BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7....

30
5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 Tahun 2006 tentang jalan, yang dimaksud dengan jembatan adalah jalan yang terletak di atas permukaan air dan atau diatas permukaan tanah. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jembatan merupakan salah satu infrastruktur penunjang yang dapat berfungsi menjadi alat penghubung karena adanya suatu hambatan sehingga dapat mempercepat laju perpindahan dari satu daerah ke daerah lainnya. Menurut Supriyadi (2000), jembatan tidak hanya sebagai sebuah konstruksi yang berfungsi menjadi alat penghubung pada satu daerah dengan daerah lainnya akibat adanya suatu rintangan, akan tetapi jembatan juga merupakan suatu jenis sistem transportasi yang menunjang kehidupan, sebab jika jembatan runtuh makan sistem yang ada juga akan lumpuh. Gambar 2. 1 Jembatan di Indonesia (Sumber: https://economy.okezone.com) Dalam perencanaannya, jembatan memiliki beberapa kriteria yang harus diperhatikan salah satunya berdasarkan jenis topografi dan geografi suatu daerah, sehingga penentuan jenis jembatan sangat berperan penting dalam kelancaran jalannya proses konstruksi. Adapun jenis jenis klasifikasi jembatan dapat digolongkan dalam beberapa macam seperti berdasarkan fungsinya, lokasinya, material penyusunnya, penempatan lantai jembatan, bentuk atau sistem strukturnya,

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7....

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

5

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Jembatan

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 Tahun 2006

tentang jalan, yang dimaksud dengan jembatan adalah jalan yang terletak di atas

permukaan air dan atau diatas permukaan tanah. Berdasarkan pengertian tersebut

dapat diambil kesimpulan bahwa jembatan merupakan salah satu infrastruktur

penunjang yang dapat berfungsi menjadi alat penghubung karena adanya suatu

hambatan sehingga dapat mempercepat laju perpindahan dari satu daerah ke daerah

lainnya. Menurut Supriyadi (2000), jembatan tidak hanya sebagai sebuah

konstruksi yang berfungsi menjadi alat penghubung pada satu daerah dengan

daerah lainnya akibat adanya suatu rintangan, akan tetapi jembatan juga merupakan

suatu jenis sistem transportasi yang menunjang kehidupan, sebab jika jembatan

runtuh makan sistem yang ada juga akan lumpuh.

Gambar 2. 1 Jembatan di Indonesia

(Sumber: https://economy.okezone.com)

Dalam perencanaannya, jembatan memiliki beberapa kriteria yang harus

diperhatikan salah satunya berdasarkan jenis topografi dan geografi suatu daerah,

sehingga penentuan jenis jembatan sangat berperan penting dalam kelancaran

jalannya proses konstruksi. Adapun jenis – jenis klasifikasi jembatan dapat

digolongkan dalam beberapa macam seperti berdasarkan fungsinya, lokasinya,

material penyusunnya, penempatan lantai jembatan, bentuk atau sistem strukturnya,

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

6

dan juga berdasarkan bentang dari jembatan. Banyaknya jenis jembatan dapat

mempermudah dalam merencanakan sebuah jembatan, yang dimana harus

disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di lapangan.

2.2 Jembatan Rangka Batang (Truss Bridge)

Jembatan rangka batang merupakan jembatan dengan perpaduan dari

batang-batang yang dihubungkan dengan sambungan sendi pada setiap titiknya

sehingga membentuk rangka segitiga yang akan mengalami tegangan akibat gaya

tarik, gaya tekan, atau kombinasi dari kedua gaya tersebut.

Untuk tipe jembatan rangka batang ini memiliki jumlah yang banyak,

karena banyak para ahli yang mengembangkan ide-ide untuk jembatan rangka

batang. Berikut adalah beberapa jenis jembatan rangka yang bentuk strukturnya

sering dipakai:

1. Tipe Warren (Warren Truss)

Tipe jembatan ini merupakan Jembatan rangka batang dengan susunan

rangka dengan bentuk segitiga sama kaki atau sama sisi serta tidak memiliki

batang tegakl pada bentuk rangkanya. Pada umumnya, tipe ini yang paling

sering digunakan dalam perencanaan struktur jembatan rangka batang.

Gambar 2. 2 Jembatan Rangka Tipe Warren

(Sumber: Penulis)

2. Tipe Pratt (Pratt Truss)

Struktur yang terdiri dari batang tegak dan batang diagonal. Untuk batang

diagonal gaya yang bekerja adalah gaya tarik sedangkan pada batang tegak

gaya yang bekerja adalah gaya tekan. Struktur ini yang paling cocok

digunakan dalam struktural jembatan baja karena stipe ini dapat menahan

gaya tarik yang lebih efektif.

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

7

Gambar 2. 3 Jembatan Rangka Tipe Pratt

(Sumber: Penulis)

3. Tipe Howe (Howe Truss)

Hampir menyerupai tipe pratt yang sama-sama tersusun atas yaitu batang

tegak dan diagonal, namun berbeda pada letak diagonalnya. Sehingga dalam

menerima gaya juga berbeda, gaya tarik terjadi di batang tegak sedangkan

gaya tekan terjadi di batang diagonal.

Gambar 2. 4 Jembatan Rangka Tipe Howe

(Sumber: Penulis)

4. Tipe Bentuk K (K-truss)

Struktur ini memiliki susunan rangka yang membentuk huruf “K” sehingga

biasa disebut sebagai K-truss. Struktur rangka seperti K-truss cocok

digunakan pada jembatan bentang panjang, karena susunan batang yang

pendek memberi kelebihan yaitu memperkecil adanya tekuk.

Gambar 2. 5 Jembatan Rangka Tipe K

(Sumber: Penulis)

5. Tipe Baltimore (Baltimore truss)

Tipe rangka baltimore cocok digunakan pada struktur jembatan bentang

panjang. Jembatan tipe ini merupakan bentuk modifikasi dari tipe pratt yang

dimana pada tipe baltimore terdapat elemen diagonal tambahan pada bagian

bawah sebagai pencegah gaya tekan yang akan terjadi dan dapat mengontrol

terjadinya defleksi.

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

8

Gambar 2. 6 Jembatan Rangka Tipe Baltimore

(Sumber: Penulis)

2.2.1 Prinsip Dasar Triangulasi

Perencanaan sistem struktur rangka dengan menghubungkan batang-batang

yang bersusun membentuk pola segitiga. Dimana susunan segitiga akan membuat

struktur menjadi lebih stabil dibandingkan dengan struktur yang berbentuk

segiempat atau bujur sangkar.

Merubah panjang batang pada sistem struktur segiempat maupun bujur

sangkar tidak akan mempengaruhi apapun karena sistem struktur ini akan tetap

berubah bentuk apabila diberi gaya. Namun hal ini tidak berlaku pada sistem

struktur dengan pola segitiga, dengan sistem struktur pola segitiga jika diberikan

gaya tidak akan mengalami perubahan bentuk karena gaya yang terjadi hanya akan

memberi sedikit sekali perubahan atau menimbulkan lendutan yang sangat kecil

sehingga sistem struktur dengan pola segitiga dikatakan sebagai sistem yang stabil.

Sistem konfigurasi rangka batang akan disajikan pada Gambar 2.7.

