BAB II LANDASAN TEORETIK...BAB II LANDASAN TEORETIK 2.1.Perubahan Kurikulum Dunia pendidikan kita...

27
BAB II LANDASAN TEORETIK 2.1. Perubahan Kurikulum Dunia pendidikan kita sudah berkali-kali mengalami perubahan kurikulum. Setidaknya sudah tujuh kali perubahan kurikulum tercatat dalam sejarah, yakni Kurikulum 1962, 1968, 1975, 1984, 1994, dan KBK tahun 2004 dan KTSP tahun 2006. Namun, apa dampaknya terhadap mutu pendidikan? Sudahkah pendidikan di negeri ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang mampu membawa bangsa ini berdiri sejajar dan terhormat dengan negara lain di kancah global? Sudahkah dunia pendidikan kita melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial? Jawaban terhadap semua pertanyaan itu agaknyatidak begitu menggembirakan. Selama ini kita sibuk mengurusi dan membenahi dokumen tertulisnya saja. Perubahan kurikulum di negara kita kebanyakan menitikberatkan pada perubahan konsep tertulis, tanpa mau memperbaiki proses pelaksanaannya di tingkat sekolah. Kurikulum di Indonesia sebenarnya memiliki empat dimensi dasar, yakni konsep dasar kurikulum, dokumen tertulis, pelaksanaan, dan hasil belajar siswa. Di Indonesia yang kerap mengalami

Transcript of BAB II LANDASAN TEORETIK...BAB II LANDASAN TEORETIK 2.1.Perubahan Kurikulum Dunia pendidikan kita...

  • ���

    BAB II LANDASAN TEORETIK

    2.1. Perubahan Kurikulum

    Dunia pendidikan kita sudah berkali-kali mengalami

    perubahan kurikulum. Setidaknya sudah tujuh kali

    perubahan kurikulum tercatat dalam sejarah, yakni

    Kurikulum 1962, 1968, 1975, 1984, 1994, dan KBK tahun

    2004 dan KTSP tahun 2006. Namun, apa dampaknya

    terhadap mutu pendidikan? Sudahkah pendidikan di negeri

    ini mampu melahirkan anak-anak bangsa yang mampu

    membawa bangsa ini berdiri sejajar dan terhormat dengan

    negara lain di kancah global? Sudahkah dunia pendidikan kita

    melahirkan generasi bangsa yang tidak hanya cerdas secara

    intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan

    sosial? Jawaban terhadap semua pertanyaan itu agaknyatidak

    begitu menggembirakan. Selama ini kita sibuk mengurusi dan

    membenahi dokumen tertulisnya saja. Perubahan kurikulum

    di negara kita kebanyakan menitikberatkan pada perubahan

    konsep tertulis, tanpa mau memperbaiki proses

    pelaksanaannya di tingkat sekolah. Kurikulum di Indonesia

    sebenarnya memiliki empat dimensi dasar, yakni konsep

    dasar kurikulum, dokumen tertulis, pelaksanaan, dan hasil

    belajar siswa. Di Indonesia yang kerap mengalami

  • ���

    perubahan hanya dimensi dokumen tertulis berupa buku-

    buku pelajaran dan silabus saja yang sudah dilaksanakan.

    Persoalan proses dan hasilnya, tak pernah mampu dijawab

    oleh kurikulum pendidikan kita. Kita berharap, implementasi

    KTSP saat ini tidak lagi terjebak ke dalam praktik semu di

    mana perubahan kurikulum hanya sekadar jadi momentum

    adu konsep, sedangkan dimensi proses dan hasil-hasilnya

    sama sekali tak terurus.

    A S P E K

    KURIKULUM

    BERBASIS

    MATERI

    KURIKULUM

    BERBASIS

    KOMPETENSI

    • PENGAMBILAN

    KEPUTUSAN

    Semua aspek

    kurikulum

    ditentukan oleh

    Departemen

    (Pusat)

    Pembagian

    wewenang dalam

    menentukan

    kurikulum

    • PUSAT

    PERHATIAN

    Penyampaian

    materi pelajaran

    oleh guru

    Kompetensi dasar

    yang dikuasai

    siswa

    • PROSES Teaching:

    berpusat pada

    guru , metoda

    monoton, guru

    sumber ilmu

    utama

    Learning:

    berpusat pada

    siswa, metoda

    bervariasi, guru

    sebagai fasilitator

  • ���

    • HASIL

    PENDIDIKAN

    Tekanan

    berlebihan pada

    aspek kognitif

    Menekankan

    pada keutuhan

    ranah kognitif,

    afektif, dan

    psikomotorik

    • EVALUASI Acuan norma dan

    tes obyektif

    Acuan kriteria,

    tes, dan portofolio

    Jika dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya,

    kurikulum berbasis kompetensi ini memuat perubahan yang

    cukup mendasar terutama dalam hal penerapan pandangan

    bahwa dalam proses belajar, anak dianggap sebagai

    pengembang pengetahuan. Selain itu, adanya penekanan pada

    pengembangan kemampuan pemecahan masalah; berfikir

    logis, kritis, dan kreatif; serta mengkomunikasikan gagasan

    secara matematik, maka teori belajar yang dominan

    digunakan kemungkinannya adalah aliran psikologi

    perkembangan serta konstruktivisme. Dalam penerapannya,

    guru antara lain harus mampu menciptakan suatu kondisi

    sehingga proses asimilasi dan akomodasi seperti yang

    dikemukakan Piaget dapat berjalan secara efektif. Selain itu,

    guru juga harus memperhatikan adanya keberagaman

    kemampuan di antara siswa sehingga dengan kondisi tertentu

    yang diciptakan guru, maka potensi masing-masing siswa

    dapat berkembang secara optimal.

