BAB II LANDASAN TEORI A. Kehidupan Keberagamaan...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. Kehidupan Keberagamaan...
15
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kehidupan Keberagamaan Keluarga
1. Pengertian Keberagamaan dan Keluarga
a. Pengertian Keberagamaan
Kata keberagamaan adalah berasal dari kata beragama,
mendapat awalan “ke” dan akhiran “an”. Kata beragama sendiri
memeiliki arti “memeluk (menjalankan) agama”. Menurut
Poerwadarminta, agama adalah “segenap kepercayaan (kepada Tuhan,
Dewa serta sebagainya) serta ajaran kebaktian dan kewajiban-
kewajiban yang bertalian (berhubungan) dengan kepercayaan itu1.
Pengertian ini adalah pengertian agama dalam arti umum, yaitu untuk
semua jenis agama. Selanjutnya, imbuhan “ke” dan “an” pada kata
“beragama”, menjadikan kata “keberagamaan” mempunyai arti, cara
atau sikap seseorang dalam memeluk atau menjalankan
(melaksanakan) ajaran agama yang dipeluk atau dianutnya.2 Dalam
pembahasan ini, istilah agama dimaksudkan sebagai Agama Islam,
atau “dinullah” atau “dinul haq”, yaitu agama yang datang dari Allah
atau agama yang haq.
b. Beragama Dalam Berbagai Dimensi Pemahaman
Beragama pada era dewasa ini memiliki tantangan tersendiri,
karena selain dihadapkan pada makin banyaknya perspektif
pemahaman yang berbeda dalam lingkup agama tertentu di satu sisi, di
sisi lain umat beragama juga dihadapkan pada realitas beragama di
tengah agama orang lain. Budhi Munawar Rachman memberikan
deskripsi menarik tentang hal ini dengan mengatakan:
1 Purwodarminto, Kamus umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1978), hlm.
19 2 Ibid, hlm. 20.
16
“Tantangan paling besar dalam kehidupan beragama sekarang ini adalah: bagaimana seseorang beragama bisa mendefinisikan dirinya di tengah agama-agama lain. Atau dalam istilah yang lebih teknis “Berteologi dalam konsteks agama-agama”, dalam pergaulan antar agama, semakin hari kita semakin merasakan intensnya pertemuan agama-agama itu. Pada tingkat pribadi sebenarnya hubungan antar tokoh agama di Indonesia kita melihat suasana yang semakin akrab, tetapi pada tingkat teologis yang merupakan dasar dari agama itu muncul kebingungan-kebingungan khususnya yang menyangkut bagaimana kita harus mendefinisikan diri di tengah agama-agama lain yang juga eksis dan punya keabsahan.”.3
Dari realitas yang semakin mengglobal tentang agama dan
beragama yang berpadu dengan cepatnya ilmu pengetahuan dalam
berbagai perspektif yang multidimensional mengakibatkan semakin
beragamnya pemahaman beragama yang semakin lama semakin
dinamis. Hal ini tidak bisa terelakkan dikarenakan beragama bukanlah
merupakan sikap yang pasif, tetapi akhir-akhir ini beragama lebih
dipahami sebagai sikap dialogis intelektual yang proporsional antara
manusia, realitas dan Tuhan. Dalam perspektif inilah beragama
semakin menemukan momentum untuk bergerak dinamis dan
berakselerasi dengan tantangan realitas ruang dan waktu.
Nurcholish Madjid, memberikan alternatif pemahaman tentang
beragamnya pola keberagamaan dewasa ini dalam tiga kelompok besar
yaitu beragama secara eksklusif, beragama secara insklusif dan
beragama secara pluralis. Ketiga pola ini merupakan pengelompokkan
pola keberagamaan yang relatif bisa diterima. Beragama secara
eksklusif adalah beragama yang secara umum beranggapan bahwa
agamanyalah yang paling benar dan hanya agamanyalah yang mampu
memberikan penyelamatan di akherat nanti. Beragama menganut pola
ini sering diidentikkan dengan fundamentalisme yang dalam
perjalanannya memang memiliki perspektif dan pola yang hampir
sama, sedangkan beragama secara inklusif dan pluralis adalah
3 Budhi Munawar Rachman, “Beragama di Tengah Agama Orang Lain”, artikel dimuat
dalam Majalah IDEA Edisi 09/VI/1997, hlm. 32
17
beragama yang lebih terbuka dan mengakui serta memahami eksistensi
keanekaragaman teologis. Untuk lebih jelasnya berikut kutipan
pemahaman Nurcholish Madjid tentang berbagai pola beragamaan
tersebut:
“Paling tidak dewasa ini para ahli memetakkan dalam tiga sikap dialog. Pertama, sikap yang eksklusif dalam melihat agama lain (agama lain adalah jalan yang salah dan menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua sikap inklusif (agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita) dan ketiga, sikap pluralis yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan misalnya: “Agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama”, “Agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama sah”, atau “Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran”.4
Ketiga pola pemahaman ini tidak monopoli agama tertentu,
tetapi berlaku secara umum. Dalam Islampun ketiga pola beragama ini
berkembang secara intensif. Untuk lebih memperjelas pemahaman kita
tentang keanekaragaman beragama dalam Islam, berikut akan dikaji
tentang Islam eksklusif, Islam inklusif dan Islam pluralis.
1. Beragama secara Eksklusif
Beragama secara eksklusif merupakan sikap beragama yang
lebih didominasi oleh pembacaan tekstual terhadap literatur Islam.
Ekslusifisme biasanya dipahami sebagai respon tradisional sebuah
agama terhadap hubungannya dengan agama-agama lain yang
memandang agama lain dengan kacamata agama sendiri yang
didukung oleh penafsiran yang sempit atas doktrin-doktrin
keagamaan yang tertulis dalam teks suci. Sikap ini pada umumnya
dipegang teguh oleh kaum fundamentalis yaitu kelompok yang
menyakini pandangan yang ditegakkan atas keyakinan agama
sesuai dengan makna harfiah dari teks suci agama.
4 Nurcholis Madjid, “Dialog Diantara Ahli Kitab: Sebuah Pengantar”, kata pengantar
untuk George B. Grose and Benjamin J. Hubbard (editor)., Tiga Agama Satu Tuhan: Sebuah Dialog, terj. Santi Inra Anstuti, (Bandung : Mizan, 1998), hlm. XIX
18
Sikap kaum fundamentalis5 biasanya mengkonotasikan
sikap absolutisme, fanatisme, dan agresifisme. Setidaknya ada tiga
unsur yang terdapat dalam sikap kaum fundamentalis yang
biasanya juga adalah kelompok eksklusif. Pertama, adanya
statisme yang menentang penyesuaian dan kejumudan yang
menetang setiap perkembangan atau perubahan, kedua; adalah
konsep-konsep kembali ke masa lalu, keterikatan kepada warisan
dan tradisi secara eksesif dan ketiga; adalah sikap tidak memiliki
toleransi, tertutup, menganut kekerasan dalam bermadzhab,
beragama dan oposisionalisme.
Fundamentalisme dalam beragama yang akhir-akhir ini
sedang menjadi trend karena isu-isu terorisme, sebenarnya
memiliki akar sejarah yang sangat panjang, Menurut Trisno
Susanto,6 historisitas fundamentalisme justru muncul pertama kali
pada kelompok Kristen awal yang ditandai dengan serangkaian
penerbitan antara tahun 1909 sampai tahun 1919.
“Saya kira memang satu yang tidak dipungkiri bahwa fundamentalisme menjadi semacam momok untuk setiap orang setelah serangan terhadap WTC. Tetapi sesungguhnya kalau kita kembali ke istilahnya yang paling awal istilah ini berkembang justru di kalangan Kristen awal mulanya. Fundamentalisme itu kata yang kemudian dipakai untuk menyebut serangkaian penerbitan pada awal abad ke-20. Antara 1909 hingga sekitar 1919 ada terbitan brosur yang bernama The Fundamentals Testimony of Truth, itu istilah yang dipakai. Kelompok yang menerbitkan ini rata-rata para tokoh Kristen terutama kalangan Evangelical dan Protestan konservatif yang berkumpul di sekolah teologi yang dinamakan Princetown Theological Seminary di
5 Berbicara tentang fundamentalisme batasan yang tepat mengenai gerakan ini merupakan
keniscayaan yang pertama kali harus diangkat, tanpa perangkat konsep akurat kita mudah terperangkap pada dua sikap yang sama-sama kurang bijak, pertama; apriori dengan menganggap semua kekerasan dilakukan kaum fundamentalis atau sikap kedua yaitu membela kaum fundamentalis dengan keyakinan mereka tidak pernah melakukan tindak kekerasan atau dan menyakini, bahwa dalam agama tertentu Islam, misalnya tidak ada gerakan fundamentalis. Lebih lanjut lihat Abd A’la, “Fundamentalisme, Kekerasan dan Signifikansi Dialog; Cacatan Untuk Adian Husaini”, Kompas, 5 April 2002.
6 Trisno Susanto adalah seorang aktifis masyarakat dialog antar agama (Madia, Jakarta) yang juga ahli teologi dalam agama Kristen.