Gambar 2. 7 Konfigurasi Rangka Segitiga Stabil dan Tidak Stabil

(Sumber: Penulis)

(a) Konfigurasi tidak stabil (b) Konfigurasi stabil 2.1 Gaya batang

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

9

2.2.2 Konfigurasi Rangka Batang

Konfigurasi dilakukan dengan cara menambah/mengurangi jumlah elemen

atau dapat dilakukan dengan memodifikasi bentuk rangka dengan tujuan

mengurangi nilai lendutan sehingga jembatan tidak mengalami keruntuhan.

Struktur dapat mengalami keruntuhan jika beban langsung diberikan kepada

struktur yang belum ataupun tidak stabil. Maka dari itu, untuk menentukan

kestabilan rangka batang perlu adanya konfigurasi yang tepat seperti sehingga harus

dikontrol menggunakan persamaan sebagai berikut:

2J = M + 3 ...................................................................................................... (2.1)

Keterangan:

J = Nodal (Joint)

M = Batang (Member)

Berikut adalah contoh konfigurasi rangka batang dengan tipe rangka warren

yang tersaji pada Gambar 2.8.

Gambar 2. 8 Contoh Konfigurasi Rangka pada Jembatan

(Sumber: Penulis)

2.2.3 Gaya Batang

Gaya normal yang terdiri dari gaya tarik dan gaya tekan akan terjadi pada

sistem rangka batang karena ada beban yang bekerja pada sistem struktur. Pada

dasarnya struktur yang baik adalah struktur yang berada dalam keadaan seimbang,

oleh karena itu besarnya gaya tarik ataupun gaya tekan yang bekerja pada seluruh

bagian struktur harus sama besarnya.

Gambar 2. 9 Gaya Tekan dan Gaya Tarik

(Sumber: Penulis)

Gaya Tekan

Gaya Tarik

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

10

2.2.4 Komponen Struktur Jembatan Rangka Batang

Jembatan terdiri atas beberapa komponen struktur yang saling berkaitan.

Struktur atas (superstructure) dan struktur bawah (substructure) merupakan

komponen penyusun dari struktur jembatan. Struktur atas jembatan adalah bagian

komponen yang menerima langsung beban yang bekerja pada jembatan diantaranya

meliputi beban akibat berat sendiri dan faktor dari luar dengan susunan komponen

berupa gelagar atau girder. Selanjutnya struktur bawah jembatan yang akan

menahan beban yang diterima oleh struktur di atasnya setelah itu akan diteruskan

ke tumpuan atau abutment lalu ke dalam pondasi. Berikut adalah ilustrasi dari

komponen penyusun struktur atas dari jembatan.

Gambar 2. 10 Komponen Struktur Atas Jembatan Rangka Batang

(Sumber: Chen Wai-Fah dan Lian Duan, 2000)

2.3 Jembatan Pejalan Kaki (Pedestrian Bridge)

Menurut John J. Fruin (1997) dalam merencanakan fasilitas penunjang bagi

pejalan kaki, termasuk alat penyeberangan seperti jembatan harus

mempertimbangkan beberapa faktor diantaranya tentang keselamatan (safety),

keamanan (security), kemudahan (convenience), kelancaran (comfort), keterpaduan

sistem (system coherence), dan daya tarik (attractiveness). Dari semua faktor

tersebut akan saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain, dimana jika

salah satu faktor berubah hal tersebut akan mempengaruhi faktor yang lainnya.

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

11

Perencanaan jembatan khusus pejalan kaki harus disesuaikan dengan

kebutuhan dan kapasitas yang ada, sebab hal ini berkaitan dengan mencari data

untuk merencanakan sebuah jembatan. Berdasarkan Pedoman Perencanaan dan

Pelaksanaan Konstruksi Jembatan Gantung untuk Pejalan Kaki (2010), tingkat

kebutuhan akan jembatan sebagai alat penyeberangan harus diketahui secara jelas

untuk menentukan lebar lantai jembatan yang dibutuhkan sebagai penentuan

pekerjaan konstruksi. Lebar standar jembatan yang dianjurkan yaitu:

a) Lebar 1,0 m sampai dengan 1,4 untuk pejalan kaki dua arah (jembatan

pejalan kaki kelas II)

b) Lebar 1,4 m sampai dengan 1,8 m untuk tiga pejalan kaki yang berjalan

beriringan (jembatan pejalan kaki kelas I)

Jika berdasarkan Footbridges Manual for Construction at Community and

District Level (2004) lebar standar yang dianjurkan seperti yang disajikan pada

Gambar 2. 11 dan Gambar 2.12.

Gambar 2. 11 Standar Lebar Jembatan Berdasarkan Tipe Pengguna

(Sumber: Footbridges Manual for Construction at Community and District Level, 2004)

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

12

Gambar 2. 12 Standar Lebar Jembatan yang Disarankan

(Sumber: Footbridges Manual for Construction at Community and District Level, 2004)

2.4 Jenis Baja Struktural

Dasar dari perencanaan sebuah struktur adalah harus memenuhi syarat

kekuatan (tegangan), kekakuan (deformasi), dan daktilitis (perilaku keruntuhan).

Sehingga pada perencanaannya penting untuk mengetahui bagaimana karakteristik

sebuah material yang akan digunakan untuk dapat memenuhi syarat dari

perencanaan struktur. Berdasarkan perencanaan konstruksi jembatan, kebanyakan

material yang digunakan dalam pekerjaan konstruksinya merupakan material baja.

Dalam proses pembentukan material baja dapat dilakukan dengan dua cara yaitu

proses hot-rolling yaitu pembentukan baja dilakukan saat dipanaskan dan cold-

forming yaitu pembentukan baja dalam kondisi dingin.

Baja merupakan jenis material yang mempunyai nilai ekonomis dan aspek

kekuatan yang cukup baik. Baja mempunyai sifat daktilitis sehingga mampu

mencegah terjadinya kegagalan sebuah konstruksi secara tiba-tiba. Akan tetapi

dalam pelaksanaannya, pemilihan penggunaan baja (hot rolled steel) dalam

material struktur mempunyai beberapa kelemahan seperti terbatasnya bentuk dalam

proses pabrikasi dan terjadi pengurangan kekuatan terhadap suhu (Setiawan, 2008).

Sehingga perlu adanya alternatif yang lebih baik dalam penggunaan material baja

(hot rolled steel) yang dapat digunakan sebagai material konstruksi salah satunya

dengan menggunakan baja canai dingin (cold formed steel).

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

13

2.5 Material Baja Canai Dingin (Cold Formed Steel)

Baja canai dingin atau yang dikenal dengan istilah cold formed steel

merupakan jenis baja yang sering digunakan dalam pekerjaan konstruksi sebagai

bahan alternatif pengganti ataupun bahan utama. Melalui proses cold forming, baja

canai dingin dibentuk dari lembaran ataupun pelat batangan dengan tebal tidak lebih

dari 25 mm yang berasal dari baja, kemudian dibentuk dalam kondisi dingin

menggunakan alat berupa bending brakes, press brakes, dan mesin roll-forming.

Meskipun material baja canai dingin relatif tipis dan ringan, namun derajat

kekuatan tarik mencapai 550 MPa seperti yang dijelaskan pada point 2.5.1. Sebab

memiliki bentuk yang tipis dan ringan, maka struktur yang menggunakan material

baja canai dingin dapat mengurangi beban yang diterima sehingga bisa menjadi

kelebihan dari material ini untuk digunakan sebagai bahan konstruksi.

