BAB II LANDASAN TEORI A. Madrasah Diniyah 1 ...etheses.iainkediri.ac.id/1326/3/932137314_BAB...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. Madrasah Diniyah 1 ...etheses.iainkediri.ac.id/1326/3/932137314_BAB...
13
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Madrasah Diniyah
1. Pengertian Madrasah Diniyah
Kata madrasah secara etimologi merupakan isim makan yang berarti
tempat belajar, dari akar kata darasa yang berarti belajar. Diniyah berasal
dari kata din yang berarti agama. Secara terminologi madrasah adalah nama
atas sebutan bagi sekolah - sekolah agama Islam, tempat proses belajar
mengajar ajaran agama Islam secara formal yang mempunyai kelas (dengan
sarana antara lain meja, bangku, dan papan tulis) dan memiliki kurikulum,
dalam bentuk klasikal.1
Madrasah Diniyah adalah suatu lembaga pendidikan keagamaan yang
telah diakui keberadaannya oleh masyarakat maupun pemerintah. Di dalam
UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditetapkan
bahwa Madrasah Diniyah merupakan salah satu dari sebuah lembaga
pendidikan yang memberikan pendidikan kepada anak didik dalam bidang
keagamaan. Sejalan dengan ide-ide pendidikan di Indonesia maka Madrasah
pun ikut mengadakan pembaharuan dari dalam. 2
1 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam 3, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van
Hoeve, 2002) 105. 2 Direktorat Pendidikan Keagamaan & Pondok Pesantren Dirjen Kelembagaan Agama, Pedoman
Penyelenggaraan dan Pembinaan Madrasah Diniyah (Jakarta: Departemen Agama RI,2003) 3.
14
Madrasah Diniyah adalah lembaga pendidikan agama yang
memberikan pendidikan dan pengajaran secara klasikal dalam pengetahuan
agama islam kepada pelajar secara bersama – sama, sedikitnya berjumlah
sepuluh atau lebih di antara anak- anak usia 7 sampai 20 tahun. Dalam buku
”Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Pada Pondok Pesantren”
dijelaskan bahwa Madrasah Diniyah adalah sekolah yang tiga jenjang
pendidikan yaitu Madrasah Diniyah Awaliyah, Madrasah Diniyah Wustha
dan Madrasah Diniyah ‘Ulya yang hanya menyelenggarakan pendidikan
agama Islam dan bahasa Arab (sebagai bahasa al-Qur’an) dengan memakai
sistem klasikal. Dan dalam buku “Pedoman Penyelenggaraan dan Pembinaan
Madrasah Diniyah” dijelaskan bahwa Madrasah Diniyah adalah sebagai
berikut: Lembaga pendidikan keagamaan pada jalur luar sekolah yang
diharapkan mampu secara terus menerus memberikan pendidikan agama
Islam kepada anak didik yang tidak terpenuhi pada jalur sekolah yang
diberikan melalui sistem klasikal serta menerapkan jenjang pendidikan yaitu
Madrasah Diniyah Awaliyah, Madrasah Diniyah Wustha dan Madrasah
Diniyah ‘Ulya.3
2. Sejarah Perkembangan Madrasah Diniyah
Sebagaimana sejarah berdirinya pondok pesantren karena madrasah
diniyah merupakan bagian dari pondok pesantren. Madrasah diniyah juga
3 Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Grafindo Persada, 2001) 209.
15
berkembang dari bentuk sederhana, yaitu pengajian di masjid-masjid,
langgar atau surau-surau. Berawal dari bentuknya yang sederhana ini
berkembang menjadi pondok pesantren. Persinggungan dengan system
madrasah, model pendidikan islam mengenal pola pendidikan madrasah.
Madrasah ini mulanya hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa
Arab. Dalam perkembangan selanjutnya, sebagaimana di madrasah diberikan
mata pelajaran umum dan sebagain lainnya mengkhususkan diri hanya
mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Madrasah yang hanya
mengajarkan ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab inilah yang dikenal dengan
madrasah diniyah.
