakin tinggi tingkat self disclosure remaja,
maka penggunaan situs jejaring sosial oleh remaja tersebut juga cenderung
semakin tinggi, baik dari segi frekuensi maupun durasi pemakaian. Davis, dkk.
(2002) menyebutkan bahwa semakin tinggi intensitas seseorang mengungkapkan
informasi pribadi secara online, yang dicirikan dari penggunaan situs jejaring
sosial yang berlebihan, maka semakin tinggi pula penggunaan internet bermasalah
yang mereka alami. Salah satu bentuk penggunaan internet bermasalah tersebut
yaitu kecanduan terhadap internet khususnya situs jejaring sosial yang ada di
dalamnya. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Pratarelli, dkk. (1999) juga
menyatakan bahwa penggunaan internet secara berlebihan dapat disebut sebagai
kecanduan internet dan situs-situs di dalamnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa self disclosure memiliki hubungan yang signifikan dengan penggunaan
aktif facebook hingga penggunaan berlebih atau kecanduan terhadap facebook.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tedapat hubungan
antara self disclosure dengan perilaku kecanduan situs jejaring sosial facebook
pada remaja. Dengan kata lain, tingkat self disclosure remaja yang tinggi,
berkorelasi positif dengan kemungkinan remaja tersebut teradiksi atau kecanduan
situs jejaring sosial facebook.
59
D. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penelitian mengenai “Hubungan antara Kesepian dan
Self Disclosure dengan Perilaku Kecanduan Situs Jejaring Sosial Facebook pada
Siswi SMK PGRI Pedan Klaten” yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya
dapat digambarkan dalam bagan berikut:
Gambar 1
Bagan Kerangka Pemikiran Hubungan antara Kesepian dan Self Disclosure
dengan Perilaku Kecanduan Situs Jejaring Sosial Facebook
Keterangan:
1. H1 : Hubungan antara kesepian dan self disclosure dengan perilaku kecanduan
situs jejaring sosial facebook
2. H2 : Hubungan antara kesepian dengan perilaku kecanduan situs jejaring
sosial facebook
3. H3 : Hubungan antara self disclosure dengan perilaku kecanduan situs jejaring
sosial facebook
Kesepian
Self Disclosure
Perilaku Kecanduan
Situs Jejaring Sosial Facebook
H1
H3
H2
60
I. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan antara kesepian dan self disclosure dengan perilaku
kecanduan situs jejaring sosial facebook pada siswi SMK PGRI Pedan Klaten.
2. Terdapat hubungan antara kesepian dengan perilaku kecanduan situs jejaring
sosial facebook pada siswi SMK PGRI Pedan Klaten.
3. Terdapat hubungan antara self disclosure dengan perilaku kecanduan situs
jejaring sosial facebook pada siswi SMK PGRI Pedan Klaten.