BAB II KONSELING EGO STATE DALAM MEREDUKSI KEDUKAAN …
Transcript of BAB II KONSELING EGO STATE DALAM MEREDUKSI KEDUKAAN …
10
BAB II
KONSELING EGO STATE DALAM MEREDUKSI KEDUKAAN
A. Konsep Kedukaan
1. Definisi Kedukaan
Kedukaan merupakan respons alami terhadap kehilangan. Ini merupakan
penderitaan emosional yang individu rasakan ketika sesuatu atau seseorang yang
mereka cintai diambil. Seringkali, rasa sakit akibat kehilangan bisa terasa luar
biasa. Individu mungkin mengalami semua jenis emosi yang sulit dan tidak terduga,
dari mulai kaget atau marah hingga tidak percaya, bersalah, dan sedih. Rasa sakit
dari kedukaan juga dapat mengganggu kesehatan fisik individu, membuatnya sulit
untuk tidur, makan, atau bahkan berpikir jernih.
Terdapat penjelasan tentang definisi kedukaan menurut para ahli diantaranya
dikemukakan oleh Hogan et al., (2001:24) yang mendefinisikan bahwa kedukaan
merupakan reaksi terhadap kematian orang yang dicintai, yang memicu krisis
kehidupan bagi individu yang ditinggalkan sehingga mengakibatkan kehilangan
kualitas hidup dan kesejahteraan baik secara jangka pendek maupun jangka
panjang.
Definisi kedukaan juga diutarakan oleh Stuart & Laraia yang menjelaskan
bahwa kedukaan adalah respons subyektif individu terhadap kehilangan seseorang,
objek atau konsep yang sangat dihargai. Ini terdiri dari semua emosi dan sensasi
yang menyertai hilangnya seseorang atau sesuatu yang anda sayangi (Leavy
2005:1). Lebih jauh lagi, hal ini mencakup emosi dan perilaku spesifik dalam
menanggapi kehilangan, seperti depresi, kesepian, kerinduan dan pencarian
almarhum (Demmer 2004:294).
Andriessen et al., (2018) mengemukakan bahwa kedukaan adalah reaksi
kehilangan orang terdekat yang dapat memunculkan reaksi negatif dan positif.
Reaksi negatif ditandai dengan munculnya gejala kesedihan, menyalahkan diri,
kecemasan yang melukai dirinya sendiri, syok, dan kemarahan sementara reaksi
positif ditandai dengan munculnya perasaan damai, kedewasaan, empati dan reaksi
lainnya yang dapat mempengaruhi kualitas hidup.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
11
Pendapat lain tentang konsep kedukaan juga dikemukakan oleh Neimeyer
(2001) yang berpendapat bahwa kedukaan merupakan kesedihan dan penderitaan
emosional yang disebabkan oleh kehilangan.
Definisi kedukaan pun diutarakan oleh Sacks (2001:219) yaitu merupakan
pengalaman biologis serta pengalaman emosional, spiritual, dan kognitif.
Akibatnya, kedukaan menjadi pengalaman yang berkelanjutan, kadang kala
mereda, terkadang menyusahkan, tetapi selalu menjadi bagian dari kehidupan
seseorang yang telah mengalami kehilangan (Moules et al. 2004: 100).
Maka dapat disimpulkan kedukaan adalah gejala distress yang dialami oleh
individu akibat kematian orang terdekat yang ditandai dengan munculnya reaksi
secara kognitif, emosi, sosial dan fisik yang dapat mempengaruhi individu baik
dalam jangka panjang atau jangka pendek.
2. Tahapan Kedukaan
Tahap-tahap dalam kedukaan merupakan hal yang bersifat universal dan
dialami oleh semua lapisan masyarakat maupun lintas budaya. Kedukaan terjadi
sebagai respons terhadap kehilangan khususnya kehilangan orang yang dicintai.
Pada tahun 1969, psikiater Elisabeth Kübler-Ross pertama kali memperkenalkan
tentang tahapan kedukaan dalam bukunya yang berjudul On Death and Dying dan
kemudian sekarang dikenal sebagai lima tahap kedukaan. Kubler-Ross (Hall,
2011) menjelaskan ada lima tahap kedukaan tersebut yaitu :
a. Tahap denial (menyangkal)
Reaksi pertama ketika mengetahui kematian orang yang dicintai adalah
menyangkal kenyataan situasi. Individu sering berfikir "Ini tidak terjadi, ini tidak
mungkin terjadi “. Individu yang mengalami kedukaan akan bersikap menolak
kenyataan yang terjadi pada dirinya, namun hal ini merupakan hal yang normal
terjadi.
b. Tahap anger (marah)
Individu tidak dapat menahan rasa denial yang dia miliki tersebut dan
berkembang menjadi rasa amarah, gusar, iri hati dan kebencian. Tahap anger ini
sangat sulit diatasi oleh keluarga atau orang-orang terdekat. Hal ini dikarenakan
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
12
oleh fakta bahwa rasa amarah yang dialami oleh individu diekspresikan dengan
berbagai cara ke lingkungannya pada saat-saat yang tidak menentu.
Bahkan jika kehilangan itu bukan kesalahan siapa pun, individu mungkin
merasa marah dan kesal. Jika individu kehilangan orang yang dicintai, dia mungkin
marah pada diri sendiri, Tuhan, para dokter atau bahkan kepada orang yang
meninggal karena telah meninggalkannya.
c. Tahap bargaining (tawar menawar)
Reaksi normal terhadap perasaan duka, tidak berdaya seringkali muncul
melalui serangkaian pernyataan “Jika saja”, seperti: kalau saja kita mencari
penanganan medis lebih cepat, kalau saja kita mendapat pendapat kedua dari dokter
lain atau kalau saja kita mencoba menjadi orang yang lebih baik terhadap mereka
dll.
Ini adalah upaya tawar-menawar karena secara tidak langsung individu dapat
seolah-olah membuat kesepakatan dengan Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi
dalam upaya menunda kematian yang tak terhindarkan, dan rasa sakit yang
menyertainya.
d. Tahap depression (depresi)
Individu sudah tidak dapat menyangkal hal yang menyebabkan respon
kedukaan pada dirinya muncul. Hal ini dikarenakan semakin jelasnya hal-hal yang
membuktikan bahwa individu tersebut memiliki sesuatu yang membuat ia menjadi
merasa sedih (respon kedukaan). Semakin jelasnya kenyataan tersebut merubah
sikap individu yang bersangkutan mulai dari sikap denial dan anger yang dialami
menjadi sebuah rasa kehilangan yang sangat mempengaruhi hidupnya.
e. Tahap acceptance (menerima)
Individu tidak berarti mulai memasuki tahap bahagia karena individu yang
bersangkutan telah menerima apa yang terjadi dalam hidupnya. Setelah individu
tersebut mengalami keempat tahap kedukaan yang telah dijelaskan di atas, ia akan
bersikap pasrah.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
13
3. Reaksi Kedukaan
Suatu hal yang tidak mudah untuk mengatasi kedukaan setelah orang yang
dicintai meninggal. Kedukaan merupakan hal yang alami dan reaksinya dapat
berlangsung selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Pada dasarnya reaksi
kedukaan adalah respon yang dinilai wajar serta normal yang akan dialami oleh
seseorang, sehingga hal ini dianggap sebagai reaksi yang umum dialami setiap
individu yang mengalami kehilangan orang yang mereka cintai (Young et.,al,
2012).
