BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Laporan Keuanganeprints.mercubuana-yogya.ac.id/1997/3/BAB...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori 1. Laporan Keuanganeprints.mercubuana-yogya.ac.id/1997/3/BAB...
14
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Landasan Teori
1. Laporan Keuangan
Laporan keuangan merupakan ringkasan dari suatu proses pencatatan,
merupakan suatu ringkasan dari transaksi-transaksi keuangan yang terjadi
selama tahun buku yang bersangkutan. Laporan keuangan ini dibuat oleh
manajemen dengan tujuan untuk mempertanggungjawabkan tugas-tugas yang
dibebankan kepadanya oleh para pemilik perusahaan. Di samping itu, laporan
keuangan dapat juga digunakan untuk memenuhi tujuan-tujuan lain yaitu
sebagai laporan kepada pihak-pihak di luar perusahaan. Agar pembaca
laporan keuangan tadi memperoleh gambaran yang jelas, maka laporan
keuangan yang disusun harus didasarkan pada prinsip akuntansi yang lazim
(Baridwan, 2013:17).
Menurut Kasmir (2017:7) laporan keuangan adalah laporan yang
menunjukkan kondisi keuangan perusahaan pada saat ini atau dalam suatu
periode tertentu. Maksud laporan keuangan yang menunjukkan kondisi
perusahaan saat ini adalah merupakan kondisi terkini. Kondisi perusahaan
terkini adalah keadaan keuangan perusahaan pada tanggal tertentu (untuk
neraca) dan periode tertentu (untuk laporan laba rugi). Laporan keuangan
(financial statement) dapat mengungkapkan dan menginformasikan empat
aktivitas perusahaan (business) perencanaan, pendanaan, investasi, dan
15
operasi (Syahrial dan Purba, 2013:3). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
laporan keuangan merupakan catatan yang berisi informasi keuangan suatu
perusahaan dalam suatu periode akuntansi yang dapat digunakan untuk
menggambarkan kondisi dan kinerja perusahaan tersebut.
Hardono, dkk (2013:111) menyatakan bahwa terdapat empat macam
laporan keuangan yang banyak dikenal, yaitu :
a. Laporan laba/rugi, menyajikan informasi laba/rugi selama satu
periode.
b. Laporan perubahan ekuitas, menyajikan informasi tentang perubahan
yang terjadi di elemen ekuitas selama satu periode.
c. Neraca (laporan posisi keuangan), menyajikan informasi tentang
posisi/kondisi dana perusahaan pada tanggal tertentu.
d. Laporan arus kas, menyajikan informasi selama satu periode tentang
beragam perubahan dan aktivitas yang melibatkan sumber daya kas.
Informasi lain yang tidak dapat memenuhi definisi transaksi tetapi
dipertimbangkan penting untuk lazimnya disajikan sebagai catatan atas
laporan keuangan (CALK).
2. Analisis Laporan Keuangan
Analisis terhadap laporan keuangan suatu perusahaan pada dasarnya
karena ingin mengetahui tingkat profitabilitas (keuntungan) dan tingkat risiko
atau tingkat kesehatan suatu perusahaan (Hanafi dan Halim, 2016:5). Menurut
Sujarweni (2017:6) analisis laporan keuangan adalah suatu proses dalam
16
rangka membantu menganalisis atau mengevaluasi keadaan keuangan
perusahaan, hasil-hasil operasi perusahaan masa lalu dan masa depan, adapun
tujuan analisis laporan keuangan adalah untuk menilai kinerja yang dicapai
perusahaan selama ini dan mengestimasi kinerja perusahaan pada masa
mendatang.
Bernstein dalam Syahrial dan Purba (2013:1) menyatakan bahwa analisis
laporan keuangan mencakup penerapan metode dan teknik analisis untuk
laporan keuangan dan data lainnya untuk melihat dari laporan itu ukuran-
ukuran dan hubungan tertentu yang sangat berguna dalam pengambilan
keputusan. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa analisis laporan keuangan adalah proses analisis dan evaluasi terhadap
laporan keuangan untuk mengetahui dan memprediksi posisi keuangan
perusahaan saat ini dalam rangka perencanaan dan pengambilan keputusan
yang tepat di masa mendatang.
Menurut Hery (2015:133) secara umum tujuan dan manfaat dilakukannya
analisis laporan keuangan adalah :
a. Untuk mengetahui posisi keuangan perusahaan dalam suatu periode
tertentu, baik aset, liabilitas, ekuitas, maupun hasil usaha yang telah
dicapai selama beberapa periode.
b. Untuk mengetahui kelemahan-kelemahan yang menjadi kekurangan
perusahaan.
c. Untuk mengetahui kekuatan-kekuatan yang menjadi keunggulan
perusahaan.
