BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu...

44
35 BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA KONSEPTUAL DAN KERANGKA BERPIKIR Pada bab II ini akan diuraikan menjadi 3 sub judul, yang diantaranya kerangka teoritik, kerangka konseptual dan kerangka berpikir. Adapun alasannya, adalah : Pertama, memberikan jastifikasi teoritik urgensi konsep kepastian hukum dalam penyelenggaran pemerintahan. Kedua, memberikan pemahaman konseptual mengenai kepastian hukum dan penyelenggaraan pemerintahan. Ketiga, memberikan deskripsi singkat mengenai pokok-pokok pikiran dalam penelitian. 2.1. Jastifikasi Teoritik Terhadap Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Penelitian ini, mengedepankan teori, konsep dan asas-asas sebagai jastifikasi teoritik terhadap KONSEP KEPASTIAN HUKUM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN”, diantaranya: 1. Teori Kedaulatan Hukum 2. Teori Hukum Murni 3. Teori Moralitas Hukum 4. Teori Penjenjangan Norma 5. Teori Perundang-undangan 6. Konsep Negara Hukum 7. Konsep Penyelenggaraan Pemerintahan

Transcript of BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu...

Page 1: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

35

BAB II

KERANGKA TEORITIK, KERANGKA KONSEPTUAL DAN

KERANGKA BERPIKIR

Pada bab II ini akan diuraikan menjadi 3 sub judul, yang diantaranya kerangka

teoritik, kerangka konseptual dan kerangka berpikir. Adapun alasannya, adalah :

Pertama, memberikan jastifikasi teoritik urgensi konsep kepastian hukum dalam

penyelenggaran pemerintahan.

Kedua, memberikan pemahaman konseptual mengenai kepastian hukum dan

penyelenggaraan pemerintahan.

Ketiga, memberikan deskripsi singkat mengenai pokok-pokok pikiran dalam

penelitian.

2.1. Jastifikasi Teoritik Terhadap Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan

Penelitian ini, mengedepankan teori, konsep dan asas-asas sebagai jastifikasi

teoritik terhadap “KONSEP KEPASTIAN HUKUM DALAM

PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN”, diantaranya:

1. Teori Kedaulatan Hukum

2. Teori Hukum Murni

3. Teori Moralitas Hukum

4. Teori Penjenjangan Norma

5. Teori Perundang-undangan

6. Konsep Negara Hukum

7. Konsep Penyelenggaraan Pemerintahan

Page 2: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

36

1.6.1. Teori Kedaulatan Hukum

Istilah kedaulatan merupakan terjemahan dari kata “sovereignty” (bahasa

Inggris), “souverainete” (bahasa Prancis), “sovranus” (bahasa Italia), yang berasal

dari kata Latin “superanus” yang berarti “yang tertinggi” (supreme). Secara tersirat

teori kedaulatan hukum mempunyai makna bahwa hukum merupakan sumber

kedaulatan dalam suatu negara.

Kata “kedaulatan” dalam kamus besar bahasa Indonesia, diartikan sebagai

kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah, dan sebagainya.34

Berarti

definisi kedaulatan hukum adalah kekuasaan tertinggi terletak atau ada pada hukum.35

secara kontekstual dapat dipahami baik atau buruknya suatu hukum dalam suatu

negara, ia dianggap tetap berdaulat. Karenanya kedaulatan hukum dapat berdampak

positif (baik) dan juga negatif (buruk) dalam penyelenggaraan suatu negara.

Baik atau buruknya penggunaan teori kedaulatan hukum ini dilihat dari

beberapa pemikiran dalam melihat kandungan “kedaulatan”. Jean Bodin melihat

bahwa kedaulatan merupakan atribut dari negara yang dipersonifikasikan oleh raja.

Jean Bodin, menganggap kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan

hukum dalam suatu negara yang sifatnya tunggal, asli, abadi, dan tidak terbagi-bagi.36

Pemikiran demikian menyebabkan beberapa literatur ilmu politik menempatkan Jean

Bodin sebagai pelopor kaum Monistis.

34

http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php 35

ibid 36

Soehino, 2000, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, h. 15

Page 3: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

37

Pemikiran Bodin ini dilanjutkan oleh Thomas Hobbes, dengan berasumsi para

individu yang hidup dalam keadaan alamiah menyerahkan seluruh hak-hak alamiah

mereka kepada satu orang atau sekumpulan orang. Hobbes lebih mengutamakan

penyerahan itu kepada satu orang yakni raja.37

Ajaran Jean Bodin dan Thomas Hobbes dilanjutkan oleh sarjana-sarjana

hukum dari aliran “analitis” yang dipelopori oleh John Austin di Inggris. Melalui

buku “Lectures on Jurisprudence”, Austin menjelaskan selalu terdapat seorang atau

beberapa orang yang berdaulat, yakni mereka yang ditaati oleh bagian terbesar dari

rakyat negara itu dan yang tidak mentaati sesamanya. Bagi Austin juga yang

berdaulat adalah “pembentuk hukum yang tertinggi (supreme legislator) dan hukum

positif adalah hukum yang dibuat oleh yang berdaulat itu.38

Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena

merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini dapat

diasumsikan sebagai hal negatif apabila hukum positif yang dihasilkan tidak

mencerminkan keadilan, karena lebih mengedepankan aspek formilnya.

Notohamidjojo39

menyatakan pemikiran John Austin ini merupakan teori Etatis, yang

menyatakan hukum adalah hakekat perintah (command) yang berasal dari

negara/badan yang berdaulat.

37

F.Isjwara,1980, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan ke7, Bina cipta, Bandung, h. 107-110 38

ibid 39 O Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Penerbit Griya Media, Salatiga,

h.16

Page 4: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

38

Berbeda halnya dengan pandangan Hugo Krabbe40

menekankan pada

perasaan hukum. Menurut doktrin ethis yang ia pelopori, hukum bukanlah semata-

mata apa yang secara formil diundangkan oleh badan legislatif suatu negara. Hukum

(dan kedaulatan sebagai aspeknya) bersumber pada perasaan-perasaan hukum

anggota masyarakat. Perasaan hukum adalah sumber dan merupakan pencipta

hukum.41

Relevansi pemikiran Krabbe ini dalam konteks negara Indonesia, sejalan

dengan pandangan Soepomo. Pandangan tersebut tercantum dalam Bab III Penjelasan

Umum UUD 1945, menentukan :

Undang-undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung

dalam "pembukaan" dalam pasal-pasalnya. Pokok-pokok pikiran tersebut

meliputi suasana kebatinan dari Undang-undang Dasar Negara Indonesia.

Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang

menguasai hukum dasar Negara, baik hukum yang tertulis (Undang-undang)

maupun hukum yang tidak tertulis. Undang-undang Dasar menciptakan

pokok-pokok pikiran ini dalam pasal-pasalnya.

Frasa “suasana kebatinan” dapat diasumsikan sebagai perasaan hukum

anggota masyarakat. Untuk itu pemikiran Krabbe disini dalam kaitannya dengan

kedaulatan hukum juga menekankan pada kandungan (isi) dari hukum tersebut.

Menurut Krabbe, negara hanya memberi bentuk pada perasaan hukum ini, hanya apa

yang sesuai dengan perasaan hukum itulah yang benar-benar merupakan hukum.

40

Hugo Krabbe menempatkan diri sebagai kaum pluralis, yang beranggapan karena

masyarakat itu pluralis maka negara juga pluralis, karenanya tidak ada satupun kelompok yang lebih

tinggi dari lainnya. Hal ini berbeda dengan pemikiran kaum monistis atau tradisional yang

menekankan bahwa negara memiliki kedaulatan. Lihat F.Isjwara,op.cit. h. 113 41

ibid

Page 5: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

39

Paham ini tidak menganggap negara berdaulat mutlak, karena perasaan hukum

menentukan dan membatasi isi hukum. Bukan negara, tapi hukum yang berdaulat.42

Krabbe mengingkari bahwa Hukum mendapat kekuatan dari negara. Ia

mengatakan, bahwa hukum mendapat kekuatan dari dirinya sendiri, maka ia sampai

berkata : “Jede Gewalt, welche in der Gesellschaft Gelting beansprucht, ist einzig

und allein Rechtsgewalt” (setiap kekuatan yang diperlakukan dalam masyarakat,

adalah tak lain tak bukan kekuatan dari hukum).43

Disinilah letak pemikiran Krabbe

yang patut dikritisi, bila melihat wujud hukum itu sebagai peraturan perundang-

undangan, yang tidak dimungkinkan memiliki kekuatan sendiri tanpa pengesahan dari

lembaga-lembaga negara. Doktrin Krabbe ini, sebenarnya lebih menekankan pada

aspek yang bukan formalisme suatu aturan.