2.5.1 Sifat Mekanis Baja Canai Dingin

Berdasarkan SNI 7971:2013 tentang Struktur Baja Canai Dingin, material

baja yang digunakan harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain berdasarkan

mutu, tegangan leleh (fy), dan juga tegangan tarik (fu). Batasan mutu dan tegangan

pada desain material tidak melebihi batasan nilai yang telah ditentukan dalam

peraturan yang tercantum pada SNI 7971:2013 sesuai dengan AS 1397. Adapun

kekuatan minimum dari baja canai dingin disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2. 1 Kekuatan Minimum Baja

Standar yang

Digunakan Mutu

Tegangan Leleh (fy)

MPa

Kekuatan Tarik (fu)

MPa

AS 1397

G250 250 320

G300 300 340

G350 450 420

G450* 500 480

G500+ 500 520

G550++ 550 550

Catatan : * Untuk ntuk material gilas keras dengan ketebalan lebih besar atau sama dengan 1,5 mm

+ Untuk material gilas keras dengan ketebalan lebih besar 1,0 mm tetapi kurang dari 1,5 mm

++ untuk material gilas keras dengan ketebalan lebih kecil atau sama dengan 1,0 mm

Sumber : SNI 7971:2013 (Tabel 1.5)

Dengan nilai modulus elastisitas young (E = 200 x 103 MPa), modulus

elastisitas geser (G = 80 x 103 MPa), koefisien pemuaian (α = 12 x 106 per oC), dan

angka poisson (v = 0,3).

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

14

2.5.2 Tegangan Regangan pada Baja Canai Dingin

Kekuatan dari baja canai dingin sebagai elemen struktur bergantung dari

nilai tegangan lelehnya (Fy), kecuali dalam kasus di mana tekuk lokal elastis atau

tekuk globalnya kritis. Karena kurva tegangan-regangan dari lembaran atau strip

baja bisa berupa kurva sharp-yielding type atau gradual-yielding type, metode

untuk menentukan tegangan leleh untuk sharp-yielding steel dan tegangan leleh

untuk gradual-yielding steel.

Gambar 2. 13 kurva tegangan-regangan baja canai dingin

(Sumber: Yu 2000)

Kekuatan dari elemen yang tertekuk tidak hanya bergantung dari tegangan

leleh, tetapi juga dari modulus elastisitas (E) dan tangen modulusnya (Et). Modulus

elastisitas ditentukan dari kemiringan bagian yang lurus pada kurva tegangan-

regangan. Berbagai macam ketentuan mengenai tekuk dalam standard ditulis untuk

gradually-yielding steels dengan 11 proportional limit tidak kurang dari 70% dari

titik leleh minimum yang ditentukan.

2.5.3 Properti Penampang Baja Canai Dingin

Penampang canai dingin dibagi menjadi beberapa elemen sederhana

diantaranya elemen rata, bengkok, lengkung, dan lain sebagainya seperti yang

tersaji pada Gambar 2.14.

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

15

Gambar 2. 14 Elemen pada Penampang Canai Dingin

(Sumber: SNI 7971:2013, Gambar 1.1)

Keterangan:

1, 3, 7, 9 = Elemen-elemen rata

2, 4, 6, 8 = Elemen bengkokan (ri / t ≤ 8)

5 = Elemen lengkung (ri / t > 8)

Properti penampang yang digunakan dapat berasal dari tabel yang

disediakan oleh para produsen baja canai dingin yang disesuaikan dengan profil

yang direncanakan, namun jika properti yang direncanakan tidak tersedia pada tabel

yang ada maka properti penampang bisa dianalisa sendiri. Penampang profil baja

canai dingin juga harus dikontrol terhadap tekuk lokal elemen yang mungkin terjadi

berdasarkan batasan dimensi yang direncanakan menggunakan persamaan yang

yang sudah dicantumkan. Dengan tujuan tidak terjadi tekuk lokal terhadap elemen

sehingga dapat memenuhi batasan yang diijinkan.

1. Perbandingan antara lebar dan tebal penampang (b/t)

a. b/t < 60 ; untuk elemen sayap

b. b/t < 500 ; untuk elemen badan

c. b/t < 60 ; untuk elemen lip

2. Perbandingan antara tinggi dan tebal (d/tw)

a. d11/tw < 300 ; untuk pelat badan dengan pengaku tumpul dan pengaku

antara, pengaku yang dimaksud seperti yang tersaji pada Gambar 2.15.

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

16

Gambar 2. 15 Bentuk-bentuk Pengaku (Sumber: SNI 7971:2013, Gambar 1.3)

b. Apabila terdapat plat badan terdiri dari dua lembaran atau lebih, maka

perbandingan antara d11/tw dihitung pada setiap lembaran

2.5.4 Analisa Struktur Rangka Baja Canai Dingin

Pada struktural yang menggunakan material baja ringan atau baja canai

dingin, kekuatannya akan menjadi bagian yang penting dalam menentukan

kapasitas dari penampang dan serta dalam merencanakan komponen struktur.

Untuk perancangan pada jembatan rangka baja canai dingin “Jembatan Tudang

Sipulung” peraturan yang digunakan dalam menganalisa struktur rangkanya yaitu

dengan menggunakan SNI 7971:2013 tentang struktur baja canai dingin yang

mengacu dari panduan Kompetisi Jembatan Indonesia ke – XIV. Dimana bagian

struktur yang ditinjau merupakan elemen penyusun rangka yang menerima gaya

tarik dan gaya tekan.

2.5.3.1 Batang Tarik

Batang tarik merupakan batang yang menerima gaya aksial tarik antara dua

titik pada struktur. Pada struktur baja, batang tarik sangat efektif dalam memikul

beban. Batang tarik didesain untuk mencegah keruntuhan yang mungkin terjadi

akibat gaya yang terjadi saat kondisi normal.

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

17

1. Desain untuk Aksial Tarik

Pada setiap bagian struktur yang menerima gaya aksial tarik (N*) maka

dikontrol menggunakan persamaan berikut:

𝛮∗ ≤ 𝜙𝑡𝛮𝑡 ....................................................................................................... (2.2)

Keterangan:

𝛮∗ = Gaya aksial tarik

𝜙𝑡 = Faktor reduksi kapasitas untuk komponen struktur tarik = 0,9 (sesuai

Tabel 1.6 halaman 29 pada SNI 7971:2013 acuan Pasal 3.2.1), seperti

yang disajikan pada Tabel 2.2.