17
d. Untuk menyusun langkah-langkah perbaikan yang perlu dilakukan di
masa mendatang, khususnya yang berkaitan dengan posisi keuangan
perusahaan saat ini.
e. Untuk melakukan penilaian kinerja manajemen.
f. Sebagai pembanding dengan perusahaan sejenis, terutama mengenai
hasil yang telah dicapai.
3. Profitabilitas
Menurut Sartono dalam Fatmawati (2017:19) profitabilitas adalah
kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba dalam hubungannya dengan
penjualan, total aktiva maupun modal sendiri. Pada umumnya perusahaan
lebih menyukai pendapatan yang mereka terima digunakan sebagai sumber
utama dalam pembiayaan untuk investasi. Apabila sumber dari perusahaan
maka alternatif yang lain yang digunakan adalah dengan mengeluarkan
hutang, baru kemudian mengeluarkan saham baru sebagai alternatif lain
untuk pembiayaan.
Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba
pada periode tertentu. Laba sering kali menjadi salah satu ukuran kinerja
perusahaan, di mana ketika perusahaan memiliki laba yang tinggi berarti
kinerjanya baik dan ketika labanya rendah berarti kinerjanya kurang baik.
Laba perusahaan selain merupakan indikator kemampuan perusahaan
memenuhi kewajiban bagi para penyandang dananya juga merupakan elemen
dalam penciptaan nilai perusahaan yang menunjukkan prospek perusahaan di
18
masa yang akan datang. Laba juga sering dibandingkan dengan kondisi
keuangan lainnya, seperti penjualan, aktiva, dan ekuitas. Perbandingan ini
sering disebut rasio profitabilitas (Home and Wachowicz dalam Satriana,
2017:12).
Rasio profitabilitas merupakan rasio yang menggambarkan kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba melalui semua kemampuan dan sumber
daya yang dimilikinya, yaitu yang berasal dari kegiatan penjualan,
penggunaan aset, maupun penggunaan modal. (Hery, 2015:227).
Hery (2015:228) menyatakan bahwa biasanya penggunaan rasio
profitabilitas disesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan perusahaan. Berikut
adalah jenis-jenis rasio profitabilitas yang lazim digunakan dalam praktik
untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba :
a. Return On Assets (ROA)
Return On Assets (ROA) atau hasil pengembalian aset menurut Hery
(2015:228) merupakan rasio yang menunjukkan seberapa besar
kontribusi aset dalam menciptakan laba bersih. Dengan kata lain, rasio
ini digunakan untuk mengukur seberapa besar jumlah laba bersih yang
akan dihasilkan dari setiap rupiah dana yang tertanam dalam total aset.
Semakin tinggi hasil pengembalian aset berarti semakin tinggi pula
jumlah laba bersih yang dihasilkan dari setiap rupiah dana yang tertanam
dalam total aset.
Brigham dan Houston dalam Satriana (2017:15) menyatakan bahwa
ROA dapat dihitung rumus sebagai berikut :
19
Menurut Horne dan Wachowicz dalam Nugroho (2011:13)
menyatakan bahwa net profit margin maupun rasio perputaran aktiva
tidak dapat memberikan pengukuran yang memadai atas keseluruhan
efektifitas perusahaan. Net profit margin tidak memperhitungkan
penggunaan aktiva, sedangkan rasio perputaran aktiva tidak
memperhitungkan profitabilitas dalam penjualan. Return On Assets
(ROA) dapat mengatasi kedua kelemahan tersebut. Peningkatan dalam
daya untuk menghasilkan laba perusahaan akan terjadi jika terjadi
peningkatan dalam perputaran aktiva, peningkatan dalam net profit
margin, atau keduanya.
b. Return On Equity (ROE)
Rasio profitabilitas yang lain menurut Hanafi dan Halim (2016:82)
adalah Return On Equity (ROE). Rasio ini mengukur kemampuan
perusahaan menghasilkan laba berdasarkan modal saham tertentu. Rasio
ini merupakan ukuran profitabilitas dari sudut pandang pemegang saham.
Meskipun rasio ini mengukur laba dari sudut pandang pemegang saham,
rasio ini tidak memperhitungkan dividen maupun capital gain untuk
pemegang saham. Rasio ROE bisa dihitung sebagai berikut :
20
Menurut Kasmir (2017:204) semakin tinggi rasio ini, semakin baik.