Reaksi kedukaan yang normal akan terjadi pada individu setelah mengalami
kehilangan (Worden, 2009; Machin, 2014), reaksi-reaksi yang muncul diantaranya
sebagai berikut :
a. Reaksi emosi : mengalami kesedihan, marah, perasaan bersalah, cemas,
kesepian, kelelahan, merasa tidak tertolong, kaget, kerinduan mendalam, mati
rasa, dan sebagainya. Reaksi emosi yang terjadi dalam jangka waktu yang
panjang dan berlebihan akan berpotensi mengarahkan kepada reaksi kedukaan
yang rumit.
b. Reaksi fisik, seperti menjadi terlalu sensitif terhadap keributan, mengalami
depersonalisasi, terjadi gangguan pernapasan, merasa otot-otot menjadi lemas,
kekurangan energi, dan sebagainya.
c. Reaksi kognitif, seperti tidak percaya, kebingungan, pikiran yang berlebihan
tentang almarhum, merasakan kehadiran almarhum, dan halusinasi.
d. Reaksi yang akan muncul secara perilaku, seperti gangguan dalam tidur dan
makan, mengalami mimpi tentang almarhum, menangis, menyimpan dan
membawa benda-benda milik almarhum, peningkatan konsumsi alkohol atau
obat-obatan terlarang, dan sebagainya.
e. Reaksi secara sosial akan tampak seperti menarik diri dari lingkungan dan
perubahan hubungan sosial.
f. Reaksi spiritual adalah seperti mencari-cari tentang arti kehilangan yang
terjadi, melakukan refleksi dengan perspektif religisiusitas atau filosofis, dan
sebagainya.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
14
Penelitian Andriessen et al., (2018:206) mengungkapkan terdapat beberapa
reaksi kedukaan yang muncul yang diakibatkan oleh kematian orang yang dicintai
digambarkan dalam tabel 2.1 :
Tabel 2.1
Reaksi Kedukaan
Aspek Reaksi yang Muncul
Kesedihan Yang Mendalam Merasa sedih, menangis, mati rasa,
kewalahan, kesepian, merasa kosong,
memasang wajah berani, merasa tidak
adil, tidak berdaya
Menyalahkan diri sendiri Merasa bersalah, marah pada diri
sendiri, menyesal, malu, merasa
bertanggung jawab
Kecemasan yang menyakiti diri Cemas, bermimpi buruk, serangan
panik, susah tidur, susah makan,
berfikir untuk bunuh diri,
membahayakan diri
Syok Syok, bingung, tidak percaya, terkejut
Kemarahan dan pengkhianatan Marah, merasa dikhianati, merasa
ditolak, merasa ditinggalkan
Rasa damai Fokus pada hal yang dikerjakan, siap
menghadapi kehilangan, bersyukur,
merasa lega, merasa senang, merasa
damai, merasa tentram
Dapat disimpulkan bahwa kedukaan dapat memunculkan beberapa reaksi
diantaranya reaksi secara kognitif, emosi, sosial, fisik, spiritual dan lain sebagainya
dan hal-hal tersebut dapat mempengaruhi kehidupan individu yang ditinggalkan.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
15
4. Faktor-Faktor Penyebab Kedukaan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kedukaan, faktor tersebut
dikemukakan oleh Aiken (Suprihatin, 2013:19) diantaranya adalah:
a. Hubungan individu dengan almarhum
Yaitu reaksi-reaksi dan rentang waktu masa berduka yang dialami setiap
individu akan berbeda tergantung dari hubungan individu dengan almarhum, dari
beberapa kasus dapat dilihat hubungan yang sangat baik dengan orang yang telah
meninggal diasosiasikan dengan proses kedukaan yang sangat sulit.
b. Kepribadian, usia dan jenis kelamin orang yang ditinggalkan
Merupakan perbedaan yang mencolok ialah jenis kelamin dan usia orang
yang ditinggalkan. Secara umum kedukaan lebih menimbulkan stres pada orang
yang usianya lebih muda.
c. Proses Kematian
Cara dari seseorang meninggal juga dapat menimbulkan perbedaan reaksi
yang dialami orang yang ditinggalkannya. Pada kematian yang mendadak
kemampuan orang yang ditinggalkan akan lebih sulit untuk menghadapi kenyataan.
Kurangnya dukungan dari orang-orang terdekat dan lingkungan sekitar akan
menimbulkan perasaan tidak berdaya dan tidak mempunyai kekuatan, hal tersebut
dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mengatasi kedukaan.
5. Jenis Kedukaan
Kedukaan merupakan kondisi yang terjadi akibat dari kehilangan dan hal ini
dapat dimanifestasikan dengan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas dan lain-lain.
Adapun jenis-jenis kedukaan yang akan dijabarkan sebagai berikut :
a. Kedukaan tidak rumit (Uncomplicated Grief)
Kedukaan normal terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal dari
suatu kehilangan. Misalnya kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian dan
menarik diri dari aktivitas untuk sementara. Selama masa transisi biasanya dimulai
dalam beberapa bulan pertama setelah kematian, kesedihan itu mulai sembuh, dan
orang yang berduka mulai menemukan jalan kembali ke kehidupannya. Menurut
Neimeyer, et.al (2002:244) orang yang mengalami kedukaan tetapi mampu untuk :
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
16
1.) Menerima kehilangan
2.) Percaya bahwa hidup memiliki makna
3.) Mempertahankan rasa diri yang koheren
4.) Merasa berguna
5.) Menjaga kesehatan dan rutinitas sehari-hari
6.) Merasa percaya dan terhubung dengan orang lain
7.) Berinvestasi kembali dalam hubungan interpersonal
8.) Menemukan makna dan kesenangan dalam pengejaran/pencarian
Pada kondisi kedukaan yang normal rentang waktu mengalami kedukaan
tidak terlalu lama karena kedukaan yang dialami berangsur hilang seiring
berjalannya waktu.
b. Kedukaan rumit (Complicated Grief)
Kedukaan yang rumit merupakan suatu sindrom yang terjadi pada orang yang
berduka dan hal ini merupakan hasil dari kegagalan untuk beralih dari kesedihan
akut ke terintegrasi. Gejala-gejalanya termasuk distress pemisahan (kepedihan
berulang dari emosi yang menyakitkan, dengan kerinduan dan kerinduan yang
mendalam akan almarhum, dan keasikan dengan pikiran orang yang dicintai) dan
distress traumatis (rasa tidak percaya mengenai kematian, kemarahan dan
kepahitan, kesedihan, pikiran-pikiran yang mengganggu terkait dengan kematian,
dan penghindaran yang diucapkan sebagai pengingat tentang kehilangan yang
menyakitkan).
