BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu...
Transcript of BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu...
35
BAB II
KERANGKA TEORITIK, KERANGKA KONSEPTUAL DAN
KERANGKA BERPIKIR
Pada bab II ini akan diuraikan menjadi 3 sub judul, yang diantaranya kerangka
teoritik, kerangka konseptual dan kerangka berpikir. Adapun alasannya, adalah :
Pertama, memberikan jastifikasi teoritik urgensi konsep kepastian hukum dalam
penyelenggaran pemerintahan.
Kedua, memberikan pemahaman konseptual mengenai kepastian hukum dan
penyelenggaraan pemerintahan.
Ketiga, memberikan deskripsi singkat mengenai pokok-pokok pikiran dalam
penelitian.
2.1. Jastifikasi Teoritik Terhadap Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan
Penelitian ini, mengedepankan teori, konsep dan asas-asas sebagai jastifikasi
teoritik terhadap “KONSEP KEPASTIAN HUKUM DALAM
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN”, diantaranya:
1. Teori Kedaulatan Hukum
2. Teori Hukum Murni
3. Teori Moralitas Hukum
4. Teori Penjenjangan Norma
5. Teori Perundang-undangan
6. Konsep Negara Hukum
7. Konsep Penyelenggaraan Pemerintahan
36
1.6.1. Teori Kedaulatan Hukum
Istilah kedaulatan merupakan terjemahan dari kata “sovereignty” (bahasa
Inggris), “souverainete” (bahasa Prancis), “sovranus” (bahasa Italia), yang berasal
dari kata Latin “superanus” yang berarti “yang tertinggi” (supreme). Secara tersirat
teori kedaulatan hukum mempunyai makna bahwa hukum merupakan sumber
kedaulatan dalam suatu negara.
Kata “kedaulatan” dalam kamus besar bahasa Indonesia, diartikan sebagai
kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah, dan sebagainya.34
Berarti
definisi kedaulatan hukum adalah kekuasaan tertinggi terletak atau ada pada hukum.35
secara kontekstual dapat dipahami baik atau buruknya suatu hukum dalam suatu
negara, ia dianggap tetap berdaulat. Karenanya kedaulatan hukum dapat berdampak
positif (baik) dan juga negatif (buruk) dalam penyelenggaraan suatu negara.
Baik atau buruknya penggunaan teori kedaulatan hukum ini dilihat dari
beberapa pemikiran dalam melihat kandungan “kedaulatan”. Jean Bodin melihat
bahwa kedaulatan merupakan atribut dari negara yang dipersonifikasikan oleh raja.
Jean Bodin, menganggap kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan
hukum dalam suatu negara yang sifatnya tunggal, asli, abadi, dan tidak terbagi-bagi.36
Pemikiran demikian menyebabkan beberapa literatur ilmu politik menempatkan Jean
Bodin sebagai pelopor kaum Monistis.
34
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php 35
ibid 36
Soehino, 2000, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, h. 15
37
Pemikiran Bodin ini dilanjutkan oleh Thomas Hobbes, dengan berasumsi para
individu yang hidup dalam keadaan alamiah menyerahkan seluruh hak-hak alamiah
mereka kepada satu orang atau sekumpulan orang. Hobbes lebih mengutamakan
penyerahan itu kepada satu orang yakni raja.37
Ajaran Jean Bodin dan Thomas Hobbes dilanjutkan oleh sarjana-sarjana
hukum dari aliran “analitis” yang dipelopori oleh John Austin di Inggris. Melalui
buku “Lectures on Jurisprudence”, Austin menjelaskan selalu terdapat seorang atau
beberapa orang yang berdaulat, yakni mereka yang ditaati oleh bagian terbesar dari
rakyat negara itu dan yang tidak mentaati sesamanya. Bagi Austin juga yang
berdaulat adalah “pembentuk hukum yang tertinggi (supreme legislator) dan hukum
positif adalah hukum yang dibuat oleh yang berdaulat itu.38
Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena
merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini dapat
diasumsikan sebagai hal negatif apabila hukum positif yang dihasilkan tidak
mencerminkan keadilan, karena lebih mengedepankan aspek formilnya.
Notohamidjojo39
menyatakan pemikiran John Austin ini merupakan teori Etatis, yang
menyatakan hukum adalah hakekat perintah (command) yang berasal dari
negara/badan yang berdaulat.
37
F.Isjwara,1980, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan ke7, Bina cipta, Bandung, h. 107-110 38
ibid 39 O Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Penerbit Griya Media, Salatiga,
h.16
38
Berbeda halnya dengan pandangan Hugo Krabbe40
menekankan pada
perasaan hukum. Menurut doktrin ethis yang ia pelopori, hukum bukanlah semata-
mata apa yang secara formil diundangkan oleh badan legislatif suatu negara. Hukum
(dan kedaulatan sebagai aspeknya) bersumber pada perasaan-perasaan hukum
anggota masyarakat. Perasaan hukum adalah sumber dan merupakan pencipta
hukum.41
Relevansi pemikiran Krabbe ini dalam konteks negara Indonesia, sejalan
dengan pandangan Soepomo. Pandangan tersebut tercantum dalam Bab III Penjelasan
Umum UUD 1945, menentukan :
Undang-undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung
dalam "pembukaan" dalam pasal-pasalnya. Pokok-pokok pikiran tersebut
meliputi suasana kebatinan dari Undang-undang Dasar Negara Indonesia.
Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang
menguasai hukum dasar Negara, baik hukum yang tertulis (Undang-undang)
maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-undang Dasar menciptakan
pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya.
Frasa “suasana kebatinan” dapat diasumsikan sebagai perasaan hukum
anggota masyarakat. Untuk itu pemikiran Krabbe disini dalam kaitannya dengan
kedaulatan hukum juga menekankan pada kandungan (isi) dari hukum tersebut.
Menurut Krabbe, negara hanya memberi bentuk pada perasaan hukum ini, hanya apa
yang sesuai dengan perasaan hukum itulah yang benar-benar merupakan hukum.
40
Hugo Krabbe menempatkan diri sebagai kaum pluralis, yang beranggapan karena
masyarakat itu pluralis maka negara juga pluralis, karenanya tidak ada satupun kelompok yang lebih
tinggi dari lainnya. Hal ini berbeda dengan pemikiran kaum monistis atau tradisional yang
menekankan bahwa negara memiliki kedaulatan. Lihat F.Isjwara,op.cit. h. 113 41
ibid
39
Paham ini tidak menganggap negara berdaulat mutlak, karena perasaan hukum
menentukan dan membatasi isi hukum. Bukan negara, tapi hukum yang berdaulat.42
Krabbe mengingkari bahwa Hukum mendapat kekuatan dari negara. Ia
mengatakan, bahwa hukum mendapat kekuatan dari dirinya sendiri, maka ia sampai
berkata : “Jede Gewalt, welche in der Gesellschaft Gelting beansprucht, ist einzig
und allein Rechtsgewalt” (setiap kekuatan yang diperlakukan dalam masyarakat,
adalah tak lain tak bukan kekuatan dari hukum).43
Disinilah letak pemikiran Krabbe
yang patut dikritisi, bila melihat wujud hukum itu sebagai peraturan perundang-
undangan, yang tidak dimungkinkan memiliki kekuatan sendiri tanpa pengesahan dari
lembaga-lembaga negara. Doktrin Krabbe ini, sebenarnya lebih menekankan pada
aspek yang bukan formalisme suatu aturan.
Krabbe menggunakan penafsiran ethis dalam melihat hukum, maka Leon
Duguit dan Harold J. Laski menafsirkan hukum secara realistis, bahwa negara sebagai
suatu lembaga kesejahteraan umum (public service institute) dan hukum bukanlah
serangkaian perintah-perintah, tetapi adalah cara-cara penyelenggaraan kesejahteraan
umum. Konsepsi ini memberikan pemahaman bahwa negara tidak berkuasa
melainkan bertanggung jawab.44
Rupanya kata bertanggung jawab lebih ditekankan
pada kewajiban negara, sebagaimana bila menggunakan Pasal 28 I ayat (4) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang menentukan : “Perlindungan,
42
ibid 43
Wirjono Prodjodikoro, 1971, Asas-Asas Ilmu Negara Dan Politik, P.T Eresco, Bandung-
Jakarta, h. 41 44
F. Isjwara, op.cit, h. 113
40
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah.”
