BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Self Efficacy -...
Transcript of BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Self Efficacy -...
8
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Self Efficacy
2.1.1 Pengertian Self Efficacy
Self efficacy adalah keyakinan diri individu tentang kemampuannya dan
juga hasil yang akan individu peroleh dari kerja kerasnya yang mempengaruhi
cara individu berperilaku (Bandura, 1997). Dalam teori sosial kognitif, Bandura
(1986) menyatakan bahwa Self efficacy membantu seseorang dalam menentukan
pilihan, usaha individu untuk maju, kegigihan dan ketekunan yang individu
tunjukkan dalam menghadapi kesulitan dan derajat kecemasan atau ketenangan
yang individu alami saat mempertahankan tugas-tugas kehidupannya. Dalam
Bandura (1997) menambahkan bahwa Self efficacy merupakan keyakinan individu
bahwa ia dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif.
Self efficacy sebagai keyakinan seseorang tentang kemampuannya untuk
melakukan suatu bentuk kontrol terhadap keberfungsian orang itu sendiri dan
kejadian dalam lingkungan. Bahwa keyakinan atas efikasi seseorang adalah
landasan dari manusia. Manusia yang yakin bahwa dirinya dapat melakukan
sesuatu yang mempunyai potensi untuk dapat mengubah kejadian di
lingkungannya, akan lebih mungkin untuk bertindak dan lebih mungkin untuk
menjadi sukses daripada manusia yang mempunyai tingkat self efficacy yang
rendah. (Bandura, 1997).
9
Self efficacy yang tinggi dan rendah berkombinasi dengan lingkungan
yang responsif untuk menghasilkan empat variabel prediktif yaitu: (a) Ketika
efikasi diri yang tinggi dan lingkungan responsif, hasil yang bisa diperkirakan
adalah kesuksesan. (b) Saat efikasi diri rendah berkombinasi dengan lingkungan
yang responsif, manusia mungkin akan merasa depresi karena mengamati bahwa
orang lain dapat berhasil melakukan suatu tugas yang terlalu sulit untuknya. (c)
Saat seseorang dengan efikasi diri yang tinggi menemui situasi lingkungan yang
tidak responsif, individu dapat meningkatkan usahanya untuk mengubah
lingkungan. Individu dapat melakukan protes-protes, kegiatan aktivis sosial, atau
bahkan kekuatan untuk memulai perubahan; namun saat semua usaha tersebut
gagal,individu akan menyerah malakukan hal tersebut dan mencari lingkungan
baru yang lebih responsif. (d) Terakhir, saat efikasi diri rendah dikombinasikan
dengan lingkungan yang tidak responsif, individu akan merasa apatis, segan, dan
tidak berdaya (Bandura, 1997).
2.1.2 Sumber Self Efficacy
Efikasi diri dapat diperoleh, dipelajari, dan dikembangkan dari empat
sumber informasi yaitu a) Enactive attainment and performance accomplishment
(pengalaman keberhasilan dan pencapaian prestasi), b) Vicarious experience
(pengalaman orang lain), c) Verbal persuasion (persuasi verbal), d) Physiological
state and emotional arousal (keadaan fisiologis dan psikologis). Di mana pada
dasarnya keempat hal tersebut adalah stimulasi atau kejadian yang dapat
memberikan inspirasi atau pembangkit positif (positive arousal) untuk berusaha
10
menyelesaikan tugas atau masalah yang dihadapi.Hal ini mengacu pada konsep
pemahaman bahwa pembangkitan positif dapat meningkatkan perasaan atas
efikasi diri (Bandura, dalam Lazarus et.al., 1980).
Adapun sumber-sumber efikasi diri tersebut, yaitu:
Pertama, Enactive attainment and performance accomplishment
(pengalaman keberhasilan dan pencapaian prestasi) yaitu sumber harapan efikasi
diri yang penting, karena berdasar pengalaman individu secara langsung. Siswa
yang pernah memperoleh suatu prestasi, akan terdorong meningkatkan keyakinan
dan penilaian terhadap efikasi dirinya, pengalaman keberhasilan siswa ini
meningkatkan ketekunan dan kegigihan dalam berusaha mengatasi kesulitan,
sehingga dapat mengurangi kegagalan.