  • ���

    Perkembangan lingkungan pendidikan seperti teknologi,

    kemudahan akses pengetahuan, hilangnya batas-batas antar

    negara dengan masuknya pendidikan asing ke Indonesia,

    mengakibatkan perlunya dilakukan penyesuaian secara

    berkelanjutan. Jika tidak ingin menjadi penonton di negeri

    sendiri, telah seharusnya sistem pendidikan kita yang salah

    satunya adalah kurikulum disesuaikan secara terus-menerus.

    Pandangan pakar pendidikan terkait hal ini sudah banyak

    dilakukan, masalahnya adalah seberapa besar para pemangku

    kebijakan memiliki kemauan untuk mengaplikasikannya.

    Masyarakat sebagai pelanggan pendidikan menantikan

    bagaimana kira-kira wajah kurikulum pada tingkat satuan

    pendidikan ini. Tentunya hal ini terkait dengan bentuk revisi

    yang dilakukan nanti. Paling tidak ada dua pertanyaan,

    pertama, apakah revisi dilakukan hanya menambah atau

    mengurangi nama dan jumlah mata pelajaran? Kedua,

    apakah revisi akan merubah sama sekali format kurikulum

    tingkat satuan pendidikan? Jika yang dilakukan adalah yang

    pertama, maka tidak akan banyak perubahan yang terjadi

    terkait mutu pendidikan kita. Sebaliknya, jika yang dilakukan

    adalah yang kedua, maka diskusi-diskusi publik secara

    terencana (strategic planning) harus dilakukan diantara para

    pelaku, praktisi, pendidik, pemerhati pendidikan dan

    pemangku kebijakan. Tujuannya adalah agar dihasilkan suatu

    bentuk kurikulum yang dapat merespon semua kearipan lokal

    dan perubahan global. Apalagi, pasca otonomi daerah, bidang

    pendidikan telah diserahkan kepada daerah kabupaten/kota.

  • ���

    Tulisan ini ingin mencoba memberikan pertimbangan bagi

    penyusunan kurikulum pada tingkat Sekolah Dasar (SD).

    2.1.1 Hakikat Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan

    (KTSP)

    Istilah kurikulum pada zaman Yunani kuno bersal dari

    kata “Curere”yang berarti “tempat perlindungan”. Kurikulum

    diartikan “jarak yang harus ditempuh dalam suatu

    perlombaan lari“ atau “raca cource“. Analog denganmakna

    diatas kurikulum dalam pendidikan diartikan sebagai

    sejumlah matapelajaran dan materi yang harus dikuasai

    peserta didik untuk memperolehijazah tertentu. Dengan

    pengertian ini kurikulum digunakan pertama kali

    dalambidang pendidikan. Kurikulum adalah seperangkat

    rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan

    pembelajaran, dan cara yang digunakan sebagai pedoman

    penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai

    tujuan pendidikan tertentu (Depdiknas , 2004).

    Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. KTSP adalah

    kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan di

    masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan

    pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan

    kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan,

    dan silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu

    dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang

    mencakup standar kompetensi , kompetensi dasar, materi

    pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator,

  • ���

    penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar.

    Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan

    kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran,

    kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi

    untuk penilaian.

    Menurut BSNP (2007) KTSP dikembangkan sesuai

    dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan

    pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas

    pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota

    untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan

    menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL

    dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang

    disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan

    komite sekolah/madrasah. Penyusunan KTSP untuk

    pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh dinas

    pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta

    panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP.

    KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip (1) berpusat

    pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan

    peserta didik dan lingkungannya, (2) beragam dan terpadu, (3)

    tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi

    dan seni, (4) relevan dengan kebutuhan kehidupan, (5)

    menyeluruh dan berkesinambungan, (6) belajar sepanjang

    hayat.

  • ��

    2.2. Teori tentang sikap, Intensi dan perilaku

    Sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia

    terhadap dirinya sendiri, orang lain, obyek atau isue. (Petty,

    Cocopio, dalam Azwar S., 2000 : 6). Struktur sikap terdiri atas

    3 komponen yang saling menunjang yaitu (Azwar S., 2000 :

    23): 1) Komponen kognitif merupakan representasi apa yang

    dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen kognitif

    berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai

    sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama

    apabila menyangkut masalah isu atau problem yang

    kontroversial. 2) Komponen afektif merupakan perasaan yang

    menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang

    biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan

    merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-

    pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang

    komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki

    seseorang terhadap sesuatu. 3) Komponen konatif merupakan

    aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan

    sikap yang dimiliki oleh seseorang, serta berisi tendensi atau

    kecenderungan untuk bertindak / bereaksi terhadap sesuatu

    dengan cara-cara tertentu.