19
Amerika dan istilah fundamentalis pertama dipakai menurut catatan sejarah sekitar 1920 oleh seorang Kristen Baptis bernama Sisilau. Ia menyebut kelompok yang mendukung program fundamentalisme ini sebagai orang-orang fundamentalis”.7
Fundamentalisme seperti yang dideskripsikan di atas
sebenarnya bukanlah monopoli dan berlaku khusus untuk agama
tertentu, tetapi berlaku secara menyeluruh pada setiap agama. Hal
ini dalam agama Kristen Katolik dimonopoli oleh doktrin exstra
ecclesiam nulla salus est, no salvation out side the church8 (tidak
ada keselamatan di luar Gereja), klaim ini mendapat penegasan
normatif dalam Yohanes 14 : 6 yang menyatakan: Jesus said: I’m
the way and the truth and the life, no one cames to the father
except through me” ( Kata Yesus kepadanya : “Akulah” jalan dan
kebenaran dari hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada
Bapa, kalau tidak melalui Aku). Dalam Islam sikap eksklusif yang
identik dengan deskripsi di atas dapat dijumpai dalam beberapa
ayat yaitu:
) 82: العمران ( إن الدين عند الله الإسلام Artinya: "Sesungguhnya agama yang diridhoi Allah hanyalah
Islam" (Qs. Ali-Imran:19)
ا ولتجدن لتجدن أشد الناس عداوة للذين ءامنوا اليهود والذين أشرآو
أقربهم مودة للذين ءامنوا الذين قالوا إنا نصارى ذلك بأن منهم
)82: المائدة (قسيسين ورهبانا وأنهم لا يستكبرون
Artinya: “Sesungguhnya kamu akan mendapati orang-orang yang
paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yag beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (Qs. Al-Maidah: 82)
7 Trisno Susanto, “Fundamentalisme Kristen Merebak Kuat”, Jawa Pos, 24 Maret 2002. 8 Sukidi, Teologi Insklusif Cak Nur, (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2001), hlm. XXXII
20
Persoalannya kemudian adalah sikap beragama yang
diidentikkan dengan fundamentalisme atau sikap yang menjunjung
tinggi eksklusivisme akhir-akhir ini sedang menghiasi wacana
global yang oleh kalangan tertentu dinilai sebagai ancaman
terhadap perdamaian global. Berdasarkan penelitian yang cukup
akurat hampir semua pakar dan peneliti keagamaan sepakat,
fundamentalisme merupakan fenomena global yang hampir
ditemui pada semua agama besar. Meski masing-masing memiliki
hukum dan dinamikanya sendiri, semua gerakan fundamentalisme
mempunyai ciri yang khas yang nyaris serupa. Kelompok ini
merupakan gerakan dengan penggunaan simbol-simbol agama
sebagai reaksi atas modernisasi yang telah mengakibatkan krisis
kemanusiaan global dan lingkungan yang akut. Dalam respon
modernitas itu gerakan ini mencoba kembali pada agamanya di
masa lampau dengan mengangkat teks-teks suci melalui
pemahaman yang literatistik.
Kaum fundamentalis menurut Basam Tibi9 yang Islam dan
Karen Amstrong yang Kristen,10 bukanlah kaum tradisionalis,
tetapi mereka adalah modernis sejati, sebab mereka menilai tradisi
agama dalam perspektif modernitas dan mereka mengambil secara
selektif unsur-unsur penting dari dua gejala itu untuk
mengemukakan konsep political ordernya sebagai tatanan yang
bersifat agama. Pembacaaan secara harfiah adalah kaum modern
yang muncul akibat dominasi kesadaran rasional atas kesadaran
mistis. Fenomena ini berjalan dengan berkembangnya modernisasi.
Fundamentalisme adalah agama politik yang sarat dengan motif-
motif politisasi agama dan bukan agama itu sendiri, selain itu
9 Bassam Tibbi berpendapat bahwa fundamentalisme Islam hanya salah satu jenis dari
fenomena global yang mana isunya pada masing-masing kasus lebih pada idiologi politik tetang masalah ini dapat ditemukan dalam Alfan Alfian, “Momentum Kebangkitan Islam Moderat” Kompas, 1 Februari 2002.
10 Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan, terj. Rahmani Astuti, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2001), hlm. 179
21
model keberagamaan ini bisa muncul dikarenakan kekurang
mampuan mereka dalam memilah antara agama normatif dan
agama historis.
Fundamentalisme apabila kita tarik pada wilayah
historisitas Islam, maka istilah ini tergolong baru bahkan
penterjemahan fundamentalisme ke dalam bahasa Arab tidak
begitu populer kecuali setelah dua dekade terakhir.
Fundamentalisme dalam bahasa Arab disebut dengan al-Ushuliyah.
Fundamentalisme dapat dimaknai sebagai paham yang ingin
kembali pada dasar-dasar keagamaan. Akar-akarnya dapat dilihat
pada model pemikiran yang berkembang pada abad pertengahan
terutama pada pemerintahan al-Mansur dalam dinasti Abbasiyah,
ketika dasar-dasar keagamaan mulai dikodifikasi. Dasar-dasar yang
berkaitan dengan teologi disebut ushuliyah, sedangkan dalam
wilayah fiqih disebut dengan ushul fiqh.
Fundamentalisme klasik ditandai munculnya perbedaan
mendasar dalam standarisasi dan klasifikasi pemahaman
keagamaan antara kalangan sunni dan syiah, perbedaan itu amat
tergantung pada kepentingan politik saat itu, namun yang lebih
mendasar dari fundamentalisme klasik adalah kecenderungan
teosentris dan ideologis. Teosentris karena teologi yang
dikodifikasi sering menggunakan simbol-simbol ketuhanan,
sehingga tampak mendorong pada fatalisme. Seluruh urusan baik
yang bersifat duniawi maupun transenden sering dikembalikan
pada Tuhan yang akhirnya membentuk sikap kepasrahan pasif, dan
ketertundukkan apologetik. Oleh sebab itu teologi merupakan
wacana yang tidak bisa tersentuh oleh dimensi apapun, sehingga
seluruh perangkat yang merupakan elemen teologi sulit dipahami
secara bebas dan terbuka, akibatnya teologi yang amat ketat
mempunyai dampak negatif bagi pengembangan nalar keagamaan
yang progesif dan kritis. Ideologis, dikarenakan pemahaman
22
keagamaan yang teosentris itu senantiasa disesuaikan dengan
kepentingan politik.
Dari deskripsi ini dapat dimengerti dengan jelas bahwa
fundamentalisme yang berakar dari sikap eksklusif alam beragama
yang memandang teks-teks suci secara literer yang memiliki
kecenderungan tertutup yang awalnya merupakan gerakan
pemahaman agama karena adanya respon dialogis dengan
modernitas dan peradaban secara berangsur berubah menjadi
gerakan politis yang mengusung atas nama agama untuk
menyatakan eksistensi mereka11, jadi fundamentalisme yang
selama ini diidentikkan dengan agama terutama Islam sebenarnya
merupakan gerakan politisasi agama dalam kegamangan eksistensi.
2. Beragama secara Inklusif
Inklusifisme sebagai sebuah perspektif beragama adalah
respon terhadap dilema yang sangat sedìrhana yang belum
diakomodasi dalam eksklusifisme, jika kaum ekslusif mengajarkan
bahwa keselamatan hanya ditemukan dalam satu agama tertentu
dan diperoleh melalui mendengarkan dan mentaati aturan-aturan
yang ada dalam kitab suci salafiyah, maka kaum inklusifisme
melihat adanya keluasan dari kasih Tuhan dan ia diperoleh
berdasarkan cinta Tuhan kepada manusia.
Teologi inklusifistik pada awalnya dikembangkan oleh
teolog Katholik yang bernama Karl Rahner yang mengajarkan
bahwa kita tidak dilahirkan di luar hubungan dengan Tuhan
(eksklusifisme)12, tetapi dalam hubungan dengan Tuhan. Kasih
Tuhan yang dibutuhkan untuk keselamatan manusia sudah hadir
dalam diri kita sebagai karunia ilahi, artinya kasih Tuhan tidak
11 Menurut Abd A’la, dengan bahasa yang lebih berbeda melihat bahwa yang memicu
fundamentlisme adalah adalah perubahan social, lebih lanjut lihat Abd A’la, “Kekerasan, “Sumbangan” Modernisasi dan Fundamentalisme Agama”, Kompas, 1 Februari 2002.
12 Gagasan mengenai hal ini secara lebih luas dapat ditemukan dalam Sukidi, New Age : Wisata Spiritual Lintas Agama, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2001)
23
terbatas pada orang-orang tertentu saja karena kasih Tuhan
melingkupi seluruh umat manusia dari agama apapun, ras apapun
dan negara manapun.Sikap Inklusif inilah yang nantinya sebagai
dasar untuk menuju sikap pluralistik.
Secara garis besar teologi inklusif dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian, yaitu inklusifisme monistik dan inklusifisme
pluralistik.13 Inklusif monistik; Secara mendasar berargumen bahwa
keselamatan dan kebenaran bukanlah milik agama tertentu, tetapi
agama-agama lainpun memilikinya. Hanya saja, kebenaran yang
ada ada agama-agama lain tersebut diposisikan sebagai “agama
anonim”. Ada banyak tokoh yang mendukung gagasan
inklusifisme monistik ini diantaranya, Yustinus Martir, Raymundo
Pannikar, Diogness Allen dan Simone Well, diantara tokoh-tokoh
ini yang paling terkenal adalah Karel Rahner.
Inklusifisme Pluralistik; Gagasan ini didasarkan pada
ketidaksetujuan dengan realitas gagasan inklusifisme monistik.
Secara garis besar inklusifisme pluralistik beranggapan kebenaran
suatu agama bernilai sama dengan kebenaran agama-agama lain
dan tidak berposisi sebagai agama anonim. Tokoh aliran ini adalah
Schubert Ogden. Teologi ini tidak setuju dengan eksklusifisme dan
inklusifisme monistik yang bersikap ekstrem, dengan menganggap
bahwa hanya ada dan hanya mungkin ada satu agama yang benar
(there not only is, but can be only one true religion). Ogden
sebagai tokoh inklusifisme pluralistik, juga tidak sepakat dengan
pluralisme yang mengatakan, bahwa bukan hanya mungkin ada,
melainkan memang ada agama lain yang benar (there not only can
be, but are other true religion). Menurut Ogden, kita tak perlu
mengatakan memang betul-betul ada (are) banyak agama yang
benar (seperti pluralisme), tetapi cukup mengetahui bisa ada (can
13 Munawwiruzzaman, “Inklusifisme Monistik, Sebuah Sikap Keberagamaan”, Kompas,
12 Desember, 1997. Lihat dalam Sukidi, op. cit, hlm. 12-13
24
be) banyak agama yang benar (sebagai lawan tidak bisa ada, can
not be).
Melihat kedua hal di atas, masing-masing memiliki
kekuatan dan kelemahan. Kekuatan inklusifisme monistik adalah
dapat mempertahankan ke-agamaan dan menghubungkan dengan
karunia di luarnya, tanpa mengorbankan prinsip “Solus Christus”
(dalam dunia Kristen). Sedangkan kelemahannya adalah
memandang orang yang beragama lain sebagai penganut agama
anonim, dan mengabaikan perbedaan yang mendasar antara
pemeluk agama yang satu dengan yang lain. Kekuatan Ogden
sebagai contoh tokoh inklusifisme pluralistik ialah ia
mempersembahkan keselamatan manusia ke sumber yang paling
dalam, yaitu Kasih Allah. Kelemahannya, dia menganggap ringan
makna penyaliban Yesus.