Artinya posisi pemilik perusahaan semakin kuat, demikian pula
sebaliknya.
c. Gross Profit Margin (Margin Laba Kotor)
Menurut Hery (2015 : 231) gross profit margin merupakan rasio
yang digunakan untuk mengukur besarnya persentase laba kotor atas
penjualan bersih. Rasio ini dihitung dengan membagi laba kotor terhadap
penjualan bersih. Laba kotor sendiri dihitung sebagai hasil pengurangan
antara penjualan bersih dengan harga pokok penjualan. Berikut adalah
rumus yang digunakan untuk menghitung margin laba kotor :
Angka rasio gross profit margin yang rendah menandakan bahwa
perusahaan tersebut rawan terhadap perubahan harga baik harga jual
maupun harga pokok. Ini berarti bahwa apabila terjadi perubahan pada
harga jual atau harga pokok, perubahan ini akan sangat berpengaruh
terhadap laba perusahaan.
d. Operating Profit Margin (Margin Laba Operasional)
Margin laba operasional merupakan rasio yang digunakan untuk
mengukur besarnya persentase laba operasional atas penjualan bersih.
Rasio ini dihitung dengan membagi laba operasional terhadap penjualan
bersih. Laba operasional sendiri dihitung sebagai hasil pengurangan
21
antara laba kotor dengan beban operasional. Semakin tinggi margin laba
operasional berarti semakin tinggi pula laba operasional yang dihasilkan
dari penjualan bersih. Hal ini disebabkan karena tingginya laba kotor
dan/atau rendahnya beban operasional. Berikut rumus untuk menghitung
margin laba operasional :
(Hery, 2015:233)
e. Net Profit Margin (Margin Laba Bersih)
Margin laba bersih merupakan ukuran keuntungan dengan
membandingkan antara laba bersih setelah bunga dan pajak dibandingkan
dengan penjualan. Rasio ini menunjukkan pendapatan bersih perusahaan
atas penjualan (Kasmir, 2017:200).
Menurut Hanafi dan Halim (2016 :81) rasio ini bisa dilihat secara
langsung pada analisis common size untuk laporan laba rugi. Rasio ini
bisa diinterpretasikan juga sebagai kemampuan perusahaan menekan
biaya-biaya (ukuran efisiensi) di perusahaan pada periode tertentu.
Berikut adalah rumus untuk menghitung margin laba bersih :
Profit margin yang tinggi menandakan kemampuan perusahaan
menghasilkan laba yang tinggi pada tingkat penjualan tertentu. Profit
margin yang rendah menandakan penjualan yang terlalu rendah untuk
22
tingkat biaya yang tertentu, atau biaya yang terlalu tinggi untuk tingkat
penjualan tertentu, atau kombinasi dari kedua hal tersebut. Secara umum
rasio yang rendah bisa menunjukkan ketidakefisienan manajemen.
4. Likuiditas
Likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi
kewajiban keuangannya yang harus segera dipenuhi, atau kemampuan
perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan pada saat ditagih (Munawir
dalam Satriana, 2017:18).
Wild, et.al dalam Fatmawati (2017:22) mengatakan bahwa likuiditas
mengacu pada kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka
pendeknya. Jangka pendek secara konvensional dianggap periode hingga satu
tahun. Hal ini dikaitkan dengan siklus operasi normal perusahaan yaitu
mencakup siklus pembelian-produksi-penjualan-penagihan. Likuiditas
merupakan salah satu faktor yang menentukan sukses atau kegagalan
perusahaan. Penyediaan kebutuhan uang tunai dan sumber-sumber untuk
memenuhi kebutuhan tersebut ikut menentukan sejauh mana perusahaan itu
menanggung risiko.
Hery (2015 :175) menyatakan bahwa rasio likuiditas adalah rasio yang
menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban atau
membayar utang jangka pendeknya. Dengan kata lain, rasio likuiditas adalah
rasio yang dapat digunakan untuk mengukur sampai seberapa jauh tingkat
kemampuan perusahaan dalam melunasi kewajiban jangka pendeknya yang
23
akan segera jatuh tempo. Jika perusahaan memiliki kemampuan untuk
melunasi kewajiban jangka pendeknya pada saat jatuh tempo, maka
perusahaan tersebut dikatakan sebagai perusahaan yang likuid.
Rasio likuiditas menurut Syahrial dan Purba (2013:37) adalah
kemampuan perusahaan membayar kewajiban jangka pendek (atau utang
lancar) pada saat jatuh tempo dengan menggunakan aktiva lancar. Semakin
tinggi rasio ini adalah semakin baik artinya aktiva lancar dapat menutupi
kewajiban lancar yang disebut likuid. Akan tetapi terlalu tinggi rasio ini juga
tidak baik, karena perusahaan tidak dapat mengelola aktiva lancar dengan
efektif.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
likuiditas merupakan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban
jangka pendeknya yang harus segera dipenuhi dengan menggunakan aktiva
lancar yang dimilikinya.