Shear et.al. (2011) mengungkapkan bahwa setiap individu dapat mengalami
kedukaan rumit (complicated grief), manifestasi kedukaan rumit meliputi kerinduan
yang intens, kesepian, kekosongan atau kurangnya makna hidup, pemikiran
berulang-ulang tentang keinginan bersatu/bersama dengan almarhum, pemikiran
yang mengganggu tentang penurunan fungsi. Tanda-tanda dan gejala-gejala
individu yang mengalami kedukaan rumit juga dapat mencakup perasaan bersalah
yang terus menerus, membayangkan kematian dan mereka berfikir bahwa mereka
bisa mencegah kematian jika mereka melakukan sesuatu yang berbeda, mati rasa,
kaget atau tidak percaya atas kematian.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
17
Secara umum diagnosis untuk kedukaan rumit menurut Prigerson et. al (2002)
dapat dilihat pada tabel 2.2 :
Tabel 2.2
Kriteria Untuk Kedukaan Rumit
Kriteria A : Kerinduan yang kronis dan terus menerus, merindukan,
mendambakan yang meninggal, mencerminkan kebutuhan akan koneksi dengan
almarhum yang tidak bisa dipenuhi oleh orang lain dan merasakan sakit hati
setiap hari.
Kriteria B : Orang tersebut harus memiliki empat dari delapan gejala berikut ini
dan mengalami setidaknya beberapa kali dalam sehari atau pada tingkat yang
intens dan mengganggu yaitu :
1. Kesulitan menerima kematian
2. Ketidakmampuan untuk mempercayai orang lain sejak kehilangan
almarhum
3. Kepahitan atau kemarahan yang berlebihan terkait dengan kematian
4. Tidak nyaman untuk pindah dalam hal ini orang yang kehilangan orang
yang dicintai merasa tidak nyaman untuk melanjutkan hidup mereka.
5. Mati rasa
6. Merasa hidup ini kosong
7. Masa depan terasa akan suram
8. Gelisah
Kriteria C : Gejala gangguan di atas menyebabkan disfungsi yang ditandai
dengan persisten dalam sosial, pekerjaan atau yang lainnya.
Kriteria D : Gangguan gejala di atas harus berlangsung setidaknya enam bulan
Penjelasan di atas merupakan pemaparan tentang gejala yang muncul pada
kedukaan yang rumit dan kedukaan yang rumit dipicu oleh beberapa faktor
diantaranya sebagai berikut :
1) Hubungan dengan almarhum
Semakin dekat hubungan individu dengan almarhum, semakin besar pula
kemungkinan individu tersebut akan mengalami kedukaan yang rumit. Pasangan
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
18
mungkin sangat saling tergantung satu sama lain dan berbagi hubungan yang erat
dan memiliki komitmen seumur hidup, orang tua tunggal dalam hal ini adalah janda
yang mempunyai anak kecil mungkin menghadapi stress tambahan yang dapat
menyebabkan depresi dan peningkatan tekanan psikologis, karena (Yopp, Park,
Edwards, Deal & Rosenstein, 2015), kemudian orang dewasa yang lebih tua dapat
mengalami banyak kehilangan dalam waktu yang singkat yang dapat memperparah
kedukaan dan menunda pemulihan (Newson et al.,2011)
2) Ciri-ciri kepribadian dan gaya koping
Kepribadian memainkan peran kunci dalam bagaimana seseorang berduka,
menginternalisasi kedukaan dan mengintegrasikan pemahaman dan makna tentang
kehilangan orang yang dicintai (Piper, Ogrodniczuk, Joyce, & Weideman, 2011).
Proses penyesuaian psikologis seseorang dikombinasikan dengan gaya kelekatan
dan kemampuan koping dapat membantu menentukan apakah individu beresiko
lebih tinggi atau rendah mengalami kedukaan yang rumit.
3) Komorbiditas dan diferensiasi psikiatri
Seperti halnya gangguan kesehatan mental, komorbiditas umum dijumpai
pada individu yang menderita kedukaan yang rumit. Kedukaan yang rumit memiliki
gejala yang tumpang tindih dengan gangguan kecemasan terutama PTSD dan
gangguan panik (Simon, Shear, et al., 2007).
4) Secara karakteristik, individu yang mengalami kedukaan yang rumit
mengalami kesulitan menerima kematian, dan pemisahan yang intens dan tekanan
traumatis dapat bertahan lebih dari enam bulan (Neimeyer,et.al, 2002:244). Maka
dapat ditarik kesimpulkan bahwa kedukaan rumit dapat terlihst dari kriteria-kriteria
yang telah disebutkan pada penjelasan di atas dan kedukaan rumit dapat dipicu oleh
beberapa factor diantaranya hubungan individu dengan orang yang meninggal, ciri-
ciri kepribadian dan gaya koping individu yang ditinggalkan kemudian
Komorbiditas dan diferensiasi psikiatri.
Individu yang mengalami kedukaan yang rumit namun hal ini terus
berkelanjutan hingga jangka waktu 6-12 bulan maka individu tersebut mengalami
gangguan kedukaan yang berkepanjangan (prolonged grief disorder). Prigerson
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
19
dkk (2009) mengemukaan kriteria untuk gangguan kedukaan yang berkepanjangan
adalah sebagai berikut :
Tabel 2.3
Kriteria Untuk Gangguan Kedukaan Berkepanjangan
Katagori Definisi
A Kejadian : Kehilangan seseorang yang dicintai/berarti dalam kehidupan
B Kecemasan perpisahan : individu yang berduka mengalami kerinduan
mendalam (seperti : mengharapkan, mengalami keresahan, atau
kerinduan terhadap almarhum; penderitaan fisik dan emosional akibat
keinginan untuk bertemu dengan almarhum, namun tidak terpenuhi,
setiap hari atau sampai tingkat yang tidak dapat dikendalikan.
C Gejala kognitif, emosional dan perilaku : Individu yang berduka harus
mengalami lima (atau lebih) gejala berikut dalam keseharian, atau
sampai tingkat yang tidak dapat dikendalikan:
1. Kebingungan akan peran diri dalam kehidupan atau kehilangan arti
diri (semisal, merasa bahwa sebagian diri telah ikut mati),
2. Kesulitan dalam menerima kehilangan
3. Penghindaran terhadap kenyataan akan kehilangan yang terjadi
4. Tidak dapat mempercayai orang lain sejak kehilangan
5. Kebencian atau kemarahan yang berhubungan dengan kehilangan,
6. Kesulitan untuk bangkit dalam kehidupan (semisal, mencari teman
baru, mengembangkan minat)
7. Mati rasa (kehilangan emosi) sejak kehilangan
8. Merasa kehidupan tidak lengkap, kosong, atau tidak berarti sejak
kehilangan terjadi
9. Merasa tidak percaya, menjadi linglung atau kaget dengan
kehilangan.