𝛮𝑡 = Kapasitas penampang nominal dari komponen struktur dalam tarik

(sesuai persamaan 2.3)

Tabel 2. 2 Faktor Reduksi Kapasitas

Kapasitas Desain Acuan Pasal Faktor Reduksi

Kapasitas (𝝓)

a) Pengaku 3.3.8 0,85

Pengaku Transversal (𝜙𝑐) 3.3.8.1 0,90

Pengaku Tumpu (𝜙𝑤) 3.3.8.2 0,90 Pengaku Geser (𝜙𝑣) 3.3.8.2 0,90

b) Komponen struktur yang menerima beban aksial

tarik (𝜙𝑡) 3.2.1 0,90

c) Komponen struktur yang menerima lentur: 3.3

Kapasitas momen penampang– 3.3.2

untuk penampang dengan sayap tekan

berpengaku utuh sebagian (𝜙𝑏) 3.3.2 0,95

untuk penampang dengan sayap tekan tanpa

pengaku (𝜙𝑏) 3.3.2 0,90

Kapasitas momen komponen struktur–

komponen struktur menerima tekuk lateral (𝜙𝑏) 3.3.3.2 0,90

komponen struktur menerima tekuk distorsi

(𝜙𝑏) 3.3.3.3 0,90

balok yang salah satu sayapnya dikencangkan

hingga menembus lembaran (kanal atau

penampang Z) (𝜙𝑏)

3.3.3.4 0,90

Desain pelat badan–

Geser (𝜙𝑣) 3.3.4 0,90

Tumpu (𝜙𝑤) –

untuk penampang tersusun Tabel 3.3.6.2 (A) 0,75 – 0,90

untuk kanal dengan satu pelat badan dan

penampang kanal Tabel 3.3.6.2 (B) 0,75 – 0,90

untuk penampang Z dengan satu pelat badan Tabel 3.3.6.2 (C) 0,75 – 0,90

untuk penampang topi dengan satu pelat badan Tabel 3.3.6.2 (D) 0,75 – 0,90

untuk penampang dek pelat badan majemuk Tabel 3.3.6.2 (E) 0,75 – 0,90

Sumber : SNI 7971:2013 (Tabel 1.6)

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

18

2. Kapasitas Penampang Nominal Struktur Tarik

Kapasitas penampang nominal dari sebuah komponen struktur tarik harus

diambil nilai terkecil dari:

𝛮𝑡 = 𝛢𝑔𝑓𝑦 ; dan .......................................................................................... (2.3 (1))

𝛮𝑡 = 0,85𝑘𝑡𝛢𝑛𝑓𝑢 ....................................................................................... (2.3 (2))

Keterangan:

𝛢𝑔 = Luas bruto penampang

𝑓𝑦 = Tegangan leleh yang digunakan dalam desain

𝑘𝑡 = Faktor koreksi untuk distribusi gaya

𝐴𝑛 = Luas netto penampang, diperoleh dengan mengurangi luas bruto

penampang dengan luas penetrasi dan lubang, termasuk lubang

pengencang

𝑓𝑢 = Tegangan tarik yang digunakan dalam desain

Untuk faktor koreksi dari distribusi gaya (𝑘𝑡) harus sesuai dengan aturan

yang ada pada Pasal 3.2.3 Tabel 3.2 halaman 51 pada SNI 7971:2013, seperti yang

disajikan pada Tabel 2.4.

Tabel 2. 3 Faktor Koreksi (𝑘𝑡) untuk Elemen yang Diarsir

Kasus Konfigurasi Faktor Koreksi (𝒌𝒕)

(i)

0,75 untuk siku tidak sma kaki yang

dihubungkan pada kaki pendeknya

0,85 untuk kasus lainnya

(ii)

Seperti kasus (i)

(iii)

0,85

(iv)

1,0

(v)

1,0

Sumber: SNI 7971:2013 (Tabel 3.2)

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

19

2.5.3.2 Batang Tekan

Batang tekan adalah komponen struktural yang membawa beban tekan

sentris tepat dipusat penampang atau pada titik berat penampang. Hal ini meupakan

sebuah asumsi yang baik, karena umumnya ada beberapa eksentrisitas yang terjadi,

tetapi jika momen yang terjadi relatif kecil, itu dapat diabaikan.

1. Rasio Kelangsingan Penampang

Pemeriksaan kelangsingan profil berfungsi untuk mengetahui kestabilan

rangka dalam menahan kinerja struktur. Berdasarkan SNI 7971:2013 perhitungan

rasio kelangsingan akan menggunakan persamaan seperti dibawah ini:

𝜆 = 𝐾𝑒.𝐿

𝑟 ............................................................................................................. (2.4)

Catatan: Rasio kelangsingan dari semua komponen struktur tekan tidak boleh melampaui 200,

kecuali hanya selama pelaksanaan boleh dibatasi untuk tidak melampaui 300.

Keterangan:

𝜆 = Rasio Kelangsingan

𝐾𝑒 = Faktor panjang efektif komponen struktur (sendi: 1)

𝐿 = Panjang efektif komponen struktur

𝑟 = Jari-jari girasi

2. Desain untuk Aksial Tekan

Pada setiap bagian struktur yang menerima gaya aksial tarik (N*) maka

dikontrol menggunakan persamaan berikut:

𝛮∗ ≤ 𝜙𝑐𝛮𝑠 .................................................................................................. (2.5 (1))

𝛮∗ ≤ 𝜙𝑐𝛮𝑐 .................................................................................................. (2.5 (2))

Keterangan:

𝛮∗ = Gaya aksial tekan

𝜙𝑡 = Faktor reduksi kapasitas untuk komponen struktur tarik = 0,85 (sesuai

Tabel 1.6 halaman 29 pada SNI 7971:2013 acuan Pasal 3.4.1) seperti

yang disajikan pada Tabel 2.5.

𝛮𝑠 = Kapasitas penampang nominal dari komponen struktur dalam tekan

(sesuai persamaan 2.6)

𝛮𝑐 = Kapasitas komponen struktur nominal dari komponen struktur dalam

tekan (sesuai persamaan 2.7)

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

20

Tabel 2. 4 Faktor Reduksi Kapasitas

Kapasitas Desain Acuan Pasal Faktor Reduksi

Kapasitas (𝝓)

d) Komponen struktur tekan yang dibebani

konsentris (𝜙𝑐) 3.4 0,85

e) Kombinasi beban aksial dan lentur: 3.5

Tekan (𝜙𝑐) 3.5.1 0,85

Lentur (𝜙𝑏)– 3.5.1

Menggunakan Pasal 3.3.2 0,90 atau 0,95

Menggunakan Pasal 3.3.3.1 0.90

f) Batang tabung berbentuk silinder: 3.6

Lentur (𝜙𝑏) 3.6.2 0,95 Tekan (𝜙𝑐) 3.6.3 0,95

g) Sambungan Las: 5.2

Las tumpul– 5.2.2

tarik atau tekan 5.2.2.1 0,90

geser 5.2.2.2 (a) 0,80

geser (material dasar) 5.2.2.2 (b) 0,90

Las sudut– 5.2.3

Pembebanan longitudinal 5.2.3.2 0,55 atau 0,60

Pembebanan transversal 5.2.3.3 0,60

Las arc spot (las puddle)– 5.2.4

geser (las) 5.2.4.2 (a) 0,60

geser (bagian tersambung) 5.2.4.2 (b) 0,50 atau 0,60

geser (jarak tepi minimum) 5.2.4.3 0,60 atau 0,70

tarik– 5.2.4.4 0,65

Las arc seam 5.2.5

geser (las) 5.2.5.2 0,60

geser (bagian tersambung) 5.2.5.2 0,60

Las Pijar– 5.2.6

Pembebanan transversal 5.2.6.2 (a) 0,55

Pembebanan longitudinal 5.2.6.2 (b) 0,55

Sumber : SNI 7971:2013 (Tabel 1.6)

3. Kapasitas Penampang Nominal Struktur Tekan

Kapasitas penampang nominal struktur tekan memiliki persamaan:

𝛮𝑠 = 𝛢𝑒𝑓𝑦 ........................................................................................................ (2.6)

Keterangan:

𝛢𝑒 = Luas efektif saat tegangan leleh

𝑓𝑦 = Tegangan leleh yang digunakan dalam desain

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

21

4. Kapasitas Komponen Struktur Nominal Struktur Tekan

Kapasitas komponen struktur nominal struktur tekan memiliki persamaan:

𝛮𝑐 = 𝛢𝑒𝑓𝑛 ........................................................................................................ (2.7)

Keterangan:

𝛢𝑒 = Luas efektif saat tegangan kritis

𝑓𝑛 = Tegangan kritis ditentukan berdasarkan persamaan berikut,

𝑓𝑛 = (0,658𝜆𝑐2)𝑓𝑦 ; Untuk 𝜆c

2 ≤ 1,5 ........................................................... (2.8 (1))

𝑓𝑛 = (0,877/𝜆𝑐2)𝑓𝑦 ; Untuk 𝜆c2 > 1,5 ........................................................ (2.8 (2))

Dengan nilai 𝜆𝑐 = √𝑓𝑦

𝑓𝑜𝑐

𝜆𝑐 = Nilai kelangsingan

𝑓𝑜𝑐 = Tegangan tekuk lentur yang ditentukan dari nilai terkecil tegangan

tekuk lentur, torsi dan lentur-torsi (sesuai dengan aturan Pasal 3.4.2

dan Pasal 3.4.4 pada SNI 7971:2013) ditentukan berdasarkan

persamaan berikut,

𝑓𝑜𝑐 =𝜋2𝐸

(𝑙𝑐/𝑟𝑚𝑖𝑛)2 ...................................................................................(2.9)

Dengan nilai 𝑙𝑐/𝑟𝑚𝑖𝑛 tidak lebih dari 200

𝑙𝑐 = Panjang Efektif Penampang

𝑟 = Jari-jari girasi

2.6 Sambungan Jembatan Baja Canai Dingin

Material sambungan yang digunakan dalam perencanaan jembatan canai

dingin pejalan kaki “Jembatan Tudang Sipulung” juga disesuaikan dengan

peraturan yang ada pada panduan Kompetisi Jembatan Indonesia ke – XIV.

Material sambungan yang disyaratkan yaitu menggunakan sekrup untuk setiap titik

buhul dari struktur jembatan. Sambungan pada sebuah konstruksi berfungsi sebagai

penyalur gaya yang diterima oleh daerah titik pembebanan ke seluruh bagian

elemen struktur agar tidak terjadi suatu kegagalan konstruksi.

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

22

Desain sambungan sekrup direncanakan berdasarkan teori Load and

Resistance Factor Design (LRFD) dengan prinsip menggunakan faktor reduksi

kekuatan dan faktor kelebihan beban sehingga dapat tercipta konstruksi baja yang

aman dan efisien.

2.6.1 Sambungan Sekrup

Dalam pelaksanaan di lapangan, jembatan baja canai dingin biasanya

disambung menggunakan sekrup tipe self-drilling karena dapat memudahkan dan

mempercepat dalam proses pengerjaan. Selain mudah dalam pelaksanaannya di

lapangan, sekrup tipe ini mudah untuk ditemukan di pasaran sehingga dianggap

lebih efisien untuk digunakan daripada alat sambung lain seperti paku keling, baut,

maupun las.

Sambungan sekrup yang digunakan yaitu self-drilling screw tipe 12-14x20

sesuai yang ada dalam panduan Kompetisi Jembatan Indonesia ke – XIV. Dengan

spesifikasi tipe sekrup disajikan pada Tabel 2.6.

Gambar 2. 16 Komponen dan Notasi Sekrup

Tabel 2. 5 Tipe Sekrup

Tipe Sekrup

Screw

gauge

(dk)

Jumlah

Ulir per

Inch

Panjang

Kuat

Geser

Rata-Rata

Kuat

Tarik

Minimum

Kuat

Torsi

Minimum

Truss Fastener

Tipe 12-14x20 12 mm 14 TPI 20 mm 8,90 kN 12,36 kN 0,41 kN

Untuk perhitungan kapasitas dari sambungan sekrup baja canai dingin

mengacu pada SNI 7971:2013 pasal 5.4 tentang sambungan sekrup baja canai

dingin dan juga mengacu pada teori LRFD untuk keamanan penyambungan seperti

persamaan berikut:

𝜙𝑅𝑛 ≥ 𝑃𝑢 ..................................................................................................... (2.10)

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

23

Keterangan:

𝜙 = Faktor reduksi 0,75

𝑅𝑛 = Tahanan nominal baut

𝑃𝑢 = Beban layanan terfaktor

2.6.1.1 Sambungan Sekrup dalam Geser

1. Pemeriksaan Jarak

Sambungan sekrup harus memenuhi syarat:

3,0 mm df 7,0 mm ............................................................................... (2.11 (1))

Jarak pusat ke tepi > 3df ........................................................................... (2.11 (2))

Jarak pusat ke pusat > 3df ......................................................................... (2.11 (3))

Dimana df adalah diameter nominal

2. Tahanan Geser Sekrup

Gaya tarik desain pada sekrup harus memenuhi persamaan berikut:

𝑁𝑡∗ ≤ 𝜙𝑁𝑡 ................................................................................................... (2.12)

Keterangan:

𝑁𝑡∗ = Gaya tarik desain sekrup

𝜙 = Faktor reduksi 0,5

𝑁𝑡 = Kapasitas tarik nominal penampang netto sambungan dalam tarik

Kapasitas tarik nominal (𝑁𝑡) ditentukan dari persamaan berikut,

• Sekrup tunggal atau satu baris sekrup lurus gaya yaitu:

𝑁𝑡 = (2,5𝑑𝑓/𝑆𝑓) 𝐴𝑛𝑓𝑢 ≤ 𝐴𝑛𝑓𝑢 ..................................................................... (2.13)

• Sekrup majemuk segaris gaya yaitu

𝑁𝑡 = 𝐴𝑛𝑓𝑢 ..................................................................................................... (2.14)

Keterangan:

𝑑𝑓 = Diameter sekrup nominal

𝑆𝑓 = Jarak sekrup tegak lurus gaya

𝐴𝑛 = Luas netto tersambung

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

24

3. Jungkit (tilting) dan tumpu lubang

Gaya tumpu desain ( 𝑉𝑏∗) pada pada satu sekrup harus memenuhi persamaan

berikut:

𝑉𝑏∗ = 𝜙𝑉𝑏 ..................................................................................................... (2.15)

Keterangan:

𝑉𝑏∗ = Gaya tumpu desain sekrup

𝜙 = Faktor reduksi 0,5

𝑉𝑏 = Kapasitas tumpu nominal bagian tersambung

Nilai kapasitas tumpu nominal bagian tersambung (𝑉𝑏) ditentukan dalam

persamaan berikut,

• Untuk 𝑡2/𝑡1 ≤ 1,0 , 𝑉𝑏 harus diambil nilai terkecil dari:

𝑉𝑏 = 4,2 √(𝑡23 𝑑𝑓) 𝑓𝑢2 ........................................................................... (2.16(1))

𝑉𝑏 = 𝐶𝑡1 𝑑𝑓 𝑓𝑢1 ....................................................................................... (2.16(2))

𝑉𝑏 = 𝐶𝑡2 𝑑𝑓 𝑓𝑢2 ....................................................................................... (2.16(3))

• Untuk 𝑡2/𝑡1 ≥ 2,5 , 𝑉𝑏 harus diambil nilai terkecil dari:

𝑉𝑏 = 𝐶𝑡1 𝑑𝑓 𝑓𝑢1 ....................................................................................... (2.17(1))

𝑉𝑏 = 𝐶𝑡2 𝑑𝑓 𝑓𝑢2 ....................................................................................... (2.17(2))

• Untuk 1,0 < 𝑡2/𝑡1 < 2,5 , 𝑉𝑏 harus ditentukan secara interpolasi linier

antara nilai terkecil dari persamaan 2.15 dan 2.16.