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, relevansi kedaulatan hukum dalam
penelitian ini menekankan bahwa hukum yang berkuasa dalam suatu negara, akan
tetapi konstruksi hukum yang dihasilkan bukan semata-mata bebas sesuai kehendak
penguasa dikarenakan turunan kedaulatan negara, melainkan sangat memperhatikan
aspek kedaulatan rakyat (demokratis). Penekanan dalam pembentukan hukum
mengacu pada tujuan negara itu sendiri. Kedaulatan hukum juga menekankan pada
esensi dari penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan pada hukum.
1.6.2. Teori Hukum Murni
Teori Hukum Murni merupakan teori yang berusaha memandang kemurnian
dari hukum dikenal dengan istilah The Pure Theory of Law. Melalui teori ini Hans
Kelsen berpendapat bahwa :
The pure theory of Law is a theory of positive law. It is a theory of positive
law in general, not of a specific legal order. It is general theory of law, not
an interpretation of specific national or international legal norms; but it
offers a theory of interpretation. As theory, its exclusive purpose is to know
and to describe its object. The theory attemps to answer the question what and
how the law is, not how it ought to be. It is a science of law (jurisprudence),
not legal politics. It is called a “pure” theory of law, because it only describes
the law and attempts to eliminate from the object of this description
everything that is not strictly law; its aim is to free the science law from alien
elements. This is the methodological basis of the theory.45
45
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, 1967, Translation from the Second (Revised and
Enlarged) German Edition by Max Knight, University of California Press, Berkeley and Los Angeles,
p. 1
41
Dari pernyataan diatas, terdapat beberapa hal yang dapat diidentifikasi terkait teori
hukum murni (teori murni hukum), diantaranya :
1. Teori hukum murni merupakan teori hukum positif, bukan dalam suatu
sistem hukum. Akan tetapi teori hukum umum, yang bukan suatu sistem
hukum dalam negara atau internasional.
2. Memiliki tujuan untuk mengetahui dan menjelaskan suatu obyek, dengan
mencari jawaban dari apakah dan bagaimanakah hukum itu (dibuat)46
, bukan
bagaimana hukum itu seharusnya.
3. Teori hukum murni merupakan ilmu hukum (jurisprudence) bukan kebijakan
hukum.
4. Teori hukum murni untuk menjelaskan tentang hukum dan berupaya
membersihkan anasir-anasir asing yang tidak ada kaitannya dengan hukum.
Hans Kelsen tidak mempermasalahkan apabila dalil hukum harus baik dan
sesuai dengan moral. Substansi yang ditolak dalam pandangannya adalah bahwa
hukum merupakan bagian dari moral dan semua hukum adalah arti tertentu atau
46
Lihat juga buku Hans Kelsen, Introduction to the Problems of Legal Theory, 1992, A
Translation of the First Edition of the Reine Rechtslehre or Pure Theory of Law, Translated by Bonnie
Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson, Clarendon Oxford, p.1. (selanjutnya disebut dengan Hans
Kelsen II). Dalam buku ini menekankan pada kegunaan teori hukum murni yang berupaya untuk
menjawab apakah hukum itu dan bagaimanakah hukum itu dibuat, bukan pertanyaan apakah hukum
yang seharusnya atau bagaimana seharusnya dibuat. “It (refers to, the Pure Theory of Law) attempts to
answer the question of what the law is and how the law is made, not the questions of what the law
ought to be or how the law ought to be made.
42
derajat tertentu dari moral. Menyatakan bahwa hukum adalah wilayah tertentu dari
moralitas sama halnya dengan manyatakan hukum harus sesuai dengan moralitas.47
Rupanya pemikiran Kelsen merujuk pada ajaran Plato (platonik) yakni aliran
dualisme yang membagi dunia ini dalam 2 (dua) dunia, yakni : apa yang terlihat atau
realitas dan ide. Kedua hal tersebut menunjukkan nilai keadilan merupakan dalam
kategori ide, sehingga tidak dapat terlihat oleh manusia lainnya dalam menafsirkan
ide seseorang. Untuk itu dibutuhkan suatu realita yang dijadikan suatu aturan.
Pemahaman keadilan sulit mencari batasannya, kapan suatu hal dikatakan adil dan
apa indikatornya. Untuk itu dalam pandangan legalitas, Hans Kelsen48
berpendapat
yang dimaksud keadilan adalah menerapkan apa yang telah diatur. Sehingga dapat
direfleksikan, apakah adil apabila seseorang dihukum tidak sesuai aturan? Untuk itu
dalam menjembatani hal ini Hans Kelsen mencetuskan teori isi tata urutan hukum
positif. Dikarenakan keadilan belum mampu membuat tata aturan yang adil. Kelsen49
mengatakan karakteristik yang membedakan antara hukum dari fenomena sosial lain
seperti moral dan agama dilihat dari motivasi langsung atau tidak langsung,
konsekuensi dalam bentuk berupa hukuman dan imbalan.
Teori hukum murni menjadi salah satu pijakan dasar teori dalam penelitian
ini, karena dalam penyelenggaraan pemerintahan diperlukan suatu aturan yang
menjamin kepastian hukum. Disamping itu tindakan hukum penyelenggara
47
Jimly Asshidiqqie dan M. Ali Safa’at, 2012, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Konstitusi
Press, h. 19 (selanjutnya disebut dengan Jimly Asshidiqqie III) lihat juga Hans Kelsen, op.cit, p. 15-18 48
ibid, h. 16-21 49
Ibid
43
pemerintahan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, harus berdasarkan
kepastian dan nilai keadilan sebagaimana yang telah tercantum dalam tata urutan
peraturan perundang-undangan. Teori hukum murni yang tidak melarang bahwa
pembentukan hukum harus baik dan mengandung nilai moral, memberikan suatu
pemikiran dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dipengaruhi nilai
moral yang ada dalam masyarakat.
1.6.3. Teori Penjenjangan Norma Hukum
Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum
(Stufenbau des Rechts), Hans Kelsen50
berpendapat bahwa norma-norma hukum itu
berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu
norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma yang tidak dapat ditelusuri
lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm).
Pemikiran Hans Kelsen lebih lanjut, ditemui dalam bukunya berjudul General
Theory of Law and State. 51
Dari pernyataan ini, poin-poin yang dapat diidentifikasi
adalah sebagai berikut:
50
Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit Kanisius,
Jogjakarta, h.25 51
Pemikiran Hans Kelsen lebih lanjut, ditemui dalam bukunya berjudul General Theory of Law
and State, yang mengungkapkan “……………………….. law regulates it own creation inasmuch one
legal norm determines the way in which another norm is created and also to some extent, the contents
of that norms. Since a legal norm is valid because it is created in a way determined by another legal
norms, the latter is the reason of validity of the former. The relation between the norm regulation the
44
1. Validitas hukum ditentukan oleh norma hukum lainnya.
2. Sistem norma terkoordinasi dengan norma lain
3. Penciptaan norma ditentukan oleh norma yang lebih tinggi
4. adanya hirarki dalam berbagai tingkatan norma
Pemikiran Kelsen demikian, menunjukkan bahwa hukum diciptakan oleh
hukum lainnya yang lebih tinggi. Pengertian ini menunjukkan bahwa Kelsen
memahami hukum sebagai suatu “tatanan”. Dengan demikian yang paling dasar
menjadi aturan tertinggi yang akan selalu dijadikan acuan dalam pembentukannya.
Pemikiran ini sangat berkaitan erat dengan pandangannya dalam teori hukum murni,
bahwa penciptaan hukum juga dijauhkan dari anasir-anasir lain. Keterkaitannya
dengan “basic norm”, sesungguhnya sarat dengan nilai keadilan. Sebagai contoh,
creation of another norm and this other norm may be presented as a relationship of super and sub
ordination, which is a spatial figure of speech. The norms determining the creation of another norm is
the superior, the norm created according to this regulation the inferior norm. The legal order,
especially the legal order the personification of which is the state, is therefore not a system of norm
coordinated to each other, standing, so to speak, side by side on the same level, but a hierarchy of
different levels of norms. the unity of these norms is constituted by the fact that the creation of one
norm - the lower one - is determined by another - the higher - the creation of which is determined by
another - the higher - the creation of which is determined by a still higher norm, and that this
regressus is terminated by a highest, the basic norm which, being the supreme reason of validity of the
whole legal order, constitutes its unity. Lihat Hans Kelsen 1949, General Theory of Law and State,
Harvard University Press, h. XIV (Hukum mengatur hal penciptaannya sendiri, sejauh suatu norma
hukum menentukan cara di mana norma lain dibuat dan juga sampai batas tertentu, isi norma tersebut.