Kedua, Vicarious experience (pengalaman orang lain) yaitu mengamati
perilaku dan pengalaman orang lain sebagai proses belajar individu. Melalui
model ini efikasi diri siswa dapat meningkat, terutama jika siswa merasa memiliki
kemampuan yang setara atau bahkan merasa lebih baik dari pada orang yang
dijadikan subjek belajarnya. Siswa mempunyai kecenderungan merasa mampu
melakukan hal yang sama. Peningkatan efikasi diri siswa ini dapat meningkatkan
motivasi untuk mencapai suatu prestasi. Peningkatan efikasi diri ini akan menjadi
efektif jika subjek yang menjadi model tersebut mempunyai banyak kesamaan
karakteristik antara siswa dengan model, kesamaan tingkat kesulitan tugas,
kesamaan situasi dan kondisi, serta keanekaragaman yang dicapai oleh model.
Ketiga, Verbal persuasion (persuasi verbal) yaitu siswa mendapat bujukan
atau sugesti untuk percaya bahwa siswa dapat mengatasi masalah-masalah yang
11
akan dihadapinya. Persuasi verbal ini dapat mengarahkan siswa untuk berusaha
lebih gigih untuk mencapai tujuan dan kesuksesan.Akan tetapi efikasi diri yang
tumbuh dengan sumber-sumber efikasi diri ini biasanya tidak bertahan lama,
apalagi jika kemudian siswa mengalami peristiwa traumatis yang tidak
menyenangkan.
Keempat, Physiological state and emotional arousal (keadaan fisiologis
dan psikologis).Situasi yang menekan kondisi emosional dapat mempengaruhi
efikasi diri. Gejolak emosi, goncangan, kegelisahan yang mendalam dan keadaan
fisiologis yang lemah yang dialami individu akan dirasakan sebagai suatu isyarat
akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan, maka situasi yang menekan dan
mengancam akan cenderung dihindari.
Empat hal tersebut dapat menjadi sumber bagi tumbuh dan
berkembangnya efikasi diri individu. Dengan kata lain, efikasi diri dapat
diupayakan untuk ditingkatkan dengan manipulasi melalui empat sumber yang
diuraikan di depan.
2.1.3 Aspek Self Efficacy
Menurut Bandura (1997) aspek self efficacy adalah sebagai berikut :
1. Outcome expectancy
Harapan terhadap kemungkinan hasil dari suatu perilaku, yaitu suatu
perkiraan bahwa perilaku atau tindakan tertentu akan menyebabkan akibat tertentu
yg bersifat khusus.
12
2. Efficacy expectancy
Harapan akan dapat membentuk perilaku secara tepat. Suatu keyakinan
bahwa seseorang akan berhasil dalam bertindak sesuai dengan hasil yang
diharapkan. Aspek ini menunjukkan bahwa harapan orang berkaitan dengan
kesanggupan melakukan suatu perilaku yang dikehendaki. Efficacy expectancy
tergantung pada situasi beberapa informasi berupa persepsi dan hasil suatu
tindakan yg didapatkan melalui/menjalani kehidupan, modelling, peristiwa verbal
dan keadaan emosi yg mengancam.
3. Outcome Value
Nilai yg mempunyai makna dari konsekuensi-konsekuensi yang terjadi
bila suatu perilaku dilakukan dan orang harus mempunyai Outcome value yg
tinggi untuk mendukung efficacy expectancy dan outcome expectancy yg dimiliki.
2.1.4 Tingkat self efficacy
Secara garis besar, self efficacy terbagi atas self efficacy tinggi dan self
efficacy rendah. Dalam mengerjakan suatu tugas, individu yang memiliki self
efficacy yang tinggi akan memilih terlibat secara langsung, sementara individu
yang memiliki self efficacy yang rendah cenderung menghindari tugas tersebut.
Individu yang memiliki self efficacy tinggi cenderung mengerjakan suatu
tugas tertentu, sekalipun tugas-tugas tersebut merupakan tugas yang menantang.
Individu tidak memandang tugas sebagai suatu ancaman yang harus mereka
hindari. Selain itu individu mengembangkan minat intrinsik dan keminatan yang
mendalam terhadap suatu aktivitas, mengembangkan tujuan dan berkomitmen
13
dalam mencapai tujuan tersebut. Individu juga meningkatkan usaha individu
dalam mencegah kegagalan yang mungkin timbul. Individu yang gagal dalam
melaksanakan sesuatu, biasanya cepat mendapatkan kembali self efficacynya
setelah mengalami kegagalan tersebut (Bandura, 1997).