Krabbe menggunakan penafsiran ethis dalam melihat hukum, maka Leon

Duguit dan Harold J. Laski menafsirkan hukum secara realistis, bahwa negara sebagai

suatu lembaga kesejahteraan umum (public service institute) dan hukum bukanlah

serangkaian perintah-perintah, tetapi adalah cara-cara penyelenggaraan kesejahteraan

umum. Konsepsi ini memberikan pemahaman bahwa negara tidak berkuasa

melainkan bertanggung jawab.44

Rupanya kata bertanggung jawab lebih ditekankan

pada kewajiban negara, sebagaimana bila menggunakan Pasal 28 I ayat (4) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang menentukan : “Perlindungan,

42

ibid 43

Wirjono Prodjodikoro, 1971, Asas-Asas Ilmu Negara Dan Politik, P.T Eresco, Bandung-

Jakarta, h. 41 44

F. Isjwara, op.cit, h. 113

Page 6: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

40

pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab

negara, terutama pemerintah.”

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, relevansi kedaulatan hukum dalam

penelitian ini menekankan bahwa hukum yang berkuasa dalam suatu negara, akan

tetapi konstruksi hukum yang dihasilkan bukan semata-mata bebas sesuai kehendak

penguasa dikarenakan turunan kedaulatan negara, melainkan sangat memperhatikan

aspek kedaulatan rakyat (demokratis). Penekanan dalam pembentukan hukum

mengacu pada tujuan negara itu sendiri. Kedaulatan hukum juga menekankan pada

esensi dari penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan pada hukum.

1.6.2. Teori Hukum Murni

Teori Hukum Murni merupakan teori yang berusaha memandang kemurnian

dari hukum dikenal dengan istilah The Pure Theory of Law. Melalui teori ini Hans

Kelsen berpendapat bahwa :

The pure theory of Law is a theory of positive law. It is a theory of positive

law in general, not of a specific legal order. It is general theory of law, not

an interpretation of specific national or international legal norms; but it

offers a theory of interpretation. As theory, its exclusive purpose is to know

and to describe its object. The theory attemps to answer the question what and

how the law is, not how it ought to be. It is a science of law (jurisprudence),

not legal politics. It is called a “pure” theory of law, because it only describes

the law and attempts to eliminate from the object of this description

everything that is not strictly law; its aim is to free the science law from alien

elements. This is the methodological basis of the theory.45

45

Hans Kelsen, Pure Theory of Law, 1967, Translation from the Second (Revised and

Enlarged) German Edition by Max Knight, University of California Press, Berkeley and Los Angeles,

p. 1

Page 7: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

41

Dari pernyataan diatas, terdapat beberapa hal yang dapat diidentifikasi terkait teori

hukum murni (teori murni hukum), diantaranya :

1. Teori hukum murni merupakan teori hukum positif, bukan dalam suatu

sistem hukum. Akan tetapi teori hukum umum, yang bukan suatu sistem

hukum dalam negara atau internasional.

2. Memiliki tujuan untuk mengetahui dan menjelaskan suatu obyek, dengan

mencari jawaban dari apakah dan bagaimanakah hukum itu (dibuat)46

, bukan

bagaimana hukum itu seharusnya.

3. Teori hukum murni merupakan ilmu hukum (jurisprudence) bukan kebijakan

hukum.

4. Teori hukum murni untuk menjelaskan tentang hukum dan berupaya

membersihkan anasir-anasir asing yang tidak ada kaitannya dengan hukum.

Hans Kelsen tidak mempermasalahkan apabila dalil hukum harus baik dan

sesuai dengan moral. Substansi yang ditolak dalam pandangannya adalah bahwa

hukum merupakan bagian dari moral dan semua hukum adalah arti tertentu atau

46

Lihat juga buku Hans Kelsen, Introduction to the Problems of Legal Theory, 1992, A

Translation of the First Edition of the Reine Rechtslehre or Pure Theory of Law, Translated by Bonnie

Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson, Clarendon Oxford, p.1. (selanjutnya disebut dengan Hans

Kelsen II). Dalam buku ini menekankan pada kegunaan teori hukum murni yang berupaya untuk

menjawab apakah hukum itu dan bagaimanakah hukum itu dibuat, bukan pertanyaan apakah hukum

yang seharusnya atau bagaimana seharusnya dibuat. “It (refers to, the Pure Theory of Law) attempts to

answer the question of what the law is and how the law is made, not the questions of what the law

ought to be or how the law ought to be made.

Page 8: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

42

derajat tertentu dari moral. Menyatakan bahwa hukum adalah wilayah tertentu dari

moralitas sama halnya dengan manyatakan hukum harus sesuai dengan moralitas.47

Rupanya pemikiran Kelsen merujuk pada ajaran Plato (platonik) yakni aliran

dualisme yang membagi dunia ini dalam 2 (dua) dunia, yakni : apa yang terlihat atau

realitas dan ide. Kedua hal tersebut menunjukkan nilai keadilan merupakan dalam

kategori ide, sehingga tidak dapat terlihat oleh manusia lainnya dalam menafsirkan

ide seseorang. Untuk itu dibutuhkan suatu realita yang dijadikan suatu aturan.

Pemahaman keadilan sulit mencari batasannya, kapan suatu hal dikatakan adil dan

apa indikatornya. Untuk itu dalam pandangan legalitas, Hans Kelsen48

berpendapat

yang dimaksud keadilan adalah menerapkan apa yang telah diatur. Sehingga dapat

direfleksikan, apakah adil apabila seseorang dihukum tidak sesuai aturan? Untuk itu

dalam menjembatani hal ini Hans Kelsen mencetuskan teori isi tata urutan hukum

positif. Dikarenakan keadilan belum mampu membuat tata aturan yang adil. Kelsen49

mengatakan karakteristik yang membedakan antara hukum dari fenomena sosial lain

seperti moral dan agama dilihat dari motivasi langsung atau tidak langsung,

konsekuensi dalam bentuk berupa hukuman dan imbalan.

Teori hukum murni menjadi salah satu pijakan dasar teori dalam penelitian

ini, karena dalam penyelenggaraan pemerintahan diperlukan suatu aturan yang

menjamin kepastian hukum. Disamping itu tindakan hukum penyelenggara

47

Jimly Asshidiqqie dan M. Ali Safa’at, 2012, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Konstitusi

Press, h. 19 (selanjutnya disebut dengan Jimly Asshidiqqie III) lihat juga Hans Kelsen, op.cit, p. 15-18 48

ibid, h. 16-21 49

Ibid

Page 9: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

43

pemerintahan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, harus berdasarkan

kepastian dan nilai keadilan sebagaimana yang telah tercantum dalam tata urutan

peraturan perundang-undangan. Teori hukum murni yang tidak melarang bahwa

pembentukan hukum harus baik dan mengandung nilai moral, memberikan suatu

pemikiran dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dipengaruhi nilai

moral yang ada dalam masyarakat.

1.6.3. Teori Penjenjangan Norma Hukum

Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum

(Stufenbau des Rechts), Hans Kelsen50

berpendapat bahwa norma-norma hukum itu

berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu

norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih

tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang

lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada norma yang tidak dapat ditelusuri

lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm).

Pemikiran Hans Kelsen lebih lanjut, ditemui dalam bukunya berjudul General

Theory of Law and State. 51

Dari pernyataan ini, poin-poin yang dapat diidentifikasi

adalah sebagai berikut:

50

Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit Kanisius,

Jogjakarta, h.25 51

Pemikiran Hans Kelsen lebih lanjut, ditemui dalam bukunya berjudul General Theory of Law

and State, yang mengungkapkan “……………………….. law regulates it own creation inasmuch one

legal norm determines the way in which another norm is created and also to some extent, the contents

of that norms. Since a legal norm is valid because it is created in a way determined by another legal

norms, the latter is the reason of validity of the former. The relation between the norm regulation the

Page 10: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

44

1. Validitas hukum ditentukan oleh norma hukum lainnya.

2. Sistem norma terkoordinasi dengan norma lain

3. Penciptaan norma ditentukan oleh norma yang lebih tinggi

4. adanya hirarki dalam berbagai tingkatan norma

Pemikiran Kelsen demikian, menunjukkan bahwa hukum diciptakan oleh

hukum lainnya yang lebih tinggi. Pengertian ini menunjukkan bahwa Kelsen

memahami hukum sebagai suatu “tatanan”. Dengan demikian yang paling dasar

menjadi aturan tertinggi yang akan selalu dijadikan acuan dalam pembentukannya.

Pemikiran ini sangat berkaitan erat dengan pandangannya dalam teori hukum murni,

bahwa penciptaan hukum juga dijauhkan dari anasir-anasir lain. Keterkaitannya

dengan “basic norm”, sesungguhnya sarat dengan nilai keadilan. Sebagai contoh,

creation of another norm and this other norm may be presented as a relationship of super and sub

ordination, which is a spatial figure of speech. The norms determining the creation of another norm is

the superior, the norm created according to this regulation the inferior norm. The legal order,

especially the legal order the personification of which is the state, is therefore not a system of norm

coordinated to each other, standing, so to speak, side by side on the same level, but a hierarchy of

different levels of norms. the unity of these norms is constituted by the fact that the creation of one

norm - the lower one - is determined by another - the higher - the creation of which is determined by

another - the higher - the creation of which is determined by a still higher norm, and that this

regressus is terminated by a highest, the basic norm which, being the supreme reason of validity of the

whole legal order, constitutes its unity. Lihat Hans Kelsen 1949, General Theory of Law and State,

Harvard University Press, h. XIV (Hukum mengatur hal penciptaannya sendiri, sejauh suatu norma

hukum menentukan cara di mana norma lain dibuat dan juga sampai batas tertentu, isi norma tersebut.