Sikap inklusif dalam Islam mendapatkan pengesahan
normatif, tetapi selama ini kita mengabaikannya. al-Qur’an
menyatakan : “Tidak ada paksaan untuk beragama, sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah”,14 “Dan
sesungguhnya kami (Tuhan) telah mengutus seorang Rasul di
kalangan setiap ummat”,15 juga ayat yang menyatakan setiap
kelompok (kaum) mempunyai seorang pembawa petunjuk.16 Pada
ayat lain juga dijelaskan :
14 QS. Al Baqarah/2 : 256. lihat Al Qur’an dan Terjemahannya, (Terj. Depag), hlm. 62. 15 QS. An Nahl/16 : 36. lihat Al Qur’an dan Terjemahannya, (Terj. Depag), hlm. 407. 16 QS. Ar Ra’d/13 : 7, Lihat Al Qur’an dan Terjemahannya, (Terj. Depag), hlm. 369.
terdapat banyak penegasan dalam al-Qur’an, bahwa setiap kelompuk umat manusia (kaum) telah didatangi pengajar kebenaran, yaitu utusan dan Rasul Tuhan. Antara lain disebutkan : “Dan sungguh Kami (Tuhan) telah mengutus seorang Rasul disetiap kalangan umat”, QS. An Nahl/16 : 36. Dari prinsip bahwa setiap kelompok umat manusia telah pernah datang kepadanya utusan Tuhan (pengajar kebenaran dan keadilan), para ulama’ berselisih pendapat tentang kelompok mana sebenarnya tergolong para pengikut kitab suci. Apakah juga meliputi kelompok-kelompok agama lain di luar agama-agama Ibrahim, yakni selain Islam, Yahudi dan Kristen. Dalam hal ini relevan sekali mengemukakan pendapat ulama’ besar Indonesia, Abdul Hamid Hakim, salah seorang pendiri Madrasah Sumatera Thawalib, di Padang Panjang, Sematera Barat. Dengan mengemukakan firman-firman ilahi yang menegaskan adanaya Rasul atau pengajar kebenaran untuk setiap kelompok manusia dan dengan mengacu pada Tafsir At Thobari, Abdul Hamid Hakim menegaskan bahwa orang-orang Majusi, orang-orang Sabean, orang-orang Hindu,. Orang-
25
صى به نوحا والذي أوحينا إليك وما وصينا شرع لكم من الدين ما و
به إبراهيم وموسى وعيسى أن أقيموا الدين ولا تتفرقوا فيه
)13: الشوري (Artinya : “Ia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama, apa
yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah mengenainya” (QS. As Syura : 13).17
ا إلى نوح والنبيين من بعده وأوحينا إلى إنا أوحينا إليك آما أوحين
إبراهيم وإسماعيل وإسحاق ويعقوب والأسباط وعيسى وأيوب
)163: النسا (ويونس وهارون وسليمان وءاتينا داود زبورا
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan Nabi-Nabi yang kemudian,dan telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Ismail, Ya’kub, Ishaq dan anak cucunya. Isa, Ayub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud (QS. An Nisa’ : 163).18
orang Cina (penganut Kong Hu Cu) dan kelompok-kelompok lain seperti orang Jepang adalah para pengikut kitab-kitab suci yang mengandung ajaran tauhid, sampai sekarang”. Ia juga mengatakan “bahwa kitab-kita suci mereka itu bersifat samawi (datang dari langit, yakni wahyu Ilahi)”. Oleh karena itu tidak banyak perbedaan sebab, dia beriman kepada Tuhan dan menyembah-Nya, dan beriman kepada para Nabi dan kepada kehidupan lain, dan dia menganut pandangan hidup (agama) tentang wajibnya berbuat baik dan larangan berbuat jahat. Itulah sebabnya pemerintahan muslim sejak masa lalu sampai hari ini selalu dilindungi agama-agama lain yang tidak menganut paganisme (syirik). Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta : Paramadina, 2000), cet. IV, hlm. 16-17.
17 QS. Al Syura/42 : 13. Lihat al-Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 785. 18 QS. An Nisa’/4 : 163. Lihat al-Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 150.
26
3. Beragama secara Pluralistik
Istilah pluralisme memiliki berbagai macam arti tergantung
pada wacana yang dirujuknya, konsep itu pada awalnya
diperkenalkan oleh filsuf pencerahan seperti Immanuel Kant19 dan
tokoh filsafat pada masa pencerahan Jerman yaitu Christian
Wolf,20 yang menunjukkan sebuah doktrin tentang kesempurnaan
pandangan dunia yang mungkin dikombinasikan dengan seruan
untuk mengadopsi sudut pandang universal tentang warga negara
dunia.
Dalam bidang filsafat istilah itu menyebar ke dalam wacana
akademik yang lain pada pergantian abad ke-20, para pragmatis
seperti William James21 menggunakan kembali konsep pluralis itu
untuk menekankan implikasi-implikasi empiris dari ontologis
pluralistik. Dalam teori ekonomi dan dalam teori sosiologi yang
diilhami oleh model-model pilihan rasional, istilah pluralisme
dinisbatkan pada gagasan bahwa sistem pasar bebaslah yang
mungkin dapat menjamin persaingan terbuka bagi para produsen
dan pilihan bebas bagi para konsumen.
19 Immanuel Kant hidup antara tahun 1724-1804, ia sejajar dengan Plato dan Aristoteles
sebagai salah seorang filosuf paling penting dalam kebudayaan Barat. Karyanya sangat orisinil dan jangkauannya sangat luas. Karya tersebut dirulis dalam waktu yang sangat krusial dalam perkembangan filsafat ketika terdapat ketegangan antara loyalitas kontinental pada pemikiran rasional dan dukungan Inggris pada pengalaman inderawi. Karya-karyanya yang dibukukan pertama adalah Prolegonema to any Future Metaphysics (1783), The Critique of practical reason (1788) dan untuk lebih jelasnya lihat, Diane Collinson, Lima Puluh Filosof Dunia Yang Menggerakkan, (Jakarta : Murai Kencana, 2001), hlm. 130
20 Cristian Wolf ialah filsuf yang paling terkenal pada masa pencerahan Jerman. Ia guru besar matematika di Halle, menyebar luaskan ide-ide Leibniz. Wolf tidak mempunyai pokok-pokok ajarannya sendiri yang terkenal dengan rasionalisme ekstrimnya, pemikirannya sangat terpengaruh oleh Leibniz pada abad ke-18, sehingga dalam semua bidang ilmu pengetahuan dikemas secara sistematis sesuai alur pikiran Leibniz walaupun terjadi penyimpangan dasar pemikirannya. Sedangkan karya-karya Wolf seperti: Philosophia Prima sive ontologia:rational Thaought on God, the World and the Soul of Man and All things in General (1719).
21 William James adalah dilahirkan di New York, Amerika Serikat. Pada mulanya ia belajar biologi dan pada tahun 1861 ia masuk Laerence Scientific School (Harvard University). Perhatiannya kemudian beralih ke ilmu kedokteran dan masuk Harvard Medical School dan terakhir ia belajar filsafat pada Charles Sander Pierce. Ada beberapa hasil pemikirannya yang sangat terkenal antara lain: Pragmatism, Empirisme Radikal, The Varieties of Religious Experience dan lain sebagainya. Lihat Ali Mudhofir, Kamus Filsuf Barat, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 258
27
Dalam konteks wacana ilmu sosial pluralisme memiliki
pengertian sebagai sikap pengakuan terhadap keragaman dalam
masyarakat dan sebagai prasyarat bagi pilihan dan kebebasan
individual. Sedangkan pada wilayah agama yang kemudian dikenal
dengan pluralisme agama dapat dianalisis pada tiga tingkat yang
berurutan,22 pada tingkat makro pluralisme agama mengisyaratkan
bahwa otoritas-otoritas sosial mengakui dan menerima pluralitas
dalam bidang keagamaan, pada tingkat meso (pertengahan)
pluralisme mengisyaratkan penerimaan akan keragaman
organisasi-organisasi keagamaan yang berfungsi sebagai unit-unit
kompetitif dan akhirnya pada tingkat mikro pluralisme
mengisyaratkan kebebasan individual untuk memilih dan
mengembangkan kepercayaan pribadinya masing-masing.
Beragama secara pluralis dalam dimensi tertentu sangat
terkait pada sebuah pemahaman keberagaman yang didasari oleh
sebuah pemikiran filosofis yang lebih umum dikenal sebagai
filsafat perenial. Istilah Filsafat perennial diperkenalkan pertama
kali oleh Agustinus Steochus pada tahun 1540, sebagai judul salah
satu karyanya yang ia beri judul “De Perenni Philoshophi”. Istilah
itu kemudian dimasyhurkan oleh Leibniz23 pada tahun 1715 untuk
mengkonsepsikan suatu pemikiran yang memfokuskan diri pada
kajian tentang pencarian kebenaran di kalangan para filosof kuno
dan tentang perpisahan antara yang terang dan yang gelap harus di
mulai dan dikaji dalam perspektif ini.