    Sikap dapat diukur. Pengukuran sikap dapat dilakukan

    dengan menilai pernyataan sikap seseorang. Pernyataan sikap

    adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai

    obyek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan sikap

    mungkin berisi atau mengatakan hal-hal yang positif

  • ��

    mengenai obyek sikap, yaitu kalimatnya bersifat mendukung

    atau memihak pada obyek sikap. Pernyataan ini disebut

    dengan pernyataan yang favourable. Sebaliknya pernyataan

    sikap mungkin pula berisi hal-hal negatif mengenai obyek

    sikap yang bersifat tidak mendukung maupun kontra

    terhadap obyek sikap. Pernyataan seperti ini disebut dengan

    pernyataan yang tidak favourabel. Suatu skala sikap sedapat

    mungkin diusahakan agar terdiri atas pernyataan favorable

    dan tidak favorable dalam jumlah yang seimbang. Dengan

    demikian pernyataan yang disajikan tidak semua positif dan

    tidak semua negatif yang seolah-olah isi skala memihak atau

    tidak mendukung sama sekali obyek sikap (Azwar, 2003).

    Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak

    langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana

    pendapat/ pernyataan responden terhadap suatu obyek.

    Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan

    pernyataanpernyataan hipotesis kemudian ditanyakan

    pendapat responden melalui kuesioner.

    Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keluarga

    terhadap obyek sikap antara lain :1). Pengalaman pribadi.

    Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman

    pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu,

    sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman

    pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor

    emosional; 2). Pengaruh orang lain yang dianggap penting.

    Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap

    yang konformis atau searah dengan sikap orang yang

  • ��

    dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi

    oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk

    menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting

    tersebut. 3). Pengaruh Kebudayaan. Tanpa disadari

    kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita

    terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap

    anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi

    corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya.

    4). Media Massa. Dalam pemberitaan surat kabar mauoun

    radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya

    faktual disampaikan secara obyekstif cenderung dipengaruhi

    oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap

    konsumennya. 5). Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama.

    Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan

    lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan

    tidaklah mengherankan jika kalau pada gilirannya konsep

    tersebut mempengaruhi sikap; 6). Faktor Emosional. Kadang

    kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang

    didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran

    frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan

    ego.(Azwar, 2003).

    2.2.1. Teori Perilaku

    Dalam bukunya yang berjudul The Teory of Planned

    Behavior (TPB) atau Teori Perilaku Terencana, Ajzen (1991)

    mengemukakan bahwa sikap ditentukan oleh keyakinan yang

    diperoleh mengenai konsekuensi dari suatu perilaku atau

  • disebut juga behavioral beliefs. Belief berkaitan dengan

    penilaian-penilaian subjektif seseorang terhadap dunia

    sekitarnya, pemahaman mengenai diri dan juga

    lingkungannya. Bagaimana cara mengetahui belief ini? Nah

    ternyata dalam teorinya TPB ini, Ajzen cerita bahwa belief

    dapat diungkap dengan cara menghubungkan suatu perilaku

    yang akan kita prediksi dengan berbagai manfaat atau

    kerugian yang mungkin diperoleh apabila kita melakukan

    atau tidak melakukan perilaku itu. Keyakinan ini dapat

    memperkuat sikap terhadap perilaku itu apabila berdasarkan

    evaluasi, diperoleh data bahwa perilaku itu dapat memberikan

    keuntungan bagi pelakunya.

    Inti teori ini mencakup 3 hal yaitu; yaitu keyakinan

    tentang kemungkinan hasil dan evaluasi dari perilaku

    tersebut (behavioral beliefs), keyakinan tentang norma yang

    diharapkan dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut

    (normative beliefs), serta keyakinan tentang adanya factor yang

    dapat mendukung atau menghalangi perilaku dan kesadaran

    akan kekuatan faktor tersebut (control beliefs). Behavioral

    beliefs menghasilkan sikap suka atau tidak suka berdasarkan

    perilaku individu tersebut. Normative beliefs menghasilkan

    kesadaran akan tekanan dari lingkungan sosial atau norma

    subyektif, sedangkan control beliefs menimbulkan kontrol

    terhadap perilaku tersebut. Dalam perpaduannya, ketiga

    faktor tersebut menghasilkan intensi perilaku (behavior

    intention). Secara umum, apabila sikap dan norma subyektif

    menunjuk ke arah positif serta semakin kuat kontrol yang

  • ��

    dimiliki maka akan lebih besar kemungkinan seseorang akan

    cenderung melakukan perilaku tersebut. Tahapan intervensi

    tingkah laku berdasarkan Theory of Planned Behavior (TPB)

