BAB II LANDASAN TEORI A. 1. a. - abstrak.ta.uns.ac.id file11 b. Anatomi Fisiologi Nyeri Bagian dari...

44
9 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Nyeri a. Pengertian Nyeri Menurut sejarah telah dikemukakan berbagai teori untuk mendefinisikan dan menguraikan nyeri. Di tahun 1968, Me Caffery yang dikutip dari Kuntana tahun 2010, mendefinisikan nyeri sebagai apapun yang dikatakan oleh yang mengalaminya, ada di tempat maupun yang dikatakan olehnya. Definisi ini menggaris bawahi bahwa nyeri adalah pengalaman subyektif dan tidak memiliki parameter obyektif untuk pengukurannya. Definisi ini menekankan bahwa yang lebih mengetahui tentang nyeri adalah pasien yang mengalaminya dan bukan dokter, laporan pasien itu sendiri adalah indikator yang paling dapat diandalkan. International Asssociatin for the Study of Pain (IASP) mengajukan definisi nyeri yang diterima secara paling luas. Definisi ini kini yang sedang digemari, menjabarkan nyeri sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang terkait dengan kerusakan jaringan yang benar-benar ada dan berpotensi untuk terjadi atau dapat diartikan sebagai kerusakan. Definisi ini menekankan bahwa tanpa memandang ada atau tidaknya kerusakan jaringan yang dapat dikenali, nyeri adalah pengalaman kompleks yang memiliki beragam dimensi.

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI A. 1. a. - abstrak.ta.uns.ac.id file11 b. Anatomi Fisiologi Nyeri Bagian dari...

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Nyeri

a. Pengertian Nyeri

Menurut sejarah telah dikemukakan berbagai teori untuk

mendefinisikan dan menguraikan nyeri. Di tahun 1968, Me Caffery yang

dikutip dari Kuntana tahun 2010, mendefinisikan nyeri sebagai apapun

yang dikatakan oleh yang mengalaminya, ada di tempat maupun yang

dikatakan olehnya. Definisi ini menggaris bawahi bahwa nyeri adalah

pengalaman subyektif dan tidak memiliki parameter obyektif untuk

pengukurannya. Definisi ini menekankan bahwa yang lebih mengetahui

tentang nyeri adalah pasien yang mengalaminya dan bukan dokter,

laporan pasien itu sendiri adalah indikator yang paling dapat diandalkan.

International Asssociatin for the Study of Pain (IASP) mengajukan

definisi nyeri yang diterima secara paling luas. Definisi ini kini yang

sedang digemari, menjabarkan nyeri sebagai suatu pengalaman sensorik

dan emosional yang tidak menyenangkan yang terkait dengan kerusakan

jaringan yang benar-benar ada dan berpotensi untuk terjadi atau dapat

diartikan sebagai kerusakan. Definisi ini menekankan bahwa tanpa

memandang ada atau tidaknya kerusakan jaringan yang dapat dikenali,

nyeri adalah pengalaman kompleks yang memiliki beragam dimensi.

10

Nyeri dipengaruhi oleh beragam faktor seperti faktor fisik, kognitif,

afeksi dan lingkungan pasien tersebut.

Model biologis menguraikan nyeri sebagai sinyal peringatan

terjadinya kerusakan jaringan. Teori ini memandang lintasan spesifik

sebagai sumber tunggal nyeri sehingga jika terapi konservatif gagal,

teknik bedah akan berhasil memecahkan masalah tersebut. Saat ini ada

pergeseran paradigma manajemen nyeri dari pendekatan biomedis ke

pendekatan biopsikososial, yang menawarkan platform yang lebih luas

untuk memadukan masukan-masukan dari beragam faktor seperti yang

diidentifikasikan dalam definisi International Asssociatin for the Study of

Pain (Kuntana, 2010).

Nyeri didefinisikan sebagai suatu rasa yang tidak menyenangkan

dan merupakan pengalaman emosional yang berhubungan dengan

kerusakan jaringan actual maupun potensial dan terkadang nyeri

digunakan untuk menyatakan suatu kerusakan jaringan. Nyeri merupakan

suatu pengalaman sensorik yang berbeda dengan modalitas sensorik

lainnya. Sebagai contoh sentuhan merupakan suatu stimulus perifer yang

dipersepsi sebagai rangsang sentuh, sedangkan nyeri merupakan

fenomena yang kompleks yang dijelaskan dengan berbagai terminology

dalam teori yang pluridimensional meliputi system sensorik, emosional,

motorik maupun komponen budaya ( Parjoto, 2006 ).

11

b. Anatomi Fisiologi Nyeri

Bagian dari saraf diseluruh jaringan tubuh yang menerima impuls

dinamakan reseptor. Kepadatan reseptor di jaringan tubuh berbeda-beda

dan jenis reseptor cukup banyak. Ada yang peka terhadap peregangan,

suhu, zat, kimia, akan tetapi ada pula yang peka terhadap berbagai

stimulasi dan tipe ini merupakan reseptor polimodal. Reseptor polimodal

lebih sering disebut sebagai nosiseptor, dan kebanyakan berupa akhiran

serabut saraf C dan serabut saraf A. Akan tetapi serabut saraf A

terutama diartikulasi mempunyai akhiran nosiseptor disamping A dan C.

Saraf kutan manusia mengandung serabut bermielin yang

bervariasi diameternya, mulai dari 1 µm sampai 16µm. Juga mengandung

serabut tanpa selubung myelin dengan diameter kurang dari 2µm. Serabut

bermielin disebut serabut A yang untuk nyeri terbagi atas Abeta dan

Adelta, sedangkan serabut tanpa myelin disebut serabut saraf C. Semua

serabut mempunyai badan sel yang terletak di ganglion spinalis pada

radik dorsalis. Sekitar 60-70% serabut saraf sensorik adalah termasuk

kelompok C (Byers dan Bonica, 2001).

12

Tabel 2.1 Klasifikasi Serabut Saraf Aferen

Nama

(System

Latter)

Diamter

Mm

KHSP/m/detik

KHSP: Kecepatan

Hantar Saraf

Perifer

Reseptor

A 10-20 70-120 Eferen otot

A 6-12 30-70 Reseptor, Meissner,

Ruffini, Paccini,

Markel, akhitan

sekunder spindle otot

A 2-10 10-50 Eferen otot

(intresfusal)

A 1-6 5-30 Nosiseptor untuk :

mekanikal, termal,

mekanotermal

(polimodal), reseptor

ranbut, reseptor visera

C <15 0.5-20 Nosiseptor C : reseptor

polimodal C, reseptor

visera, reseptor panas,

dingin dan mekanik

Sumber :Byers dan Bonica, 2001

13

Saraf aferen primer setelah melewati ganglion sensoris lalu masuk

kedalam modula spinalis melewati kornu posterior dan berakhir pada

lamina I (marginal layer), lamina II dan III (subtansia glatinosa) dan

lamina V, sedikit yang berakhir dilamina IV. neuron proyeksi yang

meneruskan informasi nyeri kesentral juga menerima input aferen dari

visera yang berarti satu neuron proyeksi menenima beberapa input. Hal

ini yang menyebabkan terjadi nyeri rujukan, neuron proyeksi secara

langsung diaktifkan oleh serabut saraf bermielin dan tidak bermielin,

hanya saja yang bermielin mengaktifkan neuron inhibisi sedangkan yang

tidak bermielin akan menekan aktifasi neuron tersebut. Inilah yang

disebut gate control theory. Disamping itu diternukan bahwa sebagian

akson juga mengirim cadangnya keradik ventralis. Keberadaan akson

nosiseptif diradik centralis ini yang menyebabkan kegagalan rizotomi

dalam penyembuhan nyeri yang permanen. Impuls nosiseptif yang masuk

ke kornu posterior kemudian diteruskan ke otak melalui beberapa traktus

dan yang tersebar adalah traktur spinotalamikus. Traktus ini dalam

perjalanan melewati modula ablongata akan member cabang ke traktus

respiratorius dan pusat jantung. Melalui cabang inilah nyeri dapat

membangunkan reflek respirasi dan sirkulasi (Byers dan Bonica, 2001).