Pasca Leibnizs, filsafat ini mengalami kemunduran dari
telaah intelektual, karena pada masa itu para pengkaji filsafat di
Barat lebih berorientasi pada filsafat keduniawian yang lebih
22 Ruslani, “Menuju Humanisme Agama-Agama”, Kompas, 27 Maret 2002. 23 Leibniz dilahirkan di Leipsic Jerman, ayahnya adalah profesor dalam bidang filsafat
moral. Leibniz belajar hukum dan filsafat, terutama filsafat Skolastik dan Descartes. Karya-karya besarnya antara lain; De arte combinatoria (1666), Theoria motus concreti et abstracti (1671), Monadologie (1714). Lebih lanjut lihat Ali Mudhofir, op.cit., hlm. 308
28
didasarkan pada rasionalis-positivisme. Baru pada abad XX ini
filsafat perennial muncul kembali sebagai akibat ditemukannya di
dunia Barat yang menyangkut adanya doktrin metafisika yang
lebih mengkaji dimensi yang non rasional, di dalam inti semua
tradisi yang sekaligus bersifat abadi dan universal, konsep ini
dalam perkembangannya akan mengarah pada kebenaran kekal di
pusat semua tradisi.24 Sukidi memberi ilustrasi menarik tentang
filsafat perennial ini dalam kaitannya dengan agama-agama dan
sikap keberagamaan ia mengatakan:
“Semua teoritis dasar pengetahuan perenial itu ada dan hidup dalam tradisi agama-agama yang otentik. Misalnya dalam agama Hindu di kenal konsep “Sanata Darma”, yakni kebijakan yang harus menjadi dasar konstektualisasi agama dalam situasi apapun sehingga agama selalu memanifestasikan diri dalam bentuk etis dan keluruhan hidup. Dalam analogi konprehensifnya sanata darma adalah apa yang disebut oleh Seyyead Husain Nashir sebagai primordial tradition yakni tradisi yang telah dan akan tetap menghidupi kemanusiaan yang ada begitu pula dasar dalam Taoisme atau lebih dikenal dengan konsep Tao yang secara generik berarti jalan setapak, sebagai asas yang harus diikuti sekiranya manusia mau natural sebagai manusia. Dalam agama Budhapun juga diperkenalkan konsep darma yang merupakan ajaran dasar untuk sampai pada sang Budha. Demikian setiap agama sebagai jalan menuju Tuhan berwatak plural, ia bukan sebagai tujuan tetapi hanya sekedar jalan menuju Tuhan meskipun konstruksi lahir jalan itu sangat plural beragama bahkan bertentangan, tetapi secara eksoterik, kata Huston Smith semua itu akan mencapai “Kesatuan Transendental Agama-agama”. Meminjam istilah Paul Knitter dalam bukunya, “No Other The Name? A Critical Survey of Cristian Atittudes Thoward The Word Religion”, 1985, menegaskan bahwa sesungguhnya semua agama relatif, tetapi sekaligus juga sama-sama menuju Tuhan, meski lewat jalan yang berbeda seperti Yesus Kristus sebagai bentuk perwujudan kehadiran yang Ilahi merupakan jalan keselamatan bagi orang-orang Kristen, ataupun Budha, bagi pemeluk agama Budha atau Rama sebagai jalan keselamatan orang Hindu atau juga al-Qur’an yang oleh Frithjof Schoun dinilai sebagai wujud dari kebenaran dan kehadiran sekaligus merupakan petunjuk keselamatan orang-orang Islam. Oleh sebab
24 Seyyed Husain Nasr, “Kata Pengantar”, dalam Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat
Perenial, terj. Rachmani Astuti, (Bandung : Mizan, 1998)
29
itu setiap agama sebagai jalan menuju Tuhan bisa diibaratkan seperti roda sepeda, jari-jari sepeda itu semakin jauh dari as (pusat), maka akan semakin merenggang dan sebaliknya. Secara filosofis itu diungkapkan, ”Barang siapa hanya suka melihat perbedaan-perbedaan sebagai sesuatu yang sangat penting, maka ibarat orang itu berada pada lingkaran dan berada pada posisi pinggir, tetapi barang siapa telah mampu membuka tabir (The Heart of Religion), maka semua agama akan bertemu.”25
Menurut Suhadi,26 filsafat perennial bisa diderifasikan ke
dalam tiga bidang kajian. Pertama, perenial secara bahasa berarti
kekal, abadi dan selama-lamanya. Dalam pengertian ini keabadian
hanyalah milik Tuhan dan Tuhan hanyalah satu, sehingga semua
agama yang secara formal itu berbeda-beda secara hakekat dan
intinya adalah sama. Kedua, filsafat perennial ingin membahas
fenomena pluralisme agama secara kritis, meskipun agama yang
benar hanyalah satu karena ia diturunkan kepada manusia dalam
spektrum historis dan sosiologis, maka agama dalam konteks
historis selalu hadir dalam formatnya yang pluralistik. Dalam
konteks ini setiap agama memiliki kesamaan dengan yang lain,
tetapi sekaligus juga memiliki kekhasan, sehingga berbeda. Ketiga,
filsafat perennial berusaha menelusuri akar-akar kesadaran
religiusitas seseorang atau kelompok melalui simbol-simbol, ritus
dan pengalaman-pengalaman keberagamaan. Perumusan seperti di
atas menjadikan filsafat perennial masuk pada jantung agama-
agama yang secara substantif hanya satu, tetapi terbungkus dalam
bentuk, wadah dan jalan yang berbeda.
Sikap keberagamaan dalam perspektif inilah akhir-akhir ini
sedang mendapat respon positif dengan maraknya semangat dialog
antar agama dan kepercayaan serta teologi yang menerabas sikap
sikap keangkuhan beragama dan monopoli kebenaran. Sikap
25 Sukidi, “Filsafat Perennial; Pintu Masuk Ke Jantung Agama-agama”, Ekspresi, Edisi
X/TH.VIII, Maret 1999, hlm. 24 26 Suhadi, “Menolak Legitimasi Agama; Membaca Pemikiran Abdurrahman Wahid”,
Suara Merdeka, 11 Desember 1998.
30
keberagamaan seperti juga melahirkan sikap keberagaman yang
kritis dan responsif seperti gagasan-gagasan Islam Liberal, Islam
Pos-Tradisional, Agama Post Tauhid, serta pemikiran-pemikiran
lain yang bercorak sama yaitu perombakan dan pemahaman baru
yang lebih cerah.
Dalam Islam, pengakuan adanya pluralisme adalah sebuah
keniscayaan karena secara normatif sudah jelas, tetapi sikap
dakwah kita selama ini yang mencoba menutupi dan
mengesampingkan klaim teologis keniscayaan normatif itu. al-
Qur’an dengan jelas menyatakan : “Tidak ada paksaan dalam
memeluk agama”.27 Konsekwensi logis dari ayat ini adalah
manusia itu diberi kebebasan penuh untuk berpegang kepada
agamanya atau pindah ke agama lain, sehingga kedewasaan
beragama dituntut pada level ini dan tidak ada istilah untuk
mempengaruhi dengan menggunakan propaganda-propaganda
kosong untuk memasuki sistem kepercayaan tertentu seperti yang
dilakukan dalam dakwah kita selama ini.
Pada ayat lain dinyatakan : “Untukmu agamamu dan
untukku agamaku”.28 Selain kebebasan beragama, dijamin penuh
dalam al-Qur’an pada level lain al-Qur’an juga menghargai agama
lain, bahkan berjanji memberikan pahala; seperti dalam ayat :
“Sesungguhnya orang-orang Muslim, orang-orang Yahudi, orang-
orang Nasrani dan orang-orang Sabi’in, siapa saja yang beriman
kepada Alla h dan hari kemudian serta berbuat kebajikan, bagi
27 QS. Al Baqarah/2 : 256. Lihat, Al Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 19.
Sejalan dengan tidak dibolehkannya dalam agama, terdapat isyarat dalam kitab suci bahwa setiap makhluk telah ditetapkan oleh Allah jalan hidup mereka sendiri yang kemudian menghasilkan kemajemukan masyarakat, dan kemajemukan ini hanyalah Allah yang sebab dan hikmahnya; “…..Untuk setiap kelompok dari kamu telah Kami buatkan jalan dan tata cara, jika seandainya Tuhan menghendaki, tentulah Ia akan menjadikan kamu sekalian umat yang tuggal”, QS. Al Maidah/5 : 48, serta ayat : “Dan bagi setiap umat telah Kami buatkan (ketetapan) suatu jalan (hidup) yang mereka tempuh …”. QS. Al Hajj/22 : 67.
28 QS. Al Kafirun/109 : 6. Lihat, Al Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 1112.
31
mereka adalah pahala dari Tuhan mereka. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih”.29
Menurut Fazlur Rahman,30 para mufasir muslim
mengingkari pesan yang sangat jelas dari ayat ini bahwa orang-
orang dari kaum manapun juga yang mempercayai tiga hal, yaitu
percaya kepada Allah dan hari kiamat serta berbuat baik, akan
memperoleh keselamatan. Komentator-komentator tersebut
berbelit dengan menyatakah bahwa yang dimaksud dengan Yahudi,
Kristen dan orang-orang Sabi’in pada ayat ini adalah orang yang
telah masuk Islam. Pengertian ini salah karena dalam ayat itu
sendiri telah disebutkan bahwa orang-orang muslim adalah yang
pertama di antara empat kelompok tersebut. Alasan kedua yang
diberikan oleh mufasir-mufasir Islam, setelah alasan yang pertama
gagal dan dapat dipatahkan adalah : yang dimaksudkan orang-
orang Yahudi, Kristen dan Sabi’in adalah orang-orang Kristen,
Yahudi dan Sabi’in yang saleh sebelum kedatangan Nabi
Muhammad Saw. Penafsiran ini juga salah,31 dikarenakan
pernyataan orang-orang Yahudi dan Kristen bahwa di akherat nanti
mereka sajalah yang akan memperoleh keselamatan.32 Juga
dibantah oleh al-Qur’an : “Barang siapa yang menyerahkan diri
kepada Allah sedang ia berbuat kebajikan, baginya pahala dari
29 QS. Al Baqarah/2 : 62. Lihat, Al Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 19.
Bandingkan dengan QS. Al Maidah/5 : 96, : “Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula (mereka) bersedih hati”. Lihat, Al Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 172. 30 Fazlur Rahman adalah pemikir Islam asal Pakistan yang akhirnya menjadi guru besar tentang pemikiran Islam di Universitas Chocago, USA.
31 Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Dalam al-Qur’an, (Bandung : Pustaka, 1996), cet. II, hlm. 239 (terj. Anas Mahyudin).
32 Lihat QS. Al Baqarah/2 : 111, yang artinya : “Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata : “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka”. Lihat, Al Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 30.