    secara singkat dapat dilihat pada Gambar 02 dibawah ini yang

    merupakan hipotesis

    Gambar 1. Theory of planned behavior

    Dari Gambar 1 tersebut di atas nampak bahwa model

    teoritik dari Teori Planned Behavior mengandung berbagai

    variabel yaitu :. 1). Sikap adalah Evaluasi Umum yang di buat

    Guru terhadap evaluasi. 2). Norma subjektif (Subjective

    Norm) adalah sejauh mana seseorang memiliki motivasi untuk

    mengikuti pandangan orang terhadap perilaku yang akan

    dilakukannya (Normative Belief). Kalau individu merasa itu

    ���������

    �� �������

    �������

    ����������������������������

    ���� �

    ����������

    ��������

    ��������

  • ��

    adalah hak pribadinya untuk menentukan apa yang akan dia

    lakukan, bukan ditentukan oleh orang lain disekitarnya, maka

    dia akan mengabaikan pandangan orang tentang perilaku

    yang akan dilakukannya. Fishbein & Ajzen (1975)

    menggunakan istilah motivation to comply untuk

    menggambarkan fenomena ini, yaitu apakah individu

    mematuhi pandangan orang lain yang berpengaruh dalam

    hidupnya atau tidak.3). Persepsi kemampuan mengontrol

    atau kontrol keperilakuan (Perceived Behavioral Control),

    yaitu keyakinan (beliefs) bahwa individu pernah

    melaksanakan atau tidak pernah melaksanakan perilaku

    tertentu, individu memiliki fasilitas dan waktu untuk

    melakukan perilaku itu, kemudian individu melakukan

    estimasi atas kemampuan dirinya apakah dia punya

    kemampuan atau tidak memiliki kemampuan untuk

    melaksanakan perilaku itu. Ajzen menamakan kondisi ini

    dengan “persepsi kemampuan mengontrol” (perceived

    behavioral control).

    2.2.2. Intensi

    Intensi (intention) adalah niat untuk melakukan perilaku

    atau kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan

    atau tidak melakukan sesuatu pekerjaan. Niat ini ditentukan

    oleh sejauh mana individu memiliki sikap positif pada perilaku

    tertentu, dan sejauh mana kalau dia memilih untuk

    melakukan perilaku tertentu itu dia mendapat dukungan dari

    orang-orang lain yang berpengaruh dalam kehidupannya.

  • ��

    Ajzen (dalam Azwar.2011) menjelaskan intensi sebagai

    hal yang mengindikasikan besarnya usaha yang dikeluarkan

    individu untuk melakukan suatu tingkah laku. Intensi atau

    behavioral intention didefinisikan sebagai: “As a person location

    on subjective probability dimention involving a relation between

    himself and some action. A behavioral intention therefore, refers

    to a person’s subjective probability that he will perform some

    behavior.” (Fishbein & Ajzen, 1975; hal 288) Berdasarkan

    definisi ini berarti intensi menunjukkan kemungkinan

    dilakukannya suatu perilaku oleh individu. Jika belum

    menjadi perilaku nyata, intensi masih merupakan suatu

    disposisi (kecenderungan) untuk bertingkah laku. Namun,

    ketika kesempatan atau situasi yang tepat muncul, intensi

    berubah menjadi suatu usaha untuk melakukan tingkah laku

    tertentu. Sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang akan

    melakukan suatu perilaku jika ia memiliki intensi untuk

    melakukan perilaku tersebut.

    Intensi merupakan fungsi dari tiga determinan dasar,

    yaitu sikap individu terhadap perilaku, persepsi individu

    terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau untuk tidak

    melakukan perilaku yang bersangkutan, dan aspek kontrol

    perilaku yang dihayati (Azwar, 1995:10-11). Intensi seringkali

    dipandang sebagai suatu komponen konatif (kecenderungan

    bertingkah laku) dari sikap (Fishbein, 1975). Biasanya

    diasumsikan bahwa intensi merupakan komponen afektif

    (menyangkut kehidupan emosional seseorang) dari sikap.

  • ��

    Menurut teori perilaku terencana (theory of planned behavior)

    yang dikemukakan oleh Ajzen dan Fishbein menjelaskan

    bahwa faktor utama dari suatu perilaku yang ditampilkan

    individu adalah intensi untuk menampilkan perilaku tertentu

    (Ajzen,1991). Intensi diasumsikan sebagai faktor motivasional

    yang mempengaruhi perilaku. Intensi merupakan indikasi

    seberapa keras seseorang berusaha atau seberapa banyak

    usaha yang dilakukan untuk menampilkan suatu perilaku.