Norma hukum itu sah karena dibuat dengan cara yang ditentukan oleh norma-norma hukum yang lain,
yang kedua merupakan alasan validitas dari aturan sebelumnya. Hubungan antara regulasi norma
dalam penciptaan norma lain dan norma lainnya ini merupakan hubungan super dan sub ordinasi, yang
menunjukkan kedudukan dari tokoh pembentuk. Norma-norma yang menentukan penciptaan norma
lain adalah superior, sedangkan norma dibuat sesuai dengan peraturan ini adalah norma yang lebih
rendah. Tatanan hukum, khususnya tatanan hukum yang merupakan personifikasi negara, itu bukan
suatu sistem norma terkoordinasi satu sama lain, berdiri, berbicara, berdampingan pada tingkat yang
sama, tetapi hirarki dalam berbagai tingkatan norma. Kesatuan norma-norma didasari oleh fakta bahwa
penciptaan suatu norma - yang lebih rendah - ditentukan oleh yang lebih tinggi - penciptaan yang
norma yang lebih tinggi itu, penciptaannya ditentukan oleh norma yang lebih tinggi lagi, sampai
ditentukan pada norma yang tertinggi, norma dasar yang menjadi alasan tertinggi validitas tatanan
hukum secara keseluruhan, merupakan suatu kesatuan)
45
dalam pemikiran Kelsen pada hukum internasional, menempatkan salah satu asas
“pacta sun servanda”52
sebagai grundnorm (basic norm). Jika melihat asas ini,
sebenarnya ada titik taut dengan keadilan dan moral.
Hamid Attamimi yang bertitik tolak pada ajaran Hans Nawiasky,
membedakan norma hukum negara dalam 4 (empat) kategori pokok, yaitu
Staatsfundamentalnorms (Norma fundamental negara), Staatsgrundgesetz (aturan
dasar/pokok negara), Formell Gesetz (undang-undang formal) dan Verordnung &
Autonoe Satzung (Aturan pelaksana dan Aturan otonom).53
Hamid Attamimi berpendapat bahwa UUD dan TAP MPR tidak termasuk
jenis aturan hukum, melainkan sebagai aturan dasar negara atau aturan pokok negara
(Staatsgrundgesetz), untuk aturan hukum adalah undang-undang, peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), peraturan pemerintah (PP),
keputusan Presiden, peraturan daerah dan seterusnya. Pendapat ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa UUD yang berisi Pancasila adalah tidak sama dengan undang-
undang formil.54
Teori penjenjangan norma ini tepat dijadikan rujukan, sebab dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, para pembentuk harus mendasarkan
pada aturan yang lebih tinggi.
Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, menentukan Pancasila harus dijadikan sumber dari
52
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, 2002, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,
Bandung, h. 34 53
Hamid Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analis: Keputusan Presiden Yang Berfungsi
Peraturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita V, Disertasi PPS Universitas Indonesia, h. 287 54
Ibid, h. 287-288
46
pembentukan hukum. Kaitannya dengan teori ini, banyak kalangan yang beranggapan
bahwa grundnorm yang di pahami oleh Kelsen termuat dalam Pancasila sehingga
dianggap sebagai cita hukum. Deskripsi tentang cita hukum akan diuraikan pada bab
selanjutnya. Esensi dari teori ini memberikan legitimasi kepada para pembentuk
undang-undang yang merupakan penyelenggara negara untuk tunduk pada aturan
yang lebih tinggi saat membentuk aturan yang lebih rendah. Hal ini sejalan dengan
pemahaman kepastian hukum dalam arti legalitas demi mewujudkan kepastian norma
hukum.
1.6.4. Teori Perundang-undangan
Penelitian ini menggunakan teori perundang-undangan sebagai salah satu
jastifikasi teoritis, mengingat kajian dalam penelitian ini juga menyangkut persoalan
kepastian hukum dalam konteks norma. A. Hamid S. Attamimi55
membedakan antara
teori perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan, yang menurutnya teori
perundang-undangan berorientasi pada menjelaskan dan menjernihkan pemahaman
dan bersifat kognitif56
, sedangkan ilmu perundang-undangan (dalam arti sempit)
berorientasi pada melakukan perbuatan pelaksanaan dan bersifat normatif. Teori
perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan merupakan cabang atau bagian
dari ilmu pengetahuan perundang-undangan. Selanjutnya Rosjidi Ranggawidjaja,
55
A. Hamid S. Attamimi dalam H. Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-
Undangan Indonesia, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, h. 14-15. 56
Dalam KBBI Kognitif diartikan sebagai 1 berhubungan dng atau melibatkan kognisi; 2
berdasar kpd pengetahuan faktual yg empiris. Sedangkan kog·ni·si n 1 kegiatan atau proses
memperoleh pengetahuan (termasuk kesadaran, perasaan, dsb) atau usaha mengenali sesuatu melalui
pengalaman sendiri; 2 Sos proses, pengenalan, dan penafsiran lingkungan oleh seseorang; 3 hasil
pemerolehan pengetahuan.
47
menguraikan teori perundang-undangan berorientasi pada usaha menjelaskan
pemahaman (yang bersifat dasar) antara lain pemahaman tentang undang-undang,
pembentuk undang-undang, fungsi perundang-undangan, peraturan perundang-
undangan, dan sebagainya serta bersifat kognitif.57
Relevansi penggunaan teori perundang-undangan pada penelitian ini,
digunakan dalam memahami hakekat dan fungsi dari perundang-undangan sebagai
dasar penyelenggaraan pemerintahan, serta mendeskripsikan mengenai kewenangan
pembentuk perundang-undangan. Tidak juga menutup dalam konteks teori
perundang-undangan saja, melainkan juga menggunakan asas-asas yang berkaitan
dengan pembentukan peraturan perundang-undangan serta asas yang berkenaan
dengan pengkajian terhadap konflik norma.
1.6.5. Konsep Negara Hukum
Seperti yang diketahui penyebutan istilah negara hukum dikenal dengan
“rechstaat” ada pula “rule of law”. Istilah “rechstaat” adalah konsep yang populer
dalam tradisi Eropa Kontinental, sedangkan Anglo Saxon menggunakan “rule of
law”. Tradisi eropa kontinental (civil law) sangat berpengaruh pada pemahaman
tentang “rechstaat” itu sendiri, begitu juga tradisi anglo saxon membentuk suatu
pemikiran tentang hakekat dari “rule of law”. Menurut Gustav Radbruch dalam “Deir
Geist des englischen Rechts”, penegakan the rule of law di Inggris sama sekali tidak
57
Ibid, h. 15
48
berdasarkan pemisahan kekuasaan, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Montesquie.58
Hal tersebut berbeda dengan perkembangan “rechtsstaat” abad ke-18 yang
dirumuskan oleh Immanuel Kant (1724-1804). Pemikiran filsafat Kant yang berpusat
pada kebebasan atau otonomi individu itu bertemu dengan paham laissez faire yang
dipelopori oleh Adam Smith yang juga dilandasi dengan pemikiran kebebasan
individu. Pertemuan keduanya dalam bidang hukum dan kenegaraan kemudian
melahirkan paham negara hukum Liberal.59
Pemikiran Kant ini didasarkan, pada
pemikiran untuk menjamin kedudukan hukum setiap individu, yang diinspirasi oleh
teori pemisahan kekuasaan Montesquieu (1689-1755) dalam menghindari pemusatan
kekuasaan yang dapat mendorong terjadinya kesewenang-wenangan dan berkaitan
dengan paham demokrasi dari Rousseau (1712-1778). 60
Menurut Notohamidjojo61
, penulis-penulis seperti Niccola Machiavelli (1469-
1527), Jean Bodin (1530-1596), Thomas Hobbes (1588-1679), Kardinal de Richeliu
(1585-1642) merangsang pertumbuhan absolutisme itu.62
Esensi negara hukum
58
Sunarjati Hartono, 1969, Apakah The Rule of Law itu?, Alumni, Bandung, h. 11 59
I Dewa Gede Palguna, op.cit, h. 73 60
Jimly Asshiddiqie, 1998, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi,
Balai Pustaka, Jakarta, h.. 90. (selanjutnya disebut dengan Jimly Asshidiqqie V) 61
O.Notohamidjojo, 1967, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, h. 11-12 62
Pemikiran Machiavelli menekankan pada upaya raja dalam mewujudkan cita-cita nya,
harus dilakukan dengan segala cara; Jean Bodin menganjurkan absolutisme raja dan raja harus
mempunyai hak mutlak dalam membuat undang-undang bagi rakyatnya yang diperintah. Raja terikat
pada hukum kodrat (ius natural) dan hukum ilahi (ius divinum); dalam teori Thomas Hobbes
perjanjian masyarakat itu individu dianggap menyerahkan seluruh wewenang dan kuasanya kepada
raja, maka kekuasaan raja itu mutlak.; De Richeliu menyatakan terdapat 2 teori dalam kekuasaan raja,
pertama teori “droit divin” yang berarti hak ilahi daripada raja, sehingga raja dan paus masing-masing
menerima kekuasaan langsung dari Allah. Kedua, teori “raison d etat” yakni teori dari Machiavelli
49
“rechstaat” rupanya lebih mengarah kepada pembatasan kekuasaan penyelenggara
negara agar tidak absolut, apabila dilihat dari sejarahnya.63
Berbeda halnya dengan di Inggris, yang menjadi dasar pada penegakan “Rule
of Law” adalah penuaian tugas hakim pada khususnya dan para sarjana hukum pada
umumnya.64
Tradisi ini adalah, bahwa di mata orang Inggris “law” atau hukum
hendaknya merupakan just law atau hukum yang mengandung keadilan. Sekalipun
suatu undang-undang itu secara formil merupakan hukum yang sah, apabila kaedah
hukum menurut bangsa Inggris tersebut bertentangan dengan keadilan, maka
keharusan akan mentaati kaedah hukum tersebut akan terhapus, hal mana sudah tentu
menjadi persoalan yang akan dan harus diputuskan oleh Pengadilan dan bukan oleh
instansi lain diluar pengadilan.65
Pendekatan “rule of law” menggunakan nilai
keadilan yang berlaku pada masyarakat, sehingga dalam pembentukan hukum pun
keadilan menjadi acuan.