D Waktu : Diagnosis belum dapat diberikan sampai setidaknya enam
bulan setelah kematian terjadi.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
20
E Penurunan : Gangguan menyebabkan penurunan secara signifikan
dalam sosial, pekerjaan, atau area fungsi penting lainnya (semisal,
tanggung jawab sehari-hari).
F Hubungan dengan gangguan mental lain : Gangguan sebaiknya tidak
dihubungkan dengan gangguan depresi, gangguan kecemasan
menyeluruh, atau gangguan stress pasca-trauma.
B. Kedukaan Pada Remaja
Kata remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow
atau to grow maturity yang artinya tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah
adolescence seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas,
mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 2002:206)
Remaja adalah mereka yang mengalami masa transisi (peralihan) dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa, yaitu antara usia 12-13 tahun hingga usia 20-
an, perubahan yang terjadi cukup drastis pada semua aspek perkembangannya yaitu
meliputi perkembangan fisik, kognitif, kepribadian dan sosial (Gunarsa, 2006:196).
Jadi remaja merupakan individu dalam masa peralihan dari masa kanak-
kanak menuju masa dewasa yang mengalami perubahan dan perkembangan dalam
berbagai aspek diantaranya dalam aspek kognitif, kematangan sosial serta
kepribadian.
Berdasarkan paparan dari Papalia, et.,al (2008:534) dalam masyarakat
industrial modern, perjalanan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa ditandai oleh
periode transasional panjang yang dikenal dengan masa remaja. Masa remaja secara
umum dimulai dengan pubertas, proses yang mengarah kepada kematangan
seksual, fertilitas. Masa remaja dimulai pada usia 11 atau 12 sampai masa remaja
akhir atau awal usia dua puluhan, dan masa tersebut membawa perubahan besar
saling bertautan dalam semua ranah perkembangan.
Ada beberapa definisi untuk tahap kehidupan ini. Ini sering disebut sebagai
waktu turbulensi, badai, perubahan hormon, dan fluktuasi emosi. Ini bisa benar,
tetapi itu juga merupakan periode transisi perkembangan fisik, sosial, emosional,
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
21
dan kognitif yang melibatkan perubahan, tumbuh, dan belajar tentang diri sendiri
dalam kaitannya dengan orang lain juga seperti dengan lingkungan.
Pada usia remaja, kematian orang tua memiliki dampak yang mengejutkan
namun unik pada remaja. Hal ini karena dilihat dari segi perkembangan remaja
normatif dan utama yaitu pemisahan dan individuasi dari orang tua. Pengalaman
remaja dari kematian orang tua menciptakan pemisahan yang lengkap, final, dan
ireversibel, yang mungkin sering tak terduga dan tiba-tiba (Hooyman & Kramer,
2006). Hal ini mengganggu persepsi dan keterampilan mereka yang masih
berkembang dalam hubungan interpersonal, yang dapat mengakibatkan
peningkatan isolasi dan dukungan menurun pada saat hubungan dengan teman
sebaya, orang tua, dan guru. Perlu diingat bahwa penyesuaian, kesejahteraan, dan
pengembangan identitas itu sangat penting.
Remaja yang mengalami kematian orang tua memiliki respon kedukaan
yang ditandai dengan perasaan bersalah. Walaupun mereka yang dalam usia ini
sudah lebih memahami tentang kenyataan dan efek dari kematian, namun perasaan
bersalah akan perilaku dan perkataan yang sudah dilakukan kepada orang dewasa
akan mempengaruhi mereka. Selain itu respon kedukaan remaja akan
termanifestasikan melalui performansi yang buruk di sekolah. Keadaan lain yang
mungkin terjadi adalah mereka akan terlalu asik dengan pikiran sendiri, merasa
orang lain tidak memahami, dan perubahan mood sebagai efek reaksi kedukaan. Isu
kemandirian dan identitas diri juga akan menjadi bagian dari reaksi kedukaan
(Papalia, Old & Feldman, 2008; Nader & Salloum, 2011).
Respon kedukaan yang muncul pada remaja sangat bervariasi, namun
Malone (2016:16) menggambarkan respon kedukaan pada remaja adalah sebagai
berikut :
a. Respon fisik
Respon fisik ini diantaranya sakit kepala, gangguan tidur, nyeri dan
ketegangan otot, sakit perut, sulit makan, nyeri sendi, lebih sering sakit, benjolan
di tenggorokan, sesak di dada, lengan dan kaki terasa sakit dan berat, kelemahan
otot, mulut terasa kering, kekurangan energi serta gangguan makan.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
22
b. Respon sosial
Respon sosial diantaranya merasa berbeda dari teman sebaya, muncul
persepsi bahwa teman sebaya yang tidak toleran terhadap kesedihan mereka, isolasi
sosial, terisolasi dari keluarga, perilaku pengambilan resiko, peningkatan
kedewasaan, pengalaman komentar tidak baik dari teman sebaya, menghindari
pengingat, anti sosial, penarikan dari aktivitas normal, perubahan dalam lingkungan
teman sebaya, perilaku merusak diri sendiri.
c. Respon emosi
Respon emosi diantaranya linglung, mati rasa, syok, takut, frustasi, depresi,
sendirian, cemas, merasa bersalah, merasa tidak nyaman saat bahagia, sedih,
rongseng, rentan, marah, agresif.
d. Respon kognitif
Respon kognitif diantaranya penurunan kinerja sekolah, berhalusinasi,
keasikan, memikirkan kematiannya sendiri, merasa kehadiran almarhum, realisasi
keabadian kematian, tidak percaya, bingung, susah berkonsentrasi, pikiran yang
mengganggu, harga diri rendah, masalah memori.
Sebuah studi dari Haris (Malone, 2016) menerangkan setelah setahun, 11
remaja berusia 13 hingga 18 tahun yang mengalami kematian orang tua, Harris
mencatat tingkat gangguan tidur yang tinggi, konsentrasi buruk, dan penurunan
kinerja sekolah. Beberapa remaja ini juga berjuang dengan depresi, penyalahgunaan
alkohol, bolos sekolah, kenakalan, dan kegagalan sekolah.
Apabila seseorang kehilangan keluarganya semasa remaja, dirinya akan
merasa kesepian, merasa tidak ada yang membimbingnya dan juga pengarahan
yang sangat diperlukan oleh remaja tersebut, dan situasi tersebut dapat
menyebabkan perilaku negatif pada remaja berdampak buruk bagi kehidupannya,
seperti gangguan obat-obatan terlarang, pecandu alkohol dan pergaulan bebas, itu
semua perwujudan dari kedukaan yang dialami, karena di usia yang rentan, remaja
membutuhkan kasih sayang yang lebih dan bimbingan yang terarah untuk menuju
kehidupan yang lebih baik (Papalia, 2008: 957).