    Jadi, semakin keras intensi seseorang untuk terlibat dalam

    suatu perilaku, semakin besar kecenderungan dia untuk

    benar-benar melakukan perilaku tersebut. Intensi untuk

    berperilaku dapat menjadi perilaku sebenarnya jika perilaku

    tersebut ada di bawah kontrol individu. Individu memiliki

    pilihan untuk memutuskan menampilkan perilaku tertentu

    atau tidak sama sekali (Ajzen, 1991:6 dalam Kurniasari,

    2005:16). Seberapa jauh individu akan menampilkan perilaku,

    tergantung pada faktor-faktor non motivasional. Salah satu

    contoh dari faktor non motivasional adalah ketersediaan

    kesempatan dan sumber yang dimiliki (misalnya uang, waktu,

    dan bantuan dari pihak lain). Faktor-faktor ini mencerminkan

    kontrol aktual terhadap perilaku. Jika kesempatan dan

    sumber-sumber yang dimiliki tersedia dan terdapat intensi

    untuk menampilkan perilaku, maka kemungkinan perilaku itu

    muncul sangat besar. Dengan kata lain, suatu perilaku akan

    muncul jika terdapat intensi dan kemampuan mengontrol

    (kontrol perilaku). Pernyataan tersebut didasari oleh dua hal

    penting yaitu: 1) jika intensi dianggap sebagai faktor yang

  • ��

    konstan, maka usaha-usaha untuk menampilkan perilaku

    tertentu tergantung pada sejauh mana kontrol yang dimiliki

    individu tersebut, 2) bahwa ada hubungan langsung antara

    kontrol keperilakuan (perceived behavioral control) dan

    perilaku nyatanya, seringkali dapat digunakan sebagai

    pengganti atau subtitusi untuk mengukur kontrol nyata

    (actual control).

    2.3. Peran Guru Dalam Implementasi Kurikulum KTSP

    Implementasi KBK berimplikasi terhadap serangkaian

    tuntutan yang harusdipenuhi oleh seorang guru dalam

    menjalan tugas keprofesionalannya Dengan asumsi bahwa

    gurulah yang paling tahu mengenai tingkat perkembangan

    pesertadidik, perbedaan perorangan (individual) siswa, daya

    serap, suasana dalam kegiatanpembelajaran, serta sarana dan

    sumber yang tersedia maka guru berwenang

    untuk menjabarkan dan mengembangkan kurikulum ke

    dalam silabus. Pengembangan ini hendaknya mendasarkan

    pada beberapa hal diantaranya: isi (konten),

    konsep,kecakapan / keterampilan, masalah, serta minat siswa

    (Anonim, 2004). Guru perlu memahami prinsip-prinsip

    mengajar yang mengacu pada peningkatan

    kemampuaninternal siswa. Peningkatan kemampuan ini

    misalnya dilakukan dengan menerapkan berbagai strategi

    pembelajaran yang memungkinkan siswa mampu

    mencapaikompetensi secara penuh, utuh dan kontekstual

    (Anonim, 2003).

  • ��

    Peran guru dalam pembelajaran pada konteks

    kurikulum berbasis kompetensi, menurut Sanjaya

    (2005),adalah sebagai: (1) fasilitator; (2) manajer; (3)

    demonstrator; (4) administrator; (5)motivator; (6) organisator;

    dan (7) evaluator. Sebagai fasilitator guru berperan

    untuk memudahkan siswa dalam melaksanakan proses

    pembelajaran, terutama dalamkaitannya dengan penggunaan

    media dan sumber belajar. Sebagai manajerpembelajaran guru

    berperan dalam menciptakan suasana / iklim belajar

    yangmemungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman,

    melalui pengelolaan kelas yangbaik. Peran sebagai

    demonstrator dapat ditunjukkan dengan penampilan guru

    yangmenjadi acuan bagi siswa. Sebagai administrator guru

    memungsikan penggunaandokumentasi dan data siswa untuk

    keperluan pembinaan dan bimbingan. Sebagaiorganisator

    peran yang diharapkan pada guru dalam mengorganisasi

    siswa, baik secara kelompok maupun individual, sehingga

    tetap terjaga keharmonisan diantarasiswa. Guru sebagai

    evaluator harus memilik kemampuan untuk

    mengukurketercapaian tujuan pembelajaran pada masing-

    masing siswa dan kelompok siswa,serta mampu

    menggunakannya sebagai alat untuk penentuan tindak

    lanjut.Dibalik sejumlah manfaat yang diharapkan dari

    kurikulum ini, muncul juga sejumlah kekhawatiran akan

    keberhasilannya, terutama berkaitan dengan kualitas guru.

    Mulyasa (2004) menyatakan banyaknya sekolah yang memiliki

  • sedikit guru profesional dan tidak mampu melakukan proses

    pembelajaran secara optimal.

    Dalam implementasi KTSP guru dituntut dapat tampil

    sebagai Guru yang benar-benar professional. Profesional guru

    menyangkut dua hal. Pertama, guru harus memiliki

    kompetensi professional dan pedagogik yang memadai

    sehingga mampu mengembangkan kurikulum setiap mata

    pelajaran pada tingkat satuan pendidikan yang sesuai dan

    tepat bagi peserta didiknya (Mungin Eddy Wibowo, 2007).

    Dilihat dari sisi ini fakta menunjukkan bahwa guru belum

    terbiasa mengembangkan kurikulum secara mandiri karena

    selama ini guru hanya disodori kurikulum yang sudah baku

    dari pusat. Kedua, guru dituntut memiliki komitmen

    professional untuk mengimplementasikan KTSP karena

    penerapan KTSP menuntut adanya inovasi, improvisasi,

    kreativitas dan motivasi yang kuat, selain itu penerapan KTSP

    berimplikasi pada semakin beratnya beban kerja guru.