Norma hukum itu sah karena dibuat dengan cara yang ditentukan oleh norma-norma hukum yang lain,

yang kedua merupakan alasan validitas dari aturan sebelumnya. Hubungan antara regulasi norma

dalam penciptaan norma lain dan norma lainnya ini merupakan hubungan super dan sub ordinasi, yang

menunjukkan kedudukan dari tokoh pembentuk. Norma-norma yang menentukan penciptaan norma

lain adalah superior, sedangkan norma dibuat sesuai dengan peraturan ini adalah norma yang lebih

rendah. Tatanan hukum, khususnya tatanan hukum yang merupakan personifikasi negara, itu bukan

suatu sistem norma terkoordinasi satu sama lain, berdiri, berbicara, berdampingan pada tingkat yang

sama, tetapi hirarki dalam berbagai tingkatan norma. Kesatuan norma-norma didasari oleh fakta bahwa

penciptaan suatu norma - yang lebih rendah - ditentukan oleh yang lebih tinggi - penciptaan yang

norma yang lebih tinggi itu, penciptaannya ditentukan oleh norma yang lebih tinggi lagi, sampai

ditentukan pada norma yang tertinggi, norma dasar yang menjadi alasan tertinggi validitas tatanan

hukum secara keseluruhan, merupakan suatu kesatuan)

Page 11: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

45

dalam pemikiran Kelsen pada hukum internasional, menempatkan salah satu asas

“pacta sun servanda”52

sebagai grundnorm (basic norm). Jika melihat asas ini,

sebenarnya ada titik taut dengan keadilan dan moral.

Hamid Attamimi yang bertitik tolak pada ajaran Hans Nawiasky,

membedakan norma hukum negara dalam 4 (empat) kategori pokok, yaitu

Staatsfundamentalnorms (Norma fundamental negara), Staatsgrundgesetz (aturan

dasar/pokok negara), Formell Gesetz (undang-undang formal) dan Verordnung &

Autonoe Satzung (Aturan pelaksana dan Aturan otonom).53

Hamid Attamimi berpendapat bahwa UUD dan TAP MPR tidak termasuk

jenis aturan hukum, melainkan sebagai aturan dasar negara atau aturan pokok negara

(Staatsgrundgesetz), untuk aturan hukum adalah undang-undang, peraturan

pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), peraturan pemerintah (PP),

keputusan Presiden, peraturan daerah dan seterusnya. Pendapat ini didasarkan pada

pertimbangan bahwa UUD yang berisi Pancasila adalah tidak sama dengan undang-

undang formil.54

Teori penjenjangan norma ini tepat dijadikan rujukan, sebab dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan, para pembentuk harus mendasarkan

pada aturan yang lebih tinggi.

Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan, menentukan Pancasila harus dijadikan sumber dari

52

Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, 2002, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,

Bandung, h. 34 53

Hamid Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu Studi Analis: Keputusan Presiden Yang Berfungsi

Peraturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita V, Disertasi PPS Universitas Indonesia, h. 287 54

Ibid, h. 287-288

Page 12: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

46

pembentukan hukum. Kaitannya dengan teori ini, banyak kalangan yang beranggapan

bahwa grundnorm yang di pahami oleh Kelsen termuat dalam Pancasila sehingga

dianggap sebagai cita hukum. Deskripsi tentang cita hukum akan diuraikan pada bab

selanjutnya. Esensi dari teori ini memberikan legitimasi kepada para pembentuk

undang-undang yang merupakan penyelenggara negara untuk tunduk pada aturan

yang lebih tinggi saat membentuk aturan yang lebih rendah. Hal ini sejalan dengan

pemahaman kepastian hukum dalam arti legalitas demi mewujudkan kepastian norma

hukum.

1.6.4. Teori Perundang-undangan

Penelitian ini menggunakan teori perundang-undangan sebagai salah satu

jastifikasi teoritis, mengingat kajian dalam penelitian ini juga menyangkut persoalan

kepastian hukum dalam konteks norma. A. Hamid S. Attamimi55

membedakan antara

teori perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan, yang menurutnya teori

perundang-undangan berorientasi pada menjelaskan dan menjernihkan pemahaman

dan bersifat kognitif56

, sedangkan ilmu perundang-undangan (dalam arti sempit)

berorientasi pada melakukan perbuatan pelaksanaan dan bersifat normatif. Teori

perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan merupakan cabang atau bagian

dari ilmu pengetahuan perundang-undangan. Selanjutnya Rosjidi Ranggawidjaja,

55

A. Hamid S. Attamimi dalam H. Rosjidi Ranggawidjaja, 1998, Pengantar Ilmu Perundang-

Undangan Indonesia, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, h. 14-15. 56

Dalam KBBI Kognitif diartikan sebagai 1 berhubungan dng atau melibatkan kognisi; 2

berdasar kpd pengetahuan faktual yg empiris. Sedangkan kog·ni·si n 1 kegiatan atau proses

memperoleh pengetahuan (termasuk kesadaran, perasaan, dsb) atau usaha mengenali sesuatu melalui

pengalaman sendiri; 2 Sos proses, pengenalan, dan penafsiran lingkungan oleh seseorang; 3 hasil

pemerolehan pengetahuan.

Page 13: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

47

menguraikan teori perundang-undangan berorientasi pada usaha menjelaskan

pemahaman (yang bersifat dasar) antara lain pemahaman tentang undang-undang,

pembentuk undang-undang, fungsi perundang-undangan, peraturan perundang-

undangan, dan sebagainya serta bersifat kognitif.57

Relevansi penggunaan teori perundang-undangan pada penelitian ini,

digunakan dalam memahami hakekat dan fungsi dari perundang-undangan sebagai

dasar penyelenggaraan pemerintahan, serta mendeskripsikan mengenai kewenangan

pembentuk perundang-undangan. Tidak juga menutup dalam konteks teori

perundang-undangan saja, melainkan juga menggunakan asas-asas yang berkaitan

dengan pembentukan peraturan perundang-undangan serta asas yang berkenaan

dengan pengkajian terhadap konflik norma.

1.6.5. Konsep Negara Hukum

Seperti yang diketahui penyebutan istilah negara hukum dikenal dengan

“rechstaat” ada pula “rule of law”. Istilah “rechstaat” adalah konsep yang populer

dalam tradisi Eropa Kontinental, sedangkan Anglo Saxon menggunakan “rule of

law”. Tradisi eropa kontinental (civil law) sangat berpengaruh pada pemahaman

tentang “rechstaat” itu sendiri, begitu juga tradisi anglo saxon membentuk suatu

pemikiran tentang hakekat dari “rule of law”. Menurut Gustav Radbruch dalam “Deir

Geist des englischen Rechts”, penegakan the rule of law di Inggris sama sekali tidak

57

Ibid, h. 15

Page 14: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

48

berdasarkan pemisahan kekuasaan, sebagaimana yang dikemukakan oleh

Montesquie.58

Hal tersebut berbeda dengan perkembangan “rechtsstaat” abad ke-18 yang

dirumuskan oleh Immanuel Kant (1724-1804). Pemikiran filsafat Kant yang berpusat

pada kebebasan atau otonomi individu itu bertemu dengan paham laissez faire yang

dipelopori oleh Adam Smith yang juga dilandasi dengan pemikiran kebebasan

individu. Pertemuan keduanya dalam bidang hukum dan kenegaraan kemudian

melahirkan paham negara hukum Liberal.59

Pemikiran Kant ini didasarkan, pada

pemikiran untuk menjamin kedudukan hukum setiap individu, yang diinspirasi oleh

teori pemisahan kekuasaan Montesquieu (1689-1755) dalam menghindari pemusatan

kekuasaan yang dapat mendorong terjadinya kesewenang-wenangan dan berkaitan

dengan paham demokrasi dari Rousseau (1712-1778). 60

Menurut Notohamidjojo61

, penulis-penulis seperti Niccola Machiavelli (1469-

1527), Jean Bodin (1530-1596), Thomas Hobbes (1588-1679), Kardinal de Richeliu

(1585-1642) merangsang pertumbuhan absolutisme itu.62

Esensi negara hukum

58

Sunarjati Hartono, 1969, Apakah The Rule of Law itu?, Alumni, Bandung, h. 11 59

I Dewa Gede Palguna, op.cit, h. 73 60

Jimly Asshiddiqie, 1998, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi,

Balai Pustaka, Jakarta, h.. 90. (selanjutnya disebut dengan Jimly Asshidiqqie V) 61

O.Notohamidjojo, 1967, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, h. 11-12 62

Pemikiran Machiavelli menekankan pada upaya raja dalam mewujudkan cita-cita nya,

harus dilakukan dengan segala cara; Jean Bodin menganjurkan absolutisme raja dan raja harus

mempunyai hak mutlak dalam membuat undang-undang bagi rakyatnya yang diperintah. Raja terikat

pada hukum kodrat (ius natural) dan hukum ilahi (ius divinum); dalam teori Thomas Hobbes

perjanjian masyarakat itu individu dianggap menyerahkan seluruh wewenang dan kuasanya kepada

raja, maka kekuasaan raja itu mutlak.; De Richeliu menyatakan terdapat 2 teori dalam kekuasaan raja,

pertama teori “droit divin” yang berarti hak ilahi daripada raja, sehingga raja dan paus masing-masing

menerima kekuasaan langsung dari Allah. Kedua, teori “raison d etat” yakni teori dari Machiavelli