14

c. Patofisiologi Nyeri

Sel saraf dalam proses penghantaran nyeri ada 3 jenis yaitu sel

syaraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor atau interneuron dan

sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel syaraf ini mempunyai

reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke

sum-sum tulang belakang dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus

dan memulai impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh.

Reseptor-reseptor yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut

nosiseptor. Stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor

melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari prostaglandin, histamin,

bradikinin, leukotrien, substansi p, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia

ini akan mensensitasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke otak

(Torrance dan Serginson, 1997).

Kornu dorsalis dari medula spinalis dapat dianggap sebagai

tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir disini dan serabut

traktus sensori asenden berawal disini. Juga terdapat interkoneksi antara

sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden

berakhir pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls

dipancarkan ke korteks serebri. Agar nyeri dapat diserap secara sadar,

neuron pada sistem asenden harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai

akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan organ

internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis yang ketika

diaktifkan, menghambat atau memutuskan taransmisi informasi

15

yangmenyakitkan atau yang menstimulasi nyeri dalam jaras asenden.

Seringkali area ini disebut “gerbang”. Kecendrungan alamiah gerbang

adalah membiarkan semua input yang menyakitkan dari perifer untuk

mengaktifkan jaras asenden dan mengaktifkan nyeri. Namun demikian,

jika kecendrungan ini berlalu tanpa perlawanan, akibatnya sistem yang

ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari neuron inhibitor sistem

asenden menutup gerbang untuk input nyeri dan mencegah transmisi

sensasi nyeri (Smeltzer dan Bare, 2002).

Gambar 2.1 Mekanisme nyeri

Sumber : Gottschalk et al , 2001.

16

Gambar diatas menunjukkan proses mekanisme nyeri terdiri dari

4 proses elektro fisiologi nociseptif. yang meliputi meliputi transduksi,

transmisi, modulasi dan persepsi. Menurut Kuntana tahun 2010, ke

empat proses tersebaut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Transduksi

Tranduksi adalah proses yang melibatkan konversi respon

kerusakan jaringan dan biokimia menjadi sinyal saraf oleh reseptor

sensorik yang disebut dengan nosiseptor. Nosiseptor akan lebih

sensitif terhadap trauma jaringan atau stimulus berkepanjangan yang

dapat merusak jaringan. Reseptor ini terletak di ujung bebas dari serat

saraf aferen primer yang tersebar di daerah perifer. Setelah terjadi

kerusakan jaringan sel akan hancur dan melepaskan beragam produk

sampingan jaringan, prostlagandin, subtansi prostaglandin,

bradikinin, histamine, serotonin dan sitokin, beberapa dari zat-zat ini

menstimulasi nosiseptor. Sementara sebagian besar mensensitisasi

nosiseptor meningkatkan sifat rangsangan dan frekuensi pembuangan.

Aktifasi nosiseptor secara konstan dapat menyebabkan nyeri.

2) Transmisi

Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang

membawa impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses

transmisi melibatkan saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf

berdiameter kecil ke sedang serta yang berdiameter besar. Saraf

aferen akan berakson pada dorsal horn di spinalis. Selanjutnya

17

transmisi ini dilanjutkan melalui sistem contralateral spinalthalamic

melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex cerebral.

3) Persepsi

Persepsi adalah proses apresiasi sinyal yang tiba di pusat

sebagai nyeri. Penentuan pengertiannya dan respon perilakunya. Hal

tersebut dicirikan sebagai suatu sensasi tidak menyenangkan dan

emosi negatif yang berbeda dan dapat diuraikan sebagai suatu rasa

ketidaknyamanan pada beberapa bagian tubuh. baik struktur sistem

kortikal maupun sistem limbic ikut terlibat dalam persepsi ini. Sinyal

nosiseptif dari beberapa neuron proyeksi tanduk dorsal berjalan

melalui thalamus ke kortek somatosensori kontralateral. Di situ sinyal

tersebut dipetakan secara somatotopik untuk mengetahui informasi

tentang lokasi, intensitas dan kualitas nyeri. Selain itu thalamus

mengirim masukan/input nosiseptif lainya ke sistem limbic. Sinyal

input ini terhubung dengan input dari saluran spineretikular dan

spinomesensefalik memediasi aspek afektif nyeri. Persepsi nyeri

dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan sosial disekitarnya, lebih

lanjut lagi pengalaman di masa lalu dan budaya juga mempunyai

pengaruh terhadap persepsi nyeri, dengan demikian penyebab nyeri

standar seperti pembedahan dapat menyebabkan variasi persepsi nyeri

perorangan yang bermakna. Persepsi juga menentukan berat-

ringannya nyeri yang dirasakan (Bruner dan Suddart, 2001).

18

4) Modulasi

Modulasi adalah proses dimana terjadi interaksi antara sistem

analgesic endogen yang dihasilkan tubuh kita dengan input nyeri

yang masuk ke kornu posterior modula spinalis. Sistem pemprosesan

nyeri dianggap sebagai lintasan nyeri yang terprogram, yang akan

memprodiksi sensasi nyeri sesuai dengan luas dan beratnya stimulasi

nyeri. Meskipun demikian konsep ini mendapat tantangan dari

beragam teori sejak tahun 1940-an. Theory control-gerbang

mekanisme nyeri yang dipublikasikan oleh Melzack dan Wall tahun

1965 memiliki dampak bermakna pada bidang penelitian nyeri dan

berdampak pada pengembangan berbagai pendekatan terapi nyeri.

Teori ini menggabungkan aspek-aspek neurofisiologi dan psikologi

serta menyatakan bahwa transmisi impuls nyeri pada saraf spinal

dimodulasi secara terus menerus oleh aktifasi di dalam serat kecil (A-

dan C) dan serat besar (A-). Selain itu pesan-pesan yang turun dari

korteks cerebri dan batang otak juga memainkan peran vital dalam

modulasi nyeri.