    2.4. Penelitian Relevan

    Dr. Morris A. Okun dari Department of Psychology,

    Arizona State University, Amarika Serikat dan Erin S. Sloane

    dari Los Angeles Unified School District, California, Amerika

    Serikat melakukan penelitian yang didasarkan pada TPB

    untuk memprediksi keikutsertaan (enrollment) mahasiswa

    sebagai relawan dalam suatu program kampus (Okun &

    Sloane, 2002). Penelitiannya dilatarbelakangi pemikiran

    bahwa menjadi relawan dalam suatu kegiatan dipercaya akan

  • ���

    member manfaat bagi individu maupun masyarakat, tetapi

    hanya individu-individu tertentu saja yang tertarik untuk

    menjadi relawan. Penelitiannya dirancang untuk menguji

    hipotesis yang diturunkan dari TPB. Hipotesis pertamanya

    adalah bahwa sikap, norma subjektif, dan kontrol

    keperilakuan (Perceived Behavioral Control/PBC) PBC akan

    menjadi predictor signifikan dari intensi menjadi relawan.

    Hipotesis kedua, bahwa intensi merupakan satu-satunya

    prediktor signifikan menjadi relawan secara aktual. Sampel

    penelitian didapatkan secara random dari para mahasiswa

    yang mengikuti mata kuliah Pengantar Psikologi pada suatu

    universitas besar di Amerika, sebanyak 647 orang. Setelah

    kepada mereka disampaikan pesan mengenai rekrutmen dari

    kegiatan tersebut (menjadi relawan pada the Student Life

    Community Service Program = SLCSP), mereka diminta mengisi

    kuesioner yang berisi komponen-komponen dalam TPB dan

    dua bulan kemudian keikutsertaan mereka dalam kegiatan

    tersebut dicek. Konsisten dengan TPB, sikap, norma subjektif

    dan PBC merupakan prediktor intensi untuk menjadi relawan

    pada SLCSP, dan selanjutnya bisa memprediksi keikutsertaan

    mereka secara nyata sebagai relawan pada SLCSP. Akan

    tetapi, kurang dari 33% mahasiswa yang memiliki skor intensi

    yang tinggi yang benar-benar menjadi relawan dalam program

    tersebut. Ini menggambarkan bahwa diperlukan suatu strategi

    untuk memperkuat intensi agar bisa diwujudkan dalam

    perilaku nyata.

  • ���

    Jeffrey J. Martin dari the Division of Kinesiology, Health

    and Sport Studies at Wayne State University bersama Pamela

    Hodges Kulinna dari the Department of Physical Education at

    Arizona State University melakukan penelitian yang

    didasarkan pada TPB dan Self-Efficacy Theory untuk menguji

    penentu-penentu (determinan) intensi para guru olahraga

    untuk melakukan aktivitas fisik ketika mengajar di kelas-kelas

    mereka (yaitu menggunakan sedikitnya 50% dari waktu 13

    mereka untuk melakukan aktivitas fisik dari yang sedang

    hingga berat). Dilakukannya penelitian tesebut

    dilatarbelakangi pengamatan mereka bahwa semakin

    meningkat usia seseorang, semakin berkurang aktivitas fisik

    yang dilakukan, padahal melakukan aktivitas fisik penting

    bagi kesehatan jantung. Sementara, para guru olah raga

    seharusnya mengajak para murid mereka untuk melakukan

    aktivitas fisik sebagai bagian dari proses pembelajaran yang

    menjadi tanggung jawab mereka. Subjek penelitian Martin

    dan Kulinna (2004) tersebut menggunakan 342 guru olah raga

    dari SD hingga SMA, pria dan wanita, berusia antara 23

    hingga 62 tahun dengan pengalaman mengajar 1 sampai 40

    tahun. Instrumen pengukuran yang digunakan berupa

    kuesioner (untuk data-data demografis) dan skala (untuk

    semua variabel penelitian). Dari data yang terkumpul

    menunjukkan bahwa para guru tersebut memiliki intensi yang

    kuat untuk mengajar kelas yang banyak melibatkan aktivitas

    fisik untuk murid-murid mereka. Mereka juga menunjukkan

  • ��

    sikap yang positif untuk mengajar kelas yang aktif dan

    memiliki motivasi untuk patuh terhadap kelompok sosial yang

    penting (orang tua, para murid) yang mengharapkan mereka

    mengajar dengan melibatkan banyak aktivitas fisik. Para guru

    tersebut juga memiliki PBC yang tinggi untuk bisa mengajar

    kelas-kelas yang melibatkan banyak aktivitas fisik. Sesuai

    dengan tujuan penelitian, data-data tersebut kemudian

    dianalisis dengan teknik regresi bertingkat (hierarchical

    regression). Hasilnya menunjukkan bahwa hipotesis yang

    diajukan yaitu bahwa intensi para guru untuk mengajar kelas

    yang banyak melibatkan aktivitas fisik untuk murid-murid

    mereka ditentukan oleh sikap, norma subjektif dan PBC,

    diterima. TPB mendapat dukungan, bahwa intensi berperilaku

    para guru tersebut 59%-nya ditentukan oleh sikap, norma

    subjektif dan PBC mereka

    Stephen Richard Marrone dari Columbia University

    Teachers College di tahun 2005 melakukan penelitian yang

    juga didasarkan pada TPB dari Ajzen dan Fishbein, terkait

    dengan intensi para perawat gawat darurat untuk memberi

    pelayanan yang secara kultural sesuai bagi pasien Muslim

    Arab. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menyelidiki

    hubungan antara sikap, norma subjektif dan PBC para

    perawat gawat darurat dengan intensi mereka untuk

    memberikan pelayanan yang secara kulutral sesuai dengan

    pasien-pasien Muslim Arab. Subjek penelitian terdiri dari 208

    orang perawat. Data penelitian dikumpulkan dengan

    menggunakan skala model Likert. Masing masing subjek

  • ���

    memperoleh skor sikap, norma subjektif, PBC dan intensi.