Lembaga pendidikan islam yang dikenal dengan nama madrasah
diniyah telah lama di Indonesia. Dimasa penjajahan Hindia Belanda, hamper
disemua desa di Indonesia dan penduduknya mayoritas Islam terdapat
madrasah diniyah dengan berbagai nama dan bentuk seperti pengajian anak-
anak, sekolah kitab dan lain-lain. Penyelenggaraan madrasah diniyah ini
biasanya mendapatkan bantuan dari raja-raja/sultan setempat.
Setelah Indonesia merdeka, madrasah diniyah terus berkembang pesat
seiring dengan peningkatan kebutuhan pendidikan agama oleh masyarakat,
terutama madrasah diniyah diluar pondok pesantran dilatar belakangi
keinginan masyarakat terhadap pentingnya agama, terutama dalam
16
menghadapi tantangan masa kini dan masa depan telah mendorong tingginya
tingkat kebutuhan keberagaman yang semakin tinggi.4
3. Fungsi dan Tujuan Madrasah Diniyah
a. Fungsi Madrasah Diniyah
1) Menyelenggarakan pengembangan kemampuan dasar pendidikan
agama Islam yang meliputi : Al-Qur’an Hadits, Ibadah Fiqh,
Aqidah Akhlak, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab.
2) Memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan agama Islam
bagi yang memerlukan
3) Membina hubungan kerja sama dengan orang tua dan masyarakat
antara lain:
4) Membantu membangun dasar yang kuat bagi pembangunan
kepribadian manusia Indonesia seutuhnya.
5) Membantu mencetak warga Indonesia takwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dan menghargai orang lain.
6) Memberikan bimbingan dalam pelaksanaan pengalaman agama
Islam.
7) Melaksanakan tata usaha dan program pendidikan serta
perpustakaan.5
4 Departemen Agama RI, Pedoman,,,, 23. 5 Direktorat Pendidikan Keagamaan & Pondok Pesantren Dirjen Kelembagaan Agama Islam,
Pedoman Administrasi Madrasah Diniyah, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2003) 42.
17
Dengan demikian, Madrasah Diniyah di samping berfungsi sebagai
tempat mendidik dan memperdalam ilmu agama Islam juga berfungsi
sebagai sarana untuk membina akhlak al karimah (akhlak mulia) bagi anak
yang kurang akan pendidikan agama Islam di sekolah- sekolah umum.
b. Tujuan Madrasah Diniyah
Tujuan Umum :
1) Memiliki sikap sebagai muslim dan berakhlak mulia
2) Memiliki sikap sebagai warga negara Indonesia yang baik.
3) Memiliki kepribadian, percaya pada diri sendiri, sehat jasmani dan
rohani
4) Memiliki pengetahuan pengalaman, pengetahuan, ketrampilan
beribadah dan sikap terpuji yang berguna bagi pengembangan
kepribadiannya.
Tujuan Khusus :
1) Tujuan khusus Madrasah Diniyah dalam bidang pengetahuan antara
lain :
a) Memiliki pengetahuan dasar tentang agama Islam.
b) Memiliki pengetahuan dasar tentang Bahasa Arab sebagai alat
untuk memahami ajaran agama Islam.
18
2) Tujuan khusus Madrasah Diniyah dalam bidang pengamalan, yaitu
agar siswa:
a) Dapat mengamalkan ajaran agama Islam.
b) Dapat belajar dengan cara yang baik.
c) Dapat bekerjasama dengan orang lain dan dapat mengambil
bagian secara aktif dalam kegiatan– kegiatan masyarakat.
d) Dapat menggunakan bahasa Arab dengan baik serta dapat
membaca kitab berbahasa Arab.
e) Dapat memecahkan masalah berdasarkan pengalaman dan
prinsip- prinsip ilmu pengetahuan yang dikuasai berdasarkan
ajaran agama Islam.
b) Tujuan khusus Madrasah Diniyah dalam bidang nilai dan sikap
yaitu agar siswa:
a) Berminat dan bersikap positif terhadap ilmu pengetahuan.
b) Disiplin dan mematuhi peraturan yang berlaku.
c) Menghargai kebudayaan nasional dan kebudayaan lainnya yang
tidak bertentangan dengan agama Islam.
d) Memiliki sikap demokratis, tenggang rasa dan mencintai sesama
manusia dan lingkungan hidup.