Menurut Mamduh dalam Satriana (2017:18), tingkat likuiditas
perusahaan dapat dihitung dengan beberapa rasio, antara lain :
a. Quick Ratio
Quick ratio adalah perbandingan antara aktiva lancar dikurangi
persediaan dengan kewajiban lancar. Rasio ini digunakan untuk
mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya
dengan tidak memperhitungkan persediaan, karena persediaan dianggap
memerlukan waktu lama untuk diubah menjadi kas. Rasio ini dapat
dihitung dengan rumus :
24
b. Current Ratio
Current ratio adalah perbandingan antara total aktiva lancar dengan
total kewajiban lancar. Rasio ini digunakan untuk mengukur keadaan
likuiditas suatu perusahaan sebagai petunjuk untuk mengetahui
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya
dengan total aktiva lancar yang dimiliki. Rasio ini dapat dihitung dengan
rumus :
Semakin tinggi current ratio suatu perusahaan berarti semakin kecil
resiko kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka
pendeknya. Akibatnya resiko yang akan ditanggung pemegang saham
juga semakin kecil (Ang dalam Afriyanti, 2011:46).
5. Leverage
Rasio solvabilitas atau leverage ratio merupakan rasio yang digunakan
untuk mengukur sejauh mana aktiva perusahaan dibiayai dengan utang.
Artinya berapa besar beban utang yang ditanggung perusahaan dibandingkan
dengan aktivanya. Dalam arti luas dikatakan bahwa leverage digunakan untuk
mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya,
25
baik jangka pendek maupun jangka panjang apabila perusahaan dibubarkan
(Kasmir, 2017:151).
Menurut Sjahrian dalam Satriana (2017:23) leverage adalah penggunaan
aktiva dan sumber dana oleh perusahaan yang memiliki biaya tetap (beban
tetap) berarti dari sumber dana yang berasal dari pinjaman karena memiliki
bunga sebagai beban tetap dengan maksud agar meningkatkan keuntungan
potensial pemegang saham. Fakhrudin dalam Satriana (2017:23) memberikan
definisi bahwa leverage merupakan jumlah utang yang digunakan untuk
membiayai/membeli aset-aset perusahaan. Perusahaan yang memiliki utang
lebih besar dari ekuitas dikatakan sebagai perusahaan dengan tingkat leverage
yang tinggi.
Biasanya penggunaan rasio leverage disesuaikan dengan tujuan
perusahaan. Berikut ini adalah jenis-jenis rasio leverage yang lazim
digunakan menurut Hery (2015:195) :
a. Debt to Assets Ratio
Debt to Assets Ratio merupakan rasio yang digunakan untuk
mengukur perbandingan total utang dengan total aset. Dengan kata lain,
rasio ini digunakan untuk mengukur seberapa besar aset perusahaan
dibiayai oleh utang, atau seberapa besar utang perusahaan berpengaruh
terhadap pembiayaan aset (Hery, 2015:195).
Menurut Darsono dan Ashari dalam Satriana (2017:23) rasio ini
menekankan pentingnya pendanaan hutang dengan jalan menunjukkan
persentase aktiva perusahaan yang didukung oleh hutang. Jika rasio ini
26
mengalami penurunan, hal tersebut menunjukkan kinerja perusahaan
semakin meningkat sengan semakin menurunnya porsi hutang dalam
pendanaan aktiva, selain itu menunjukkan bahwa sebagian besar investasi
didanai oleh modal sendiri dan juga mengakibatkan pembayaran bunga
yang kecil. Debt to Assets Ratio dirumuskan sebagai berikut :
b. Debt to Equity Ratio
Hery (2015:196) menjelaskan bahwa Debt to Equity Ratio
merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur besarnya proporsi
utang terhadap modal. Rasio ini dihitung sebagai hasil bagi antara total
utang dengan modal. Rasio ini berguna untuk mengetahui besarnya
perbandingan antara jumlah dana yang disediakan oleh kreditur dengan
jumlah dana yang berasal dari pemilik perusahaan. Rasio ini memberikan
petunjuk umum tentang kelayakan kredit dan resiko keuangan debitur.