Model-model sistem turunnya nyeri saat ini mencakup baik

inhibitory maupun facilitory decending pathways. Inhibitory

decending pathways dimodulasi oleh berbagai bagian otak. Serat

saraf dari lintasan ini melepaskan zat penghambat seperti apioid

endogen, serotonin, norepinafrin, dan GABA pada sinaps dengan

19

neuron lain dalam tanduk dorsal. Zat-zat ini berkaitan dengan reseptor

pada neuron aferen primer atau neuron tanduk dorsal sehingga

menghambat transmisi nosiseptif. Akibatnya mekanisme modulasi

endogen tersebut dapat memberi kontribusi pada besarnya perbedaan

persepsi nyeri diantara pasien dengan kerusakan yang serupa.

d. Klasifikasi Nyeri

Menurut Bonica tahun 2001 mengklasitikasikan nyeri berdasarkan

jenisnya meliputi :

1) Nyeri Nosiseptif

Nyeri nosiseptif terjadi jika ujung-ujung saraf perifer utuh

(nosiseptor) distimulasi oleh stimulus berbahaya seperti luka (akibat

panas, mekanik, atau kimia) penyakit dan peradangan. Nyeri ini

terjadi karena aktifasi terus menerus dari nesiseptor A- dan C dalam

merespon stimulasi berbahaya. Nyeri nesiseptif dapat diklasifikasikan

terutama menjadi nyeri viseral (nyeri yang muncul dari organ viseral)

dan nyeri somatik (nyeri yang muncul dari jaringan seperti kulit, otot,

tulang dan kapsul sendi). Nyeri somatik dapat dikatagorikan lebih

lanjut sebagai nyeri somatik dangkal dan nyeri somatik dalam.

2) Nyeri Neuropati

Nyeri neuropati disebabkan oleh suatu luka atau lesi didalam

system saraf perifer atau sistem saraf pusat. Nyeri ini disebabkan

karena pemprosesan sinyal yang abnormal pada sistem saraf perifer

atau saraf pusat akibat perlukan atau kerusakan sistem saraf.

20

Penyebab umumnya meliputi trauma, peradangan, penyakit metabolik

, infeksi, tumor, toksin dan penyakit neurologis primer.

3) Nyeri Akut

Nyeri akut adalah respon biologis normal terhadap luka dan

suhu indicator dari trauma jaringan yang sedang atau akan terjadi.

Karenanya nyeri akut juga dinyatakan sebagai nyeri fisiologis.

Sebelumnya nyeri akut hanya dilihat dari sudut pandang durasinya,

namun kini nyeri akut didefinisikan sebagai suatu pengalaman

komplek yang tidak menyenangkan baik secara emosional, kognitif,

maupun sensorik yang terjadi sebagai respon terhadap terjadinya

trauma jaringan

Berbagai mekanisme diajukan guna menjelaskan tentang

mengapa nyeri masih berlangsung setelah pasien mengalami nyeri

akut. Salah satu kemungkinan adalah terjadinya sensitisasi nosiseptor

yaitu menurunnya nilai ambang reseptor yang bersangkutan.

Peningkatan sensitivitas pada daerah cidera disebut hiperalgesia

primer. Daerah yang mengalami cidera juga akan mengalami

sensitisasi sehingga pasien juga akan mengalami hiperalgesia

sekunder. hiperalgesia sekunder dipercaya dipercaya sebagai akibat

dari aktivasi antidromik afferent primer C dan terlepasnya materi

prostaglandin pada daerah tersebut. Postulat kedua ialah dilepasnya

materi protaglandin oleh afferent primer kecil.

21

Mekanisme yang serupa dapat menjelaskan terjadinya siklus

nyeri spasme nyeri di otot tangka. Permulaan cidera akan

mengakibatkan terjadi kontraksi otot guna melindungi atau

mengimobilisasi daerah tersebut. Kontraksi otot yang berkelanjutan

akan mengakibatkan ischemia dan terlepasnya materi kimiawi yang

akan mensesitisasi aferfen A delta dan C yang terdapat di otot. Hasil

metabolism semata tidak akan menghasilkan aktifasi nosiseptif.

Namun bahyan – bahan kimiawi lain seperti bradikinin, serotonim,

dan histamine akan mempunyai pengaruh yang sangat sangan besar.

Peningkatan sensitifitas nosiseptor akan menambah kontraksi

reflektoris otot sehingga siklus nyeri- spasme- nyeri akan semakin

bertambah. Keadaan ini semakin diperberat oleh terjadinya reflek

simpatis. Siklus nyeri - spasme – nyeri dapat diatasi dengan cara

memperbaiki mekanisme inhibisi ( Parjoto, 2006 ).

4) Nyeri Kronis

Nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri dengan durasi yang

lama, acapkali berhubungan dengan nyeri fisik dan mental, depresi,

kecemasan dan keputusasaan. Nyeri kronik bias berlangsung berbulan

– bulan atau bahkan bertahun – tahun diluar periode kesembuhan atau

terjadi secara terputus –putus. Beberapa klinikus menggunakan

satuan waktu 6 bulan pasca trauma atau pasca sakit guna

mengelompokkannya dalam nyeri kronik. Faktor lingkungan dan

psikologik merupakan hal yang penting dalam kaitannya dengan

22

evolusi nyeri kronik. Tanggap rangsang fisiologis dan perilaku

terhadap nyeri kronik berbeda disbanding dengan nyeri akut.

Peningkatan sensitivitas nisiseptor akan mengakibatkan siklus

nyeri- spasme-nyeri tetap berlangsung. Keadaan ini dapat

berlangsung semi permanen atau berubah tergantung mekanisme

yang terjadi ditingkat spinal. Mekansme kedua ialah akibat adanya

kompresi saraf perifer yang bertahan lama. Kompresi akan merusak

neuron afferent primer besar sehingga berakibat terjadinya ketidak

seimbangan masukan afferent besar ( taktil ) dan esukan afferent kecil

( nyeri ) sehingga gerbang tetap membuka ( Parjoto, 2006 ).

Nyeri kronis dahulu didefinisikan sebagai nyeri yang

berkelanjutan hingga 3-6 bulan setelah onset, definisi baru

berdasarkan factor-faktor lain yang lebih dari sekedar faktor waktu

sedang digemari. International Asssociatin for the Study of Pain

mendefinisikan nyeri kronis sebagai nyeri yang menetap lebih lama

dari waktu yang diharapkan untuk penyembuhan, atau nyeri terkait

dengan penyakit progresif yang bukan keganasan, biasanya

diasumsikan selama 3 bulan. Definisi lain tentang nyeri kronis adalah

nyeri menetap yang mengganggu tidur dan kehidupan normal, tidak

lagi berfungsi sebagai pelindung, dan malah menurunkan derajat

kesehatan dari kemampuan fungsional.

23

5) Nyeri Kelainan Fungsi

Nyeri kelainan fungsi merupakan nyeri organik yang memakai

fitur klinis nyeri neuropati tetapi tidak dimulai oleh suatu lesi yang

dapat didefinisikan bagian dari sistem saraf manapun. Karena tidak

ada perlukaan saraf yang meminimalisiasi, beberapa pakat

berargumen bahwa kategori kelainan fungsi harus dikeluarkan. Walau

benar bahwa memasukkan nyeri kelainan fungsi menambah

kompleksitas dalam penetapan batas-batas nyeri neuropati.

Pengecualian jenis nyeri ini akan mengabaikan realitas klinis

eksistensi dari keadaan nyeri serupa. Yang satu diprovokasi oleh

kerusakan neurologis dan yang lainya oleh kerusakan jaringan

nonneural.