19
e) Cinta terhadap agama Islam dan keinginan untuk melakukan
ibadah sholat dan ibadah lainnya, serta berkeinginan untuk
menyebarluaskan.
f) Menghargai setiap pekerjaan dan usaha yang halal.
g) Menghargai waktu, hemat dan produktif.6
4. Bentuk dan Kegiatan Pembelajaran Madrasah Diniyah
Ciri khas yang dimilik lembaga pendidikan seperti pondok pesantran
dan madrasah diniyah yang membedakan dengan lembaga pendidikan
lainnya adalah pengjaran kitab kuning atau kitab-kitab islam klasik.
Pendidikan bagi umat manusia merupakan system dan cara meningkatkan
kualitas hidup dalam segala bidang dan sesuai dengan perkembangan serta
kemajuan zaman.
Sistem merupakan seluruh keseluruhan komponen yang masing-
masing bekerja dan fungsinya. Berkaitan dengan fungsi komponen lainnya
yang secara terpadu bergerak menuju kearah satu tujuan yang telah
ditetapkan.
Komponen yang bertugas sesuai dengan fungsinya, bekerja antara satu
dengan lainnya dalam rangkaian satu sistem. System yang mampu bergerak
secara terpadu, bergerak kearah tujuan sesuai dengan fungsinya. System
pendidikan adalah satu keseluruhan terpadu dari dari semua satuaan dan
6 Ibid, hlm 44
20
kegiatan pendidikan yang berkaitan dengan lainnya untuk mengusahakan
tercapainya tujuan pendidikan.7
Sejarah perkembangan pondok pesantren memiliki model-model
pembelajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu model sistem pendidikan
dengan menggunakan metode pengajaran sorogan, wetonan dan bandongan
(menurut istilah dari jawa barat). Sementara itu Hasbullah membagi menjadi
3 sistem pembelajaran dalam pesantren yaitu.
a. Sorogan
Cara mengajar perkepala yaitu setiap santri mendapat kesempatan
tersendiri untuk memperoleh pelajaran secara langsung dari kyai.
Dengan cara ini sorogan diberikan oleh pembantu kyai yang disebut
“badal”. Mula-mula badal tersebut membacakan kitab yang tertulis
dalam bahasa Arab, kemudian menerjemahkan kata demi kata ke dalam
bahasa daerah, dan menerangkan maksudnya, setelah itu santri disuruh
membaca dan mengulangi pelajaran tersebut satu persatu, sehingga
setiap santri menguasainya.
b. Bandongan
Kyai mengajarkan kitab tertentu kepada sekelompok santri, karena
metode ini digunakan dalam proses belajar mengaji santri secara
kolektif, dimana baik kyai atau santri dalam halaqoh tersebut memegang
kitab masing-masing dan mendengarkan dengan seksama terjemahannya
7 H.M. Arifin, Kapita Selecta Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,2003)72
21
dan penjelasan kyai. Kemudian santri mengulangi dan mempelajari
secara sendiri-sendiri.
c. Wetonan
Wetonan ini merupakan suatu bentuk rutin harian, akan tetap
dilaksanakan pada waktu tertentu. Misalnya dilaksanakan pada setiap
hari jum’at, shalat subuh dan sebagainya. Kyai membaca kitab dalam
waktu tertentu dan santri dengan membawa kitab yang sama dengar dan
menyimak bacaan kyai.8
Pada umumnya pembagian keahlian lingkungan pesantren telah
melakukan pondok-pondok pesantren yang berkisar pada Nahwu-sharaf,
Fiqih, ‘aqaid, Tasawuf, Hadith, Bahasa Arab dan lain-lainnya.9 Untuk
mendalami kitab-kitab klasik tersebut, biasanya dipergunakan system
pengajaran yang dapat dikatakan konsentrasi keilmuan yang berkembang di
pesantren dan lembaga pendidikan formalnya yaitu madrasah diniyah.
Dalam madrasah diniyah proses pembelajaran dituangkan dalam
kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Kedua macam kegiatan ini
dikelola dalam seluruh proses belajar mengajar di madrasah diniyah, kedua
macam kegiatan tersebut adalah.
a. Kegiatan Intrakurikuler
8 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001) 145. 9 Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Kritik Nurkholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional),
(Jakarta: Ciputat Press,2002) 79.