Keterangan:

𝑡2 = Tebal lembaran yang tidak kontak dengan kepala sekrup

𝑡1 = Tebal lembaran yang kontak dengan kepala sekrup

𝑑𝑓 = Diameter sekrup nominal

𝑓𝑢2 = Kekuatan tarik lembaran yang tidak kontak dengan kepala sekrup

𝑓𝑢1 = Kekuatan tarik lembaran yang kontak dengan kepala sekrup

𝐶 = Faktor tumpu

Tabel 2. 6 Nilai Faktor Tumpu

Rasio Diameter Pengencang dan Ketebalan Komponen

Struktur, 𝒅𝒇/𝒕 𝑪

𝑑𝑓/𝑡 < 6 2,7

6 ≤ 𝑑𝑓/𝑡 ≤ 13 3,3 – 0,1 (𝑑𝑓/𝑡)

𝑑𝑓/𝑡 > 6 2,0

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

25

Gaya geser desain 𝑉∗𝑓𝑣 yang dibatasi jarak ujung harus memenuhi

persamaan berikut:

𝑉𝑏∗

𝑓𝑣= 𝜙𝑉𝑓𝑣 ................................................................................................ (2.18)

• Jika 𝑓𝑢/𝑓𝑦 ≥ 1,08 maka 𝜙 = 0,7 ;

• Jika 𝑓𝑢/𝑓𝑦 < 1,08 maka 𝜙 = 0,6 ;

• Jika jarak ke suatu tepi bagian tersambung sejajar dengan garis gaya yang

bekerja, gaya geser nominal harus dihitung dengan persamaan berikut:

𝑉𝑓𝑣 = 𝑡 𝑒 𝑓𝑢 ................................................................................................... (2.19)

Keterangan:

𝑡 = Tebal bagian yang jarak ujungnya diukur

𝑒 = Jarak yang diukur pada garis gaya dari pusat lubang standar ke ujung

terdekat bagian tersambung

4. Kapasitas Sekrup dalam Geser

Kapasitas geser nominal sekrup tidak boleh kurang dari 1,25𝑉𝑏

5. Tahanan Geser Sekrup

Tahanan geser pada penampang netto harus memenuhi persamaan berikut:

𝜙𝑅𝑛 = 𝜙 𝑚 𝑟1 𝑓𝑢𝑠 𝐴𝑠 .................................................................................. (2.20)

Keterangan:

𝜙 = Faktor reduksi 0,75

𝑚 = Jumlah bidang geser

𝑟1 = 0,50 untuk baut tanpa ulir dan 0,40 untuk baut dengan ulir

𝑓𝑢𝑠 = Kuat tarik sekrup

𝐴𝑠 = Luas bruto penampang sekrup pada daerah tak berulir

2.6.1.2 Sambungan Sekrup dalam Tarik

1. Pemeriksaan Jarak

Jarak antara pusat-pusat sekrup harus menyediakan tempat yang cukup

untuk ring sekrup tetapi tidak boleh kurang dari tiga kali diameter sekrup nominal

(df). Jarak dari pusat sekrup dalam tarik ke setiap bagian tepi tidak boleh kurang

dari 3df (SNI 7971:2013 Struktur Baja Canai Dingin).

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

26

2. Cabut (Pull Out) dan Tembus (Pull-Through)

Gaya tarik desain pada sekrup harus memenuhi persamaan berikut:

𝑁𝑡∗ ≤ 𝜙𝑁𝑡 ................................................................................................... (2.21)

Keterangan:

𝑁𝑡∗ = Gaya tarik desain sekrup

𝜙 = Faktor reduksi 0,5

𝑁𝑡 = Kapasitas tarik nominal penampang netto sambungan dalam tarik

Kapasitas nominal sambungan dalam tarik (𝑁𝑡) ditentukan diambil dari

nilai terkecil persamaan berikut,

• Untuk 𝑡2 > 0,9 mm

𝑁𝑡 = 0,85 𝑡2 𝑑𝑓 𝑓𝑢2 ...................................................................................... (2.22)

• Untuk 0,5 < 𝑡2 < 1,5 mm

𝑁𝑡 = 1,5 𝑡1 𝑑𝑤 𝑓𝑢2 ...................................................................................... (2.23)

dw adalah diameter kepala baut dan diameter ring yang lebih besar, tetapi

tidak lebih besar dari 12, tetapi tidak lebih besar dari 12,5 mm.

3. Kapasitas Sekrup dalam Geser

Kapasitas tarik nominal sekrup tidak boleh kurang dari 1,25𝑁𝑡.

4. Tahanan Tarik Sekrup

Tarik pada bagian tersambung harus memenuhi persamaan berikut:

𝑅𝑛 = 𝜙 𝑓𝑢𝑠 𝐴𝑠 ............................................................................................. (2.24)

Keterangan:

𝜙 = Faktor reduksi 0,75

𝑓𝑢𝑠 = Kuat tarik sekrup

𝐴𝑠 = Luas bruto penampang sekrup pada daerah tak berulir

5. Tarik Pada Bagian Tersambung

Tarik pada bagian tersambung harus memenuhi persamaan berikut:

𝐴𝑛 = 𝐴𝑔 − (𝑛 𝑑𝑓 𝑡𝑝) .................................................................................... (2.25)

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

27

Keterangan:

𝐴𝑛 = Luas netto penampang

𝐴𝑔 = Luas bruto penampang

𝑛 = Jumlah sekrup

𝑑𝑓 = Diameter baut nominal

𝑡𝑝 = Tebal pelat

2.6.1.3 Tahanan Tumpu Sekrup

Tahanan tumpu nominal tergantung pada kondisi yang terlemah dari sekrup

atau komponen plat sambung. Besarnya ditentukan oleh persamaan berikut

𝜙𝑅𝑛 = 𝜙 2,4 𝑑𝑓 𝑡𝑝 𝑓𝑢 .................................................................................. (2.26)

Keterangan:

𝜙 = Faktor reduksi 0,75

𝑑𝑓 = Diameter sekrup nominal

𝑡𝑝 = Tebal plat

𝑓𝑢 = Kuat tarik putus terendah dari sekrup

2.6.2 Sambungan Baut

Ada dua jenis baut di pasaran, baut biasa (A307) dan baut mutu tinggi (A325

dan A490). Baut biasa (A307) disebut juga baut hitam atau baut mesin, terbuat dari

baja kadar karbon rendah sedangkan baut mutu tinggi (A325 dan A490) terbuat dari

baja karbon sedang. Berikut adalah spesifikasi dari tipe-tipe baut yang disajikan

pada Tabel 2.8.