Page 15: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

49

“rechstaat” rupanya lebih mengarah kepada pembatasan kekuasaan penyelenggara

negara agar tidak absolut, apabila dilihat dari sejarahnya.63

Berbeda halnya dengan di Inggris, yang menjadi dasar pada penegakan “Rule

of Law” adalah penuaian tugas hakim pada khususnya dan para sarjana hukum pada

umumnya.64

Tradisi ini adalah, bahwa di mata orang Inggris “law” atau hukum

hendaknya merupakan just law atau hukum yang mengandung keadilan. Sekalipun

suatu undang-undang itu secara formil merupakan hukum yang sah, apabila kaedah

hukum menurut bangsa Inggris tersebut bertentangan dengan keadilan, maka

keharusan akan mentaati kaedah hukum tersebut akan terhapus, hal mana sudah tentu

menjadi persoalan yang akan dan harus diputuskan oleh Pengadilan dan bukan oleh

instansi lain diluar pengadilan.65

Pendekatan “rule of law” menggunakan nilai

keadilan yang berlaku pada masyarakat, sehingga dalam pembentukan hukum pun

keadilan menjadi acuan.

Dalam Dictionary of Law, the rule of law diartikan sebagai principle of

government that all persons and bodies and the government itself are equal before

and answerable to the law and that no person shall be punished without trial.66

Pengembangan konsep “rule of law” oleh A.V Dicey, di identifikasi dalam 3 unsur,

yang berarti kepentingan negara, sehingga kebebasan dan keagungan negara itulah yang merupakan

tujuan yang utama. Lihat Notohamidjojo, ibid, h.12-13 63

Lihat juga pada http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Rechtsstaat&oldid=573060731",

disitu dijelaskan tentang hakekat “rechstaat”, selebihnya : In a Rechtsstaat, the power of the state is

limited in order to protect citizens from the arbitrary exercise of authority. 64

Sunarjati Hartono, op.cit, h.12 65

Ibid, h. 14 66

PH. Collin, 2004, Dictionary of Law, Fourth Edition, Bloomsbury Publishing Plc, London.

P.266

Page 16: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

50

diantaranya : (1) supremacy of law, (2) equality before the law, (3) the constitution

based on individual rights.67

Inti kekuasaan raja di Inggris semula adalah kekuasaan

memutus perkara yang kemudian di delegasikan kepada hakim-hakim peradilan yang

memutus perkara tidak atas nama raja tapi berdasarkan “common custom of

England”, sehingga karakteristiknya dari “common law” adalah “judicial” sedangkan

karakteristik dari “civil law” (kontinental) adalah “administratif.68

Ada 2 unsur penting yang menandai paham negara hukum Liberal, yakni

adanya perlindungan terhadap hak-hak individu (yang oleh Kant disebut sebagai hak-

hak pemilikan pribadi dan kontrak) dan adanya pemisahan cabang-cabang kekuasaan

negara (legislative, eksekutif dan yudikatif).69

Kemudian gagasan Immanuel Kant

tersebut dikembangkan oleh Friedrich Stahl, menjadi 4 unsur dari negara hukum

“rechstaat”:

1. Adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia

2. Adanya pemisahan dalam kekuasaan negara

3. Setiap tindakan negara harus didasarkan atas undang-undang yang telah

ditetapkan terlebih dahulu

4. Adanya peradilan administrasi negara.70

Oleh S.W. Couwenberg konsep negara hukum (rechsstaat) dikembangkan

lagi menjadi 10 unsur seperti dikutip oleh Philipus M. Hadjon, yaitu sebagai berikut:

1. Pemisahan antara negara dengan masyarakat sipil, pemisahan antara

kepentingan umum dan kepentingan khusus perorangan, dan pemisahan antara

hukum publik dan privat.

67

A.V Dicey, 1987, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, Fifth edition,

London, Macmillan And Co., Limited New York: The Macmillan Company, p. 179-187 68

Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat di Indonesia, PT Bina

Ilmu, Surabaya, h. 82 (selanjutnya disebut Philipus M Hadjon II) 69

I Dewa Gede Palguna, op.cit, h. 74 70

Philipus M Hadjon II , op.cit. h. 75.

Page 17: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

51

2. Pemisahan antara negara dan gereja.

3. Adanya jaminan atas hak-hak kebebasan sipil.

4. Persamaan terhadap undang-undang.

5. Adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaan negara dan dasar sistem

hukum.

6. Pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politika dan sistem checks and

balances.

7. Asas legalitas.

8. Ide tentang aparat pemerintahan dan kekuasaan kehakiman yang tidak

memihak dan netral.

9. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap penguasa oleh peradilan

yang bebas dan tidak memihak dan berbarengan dengan prinsip tersebut

diletakkan prinsip tanggung gugat negara secara yuridis.

10. Prinsip pembagian kekuasaan, baik yang bersifat teritorial maupun vertikal.71

Perkembangan negara hukum juga dapat dikaitkan dalam konteks Negara

hukum Indonesia, terdapat pandangan Sri Soemantri dan Philipus M. Hadjon. Kedua

pandangan sarjana tersebut rupanya menekankan pada Pancasila sebagai “cita

hukum”, sehingga menghasilkan konsepsi pemikiran tentang negara hukum Indonesia

(negara hukum Pancasila). Menurut Sri Soemantri Martosoewignjo, unsur-unsur

negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila72

, yaitu :

a. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga

negara;

b. Adanya pembagian kekuasaan;

c. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, pemerintah harus selalu

berdasarkan atas hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang

tidak tertulis;

d. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya

merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sedang

khusus untuk Mahkamah Agung harus juga merdeka dari pengaruh-

pengaruh lainnya.

71

Ibid. 72

Astim Riyanto, 2006, Teori Konstitusi, Penerbit Yapemdo, Bandung, h. 275-276

Page 18: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

52

Kemudian ciri negara hukum Pancasila menurut Philipus M Hadjon adalah sebagai

berikut:

a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas

kerukunan;

b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan

negara;

c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan

merupakan sarana terakhir;

d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban73

Pengkajian terhadap penelitian yang berjudul “Konsep Kepastian Hukum

Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan” ini, menggunakan pendekatan konsep

“rechstaat” dalam membatasi tindakan pemerintahan, termasuk dalam pembentukan

hukum. Akan tetapi, tidak juga mengabaikan gagasan konsep “rule of law” dalam

menekankan penggunaan nilai keadilan bangsa, khususnya di Indonesia yang terurai

dalam Pancasila dan Konstitusi.

Pada saat ini banyak kalangan yang masih menganggap tipe negara hukum

yang dianut di Indonesia adalah “rechstaat”, ada pula sebaliknya yakni “rule of law”

ataupun terdapat pemikiran bahwa tidak ada pemisahan secara tegas antara kedua itu.

Mencermati Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen), istilah negara

hukum terdapat pada bagian penjelasan. Adapun kalimat tersebut, menyatakan;

“Negara Indonesia berdasar atas Hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan

belaka (Machtsstaat)”. Nampaknya pemikiran Soepomo ini, lebih menekankan pada

negara hukum “rechstaat”.

73

Philipus M Hadjon II, op.cit, h.90

Page 19: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

53

Setelah Undang-Undang Dasar NRI 1945 diamandemen, nampaknya tidak

ada lagi pembedaan secara tegas mengenai unsur negara hukum yang dianut, apakah

itu rechstaat ataupun rule of law. Hal ini disebabkan terdapat unsur-unsur yang

mencirikan masing-masing sistem hukum, misalnya eksistensi Peradilan Tata Usaha

Negara (Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945) merupakan unsur dari pembatasan

kekuasaan administrasi (rechstaat). Terkait dengan untuk rule of law nampak pada

Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 yang memberikan keleluasan kepada hakim yang

tidak hanya sebagai penegak hukum (undang-undang) melainkan dapat mencari

keadilan diluar instrumen hukum.

Uraian tersebut, menunjukkan perdebatan tentang negara hukum mana yang

dianut oleh Indonesia, telah berakhir saat Undang-Undang Dasar NRI 1945 (setelah

amandemen) menyatukan konsep negara hukum “rechstaat” maupun “rule of law”.

Dasar argumentasi hukum dari pernyataan sebelumnya, ialah Pasal 1 ayat (2) UUD

NRI 1945, menentukan : “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut Undang-Undang Dasar”. Hal itu berarti bahwa Undang-Undang Dasar

merupakan pemegang kedaulatan rakyat atau dengan kata lain “supremasi konstitusi”.

Page 20: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

54

2.2. KERANGKA KONSEPTUAL

Pada sub judul tentang kerangka konseptual ini, membahas pemikiran konsep

kepastian hukum dan penyelenggaraan pemerintahan.