Dalam Dictionary of Law, the rule of law diartikan sebagai principle of
government that all persons and bodies and the government itself are equal before
and answerable to the law and that no person shall be punished without trial.66
Pengembangan konsep “rule of law” oleh A.V Dicey, di identifikasi dalam 3 unsur,
yang berarti kepentingan negara, sehingga kebebasan dan keagungan negara itulah yang merupakan
tujuan yang utama. Lihat Notohamidjojo, ibid, h.12-13 63
Lihat juga pada http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Rechtsstaat&oldid=573060731",
disitu dijelaskan tentang hakekat “rechstaat”, selebihnya : In a Rechtsstaat, the power of the state is
limited in order to protect citizens from the arbitrary exercise of authority. 64
Sunarjati Hartono, op.cit, h.12 65
Ibid, h. 14 66
PH. Collin, 2004, Dictionary of Law, Fourth Edition, Bloomsbury Publishing Plc, London.
P.266
50
diantaranya : (1) supremacy of law, (2) equality before the law, (3) the constitution
based on individual rights.67
Inti kekuasaan raja di Inggris semula adalah kekuasaan
memutus perkara yang kemudian di delegasikan kepada hakim-hakim peradilan yang
memutus perkara tidak atas nama raja tapi berdasarkan “common custom of
England”, sehingga karakteristiknya dari “common law” adalah “judicial” sedangkan
karakteristik dari “civil law” (kontinental) adalah “administratif.68
Ada 2 unsur penting yang menandai paham negara hukum Liberal, yakni
adanya perlindungan terhadap hak-hak individu (yang oleh Kant disebut sebagai hak-
hak pemilikan pribadi dan kontrak) dan adanya pemisahan cabang-cabang kekuasaan
negara (legislative, eksekutif dan yudikatif).69
Kemudian gagasan Immanuel Kant
tersebut dikembangkan oleh Friedrich Stahl, menjadi 4 unsur dari negara hukum
“rechstaat”:
1. Adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia
2. Adanya pemisahan dalam kekuasaan negara
3. Setiap tindakan negara harus didasarkan atas undang-undang yang telah
ditetapkan terlebih dahulu
4. Adanya peradilan administrasi negara.70
Oleh S.W. Couwenberg konsep negara hukum (rechsstaat) dikembangkan
lagi menjadi 10 unsur seperti dikutip oleh Philipus M. Hadjon, yaitu sebagai berikut:
1. Pemisahan antara negara dengan masyarakat sipil, pemisahan antara
kepentingan umum dan kepentingan khusus perorangan, dan pemisahan antara
hukum publik dan privat.
67
A.V Dicey, 1987, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Fifth edition,
London, Macmillan And Co., Limited New York: The Macmillan Company, p. 179-187 68
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat di Indonesia, PT Bina
Ilmu, Surabaya, h. 82 (selanjutnya disebut Philipus M Hadjon II) 69
I Dewa Gede Palguna, op.cit, h. 74 70
Philipus M Hadjon II , op.cit. h. 75.
51
2. Pemisahan antara negara dan gereja.
3. Adanya jaminan atas hak-hak kebebasan sipil.
4. Persamaan terhadap undang-undang.
5. Adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaan negara dan dasar sistem
hukum.
6. Pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politika dan sistem checks and
balances.
7. Asas legalitas.
8. Ide tentang aparat pemerintahan dan kekuasaan kehakiman yang tidak
memihak dan netral.
9. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap penguasa oleh peradilan
yang bebas dan tidak memihak dan berbarengan dengan prinsip tersebut
diletakkan prinsip tanggung gugat negara secara yuridis.
10. Prinsip pembagian kekuasaan, baik yang bersifat teritorial maupun vertikal.71
Perkembangan negara hukum juga dapat dikaitkan dalam konteks Negara
hukum Indonesia, terdapat pandangan Sri Soemantri dan Philipus M. Hadjon. Kedua
pandangan sarjana tersebut rupanya menekankan pada Pancasila sebagai “cita
hukum”, sehingga menghasilkan konsepsi pemikiran tentang negara hukum Indonesia
(negara hukum Pancasila). Menurut Sri Soemantri Martosoewignjo, unsur-unsur
negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila72
, yaitu :
a. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga
negara;
b. Adanya pembagian kekuasaan;
c. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, pemerintah harus selalu
berdasarkan atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang
tidak tertulis;
d. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya
merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sedang
khusus untuk Mahkamah Agung harus juga merdeka dari pengaruh-
pengaruh lainnya.
71
Ibid. 72
Astim Riyanto, 2006, Teori Konstitusi, Penerbit Yapemdo, Bandung, h. 275-276
52
Kemudian ciri negara hukum Pancasila menurut Philipus M Hadjon adalah sebagai
berikut:
a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas
kerukunan;
b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan
negara;
c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan
merupakan sarana terakhir;
d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban73
Pengkajian terhadap penelitian yang berjudul “Konsep Kepastian Hukum
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan” ini, menggunakan pendekatan konsep
“rechstaat” dalam membatasi tindakan pemerintahan, termasuk dalam pembentukan
hukum. Akan tetapi, tidak juga mengabaikan gagasan konsep “rule of law” dalam
menekankan penggunaan nilai keadilan bangsa, khususnya di Indonesia yang terurai
dalam Pancasila dan Konstitusi.
Pada saat ini banyak kalangan yang masih menganggap tipe negara hukum
yang dianut di Indonesia adalah “rechstaat”, ada pula sebaliknya yakni “rule of law”
ataupun terdapat pemikiran bahwa tidak ada pemisahan secara tegas antara kedua itu.
Mencermati Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen), istilah negara
hukum terdapat pada bagian penjelasan. Adapun kalimat tersebut, menyatakan;
“Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan
belaka (Machtsstaat)”. Nampaknya pemikiran Soepomo ini, lebih menekankan pada
negara hukum “rechstaat”.
73
Philipus M Hadjon II, op.cit, h.90
53
Setelah Undang-Undang Dasar NRI 1945 diamandemen, nampaknya tidak
ada lagi pembedaan secara tegas mengenai unsur negara hukum yang dianut, apakah
itu rechstaat ataupun rule of law. Hal ini disebabkan terdapat unsur-unsur yang
mencirikan masing-masing sistem hukum, misalnya eksistensi Peradilan Tata Usaha
Negara (Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945) merupakan unsur dari pembatasan
kekuasaan administrasi (rechstaat). Terkait dengan untuk rule of law nampak pada
Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 yang memberikan keleluasan kepada hakim yang
tidak hanya sebagai penegak hukum (undang-undang) melainkan dapat mencari
keadilan diluar instrumen hukum.
Uraian tersebut, menunjukkan perdebatan tentang negara hukum mana yang
dianut oleh Indonesia, telah berakhir saat Undang-Undang Dasar NRI 1945 (setelah
amandemen) menyatukan konsep negara hukum “rechstaat” maupun “rule of law”.
Dasar argumentasi hukum dari pernyataan sebelumnya, ialah Pasal 1 ayat (2) UUD
NRI 1945, menentukan : “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar”. Hal itu berarti bahwa Undang-Undang Dasar
merupakan pemegang kedaulatan rakyat atau dengan kata lain “supremasi konstitusi”.