Gambar 2. 17 Komponen dan Notasi Baut

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

28

Tabel 2. 7 Tipe-tipe Baut

Tipe Baut Mutu Diameter (mm) Proof Stress

(MPa)

Kuat Tarik

Minimum (MPa)

A307 Normal 6,35 – 10,4 - 60

A325 Tinggi 12,7 – 25,4 585 825

28,6 – 38,1 510 725

A490 Tinggi 12,7 – 38,1 825 1035

Untuk perhitungan kapasitas dari sambungan baut mengacu pada SNI 03-

1729-2000 pasal 13.2 tentang perencanaan baut. Suatu baut yang memikul gaya

terfaktor harus memenuhi persamaan:

𝑅𝑢 ≤ 𝜙𝑅𝑛 .................................................................................................... (2.27)

Keterangan:

𝜙 = Faktor Tahanan

𝑅𝑛 = Tahanan nominal baut

2.6.2.1 Sambungan Baut dalam Geser

Tahanan geser rencana dari satu baut dihitung menggunakan persamaan

berikut:

𝑉𝑑 = 𝜙𝑓 𝑉𝑛 = 𝜙𝑓 𝑟1 𝑓𝑢𝑏 𝐴𝑏 ............................................................................ (2.28)

Keterangan:

𝑟1 = 0,5 untuk baut tanpa ulir pada bidang geser

𝑟1 = 0,4 untuk baut dengan ulir pada bidang geser

𝜙𝑓 = Faktor tahanan untuk fraktur (0,75)

𝑓𝑢𝑏 = Kuat tarik baut

𝐴𝑏 = Luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir

Tahanan geser nominal baut yang mempunyai beberapa bidang geser

(bidang geser majemuk) adalah jumlah tahanan masing-masing yang dihitung untuk

setiap bidang geser.

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

29

2.6.2.2 Sambungan Baut dalam Tarik

Tahanan tarik rencana satu baut dapat dihitung menggunakan persamaan

berikut:

𝑇𝑑 = 𝜙𝑓 𝑇𝑛 = 𝜙𝑓 0,75 𝑓𝑢𝑏 𝐴𝑏 ....................................................................... (2.29)

Keterangan:

𝜙𝑓 = Faktor tahanan untuk fraktur (0,75)

𝑓𝑢𝑏 = Kuat tarik baut

𝐴𝑏 = Luas bruto penampang baut pada daerah tak berulir

2.6.2.3 Tahanan Tumpu Baut

Berdasarkan SNI 03-1729-2000 pasal 13.2.2.4 Tahanan tumpu rencana

bergantung pada yang terlemah dari baut atau komponen pelat yang disambung.

Apabila jarak lubang tepi terdekat dengan sisi pelat dalam arah kerja gaya lebih

besar daripada 1,5 kali diameter lubang, jarak antar lubang lebih besar daripada 3

kali diameter lubang, dan ada lebih dari satu baut dalam arah kerja gaya, maka

tahanan rencana tumpu dihitung menggunakan persamaan berikut:

𝑅𝑑 = 𝜙𝑓 𝑅𝑛 = 2,4 𝜙𝑓 𝑑𝑏 𝑡𝑝 𝑓𝑢 ..................................................................... (2.30)

Tahanan tumpu yang didapat dari perhitungan di atas berlaku untuk semua

jenis lubang baut. Sedangkan untuk lubang baut selot panjang tegak lurus arah kerja

gaya berlaku persamaan berikut ini:

𝑅𝑑 = 𝜙𝑓 𝑅𝑛 = 2,0 𝜙𝑓 𝑑𝑏 𝑡𝑝 𝑓𝑢 ..................................................................... (2.31)

Keterangan:

𝜙𝑓 = Faktor tahanan untuk fraktur (0,75)

𝑑𝑏 = Diameter baut nominal pada daerah tak berulir

𝑡𝑝 = Tebal pelat

𝑓𝑢 = Kuat tarik yang terendah dari baut atau pelat

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

30

2.7 Perencanaan Pembebanan

Penentuan pembebanan pada proses perencanaan harus disesuaikan dengan

peraturan peraturan yang berlaku, standar pembebanan yang digunakan yaitu SNI

1725:2016 mengenai Standar Pembebanan Untuk Jembatan, dan Surat Edaran

Menteri Pekerjaan Umum No. 02/SE/M/2010 tentang Pedoman Perencanaan dan

Pelaksanaan Konstruksi Jembatan Gantung Untuk Pejalan Kaki. Pembebanan

memperhitungkan aksi beban rencana yang akan diterima oleh jembatan serta

menggabungkan dengan beban akibat faktor luar sehingga jembatan dapat bekerja

sesuai dengan beban yang diterima.

Menurut SNI 1725:2016 mengenai Standar Pembebanan Untuk Jembatan,

terdapat beberapa jenis beban, yaitu:

1. Beban Tetap

Beban tetap merupakan beban yang selamanya bekerja pada suatu sistem

struktur. Beban tetap terdiri dari beban mati (akibat berat sendiri), beban mati

tambahan, beban akibat susut dan rangkak, dan tekanan uplift tanah.

a. Beban mati akibat berat sendiri struktur jembatan berdasarkan berat dari

struktur jembatan.

b. Beban mati tambahan akibat berat dari elemen non struktural yang

nilainya dihitung berdasarkan berat isi bahan yang digunakan.

c. Beban akibat susut dan rangkak tidak diperhitungkan dalam

perencanaan jembatan rangka baja pejalan kaki “Jembatan Tudang

Sipulung”.

d. Tekanan uplift tanah tidak diperhitungkan karena perencanaan hanya

dibatasi hanya pada struktur atas jembatan.

2. Beban Sementara

Beban sementara terjadi apabila suatu beban melewati pada suatu sistem

struktur dalam kondisi atau waktu tertentu. Selain itu, beban sementara tidak

bekerja pada satu titik tertentu secara pasti atau tempat bekerjanya beban dapat

berpindah-pindah yang disebabkan oleh faktor luar. Beban sementara terdiri dari

beban pejalan kaki, gaya akibat suhu, beban angin, gaya gesek perletakkan, beban

gempa dan beban pelaksana.

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

31

a. Beban pelaksanaan merupakan beban saat pelaksana konstruksi.

b. Beban lalu lintas yang diperhitungkan hanya beban pejalan kaki.

c. Beban aksi lingkungan yang diperhitungkan hanya beban angin dan

beban air hujan.

d. Gaya rem tidak diperhitungkan karena perencanaan hanya dibatasi

sebagai jembatan pejalan kaki.

3. Beban Khusus

Beban khusus hanya diperhitungkan pada saat tertentu, misalnya pada saat

perhitungan tegangan jembatan. Beban khusus terdiri dari beban akibat gaya

prategang dan gaya akibat tumbukan.

a. Beban akibat gaya prategang tidak diperhitungkan karena struktur

bukan termasuk struktur prategang.

b. Beban akibat gaya tumbukan tidak diperhitungkan karena jembatan

diasumsikan terletak pada posisi yang aman terbebas dari tumbukan.

2.7.1 Beban Tetap

Beban tetap yang direncanakan pada jembatan baja canai dingin pejalan

kaki yaitu beban untuk berat sendiri dan beban mati tambahan.

2.7.1.1 Berat Sendiri (MS)

Menurut SNI 1725:2016 tentang Peraturan Pembebanan Untuk Jembatan,

berat sendiri adalah berat bagian dari elemen-elemen struktural lain yang

dipikulnya, termasuk berat dari material jembatan yang merupakan struktural dari

jembatan itu sendiri. Adapun faktor beban yang dapat digunakan untuk berat sendiri

tersaji pada Tabel 2.9.