6) Nyeri Campuran

Nyeri campuran dihasilkan dari beberapa kombinasi nyeri

nosiseptif, nyeri neuropatik, dan nyeri visceral. Nyeri campuran

tampak pada pasien dengan kanker dan nyeri punggung kronis

(khusus nyeri punggung bawah setelah pembedahan) dimana

kombinasi dan komponen neuropati, nosiseptif dan miofasial dapat

member kontribusi pada pengalaman nyeri pasien (Bonica, 2001).

e. Multidimensional nyeri

Nyeri adalah fenomena yang multidimensional. Harahap tahun

2007, mengkategorikan dimensi nyeri sebagai berikut :

24

1). Dimensi sensori

Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan lokasi

dimana nyeri itu timbul dan bagaimana rasanya. Terdapat tiga

komponen spesifik dalam dimensi sensori, yaitu lokasi, intensitas,

dan kualitas nyeri. Lokasi nyeri memberikan petunjuk penyebab nyeri

bila ditinjau dari segi aspek sensori. Lokasi nyeri itu sendiri dapat

dilaporkan oleh pasien pada dua atau lebih lokasi. Kondisi dimana

dirasakannya nyeri pada beberapa lokasi yang berbeda

mengimplikasikan keterlibatan dimensi sensori. Semakin banyak

lokasi nyeri yang dirasakan oleh pasien, maka akan semakin sulit bagi

pasien untuk melokalisasi area nyerinya Intensitas nyeri adalah

sejumlah nyeri yang dirasakan oleh individu dan seringkali

digambarkan dengan kata-kata seperti ringan, sedang, dan berat.

Intensitas nyeri juga dapat dilaporkan dengan angka yang

menggambarkan skor dari nyeri yang dirasakan, sedangkan kualitas

nyeri adalah berkaitan dengan bagaimana nyeri itu sebenarnya

dirasakan individu. Nyeri yang dialami klien seringkali tidak dapat

dijelaskan (Potter dan Perry, 2009).

2). Dimensi Kognitif

Dimensi kognitif dari nyeri menyangkut pengaruh nyeri yang

dirasakan oleh individu terhadap proses pikirnya atau pandangan

individu terhadap dirinya sendiri. Respon pikiran individu terhadap

nyeri yang dirasakan dapat diasosiasikan dengan kemampuan koping

25

individu menghadapi nyerinya). Pengetahuan adalah aspek yang

penting dalam dimensi kognitif. Pengetahuan tentang nyeri dan

penanganannya dapat mempengaruhi respon seseorang terhadap

nyeri. Nyeri itu sendiri dapat dimodifikasi oleh bagaimana seseorang

berpikir tentang nyeri yang dirasakannya, apa saja pengharapannya

atas nyerinya, dan apa makna nyeri tersebut dalam kehidupannya.

3). Dimensi Afektif

Dimensi afektif dari nyeri mempengaruhi respon individu

terhadap nyeri yang dirasakannya. Dimensi afektif dari nyeri identik

dengan sifat personal tertentu dari individu. Pasien-pasien yang

mudah sekali memahamikondisi depresi atau gangguan psikologis

lainnya akan lebih mudah mengalami nyeri yang sanga timggi

dibandingkan dengan pasien lainnya.

4). Dimensi Fisiologis

Dimensi fisiologi terdiri dari penyebab organik dari nyeri

tersebut Berdasarkan dimensi fisiologis, terdapat dua karakteristik

yang melekat dalam pengalaman nyeri, yaitu: durasi dan pola nyeri.

Durasi nyeri mengacu kepada apakah nyeri yang dialami tersebut

akut atau kronik sedangkan pola nyeri dapat diidentifikasi sebagai

nyeri singkat, sekejap, atau transient, ritmik, periodik, atau juga nyeri

berlanjut, menetap atau konstan (Rospond, 2008).

26

5). Dimensi sosiokultural

Dimensi sosiokultural nyeri terdiri dari berbagai variasi dari

faktor demografi, adat-istiadat, agama, dan faktor-faktor lain yang

berhubungan yang dapat mempengaruhi persepsi nyeri dan respon

seseorang terhadap nyerinya. Kultur atau budaya memiliki peranan

yang kuat untuk menentukan faktor sikap individu dalam

mempersepsikan dan merespon nyerinya. Sikap individu ini juga

berkaitan dengan faktor usia, jenis kelamin, dan ras. Pengaruh budaya

terhadap peranan wanita kuat dalam budaya orang Afrika-Amerika

cenderung menyebabkan wanita penderita kanker kurang diperhatikan

ketika mengeluh tentang nyeri dan mencari pertolongan untuk

mengatasi nyeri yang dialami. Beberapa responden merasakan bahwa

kanker sebagai suatu noda/cacat dan mengeluh tentang nyeri yang

dialami bukanlah sesuatu hal yang harus didiskusikan secara terbuka.

6). Dimensi perilaku (behavioral)

Perilaku nyeri adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh

seseorang dan setiap perubahan kebiasaan ketika ia mengalami nyeri

yang dapat di observasi Tampilan perilaku nyeri yang diperlihatkan

seseorang dapat berupa guarcing, bracing, grimacing, keluhan verbal,

dan perilaku mengkonsumsi obat. Perilaku nyeri dapat dipengaruhi

oleh factor lingkungan atau dapat juga diperkuat oleh perhatian,

dukungan sosial, atau menghindari kegiatan yang dapat merangsang

nyeri seperti bekerja di kantor, pekerjaan rumah tangga. Nyeri, jika

27

diikuti oleh faktor pendukung, maka nyeri akan bertahan lebih lama

dari waktu penyembuhan normalnya.

f. Terapi Nyeri

Prinsip dasar terapi nyeri adalah sedapat mungkin menghilangkan

proses patologik kausatif yang bertanggung jawab terhadap terjadinya

nyeri. Disamping itu perlu juga ditambah berbagai cara untuk mengatasi

nyeri tersebut yang terbagi atas terapi konservatif, bedah maupun

keduanya. Terapi konservatif meliputi: terapi farmakologi dan fisioterapi.

Pada pemakaian obat analgetik harus hati-hati dalam

penggunaannya, mengingat efek samping dalam penggunaan secara terus

menerus, tidak semua nyeri harus diberikan terapi farmakologi sebab ada

beberapa keadaan dimana nyeri dapat dihilangkan dengan terapi fisik

misal: pemanasan, pemijatan, kompres es dan lain-lain (Hariyanto, 2003).

g. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Menurut Hariyanto tahun 2003, nyeri dipengaruhi oleh beberapa

faktor diantaranya adalah :

1) Pengalaman Masa Lalu dengan Nyeri

Pengalaman masa lalu juga berpengaruh terhadap persepsi

nyeri individu dan kepekaannnya terhadap nyeri. Individu yang

pernah mengalami nyeri atau menyaksikan penderitaan orang

terdekatnya saat mengalami nyeri cenderung merasa terancam dengan

peristiwa nyeri yang akan terjadi dibandingkan individu lain yang

belum pernah mengalaminya. Selain itu, keberhasilan atau kegagalan

28

metode penanganan nyeri sebelumnya juga berpengaruh terhadap

harapan individu terhadap penanganan nyeri saat ini.

2) Kecemasan

Kecemasan adalah suatu keadaan yang akan dapat

memperbesar dan meningkatkan persepsi seseorang terhadap nyeri.

Tingkat kecemasan yang tinggi akan meningkatkan pula respon atau

perilaku individu terhadap nyeri.

3) Budaya

Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada bagaimana

seseorang berespon terhadap nyeri. Antara pasien yang satu dengan

yang lainnya berbeda dalam menggambarkan respon nyeri. Pasien

mungkin saja menggambarkan nyeri dengan meringis atau menangis

ketika merasakan nyeri, tetapi pasien dari latar budaya lainnya bisa

menggambarkan respon nyeri yang berbeda, seperti diam seribu

bahasa daripada mengekspresikan nyeri dengan suara keras. Latar

belakang budaya merupakan faktor yang memengaruhi reaksi

terhadap nyeri dan ekspresi nyeri. Sebagai contoh, individu dari

budaya lain justru lebih memilih menahan perasaan mereka dan tidak

ingin merepotkan orang lain.