32
sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak pula mereka bersedih hati”.33
Faridh Esack, doktor tafsir al-Qur’an dari Afrika Selatan
dalam bukunya : “Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme :
Membebaskan Yang Tertindas”34 ia berpendapat bahwasannya
pengakuan Al-Qur’an atas pluralisme agama tampak jelas tidak
hanya dari penerimaan kaum lain sebagai komunitas religius yang
sah tetapi juga pada penerimaan kehidupan spiritualitas mereka dan
keselamatan melalui jalan yang berbeda-beda, sebagaimana Al-
Qur’an berkata : “Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan)
sebagian manusia dengan sebagian yang lain tentulah telah
dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja dan sinagog-
sinagog orang-orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya
banyak disebut nama Allah”.35
Selain ayat-ayat pluralis ini memang al-Qur’an dalam
beberapa ayat mengindikasikan lain seperti dalam ayat : “Orang-
orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu
(Muhammad) sampai engkau mengikuti agama mereka”. 36 Serta
ayat :
ياأيها الذين ءامنوا لا تتخذوا بطانة من دونكم لا يألونكم خبالا ودوا ما
عنتم قد بدت البغضاء من أفواههم وما تخفي صدورهم أآبر قد بينا
)118: العمران (ن لكم الآيات إن آنتم تعقلوArtinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi
teman kepercayaanmu orang-orang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagi kamu. Mereka menyukai apa yang menyusahkanmu, telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar.
33 QS. Al Baqarah/2 : 112. Lihat, Al Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 30. 34 Dalam Sukidi, “Tinjauan Islam atas Pluralisme Agama”, Kompas Senin 18 Juli 2001 35 QS. Al Hajj/22 : 40. Lihat, Al Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 518. 36 QS. Al Baqarah/2 : 120. Lihat, Al Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 32.
33
Tapi sesungguhnya telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami) jika kamu memahaminya” (Ali Imran : 118).37
c. Dimensi-Dimensi Keberagamaan
Keberagamaan atau religiusitas tidaklah merupakan otoritas
tetapi perlu diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan bermasyarakat.
Aktivitas keberagamaan bukan hanya terjadi ketika seseorang
melakukan aktivitas yang didorong oleh kekuatan batin dan bukan
hanya yang berkaitan dengan aktifitas yang tampak oleh mata, tetapi
juga aktifitas yang terjadi dalam hati seseorang. Oleh sebab itu
keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam dimensi yang
saling terkait dengan realitas.
Secara garis besar dimensi keberagamaan menurut Roland
Robertson38, dapat dilihat dalam 5 aspek dasar yaitu : pertama;
dimensi ideologi,39 pada dimensi ini seseorang yang beragama
berpegang pada pandangan teologi tertentu dan mengakuinya sebagai
sebuah perangkat kebenaran. Mesikupun demikian eksistensi doktrin
ini bervariasi tidak hanya diantara agama-agama, tetapi juga terjadi
pada tradisi-tradisi pada satu agama. Kedua; dimensi ritual,40 dimensi
ini juga disebut dengan dimensi peradaban karena terdiri dari berbagai
macam ritus, tindakan keagamaan secara formal dan praktek-praktek
suci. Ketiga; dimensi pengalaman,41 dimensi ini lebih berkaitan dengan
pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi dan
sensasi-sensasi yang dialami seseorang sebagai kepuasan batin.
Keempat; dimensi penghayatan dan Kelima : dimensi pengetahuan
37 QS. Ali Imran/3 : 118. Lihat, Al Qur’an dan Terjemahannya (Terj. Depag), hlm. 95. 38 Roland Robertson (editor), Agama dalam Analisa dan Intepretasi Sosiologis, Terj.
Syaifuddin, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 1993), hlm. 295-279 39 Deskripsi lebih lanjut lihat, Muslim Ishak, Pembaharuan Pemikiran Teologi di
Indonesia, (Semarang : Duta Grafika, 1988) 40 Deskripsi lebih lanjut lihat Asywalie Syukur, Pengantar Perbandingan Madzab,
(Surabaya : Bina Ilmu, 1982) 41 Wacana lebih lanjut lihat Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi, (Jakarta : Paramadina,
1999) dan lihat dalam AE Priyono, Dekonstruksi Islam Mazhab Ciputat, (Bandung : Zaman, 1999)
34
agama.42 Sedangkan menurut Mahmud Syaltud, pada dasarnya Islam
dibagi menjadi tiga bagian yaitu aqidah, syariah dan akhlaq43.
2. Pengertian Orang Tua
Orang tua dalam perspektif ini lebih diartikan sebagai keluarga.
Keluarga adalah masyarakat terkecil sekurang-kurangnya terdiri dari
pasangan suami isteri sebagai sumber intinya berikut anak-anak yang lahir
dari mereka. Atau juga dapat dipahami keluarga adalah suatu persekutuan
hidup berdasarkan perkawinan yang sah terdiri dari suami dan isteri yang
juga selaku orang tua dari anak-anak yang dilahirkannya.
Dari beberapa pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan keluarga adalah merupakan unit terkecil, tetapi
terpenting dari masyarakat yang terdiri atas suami isteri (baik mempunyai
anak atau tidak) yang terjalin dengan ikatan pernikahan dan pertalian
darah (anak) serta memiliki suatu tujuan terpadu. Dalam sebuah keluarga
setidaknya-tidaknya terdiri dari sepasang suami isteri baik mempunyai
anak atau tidak. Keluarga adalah suatu kesatuan diri pribadi-pribadi yang
ada hubungannya karena pernikahan.
Dalam hidup keluarga ini diawali dengan suatu proses pernikahan.
Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh pengakuan akan keturuna (yang
dilahirkannya), memperkokoh ikatan batin dengan saling menyayangi,
melengkapi kekurangan diri, bertanggung jawab bersama serta
menyelenggarakan kehidupan ekonomi bersama-sama dan dinikmati
secara bersama pula dalam kehidupan rumah tangga. Setiap orang yang
membentuk kehidupan berkeluarga tentu menginginkan terciptanya sebuah
keluarga atau rumah tangga yang bahagia sejahtera lahir dan batin serta
memperoleh keselamatan hidup di dunia dan di akhirat. Dari keluarga
42 Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktirn, dan Peradaban, (Jakarta ; Paramadina,1992)
Lihat juga dalam Asghar Ali Enggineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996)
43 lihat dalam Mashudi, “Pengaruh Situasi Kehidupan Agama Keluarga terhadap Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam Siswa Sekolah Dasar Negeri Gemuhblaten 01 Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal Tahun Pelajaran 1997/1998”, Skripasi FT, IIWS Semarang, (Semarang : Perpustakan IIWS, 1998) hlm. 25
35
bahagia sejahtera (keluarga sakinah) inilah kelak akan terwujud pula
masyarakat yang rukun, damai serta adil dan makmur material maupun
spiritual.
Agar keluarga sakinah (keluarga bahagia sejahtera) terwujud dan
terlaksana dengan sebaik-baiknya, maka suami isteri yang memegang
peranan utama dalam mewujudkan keluarga sakinah perlu meningkatkan
wawasan pengetahuan dan pengertian tentang bagaimana cara membina
kehidupan keluarga sesuai dengan tuntutan agama dan ketentuan hidup
bermasyarakat. Setiap anggota keluarga khususnya suami isteri diharapkan
mampu menciptakan stabilitas kehidupan rumah tangga yang penuh
dengan ketentraman dan kedamaian. Stabilitas kehidupan rumah tangga
sakinah inilah merupakan modal dasar bagi pembinaan keluaga sakinah.
Ketenangan, kedamaian dan keharmonisan keluarga sangat menentukan
terciptanya situasi yang kondusif bagi pendidikan anak-anak.
B. Motivasi Belajar Agama Islam
1. Pengertian Motivasi
Ada Deskripsi menarik tentang motifasi yang diungkapkan oleh
Nurul Khotimah dengan mengutip berbagai pendapat.
“Menurut Lester Crow, motive adalah kekuatan dinamis yang mempengaruhi pikiran, emosi dan perilaku, menurut Webster, motivasi adalah sesuatu yang merangsang seseorang untuk berbuat dengan cara tertentu atau yang menentukan kemauan : pemacu, menurut Henry Clay Lindgren, motivasi timbul ketika seseorang menyadari adanya ketidakseimbangan antara siapa dia dan bagaimana dia seharusnya, dengan demikian motivasi terdiri dari tuntutan untuk menjadi lebih memadai dan untuk menghilangkan ketidakcocokan antar apa yang terlihat dan apa yang seharusnya. Menurut Sumadi Suryabrata, motivasi adalah kekuatan yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas sedangkan menurut Yusuf Murad, motivasi secara istilah dikatakan sebagai sesuatu yang mendorong seseorang untuk bersemangat baik yang tampak dalam gerakan maupun yang tersimpan dalam pikiran. Motivasi ada yang bersifat alami dan ada yang diusahakan”.44
44 Nurul khotimah, “Respon Siswa terhadap Program Cerdas Cermat Pelajar di TVRIdan
Kaitannya dengan Motivasi Berprestasi Siswa MTs NU 01 Cepiring”, Skripsi FT IAIN Walisongo, (Semarang : Perpustakaan FT IAIN Walisongo, 1993) hlm. 26-27
36
Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwa motivasi adalah suatu
perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan
timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Dalam rumusan
tersebut ada tiga unsur yang saling berkaitan, ialah sebagai berikut:
pertama; Motivasi dimulai dari adanya perubahan energi dalam pribadi.
Perubahan tersebut terjadi disebabkan oleh perubahan tertentu, pada
sistem neurofisiologis dalam organisme manusia, misalnya; karena
terjadinya perubahan dalam sistem pencernaan, maka timbul motif lapar.
Di samping itu, ada juga perubahan energi yang tidak diketahui. Kedua;
Motivasi ditandai oleh timbulnya perasaan (affective arousal). Mula-mula
berupa ketegangan psikologis, lalu berupa suasana emosi. Suasana emosi
ini menimbulkan tingkah laku yang bermotif. Perubahan ini dapat diamati
pada perbuatannya, contoh; seseorang terlibat dalam suatu diskusi, dia
tertarik pada masalah yang sedang dibicarakan, karenanya dia bersuara
atau mengemukakan pendapatnya dengan kata-kata yang lancar dan cepat.
Ketiga; Motivasi ditandai oleh reaksi-reaksi untuk mencapai tujuan.
Pribadi yang bermotivasi memberikan respons-respons ke arah suatu
tujuan tertentu. Respon itu berfungsi mengurangi ketegangan yang
disebabkan oleh perubahan energi dalam dirinya. Tiap respons merupakan
suatu langkah ke arah mencapai tujuan. Contoh si A ingin mendapat
hadiah, maka ia belajar misalnya; mengikuti ceramah, bertanya, membaca
buku, menempuh tes, dan sebagainya.