22
Kegiatan belajar mengajar di madrasah diniyah yang penjatahan
waktunya telah ditentukan dalam program. Kegiatan ini dimaksud untuk
mencapai tujuan minimal pada masing-masing mata
pembelajaran/bidang studi maupun sub bidang studi. Pada prinsipnya
kegiatan intrakurikuler merupakan kegiatan tatap muka antara siswa dan
guru. Termasuk didalamnya kegiatan perbaikan dan pengayaan..
Kegiatan intrakurikuler hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai
berikut :
1) Waktu yang terjadwal dalam struktur program
2) GBPP bidang mata pembelajaran/bidang studi dari masing-masing
jenjang dan jenis madrasah sehingga tujuan yang ingin dicapai pada
akhir pelajaran dapat tercapai.
3) Berbagai sumber dan saran yang terdapat di madrasah dan
lingkungan sekitarnya
4) Pelaksanaan intrakurikuler, dapat berbentuk belajar secara klasikal,
kelompok maupun perorangan.
b. Kegiatan ekstrakurikuler
Kegiatan diluar jam pelajaran biasa, yang dilakukan didalam atau
diluar madrasah dengan tujuan memperluas pengetahuan siswa,
mengenai hubungan antara berbagai bidang pengembangan/mata
pelajaran, menyalurkan bakat dan minat, menunjang pencapaian
23
institusional, serta melengkapi upaya pembinaan manusia seutuhnya.
Kegiatan ini dilakukan secara berkala dalam waktu-waktu tertentu.
Kegiatan ekstrakurikuler hendaknya memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1) Sejauh mungkin tidak terlalu membebani siswa.
2) Memanfaatkan potensi dan lingkungan.
3) Memanfaatkan kegiatan keagamaan.
B. Akhlak
1. Pengertian Akhlak
Kata akhlak secara etimologi berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata
“Khalaqa”, kata asalnya adalah “Khuluqun” berarti adat, perangai, atau
tabiat. Secara terminologis, dapat dikatakan bahwa akhlak merupakan
pranata prilaku manusia dalam segala aspek kehidupan. Dalam pengertian
umum, akhlak dapat disamakan dengan etika atau nilai moral.10
Berdasarkan sudut pandang kabahasan definisi akhlak dalam
pengertian sehari-hari disamakan dengan “budi pekerti, kesusilaan, sopan
santun dan tata krama”. Akhlak diukur dari tingkah laku yang dilakukannya
tidak hanya sekali dua kali, tetapi sudah menjadi suatu kebiasaan dalam
lingkungan pergaulannya baik di lingkungan keluarga, di sekolah, maupun di
10 Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, Ilmu Akhlak (Bandung: Pusaka Setia,2010),13
24
tengah masyarakat. Al-Khulk, sebagai kata tunggal dan akhlak, berarti budi
pekerti, peringai, tingkah laku atau tabiat.11
Para ahli bahasa mengartikan akhlak dengan istilah watak, tabi’at,
kebiasaan, perangai, dan aturan. Sedangkan menurut para ahli ilmu akhlak,
akhlak adalah semua keadaan jiwa seseorang yang menimbulkan terjadinya
perbuatan-perbuatan seseorang dengan mudah. Dengan demikian, bilamana
perbuatan, sikap, dan pemikiran seseorang itu baik, niscaya jiwanya baik.12
Adapun definisinya, dapat dilihat beberapa pendapat dari pakar ilmu
akhlak, antara lain :
a. Al-Qurthubi mengatakan :
“Perbuatan yang bersumber dari diri manusia yang selalu dilakukan,
maka inilah yang disebut akhlak, karena perbuatan tersebut bersumber
dari kejadiannya”.13
b. Imam al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai berikut :
“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang
melahirkan tindakan-tindakan mudah dan gampang tanpa memerlukan
pemikiran ataupun pertimbangan”.14
c. Ibn Miskawih juga mendefinisikan akhlak sebagai berikut :
“khuluq adalah keadaan jiwa yang mendorong ke arah melakukan
perbuatan-perbuatan dengan tanpa pemikiran dan pertimbangan”.15
11 M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Amzah,2007), 4. 12 Aminuddin, Membangun Karakter dan Kepribadian Melalui Pendidikan Agama Islam,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006) 93. 13 Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Juz VIII,(Kairo: Dar al-Sya’bi, 1913 M) 6706. 14 Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz III (Mesir : Isa Bab al-Halaby,tt.) 53. 15 Ibn Miskawah, Tahdzib al-Akhlak Fii al-Tarbiyah,(Beirut : Dar al-Kuttub al-Ilmiah,1985) 25.