Individu yang memiliki self efficacy tinggi menganggap kegagalan
sebagai akibat dari kurangnya usaha yang keras, pengetahuan, dan keterampilan.
Individu yang ragu akan kemampuan mereka (self efficacy yang rendah) akan
menjauhi tugas-tugas yang sulit karena tugas tersebut dipandang sebagai ancaman
bagi dirinya. Individu seperti ini memiliki aspirasi yang rendah serta komitmen
yang rendah dalam mencapai tujuan yang mereka pilih atau mereka tetapkan.
Ketika menghadapi tugas-tugas yang sulit, mereka sibuk memikirkan kekurangan-
kekurangan diri mereka, hambatan yang individu hadapi, dan semua hasil yang
dapat merugikan dirinya. Individu yang memiliki self efficacy yang rendah tidak
berpikir tentang bagaimana cara yang baik dalam menghadapi tugas-tugas yang
menantang. Saat menghadapi tugas yang menantang, individu mengurangi usaha-
usaha individu dan cepat menyerah. Individu juga lamban dalam membenahi
ataupun mendapatkan kembali self efficacynya mereka ketika menghadapi
kegagalan (Bandura, 1997).
Bandura (1997) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi self efficacy pada diri individu antara lain :
1. Budaya
Budaya mempengaruhi self efficacy melalui nilai (values), kepercayaan
(beliefs), dan proses pengaturan diri (self regulatory process) yang berfunggi
14
sebagai sumber penilaian self efficacy dan juga sebagai konsekuensi dari
keyakinan akan self efficacy.
2. Gender
Perbedaan gender juga berpengaruh terhadap self efficacy. Hal ini dapat
dilihat dari penelitian Bandura (1997) yang menyatakan bahwa wanita lebih
efikasinya yang tinggi dalam mengelola perannya daripada pria. Wanita memiliki
peran selain sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai wanita karier akan memiliki
self efficacy yang tinggi dibandingkan dengan pria yang hanya bekerja.
3. Sifat dari tugas yang dihadapi
Derajat kompleksitas dari kesulitan tugas yang dihadapi oleh individu akan
mempengaruhi penilaian individu tersebut terhadap kemampuan dirinya sendiri.
Semakin kompleks suatu tugas yang dihadapi oleh individu maka akan semakin
rendah individu tersebut menilai kemampuannya. Sebaliknya, jika individu
dihadapkan pada tugas yang mudah dan sederhana maka akan semakin tinggi
individu tersebut menilai kemampuannya.
4. Insentif eksternal
Faktor lain yang dapat mempengaruhi self efficacy individu adalah insentif
yang diperolehnya. Bandura menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat
meningkatkan self efficacy adalah competent contongens incentive, yaitu insentif
yang diberikan oleh orang lain yang merefleksikan keberhasilan seseorang.
5. Status atau peran individu dalam lingkungan
Individu yang memiliki status yang lebih tinggi akan memperoleh derajat
kontrol yang lebih besar sehingga self efficacy yang dimilikinya juga tinggi.
15
Sedangkan individu yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih rendah akan
memiliki kontrol yang lebih kecil sehingga self efficacy yang dimilikinya juga
rendah.
6. Informasi tentang kemampuan diri
Individu yang memiliki self efficacy tinggi, ia memperoleh informasi positif
mengenai dirinya, sementara individu yang memiliki self efficacy yang rendah,
bahwa individu memperoleh informasi negatif mengenai dirinya.
2.2 Konseling Kelompok Realita
2.2.1 pengertian konseling kelompok realita
Konseling realitas adalah sebuah pendekatan/model konseling dan
psikoterapi yang sangat berfokus dan interaktif, dan merupakan salah satu yang
telah diterapkan dengan sukses dalam berbagai macam lingkup. Karena fokusnya
pada problem kehidupan saat ini yang dirasakan klien dan penggunaan tehnik
mengajukan pengajuan pertanyaan oleh konseling realitas, konseling realitas
sangat efektif dalam jangka pendek, meskipun tidak terbatas pada itu saja (Corey,
2009).