54
2.2. KERANGKA KONSEPTUAL
Pada sub judul tentang kerangka konseptual ini, membahas pemikiran konsep
kepastian hukum dan penyelenggaraan pemerintahan.
2.2.1. Penyelenggaraan Pemerintahan
Konsep penyelenggaraan pemerintahan, terdiri dari 2 suku kata yang berbeda,
untuk itu dalam memahaminya, perlu diulas secara gramatikal. Kata
penyelenggaraan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)74
, berasal dari kata
dasar selenggara, yang artinya urus, rawat, selengkapnya diuraikan sebagai berikut :
penyelenggara /pe·nye·leng·ga·ra/ n 1 pemelihara; pemiara: - kebun buah-
buahan; 2 orang yg menyelenggarakan (dl berbagai-bagai arti spt pengusaha,
pengurus, pelaksana): perancang dan - bangunan-bangunan;
penyelenggaraan /pe·nye·leng·ga·ra·an/ n 1 pemeliharaan; pemiaraan: -
kolam-kolam ikan mujair; 2 proses, cara, perbuatan menyelenggarakan dl
berbagai-bagai arti (spt pelaksanaan, penunaian): - Kongres Bahasa Indonesia
Definisi yang terdapat dalam KBBI itu, memberikan pemahaman bahwa
penyelenggaraan menekankan pada proses, cara, perbuatan dalam
pelaksanaan/penyelenggaraan suatu kegiatan. Dengan demikian dalam konsep
“penyelenggaraan”, harus ada 3 (tiga) unsur tersebut.75
Konsep pemerintahan,
74
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 1251.
75
“Proses”, diartikan sebagai rangkaian tindakan, pembuatan, atau pengolahan yg
menghasilkan produk (ibid, h. 1106), kata “cara” dimaknai dengan jalan (aturan, sistem) melakukan
(berbuat dsb) sesuatu (ibid, h. 245), sedangkan “Perbuatan” adalah sesuatu yg diperbuat (dilakukan);
tindakan: kelakuan; tingkah laku (ibid, h. 213)
55
memiliki perbedaan yang jelas dengan lainnya, seperti pemerintah dan negara.76
Berdasarkan pembedaan tersebut, maka konsep “penyelenggaraan pemerintahan”,
76
Secara konseptual “pemerintahan” dan “pemerintah” itu memiliki perbedaan. Dalam
penafsiran sistematis, Pasal 1 angka 1, 2, 3 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, menentukan:
1. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah
dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pemerintah dalam hal ini ditujukan pada organ pelaksana, yakni bila Pemerintah Pusat maka
Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan negara, sedangkan daerah kepala daerah dan
perangkatnya sebagai unsur penyelenggaran pemerintahan daerah. Selain seperti yang dijelaskan pada
halaman sebelumnya dengan mengedepankan pendapat Prajudi Atmosudirjo, dari penafsiran sistematis
konsep “pemerintahan” lebih menunjukkan pada fungsi dari penyelenggaraan urusan pemerintahan
ketimbang organ/lembaga.
Dalam konteks penggunaan bahasa sehari-hari, orang agak sulit membedakan antara konsep
negara dengan pemerintah. Secara sekilas pembedaan konsep tersebut dapat diartikan bahwa istilah
“negara” lebih luas daripada “pemerintah”, mengingat pemerintah bagian dari negara, jika masih
terniang dengan pemerintah merupakan salah satu unsur negara. Pembedaan akan mulai sulit apabila
konsep negara atau pemerintah tersebut diikuti oleh kata lainnya, seperti Penyelenggaraan Pemerintah
atau penyelenggaraan negara, penggunaan istilah pegawai negeri bukan pegawai pemerintah,
kewenangan negara atau kewenangan pemerintah. Kelihatannya pembedaan istilah itu sepele, namun
ternyata setelah melihat uraian tersebut semakin mengaburkan pemahaman kita terkait kedua istilah
tersebut. Beberapa pendapat mengatakan bahwa negara adalah organisasi, sebagaimana diungkapkan
oleh Kranenburg, J.J. Rosseau, Soenarko, Sri Soemantri Martosoewignjo, Logemann, George
Jellineck, Miriam Budiardjo. (lihat I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2009, Memahami Ilmu
Negara dan Teori Negara, Refika Aditama, Bandung, h. 4-7) Sedangkan Plato dan Thomas Hobbes,
memberikan istilah tubuh dalam memberikan pemahaman tentang hakekat dari negara, dapat dipahami
bahwa “tubuh” menunjukkan pada suatu organ atau kelembagaan. Sehingga dapat dipersepsikan
bahwa kelembagaan tersebut terkait erat dengan organisasi. Karl Marx dan Roger H. Soltau,
menekankan negara sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan Jean Bodin dan
Bellefroid mengemukakan negara sebagai keseluruhan masyarakat. Kemudian Hans Kelsen
berpendapat bahwa negara adalah suatu tertib hukum. Dari pendapat-pendapat tersebut, saya lebih
memilih konsep negara sebagai organisasi kekuasaan yang memiliki tujuan tertentu.
Oppenheim Lauterpacht, mengemukakan unsur-unsur negara dibagi menjadi:harus ada
rakyat, harus ada wilayah, harus ada pemerintah yang berdaulat.Dilihat dari beberapa unsur tersebut,
“rakyat” merupakan anggota-anggota dari organisasi yang bernama negara. Sedangkan “wilayah”
menunjukkan tempat dimana organisasi negara tersebut memiliki kedaulatan serta tempat kediaman
rakyat dan pemerintah. Maka diperlukan penyelenggara yang menjalankan aktivitas kekuasaan negara
demi mewujudkan fungsi negara itu.
Pendapat Oppenheim ini memberikan suatu gambaran bahwa pemerintah adalah bagian dari
negara, yang berperan menjalankan penyelenggaraan kekuasaan negara. Pemahaman “pemerintah”
56
menekankan pada proses, cara dan perbuatan dalam menyelenggarakan
pemerintahan. Pada Bab III Undang-Undang Dasar NRI 1945 mengatur tentang
kekuasaan pemerintahan negara, yang dalam ketentuan pasal 5, menentukan
“Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat”.
Pengaturan dalam konstitusi itu, menunjukkan bahwa penyelenggaraan
pemerintahan tidak hanya dalam menjalankan undang-undang (peraturan perundang-
undangan) melainkan juga ikut sebagai pembentuk.77
Hal ini sejalan dengan
pemikiran Hadjon, “pemerintahan” dewasa ini tidak sama dengan kekuasaan
“eksekutif”.78
Dalam pemahaman Philipus M. Hadjon berikutnya, terdapat
pemisahan antara “suatu pembentukan keputusan politik” dengan “pemerintahan”.
disini lebih luas yang mencakup keseluruhan bidang penyelenggaraan kekuasaan negara (eksekutif,
legislatif dan yudisial). Akan berbeda dengan pandangan “pemerintah” dalam arti sempit yang
dikonotasikan dalam arti eksekutif jika kita mengacu pada pandangan Montesquieu dalam teori trias
politika. Dengan demikian Oppenheim memandang bahwa lembaga negara apapun masuk dalam
kategori pemerintah yang berdaulat.
Secara hakiki jika mengkaitkan bahwa negara adalah organisasi maka kedudukan
“pemerintah yang berdaulat” berfungsi sebagai motor penggerak organisasi kekuasaan yang bernama
negara. Dapat diilustrasikan bahwa pemerintah itu seperti pengurus dalam suatu organisasi apapun,
yang bertugas menjalankan aktivitas organisasi. Dalam kepengurusan organisasi terdapat berbagai
bidang, yang dapat disamakan dengan peran lembaga-lembaga negara. Berangkat dari pemahaman
tersebut maka negara bersifat pasif, sedangkan pemerintah bersifat aktif. Dikarenakan oleh sifatnya
maka negara tidak akan terus berganti, sedangkan pemerintah akan terus berubah. Seperti : Negara
Indonesia yang selalu tetap, meski Era pemerintahan terus berganti seperti era pemerintahan Soekarno,
Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati dan SBY. 77
Dari konteks tersebut, menunjukkan bahwa pemikiran Montesquieu yang menekankan pada
“pemisahan kekuasaan” tidak diberlakukan secara murni dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam, pemikiran
Philipus M. Hadjon menguraikan istilah “pemerintahan” dipahami melalui 2 (dua) pengertian yakni
“fungsi pemerintahan” (kegiatan memerintah) dan “organisasi pemerintahan” (kumpulan dari
kesatuan-kesatuan pemerintahan). (Lihat Philipus M. Hadjon, dkk, Pengantar……..op.cit. h. 6) Pada
judul penelitian ini istilah “pemerintahan” lebih ditekankan pada fungsi pemerintahan (kegiatan
memerintah). 78
Philipus M. Hadjon, Ibid, h. 7.