4) Usia

Perbedaan usia seseorang mempunyai pengaruh yang

bermacam-macam dalam memandang suatu rasa nyeri. Pada usia

dewasa biasanya lebih dapat merespon rasa sakit dengan baik, tetapi

29

sebaliknya anak-anak mempunyai ambang batas rasa nyeri yang

rendah untuk membedakan antara rasa sakit dan tekanan, pada orang

yang berusia lanjut mengalami kegagalan dalam merasakan

kerusakan jaringan, akibat perubahan degeneratif pada jalur syaraf

nyeri.

Sehingga lansia cenderung untuk mengabaikan nyeri dan

menahan nyeri yang berat dalam waktu yang lama. Prevalensi nyeri

pada individu lansi lebih tinggi karena penyakit akut atau kronis yang

mereka derita. Walaupun ambang batas nyeri tidak berubah karena

penuaan, tetapi efek analgesik yang diberikan menurun karena

perubahan fisiologis yang terjadi.

5) Lingkungan

Lingkungan sangat mempengaruhi tingkat respon individu

terhadap nyeri, keadaan lingkungan yang tidak baik atau tidak

nyaman meliputi keadaan ribut dan ramai akan meningkatkan

intensitas nyeri individu ke suatu yang lebih berat. Lingkungan yang

bising, tingkat kebisingan yang tinggi, pencahayaan, dan aktivitas

yang tinggi di lingkungan tersebut dapat memperberat nyeri. Selain

itu, dukungan dari keluarga dan orang terdekat menjadi salah satu

faktor penting yang memengaruhi persepsi nyeri individu. Sebagai

contoh, individu yang senidirian, tanpa keluarga atau teman-teman

yang mendukungnya, cenderung merasakan nyeri yang lebih berat

30

dibandingkan mereka yang mendapat dukungan dari keluarga dan

orang-orang terdekat.

6) Kepercayaan Religius

Kepercayaan agama merupakan suatu keyakinan yang

merupakan suatu kekuatan untuk mempengaruhi pandangan

seseorang terhadap nyeri. Ada beberapa keyakinan yang memandang

bahwa nyeri adalah suatu penyucian atau pembersihan dan hukuman

atas dosa-dosa mereka terhadap Tuhan, mereka memandang Tuhan

adalah sumber kekuatan.

2. Ambang Nyeri

a. Pengertian Ambang Nyeri

Ambang nyeri merupakan intensitas rangsangan terkecil yang

akan menimbulkan sensasi nyeri. Sensasi nyeri dapat dianggap sama

dengan ambang nyeri (Audry et al , 2003). Toleransi nyeri lebih

mengacu pada lama atau intensitas nyeri yang masih bisa ditahan pasien

sampa secara eksplisit pasien mengaku dan mencari pengobatan (Price

dan Wilson, 2006). Tidak semua orang yang terpajang terhadap stimulus

yang sama mengalami intensitas nyeri yang sama. Bisa saja suatu sensasi

yang sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa bagi orang

lain, hal ini disebabkan karena masing-masing memiliki ambang nyeri

yang berbeda-beda.

31

b. Pengukuran Ambang Nyeri

Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) merupakan

suatu cara penggunaan energi listrik untuk merangsang saraf melalui

permukaan kulit (Parjoto, 2006). Penggunaan Transcutaneus electrical

nerve stimulation (TENS) dengan intensitas-intensitas tertentu akan

menimbulkan suatu sensasi nyeri/rasa yang tidak nyaman. Sensasi nyeri

dapat dianggap sama dengan ambang nyeri (Audry et al, 2003).

Ambang nyeri dapat dilihat saat aplikasi Transcutaneus electrical

nerve stimulation (TENS) yang diberikan kepada subyek normal, dimana

intensisitas yang tertera pada Transcutaneus electrical nerve stimulation

(TENS) saat pasien merasakan sensasi nyeri rasa tidak nyaman

merupakan suatu nilai dari ambang nyeri (Mardiman et al,1994).

3. Sinar Inframerah

a. Pengertian dan Sumber Sinar Inframerah

Sinar inframerah adalah pancaran gelombang elektromagnetik

dengan panjang gelombang 7700-4 juta A. Sinar inframerah selain

berasal dari matahari dapat pula diperoleh secara buatan dari :

1) Bantalan Listrik

Bantalan listrik, lampu non luminous infra red, lampu-lampu

pijar akan mengeluarkan sinar-sinar inframerah gelombang panjang,

pendek, dan sinar visible (Sujatno Ig et al, 2002).

32

2) Carbon Pendek

Carbon pendek akan mengeluarkan sinar inframerah yang

disertai sinar visible dan juga sinar ultraviolet (Sujatno Ig et al,

2002).

b. Klasifikasi Inframerah

Berdasarkan panjang gelombangnya, inframerah dibagi atas:

1) Gelombang panjang (non penetreting)

Panjang gelombang di atas 12.000 A sampai 15.000 A. Daya

penetrasi sinar ini hanya sampai kepada lapisan superficial epidermis

sekitar 0.5mm (Sujatno Ig et al,2002). Menurut Gabriel tahun 1996

daya pemetrasi sinar ini adalah 0,55 mm. Menurut Hamid dan Satori

tahun 1992 , panjang gelombang infarmerah untuk gelombang

panjang ( non penetring ) adalah 14.000 A sampai 120.000 A,

dengan daya penetrasi 2 mm.

2). Gelombang pendek (penetrating)

Panjang gelombang di atas 7.700 A sampai 12.000 A.

(Gabriel, 1996) Tokoh lain menyebutkan 7.000 sampai 14.000 A,

dengan daya penetrasi 5 mm -10 mm (Hamid dan Satori, 1992).

Menurut Sujatno Ig et al tahun 1993 daya penetrasi sinar ini lebih

dalam dari gelombang, yaitu sampai jaringan sub cutan kira-kira

33

dapat mempengaruhi secara langsung terhadap pembuluh darah

kapiler, pembuluk lymphe, ujung-ujung saraf lain didalam kulit.

c. Hukum Fisika Dasar Tentang Sinar Inframerah

Terdapat beberapa hukum fisika dasar yang sehubungan dengan

sinar inframerah, yaitu:

1) Hukum Planck

Energi cahaya yang akan dipancarkan atau diserap berbanding

lurus dengan frekuensi radiasinya dikalikan dengan konstanta Planck.

Pada prinsipnya, semakin tinggi energi yang mengandung photon,

semakin pendek panjang gelombang photon dan pada gilirannya

semakin dalam penetrasi di jaringan. Namun secara klinis, perbedaan

ini tidak bermakna terhadap distribusi panas. Saat photon telah

menembus ke jaringan, maka akan diabsorbsi dan dikonversi menjadi

lianas. Bagaimanapun, semua photon hanya sampai jaringan paling

superfisial (Hamid dan Satori, 1992).

2) Pemantulan

Jika seberkas cahaya mengenai permukaan suatu benda, maka

berkas sinar ada kemungkinan dipantulkan kembali. Sudut sinar

datang sama besar dengan sudut sinar pantul. Sudut datang sinar

mempengaruhi intensitas radiasi sinar, intensitas maksimal akan

dicapai bila jatuhnya sinar tegak lurus dengan permukaan obyek

(Mogi, 2002).