Selain respon yang dimunculkan oleh remaja akibat mengalami kedukaan
karena kematian orang tua, Malone (2016) menyebutkan terdapat pula berbagai
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
23
dampak yang dapat ditimbulkan akibat kedukaan karena kematian orang tua,
diantaranya adalah :
a. Dampak pada aspek kognitif
Kedukaan yang dialami oleh remaja dapat menimbulkan dampak pada aspek
kognitif yaitu mengalami penurunan dalam hal konsentrasi, masalah dalam hal
memori, nilai akademik menurun.
b. Dampak pada aspek fisik
Kedukaan yang dialami oleh remaja dapat menimbulkan dampak pada aspek
fisik diantaranya bisa mengidap insomnia, mengalami masalah dalam nafsu
makan.
c. Dampak pada aspek sosial
Dampak yang timbul dari kondisi kedukaan yang dialami oleh remaja
diantaranya adalah kompetensi yang lebih rendah dalam hubungan teman
sebaya dan pekerjaan.
d. Dampak pada aspek emosi
Perubahan mood secara cepat misalnya satu menit mereka bahagia dan menit
berikutnya mereka merasa tertekan. Pada tingkat tertentu perubahan suasana
hati ini disebabkan oleh peningkatan hormone dan perkembangan otak dan
tubuh mereka, tetapi emosi ekstrem kesedihan dapat memiliki efek mood swing
pada remaja.
C. Konseling Ego State
Ego state merupakan kesadaran kita akan "aku" di dalam diri. Kita masing-
masing mengalami ego kita dari keadaan spesial kita sendiri yang telah terbentuk
melalui pengalaman kita dan pikiran tentang apa yang anda rasakan sekarang . Kita
memiliki lebih dari satu keadaan ego yang terdiri dari keluarga atau bagian-bagian
dari ego state.
1. Konsep Teori
Emerson (2014:11) mengemukakan bahwa konseling ini adalah terapi
psikodinamik yang didasarkan pada asumsi bahwa kepribadian terdiri dari bagian-
bagiannya dan disebut Resources. Kita masing-masing memiliki banyak
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
24
Resources/sumber. Resource atau sumber daya adalah bagian dari kepribadian yang
dibentuk secara berulang-ulang untuk menjadi kemampuan koping. Ini adalah
bagian fisiologis dari sistem syaraf yang diciptakan oleh axon dan dendrite dan
pemecahan sinaptik yang terlatih.
Emmerson juga kemudian memunculkan lima asumsi bahwa :
a. Kepribadian terdiri dari bagian-bagian/ part
b. Klien bereaksi berbeda dari bagian kepribadian yang berbeda
c. Part dapat menjadi sehat atau patologis
d. Part patologis dapat dibawa kembali ke keadaan normal
e. Part patologis bisa berupa:
1) Vaded (part ini menggenggam emosi yang tidak diinginkan)
Vaded terdiri dari vaded with fear (ketakutan), vaded with rejection
(penolakan), vaded with confusion (kebingungan) dan vaded disappointment
(kekecewaan).
2) Retro (part ini melakukan prilaku yang tidak diinginkan)
Retro terbagi menjadi dua yaitu retro original dan retro avoiding
(penghindaran)
3) Conflicted (part ini adalah part dimana saling bertentangan satu sama lain)
4) Dissonant (part ini adalah part yang sadar/conscious di waktu yang salah)
Resource state adalah bagian dari kepribadian. Dengan kata lain resource
state hanyalah bagian kepribadian yang telah berkembang untuk dapat tampil.
Menurut Emmerson (2014:13), state seseorang biasanya sekitar lima hingga lima
belas state yang digunakan setiap minggu. State ini bisa berubah berubah cepat
sekali antara part satu sedang muncul (executive) dan bisa berubah ke part yang
lain. Part cenderung berkomunikasi dengan baik dan berbagi kenangan dengan
mudah.
Selanjutnya terdapat lima kondisi (State) dan fungsi Resource State yang
dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu:
a. Normal state
Emmerson (2014:17) mengemukakan bahwa normal state adalah kondisi
resource state yang diinginkan oleh semua orang. Inilah kondisi yang tidak
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
25
patologis. Resource dalam kondisi normal disukai dan dihargai oleh state bagian
internal lainnya, dan beroperasi secara eksternal dengan cara yang kita hargai.
Seseorang dengan semua keadaan dalam kondisi normal diketahui secara sehat
psikologis.
Terdapat empat kondisi patologis umum, dan delapan kondisi patologis
yang spesifik. Tujuan dari konseling ego state adalah untuk memindahkan Resource
States dari kondisi patologis ke kondisi normal, Emmerson (2014:17).
Fungsi dari normal conditioning adalah berperan positif. Dan tujuan terapi
resource state ini adalah untuk membantu semua state berfungsi menjadi normal
kembali (Arief, 2014:21).
b. Vaded state
Resource states dalam kondisi vaded berada dalam kondisi normal sebelum
menjadi vaded selama sensitisasi awal (Mackey, 2009; Opperman, 2007; de Graaf,
& van der Molen, 1996; Ritzman, 1992; Boswell, 1987). State ini mungkin telah
dipalsukan dengan ketakutan, penolakan, kekecewaan, atau kebingungan, State ini
dapat menjadi masalah bagi klien dengan salah satu dari dua cara berikut,
Emmerson (2014: 17) menyatakan vaded state ada dua yaitu:
Vaded Conscious: State ini masuk kedalam conscious/ sadar dan menunjukkan
emosi mereka yang belum terselesaikan dalam bentuk kecemasan, panik, Penarikan
diri
Vaded Avoided: State ini masuk atau mendekati yang conscious dan kemudian
segera diusir dari conscious oleh retro avoiding state. Status avoided vaded adalah
penyebab utama kecanduan psikologis, OCD, dan gangguan makan.
Arief (2014) mengemukakan vaded resource state adalah state yang
mengganggu seseorang, yang membuat orang tersebut sering melakukan tindakan
yang tidak ingin dia lakukan dan terbagi menjadi:
1) Vaded Fear (takut): tercipta karena perasaan takut atau khawatir. Gangguan yang
ditimbulkan adalah sleep teror dan nightmares, specific phobia, panic attack,
DID, addiction, workaholism. Emmerson (2014:19).
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
26
Tabel 2.4
Kondisi Patologis Resource Vaded With Fear
The resource vaded with fear The normal state
Sebuah resource vaded dengan
ketakutan merasa ada sesuatu yang
memiliki kekuatan lebih dari yang
bisa menyakitinya. Ini mencegah klien
untuk hidup bebas.