Semakin tinggi Debt to Equity Ratio maka berarti semakin kecil jumlah
modal pemilik yang dapat dijadikan sebagai jaminan hutang. Debt to
Equity Ratio dapat dirumuskan sebagai berikut :
Debt to Equity Ratio untuk setiap perusahaan tentu berbeda-beda,
tergantung karakteristik bisnis dan keberagaman arus kasnya. Perusahaan
27
dengan arus kas yang stabil biasanya memiliki rasio yang lebih tinggi
dari rasio kas yang kurang stabil (Kasmir, 2017:158).
c. Long Term Debt to Equity Ratio
Long Term Debt to Equity Ratio merupakan rasio antara utang
jangka panjang dengan modal sendiri. Tujuannya adalah untuk mengukur
berapa bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan
utang jangka panjang dengan cara membandingkan antara utang jangka
panjang dengan modal sendiri yang disediakan oleh perusahaan. (Kasmir,
2017:159).
Berikut ini adalah rumus yang digunakan untuk menghitung Long
Term Debt to Equity Ratio menurut Hery (2015:200) :
d. Times Interest Earned Ratio
Menurut Hery (2015:201) Times Interest Earned Ratio menunjukkan
sejauh mana atau berapa kali kemampuan perusahaan dalam membayar
bunga. Kemampuan perusahaan di sini diukur dari jumlah laba sebelum
bunga dan pajak. Rasio ini sering juga dikenal sebagai coverage ratio.
Apabila perusahaan tidak mampu untuk membayar bunga, maka dalam
jangka panjang hal ini tentu saja dapat menghilangkan kepercayaan
kreditur terhadap tingkat kredibilitas perusahaan bersangkutan. Lebih
28
dari itu, kemungkinan perusahaan menuju ke arah proses pailit
(kebangkrutan) juga semakin besar.
Secara umum semakin tinggi rasio, semakin besar kemungkinan
perusahaan dapat membayar bunga pinjaman dan dapat menjadi ukuran
untuk memperoleh tambahan pinjaman baru dari kreditor (Kasmir,
2017:160). Rumus untuk mencari Times Interest Earned Ratio menurut
Kasmir (2017:161) adalah :
6. Pertumbuhan Penjualan
Menurut Kasmir dalam Putri (2015) rasio pertumbuhan (growth ratio)
merupakan rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan
mempertahankan posisi ekonominya di tengah pertumbuhan perekonomian
dan sektor usahanya. Swastha dan Handoko dalam Farhana,dkk (2016:4)
menyatakan bahwa pertumbuhan atas penjualan merupakan indikator penting
dari penerimaan pasar dari produk dan atau jasa perusahaan tersebut, dimana
pendapatan yang dihasilkan dari penjualan akan dapat digunakan untuk
mengukur tingkat pertumbuhan penjualan.
Pertumbuhan penjualan merupakan perubahan penjualan yang ada pada
laporan keuangan per tahun. Pertumbuhan penjualan yang di atas rata-rata
bagi perusahaan umumnya didasarkan pada pertumbuhan yang cepat dari
industri dimana perusahaan itu beroperasi. Perusahaan dapat mencapai tingkat
29
pertumbuhan di atas rata-rata dengan jalan meningkatkan pangsa pasar
(Fabozzi dalam Satriana, 2017 : 20).
Berdasarkan beberapa pernyataan di atas, pertumbuhan penjualan
merupakan indikator penting bagi perusahaan sehingga perusahaan harus
mempunyai strategi yang tepat agar dapat memenangkan pasar dengan
menarik konsumen untuk selalu memilih produknya.
Menurut Weston dan Brigham dalam Farhana, dkk (2016 :5) dengan
mengetahui seberapa besar pertumbuhan penjualan, perusahaan dapat
memprediksi seberapa besar profit yang akan diperoleh. Untuk mengukur
pertumbuhan penjualan dihitung dengan penjualan sekarang dikurangi
penjualan sebelumnya dibagi penjualan sebelumnya dikali seratus persen.
Apabila persentase perbandingannya semakin besar, dapat disimpulkan
bahwa pertumbuhan penjualan semakin baik atau lebih baik dari periode
sebelumnya.
Rumus untuk menghitung pertumbuhan penjualan menurut Horne dan
Wachowicz dalam Satriana (2017:21) adalah sebagai berikut :
dimana :
Salest = penjualan tahun ini
Salest-1 = penjualan tahun lalu
30
7. Ukuran Perusahaan
Machfoedz dalam Fitri,dkk (2016) menyatakan bahwa ukuran
perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasi besar kecil
perusahaan menurut berbagai cara, antara lain total aktiva, log size, nilai pasar
saham, dan lain-lain. Pada dasarnya ukuran perusahaan hanya terbagi dalam 3
kategori yaitu perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah (medium
size), dan perusahaan kecil (small firm).