Komponen-komponen motivasi memiliki dua komponen yaitu
komponen dalam dan komponen luar. Komponen dalam ialah perubahan
dalam diri seseorang, keadaan merasa tidak puas, ketegangan psikologis.
Komponen luar ialah keinginan dan tujuan yang mengarahkan perbuatan
seseorang. Komponen dalam adalah kebutuhan-kebutuhan yang ingin
dipuaskan, sedangkan luar ialah tujuan yang hendak dicapai. 45
45 Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta : Bumi Aksara, 1999), hlm.
106-107
37
a. Jenis-Jenis Motivasi
Para ahli mengadakan pembagian dari jenis-jenis motivasi
dikarenakan begitu banyak jenisnya. Dari teori motivasi yang ada,
dapat diajukan tiga pendekatan untuk menentukan jenis-jenis motivasi
yaitu pendekatan kebutuhan, pendekatan fungsional dan pendekatan
deskriptif. Pertama, pendekatan kebutuhan menurut Abraham
Maslow,46 bahwa motivasi dari segi kebutuhan manusia sifatnya
bertingkat-tingkat. Pemuasan terhadap tingkat kebutuhan tertentu
dapat dilakukan jika tingkat kebutuhan tertentu dapat dilakukan jika
tingkat sebelumnya telah mendapat pemuasan. Kebutuhan-kebutuhan
ini ialah; kebutuhan fisiologis, yakni kebutuhan primer yang harus
dipuaskan lebih dahulu, yang terdiri dari kebutuhan pangan, sandang
dan papan. Kemudian kebutuhan keamanan, baik keamanan batin
maupun barang atau benda dan kebutuhan sosial terdiri dari kebutuhan
perasaan untuk diterima oleh orang lain, perasaan dihormati,
kebutuhan untuk berprestasi dan kebutuhan perasaan berpartisipasi.
Dan ada juga kebutuhan berprestise yaitu kebutuhan yang erat
hubungannya degan status seseorang. Jenis-jenis kebutuhan tersebut
dapat menjadi dasar dalam upaya menggerakkan motivasi belajar
siswa. Upaya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut melalui
proses pembelajaran hanya dapat dilakukan oleh guru dalam batas-
batas tertentu.
Kedua pendektan fungsional; pendekatan ini berdasarkan
konsep-konsep motivasi yaitu penggerak, harapan dan insentif.
Penggerak adalah yang memberi tenaga, tetapi tidak membimbing,
bagaikan mesin tetapi tidak mengemudikan kegiatan. Organisme
berada dalam keadaan tegang, responsif dan penuh kesadaran. Pada
diri manusia terdapat dua sumber tenaga, yaitu sumber eksternal
(stimulasi dari lingkungan yang masuk dari luar sampai korteks
46 Ibid, hlm. 109
38
melalui jalur tertentu) dan internal (alur pikiran, simbol-simbol dan
fantasi dari pada korteks).
Harapan, adalah keyakinan sementara bahwa suatu hasil akan
diperoleh setelah dilakukannya suatu tindakan tertentu.47 Harapan-
harapan merupakan rentang antara ketentuan subjektif bahwa sesuatu
akan terjadi dan tidak akan terjadi. Ada jurang antara apa yang diamati
dengan apa yang diharapkan dalam melakukan pengamatan. Salah satu
jenis harapan ialah motif berprestasi, yaitu harapan untuk
memeperoleh kepuasan dalam penguasaan perilaku yang menantang
dan sulit.48 Berdasarkn penelitian MC.Clelland terhadap program
latihan yang direncang bagi para pengusaha di India, ia mengajukan
beberapa preposisi tentang pengembangan motif-motif baru di
kalangan orang dewasa yaitu
1) Preposisi tersebut antara lain upaya-upaya pendidikan untuk
mengembangkan suatu motif baru akan berhasil dnegan baik, bila
individu memiliki alasan-alasan yang kuat dan percaya, bahwa dia
dapat, akan, dan harus mengembangkan suatu motif.
2) Perubahan motif akan terjadi jika motif baru dijadikan sebagai
syarat untuk menjadi anggota kelompok baru
3) Perubahan motif lebih banyak terjadi, jika dia lebih banyak belajar
sendiri dan beralih dari kehidupannya yang bersifat rutin.
4) Perubahan dalam motif akan terjadi dalam suasana yang
menggairahkan dan dia dipandang sebagai orang yang mampu
membimbing dan mengarahkan perilakunya (future behavior)
5) Motif akan mempengaruhi pikiran dan tindakan, bila individu
merasa ada kemajuan pada dirinya ke arah pencapaian tujuan.
6) Motif akan mempengaruhi pikiran dan tindakan, bila individu
terlibat dalam upaya mencapai tujuan yang konkrit dalam
kehidupan yang berhubungan dengan motif tersebut.
47 Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1996), hlm. 112.
48 Oemar Hamalik, Op. Cit, hlm. 110
39
7) Motif akan mempengaruhi pikiran dan tindakan, jika individu
dapat melihat dan mengalami motif baru sebagai perbaikan
terhadap nilai-nilai kultural.
8) Motif akan mempengaruhi pikiran dan perbuatan, bila melihat
motif itu sebagai suatu perbaikan dalam citranya sendiri.
9) Motif akan mempengaruhi pikiran dan tindakan individu, jika
dikaitkan dengan peristiwa kehidupannya sehari-hari.
10) Individu mau mengembangkan motif, jika dia mampu menentukan
dengan jelas aspek-aspek suatu motif.
11) Upaya-upaya pendidikan akan berhasil dengan baik, bila individu
memahami, bahwa pengembangan motif baru bersifat realistik dan
beralasan.
12) Perubahan dalam pikiran tindakan akan terjadi, jika individu dapat
mengkaitkan motif dengan perbuatan tertentu49.
Insentif, ialah objek tujuan yang aktual. Ganjaran (reward)
dapat diberikan dalam bentuk konkrit atau dalam bentuk simbolik.
Insentif menimbulkan dan menggerakkan perbuatan, jika
disosialisasikan dengan stimulans tertentu dalam bentuk tanda-tanda
akan mendapatkan sesuatu, misalnya siswa dimotivasi dengan cara-
cara atau tanda-tanda tertentu, bahwa dia akan memperoleh uang.
Dalam hal ini, individu melakukan antisipasi dan mengharapkan
sesuatu.
Pendekatan deskriptif, masalah motivasi ditinjau dari
pengertian deskrptif yang menunjuk pada kejadian-kejadian yang
dapat diamati dan hubungan-hubungan matematik. Masalah motivasi
dilihat berdasarkan kegunaannya dalam rangka mengendalikan tingkah
laku manusia.
49 Lihat dalam Nasution Sadikin, Didaktika Asas-Asas Mengajar, (Jakarta : Bumi Aksara,
1982), hlm. 82.
40
b. Sifat-sifat Motivasi
Berdasarkan pengertian di atas dan analisa motivasi yang
dikemukakan di atas, pada pokoknya motivasi memiliki dua sifat yaitu
motivasi intrinsik dan ekstrinsik, yang saling berkaitan satu dengan
lainnya.
Pertama, motivasi instrinsik, adalah motivasi yang tercakup
dalam situasi belajar yang bersumber dari kebutuhan dan tujuan-tujuan
siswa sendiri. Motivasi ini sering disebut motivasi murni atau motivasi
yang sebenarnya timbul dari dalam diri peserta didik, misalnya
keinginan untuk mendapat ketrampilan tertentu, menikmati kehidupan,
keinginan untuk diterima orang lain, dan sebagainya. Motivasi ini
timbul tanpa pengaruh dari luar. Motivasi intrinsik adalah motivasi
yang hidup dalam diri peserta didik dan berguna dalam situasi belajar
yang fungsional. Dalam hal ini, pujian atau hadiah atau sejenisnya
tidak diperlukan, karena tidak akan menyebabkan peserta didik bekerja
atau belajar untuk mendapatkan pujian atau hadiah. Ini berarti, bahwa
motivasi intrinsik ialah bersifat nyata atau motivasi sesungguhnya,
yang disebut Sound Motivation.50
Kedua, motivasi ekstrinsik, adalah motivasi yang disebabkan
oleh faktor-faktor dari luar situasi belajar, seperti angka, kredit, ijazah,
tingkatan hadiah, medali, pertentangan dan persaingan, yang bersifat
negatif ialah sarkasme, ejekan dan hukuman.motivasi ini diperlukan di
sekolah, sebab pembelajaran di sekolah tidak semuanya menarik
minat, atau sesuai dengan kebutuhan siswa didik. Ada kemungkinan
peserta didik belum menyadari pentingnya bahan pelajaran yang
disampaikan guru. Dalam keadaan ini peserta didik bersangkutan perlu
dimotivasi agar belajar. Guru berupaya membangkitkan motivasi
belajar peserta didik sesuai dengan keadaan peserta didik itu sendiri.
50 Andrew Mc Ghie, Penerapan Psikologi Dalam Penerapan, terjemahan Eka Patinasari
(Yogyakarta : Penerbit Andi, 1996), hlm. 167.
41
Tidak ada suatu rumus tertentu yang dapat digunakan oleh guru untuk
setiap keadaan.
Antara keduanya, sulit untuk menentukan mana yang lebih
baik. Yang dikehendaki adalah timbulnya motivasi instrinsik, tetapi
motivasi ini tidak mudah dan tidak selalu dapat timbul. Di pihak lain,
guru bertanggung jawab supaya pembelajaran berhasil dengan baik
dan oleh karenanya guru berkewajiban membangkitkan motivasi
ekstrinsik pada peserta didiknya. Diharapkan lambat laun timbul
kesadaran sendiri untuk melakukan kegiatan belajar. Guru berupaya
mendorong dan merangsang agar tumbuh motivasi sendiri (self
motivation) pada diri peserta didik51. Kemunculan sifat motivasi,
apakah motivasi instrinsik atau ekstrinsik bergantung dan dipengaruhi
oleh berbagai faktor antara lain; tingkat kesadaran diri sisiwa atas
kebutuhan yang mendorong tingkah laku dan kesadaran atas tujuan
belajar yang hendak dicapainya, pengaruh kelompok siswa, bila
pengaruh kelompok terlalau kuat maka motivasinya lebih condong ke
sifat ekstrinsik. Lalu suasana di kelas juga berpengaruh terhadap
munculnya sifat tertentu pada motivasi belajar siswa. Suasana
kebebasan yang bertanggung jawab tentunya lebih merangsang
munculnya motivasi instrinsik dibandingkan dengan suasana penuh
tekanan dan paksaan.