Normal state menikmati berada
dalam sadar. Mereka fokus pada
apa yang ada di sekitar mereka,
bukan pada perasaan negatif
2) Vaded Rejection (penolakan): terjadi karena merasa ditolak oleh lingkungan atau
perasaan tidak layak, tidak dicintai, dan tidak diterima. Gangguan yang
ditimbulkan adalah social phobia and business phobia, narcissism, anorexia
nervosa, bulimia nervosa, anti social, feeling unlovable, compulsive shopping,
over competitiveness. Emmerson (2014:20).
Tabel 2.5
Kondisi Patologis Resource Vaded With Rejection
The resource vaded with rejection The normal state
Sebuah resource vaded with rejection
merasa tidak dapat dicintai, atau tidak
cukup baik. Hal ini dapat mencegah
agar klien tidak terlibat, dan dapat
menyebabkan klien mempertanyakan
nilai pribadi.
Normal state memiliki perasaan
positif tentang diri mereka sendiri.
mereka menikmati waktu yang
mereka miliki di conscious/sadar
dan merasa memiliki sesuatu untuk
ditawarkan.
3) Vaded Confusion (bingung): adalah orang yang selalu berpikir terus menerus
bahkan otaknya tidak bisa tenang. Selalu berpikir terus menerus dan
mengganggu otaknya. Energinya rendah sehingga dia memilih untuk tidak
menikmati kehidupan. Gangguan yang ditimbulkan adalah pikiran yang ruwet,
bengong karena kondisi tertentu seperti kematian, rasa bersalah atau malu,
kegelisahan, dan kebingungan yang dalam berkaitan dengan hubungan.
Emmerson (2014:23)
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
27
Tabel 2.6
Kondisi Patologis Resource Vaded With Confusion
The resource vaded with confusion The normal state
Sebuah resource vaded with confusion
tidak bisa membiarkan sesuatu
berjalan. Ada ruminasi tentang
kebingungan, kesalahan, rasa bersalah
atau rasa malu. Seringkali ada ketidak
mampuan untuk tidur.
Normal state bisa membiarkan
masa lalu berlalu. Mereka memiliki
kemampuan untuk mengalami saat
ini. Mereka memiliki ketenangan
dan pandangan ke depan.
4) Vaded Disappointment (kecewa): state ini begitu kecewa terhadap kondisi yang
dialami, sehingga secara tidak langsung membuat menghalangi state lain untuk
muncul atau membuat menjadi hidup positif. Gangguan yang muncul adalah
depresi, menyalahkan kondisi hubungan, perasaan kehilangan.Emmerson
(2014:22)
Tabel 2.7
Kondisi Patologis Resource Vaded With Disappointment
The resource vaded with
disappointment
The normal state
Sebuah resource vaded with
disappointment merasa energi
rendah, kesal, dan tidak mau bagian
lain dari kepribadian menjadi
bahagia.
Normal state menikmati saat mereka
berada di luar dan mereka bersyukur
atas state lain yang dapat membantu
dalam berbagai cara. Mereka
merayakan kebahagiaan state lain.
c. Retro State
Gordon Emmerson (2014:23) mengartikan retro state sebagai sebuah state yang
melakukan aktivitas yang tidak dihargai oleh bagian kepribadian lainnya. Resource
State yang mengembangkan keterampilan mengatasi permasalahan dan nantinya
tidak disukai oleh bagian kepribadian lainnya. Sebuah Resource State hanya
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
28
menjadi retro ketika perilakunya menjadi tidak disukai oleh bagian kepribadian
lainnya.
Arief (2014: 23) mengemukakan bahwa retro resource state muncul saat di masa
dulu kala yang bertentangan dengan state yang lain bahkan kadang bertentangan
dengan kepentingan dan keuntungan orang tersebut. Retro terdiri atas dua hal yaitu:
1) Retro original state: state yang dimulai dari masa kecil dan terlatih terus menerus
atau muncul terus menerus tetapi resource state ini tidak disukai oleh part
lainnya. Gangguan yang muncul adalah anti sosial, menyerah, kekerasan,
personality disorder, dan passive aggresive behaviour. Emmerson (2014:24)
Tabel 2.8
Kondisi Patologis Retro Original Resource States
Retro original resource states The normal state
Retro original resource states merasa mereka
memiliki peran penting dalam bermain.
Mereka melakukan apa yang mereka ketahui,
dan mereka benar-benar tidak peduli jika state
lain tidak menyukai apa yang mereka lakukan.
Normal state melaksanakan
perilaku yang mereka rasa
penting dan state lain juga
menghargai.
2) Retro avoiding state (menghindar): perilaku yang tercipta di masa dewasa
bersamaan dengan vaded fear (rasa takut) atau dengan rejection (penolakan) dan
ini menjadi sebuah kebiasaan buruk yang tidak bisa dihentikan dan menjadi
perilaku yang mengganggu. Gangguan yang muncul adalah addiction, OCD, self
harming, obsessive behaviour, drug taking, rage, eating disorder.
Emmerson (2014:26).
Tabel 2.9
Kondisi Patologis Retro Avoiding Resource States
Retro avoiding resource states The normal state
Retro avoiding state merasa
memiliki peran penting dalam
bermain. Mereka senang melakukan
Normal states melakukan perilaku
yang mereka rasa penting dan state
lain juga menghargai. Mereka
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
29
apa yang tidak disukai state lain jika
hal itu menghemat kepribadian
karena memiliki perasaan negatif.
berdamai dengan states lain, dan
akan merubah perilaku mereka untuk
mewujudkannya sesuai dengan nilai-
nilai bagian kepribadian lainnya.
d. Conflict State
Menurut Arief (2014: 24) conflict resource state adalah beberapa state yang
saling berkonflik dan kadang menjadi masalah buat orang tersebut. State ini terjadi
karena konflik kepentingan di dalam diri. Seperti hati nurani saling tidak setuju satu
sama lain. Pada dasarnya conflict resource state mempunyai maksud positif tetapi
kadang mereka bertengkar atau berbeda pendapat secara internal. Gangguan yang
dihadapi antara lain menunda-nunda pekerjaan, gangguan tidur, chronic fatigue,
gangguan pikiran. Emmerson (2014:27)
Tabel 2.10
Kondisi Patologis Conflicted Resource States
Conflicted resource states The normal state
Conflicted resource states tidak
mengerti pentingnya state lain.
Mereka bertarung untuk menjadi
sadar, atau bertarung untuk
memenangkan sebuah keputusan.
Normal states menghormati state lain dan
mempertimbangkan apa yang harus
mereka katakan. Mereka bekerja dengan
cara berkompromi dengan waktu sehingga
semua state mendapatkan waktu yang
mereka butuhkan.
e. Dissonant State
Arief (2014:25) mengemukakan dissonant merupakan sebuah state yang salah
muncul. State ini tidak menyukai bahwa dia harus muncul kepermukaan, dan dia
merasa bukan tugasnya. Dia sangat suka untuk digantikan dengan bagian lainnya.