Konseling realitas didasarkan pada „Teori Pilihan‟-nya Psikiater William
Glasser yang bertumpu pada prinsip bahwa semua motivasi dan perilaku individu
adalah dalam rangka memuaskan salah satu atau lebih (lima) „kebutuhan‟
universal manusia, dan bahwa individu bertanggung jawab atas perilaku yang
individu lakukan atau pilih. Satu ide intinya adalah bahwa terlepas dari apa yang
telah terjadi pada kita, apa yang mungkin telah kita kerjakan, atau bagaimana
kebutuhan individu telah dilanggar di masa lalu, kita bisa mengevaluasi kembali
realitas terkini kita dan memilih perilaku yang akan membantu kita memuaskan
kebutuhan kita secara efektif di masa kini dan di masa depan (Corey, 2009).
Berulang kali ditemukan adalah bahwa ketika seseorang belajar untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan secara lebih efektif di masa kini, segala dampak
atau pengaruh dari kejadian-kejadian di masa lalu mulai memudar dan orang
16
tersebut dapat berpindah dari kekuatan yang satu ke kekuatan yang lain. Untuk
menjadi bahagia dan efektif, kita harus hidup dan berencana di masa kini (Corey,
2009).
2.2.2 Tujuan-tujuan Konseling
Tujuan utama konseling realitas adalah membantu seseorang untuk
mencapai otonomi. Pada dasarnya otonomi adalah kematangan yang diperlukan
bagi kemampuan seseorang untuk mengganti dukungan lingkungan dengan
dukungan internal. Kematangan ini menyiratkan bahwa orang-orang mampu
bertanggungjawab atas siapa mereka dan ingin menjadi apa mereka serta
mengembangkan rencana-rencana yang bertanggungjawab dan realistis guna
mencapai tujuan-tujuan individu. Konseling realitas membantu individu dalam
menentukan dan memperjelas tujuan-tujuan individu. Selanjutnya, membantu
individu dalam menjelaskan cara-cara individu menhambat kemajuan ke arah
tujuan-tujuan yang ditentukan oleh mereka sendiri. Konselor membantu klien
menemukan alternatif-alternatif dalam mencapai tujuan-tujuan, tetapi klien sendiri
yang menetapkan tujuan-tujuan terapi.
2.2.3 Peran dan fungsi Pemimpin Kelompok
Tugas utama praktisi kelompok realitas adalah untuk terlibat dengan
anggota kelompok dan kemudian untuk membantu mereka menghadapi
kenyataan. Tugas ini membutuhkan pemimpin untuk melakukan beberapa fungsi
di antaranya:
a. Memberikan model untuk perilaku yang bertanggung jawab dan model
kehidupan yang berdasarkan identitas keberhasilan
17
b. Membangun dengan masing-masing anggota hubungan terapeutik
berdasarkan perawatan dan menghormati satu yang mendorong dan
demans perilaku yang bertanggung jawab
c. Secara aktif mempromosikan diskusi anggota perilaku saat ini dan aktif
mengecewakan alasan untuk perilaku yang tidak bertanggung jawab
d. Memperkenalkan dan mendorong proses off evaluasi diri dari perilaku saat
ini
e. Mengajar anggota untuk merumuskan dan melaksanakan rencana untuk
mengubah perilaku mereka
f. Membangun struktur dan batas sesi
g. Bersikap terbuka untuk menantang dan mengeksplorasi nilai-nilai mereka
sendiri dengan kelompok
h. Mendorong anggota untuk terlibat dengan satu sama lain, untuk berbagi
pengalaman umum, dan untuk membantu satu kesepakatan lain dengan
masalah secara bertanggung jawab
i. Membantu anggota dalam menetapkan batas praktis untuk durasi dan
lingkup terapi mereka
j. Mengajar anggota bagaimana menerapkan ke kehidupan sehari-hari apa
yang telah mereka pelajari dalam kelompok pemimpin kelompok terapi
realitas mengambil peran verbal aktif dan direktif dalam kelompok. Dalam
18
menjalankan fungsi mereka, mereka fokus pada kekuatan dan potensi para
anggota bukan pada kegagalan mereka. Realitas terapis klien identitas
kegagalan dasar. Oleh karena itu, mereka menantang anggota untuk
melihat potensi yang tidak terpakai dan menemukan cara untuk bekerja ke
arah menciptakan identitas keberhasilan.