34

3) Hukum kuadrat terbalik

Intensitas penyinaran selalu akan berbanding terbalik dengan

kuadrat jarak dari sumber panas. Ini berarti bila jarak obyek dengan

inframerah dijauhkan dua kali lipat maka intensitasnya yang diterima

obyek akan menjadi seperempatnya, sebaliknya bila jaraknya

diperkecil menjadi setengahnya maka intensitas yang diterima

menjadi 4 kali lipat (Mogi, 2002).

4) Hukum pembiasan

Jika seberkas sinar dari satu medium jatuh ke medium yang

lain maka di antara yang ada dipatahkan atau dibiaskan. Derajat

pembiasan yang terjadi tergantung dari berat jenis media asal sinar

dan berat jenis media dimana sinar tersebut jatuh. Sinar yang jatuh

dari media dengan berat jenis rendah (kerapatan renggang) ke media

yang mempunyai berat jenis (kerapatan padat), maka sinar akan

dibiaskan mendekati garis normal begitu pula sebaliknya. Besar-

kecilnya sudut pembiasan ditentukan oleh indeks bias dari masing-

masing medium (Sujatno Ig et al, 2002).

5) Hukum penyerapan/Hukum Grotthus

Supaya terjadi suatu pengaruh atau efek-efek terhadap suatu

benda yang kena sinar maka sinar tadi harus diabsorbsi oleh benda

tadi (Sujatno Ig et al, 2002).

35

d. Efek Inframerah terhadap PeningkatanAmbang Nyeri

Penyinaran inframerah merupakan salah satu cara yang efektif

untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri. Mekanisme

pengurangan rasa nyeri itu adalah sebagai berikut :

1) Efek sedatif dari inframerah pada superficial sensory nerve ending

(ujung-ujung syaraf sensoris superfisial) dimana stimulasi panas pada

inftamerah yang sampai pada lapisan epidermis mengakibatkan

vasodilatasi pembuluh darah sehingga aliran pembuluh darah

meningkat dan subtansi prostaglandin ikut dalam aliran pembuluh

darah tersebut, serta meningkatnya metabolisme mengakibatkan

peningkatan suplay O2 dan nutrisi ke jaringan tersebut sehingga nyeri

berkurang

2) Stimulasi panas yang dihasilkan oleh inframerah akan menstimulasi

ujung – ujung saraf perifer ( neuron ), jika stimulasi ini terus –

menerusakan mengaktifkan nosiseptor serat kecil (A- dan C) dan

serat besar (A-). Aktifasi nosiseptor tersebut akan menstimulasi

implus saraf sensoris yang berjalan via akson dari neuron aferen

primer ke tanduk dorsal atau dorsal horn. Aktivasi serabut saraf C

akan mengaktifkan neuron aferen primer yang memperbanyak implus

saraf ke tanduk dorsal atau dorsal horn dengan asam amino eksitatori

seperti glutamad, asparad dan neuropeptida seperti P ( prostaglandin

) subtance sehingga neuron tanduk dorsal atau dorsal horn telah

teraktivasi dan mengaktifkan implus nosiseptif ke otak. Sedangkan

36

aktivasi serabut saraf A alpha dan A delta akan mengaktifkan

neuroninhibisi seperti asam amino inhibitiry yaitu -amino butirat (

GABA ) dan neropeptida. Zat - zat ini terikat pada reseptor aferan

primer dan neuron tanduk dorsal atau dorsal horrn dan akan

menghambat tranmsmisi oleh mekanisme pra simpatik dan pasca

simpatik sehingga transmisi nosiseptor turun, jadi lalu lintas

nosiseptor dalam tanduk dorsal atau dorsal horn tidak langsung

dikirim ke otak tetapi lebih banyak di modulasi yang mengakibatkan

pengurangan nyeri ( Kuntana, 2010 ).

e. Ukuran Dosis Penggunaan Inframerah

Intensitas cahaya diubah dengan mengatur jarak lampu dengan

kulit. Petunjuk sudah tepatnya intensitas diperoleh melalui perasaan

subyektif terhadap panas. Petunjuk fisiologis ini adekuat karena kulit

dengan reseptor suhunya adalah area peningkatan suhu tertinggi (Hamid

dan Satori, 1992).

Menurut Sujatno Ig et al tahun 2002, pada pengguanan

inframerah jenis non luminous jarak lampu yang digunakan adalah antara

45 cm – 60 cm, sinar diusahakan tegak lurus dengan daerah yang diobati

serta waktu antara 10 menit – 30 menit. Pada penggunaan inframerah

jenis luminous jarak lampu 35 cm – 45 cm, sinar diusahakan tegak lurus,

waktu antara 10 menit – 30 menit disesuaikan dengan kondisi

penyakitnya. Menurut Weber dan Brown, tahun 1998 prosedur

penggunaan jarak inframerah adalah jarak 40 cm – 60 cm, sedangkan

37

dalam manual prosedur Philips HP 3613 penggunaan inframerah adalah

dengan jarak 30 cm.

4. Usia Dewasa

Istilah adult berasal dari kata kerja Latin, seperti juga istilah

adolescene - adolescere yang berarti tumbuh menjadi kedewasaan. Menurut

Hurlock tahun 2011, masa dewasa dibagi menjadi 3 periode yaitu:

a. Masa Dewasa Dini ( 18 tahun - 39 tahun )

Masa dewasa ini dimulai pada usia 18 tahun sampai 39 tahun.

Dimana terjadi perubahan – perubahan fisik dan psikologis yang

menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.

hal lainnya.

1) Periode Perkembangan Fisik

Menurut Santrock tahun 2002, pertumbuhan fisik yang terjadi

pada dewasa dini mengalami peralihan dari masa remaja untuk

memasuki masa tua. Pada masa ini, seorang individu tidak lagi

disebut masa tanggung tetapi sudah tergolong sebaagai seorang

pribadi yang benar-benar dewasa. Ia tidak diperlakukan sebagai

seorang anak remaja, tetapi sebagaimana layaknya orang dewasa

lainnya.penampilan fsiknya benar-benar matang sehingga siap

melakukan tugas-tugas seperti orang dewasa lainya, misalnya bekerja,

menikah dan mempunyai anak. Ia dapat bertindak secara

bertanggungjawab untuk dirinya ataupun orang lain( termasuk

38

keluarganya). Segala tindanya sudah dikenakan aturan-aturan hukum

yang berlaku, artinya bila terjadi pelanggaran akibat dari tindakannya

akan memperoleh sangsi hukum ( misalnya denda, terkena hukuman

pidana atau perdata). Masa ini ditandi pula dengan adanya perubahan

fisik, misalnya tumbuh bulu-bulu halus, perubahan suara, menstruasi,

dan kemampuan reproduksi (Hurlock,2011 ).

2) Periode Perkembangan Psikis

Periode dewasa awal mengalami perubahan-perubahan secara

psikis, diantaranya dapat dipaparkan dalam berbagai segi yaitu

sebagai berikut ini:

a) Intelegensi atau Kognitif

Intelegensi merupakan Kemampuan berfikir lebih realistis

dan berfikir jauh kedepan, strategis dan selalu bersemangat untuk

berwawasan luas. Usia dewasa dini adala masa pengoptimalan

intelegensi setiap individu. Terlebih lagi jika seseorang

berkecimpung dalam dunia perkuliahan, akan banyak sekali

perubahan signifikan yang terjadi dari segi intelegensi dan

pemikiran. Dewasa dini adalah masa dimana seseorang dapat

berpikir luas dan dapat mengembangkan segala hal yang terdapat

dalam pemikirannya. Biasanya seseorang akan langsung dapat

menuangkan segala pemikirannya dalam sebuah perbuatan.