2. Pengertian Belajar
Mustaqim, dalam bukunya yang berjudul Psikologi Pendidikan,
menulis;
“Belajar menurut Lyle E.Bourne, J.R, Bruce R.Ekstrand adalah “Learning is relatively permanent change in behaviour traceable to experince and practice”. (Belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif tetap yang diakibatkan oleh pengalaman dan latihan) Menurut Clifford T.Morgan belajar ialah peruabahan tingkah laku yang relatif tetap yang merupakan hasil pengalaman yang lalu (“Learning is any relatively permanent change in behaviour that is a result of past
51 Sofyan Abdullah, Pendidikan Bagi Anak Usia Dini, (Yogyakarta : Arrusy Media,
2004), hlm. 27.
42
experience”), Dalam kacamata Guilford belajar itu ialah perubahan tingkah laku yang dihasilkan dari rangsangan (“Learning is any change in behaviour resulting from stimulation”), Musthofa Fahmi, mendefiniskan: Bahwa belajar adalah ungkapan yang menunjuk aktivitas (yang menghasilkan perubahan-perubahan tingkah laku atau pengalaman).52
Batasan-batasan belajar di atas, secara umum dapat disimpulkan,
belajar53 adalah tingkah laku yang relatif tetap yang terjadi karena latihan
dan pengalaman. Dengan kata lain yang lebih rinci belajar adalah;
pertama, suatu aktifitas atau usaha yang disengaja, kedua : aktivitas
tersebut menghasilkan perubahan, berupa sesuatu yang baru, baik yang
segera nampak atau tersembunyi tetapi juga hanya berupa penyempurnaan
terhadap sesuatu yang pernah dipelajari, ketiga : perubahan-perubahan
meliputi; perubahan ketrampilan jasmani, kecepatan perseptual, isi
ingatan, abilitas berpikir, sikap terjhadap nilai-nilai dan inhibisi serta lain-
lain fungsi jiwa (perubahan yang berkenaan dengan aspek psikis dan
fisik), dan keempat ; Perubahan tersebut relatif bersifat konstan
a. Prinsip-Prinsip Belajar
Dari beberapa teori54 yang dikemukakan oleh para ahli dapat
dirangkum prinsip-prinsip belajar antara lain; pertama belajar akan
berhasil jika disertai kemauan dan tujuan tertentu, kedua; belajar akan
lebih berhasil jika disertai berbuat, latihan dan ulangan. Ketiga; belajar
lebih berhasil jika memberi sukses yang menyenangkan, belajar akan
lebh berhasil jika tujuan belajar berhubungan dengan aktifitas belajar
52 Mustaqim, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 33-34. 53 Kajian tentang belajar dan berbagai pendapat tentang belajar dilihat dalam Agus
Suyanto, Bimbingan ke Arah Belajar Yang Sukses, (Jakarta : Aksara Baru, 1990), hm. 10-25 54 Ada 3 teori dasar yaitu; pertama aliran Skolastik, Herbart dan Aliran ilmu jiwa daya.
Kelompok Skolastik beranggapan bahwa belajar tidak lain adalah mengulang-ulang bahan yang dipelajari makin sering diulang makin dikuasai. Sedangkan herbart bahwa jiwa manusia terdiri dari unsur kecil berupa tanggapan yang mempunyai kekuatan. Makin kuat tanggapan, maka makin besar peranannya dalam tingkah laku individu begitu sebaliknya. Dan menurut aliran ilmu jiwa daya bahwa jiwa manusia mempunyai berabagai daya, misal daya mengenal, mengingat, berkhayal, dan daya berpikir. Daya-daya tersebut dapat diperkuat fungsinya dengan mengadakan latihan misalnya untuk melatih daya ingat dengan jalan menghafal angka-angka, huruf-huruf, ungkapan yang penting disini ialah pembentukan dan penguatan daya ingat. Lihat dalam Mustaqim, op. cit hlm. 46-47
43
itu sendiri atau berhubungan dnegan kebutuhan hidupnya. Kelima;
belajar lebih berhasil jika bahan yang sedang dipelajari dipahamai,
bukan sekedar menghafal fakta. Keenam; belajar adalah proses yang
memerlukan bantuan dan bimbingan orang lain, hasil belajar
dibuktikan dengan adanya perubahan dalam diri si pelajar dan terakhir
ulangan dan latihan perlu, akan tetapi harus didahului oleh
pemahaman.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi belajar yaitu;
kesehatan jasmani dan keadaan psikis.
Pertama : Kesehatan jasmani. Kekurangan gizi biasanya
mempunyai pengaruh terhadap keadaan jasmani, mudah mengantuk,
lekas lelah, lesu dan sejenisnya terutama bagi anak-anak yang usainya
masih muda, pengaruh ini sangat menonjol. Selain kadar makanan juga
pengaturan waktu istirahat yang tidak baik dan kurang, biasanya tidak
menguntungkan. Akibatnya lebih jauh adalah daya tahan badan
menurun, yang berarti memberi daerah kemungkinan lebih luas lagi
berabagai jenis macam penyakit seperti influenza, batuk dan lainya
secara keseluruhan, badan kurang sehat sudah cukup mengganggu
aktifitas belajar, apabila sampai jatuh sakit, boleh dikata aktifitas
terhenti.
Keadaan fungsi-fungsi jasmani tertentu, seperti fungsi panca
indera, lebih-lebih mata dan telinga mempunyai pengaruh besar sekali
dalam belajar. Mungkin orang tidak menolak bila dikatakan bahwa
panca indera adalah pintu gerbang ilmu pengetahuan, hal ini
mengingat bahwa pengenalan dunia luar yang disebut pengamatan,
panca indera punya peranan penting. Hasilnya berupa kesan yang
tinggal dalam ingatan yang berikutnya membantu fantasi, demikian
terus terkaiy satu samamlain, hingga pentingnya panca indera. Oleh
karenanya guru, orang tua, harus senantiasa berusaha menjaga
44
kesehatannya, dengan jalan antara lain pemeriksaan secara teratur dan
berjangka.
Kedua : Keadaan psikis, bila menengok kembali kepada
perubahan jenis-jenis belajar, nampak dengan jelas belajar lebih
banyak berhubungan dengan aktifitas jiwa, dengan kata lain faktor-
faktor psikis memang memiliki peran yang sangat menentukan di
dalam belajar yang terdiri dari faktor perhatian, kognitif, afektif dan
motivasi.
Perhatian adalah pemusatan tenaga psikis tertuju ada suatu
objek atau banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai aktifita yang
dilakukan. Dilihat banyak sedikitnya suatu aktifitas, perhatian bisa
dibedakan; perhatian intensif dan perhatian tidak intensif. Makin
intensif perhatian belajar makin berhasillah belajar, oleh karenanya
materi dan penyampaian sebaiknya mampu menimbulkan perhatian
yang intensif. Kognitif, aspek ini terdiri dari aspek pengamatan,
fantasi, ingatan dan berfikir.
Afektif, afektif meliputi perasaan, emosi dan suasana hati.
Dalam keadaan stabil dan normal perasaan sangat menolong individu
melakukan perbuatan belajar, tetapi perasan dengan intensitas
sedemikain tinggi, sehingga pribadi kehilangan kontrol misalnya takut,
bigung, putus asa atau sangat gembira ini semua menghambat proses
belajar, sedangkan keadaan afektif individu yang lebih bersifat tetap
bisa disebut suasana hati, dan secara garis besar bisa dibedakan
menjadi suasana perasaan riang dan suasana murung.yang disebutkan
pertama membantu belajar, sedang terakhir sangat mengganggu
perbuatan belajar.
Motivasi. keadaan jiwa individu yang mendorong untuk
melakukan suatu perbuatan guna mencapai suatu tujuan bisa disebut
motivasi. Motivasi dikatakan murni bila diri individu ada keingianan
kuat untuk mencapai hasil belajar itu sendiri, misalnya individu
bekerja di kota x, jarak kota tersebut dengan tempat tinggalnya 5 km,
45
agar ia tidak terlalu lelah dan lebih cepat, ia membeli sepeda motor,
namun karena ia belum bisa mengendarai lalu belajar. Motivasi belajar
disini bisa dikatakan murni, karena tujuan utamanya adalah hasil
belajar itu sendiri. Lain halnya dnegan tujuan belajar atau yang hanya
ingin memperoleh hadiah atau ganjaran atau nilai angka. Namun perlu
dimengerti meskipun hadiah atau hukuman kurang efektf, namun jika
cara lain buntu, jalan ini bisa ditempuh untuk menggairahkan belajar
yang sifatnya sementara.55.
3. Pengertian Motivasi Belajar
Motivasi belajar berasal dari beberapa arti kata yaitu motivasi dan
belajar. Motivasi berasal dari kata “motif”, yang berarti daya penggerak
dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukn aktifitas-aktifitas tertentu
demi mencapai suatu tujuan. Motif merupakan suatu kondisi intern atau
disposisi (kesiapsiagaan). Motivasi adalah daya penggerak yang telah
menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, bila kebutuhan
untuk mencapai tujuan sangat dirasakan dan dihayati.
Motivasi belajar ialah keseluruhan daya penggerak di dalam diri
siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan
dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar itu,
maka tujuan yang dikehendaki oleh siswa tercapai. Dikatakan keseluruhan,
karena biasanya ada beberapa motif yang bersama-sama menggerakkan
siswa untuk belajar. Motivasi belajar merupakan faktor psikis, yang
bersifat non inteletual. Peranannya yang khas ialah dalam hal gairah atau
semangat belajar siswa yang bermotivasi kuat akan mempunyai banyak
energi untuk melakukan kegiatan belajar. Motivasi belajar dapat
dikelompokkan menjadi dua bentuk yaitu motivasi ekstrinsik dan
intrinsik.