25
d. Prof. Dr. Ahmad Amin, mengemukakan bahwa :
“Akhlak merupakan suatu kehendak yang dibiasakan, artinya kehendak
itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak”. 16
e. Muhammad Ibn ‘Ilan al-Sadiqi mengatakan :
“Akhlak adalah suatu pembawaan yang tertanam dalam diri, yang dapat
mendorong (seseorang) berbuat baik dengan gampang”.17
f. Abu Bakar Jabir al-Jaziri mengatakan :
“Akhlak adalah bentuk kejiwaan yang tertanam dalam diri manusia yang
dapat menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela”.18
Dari beberapa definisi akhlak diatas dapat disimpulkan bahwa akhlak
adalah suatu perbuatan yang timbul tanpa memerlukan pemikiran karena
sudah tertanam dalam hati atau suatu perbuatan yang reflek atau yang sudah
biasa dilakukan sehingga dalam melaksanakannya tidak memerlukan
pemikiran yang panjang karena sudah terbiasa.
Masalah ahklak mempunyai peranan penting dalam perjalanan hidup
manusia, sebab ahlak memberikan norma-norma baik dan buruk, dan dapat
mementingkan sesuatu itu baik atau buruk, tidak selalu tercapai persesuaian
antara seseorang dengan orang lain. Antara satu kelompok dengan kelompok
16 Zahruddin AR, Dan Hasanuddin Sinaga., Pengantar Studi Akhlak, 4. 17 Muhammad Ibn ‘Ilan al-Sadiqi, Dalil Al-Falahin, Juz III (Mesir : Mustafa al-Bab al-Halaby,1971)
76. 18 Abu Bakar Jabir Al-Jaziri, Minhaj al-Muslim,(Madinah : Dar Umar Ibn Khattab, 1976) 154.
26
lain. Artinya bahwa dengan akhlak kesesuaian antara satu orang dengan
orang lain, kesesuaian antara satu kelompok dengan kelompok lain itu akan
di temukan. Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk berbuat baik
dan melarang kepada manusia untuk berbuat jelek, sebagaimana firman
Allah dalam qur’an surah An- Nahl ayat 90:
حسان وإيتاء ذي القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والب غي يأمر بالعدل وال إن الل
يعظكم لعلكم تذكرون
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.19
2. Macam-macam Akhlak
a. Akhlak al-Karimah
Akhlak yang mulia dilihat dari segi hubungan manusia dengan
Tuhan, dan manusia dengan manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Akhlak yang baik terhadap Allah
Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan
kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Berikut ini adalah
beberapa alasan mengapa manusia harus berakhlak baik terhadap
Allah SWT.
19 Hafizh Dasuki, dkk., Al Qur’an dan Terjemahannya, ( Bandung : Lubuk Agung,1989 ) 415.
27
a) Karena Allah telah menciptakan manusia dengan segala
keistimewaan dan kesempurnaan. Sebagai yang telah
diciptakan sudah sepantasnya manusia berterima kasih kepada
yang menciptakannya.
b) Karena Allah telah memberikan perlengkapan panca indera hati
nurani dan naluri kepada manusia. Semua potensi jasmani dan
rohani ini sangat tinggi nilainya.
c) Karena Allah menyediakan berbagai bahan dan sarana
kehidupan yang terdapat dibumi, seperti tumbuhan, air, udara,
binatang dan lain sebagainya. Semua tunduk kepada kemauan
manusia dan siap untuk dimanfaatkan.20
Dalam kehidupan sehari-hari manusia harus bersyukur kepada
Allah atas segala nikmat yang diberikan Allah SWT dan berakhlak
baik kepada Allah, agar tidak terpedaya oleh kehidupan dunia.