2.2.1. Penyelenggaraan Pemerintahan

Konsep penyelenggaraan pemerintahan, terdiri dari 2 suku kata yang berbeda,

untuk itu dalam memahaminya, perlu diulas secara gramatikal. Kata

penyelenggaraan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)74

, berasal dari kata

dasar selenggara, yang artinya urus, rawat, selengkapnya diuraikan sebagai berikut :

penyelenggara /pe·nye·leng·ga·ra/ n 1 pemelihara; pemiara: - kebun buah-

buahan; 2 orang yg menyelenggarakan (dl berbagai-bagai arti spt pengusaha,

pengurus, pelaksana): perancang dan - bangunan-bangunan;

penyelenggaraan /pe·nye·leng·ga·ra·an/ n 1 pemeliharaan; pemiaraan: -

kolam-kolam ikan mujair; 2 proses, cara, perbuatan menyelenggarakan dl

berbagai-bagai arti (spt pelaksanaan, penunaian): - Kongres Bahasa Indonesia

Definisi yang terdapat dalam KBBI itu, memberikan pemahaman bahwa

penyelenggaraan menekankan pada proses, cara, perbuatan dalam

pelaksanaan/penyelenggaraan suatu kegiatan. Dengan demikian dalam konsep

“penyelenggaraan”, harus ada 3 (tiga) unsur tersebut.75

Konsep pemerintahan,

74

Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,

Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 1251.

75

“Proses”, diartikan sebagai rangkaian tindakan, pembuatan, atau pengolahan yg

menghasilkan produk (ibid, h. 1106), kata “cara” dimaknai dengan jalan (aturan, sistem) melakukan

(berbuat dsb) sesuatu (ibid, h. 245), sedangkan “Perbuatan” adalah sesuatu yg diperbuat (dilakukan);

tindakan: kelakuan; tingkah laku (ibid, h. 213)

Page 21: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

55

memiliki perbedaan yang jelas dengan lainnya, seperti pemerintah dan negara.76

Berdasarkan pembedaan tersebut, maka konsep “penyelenggaraan pemerintahan”,

76

Secara konseptual “pemerintahan” dan “pemerintah” itu memiliki perbedaan. Dalam

penafsiran sistematis, Pasal 1 angka 1, 2, 3 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, menentukan:

1. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang

memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah

dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-

luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai

unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Pemerintah dalam hal ini ditujukan pada organ pelaksana, yakni bila Pemerintah Pusat maka

Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan negara, sedangkan daerah kepala daerah dan

perangkatnya sebagai unsur penyelenggaran pemerintahan daerah. Selain seperti yang dijelaskan pada

halaman sebelumnya dengan mengedepankan pendapat Prajudi Atmosudirjo, dari penafsiran sistematis

konsep “pemerintahan” lebih menunjukkan pada fungsi dari penyelenggaraan urusan pemerintahan

ketimbang organ/lembaga.

Dalam konteks penggunaan bahasa sehari-hari, orang agak sulit membedakan antara konsep

negara dengan pemerintah. Secara sekilas pembedaan konsep tersebut dapat diartikan bahwa istilah

“negara” lebih luas daripada “pemerintah”, mengingat pemerintah bagian dari negara, jika masih

terniang dengan pemerintah merupakan salah satu unsur negara. Pembedaan akan mulai sulit apabila

konsep negara atau pemerintah tersebut diikuti oleh kata lainnya, seperti Penyelenggaraan Pemerintah

atau penyelenggaraan negara, penggunaan istilah pegawai negeri bukan pegawai pemerintah,

kewenangan negara atau kewenangan pemerintah. Kelihatannya pembedaan istilah itu sepele, namun

ternyata setelah melihat uraian tersebut semakin mengaburkan pemahaman kita terkait kedua istilah

tersebut. Beberapa pendapat mengatakan bahwa negara adalah organisasi, sebagaimana diungkapkan

oleh Kranenburg, J.J. Rosseau, Soenarko, Sri Soemantri Martosoewignjo, Logemann, George

Jellineck, Miriam Budiardjo. (lihat I Gede Pantja Astawa dan Suprin Na’a, 2009, Memahami Ilmu

Negara dan Teori Negara, Refika Aditama, Bandung, h. 4-7) Sedangkan Plato dan Thomas Hobbes,

memberikan istilah tubuh dalam memberikan pemahaman tentang hakekat dari negara, dapat dipahami

bahwa “tubuh” menunjukkan pada suatu organ atau kelembagaan. Sehingga dapat dipersepsikan

bahwa kelembagaan tersebut terkait erat dengan organisasi. Karl Marx dan Roger H. Soltau,

menekankan negara sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan Jean Bodin dan

Bellefroid mengemukakan negara sebagai keseluruhan masyarakat. Kemudian Hans Kelsen

berpendapat bahwa negara adalah suatu tertib hukum. Dari pendapat-pendapat tersebut, saya lebih

memilih konsep negara sebagai organisasi kekuasaan yang memiliki tujuan tertentu.

Oppenheim Lauterpacht, mengemukakan unsur-unsur negara dibagi menjadi:harus ada

rakyat, harus ada wilayah, harus ada pemerintah yang berdaulat.Dilihat dari beberapa unsur tersebut,

“rakyat” merupakan anggota-anggota dari organisasi yang bernama negara. Sedangkan “wilayah”

menunjukkan tempat dimana organisasi negara tersebut memiliki kedaulatan serta tempat kediaman

rakyat dan pemerintah. Maka diperlukan penyelenggara yang menjalankan aktivitas kekuasaan negara

demi mewujudkan fungsi negara itu.

Pendapat Oppenheim ini memberikan suatu gambaran bahwa pemerintah adalah bagian dari

negara, yang berperan menjalankan penyelenggaraan kekuasaan negara. Pemahaman “pemerintah”

Page 22: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

56

menekankan pada proses, cara dan perbuatan dalam menyelenggarakan

pemerintahan. Pada Bab III Undang-Undang Dasar NRI 1945 mengatur tentang

kekuasaan pemerintahan negara, yang dalam ketentuan pasal 5, menentukan

“Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan

Rakyat”.

Pengaturan dalam konstitusi itu, menunjukkan bahwa penyelenggaraan

pemerintahan tidak hanya dalam menjalankan undang-undang (peraturan perundang-

undangan) melainkan juga ikut sebagai pembentuk.77

Hal ini sejalan dengan

pemikiran Hadjon, “pemerintahan” dewasa ini tidak sama dengan kekuasaan

“eksekutif”.78

Dalam pemahaman Philipus M. Hadjon berikutnya, terdapat

pemisahan antara “suatu pembentukan keputusan politik” dengan “pemerintahan”.

disini lebih luas yang mencakup keseluruhan bidang penyelenggaraan kekuasaan negara (eksekutif,

legislatif dan yudisial). Akan berbeda dengan pandangan “pemerintah” dalam arti sempit yang

dikonotasikan dalam arti eksekutif jika kita mengacu pada pandangan Montesquieu dalam teori trias

politika. Dengan demikian Oppenheim memandang bahwa lembaga negara apapun masuk dalam

kategori pemerintah yang berdaulat.

Secara hakiki jika mengkaitkan bahwa negara adalah organisasi maka kedudukan

“pemerintah yang berdaulat” berfungsi sebagai motor penggerak organisasi kekuasaan yang bernama

negara. Dapat diilustrasikan bahwa pemerintah itu seperti pengurus dalam suatu organisasi apapun,

yang bertugas menjalankan aktivitas organisasi. Dalam kepengurusan organisasi terdapat berbagai

bidang, yang dapat disamakan dengan peran lembaga-lembaga negara. Berangkat dari pemahaman

tersebut maka negara bersifat pasif, sedangkan pemerintah bersifat aktif. Dikarenakan oleh sifatnya

maka negara tidak akan terus berganti, sedangkan pemerintah akan terus berubah. Seperti : Negara

Indonesia yang selalu tetap, meski Era pemerintahan terus berganti seperti era pemerintahan Soekarno,

Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati dan SBY. 77

Dari konteks tersebut, menunjukkan bahwa pemikiran Montesquieu yang menekankan pada

“pemisahan kekuasaan” tidak diberlakukan secara murni dalam sistem ketatanegaraan Indonesia

berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam, pemikiran

Philipus M. Hadjon menguraikan istilah “pemerintahan” dipahami melalui 2 (dua) pengertian yakni

“fungsi pemerintahan” (kegiatan memerintah) dan “organisasi pemerintahan” (kumpulan dari

kesatuan-kesatuan pemerintahan). (Lihat Philipus M. Hadjon, dkk, Pengantar……..op.cit. h. 6) Pada

judul penelitian ini istilah “pemerintahan” lebih ditekankan pada fungsi pemerintahan (kegiatan

memerintah). 78

Philipus M. Hadjon, Ibid, h. 7.

Page 23: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

57

Politik itu menjalankan pemerintahan dan menetapkan undang-undang, secara singkat

mengeluarkan perintah-perintah, mengatur arah. Sedangkan “pemerintahan”

mengurus pelaksanaan dari perintah-perintah/tugas-tugas atau mengabdi pada

kekuasaan politik.79

Relevansi pendapat tersebut, yakni pembentukan keputusan politik dalam

menjalankan pemerintahan khususnya pembentukan perundang-undangan sangat

mempengaruhi pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Dengan demikian penelitian

ini tidak menekankan pada konteks teknis pelaksanaan aturan, melainkan lebih pada

pembentukan peraturan perundang-undangan, yang sebenarnya juga adalah asas

legalitas.