Ukuran (size) perusahaan bisa diukur dengan mengunakan total aktiva
penjualan, atau modal dari perusahaan tersebut. Salah satu tolak ukur yang
menunjukkan besar kecilnya perusahaan adalah ukuran aktiva dari
perusahaan tersebut. Perusahaan yang memiliki total aktiva besar
menunjukkan bahwa perusahaan tersebut telah mencapai tahap kedewasaan
dimana dalam tahap ini arus kas perusahaan sudah positif dan dianggap
memiliki prospek yang baik dalam jangka waktu yang relatif lama, selain itu
juga mencerminkan bahwa perusahaan relatif lebih stabil dan lebih mampu
menghasilkan laba dibanding perusahaan dengan total aktiva yang kecil
(Indriani dalam Fatmawati, 2017).
Rajan dan Zingales dalam Afriyanti (2011:45) menyebutkan bahwa
menurut teori critical, semakin besar skala perusahaan maka profitabilitas
juga akan meningkat, tetapi pada titik atau jumlah tertentu ukuran perusahaan
akhirnya akan menurunkan laba (profit) perusahaan. Teori critical resources
menekankan pada pengendalian oleh pemilik perusahaan terhadap sumber
daya perusahaan seperti aset, teknologi, kekayaan intelektual sebagai faktor-
31
faktor yang menentukan ukuran perusahaan. Dengan adanya sumber daya
yang besar, maka perusahaan dapat melakukan investasi baik untuk aktiva
lancar maupun aktiva tetap dan juga memenuhi permintaan produk. Hal ini
akan semakin memperluas pangsa pasar. Dengan adanya penjualan yang
semakin meningkat, perusahaan dapat menutup biaya yang keluar pada saat
proses produksi. Dengan begitu, laba perusahaan akan meningkat.
B. Hubungan Logis antar Variabel dan Pengembangan Hipotesis
Sesuai dengan landasan teori, maka hipotesis yang diajukan sebagai jawaban
sementara terhadap permasalahan ini adalah :
1. Hubungan Likuiditas Terhadap Profitabilitas
Likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan membayar kewajiban
jangka pendek (atau utang lancar) pada saat jatuh tempo dengan menggunakan
aktiva lancar (Syahrial dan Purba, 2013:37). Perusahaan yang memiliki
tingkat likuiditas tinggi terhindar dari resiko kegagalan melunasi kewajiban
jangka pendeknya. Pengaruh likuiditas terhadap profitabilitas menurut Horne
dan Wachowicz dalam Satriana (2017:28) adalah semakin besar tingkat aktiva
lancar, maka semakin besar likuiditas perusahaan. Dengan besarnya likuiditas
akan menghasilkan resiko yang kecil, namun profitabilitas juga kecil.
Profitabilitas akan berbanding terbalik dengan likuiditas. Artinya, semakin
tinggi likuiditas perusahaan maka kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan laba semakin rendah. Hal tersebut terjadi karena perusahaan
telah menggunakan sebagian besar dananya untuk memenuhi kewajibannya
32
atau likuiditasnya daripada digunakan untuk investasi yang dapat
menghasilkan keuntungan kembali perusahaan.
Berdasarkan uraian tersebut penulis merumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H1 : Likuiditas berpengaruh terhadap profitabilitas.
2. Hubungan Leverage Terhadap Profitabilitas
Menurut Sjahrian dalam Satriana (2017:31) leverage adalah penggunaan
aktiva dan sumber dana oleh perusahaan yang memiliki biaya tetap (beban
tetap) berarti dari sumber dana yang berasal dari pinjaman karena memiliki
bunga sebagai beban tetap dengan maksud agar meningkatkan keuntungan
potensial pemegang saham.
Salah satu rasio leverage adalah Debt to Equity Ratio (DER). Menurut
Ang dalam Afriyanti (2011:62) semakin tinggi DER akan mempengaruhi
besarnya laba (return on assets) yang dicapai perusahaan. DER mencerminkan
besarnya proporsi antara total debt dengan total Shareholder’s equity. Total
debt merupakan total liabilities (baik utang jangka pendek maupun jangka
panjang), sedangkan total shareholder’s equity merupakan total modal sendiri
(total modal saham yang disetor dan laba yang ditahan) yang dimiliki
perusahaan. Rasio ini menunjukkan komposisi total hutang semakin besar
dibanding dengan total modal sendiri, sehingga berdampak semakin besar
beban perusahaan terhadap pihak luar (kreditur).
33
Berdasarkan uraian tersebut penulis merumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H2 : Leverage berpengaruh terhadap profitabilitas.
3. Hubungan Pertumbuhan Penjualan Terhadap Profitabilitas
Perusahaan manufaktur tidak akan berjalan tanpa adanya sistem penjualan
yang baik. Penjualan merupakan ujung tombak dari sebuah perusahaan.