2) Akhlak baik terhadap diri sendiri
Berakhlak yang baik pada diri sendiri dapat diartikan
menghargai, menghormati, menyayangi, dan menjaga diri sendiri
dengan sebaik-baiknya, karena sadar bahwa dirinya itu sebagai
20 Moh. Ardani, Akhlak-Tasawuf Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadat & Tasawuf. (Jakarta:
CV Karya Mulia,2005),5-7.
28
ciptaan dan amanah Allah yang harus di pertanggung jawabkan
dengan sebaik baiknya.
3) Akhlak baik terhadap sesama manusia
Manusia sebagai makhluk social yang berkelanjutan
eksistensinya secara fungsional dan optimal banyak bergantung
pada orang lain. Karena itu perlunya menciptakan suasana yang
baik satu sama lain. Dalam kehidupan masyarakat, manusia sebagai
makhluk social yang selalu membutuhkan orang lain, untuk itu
berbuat baik terhadap sesame manusia merupakan hal terpenting
dalam kehidupan masyarakat, saling menghargai dan menghormati
akan menciptakan keharmonisan di dalam kehidupan masyarakat.21
b. Akhlak al-Madzmumah
Akhlak madzmumah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
maksiat lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir adalah segala sifat yang
tercela yang dikerjakan oleh anggota lahir seperti tangan, mulut, mata,
telinga dan sebagainya. Sedangkan maksiat batin adalah segala sefat
yang tercela yang diperbuat oleh anggota batin yaitu hati. Kita harus
selalu hati-hati dalam kehidupan sehari-hari agar senantiasa menjadi
muslim yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan Akhlak
21 Ibid,.57.
29
Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan
Akhlak pada umumnya ada tiga aliran yang sudah amat popular, Pertama
aliran Navitisme, Kedua, aliran Empirisme, dan ketiga aliran Konvergensi.22
a. Aliran Navitisme
Istilah Navitisme berasal dari kata natie yang artinya adalah
terlahir. Tokoh aliran navitisme adalah Arthur Schopenhour seorang
filsuf pendidikan yang berasal dari Jerman (1788-1860) dan J.J
Rousseau seorang filsuf pendidikan yang berasal dari Perancis. Aliran
ini lebih menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor
lingkungan dianggap kurang berpengaruh terhadap perkembangan
anak. Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan individu ditentukan
oleh bawaan sejak lahir, dengan demikian menurut aliran ini
keberhasilan belajar ditentukan oleh individu sendiri.23
Menurut aliran Navitisme bahwa faktor yang mempengaruhi
terhadap pembentukan diri seorang adalah faktor pembawaan diri dari
dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat, akal, dan
lain-lain
b. Aliran Empirisme.
Istilah Empirisme berasal dari kata empiri yang artinya
pengalaman. Aliran ini berpendapat bahwa hasil belajar peserta didik
22 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: Rajawali Pres, 2014) 143. 23 Ibid, 144.
30
besar pengaruhnya pada factor lingkungan. Tokoh aliran ini adalah
John Locke (1704-1932) seorang filsuf Inggris yang mengembangkan
teori tabularasa yaitu anak yang dilahirkan kedunia bagaikan kertas
putih. Artinya bayi yang dilahirkan kedunia masih suci dan bersih.24
Menurut aliran ini bahwa faktor yang paling berpengaruh
terhadap pembinaan akhlak adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan
sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan.
c. Aliran Konvergensi
Konvergensi berasal dari kata konvergen yang artinya bersifat
menuju satu titik pertemuan. Tokoh aliran ini adalah Wiliam Stem
(1871-1939) seorang ahli pendidikan dari Jerman. Aliran ini
berpendapat bahwa seorang anak yang dilahirkan kedunia disertai
pembawaan baik atau buruk, bakat yang dibawa anak sejak lahir tidak
berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang
sesuai untuk perkembangan bakat itu sendiri. Jadi seorang anak yang
memiliki otak yang mengarahkankanya, maka kecerdasan anak tersebut
tidak akan berkembang.