Makna dari “penyelenggaraan pemerintahan” menitik beratkan pada proses,

cara dan perbuatan dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Relevansi antara

kepastian hukum dan penyelenggaraan pemerintahan ialah dalam proses, cara dan

perbuatan yang dilakukan oleh penyelenggara pemerintahan harus mencerminkan

kepastian hukum.

2.2.2. Moral

Moral yang berasal dari bahasa Latin mos jamaknya mores yang berarti adat

atau cara hidup. Frans Magnis Suseno80

membedakan ajaran moral dan etika, ajaran

moral adalah ajaran, wejangan, khotbah, peraturan lisan atau tulisan tentang

79

Ibid 80

Frans Magnis Suseno, 1987, Etika Dasar (Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral),

Kanisius, Yogyakarta, h.14

Page 24: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

58

bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik.

Menurut Suseno, etika adalah ilmu dan bukan sebuah ajaran, jadi etika dan ajaran

moral tidak berada di tingkat yang sama.81

Kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia.

Perbuatan tidak bermoral memaksudkan bahwa perbuatan itu dipandang buruk atau

salah karena melanggar nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian

maka moral berarti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan

bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya

menyangkut apa yang baik dan yang buruk atau apa yang benar dan apa yang salah.

Untuk itu para ilmuwan harus mengedepankan moral sebagai pengendali dalam setiap

eksperimen-eksperimen yang dilakukan dalam sebuah pengkajian keilmuan. Moral

pada dasarnya timbul bersamaan dengan kesadaran manusia akan nilai dasar

kemanusiaannya, memiliki batas dan yang tidak terbatas.82

Acapkali orang sulit membedakan moral dengan etika, oleh karenanya patut

dijelaskan makna dari etika. Secara etimologi etika yang berasal dari bahasa Yunani

ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminologi etika merupakan

cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan

baik buruk. Menurut Sunoto83

, etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika

normative. Etika deskriptif hanya elukiskan, menggambarkan, menceritakan apa

adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya

81

ibid 82

Mohammad Erwin, 2011, Filsafat Hukum dan Refleksi Kritis Terhadap Hukum, h.84 83

Fuad Ihsan,2010, Filsafat Ilmu, Penerbit Rineka Cipta, 218-219

Page 25: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

59

berbuat, contohnya sejarah etika. Kemudian etika normatif memberikan penilaian

yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan atau tidak. Etika normatif dibagi

lagi menjadi etika umum yang membicarakan prinsip-prinsip umum, seperti apakah

nilaii motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya. Berbeda dengan etika

khusus, yaitu pelaksanaan prinsip-prinsip umum seperti etika pergaulan, etika dalam

pekerjaan, dan sebagainya.84

2.2.3. Peraturan Perundang-undangan

Konsep “peraturan perundang-undangan”, terdiri dari 2 kata yakni “peraturan”

dan “perundang-undangan”. Istilah “peraturan” dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, diartikan sebagai “tatanan (petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat untuk

mengatur”.85

Kebanyakan pakar hukum berpendapat bahwa hukum adalah peraturan

tentang tingkah laku manusia. Hal ini seperti diungkapkan oleh E.M Meyers, Leon

Duguit, Immanuel Kant, Utrecht, S.M Amin, J.C.T Simorangkir, dan MH

Tirtaamidjaya.86

J.B Daliyo, dkk menyimpulkan beberapa pandangan sarjana diatas

tentang unsur hukum, diantaranya :

1. peraturan tingkah laku manusia

2. peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib

3. peraturan itu bersifat memaksa

84

ibid 85

Departemen Pendidikan Nasional, op.cit, h. 99 86

J.B Daliyo, dkk, 1994, Pengantar Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, Cet. Ketiga,

Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. h. 29-30

Page 26: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

60

4. sanksi bagi pelanggaran terhadap peraturan itu adalah tegas (pasti dan

dirasakan nyata bagi yang bersangkutan)87

Bertitik tolak dari pengertian peraturan sebagai tatanan atau kaidah. Soerjono

Soekanto dan Purnadi Purbacaraka88

bahwa kaedah adalah patokan atau ukuran

ataupun pedoman untuk berperilakuan atau sikap tindak dalam hidup. Selanjutnya

dijelaskan kaedah, mencakup hal-hal sebagai berikut : 89

1. Kaedah dengan aspek kehidupan pribadi, yang terdiri dari kaedah

kepercayaan atau keagamaan dan kaedah kesusilaan.

2. kaedah dengan aspek kehidupan antar pribadi yang dibagi atas, kaedah

sopan santun atau adat dan kaedah hukum.90

Istilah peraturan perundang-undangan, secara normatif ditentukan dalam Pasal

1 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Peraturan Perundang-undangan.

87

Ibid, h. 30 88

Ishaq, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 29-30. 89

ibid 90

J.B Daliyo dkk menganggap bahwa hukum masuk dalam kaidah sosial. kaidah sosial

merupakan pedoman manusia berperilaku dalam masyarakat yang ada bermacam-macam. Kaidah ini

juga tidak lepas dari anggapan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Hal ini menjadi kajian penulis,

apakah dengan masuknya hukum sebagai kaidah sosial, berarti karakter hukum tidak bisa menjadi “sui

generis” atau tidak dapat menerapkan “ teori hukum murni”? akan tetapi apabila melihat pengertian

yang dijabarkan oleh Daliyo dkk, dari kaidah hukum yaitu peraturan yang dibuat atau dipositifkan

secara resmi oleh penguasa masyarakat atau penguasa negara, mengikat setiap orang dan berlakunya

dapat dipaksakan oleh aparat masyarakat atau aparat negara, sehingga berlakunya kaidah hukum dapat

dipertahankan. Maka pertanyaan tersebut tidak menjadi persoalan karena kaidah lebih menekankan

pada ukuran dalam bermasyarakat. Sedangkan hukum juga ada ketika ada masyarakat atau yang

dikenal dengan istilah “ubi societas ubi ius”.

Sedangkan menurut Daliyo, dkk kaidah kepercayaan atau keagamaan adalah kaidah sosial

yang asalnya dari Tuhan dan berisikan larangan-larangan, perintah-perintah dan anjuran-anjuran.

Sedangkan kaidah kesusilaan adalah peraturan hidup yang berasal dari suara hati manusia. Kaidah

kesopanan adalah peraturan hidup yang timbul dari pergaulan dalam masyarakat tertentu. Sedangkan

kaidah hukum adalah peraturan yang dibuat atau dipositifkan secara resmi oleh penguasa masyarakat

atau penguasa negara, mengikat setiap orang dan berlakunya dapat dipaksakan oleh aparat masyarakat

atau aparat negara, sehingga berlakunya kaidah hukum dapat dipertahankan. lihat J.B Daliyo, dkk,

1994, op.cit, h. 15-17

Page 27: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

61

Istilah tersebut memiliki arti, peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang

mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau

pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan

Perundang-undangan. Pengertian ini menunjukkan unsur-unsur agar dapat dikatakan

sebagai peraturan perundang-undangan, diantaranya :

1. Peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum.

2. Dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang

berwenang

3. Pembentukan dan penetapannya melalui prosedur yang ditetapkan dalam

Peraturan Perundang-undangan

Unsur pertama menunjukkan bahwa jenis dari peraturan perundang-undangan

itu, bersifat peraturan tertulis. Pemaknaan dari “peraturan tertulis” ini bukan

dimaksudkan sekedar bentuknya yang dituliskan saja. Jika dipahami demikian, maka

Awig-Awig (peraturan desa adat di Bali yang dituliskan) memenuhi sebagai unsur

ini. Berkaitan dengan hal tersebut, Philipus M.Hadjon mengatakan”aturan” yang

menunjukkan pada bentuk hukum, mengandung makna tertulis. Apabila

dibandingkan dengan istilah rules dalam pustaka Inggris bisa berarti bentuk tertulis

maupun tidak, sehingga ditemukan istilah “written rules” dan ”unwritten rules”.

Meskipun demikian, menurutnya norma tersebut berkaitan dengan wewenang. Akan

tetapi hukum tidak tertulis tidak dapat dikaji dari segi hirarki.91

91

Philipus M.Hadjon, 1997, Wewenang, Yuridika Nomor 5 dan 6 Tahun XII,September hal.1

Page 28: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

62

Esensi “peraturan tertulis” disini sebagaimana dimaksud dalam unsur pertama,

menekankan pada kharakter dari peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat

dipisahkan dari unsur kedua dan ketiga, yakni dibentuk oleh lembaga/pejabat negara

serta melalui prosedur yang ditetapkan. J.B Daliyo, dkk, mengatakan berdasarkan

sumber formalnya, hukum dapat digolongkan menjadi :

1. hukum undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan

perundang-undangan.

2. hukum kebiasaan dan hukum adat, yaitu hukum yang berbentuk

peraturan kebiasaan dan adat.