Dengan menggunakan rasio pertumbuhan penjualan, perusahaan dapat
mengetahui tren penjualan dari produknya dari tahun ke tahun. Brigham dan
Houston dalam Nugroho (2011:35) menyebutkan bahwa penjualan harus dapat
menutupi biaya sehingga dapat meningkatkan keuntungan. Maka dari itu,
perusahaan dapat menentukan langkah yang akan diambil untuk
mengantisipasi kemungkinan naik atau turunnya penjualan pada tahun yang
akan datang.
Perusahaan yang meningkatkan pertumbuhan penjualan dan menggunakan
aset mereka secara efisien serta mengarah pada penggunaan sumber daya yang
optimal maka akan memberikan dampak positif terhadap profitabilitas. Ketika
jumlah barang yang dijual semakin besar, maka biaya rata-rata per satuan
produk akan semakin kecil sehingga profitabilitas perusahaan akan meningkat
(Brigham dan Houston dalam Satriana, 2017:29).
Berdasarkan uraian tersebut penulis merumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H3 : Pertumbuhan penjualan berpengaruh terhadap profitabilitas.
34
4. Hubungan Ukuran Perusahaan Terhadap Profitabilitas
Rajan dan Zingales dalam Nugroho (2011:36) menyebutkan bahwa
menurut teori critical, semakin besar skala perusahaan maka profitabilitas juga
akan meningkat, tetapi pada titik atau jumlah tertentu ukuran perusahaan
akhirnya akan menurunkan laba (profit) perusahaan. Teori critical
menekankan pada pengendalian oleh pemilik perusahaan terhadap sumber
daya perusahaan seperti aset, teknologi, kekayaan intelektual sebagai faktor-
faktor yang menentukan ukuran perusahaan. Dengan adanya sumber daya
yang besar, maka perusahaan dapat melakukan investasi baik untuk aktiva
lancar maupun aktiva tetap dan juga memenuhi permintaan produk. Hal ini
akan semakin memperluas pangsa pasar. Dengan adanya penjualan yang
semakin meningkat, perusahaan dapat menutup biaya yang keluar pada saat
proses produksi. Dengan begitu, laba perusahaan akan meningkat.
Berdasarkan uraian tersebut penulis merumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H4 : Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap profitabilitas.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
likuiditas, leverage, pertumbuhan penjualan dan ukuran perusahaan dapat
mempengaruhi profitabilitas perusahaan sehingga penulis merumuskan
hipotesis sebagai berikut :
H5 : Likuiditas, leverage, pertumbuhan penjualan dan ukuran
perusahaan secara bersama-sama berpengaruh terhadap
profitabilitas.
35
C. Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No Nama
Peneliti Variabel Metode Hasil Penelitian
1. Nugroho
(2011)
Variabel
independen (X) :
Likuiditas,
Pertumbuhan
Penjualan,
Perputaran Modal
Kerja, Ukuran
Perusahaan,
Leverage
Variabel dependen
(Y) :
Profitabilitas
Regresi
linear
berganda
Likuiditas dan pertumbuhan
penjualan secara parsial tidak
berpengaruh signifikan
terhadap profitabilitas,
sedangkan perputaran modal
kerja, ukuran perusahaan dan
leverage secara parsial
berpengaruh signifikan
terhadap profitabilitas. Secara
simultan likuiditas,
pertumbuhan penjualan,
perputaran modal kerja, ukuran
perusahaan dan leverage
berpengaruh signifikan
terhadap profitabilitas.
2. Putri
(2015)
Variabel
independen (X) :
Likuiditas,
Regresi
linear
berganda
Likuiditas dan leverage secara
parsial berpengaruh signifikan
terhadap profitabilitas,
36
Leverage,
Pertumbuhan
Penjualan,
Perputaran Modal
Kerja
Variabel Dependen
(Y) :
Profitabilitas
sedangkan pertumbuhan
penjualan dan perputaran
modal kerja secara parsial tidak
berpengaruh signifikan
terhadap profitabilitas. Secara
simultan likuiditas, leverage,
pertumbuhan penjualan, dan
perputaran modal kerja
berpengaruh signifikan
terhadap profitabilitas.
3. Setiawan
(2015)
Variabel
independen (X) :
Current Ratio,
Inventory
Turnover, Debt to
Equity Ratio, Total
Asset Turnover,
dan Sales
Variabel Dependen
(Y) :
Return On Assets
(ROA)
Regresi
linear
berganda
Current Ratio dan Inventory
Turnover berpengaruh
signifikan terhadap ROA,
sedangkan Debt to Equity
Ratio, Total Asset Turnover
dan sales tidak berpengaruh
signifikan terhadap ROA.