    Hasil penelitian Marrone (2005) menunjukkan bahwa terdapat

    hubungan positif yang signifikan antara sikap para perawat

    gawat darurat dan norma subjektif mereka dengan intensi

    untuk memberikan pelayanan yang secara kultural sesuai

    untuk pasien Muslim Arab; dan ada hubungan positif yang

    signifikan antara PBC dengan sikap. Perbedaan yang

    signifikan juga ditemukan dalam hal sikap dan norma

    subjektif antara mereka yang memiliki intensi dan tidak

    memiliki intensi memberikan pelayanan yang secara kultur

    sesuai terhadap pasien Muslim Arab. Dari penelitiannya

    tersebut Marrone kemudian menyarankan akan pentingnya

    memberikan materi-materi yang transkultural pada proses

    pendidikan perawat. Ia juga menyarankan agar dalam

    pendidikan dan pelayanan perawat juga dilakukan

    pendekatan pendekatan yang didasarkan pada informasi-

    informasi yang terkait dengan budaya-budaya tertentu

    2.5. Model Kerangka berpikir

    Model teoritik dari Teori Planned Behavior (Perilaku yang

    direncanakan) mengandung berbagai variabel yaitu :

    a) Keyakinan Perilaku atau behavioral belief yaitu hal-hal

    yang diyakini oleh individu mengenai sebuah perilaku

    dari segi positif dan negatif, sikap terhadap perilaku

    atau kecenderungan untuk bereaksi secara afektif

    terhadap suatu perilaku, dalam bentuk suka atau tidak

    suka pada perilaku tersebut.

  • ���

    b) Keyakinan Normatif (Normative Beliefs), yang berkaitan

    langsung dengan pengaruh lingkungan yang secara

    tegas dikemukakan oleh Lewin dalam Field Theory.

    Pendapat Lewin ini digaris bawahi juga oleh Ajzen

    melalui PBT. Menurut Ajzen, faktor lingkungan sosial

    khususnya orang-orang yang berpengaruh bagi

    kehidupan individu (significant others) dapat

    mempengaruhi keputusan individu. Hasilnya berupa

    Norma subjektif (Subjective Norm) adalah sejauh mana

    seseorang memiliki motivasi untuk mengikuti

    pandangan orang terhadap perilaku yang akan

    dilakukannya (Normative Belief). Kalau individu merasa

    itu adalah hak pribadinya untuk menentukan apa yang

    akan dia lakukan, bukan ditentukan oleh orang lain

    disekitarnya, maka dia akan mengabaikan pandangan

    orang tentang perilaku yang akan dilakukannya.

    Fishbein & Ajzen (1975) menggunakan istilah motivation

    to comply untuk menggambarkan fenomena ini, yaitu

    apakah individu mematuhi pandangan orang lain yang

    berpengaruh dalam hidupnya atau tidak.

    c) Keyakinan bahwa suatu perilaku dapat dilaksanakan

    (control beliefs) diperoleh dari berbagai hal, pertama

    adalah pengalaman melakukan perilaku yang sama

    sebelumnya atau pengalaman yang diperoleh karena

    melihat orang lain (misalnya teman, keluarga dekat)

    melaksanakan perilaku itu sehingga ia memiliki

    keyakinan bahwa ia pun akan dapat melaksanakannya.

  • ���

    Selain pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman,

    keyakinan individu mengenai suatu perilaku akan dapat

    dilaksanakan ditentukan juga oleh ketersediaan waktu

    untuk melaksanakan perilaku tersebut, tersedianya

    fasilitas untuk melaksanakannya, dan memiliki

    kemampuan untuk mengatasi setiap kesulitan yang

    menghambat pelaksanaan perilaku. Hasilnya berupa

    Persepsi kemampuan mengontrol (Perceived Behavioral

    Control), yaitu keyakinan (beliefs) bahwa individu pernah

    melaksanakan atau tidak pernah melaksanakan

    perilaku tertentu, individu memiliki fasilitas dan waktu

    untuk melakukan perilaku itu, kemudian individu

    melakukan estimasi atas kemampuan dirinya apakah

    dia punya kemampuan atau tidak memiliki kemampuan

    untuk melaksanakan perilaku itu. Ajzen menamakan

    kondisi ini dengan “persepsi kemampuan mengontrol”

    (perceived behavioral control).