39

b). Emosional

Sekitar awal atau pertengahan umur tiga puluhan,

kebanyakan orang muda telah mampu memecahkan masalah-

masalah mereka dengan cukup baik sehingga menjadi stabil dan

tenang secara emosional. Apabila emosi yang menggelora yang

merupakan cirri tahun-tahun awal kedewasaan masih tetap kuat

pada usia tiga puluhan, maka hal ini merupakan tanda bahwa

penyesuaian diri pada kehidupan orang-orang dewasa belum

terlaksana secara memuaskan.

Apabila ketegangan emosi terus berlanjut sampai usia tiga

puluhan, hal itu umumnya tampak dalam bentuk keresahan. Apa

yang diresahkan orang-orang muda itu tergantung dari masalah-

masalah penyesuaian diri yang harus dihadapi saat itu dan

berhasil tidaknya mereka dalam upaya penyelesaian itu.

Kekhawatiran-kekhawatiran utama mungkin terpusat pada

pekerjaan mereka, karena mereka merasa bahwa mereka tidak

mengalami kemajuan secepat mereka harapkan atau kekhawatiran

mereka mungkin terpusat pada masalah-masalah perkawinan atau

peran sebagai orang tua. Apabila seseorang merasa tidak mampu

mengatasi masala-masalah utama dalam kehidupan mereka,

mereka sering sedemikian terganggu secara emosional sehingga

mereka memikirkan atau mencoba untuk bunuh diri.

40

c). Sosial

Dengan berakhirnya pendidikan formal dan terjunnya

seseorang ke dalam pola kehidupan orang dewasa yaitu karier,

perkawinan dan rumah tangga hubungan dengan teman-teman

kelompok sebaya masa remaja menjadi renggang dan berbarengan

dengan itu keterlibatan dalam kegiatan kelompok di luar rumah

akan terus berkurang. Sebagai akibatnya, untuk pertama kali sejak

bayi semua orang muda, bahkan yang populer pun, akan

mengalami keterpencilan sosial atau apa yang disebut Erikson

sebagai krisis keterasingan.

Keterasingan diintensifkan dengan adanya semangat

bersaing dan hasrat kuat untuk maju dalam karier – dengan

demikian keramah tamahan masa remaja diganti dengan

persaingan dalam masyarakat dewasa – dan mereka juga harus

mencurahkan sebagian besar tenaga mereka untuk pekerjaan

mereka, sehingga mereka dapat menyisihkan waktu sedikit untuk

sosialisasi yang diperlukan untuk membina hubungan-hubungan

yang akrab. Akibatnya, mereka menjadi egosentris dan ini

tentunya menambah kesepian mereka.

b. Masa Dewasa Madya (40 tahun – 60 tahun)

Masa dewasa madya dimulai pada usia 40 tahun sampai dengan

60 tahun yaitu saat menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang

jelas nampak pada setiap orang ( Hurlock,2011 ).

41

1) Periode Perkembangan Fisik

Pada masa dewasa madya terjadi perubahan fungsi fisik yang tak

mampu berfungsi seperti sedia kala, dan beberapa organ tubuh

tertentu mula mengalami penurunan fungsi. Melihat dan mendengar

merupakan dua perubahan yang paling menyusahkan paling banyak

tampak dalam dewasa madya. Daya akomodasi mata untuk

memfokuskan dan mempertahankan gambar pada retina akan

mengalami penurunan. Karena pada usia tersebut aliran darah pada

mata juga berkurang. Pendengaran juga mulai menurun pada usia ini.

Meskipun kemampuan untuk mendengar suara-suara bernada rendah

tidak begitu kelihatan. Laki-laki biasanya kehilangan sensitifitasnya

terhadap suara bernada tinggi lebih dahulu daripada perempuan. Hal

ini mungkin disebabkan oleh lebih besarnya pengalaman laki-laki

terhadap suaru gaduh dalam pekerjaan.

2) Periode Perkembangan Psikis

Pada periode usia dewasa madya mengalami beberapa

perubahan psikis. Hal ini bias terlihat dari berbagai hal dibawah

ini :

a). Intelegensi atau Kognitif

Perkembangan pada tahap ini intelektual dewasa sudah

mencapai titik akhir puncaknya yang sama dengan perkembangan

tahap sebelumnya yaitu tahap pemuda. Semua hal yang

berikutnya sebenarnya merupakan perluasan, penerapan, dan

42

penghalusan dari pola pemikiran ini. Orang dewasa madya

mampu memasuki dunia logis yang berlaku secara mutlak dan

universal yaitu dunia idealitas paling tinggi. Orang dewasa dalam

menyelesaikan suatu masalah langsung memasuki masalahnya. Ia

mampu mencoba beberapa penyelesaian secara konkrit dan dapat

melihat akibat langsung dari usaha-usahanya guna menyelesaikan

masalah tersebut.

Orang dewasa madya mampu menyadari keterbatasan baik

yang ada pada dirinya maupun yang berhubungan dengan realitas

di lingkungan hidupnya. Orang dewasa dalam menyelesaikan

masalahnya juga memikirkannya terlebih dahulu secara teoritis. Ia

menganalisis masalahnya dengan penyelesaian berbagai hipotesis

yang mungkin ada. Atas dasar analisanya ini, orang dewasa lalu

membuat suatu strategi penyelesaian secara verbal. Yang

kemudian mengajukan pendapat-pendapat tertentu yang sering

disebut sebagai proporsi, kemudian mencari sintesa dan relasi

antara proporsi yang berbeda-beda tadi.

Menurut Erikson, pada masa ini individu dihadapkan atas

dua hal generativity vs stagnasi. Mencakup rencana-rencana orang

dewasa atas apa yang mereka harap guna membantu generasi

muda mengembangkan dan mengarahkan kehidupan yang

berguna melalui generativitas / bangkit. Sebaliknya, stagnasi

(berhenti), yaitu ketika individu tidak melakukan apa-apa untuk

43

generasi berikutnya. Memberikan asuhan, bimbingan pada anak-

anak, individu generatif adalah seseorang yang mempelajari

keahlian, mengembangkan warisan diri yang positif dan

membimbing orang yang lebih muda (Shaffer, 2014 ).

b). Emosional

Menurut Erikson, pada masa ini individu dihadapkan atas

dua hal generativity vs stagnasi Mencakup rencana-rencana orang

dewasa atas apa yang mereka harap guna membantu generasi

muda mengembangkan dan mengarahkan kehidupan yang

berguna melalui generativitas / bangkit. Sebaliknya, stagnasi

(berhenti), yaitu ketika individu tidak melakukan apa-apa untuk

generasi berikutnya. Memberikan asuhan, bimbingan pada anak-

anak, individu generatif adalah seseorang yang mempelajari

keahlian, mengembangkan warisan diri yang positif dan

membimbing orang yang lebih muda (Shaffer, 2014 ).

c). Sosial

Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan sosial pada masa

Dewasa madya ini antara lain:

- Masa dewasa madya merupakan periode yang ditakuti dilihat

dari seluruh kehidupan manusia.

- Masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria

dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan prilaku masa

44

dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan

dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru.