57
Politik itu menjalankan pemerintahan dan menetapkan undang-undang, secara singkat
mengeluarkan perintah-perintah, mengatur arah. Sedangkan “pemerintahan”
mengurus pelaksanaan dari perintah-perintah/tugas-tugas atau mengabdi pada
kekuasaan politik.79
Relevansi pendapat tersebut, yakni pembentukan keputusan politik dalam
menjalankan pemerintahan khususnya pembentukan perundang-undangan sangat
mempengaruhi pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Dengan demikian penelitian
ini tidak menekankan pada konteks teknis pelaksanaan aturan, melainkan lebih pada
pembentukan peraturan perundang-undangan, yang sebenarnya juga adalah asas
legalitas.
Makna dari “penyelenggaraan pemerintahan” menitik beratkan pada proses,
cara dan perbuatan dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Relevansi antara
kepastian hukum dan penyelenggaraan pemerintahan ialah dalam proses, cara dan
perbuatan yang dilakukan oleh penyelenggara pemerintahan harus mencerminkan
kepastian hukum.
2.2.2. Moral
Moral yang berasal dari bahasa Latin mos jamaknya mores yang berarti adat
atau cara hidup. Frans Magnis Suseno80
membedakan ajaran moral dan etika, ajaran
moral adalah ajaran, wejangan, khotbah, peraturan lisan atau tulisan tentang
79
Ibid 80
Frans Magnis Suseno, 1987, Etika Dasar (Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral),
Kanisius, Yogyakarta, h.14
58
bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik.
Menurut Suseno, etika adalah ilmu dan bukan sebuah ajaran, jadi etika dan ajaran
moral tidak berada di tingkat yang sama.81
Kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia.
Perbuatan tidak bermoral memaksudkan bahwa perbuatan itu dipandang buruk atau
salah karena melanggar nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian
maka moral berarti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya
menyangkut apa yang baik dan yang buruk atau apa yang benar dan apa yang salah.
Untuk itu para ilmuwan harus mengedepankan moral sebagai pengendali dalam setiap
eksperimen-eksperimen yang dilakukan dalam sebuah pengkajian keilmuan. Moral
pada dasarnya timbul bersamaan dengan kesadaran manusia akan nilai dasar
kemanusiaannya, memiliki batas dan yang tidak terbatas.82
Acapkali orang sulit membedakan moral dengan etika, oleh karenanya patut
dijelaskan makna dari etika. Secara etimologi etika yang berasal dari bahasa Yunani
ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminologi etika merupakan
cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan
baik buruk. Menurut Sunoto83
, etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika
normative. Etika deskriptif hanya elukiskan, menggambarkan, menceritakan apa
adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya
81
ibid 82
Mohammad Erwin, 2011, Filsafat Hukum dan Refleksi Kritis Terhadap Hukum, h.84 83
Fuad Ihsan,2010, Filsafat Ilmu, Penerbit Rineka Cipta, 218-219
59
berbuat, contohnya sejarah etika. Kemudian etika normatif memberikan penilaian
yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan atau tidak. Etika normatif dibagi
lagi menjadi etika umum yang membicarakan prinsip-prinsip umum, seperti apakah
nilaii motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya. Berbeda dengan etika
khusus, yaitu pelaksanaan prinsip-prinsip umum seperti etika pergaulan, etika dalam
pekerjaan, dan sebagainya.84
2.2.3. Peraturan Perundang-undangan
Konsep “peraturan perundang-undangan”, terdiri dari 2 kata yakni “peraturan”
dan “perundang-undangan”. Istilah “peraturan” dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, diartikan sebagai “tatanan (petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat untuk
mengatur”.85
Kebanyakan pakar hukum berpendapat bahwa hukum adalah peraturan
tentang tingkah laku manusia. Hal ini seperti diungkapkan oleh E.M Meyers, Leon
Duguit, Immanuel Kant, Utrecht, S.M Amin, J.C.T Simorangkir, dan MH
Tirtaamidjaya.86
J.B Daliyo, dkk menyimpulkan beberapa pandangan sarjana diatas
tentang unsur hukum, diantaranya :
1. peraturan tingkah laku manusia
2. peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
3. peraturan itu bersifat memaksa
84
ibid 85
Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, h. 99 86
J.B Daliyo, dkk, 1994, Pengantar Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, Cet. Ketiga,
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. h. 29-30
60
4. sanksi bagi pelanggaran terhadap peraturan itu adalah tegas (pasti dan
dirasakan nyata bagi yang bersangkutan)87
Bertitik tolak dari pengertian peraturan sebagai tatanan atau kaidah. Soerjono
Soekanto dan Purnadi Purbacaraka88
bahwa kaedah adalah patokan atau ukuran
ataupun pedoman untuk berperilakuan atau sikap tindak dalam hidup. Selanjutnya
dijelaskan kaedah, mencakup hal-hal sebagai berikut : 89
1. Kaedah dengan aspek kehidupan pribadi, yang terdiri dari kaedah
kepercayaan atau keagamaan dan kaedah kesusilaan.
2. kaedah dengan aspek kehidupan antar pribadi yang dibagi atas, kaedah
sopan santun atau adat dan kaedah hukum.90
Istilah peraturan perundang-undangan, secara normatif ditentukan dalam Pasal
1 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Peraturan Perundang-undangan.
87
Ibid, h. 30 88
Ishaq, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 29-30. 89
ibid 90
J.B Daliyo dkk menganggap bahwa hukum masuk dalam kaidah sosial. kaidah sosial
merupakan pedoman manusia berperilaku dalam masyarakat yang ada bermacam-macam. Kaidah ini
juga tidak lepas dari anggapan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Hal ini menjadi kajian penulis,
apakah dengan masuknya hukum sebagai kaidah sosial, berarti karakter hukum tidak bisa menjadi “sui
generis” atau tidak dapat menerapkan “ teori hukum murni”? akan tetapi apabila melihat pengertian
yang dijabarkan oleh Daliyo dkk, dari kaidah hukum yaitu peraturan yang dibuat atau dipositifkan
secara resmi oleh penguasa masyarakat atau penguasa negara, mengikat setiap orang dan berlakunya
dapat dipaksakan oleh aparat masyarakat atau aparat negara, sehingga berlakunya kaidah hukum dapat
dipertahankan. Maka pertanyaan tersebut tidak menjadi persoalan karena kaidah lebih menekankan
pada ukuran dalam bermasyarakat. Sedangkan hukum juga ada ketika ada masyarakat atau yang
dikenal dengan istilah “ubi societas ubi ius”.
Sedangkan menurut Daliyo, dkk kaidah kepercayaan atau keagamaan adalah kaidah sosial
yang asalnya dari Tuhan dan berisikan larangan-larangan, perintah-perintah dan anjuran-anjuran.
Sedangkan kaidah kesusilaan adalah peraturan hidup yang berasal dari suara hati manusia. Kaidah
kesopanan adalah peraturan hidup yang timbul dari pergaulan dalam masyarakat tertentu. Sedangkan
kaidah hukum adalah peraturan yang dibuat atau dipositifkan secara resmi oleh penguasa masyarakat
atau penguasa negara, mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat masyarakat
atau aparat negara, sehingga berlakunya kaidah hukum dapat dipertahankan. lihat J.B Daliyo, dkk,
1994, op.cit, h. 15-17
61
Istilah tersebut memiliki arti, peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-undangan. Pengertian ini menunjukkan unsur-unsur agar dapat dikatakan
sebagai peraturan perundang-undangan, diantaranya :
1. Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum.
2. Dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang
3. Pembentukan dan penetapannya melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan
Unsur pertama menunjukkan bahwa jenis dari peraturan perundang-undangan
itu, bersifat peraturan tertulis. Pemaknaan dari “peraturan tertulis” ini bukan
dimaksudkan sekedar bentuknya yang dituliskan saja. Jika dipahami demikian, maka
Awig-Awig (peraturan desa adat di Bali yang dituliskan) memenuhi sebagai unsur
ini. Berkaitan dengan hal tersebut, Philipus M.Hadjon mengatakan”aturan” yang
menunjukkan pada bentuk hukum, mengandung makna tertulis. Apabila
dibandingkan dengan istilah rules dalam pustaka Inggris bisa berarti bentuk tertulis
maupun tidak, sehingga ditemukan istilah “written rules” dan ”unwritten rules”.