Aliran ini berpendapat bahwa pembentukan akhlak dipengaruhi
oleh faktor internal, yaitu pembawaan si anak, dan faktor dari luar yaitu
24 Ibid, 145.
31
pendidikan dan pembinaan secara khusus, atau melalui interaksi dalam
lingkungan sosial.25
Dengan demikian, faktor yang mempengaruhi peningkatan akhlak
di anak ada dua, yaitu factor dari dalam yaitu potensi fisik, intelektual
dan hal yang dibawa anak dari sejak lahir. Dan factor dari luar yang
dalam hal ini adalah kedua orang tua dirumah, guru disekolahan dan
tokoh-tokoh serta pemimpin masyarakat. Melalui kerjasama yang baik
antara tiga lembaga pendidikan tersebut, maka aspek kognitif, afektif
dan psikomotorik akan terbentuk pada diri anak. Dan inilah yang
selanjutnya dikenal sebagai manusia seutuhnya.
4. Cara Pembinaan Akhlak
Pembinaan akhlak merupakan tumpuan perhatian pertama dalam
islam. Hal ini dapat dibuktikan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad
SAW yang utama adalah menyempurnakan akhlak yang mulia. Islam
memberi perhatian besar terhadap pembinaan akhlak, pembinaan akhlak
tersebut degan menggunakan cara atau system integrated, yaitu system
yang menggunakan berbagai sarana peribadatan dan lainnya secara
stimulant untuk diarahkan pada pembinaan akhlak.26
Dibawah ini akan dikemukakan berbagai cara yang dilakukan untuk
pembentukan akhlak al-karimah, yaitu sebagai berikut:
25 H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991) 113. 26 Abdul Basit, Filsafat Dakwah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013) 58.
32
a. Melalui Pembiasaan
Pembentukan akhlak ini dilakukan sejak kecil dan berlangsung
secara kontinyu. Berkenaan dengan hal ini Imam al-Ghazali
sebagaimana yang dikutip Abuddin Nata mengatakan bahwa
kepribadian manusia itu pada dasarnya dapat menerima segala usaha
pembentukan melalui pembiasaan. Jika manusia membiasaakan dirinya
berbuat jahat, maka ia akan menjadi orang jahat.
b. Melalui Paksaan
Dalam tahap-tahap tertentu, khususnya akhlak lahiriyah dapat
pula dilakukan dengan cara paksaan yang lama kelamaan tidak terasa
dipaksa. Seseorang yang ingin menulis dan mengatakan perkataan yang
bagus misalnya, pada mulutnya ia harus memaksakan tangan dan
mulutnya menuliskan atau mengatakan kata-kata dan huruf yang bagus.
Apabila pembiasaan ini sudah berlangsung lama, maka paksaan
tersebut sudah tidak terasa lagi sebagai paksaan.
c. Melalui keteladanan
Akhlak yang baik tidak dapat dibentuk hanya dengan pelajaran,
instruksi, dan larangan. Sebab tabiat jiwa untuk menerima keutamaan
itu tidak cukup dengan hanya seseorang guru kerjakan ini dan jangan
kerjakan itu. Menanamkan sopan santun itu memerlukan pendidikan
yang panjang dan harus ada pendekatan yang lestari.
33
d. Pembinaan akhlak juga dapat dilakukan dengan cara senantiasa
menganggap diri ini sebagai yang banyak kekurangannya dari pada
kelebihannya.
e. Memperhatikan faktor kejiwaan
Menurut hasil penelitian para psikolog bahwa kejiwaan manusia
berbeda-beda menurut perbedaan tingkat usia. Pada masa kanak-kanak
misalnya lebih menyukai hal-hal yang bersifat rekreatif dan bermain.
Untuk itu ajaran akhlak disajikan dalam bentuk bermain.27
Demikian beberapa cara dalam pembinaan akhlakul karimah siswa
menurut beberapa ahli, sehingga dapat disimpulkan bahwa membina
akhlakul karimah seseorang harus dimulai dari pembiasaan melalui diri
sendiri dan lingkungan terkecil, kemudian dilanjutkan lagi dilingkungan
sekolah dan masyarakat.
27 Moh Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2004) 359.