- Masa dewasa madya adalah masa berprestasi. Menurut

Erikson, selama usia madya ini orang akan menjadi lebih

sukses atau sebaliknya mereka berhenti

- Pada masa dewasa madya ini perhatian terhadap agama lebih

besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-

kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi

kebutuhan pribadi dan sosial..

c. Masa Dewasa Lanjut atau Usia Lanjut (60 tahun – meninggal dunia)

Masa dewasa lanjut atau senestence atau usia lanjut dimulai pada

umur 60 tahun sampai kematian. Pada waktu ini, baik kemampuan fisik

maupun psikologis cepat menurun tetapi tekhnuk pengobatan modern,

serta upaya dalam hal berpakaian dan dandanan, memungkinkan pria dan

wanita berpenampilan bertindak dan berperasaan seperti kala mereka

masih muda ( Hurlock,2011 ).

1) Periode Perkembangan fisik

Perubahan fisik yang dialami oleh dewasa akhir atau usia

lanjut terjadi dengan ditandai dengan menurunnya dan memburuknya

fungsi dan keadaan fisik. Perubahan ini pasti terjadi pada usia lanjut

hanya saja berbeda untuk setiap individu. Perubahan penampilan pada

usia lanjut sangat terlihat dari wajah individu, wajah akan mulai

mengendor dan memunculkan ciri penuaan lainnya. Selain pada

45

wajah perubahan secara fisik juga dapat dilihat dari individu yang

kulit nampak keriput dan otot terlihat. Perubahan fisik yang terjadi

pada masa dewasa akhir, pada umumnya terjadi pada penurunan

beberapa fungsi organ tubuh seperti menurunnya kemampuan otak

dan sistem syaraf, yang meliputi; hilangnya sejumlah neuron yang

merupakan unit-unit sel dasar dari sistem syaraf, serta kemampuan

otak yang semakin menurun, dan melemahnya daya ingat.

2) Periode Perkembangan Psikis

Akibat perubahan fisik yang semakin menua maka perubahan

ini akan sangat berpengaruh terhadap peran dan hubungan dirinya

dengan lingkungannya. Dengan semakin lanjut usia seseorang secara

berangsur-angsur ia mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya

karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya ini mengakibatkan

interaksi sosial para lansia menurun, baik secara kualitas maupun

kuantitasnya sehingga hal ini secara perlahan mengakibatkan

terjadinya kehilangan dalam berbagai hal yaitu kehilangan peran di

tengah masyarakat, hambatan kontak fisik dan berkurangnya

komitmen. Adapun perubahan-perubahan psikis tersebut adalah

sebagai berikut:

a) Intelegensi atau Kognitif

Usia dewasa akhir dilihat dari segi kognitif menglami

kemunduran dengan ditandai munculnya penyakit lupa atau

pikun. Dengan timbulnya penyakit lupa ini, membuat individu

46

dalam kehidupannya mengalami ketidak teraturan. Pada usia

inilah diperlukan perhatian yang lebih dari orang-orang terdekat

untuk mengarahkan dan menuntun orang dewasa akhir dalam

melakukan suatu hal, seperti mengarahkan dalam menaruh benda

sesuai dengan tempatnya dan mengingatkannya menaruh benda

itu dimana ketika dibutuhkan. Ataupun mengingatkan sudah

sholat atau belum, atau bahkan menuntunnya pada saat membaca

bacaan sholat.

b) Emosional

Usia dewasa lanjut lebih tempramen dalam segi

emosional. Hal ini dikarenakan berawal dari faktor fisik yang

semakin mengalami kemunduran sehingga berpengaruh pada segi

psikis termasuk emosionalnya. Beberapa orang yang mencapai

usia dewasa lanjut mengalami ketidaksiapan dalam menghadapi

segala kemunduran fisik yang terjadi baik dilihat dari luar

maupun fungsi organ-organ tubuh yang dimiliki. Sebelum

menginjak usia dewasa lanjut, seseorang pernah mengalami

kemajuan yang sangat pesat dan pernah melakukan berbagai

prestasi. Sedangkan ketika orang tersebut menginjak usia dewasa

lanjut, ia hampir tidak percaya bahwa dirinya tidak lagi dapat

berkarya secara maksimal seperti dulu sehingga timbul perasaan

kesal pada dirinya sendiri karena segala sesuatu harus dibantu

oleh orang lain. Ditambah lagi terkadang orang yang membantu

47

tidaklah sesuai dengan yang diharapkannya. Oleh karena itulah

usia dewasa akhir lebih cepat temperamental.

c) Sosial

Akibat adanya kemunduran dari segi aspek fisik, moral,

intelegensi, dan lebih cepat temperamental, maka usia dewasa

lanjut semakin jauh dari lingkungan masyarakat dan mulai

terkucilkan. Usia dewasa lanjut lebih sedikit berinteraksi dengan

lingkungan masyarakat. Pada usia ini justru lebih membutuhkan

perhatian yang lebih dari keluarga terdekat untuk menguatkan diri

dan membantu memunculkan kepercayaan diri agar tetap

bersemangat dalam menjalankan kehidupan meskipun mulai

terjauh dari lingkungan masyarakat.

B. Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang ada hubungannya dengan perbedaan efektivitas jarak

aplikasi inframerah terhadap peningkatan ambang nyeri ditinjau dari tingkat usia

seperti dalam permasalahan penelitian ini dilakukan oleh

1. Hariyanto pada tahun 2003. Penelitian ini dipakai untuk menempuh gelar

pascasarjana di Universitas Diponegoro. Penelitian ini berjudul efek

inframerah terhadap ambang nyeri pada subyek sehat. Dalam penelitian ini

disimpulkan bahwa pemberian aplikasi inframerah dapat menngkatkan

ambang nyeri setelah pemberian inframerah pada tempat pemberian infra

merah

48

2. Putra pada tahun 2013. Penelitian ini berjudul efektivitas jarak inframerah

terhadap ambang nyeri. Dalam hasil penelitiannya ditemukan bahwa terdapat

perbedaan efektifitas jarak infra merah terhadap ambang rangsang nyeri dan

pada penyinaran inframerah dengan jarak 35 cm lebih efektif meningkatkan

ambang nyeri dari pada penyinaran inframerah pada jarak 45 cm.

49

C. Kerangka Berfikir

Gambar 2.2 Kerangka Teori

Perubahan Ambang Nyeri

Nyeri

Inframerah

Transduksi

Transmisi

Persepsi

Modulasi

Sensoris Nosiseptif

Fisik

Psikososial

Stimulus :

- Mekanik

- Kimia

- Termal

- Listrik

50

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

Sensori Nosiseptif

Aplikasi Jarak

Inframerah

30 cm

35 cm

40 cm

45 cm

Dewasa Dini

Dewasa Madya

Perbedaan Ambang

Nyeri

51

D. Hipotesis

1. Ada perbedaan efektivitas aplikasi jarak inframerah 30 cm, 35 cm, 40 cm dan

45 cm terhadap peningkatan ambang nyeri.

2. Ada perbedaan peningkatan ambang nyeri pada aplikasi jarak inframerah

pada orang dewasa dini (18 tahun – 39 tahun) dan orang dewasa madya (40

tahun – 60 tahun).

3. Ada interaksi efektifitas aplikasi jarak inframerah dengan orang dewasa dini

(18 tahun – 39 tahun) dan orang dewasa madya (40 tahun – 60 tahun)

terhadap peningkatan ambang nyeri.

9