Seperti ketika mau presentasi depan umum tiba-tiba menjadi tidak pede, atau saat
mau menulis tiba-tiba menjadi malas. Gangguan yang dihadapi antara lain frustasi,
tidak mempunyai kemampuan menunjukan diri, mental yang menghalangi untuk
menulis, buruk dalam berolahraga. Emmerson (2014:28)
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
30
Tabel 2.11
Kondisi Patologis Dissonant Resource States
Dissonant resource states The normal state
Dissonant resource states tidak
merasa nyaman saat sadar. Mereka
tidak menyukai apa yang harus
mereka lakukan saat berada di
sadar, dan frustasi dengan
kemampuan mereka.
Normal states menikmati waktu mereka
keluar. Saat sadar, mereka merasakan
bagian kepribadian mereka adalah yang
terbaik untuk saat itu. Mereka mungkin
ingin memperbaiki, tapi mereka merasa
bisa melakukan itu.
2. Tujuan Konseling Ego State
Secara umum Emmerson (Arif, 2014:14) menerangkan beberapa tujuan
konseling ego state terdiri atas:
a. Untuk mengalokasikan state dimana adanya kesakitan, trauma, kemarahan,
atau frustasi dan memfasilitasi ekspresi, melepaskan emosi negatif,
memberikan rasa nyaman, dan memberdayakan diri.
b. Untuk memfasilitasi fungsi komunikasi diantara diantara state
c. Untuk menolong klien mengenal state mereka dengan tujuan untuk digunakan
sebagai keuntungan untuk klien kita
d. Mengatasi konflik dalam diri
D. Prosedur Pelaksanaan Konseling Ego State
Pelaksanaan konseling ego state pada dasarnya memiliki 12 protokol yang
terdiri dari :
1. Tahap 1 : Diagnosis sumber daya yang bermasalah (Diagnosis Of Resource
Pathology
Tujuan dari aktivitas ini adalah untuk mengklasifikasikan isu yang muncul.
2. Tahap 2 : Memastikan kondisi secara spesifik (Vivify spesifik)
Adalah salah satu tahapan yang paling sering digunakan dalam yang
memastikan bahwa keadaan yang tepat digunakan ketika pemberian intervensi.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
31
Klien harus menggambarkan satu kejadian spesifik, bila konseli mampu
menggambarkan satu kejadian spesifik ketika dalam keadaan sadar.
3. Tahap 3 : Menemukan akar permasalahan (Bridging action)
Merupakan proses mencari akar permasalahan dari isu yang muncul dalam
sesi konseling.
4. Tahap 4 : Ekspresi (Expresion)
Merupakan proses mengekspresikan permasalahan yang terpendam dan
diungkapkan oleh bagian diri yang terluka atau bermasalah.
5. Tahap 5 : Berbicara kepada introjek (Introject speak)
Cara melakukannya adalah kita meminta konseli seakan-akan menjadi diri
introject, dan introject itu bisa berfungsi untuk membantu mendamaikan jadi
mereka sendiri yang mengetahui isi pikiran introject yang positif atau menjadi
introject yang selama ini menjadi masalah dengan konseli kita.
6. Tahap 6 : Pelepasan (Removal)
Setelah diekspresikan perasaan bagian diri yang terluka atau bermasalah
maka introjectnya harus kita removal (dilepaskan). Ada 2 proses yang dapat
dianjurkan oleh konselor, yaitu:
a. Bila itu adalah orang lain atau sesuatu, cara melepaskannya kita tanyakan pada
klien, “apakah mau ditendang atau ditiup? Atau mungkin mau diambil pakai
tangan lalu dibuang?” (Arif, 2014: 119)
b. Bila itu orang tua kita dapat menggunakan teknik forgiveness atau teknik
memaafkan dengan cara ego state therapy.
7. Tahap 7 : Bantuan (Relief)
Cara melakukan bantuan (relief ) adalah dengan memanggil ego state lain yang
lebih dewasa (mature) atau lebih mau mengasuh (nurturing) kepada resource state
yang bermasalah. Jika resource state yang dewasa tidak muncul sama sekali, maka
kita dapat memanggil inner strength. Setelah selesai, resource state vaded yang
sudah menjadi lebih positif tersebut diganti namanya.
8. Tahap 8 : Menemukan sumber daya (Find Resource)
Temukan sumber daya yang digunakan untuk menemukan sumber daya
terbaik yang dimiliki konseli untuk waktu atau aktivitas.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
32
9. Tahap 9 : Bertukar peran dengan introject (Changing Chairs introject action)
Aktivitas ini membantu sumber daya untuk mendapatkan pemahaman yang
lebih baik mengenai dinamika yang ada di antara mereka dan orang lain. Dengan
mengalami duduk di kursi orang lain dan kembali ke kursi mereka sendiri, konseli
dapat memiliki pengalaman katarsis yang dapat membantu mereka mengatasi
kebingungan, rasa bersalah, atau kesalahan.
10. Tahap 10 : Negosiasi antar sumber daya (Retro state negotiation)
Retro state yang melakukan perilaku yang tidak disukai state lain difasilitasi
untuk bisa berdamai dengan bagian diri yang lain sehingga mampu berubah menjadi
bagian baru yang lebih berperan positif untuk membantu konseli mencapai
tujuannya
11. Tahap 11 : Negosiasi bagian diri yang berkonflik (Conflicted state
negotiation)
Dua bagian diri dapat tidak setuju untuk mana yang akan keluar . Ada sepuluh
langkah untuk negosiasi konflik.
a. Mulailah dengan dua kursi saling berhadapan, bersama konseli di salah satu dari
dua kursi.
b. Gunakan tindakan khusus vivify untuk memastikan bahwa salah satu state dalam
konflik berada dalam sadar(conscious)
c. Gunakan nama Resource State yang diterima dari Vivify specific the Action, dan
tanyakan bagaimana rasanya tentang keadaan yang berada dalam konflik.
d. tunjukkan pengertian atas perasaannya, tapi buatlah sebuah kasus untuk itu
seberapa penting dan berguna negara lain.
e. Minta konseli untuk berdiri dan berganti kursi lalu berbicara langsung dengan
negara yang berkonflik lainnya, pastikan Anda mendapatkan sebuah nama
darinya untuk dirinya sendiri
f. Sebut nama dan tanyakan bagaimana rasanya tentang keadaan lain yang telah
terjadi konfliknya. Dengan di kursi yang lain. Buat catatan yang merinci apa
yang tertulis di dalamnya.
g. menunjukkan pemahaman untuk perasaan mereka, tapi membuat kasus itu mana
yang penting dan berguna bagi bagian diri (state) lainnya .
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
33
h. terus membuat kasus sampai state berkonflik mulai memahami utilitas state
lainnya. Ketika itu, menimbulkan kompromi dimana kedua state mungkin
dihargai dan mendapatkan sesuatu yang dinginkan masing-masingnya.
Sekali lagi, konseli beralih kursi dan memastikan bahwa state lainnya mampu
menjawab dengan cara yang sama, mengatakan bagaimana memahami pentingnya
dan bagaimana mereka kerja sama dengan itu di masa depan dengan rencana
tertentu pada bagian kompromi.