3. hukum yurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan

hakim.92

4. hukum traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh negara-negara peserta

perjanjian internasional.

5. hukum perjanjian, yaitu hukum yang dibuat oleh para pihak yang

mengadakan perjanjian.93

Pandangan J.B Daliyo, dkk sedikit berbeda dengan pandangan Utrecht yang tidak

menggolongkan pada hukum perjanjian (nomor 5), melainkan menurutnya hukum

ilmu (wetenschaparecht), yaitu saran-saran yang dibuat oleh ilmu hukum dan yang

berkuasa dalam pergaulan hukum atau pandangan ahli hukum yang berpengaruh.94

Dengan kata lain menunjuk pada doktrin.

92

Pengertian yurisprudensi ini, menurut Utrecht adalah pengertian yurisprudensi yang

diterima dalam ilmu hukum di hampir semua negara di Kontinen Eropa Barat, seperti Perancis,

Jerman, Belanda, Italia, yang mengartikan yurisprudensi adalah hukum yang dibuat dalam keputusan-

keputusan pengadilan (hakim), yang berbeda dengan pemahaman ilmu hukum di negara Amerika,

Inggris dan semua negara anglo saxon, yang memandang “jurisprudence”jauh lebih luas dari

pandangan Eropa Kontinental, yakni seluruh pelajaran hukum. lihat E.Utrecht, 1955, Pengantar

Dalam Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 46 93

J.B Daliyo, dkk, op.cit, h 35 94

E.Utrecht, 1955, op.cit, h. 46

Page 29: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

63

Pandangan J.B Daliyo, dkk, ini memberikan pemahaman bahwa hakekat

peraturan tertulis ini berkenaan dengan hukum undang-undang. Sehingga meskipun

hukum adat dituliskan namun memiliki perbedaan dari peraturan perundang-

undangan. Selanjutnya dalam kaitannya dengan hukum tertulis, Utrecht, menegaskan

hukum undang-undang dan hukum traktat merupakan hukum tertulis (geschreven

rechts).95

Dengan demikian pandangan Utrecht juga menganggap bahwa peraturan

tertulis adalah peraturan perundang-undangan.

Secara normatif, sebagaimana yang telah diuraikan diatas, pengertian

peraturan perundang-undangan mencakup semua peraturan yang bersifat mengikat

secara umum yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah

baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah serta Peraturan/Keputusan Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara baik tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah yang bersifat

mengikat secara umum.

Berkaitan dengan istilah perundang-undangan, M. Solly Lubis mengatakan

sebagai proses pembuatan peraturan Negara.96

Pandangan ini menunjukkan bahwa

perundang-undangan bukan merupakan bentuk dari peraturan, melainkan proses

pembentukannya. Dengan demikian jika dikaitkan dengan Undang-Undang No. 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka menurut

Solly Lubis, peraturan yang dibentuknya melalui tahapan perencanaan, penyusunan,

pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Suatu aturan yang tidak

95

ibid 96

M Solly Lubis, 1995 Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Mandar Maju, Bandung,

h.17

Page 30: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

64

dilakukan sesuai dengan proses pembentukannya, tidak dapat dikatakan sebagai

peraturan perundang-undangan, melainkan hanya peraturan saja. Dengan demikian

menurut Solly Lubis semua aturan dapat dikatakan sebagai peraturan tertulis namun

belum tentu sebagai perundang-undangan.

Istilah Perundang-undangan, dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar

yakni undang-undang. Hamid Attamimi,97

mengartikan Undang-Undang dalam

pengertian teknis ketatanegaraan Indonesia yaitu produk yang dibentuk oleh Presiden

dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara yang dilakukan dengan

persetujuan DPR (wet in formele zin). Pengertian Undang-Undang dalam pengertian

materiil yaitu peraturan yang tidak saja dikeluarkan bersama-sama oleh DPR,

melainkan juga oleh badan-badan pemerintah, seperti menteri, dan sebagainya.

Secara formal, wet sama dengan Undang-Undang. Sedangkan wet dalam arti materiil

sama dengan peraturan perundang-undangan.

Istilah peraturan perundang-undangan yang merupakan terjemahan dari istilah

Belanda “wettelijke regeling”. Menurut Hamid Attamimi, peraturan perundang-

undangan cakupannya tidak hanya terbatas pada peraturan yang merupakan produk

legislatif bersama pemerintah melainkan meliputi juga peraturan-peraturan yang

dikeluarkan oleh badan eksekutif yang bersifat mengatur.98

Sebagaimana pandangan terbaginya 2 klasifikasi undang-undang dalam arti

materiil dan formil. Yohanes Usfunan mengatakan, Undang-Undang dalam arti

97

Hamid Atamimi, Peranan......... , op.cit, hal.199 98

ibid

Page 31: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

65

materiil adalah setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang

daya mengikatnya kepada setiap orang, inilah yang dimaksud dengan Peraturan

Perundang-undangan. Dalam arti formal Undang-Undang adalah keputusan tertulis

sebagai hasil kerjasama antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yang

mengikat secara umum.”99

Utrecht sebagaimana dikutip oleh Koesnardi cs.

mengemukakan “sumber hukum dalam arti formil adalah sumber hukum yang

dikenal dari bentuknya.”100

Jimly Asshidiqqie mengatakan peraturan tertulis dalam bentuk ”statutory

laws” atau ”statutory legislations” dapat dibedakan antara yang utama (primary

legislations) dan yang sekunder (secondary legislations). Menurutnya primary

legislations juga disebut sebagai legislative acts, sedangkan secondary dikenal

dengan istilah ”executive acts”, delegated legislations atau subordinate

legislations.101

Dikaitkan dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan, yang menentukan :

”Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

99

Yohanes Usfunan, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik

Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih dan Demokratis, Orasi Ilmiah, Universitas Udayana,

Denpasar, h.11 100

M. Koesnardi dan H. Ibrahim,1983, Pengantar Hukum Tata Negara, Penerbit Pusat Studi

HTN FH UI dan CV Sinar Bakti, Cetakan ke V, h. 45 101

Jimly Asshidiqqie, 2011, Perihal Undang-Undang, Cetakan Ke II, RajaGrafindo Persada,

Jakarta, h. 10

Page 32: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

66

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Primary legislations adalah undang-undang dan peraturan daerah baik provinsi

maupun kabupaten/kota, sedangkan secondary legislations ada pada peraturan

pemerintah dan peraturan presiden.

Hamid Attamimi, mengemukakan “UUD dan TAP MPR” tidak termasuk jenis

aturan hukum, melainkan sebagai aturan dasar negara atau aturan pokok negara

(staatsgrundgesetz). Sedangkan aturan hukum adalah Undang-Undang, Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputursan Presiden,

Peraturan daerah, dst.” 102

Pemikiran Hamid Attamini menguraikan eksistensi aturan dasar/pokok negara

(staatsgrundgesetz) sebagai landasan bagi pembentukan undang-undang. Pandangan

demikian wajar apabila TAP MPR juga dijadikan dasar saat itu dengan

menempatkannya diatas undang-undang. Berbeda halnya, dengan setelah amandemen

Undang-Undang Dasar NRI 1945, yang menempatkan karakter TAP MPR yang akan

dihasilkan setelah amandemen UUD 1945 hanyalah bersifat penetapan (beschicking).

Eksistensi penempatan TAP MPR pada posisi kedua dalam hirarki peraturan

perundang-undangan (Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan) itu bagi TAP MPR sebelum amandemen yang saat

ini dinyatakan masih berlaku.103

102

Hamid Attamimi, Peranan……….., op.cit, h. 46 103

Pemikiran TAP MPR merupakan aturan dasar yang diuraikan oleh Hamid Attamimi,

merupakan hal yang wajar mengingat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum

Page 33: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

67

Adapun yang menjadi materi muatan peraturan perundang-undangan, harus

mencerminkan asas-asas (Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), diantaranya :

a. Asas pengayoman;

b. Asas kemanusiaan;

c. Asas kebangsaan;

d. Asas kekeluargaan;

e. Asas kenusantaraan;

f. Asas bhinneka tunggal ika;

g. Asas keadilan;

h. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan

a. Asas pemerintahan;

i. Asas ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. dan

k. Asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang

bersangkutan.

Asas pengayoman yang dimaksud adalah bahwa setiap Materi Muatan

Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk

menciptakan ketentraman masyarakat. Asas kemanusiaan dimaksudkan bahwa setiap

Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan

penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan

penduduk Indonesia secara proporsional. Kemudian asas kebangsaan adalah bahwa

setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan

watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Asas kekeluargaan menganggap bahwa setiap Materi

amandemen) menentukan supremasi MPR, sedangkan saat ini Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar

NRI 1945 (sesudah amandemen) yang menekankan pada supremasi konstitusi.