Motivasi ekstrinsik adalah bentuk motivasi yang di dalamnya
aktifitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan suatu dorongan yang
tidak secara mutlak berkaitan dengan aktifitas belajar. Misalnya anak rajin
55 Mustaqim, op. cit, hlm. 70-77
46
belajar untuk memperoleh hadiah yang telah dijanjikan kepadanya oleh
orang tua. Motivasi intrinsik adalah bentuk motivasi yang di dalamnya
aktifitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan suatu dorongan yang
secara mutlak berkaitan dnegan aktivitas belajar. Misalnya anak belajar
karena ingin mengetahui seluk beluk suatu maslaah selengkap-lengkapnya.
Siswa yang bermotivasi intrinsik mempunyai tujuan menjadi orang yang
terdidik, yang berpengetahuan, yang ahli dalam bidang studi tertentu dan
lain sebagainya. Satu-satunya jalan menuju ke tujuan yang ingin dicapai
ialah belajar, tanpa belajar, tidak mungkin menjadi ahli. Dorongan yang
mengerakan itu bersumber pada suatu kebutuhan, kebutuhan kali ini
berisikan keharusan untuk menjadi orang terdidik dan lain sebagainya.
Siswa yang bermotivasi ekstrinsik, juga mempunyai suatu tujuan tetapi
tujuannya lain dari menjadi orang yang berpengetahuan dan lain
sebagainya. Kegiatan belajar dilakukan untuk mencapai tujuan itu, tetapi
sebenarnya tidak mutlak perlu belajar untk mencapai tujuan, dnegan kata
lain kegiatan belajar hanya dianggap sebagai alat atau sarana. Hubungan
antara kegiatan belajar dan tujuan yang akan dicapai tdak mutlak; yang
satu dapat dilepaskan dari yang lain. Misalnya untuk memperoleh pujian
dari orang tua, siswa dapat melakukan berbagai kegiatan, bukan hanya
kegiatan belajar.56
C. Pengaruh Kehidupan Keberagamaan Orang Tua terhadap Motivasi
Siswa Dalam Belajar PAI
Motivasi belajar anak menurut Slameto57 dipengaruhi beberapa faktor
yaitu : pertama, faktor internal yang meliputi faktor jasmaniah yaitu kesehatan
dan cacat tubuh, faktor psikologis yang meliputi intelegensi dan perhatian,
minat, bakat, motif, kematangan dan kesiapan serta kelelahan. Kedua, faktor-
faktor ekternal yang meliputi faktor keluarga yang terdiri dari cara orang tua
56 Winkel SJ, Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar, (Jakarta : Gramedia, 1983),
hlm. 27-28 57 Slameto, Belajar dan Faktor-Faktor yang mempengaruhinya, (Jakarta : Rineka Cipta,
1990), hlm. 56
47
mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi
keluarga, pengertian orang tua, dan latarbelakang kebudayaan. Ketiga, faktor
sekolah yang terdiri metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan murid,
relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, waktu sekolah, standart pelajaran
di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar dan tugas rumah. Keempat,
Faktor masyarakat, meliputi keadaan siswa dalam masyarakat, mass media,
teman bergaul dan bentuk kehidupan bermasyarakat.
Dari pengertian ini dapat dimengerti bahwa ada empat komponen
penting yang mempengaruhi motivasi belajar anak yaitu kondisi anak itu
sendiri, keluarga, sekolah dan masyarakat. Keluarga merupakan salah satu
aspek penting dalam proses ini dikarenakan sebagian besar waktu bagi anak
dihabiskan bersama keluarga. Bagaimanapun juga faktor keluarga tidak dapat
berdiri sendiri, tetapi terkait dengan faktor yang lain dan terpola dalam
berbagai dimensi baik itu kondidi ekonomi, tingkat pendidikan orang tua,
situasi keluarga dan keberagamaan. Dari sini bisa dimengerti keberagamaan
keluarga merupakan salah satu dimensi dari faktor keluarga secara umum
yang mempengaruhi motivasi belajar anak.
Menurut Mulyono Notosudirjo, sepanjang sejarah manusia terdapat
hubungan yang dekat dan tidak mungkin dipisahkan yaitu keluarga, ibu, ayah
dan anak. Sekalipun dalam kehidupan itu terdapat perubahan dalam sistem
budaya dan sosial kemasyarakatan, kenyataannya ikatan ketiga hal itu tetap
dipertahankan58. Keluarga mempunyai arti yang penting buat anak. Kehidupan
keluarga tidak hanya berfungsi memberikan jaminan makan kepada anak
melainkan juga memegang fungsi lain yang penting bagi perkembangan anak.
1. Sosialisasi Anak
Anak bersosialisasi yaitu belajar hidup dalam pergaulan pertama-
tama dilakukan dalam lingkup keluarga. Anak belajar untuk dapat bergaul
dengan orang lain dapat terlakasana apabila dia dibesarkan dalam
lingkungan keluarga yang baik. Sosialisasi yang terjadi dalam lingkungan
58 Moelyono Notosoedirdjo, Kesehaatan Mental : Konsep dan Penerapan, (Malang :
UMM, 1999), hlm. 173
48
keluarga disebut sosialisasi domestik59. Pada sosialisasi ini bayi belajar
untuk dapat mengadakan antisipasi dengan baik. Kelusrga mempunyai
tugas meneruskan norma-norma dan budaya hidup kepada anak dalam
keluarga tersebut. Pada periode ini anak belajar mengenal akan dirinya
sendiri, siapa dir itu, bagaimana dia itu mengadakan suatu konsepsi diri
dan mengenal yang dia mampu dan tidak mampu lakukan. Ini semua akan
memberikan kemantapan pada pembentukan kepribadian anak, terutama
yang terkait dengan perkembangan berikutnya dalam merespon pengaruh
lingkungan baik neatif maupun positif.
Mengingat pentingnya peran keluarga bagai penyelesaian berbagai
masalah yang dihadapi anak maka keluarga perlu menyediakan waktu
untuk berkumpul sambil minum atau makan bersama, di waktu ini ank
dapat mengeluarkan emosinya, mendapat tanggapan, kritik dan pandangan
dari saudara-saudaranya dan orang tuanya tentang bagimana anak harus
bersikap dalam situasi yang begitu itu.
2. Tata Cara Kehidupan Keluarga
Tata cara kehidupan keluarga akanmemberikan suatu sikap serta
perkembangan anak. Anak yang dibesarkan dalam susunan keluarga yang
demokratis membuat ia mudah bergaul, aktif dan ramah tamah. Anak
belajar menerima pandangan pandangan orang lain, belajar dengan bebas
mengemukakan pandangannya sendiri dan mengemukakan alasan
alasannya.
Anak yang dibesarkan dengan situasi keluarga yang sering
membiarkannya akan membuat anak tidak aktif dalam kehidupan sosial,
perkembangan fisik terhambat, mengalami banyak frustasi dan memiliki
kecenderungan untuk mudah membenci orang. Sedangkan anak yang
dibesarkan dalam keluarga yang otoriter, anak cenderung tidak melawan
tenang, dan selalu berusaha menyesuaikan dirinya dengan kehendak orang
lain (orang tua), sehingga kreatifitas anak berkurang.60
59 Ibid, hlm. 174 60 Ibid, hlm. 176
49
Menurut Sri Suprapti, berdasarkan penelitian di AS terhadap 15.000
remaja menunjukkan bahwa jika peran ayah dalam pendidikan anak
berkurang/terabaikan maka terjadi peningkatan yang signifikan (1) jumlah
anak putri belasan tahun hamil tanpa nikah, (2) kriminalitas yang dilakukan
oleh anak-anak dan (3) patologi psiko-sosial. Lebih lanjut ditemukan juga
bahwa absennya peranan ayah jauh lebih signifikan dampak negatifnya bagi
anak dibandingkan absennya peran ibu. Sebaliknya jika dalam keluarga ayah
berperan dalam pendidikan anaknya akan meningkatkan prestasi belajarnya61.
Ayah menurut Bloir dapat berperan penting bagi perkembangan pribadi anak, baik sosial, emotional maupun intelektualnya. Pada diiri anak akan tumbuh motivasi, kesadaran diridan identitas skill sehingga memberi peluang untuk sukses belajarnya, identitas gender yang sehat, perkembangan moral dengan nilainya dan sukses lebih primer dalam keluarga dan kerja. Terhadap semua itu peran ayah yang paling kuat adalah terhadap prestasi belajar anak dan hubungan sosial yang harmonis. Menurut National parent Asosiation yang mendasarkan hasil penelitiannya selama 30 tahun terakhir menyimpulkan manfaat peran ayah bagi anak adalah makin baiknya pertumbuhan secara fisik, sosio-emotional, keterampilan kognitif pengetahuan dan bagaimana anak belajar sehingga prestasi belajarnya lebih tinggi. Hasil penelitian US Departement of Education yang di acu Wood Elementary Dad’s Club, diperoleh bahwa siswa-siswa yang mendapat nilai A ternyata 51% ayah dan ibu yang berperan pada aras tinggi atau 48% hanya ayah saja atau 44% ibu saja yang berperan tinggi62. Dari kutipan ini jelaslah bahwa keluarga memiliki peran penting
dalam proses pengembangan anak baik itu kepribadian maupun prestasi yang
menyangkut pula motivasi belajar karena dari lingkup keluarga inilah anak
belajar dalam prosesnya yang dimanis. Ada juga dua buah hadis riwayat dari
Abu Hurairah dan Asy-Syu’bi yang dimuat dalam kitab Tambihul Ghofilin63
yang memiliki korelasi penting dengan kajian ini
61 Sri Suprapti, “Peran Ayah dan Prestasi Belajar Anak”, Isnpirasi, 20-30 Juni 2004 hlm.
6 62 Ibid 63 Al Faqih Abu Laits Samarqonsi, Tambihul Ghofilin : Pembangun Jiwa Moral Ummat,
terj. Abu Imam Taqiyudin, (Malang : Darul Ihya, 1986), hlm. 125
50
من حق الولد علي الولد ثالثة اشياء ان يحسن اسمه اذا ولد ويعلمه الكتاب اذا
عقل ويزوجه اذا ادركArtinya : "Diantara kuajiban orang tua terhadap anaknya sedikitnya ada tiga
hal yaitu memberi nama yang baik ketika lahir, mendidiknya sesuai kemampuannya dan mengawinkannya ketika sudah dewasa".
رحم اهللا ولد اعان ولداه علي بره
Artinya : "Allah selalu mengasihi orang tua yang mendorong anaknya berbakti kepadanya dalam artian dia tidak memerintahnya sesuatu diluar kemampuannya".