Tampilkan penghargaan untuk kedua state yang bekerja sama dan
menyarankan bahwa di masa depan sebagai perubahan keadaan mereka akan dapat
terus bekerja sama dan kompromi.
Ketika sumber daya menyatakan tidak setuju atas keputusan utama, hal itu
sering mencerahkan, baik untuk terapis maupun konseli, untuk merenungkan suara
setiap negara saat menyampaikan pendapatnya.
12. Tahap 12 : Pengecekan atau pemeriksaan citra (imagery check)
Aksi ini adalah cara terbaik untuk memeriksa keefektifan intervensi
konseling,dan untuk memungkinkan konseli mendapatkan latihan, dan untuk
mendapatkan keyakinan bahwa intervensi tersebut telah efektif.
E. Teknik dan Prosedur Konseling Ego State Untuk Mereduksi Kedukaan
Dilihat dari karakter dan kondisi patologi yang telah dipaparkan dalam
konsep ego state, kondisi kedukaan termasuk pada vaded with confusion. Untuk
mengubah vaded with confusion ke kondisi normal menurut Emmerson (2014:272)
proses penanganannya hanya terdiri dari empat proses yaitu :
1. Action 1 : Diagnosis of Resource Pathology
Pada tahap ini kita mendiagnosis tentang isu yang muncul
2. Action 2 : Vivivy Specific
Adalah tindakan yang memastikan bahwa keadaan yang tepat untuk digunakan
dalam terapeutik. Klien harus menggambarkan satu kejadian spesifik ketika
dalam keadaan sadar.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
34
3. Action 3 : Changing Chairs introject Action
Tahapan ini konseli diminta untuk menjadi introject dan menjadi dirinya
secara bergantian, hal ini dimaksudkan agar konseli mampu melihat pandangan dari
dua sisi. Tindakan ini mirip seperti teknik empty chair pada konseling Gestalt
4. Action 4 : Imagery Check
Adalah cara terbaik untuk memeriksa keefektifan intervensi.
Kondisi kedukaan pun termasuk dalam vaded with dissapontment maka untuk
mengubah vaded with dissapontment ke kondisi normal, menurut Emmerson (2014:
247) proses penanganannya terdiri dari :
1. Action 8 : Find resource
Menemukan sumber daya yang yang terbaik yang dimiliki konseli untuk waktu
dan aktivitas.
2. Action 8 : Find resource
Menemukan sumber daya yang yang terbaik yang dimiliki konseli untuk waktu
dan aktivitas.
3. Action 10 : Retro state negotiation
Adalah negosiasi antar bagian diri konseli, dimana ada sebuah bagian yang tidak
disukai bagian yang lain sehingga dilakukanlah negosiasi agar terjadi
kesepakatan antar bagian yang dapat membantu konseli menyelesaikan
masalahnya.
F. Penelitian yang Relevan
Terdapat beberapa penelitian tentang pemberian intervensi pada individu
yang mengalami kedukaan diantaranya :
1. Penelitian Helping a Child Cope with Loss by Using Grief Therapy dari Wong
(2013).
Penelitian yang menyebutkan bahwa penelitian ini merupakan pemberian
konseling untuk anak yang mengalami kedukaan yang mengintegrasikan terapi
kesedihan dengan penggunaan seni dan bermain dalam membantu anak-anak
mengatasi kematian dan kehilangan sehingga anak tersebut bisa menerima kondisi
kehilangan orang yang dicintainya.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
35
2. Penelitian complicated grief therapy as a new treatment dari Wetherel (2012)
Dengan hasil penelitian pada sesi akhir, subjek telah membuat banyak
kemajuan. Dia tidak lagi memenuhi kriteria untuk depresi berat, PTSD, atau
kesedihan yang rumit.
3. Penelitan menulis ekspresif untuk menurunkan prolonged grief disorder pada
wanita yang kehilangan keluarga terdekat karena kematian dari Pratiwi (2018)
Dengan hasil penelitian bahwa dengan menulis dapat membantu subjek untuk
menyadari hal-hal yang berubah dalam kehidupannya, termasuk emosi dan perilaku
subjek yang menghindari lingkungan sosialnya. Kemudian subjek dapat terbantu
untuk melakukan pemahaman terhadap kejadian kematian anaknya, serta koping
yang dapat dijadikan sarana untuk mengatasi gangguannya. Hal ini serupa dengan
penelitian sebelumnya yang menjelaskan bahwa ketika menulis, inidividu yang
mengalami kedukaan akan mengalami kesadaran diri dan memberikan pengetahuan
akan kondisi dirinya sendiri. Subjek dapat menyadari jenis emosi, perilaku dan hal-
hal yang mungkin berubah setelah kejadian kematian.
4. Penelitian effects of directed written disclosure on grief and distress symptoms
among bereaved individual dari (Lichtenthal & Cruess, 2010).
Penelitian ini dilakukan terhadap 68 mahasiswa yang mengalami kedukaan
dan dibagi ke dalam empat kelompok menulis. Para partisipan mengikuti kegiatan
menulis selama 20 menit dalam tiga sesi. Hasil pemberian intervensi menulis ini
terbukti bermanfaat pada prolonged grief disorder, depresi, dan gejala pasca trauma
setelah tiga bulan pasca intervensi. Selain itu, juga terjadi peningkatan kesehatan
fisik untuk semua kelompok menulis.
G. Asumsi
Penelitian tentang keefektifan konseling ego state untuk mereduksi kedukaan
remaja ini dilandasi oleh asumsi-asumsi sebagai berikut :
1. Kedukaan merupakan reaksi kehilangan orang terdekat yang dapat
memunculkan reaksi negatif dan positif sehingga dapat mempengaruhi kualitas
kehidupan seseorang (Andriessen, 2018).
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id
36
2. Remaja yang mengalami kedukaan membutuhkan pemberian konseling agar
dapat mengatasi krisis-krisis dalam diri mereka yang diakibatkan oleh
kedukaan, karena pada dasarnya konseling karena sesuai dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Nurihsan (2010:8) bahwa konseling merupakan salah
satu bentuk hubungan yang bersifat membantu. Maka bantuan di sini yaitu
sebagai upaya untuk membantu orang lain agar dia mampu tumbuh ke arah
yang dipilihnya sendiri, mampu memecahkan masalah yang dihadapinya dan
mampu menghadapi krisis-krisis yang dialami dalam kehidupannya.
3. Konseling ego state dapat digunakan untuk mereduksi kedukaan (Emmerson,
2014).
H. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, maka hipotesis penelitian adalah: “Jika
terjadi penurunan skor kedukaan yang dialami oleh remaja Panti Asuhan, maka
semakin efektif konseling ego state dalam mereduksi kedukaan yang dialami
remaja Panti Asuhan”.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya 2019--
--
www.lib.umtas.ac.id