Secara simultan Current Ratio,
Inventory Turnover, Debt to
Equity Ratio, Total Asset
Turnover, dan sales
berpengaruh terhadap ROA.
37
4. Fitri, dkk
(2016)
Variabel
independen (X) :
Debt to Equity
Ratio, Firm Size,
Inventory
Turnover, Cash
Turnover, Working
Capital Turnover,
Current Ratio
Variabel dependen
(Y) :
Profitabilitas
Regresi
linear
berganda
Cash turnover berpengaruh
positif terhadap profitabilitas,
sedangkan Debt to Equity
Ratio dan Working Capital
Turnover berpengaruh negatif
terhadap profitabilitas. Firm
size, inventory turnover dan
current ratio tidak berpengaruh
terhadap profitabilitas.
5. Satriana
(2017)
Variabel
independen (X) :
Likuiditas,
Pertumbuhan
Penjualan,
Efisiensi Modal
Kerja, Leverage
Variabel dependen
(Y) :
Regresi
linear
berganda
Likuiditas dan pertumbuhan
penjualan berpengaruh
signifikan terhadap
profitabilitas dengan arah
pengaruh berbanding terbalik,
efisiensi modal kerja tidak
berpengaruh signifikan
terhadap profitabilitas, dan
leverage berpengaruh
signifikan terhadap
38
Profitabilitas profitabilitas dengan arah
pengaruh berbanding lurus.
Secara simultan likuiditas,
pertumbuhan penjualan,
efisiensi modal kerja, dan
leverage berpengaruh
signifikan terhadap
profitabilitas
6. Kridasusila
dan
Rachmawati
(2016)
Variabel
independen (X) :
Current Ratio,
Inventory Turn
Over, dan Debt to
Equity Ratio
Variabel dependen
(Y) :
Return On Assets
Regresi
linear
berganda
Current ratio, inventory turn
over, dan debt to equity ratio
berpengaruh secara simultan
dan parsial terhadap return on
assets.
7. Fatmawati
(2017)
Variabel
independen (X) :
Struktur Modal,
Likuiditas, Ukuran
Perusahaan
Regresi
linear
berganda
Struktur modal berpengaruh
terhadap profitabilitas
sedangkan likuiditas dan
ukuran perusahaan tidak
berpengaruh terhadap
39
Variabel dependen
(Y) :
Profitabilitas
profitabilitas
(Sumber : Jurnal dan skripsi, diolah)
D. Paradigma Penelitian
Paradigma penelitian adalah pola pikir yang menunjukkan hubungan antara
variabel yang akan diteliti yang sekaligus mencerminkan jenis dan jumlah
rumusan masalah yang perlu dijawab melalui penelitian, teori yang digunakan
untuk merumuskan hipotesis, jenis dan jumlah hipotesis, dan teknik analisis
statistik yang digunakan (Sugiyono, 2007:8).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh likuiditas,
leverage, pertumbuhan penjualan dan ukuran perusahaan terhadap profitabilitas
baik secara parsial maupun simultan, maka diperlukan suatu hubungan yang
digambarkan dalam paradigma penelitian sebagai berikut :
40
Gambar 2.1
Paradigma Penelitian
(Sumber : Penulis)
Salah satu tujuan berdirinya perusahaan adalah memperoleh laba yang
maksimal. Manajemen perusahaan dituntut untuk mampu memenuhi target yang
telah ditetapkan, artinya besarnya keuntungan haruslah dicapai sesuai dengan
yang diharapkan dan bukan berarti asal untung. Untuk mengukur tingkat
keuntungan suatu perusahaan digunakan rasio keuntungan atau rasio
profitabilitas.
Pihak manajemen perlu mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
profitabilitas perusahaan agar dapat memaksimalkan laba. Dengan mengetahui
pengaruh dari masing-masing faktor terhadap profitabilitas, perusahaan dapat
menentukan langkah untuk mengatasi masalah dan meminimalisir dampak
Likuiditas
(X1)
Leverage
(X2)
Pertumbuhan Penjualan
(X3)
Ukuran Perusahaan
(X4)
Profitabilitas
(Y)
H1
H2
H3
H4
H5
41
negatif yang timbul serta dapat memonitor perkembangan perusahaan dari waktu
ke waktu. Semua faktor yang terdapat dalam sebuah perusahaan memiliki
pengaruh terhadap kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba, termasuk
likuiditas, leverage, pertumbuhan penjualan dan ukuran perusahaan. Dari
penjelasan tersebut, penulis menduga bahwa likuiditas, leverage, pertumbuhan
penjualan, dan ukuran perusahaan memiliki pengaruh terhadap profitabilitas baik
secara parsial maupun simultan.