Meskipun demikian, menurutnya norma tersebut berkaitan dengan wewenang. Akan
tetapi hukum tidak tertulis tidak dapat dikaji dari segi hirarki.91
91
Philipus M.Hadjon, 1997, Wewenang, Yuridika Nomor 5 dan 6 Tahun XII,September hal.1
62
Esensi “peraturan tertulis” disini sebagaimana dimaksud dalam unsur pertama,
menekankan pada kharakter dari peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat
dipisahkan dari unsur kedua dan ketiga, yakni dibentuk oleh lembaga/pejabat negara
serta melalui prosedur yang ditetapkan. J.B Daliyo, dkk, mengatakan berdasarkan
sumber formalnya, hukum dapat digolongkan menjadi :
1. hukum undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan
perundang-undangan.
2. hukum kebiasaan dan hukum adat, yaitu hukum yang berbentuk
peraturan kebiasaan dan adat.
3. hukum yurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan
hakim.92
4. hukum traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh negara-negara peserta
perjanjian internasional.
5. hukum perjanjian, yaitu hukum yang dibuat oleh para pihak yang
mengadakan perjanjian.93
Pandangan J.B Daliyo, dkk sedikit berbeda dengan pandangan Utrecht yang tidak
menggolongkan pada hukum perjanjian (nomor 5), melainkan menurutnya hukum
ilmu (wetenschaparecht), yaitu saran-saran yang dibuat oleh ilmu hukum dan yang
berkuasa dalam pergaulan hukum atau pandangan ahli hukum yang berpengaruh.94
Dengan kata lain menunjuk pada doktrin.
92
Pengertian yurisprudensi ini, menurut Utrecht adalah pengertian yurisprudensi yang
diterima dalam ilmu hukum di hampir semua negara di Kontinen Eropa Barat, seperti Perancis,
Jerman, Belanda, Italia, yang mengartikan yurisprudensi adalah hukum yang dibuat dalam keputusan-
keputusan pengadilan (hakim), yang berbeda dengan pemahaman ilmu hukum di negara Amerika,
Inggris dan semua negara anglo saxon, yang memandang “jurisprudence”jauh lebih luas dari
pandangan Eropa Kontinental, yakni seluruh pelajaran hukum. lihat E.Utrecht, 1955, Pengantar
Dalam Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 46 93
J.B Daliyo, dkk, op.cit, h 35 94
E.Utrecht, 1955, op.cit, h. 46
63
Pandangan J.B Daliyo, dkk, ini memberikan pemahaman bahwa hakekat
peraturan tertulis ini berkenaan dengan hukum undang-undang. Sehingga meskipun
hukum adat dituliskan namun memiliki perbedaan dari peraturan perundang-
undangan. Selanjutnya dalam kaitannya dengan hukum tertulis, Utrecht, menegaskan
hukum undang-undang dan hukum traktat merupakan hukum tertulis (geschreven
rechts).95
Dengan demikian pandangan Utrecht juga menganggap bahwa peraturan
tertulis adalah peraturan perundang-undangan.
Secara normatif, sebagaimana yang telah diuraikan diatas, pengertian
peraturan perundang-undangan mencakup semua peraturan yang bersifat mengikat
secara umum yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah
baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah serta Peraturan/Keputusan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara baik tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah yang bersifat
mengikat secara umum.
Berkaitan dengan istilah perundang-undangan, M. Solly Lubis mengatakan
sebagai proses pembuatan peraturan Negara.96
Pandangan ini menunjukkan bahwa
perundang-undangan bukan merupakan bentuk dari peraturan, melainkan proses
pembentukannya. Dengan demikian jika dikaitkan dengan Undang-Undang No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka menurut
Solly Lubis, peraturan yang dibentuknya melalui tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Suatu aturan yang tidak
95
ibid 96
M Solly Lubis, 1995 Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Mandar Maju, Bandung,
h.17
64
dilakukan sesuai dengan proses pembentukannya, tidak dapat dikatakan sebagai
peraturan perundang-undangan, melainkan hanya peraturan saja. Dengan demikian
menurut Solly Lubis semua aturan dapat dikatakan sebagai peraturan tertulis namun
belum tentu sebagai perundang-undangan.
Istilah Perundang-undangan, dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar
yakni undang-undang. Hamid Attamimi,97
mengartikan Undang-Undang dalam
pengertian teknis ketatanegaraan Indonesia yaitu produk yang dibentuk oleh Presiden
dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara yang dilakukan dengan
persetujuan DPR (wet in formele zin). Pengertian Undang-Undang dalam pengertian
materiil yaitu peraturan yang tidak saja dikeluarkan bersama-sama oleh DPR,
melainkan juga oleh badan-badan pemerintah, seperti menteri, dan sebagainya.
Secara formal, wet sama dengan Undang-Undang. Sedangkan wet dalam arti materiil
sama dengan peraturan perundang-undangan.
Istilah peraturan perundang-undangan yang merupakan terjemahan dari istilah
Belanda “wettelijke regeling”. Menurut Hamid Attamimi, peraturan perundang-
undangan cakupannya tidak hanya terbatas pada peraturan yang merupakan produk
legislatif bersama pemerintah melainkan meliputi juga peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh badan eksekutif yang bersifat mengatur.98
Sebagaimana pandangan terbaginya 2 klasifikasi undang-undang dalam arti
materiil dan formil. Yohanes Usfunan mengatakan, Undang-Undang dalam arti
97
Hamid Atamimi, Peranan......... , op.cit, hal.199 98
ibid
65
materiil adalah setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang
daya mengikatnya kepada setiap orang, inilah yang dimaksud dengan Peraturan
Perundang-undangan. Dalam arti formal Undang-Undang adalah keputusan tertulis
sebagai hasil kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yang
mengikat secara umum.”99
Utrecht sebagaimana dikutip oleh Koesnardi cs.
mengemukakan “sumber hukum dalam arti formil adalah sumber hukum yang
dikenal dari bentuknya.”100
Jimly Asshidiqqie mengatakan peraturan tertulis dalam bentuk ”statutory
laws” atau ”statutory legislations” dapat dibedakan antara yang utama (primary
legislations) dan yang sekunder (secondary legislations). Menurutnya primary
legislations juga disebut sebagai legislative acts, sedangkan secondary dikenal
dengan istilah ”executive acts”, delegated legislations atau subordinate
legislations.101
Dikaitkan dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, yang menentukan :
”Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
99
Yohanes Usfunan, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik
Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Demokratis, Orasi Ilmiah, Universitas Udayana,
Denpasar, h.11 100
M. Koesnardi dan H. Ibrahim,1983, Pengantar Hukum Tata Negara, Penerbit Pusat Studi
HTN FH UI dan CV Sinar Bakti, Cetakan ke V, h. 45 101
Jimly Asshidiqqie, 2011, Perihal Undang-Undang, Cetakan Ke II, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, h. 10
66
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Primary legislations adalah undang-undang dan peraturan daerah baik provinsi
maupun kabupaten/kota, sedangkan secondary legislations ada pada peraturan
pemerintah dan peraturan presiden.
Hamid Attamimi, mengemukakan “UUD dan TAP MPR” tidak termasuk jenis
aturan hukum, melainkan sebagai aturan dasar negara atau aturan pokok negara
(staatsgrundgesetz). Sedangkan aturan hukum adalah Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputursan Presiden,
Peraturan daerah, dst.” 102
Pemikiran Hamid Attamini menguraikan eksistensi aturan dasar/pokok negara
(staatsgrundgesetz) sebagai landasan bagi pembentukan undang-undang. Pandangan
demikian wajar apabila TAP MPR juga dijadikan dasar saat itu dengan
menempatkannya diatas undang-undang. Berbeda halnya, dengan setelah amandemen
Undang-Undang Dasar NRI 1945, yang menempatkan karakter TAP MPR yang akan
dihasilkan setelah amandemen UUD 1945 hanyalah bersifat penetapan (beschicking).
Eksistensi penempatan TAP MPR pada posisi kedua dalam hirarki peraturan
perundang-undangan (Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan) itu bagi TAP MPR sebelum amandemen yang saat
ini dinyatakan masih berlaku.103
102
Hamid Attamimi, Peranan……….., op.cit, h. 46 103
Pemikiran TAP MPR merupakan aturan dasar yang diuraikan oleh Hamid Attamimi,
merupakan hal yang wajar mengingat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum
67
Adapun yang menjadi materi muatan peraturan perundang-undangan, harus
mencerminkan asas-asas (Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), diantaranya :
a. Asas pengayoman;
b. Asas kemanusiaan;
c. Asas kebangsaan;
d. Asas kekeluargaan;
e. Asas kenusantaraan;
f. Asas bhinneka tunggal ika;
g. Asas keadilan;
h. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan
a. Asas pemerintahan;
i. Asas ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. dan
k. Asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan.