2.2.4 Prosedur Konseling Kelompok Realita
Glasser (dalam Corey, 1984) telah mengembangkan delapan prinsip atau
konsep yang membentuk konseling realita.
Tahap keterlibatan pribadi dengan klien
1) Langkah pertama konseling realita adalah menjadi bersahabat dengan klien.
Menciptakan hubungan yang akan menjadi dasar dari hubungan terapeutik. Di
tahap keterlibatan pemimpin harus memiliki kualitas pribadi tertentu, termasuk
kehangatan, pengertian, penerimaan, perhatian, menghormati klien, keterbukaan
dan keinginan untuk ditantang oleh lainnya.
2) Tahap perubahan perilaku
Perubahan perilaku lebih mudah untuk mempengaruhi bahwa perubahan sikap
dan nilai yang lebih besar dalam proses konseling. Untuk alasan bahwa konseli
yang mengungkapkan perasaan depresi dan ketidakberdayaan tidak akan ditanya
tentang alasan untuk perasaannya atau didorong untuk menjelajahinya. Sebaliknya
konseling realita akan mendorong untuk mengidentifikasi perilaku yang
menyebabkan atau mendukung perasaan-perasaan. Tujuannya adalah untuk
membantu konseli memahami tanggung jawab terhadap perasaan konseli sendiri,
19
sebagai cara untuk mendorong konseli melihat apa yang sesungguhnya konseli
lakukan ntuk berkontribusi pada perasaan mereka.
3) Evaluasi perilaku
Setelah anggota kelompok dapat mengidentifikan dan bertanggungjawab atas
perilakunya saat ini, konseling realita menuntun individu untuk mengevaluasi
perlaku yang berdasarkan apa yang baik bagi individu dan untuk lainnya. Pada
akhinya perilaku individu mengarah ke identitas keberhasilan atau identitas
kegagalan. Glasser (1975) mencatat bahwa bukan fungsi konseling realita untuk
bertindak sebagai moralis memutuskan apa yang konseli “harus” melakukan atau
memaksakan nilai-nilai. Memang konseling realita diperintahkan dari
menawarkan saran atau bahkan mengarahkan konseli untuk berubah. Konselor
tidak membuat penilaian-nilai bagi konseli, untuk ini akan membebaskan dari
tanggung jawab untuk perlakuan konseli tetapi konselor memandu konseli untuk
evaluasi perilakunya sendiri. Dengan demikian upaya utama konseling berfokus
pada membantu konseli untuk membantu dampak dari tingkah lakunya untuk
menerima konsekuensinya
4) Rencana dan tindakan
Setelah konseli telah membuat pertimbangan nilai pada perilakunya dan
memutuskan untuk mempengaruhi perubahan nilai pada perilakunya dan
memutuskan untuk mempengaruhi perubahan positif dalam perilaku. Konselor
dibebankan dengan tugas membantu konseli alam mengembangkan rencana untuk
perubahan perilaku.
20
5) Komitmen
Biasanya orang-orang dengan identitas kegagalan mengalami kesulitan
membuat dan menjaga komitmen penting, karena sebagaian dari kegagalan
mereka terkait dengan komitmen. Merumuskan bahkan rencana yang paling
masuk akal dan praktis adalah buang-buang waktu jika konseli tidak memiliki
kemauan untuk menerapkannya. Glasser dan Zunin (1975) menunjukkan bahwa
rencana secara tertulis dalam bentuk kontrak-kontrak yang akan membantu
anggota kelompok dalam memegang sendiri tanggung jawab lainnya untuk
melakukan rencana.
6) Penolakan untuk menerima kesalahan
Tidak ada jumlah yang cermat dan komitmen teliti dapat menjamin bahwa
anggota kelompok akan mengikuti rencana mereka. Kegagalan tersebut dapat dan
memang terjadi bahkan anggota akan mengikuti rencana mereka. Tetapi Glasser
memperingatkan konseling dari bahaya memanfaatkan karena gagal untuk tetap
dengan komitmen atau dengan mengajukan pertanyaan sia-sia tentang mengapa
rencana tersebut gagal.