Page 34: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

68

Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk

mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

Asas kenusantaraan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-

undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan

Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan

bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun pengertian asas bhinneka

tunggal ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus

memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus

daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Asas keadilan menekankan bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap

warga negara. Serta asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan”

adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh

memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain,

agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Asas ketertiban dan kepastian

hukum” menekankan bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan

harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian

hukum. Disamping itu Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa

setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan

keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat

Page 35: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

69

dan kepentingan bangsa dan negara. Asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan

Perundang-undangan yang bersangkutan, antara lain:

a. Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa

kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;

b. Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas

kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

2.2.4. Undang-Undang

Terdapat sejumlah istilah dalam kamus bahasa Inggris,104

yang dapat

dipahami sebagai arti dari pada Undang-Undang diartikan sebagai law, act, bill and

statute”. Istilah law, dalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia105

diartikan sebagai :

a. hukum

b. dalil

c. Undang-Undang

d. Alat-alat hukum

Istilah statute diartikan sebagai Undang-Undang.106

Begitu juga istilah Act memiliki

makna sebagai Undang-Undang, dan Putusan. Pada istilah law, act, statute memiliki

pengertian yang sama yakni Undang-Undang.

Istilah “bill” dalam Dictionary of Legal Term107

, memiliki beberapa

pengertian, diantaranya:

104

John M Ekhols dan Hassan Shadely, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, PT Gramedia,

1992 Jakarta, Cetakan, XX, hal.350. 105

Ibid, h. 268 106

Ibid, h. 469

Page 36: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

70

1. an order drawn by one person on another to pay a certain sum of money.

2. in commercial law, an account for goods sold, services rendered and work

done.

3. in the law of negoitable instruments, any form of paper money.

4. in legislation, a draft of a proposed statute submitted to the legislature for

enacment.

5. in equity pleadings, the name of the pleading by which the complainant sets

out his cause of action.

Dari ke 5 pengertian tersebut, yang berkaitan dengan definisi Undang-Undang yakni

nomor 4.

Terminologi “undang-undang” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia108

diartikan sebagai, ketentuan dan peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (badan

eksekutif) disahkan oleh parlemen (DPR/badan legislatif), ditandatangani oleh kepala

negara (presiden) dan mempunyai kekuatan yang mengikat. Pengertian ini meskipun

tidak sesuai dengan pembentukan undang-undang di Indonesia karena tidak dibuat

oleh pemerintah lalu disahkan oleh DPR. Namun demikian, pengertian ini

menunjukkan bahwa unsur dari undang-undang adalah peraturan negara yang dibuat

oleh pemerintah dan DPR serta mempunyai kekuatan yang mengikat.

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan menentukan bahwa “undang-undang adalah peraturan

perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan

persetujuan bersama Presiden.” Hal ini menegaskan bahwa undang-undang

merupakan kategori dari peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPR dan

Presiden. Penyebutan DPR lebih dahulu dari Presiden didasarkan pada Pasal 20 ayat

107

Steven H Gifis, 1998, Dictionary of Legal Terms Third Edition, Barron’s, p.46 108

Departemen Pendidikan Nasional, 2008, op.cit. h. 1527

Page 37: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

71

(1) Undang-Undang Dasar NRI 1945 yang menentukan bahwa Dewan Perwakilan

Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Hal ini mengingatkan kita

pada teori Trias Politica oleh Montesquieu yang mengatakan kekuasaan legislatif

adalah kekuasaan membentuk undang-undang (teori ini dibahas dalam bab

berikutnya). Disamping itu penegasan ketentuan ini merupakan bentuk pengembalian

fungsi Legislatif sesungguhnya dari kekeliruan Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum

amandemen) yang sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (1) menentukan : “Presiden

memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat.”

Selanjutnya, Pasal 20 Undang-Undang Dasar NRI 1945, menguraikan

tentang kewenangan pembentukan undang-undang, diantaranya :

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang undang.

(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan

Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,

rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan

Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama

untuk menjadi undang-undang.

(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut

tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan

undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah

menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Berkaitan dengan materi muatan undang-undang, Pasal 10 Undang-Undang

No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

menentukan :

Page 38: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

72

a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;

c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. dan

f. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.

Pada bagian penjelasan menguraikan mengenai perjanjian internasional dan

tindak lanjut putusan MK yang dimaksud. Perjanjian internasional tertentu adalah

perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi

kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian

tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang dengan

persetujuan DPR.

Frasa ”tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi” terkait dengan

putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang- Undang terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Materi muatan yang

dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas

dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.2.5. Peraturan Daerah

Peraturan Daerah diklasifikasi menjadi 2 (dua) yaitu peraturan daerah Provinsi

dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 1 angka 7 dan angka 8 Undang-Undang

No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

Page 39: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

73

menentukan bahwa : Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-

undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan

persetujuan bersama Gubernur. Sedangkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah

Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.

Eksistensi dari peraturan daerah (Perda) adalah dalam rangka

penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, hal ini sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 236 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah. Pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, disebutkan Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan

kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan

Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Sedangkan Tugas Pembantuan adalah penugasan dari

Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah

Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.

Pelaksanaan otonomi daerah secara konstitusional tidak lepas dari ketentuan

Pasal 18 Undang-Undang Dasar NRI 1945, yang menentukan :

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,

kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan aerah, yang diatur dengan

undang-undang.

Page 40: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

74

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan.

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan

umum.

(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah

Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.

(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah

Pusat.

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-

peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam

undang-undang.

Pasal 18 ayat (1) yang menggunakan frasa “dibagi atas” menunjukkan tipe negara

kesatuan sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI 1945. Frasa

“dibagi atas” berbeda dengan “terdiri atas”, “dibagi atas” menunjukkan pembagian

dari suatu kedaulatan negara, dan tidak terlepas dari negara itu sendiri. Dengan

demikian “dibagi atas” menunjukkan karakternya sebagai negara kesatuan yang

membagi kedaulatannya kepada daerah-daerah untuk mengatur daerahnya sendiri.

Sedangkan “terdiri atas” menekankan pada tipe negara federal, yang dari sejarahnya

pembentukan negara dimulai dari negara-negara bagian. Frasa “dibagi atas”

menunjukkan pembentukan negara Indonesia secara langsung.

Pasal 14 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, menentukan materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka

penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi

Page 41: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

75

khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang

lebih tinggi.

Kebijakan dalam pembentukan Peraturan Daerah tidak lepas dari urusan wajib

daerah Provinsi, Kabupaten/Kota. Pasal 12 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah, menentukan :

(1) Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:

a. pendidikan;

b. kesehatan;

c. pekerjaan umum dan penataan ruang;

d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;

e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan

f. sosial.

(2) Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi:

a. tenaga kerja;

b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;

c. pangan;

d. pertanahan;

e. lingkungan hidup;

f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;

g. pemberdayaan masyarakat dan Desa;

h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;

i. perhubungan;

j. komunikasi dan informatika;

k. koperasi, usaha kecil, dan menengah;

l. penanaman modal;

m. kepemudaan dan olah raga;

n. statistik;

o. persandian;

p. kebudayaan;

q. perpustakaan; dan

r. kearsipan.

(3) Urusan Pemerintahan Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)

meliputi:

a. kelautan dan perikanan;

b. pariwisata;

c. pertanian;

Page 42: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

76

d. kehutanan;

e. energi dan sumber daya mineral;

f. perdagangan;

g. perindustrian; dan

h. transmigrasi.

Kemudian Pasal 13 Undag-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, yang menentukan urusan pemerintahan pada skala Kabupaten/Kota, adalah :

(1) Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah

provinsi serta Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat

(3) didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta

kepentingan strategis nasional.

(2) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah:

a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi atau lintas

negara;

b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas

negara;

c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah

provinsi atau lintas negara;

d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila

dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau

e. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional.

(3) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi adalah:

a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota;

b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota;

c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah

kabupaten/kota; dan/atau

d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila

dilakukan oleh Daerah Provinsi.

(4) Berdasarkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kriteria Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota adalah:

a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota;

b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota;

c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam

Daerah kabupaten/kota; dan/atau

d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila

dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.

Page 43: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

77

Pada Pasal 14 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

menentukan :

(1) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta

energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah

provinsi.

(2) Urusan Pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota menjadi

kewenangan Daerah kabupaten/kota.

(3) Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas

bumi menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

(4) Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung panas

bumi dalam Daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah

kabupaten/kota.

(5) Daerah kabupaten/kota penghasil dan bukan penghasil mendapatkan bagi

hasil dari penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1).

(6) Penentuan Daerah kabupaten/kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil

kelautan adalah hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil

diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.

(7) Dalam hal batas wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6)

kurang dari 4 (empat) mil, batas wilayahnya dibagi sama jarak atau diukur

sesuai dengan prinsip garis tengah dari Daerah yang berbatasan.

Page 44: BAB II KERANGKA TEORITIK, KERANGKA … II.pdf · Pemikiran Austin ini menekankan pada hukum itu berdaulat karena merupakan perintah penguasa yang memegang kedaulatan. Pandangan ini

78

2.3. Kerangka Berpikir

KONSEP KEPASTIAN HUKUM

DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

MASALAH

Ketidakpastian

Hukum

Dogmatika

Hukum

Filosofi Kepastian

Hukum

CLS ALR

Positivisme

hukum

Konsep

Kepastian

Hukum Dalam

Pembentukan

Undang-

Undang dan

Peraturan

Daerah

KONSEP

KEPASTIAN

HUKUM

DALAM

PENERAPAN

UNDANG-

UNDANG DAN

PERATURAN

DAERAH