Asas pengayoman yang dimaksud adalah bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk
menciptakan ketentraman masyarakat. Asas kemanusiaan dimaksudkan bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan
penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional. Kemudian asas kebangsaan adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan
watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Asas kekeluargaan menganggap bahwa setiap Materi
amandemen) menentukan supremasi MPR, sedangkan saat ini Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar
NRI 1945 (sesudah amandemen) yang menekankan pada supremasi konstitusi.
68
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-
undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan
bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun pengertian asas bhinneka
tunggal ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus
daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Asas keadilan menekankan bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara. Serta asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan”
adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh
memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain,
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Asas ketertiban dan kepastian
hukum” menekankan bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian
hukum. Disamping itu Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat
69
dan kepentingan bangsa dan negara. Asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan, antara lain:
a. Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b. Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas
kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.
2.2.4. Undang-Undang
Terdapat sejumlah istilah dalam kamus bahasa Inggris,104
yang dapat
dipahami sebagai arti dari pada Undang-Undang diartikan sebagai law, act, bill and
statute”. Istilah law, dalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia105
diartikan sebagai :
a. hukum
b. dalil
c. Undang-Undang
d. Alat-alat hukum
Istilah statute diartikan sebagai Undang-Undang.106
Begitu juga istilah Act memiliki
makna sebagai Undang-Undang, dan Putusan. Pada istilah law, act, statute memiliki
pengertian yang sama yakni Undang-Undang.
Istilah “bill” dalam Dictionary of Legal Term107
, memiliki beberapa
pengertian, diantaranya:
104
John M Ekhols dan Hassan Shadely, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, PT Gramedia,
1992 Jakarta, Cetakan, XX, hal.350. 105
Ibid, h. 268 106
Ibid, h. 469
70
1. an order drawn by one person on another to pay a certain sum of money.
2. in commercial law, an account for goods sold, services rendered and work
done.
3. in the law of negoitable instruments, any form of paper money.
4. in legislation, a draft of a proposed statute submitted to the legislature for
enacment.
5. in equity pleadings, the name of the pleading by which the complainant sets
out his cause of action.
Dari ke 5 pengertian tersebut, yang berkaitan dengan definisi Undang-Undang yakni
nomor 4.
Terminologi “undang-undang” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia108
diartikan sebagai, ketentuan dan peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (badan
eksekutif) disahkan oleh parlemen (DPR/badan legislatif), ditandatangani oleh kepala
negara (presiden) dan mempunyai kekuatan yang mengikat. Pengertian ini meskipun
tidak sesuai dengan pembentukan undang-undang di Indonesia karena tidak dibuat
oleh pemerintah lalu disahkan oleh DPR. Namun demikian, pengertian ini
menunjukkan bahwa unsur dari undang-undang adalah peraturan negara yang dibuat
oleh pemerintah dan DPR serta mempunyai kekuatan yang mengikat.
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menentukan bahwa “undang-undang adalah peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan
persetujuan bersama Presiden.” Hal ini menegaskan bahwa undang-undang
merupakan kategori dari peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dan
Presiden. Penyebutan DPR lebih dahulu dari Presiden didasarkan pada Pasal 20 ayat
107
Steven H Gifis, 1998, Dictionary of Legal Terms Third Edition, Barron’s, p.46 108
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, op.cit. h. 1527
71
(1) Undang-Undang Dasar NRI 1945 yang menentukan bahwa Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Hal ini mengingatkan kita
pada teori Trias Politica oleh Montesquieu yang mengatakan kekuasaan legislatif
adalah kekuasaan membentuk undang-undang (teori ini dibahas dalam bab
berikutnya). Disamping itu penegasan ketentuan ini merupakan bentuk pengembalian
fungsi Legislatif sesungguhnya dari kekeliruan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum
amandemen) yang sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (1) menentukan : “Presiden
memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.”
Selanjutnya, Pasal 20 Undang-Undang Dasar NRI 1945, menguraikan
tentang kewenangan pembentukan undang-undang, diantaranya :
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,
rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
untuk menjadi undang-undang.
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan
undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah
menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Berkaitan dengan materi muatan undang-undang, Pasal 10 Undang-Undang
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
menentukan :
72
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. dan
f. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.
Pada bagian penjelasan menguraikan mengenai perjanjian internasional dan
tindak lanjut putusan MK yang dimaksud. Perjanjian internasional tertentu adalah
perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian
tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan
persetujuan DPR.
Frasa ”tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi” terkait dengan
putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang- Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Materi muatan yang
dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas
dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.2.5. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah diklasifikasi menjadi 2 (dua) yaitu peraturan daerah Provinsi
dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 1 angka 7 dan angka 8 Undang-Undang
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
73
menentukan bahwa : Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan
persetujuan bersama Gubernur. Sedangkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.
Eksistensi dari peraturan daerah (Perda) adalah dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, hal ini sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 236 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, disebutkan Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan
Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sedangkan Tugas Pembantuan adalah penugasan dari
Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah
Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.
Pelaksanaan otonomi daerah secara konstitusional tidak lepas dari ketentuan
Pasal 18 Undang-Undang Dasar NRI 1945, yang menentukan :
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan aerah, yang diatur dengan
undang-undang.
74
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum.
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah
Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.
Pasal 18 ayat (1) yang menggunakan frasa “dibagi atas” menunjukkan tipe negara
kesatuan sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI 1945. Frasa
“dibagi atas” berbeda dengan “terdiri atas”, “dibagi atas” menunjukkan pembagian
dari suatu kedaulatan negara, dan tidak terlepas dari negara itu sendiri. Dengan
demikian “dibagi atas” menunjukkan karakternya sebagai negara kesatuan yang
membagi kedaulatannya kepada daerah-daerah untuk mengatur daerahnya sendiri.
Sedangkan “terdiri atas” menekankan pada tipe negara federal, yang dari sejarahnya
pembentukan negara dimulai dari negara-negara bagian. Frasa “dibagi atas”
menunjukkan pembentukan negara Indonesia secara langsung.
Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, menentukan materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi
75
khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Kebijakan dalam pembentukan Peraturan Daerah tidak lepas dari urusan wajib
daerah Provinsi, Kabupaten/Kota. Pasal 12 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, menentukan :
(1) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan
f. sosial.
(2) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:
a. tenaga kerja;
b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
c. pangan;
d. pertanahan;
e. lingkungan hidup;
f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g. pemberdayaan masyarakat dan Desa;
h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
i. perhubungan;
j. komunikasi dan informatika;
k. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
l. penanaman modal;
m. kepemudaan dan olah raga;
n. statistik;
o. persandian;
p. kebudayaan;
q. perpustakaan; dan
r. kearsipan.
(3) Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
meliputi:
a. kelautan dan perikanan;
b. pariwisata;
c. pertanian;
76
d. kehutanan;
e. energi dan sumber daya mineral;
f. perdagangan;
g. perindustrian; dan
h. transmigrasi.
Kemudian Pasal 13 Undag-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, yang menentukan urusan pemerintahan pada skala Kabupaten/Kota, adalah :
(1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah
provinsi serta Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta
kepentingan strategis nasional.
(2) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi atau lintas
negara;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas
negara;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah
provinsi atau lintas negara;
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau
e. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional.
(3) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah
kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh Daerah Provinsi.
(4) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam
Daerah kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila
dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.
77
Pada Pasal 14 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
menentukan :
(1) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta
energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah
provinsi.
(2) Urusan Pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota menjadi
kewenangan Daerah kabupaten/kota.
(3) Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas
bumi menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
(4) Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung panas
bumi dalam Daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah
kabupaten/kota.
(5) Daerah kabupaten/kota penghasil dan bukan penghasil mendapatkan bagi
hasil dari penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(6) Penentuan Daerah kabupaten/kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil
kelautan adalah hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil
diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
(7) Dalam hal batas wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
kurang dari 4 (empat) mil, batas wilayahnya dibagi sama jarak atau diukur
sesuai dengan prinsip garis tengah dari Daerah yang berbatasan.
78
2.3. Kerangka Berpikir
KONSEP KEPASTIAN HUKUM
DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
MASALAH
Ketidakpastian
Hukum
Dogmatika
Hukum
Filosofi Kepastian
Hukum
CLS ALR
Positivisme
hukum
Konsep
Kepastian
Hukum Dalam
Pembentukan
Undang-
Undang dan
Peraturan
Daerah
KONSEP
KEPASTIAN
HUKUM
DALAM
PENERAPAN
UNDANG-
UNDANG DAN
PERATURAN
DAERAH