    Niat untuk melakukan perilaku (Intention) adalah

    kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan

    atau tidak melakukan sesuatu pekerjaan. Niat ini

    ditentukan oleh sejauh mana individu memiliki sikap

    positif pada perilaku tertentu, dan sejauh mana kalau

    dia memilih untuk melakukan perilaku tertentu itu dia

    mendapat dukungan dari orang-orang lain yang

    berpengaruh dalam kehidupannya.

  • ���

    Secara skematis, model kerangka berpikir dalam

    penelitian ini tergambar dalam gambar No. 2 berikut.

    [

    Gambar 2. Model Kertangka berpikir

    berdasarkan Teori TPB Ajzen (2005)

    Model kerangka berpikir ini menggambarkan bahwa

    persepsi guru terhadap manfaat mengimplementasikan

    kurikulum KTSP serta peningkatan efisiensi dan efektifitas

    kinerja guru dengan mengimplementasikan perubahan KTSP

    Attitude Toward The Behavior Memutuskan : Setuju untuk melaksanakan perubahan KTSP karena memberikan keuntungan ATAU Tidak setuju karena dipandang merugikan diri sendiri

    Subjective Norm Adanya dorongan dari lingkungan sosial : keluarga, siswa, teman sejawat, kepala sekolah,penilik sekolah dan warga masyarakat pendidikan yang mendukung pengimplementasian perubahan KTSP.

    Perceived Behavioral Control Memahami bahwa faktor implementasi perubahan kurikulum merupakan keharusan untuk dilakukan karena dapat menimngkatkan profesionalisme dan dapat meningkatkan kompetensi para siswa.

    Intensi Indikasi adanya

    niat untuk untuk melaksanakan

    perubahan KTSP�

    Perilaku Perilaku

    melaksanakan perubahan

    KTSP��

  • ���

    mempengaruhi setiap komponen perilaku, yaitu a) sikap

    setuju untuk melaksanakan KTSP karena memberikan

    keuntungan atau jika persepsinya negatif cenderung tidak

    setuju karena dipandang merugikan diri sendiri, b) adanya

    dorongan dari lingkungan sosial : keluarga, siswa, teman

    sejawat, kepala sekolah,penilik sekolah dan warga masyarakat

    pendidikan yang mendukung pengimplementasian perubahan

    KTSP, c) memahami bahwa faktor implementasi kurikulum

    merupakan keharusan untuk dilakukan karena dapat

    menimngkatkan profesionalisme dan dapat meningkatkan

    kompetensi para siswa, d) dorongan berperilaku menerima

    dan mengimplementasikan perubahan kurikulum dipengaruhi

    oleh sejauhmana individu guru menangkap bahwa produk

    hukum berupa Permendiknas pemberlakuan KTSP mengikat

    untuk diimplementasikan, e) sinergi kompleks antar

    komponen (sikap, norma subyektif dan kontrol keperilakuan)

    memunculkan intensi untuk menerima dan melaksanakan

    perubahan kurikulum KTSP, akhirnya f) intensi menerima dan

    mengimplementasikan perubahan kurikulum KTSP akan

    menjadi perilaku nyata dalam mengemban tugas profesinya

    sebagai guru.

  • ���

    2.6. Hipotesis Penelitian

    Hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini

    adalah :

    1 Ho

    :

    Tidak ada pengaruh positif dan signifikan

    antara sikap guru dan intensi

    mengimplementasikan perubahan kurikulum

    KTSP

    Ha

    :

    Terdapat pengaruh positif dan signifikan

    antara sikap guru dan intensi

    mengimplementasikan perubahan kurikulum

    KTSP

    2 Ho

    :

    Tidak ada pengaruh positif dan signifikan

    antara norma subyektif guru dan intensi

    mengimplementasikan perubahan kurikulum

    KTSP

    Ha

    :

    Terdapat pengaruh positif dan signifikan

    antara norma subyektif guru dan intensi

    mengimplementasikan perubahan kurikulum

    KTSP

    3 Ho

    :

    Tidak ada pengaruh positif dan signifikan

    antara kontrol keperilakuan guru dan intensi

    mengimplementasikan perubahan kurikulum

    KTSP

    Ha

    :

    Terdapat pengaruh positif dan signifikan

    antara kontrol keperilakuan guru dan intensi

    mengimplementasikan perubahan kurikulum

  • ��

    KTSP

    4 Ho

    :

    Tidak ada pengaruh positif dan signifikan

    antara sikap guru, norma subyektif dan

    kontrol keperilakuan secara simultan dengan

    intensi mengimplementasikan perubahan

    kurikulum KTSP

    Ha

    :

    Terdapat pengaruh positif dan signifikan

    antara sikap guru, norma subyektif dan

    kontrol keperilakuan secara simultan dengan

    intensi mengimplementasikan perubahan

    kurikulum KTSP

    5 Ho

    :

    Tidak ada pengaruh positif dan signifikan

    antara intensi menerima perubahan kurikulum

    KTSP dan perilaku mengimplementasikan

    perubahan kurikulum KTSP

    Ha

    :

    Terdapat pengaruh positif dan signifikan

    antara intensi menerima perubahan kurikulum

    KTSP dan perilaku mengimplementasikan

    perubahan kurikulum KTSP