7) Tidak ada hukuman
Konseling realita beranggap bahwa hukuman bukanlah alat yang berguna
untuk mempengaruhi perilaku. Glasser (1975) menyatakan bahwa hukuman tidak
efisien dalam mengubah perilaku tetapi juga memperkuat identitas kegagalan
konseli dan merusak hubungan terapeutik. Oleh karena itu dari pada
menggunakan hukuman, konselor menantang konseling untuk melihat dan
menerima konsekuensi wajar dari tindakan konseli.
21
8) Penolakan untuk penyerahan
Langkah terakhir konseling realita adalah jangan pernah menyerah dengan
identitas kegagalan. Oleh karena itu tidak peduli apa yang dikatakan atau
dilakukan itu adalah konseling untuk membantu konseli untuk tidak menyerah.
2.3 Meningkatkan Self Efficacy melalui Konseling Kelompok Realita
Konseling kelompok merupakan salah satu layanan bimbingan konseling
yang dapat membantu individu mengarahkan dirinya untuk melaksanakan tugas
perkembangan dan mengatasi masalah yang muncul dalam dirinya. Salah satu
permasalahan yang dialami oleh siswa adalah mengenai prestasinya yang rendah.
Prestasi belajar yang rendah dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah
rendahnya self efficacy. Self Efficacy berhubungan dengan keyakinan bahwa diri
mempunyai kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan (Alwisol, 2005:
360).
Siswa yang memiliki self efficacy rendah merasa dirinya tidak mampu
dalam mendapatkan hasil yang optimal. Penyampaian guru yang kurang
menyenangkan juga mempengaruhi menurunnya self efficacy siswa dalam
belajarnya. Siswa yang memiliki self efficacy yang rendah akan menunjukkan
sifat sebagai berikut: pasif dalam pelajaran, memilih tidak memperhatikan guru,
menghindari tugas yang sulit, tidak percaya diri dalam mengerjakan tugas,
menyalahkan kegagalan atas kemampuan yang dimiliki.
Salah satu pendekatan/model konseling yang diasumsikan akan efektif
untuk meningkatkan self efficacy yang rendah adalah melalui konseling kelompok
22
realita. “kebutuhan dasar manusia meliputi kebutuhan untuk mencintai dan
dicintai serta kebutuhan bahwa kita berguna bagi diri sendiri maupun bagi orang
lain” (Corey, 2009: 264). Keberhasilan individu dalam melaksanakan tugasnya
akan memberikan identitas berhasil pada dirinya dan kegagalan menyebabkan
individu mengembangkan identitas gagalnya.
Melalui konseling realita ini, individu akan dapat menilai bahwa individu
tersebut dapat menggunakan kemampuan individu tersebut dalam menyelesaikan
suatu tugas. Self efficacy yang tinggi akan memberikan dampak pada pemilihan
perilaku. Konseling kelompok realita akan membantu siswa dalam memenuhi
kebutuhannya, bagi individu sendiri maupun orang lain. Individu akan
mendapatkan hasil yang lebih apabila individu memiliki self efficacy yang tinggi.
Dengan konseling kelompok realita, maka individu akan dapat menyusun rencana
yang lebih realistis dalam meningkatkan self efficacy dan akan meningkatkan
prestasi belajarnya.
2.4 Hasil Penelitian yang Relevan
Berikut mengenai penelitian-penelitian terdahulu yang menjadi landasan
bagi penelitian ini :
1. Afisah (2012) dengan judul Meningkatkan Efikasi Diri terhadap pelajaran
Bahasa Inggris melalui Konseling Realita pada Siswa SMP Negeri 2
Ungaran.
23
2. Ayu Widiyanti (2013) dengan judul Keefektifan Teknik Self Instruction
untuk Meningkatkan Self Efficacy dalam Belajar Siswa Kelas VII di SMP
Negeri 3 Malang.
3. Meningkatkan Self Efficacy Belajar Siswa yang Memiliki Prestasi Belajar
Rendah Melalui Konseling Kelompok di SMA Negeri 11 Medan.
2.5 Kerangka Berpikir
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
2.6 Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengajukan hipotesis sebagai
berikut:
“ Ada peningkatan yang signifikan dalam self efficacy pada siswa kelas IX A
SMP Muhammadiyah 5 Wonosegoro.
Post-Test
Pre-Test
Hasil
Tanpa
Treatment
Kelompok
Kontrol
Treatment Kelompok
Eksperimen
Hasil
Dibandingkan