Tabel 2. 8 Faktor Beban Untuk Berat Sendiri (γMS)

Tipe Beban

Faktor Beban (γMS)

Keadaan Batas Layan (γ SMS) Keadaan Batas Ultimit (γ UMS)

Bahan Biasa Terkurangi

Tetap

Baja 1,00 1,10 0,90

Aluminium 1,00 1,10 0,90

Beton pracetak 1,00 1,20 0,85

Beton dicor di tempat 1,00 1,30 0,75

Kayu 1,00 1,40 0,70

Sumber : SNI 1725:2016 (Tabel 3)

Page 28: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

32

2.7.1.2 Beban Mati Tambahan/ Utilitas (MA)

Menurut SNI 1725:2016 tentang Peraturan Pembebanan Untuk Jembatan,

beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu beban

pada jembatan yang merupakan elemen non struktural, dan besarnya dapat berubah

selama umur pemakaian jembatan. Berikut ini adalah faktor pembebanan untuk

beban mati tambahana/ utilitas (MA) yang tersaji pada Tabel 2.10.

Tabel 2. 9 Faktor Beban Untuk Beban Mati Tambahan (γMS)

Tipe Beban

Faktor Beban (γMA)

Keadaan Batas Layan (γ SMA) Keadaan Batas Ultimit (γ UMA)

Bahan Biasa Terkurangi

Tetap Umum 1,00(1) 2,00 0,70

Khusus 1,00 1,40 0,80

Catatan (1): Faktor beban layan sebesar 1,3 digunakan untuk berat utilitas

Sumber : SNI 1725:2016 (Tabel 4)

2.7.2 Beban Sementara

Beban sementara yang direncanakan pada jembatan baja canai dingin

pejalan kaki yaitu beban pelaksanaan, beban lalu lintas atau beban pejalan kaki, dan

beban aksi lingkungan.

2.7.2.1 Beban Tetap Pelaksanaan

Beban tetap pelaksanaan adalah beban yang disebabkan oleh metode dan

urutan pelaksanaan pekerjaan jembatan. Beban ini biasanya mempunyai kaitan

terhadap beban aksi lainnya sehingga beban ini harus dikombinasikan dengan

pengaruh beban yang terjadi. Faktor pembebanan dari beban tetap pelaksanaan

tersaji dalam Tabel 2.11.

Tabel 2. 10 Faktor Beban Akibat Pengaruh Pelaksanaan (γPL)

Tipe Beban

Faktor Beban (γPL)

Keadaan Batas Layan (γ SPL) Keadaan Batas Ultimit (γ UPL)

Biasa Terkurangi

Tetap 1,00 1,00 1,00 Sumber : SNI 1725:2016 (Tabel 10)

2.7.2.2 Beban Lalu Lintas

Beban lalu lintas merupakan beban yang selalu melintasi jembatan, pada

perencanaan jembatan ini didesain menggunakan beban rencana yang berupa beban

Page 29: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

33

pejalan kaki sebesar 500 kg/m. Faktor beban lalu lintas yang digunakan disajikan

pada Tabel 2.12.

Tabel 2. 11 Faktor Beban Lalu Lintas

Tipe Beban Jembatan Faktor Beban

Keadaan Batas Layan Keadaan Batas Ultimit

Transien Beton 1,00 1,80

Baja 1,00 2,00

Sumber : SNI 1725:2016 (Tabel 12)

2.7.2.3 Beban Aksi Lingkungan

Perencanaan pembebanan yang diakibatkan dari beban aksi lingkungan

pada perencanaan jembatan ini yang diperhitungkan hanya berupa beban akibat

angin dan beban air hujan. Besarnya beban rencana dihitung berdasarkan standar

SNI 1725:2016 dengan analisa statistik dari kejadian-kejadian umum yang mungkin

akan memperbesar pengaruh setempat.

1. Beban Angin

Tekanan angin pada jembatan harus direncanakan dengan kecepatan angin

dasar (VB) sebesar 90 hingga 126 km/jam. Beban angin harus diasumsikan

terdistribusi merata pada permukaan yang terekspos oleh angin. Berikut ini tekanan

angin rencana (MPa) dapat ditetapkan dengan menggunakan persamaan sebagai

berikut:

𝑃𝐷 = 𝑃𝐵 (𝑉𝐷𝑍

𝑉𝐵)

2

............................................................................................ (2.32)

Keterangan:

𝑃𝐵 = Tekanan angin pada struktur

𝑃𝐵 = Tekanan angin dasar (sesuai Tabel 29 halaman 56 pada SNI

1725:2016), seperti yang disajikan pada Tabel 2.13

𝑉𝐷𝑍 = Kecepatan angin rencana pada elevasi rencana, Z (km/jam) dengan

perhitungan berdasarkan persamaan 2.33

𝑉𝐵 = Kecepatan angin rencana yaitu 90 hingga 126 km/jam

Page 30: BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembataneprints.umm.ac.id/63849/3/BAB II.pdf · 2020. 7. 25. · 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jembatan Berdasarkan Peraturan Pemerintah

34

Tabel 2. 12 Tekanan Angin Dasar

Komponen Bangunan Atas Angin Tekan Angin Hisap

MPa MPa

Rangka, kolom, dan pelengkung 0,0024 0,0024

Balok 0,0024 N/A

Permukaan dasar 0,0019 N/A

Sumber : SNI 1725:2016 (Tabel 29)

Untuk jembatan atau bagian jembatan dengan elevasi lebih tinggi dari

10000 mm diatas permukaan tanah atau permukaan air, kecepatan angin rencana,

VDZ, harus dihitung dengan persamaan berikut:

𝑉𝐷𝑍 = 2,5 𝑉𝑂 (𝑉10

𝑉𝐵) in (

𝑍

𝑍𝑂) .......................................................................... (2.33)

Keterangan:

𝑉10 = Kecepatan angin pada elevasi 10000 mm di atas permukaan tanah

atau di atas permukaan air rencana (km/jam). Dapat diperoleh dari:

• Grafik kecepatan angin dasar untuk berbagai periode ulang,

• Survei angin pada lokasi jembatan, dan

• Jika tidak ada data yang lebih baik, dapat diasumsikan bahwa

𝑉10 = 𝑉𝐵 = 90 s/d 126 km/jam

𝑉𝑂 = Kecepatan gesekan angin (sesuai Tabel 28 halaman 56 pada SNI

1725:2016), seperti yang disajikan pada Tabel 2.14

𝑍 = Elevasi struktur diukur dai permukaan tanah atau sungai

𝑍𝑂 = Panjang gesekan di hulu jembatan (sesuai Tabel 28 halaman 56 pada

SNI 1725:2016), seperti yang disajikan pada Tabel 2.14

Tabel 2. 13 Nilai 𝑉𝑂 dan 𝑍𝑂untuk Berbagai Variasi Kondisi Permukaan Hulu

Kondisi Lahan Terbuka Sub Urban Kota

𝑉𝑂 (km/jam) 13,2 17,6 19,3

𝑍𝑂 (km/jam) 70 1000 2500

Sumber : SNI 1725:2016 (Tabel 28)

2. Beban Air Hujan

Beban hujan merupakan beban yang diakibatkan adanya genangan air hujan

di atas rangka jembatan. Pada perencanaan jembatan rangka pejalan kaki ini

diasumsikan beban hujan yang bekerja memiliki ketebalan 2 cm yang kemudian

didistribusikan menjadi beban titik pada rangka jembatan.