BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS€¦ · kegiatan warga negara biasa dalam...
Transcript of BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS€¦ · kegiatan warga negara biasa dalam...
16
BAB II
KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. KERANGKA TEORI
a) Partisipasi Politik Perempuan
Partisipasi berasal dari Bahasa Latin, “Pars” yang berarti bagian dan
“Capere” yang berarti mengambil. Sehingga, partisipasi dapat diartikan
mengambil bagian atau mengikutsertakan diri dari dalan sebuah aktivitas.1
Menurut pendapat Aristoteles, partisipasi dan ikatan antar manusia dalam
suatu komunitas adalah modal awal yang berfungsi dalam mewujudkan
keadilan dan memelihara kepentingan rakyat.2 Partisipasi yang dimaksud
menekankan pada hak yang melibatkan setiap warga negara pada suatu
kesadaran dalam keterlibatan aktivitas pemeliharaan komunitas, undang-
undang dan keadilan.
Politik berasal dari Bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang berarti Negara
dan “Taia” yang berarti Urusan. Jadi Politik adalah urusan negara. Dari
definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu dari sekian banyak
bagian berkaitan dengan negara menjadi urusan negara.
Menurut pendapat Sigmund Neumann, partisipasi politik adalah
kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan
pelaksanaan kebijaksanaan umum dan pelaksanaan keputusan politik.3
Selanjutnya menurut Ramlan Surbakti, terdapat lima pandangan mengenai
1 Rambe Kamarul Zaman, Perjalanan Panjang Pilkada Serentak, Expose PT Mizan Publika,
Jakarta, 2016, h. 136. 2 Ibid., h. 137. 3 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1982, h. 162.
17
politik. Pertama, politik ialah usaha-usaha yang ditempuh warga negara
untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik
ialah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan
pemerintahan. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan untuk mencari dan
mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai
kegiatan yang berkaitan dengan perumusan pelaksanaan kebijakan umum.
Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan
sumber-sumber yang penting.4 Apabila dikaitkan dengan politik, maka
partisipasi politik adalah bentuk mengambil bagian dalam kegiatan politik.
Rakyat mempunyai peranan yang sangat signifikan terutama dalam
menjalankan partisipasi politik. Melalui partisipasi politik, keputusan
mengenai politik akan sesuai dengan apa yang diharapkan rakyat Indonesia
itu sendiri. Dengan begitu, aspirasi yang telah disampaikan akan
memberikan manfaat yang optimal sesuai kebutuhan masyarakat. Sehingga
dalam keberhasilan pembangunan sistem politik salah satunya adalah
melalui partisipasi masyarakat. Tujuan partisipasi politik adalah untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dimana kegiatan
tersebut harus ditujukan dan mempunyai dampak terhadap pusat-pusat di
mana keputusan diambil.5
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
tidak dijelaskan mengenai keterwakilan perempuan. Namun di dalam
penjelasan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
4 Sirajuddin dan Winardi, Dasar-Dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Setara Press, Malang,
2015, h.7. 5 Samuel P. Huntington, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, h.
68.
18
Asasi Manusia disebutkan bahwa: “Keterwakilan wanita adalah pemberian
kesempatan dan kedudukan yang sama bagi wanita untuk melaksanakan
peranannya dalam bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, kepartaian, dan
pemilihan umum menuju keadilan dan kesetaraan gender.”
Dapat diartikan bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki adalah
setara tanpa pembedaan atau diskriminasi sosial dan politik. Tindakan
diskriminasi dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa: “Diskriminasi adalah
setiap pembatasan, pelecehan, atau pun pengucilan yang langsung atau pun
tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku,
ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin,
bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau
penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif
dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan
lainnya”.
Pentingnya keterwakilan perempuan untuk terlibat dalam politik dapat
berupa ikut mempengaruhi pembuatan keputusan dan kebijakan politik.
Apabila dengan hanya membiarkan perempuan untuk memenuhi ketentuan
undang-undang mengenai sistem kuota, maka sama halnya menjadikan
partai sebagai kumpulan orang yang tidak berkualitas. Sehingga haruslah
membentuk perempuan yang mempunyai sumber daya kuat yang dapat
berdiri sama dengan sumber daya kaum lelaki dalam politik. Perempuan
bukan hanya dimaknai sebagai pertarungan ide dan gagasan tetapi kehadiran
19
perempuan mempunyai arti dan memberikan makna sebagai keterwakilan
dalan kepentingan tertentu agar ikut berpartisipasi dan berperan aktif dalam
proses pengambilan kebijakan.
Perempuan yang diinginkan masyarakat adalah perempuan secara
ideologis, yaitu perempuan yang memiliki kemampuan intelektual dan
emosional serta mau dan mampu memperjuangkan agenda perempuan.6
Bakal calon legislatif perempuan yang memperjuangkan agenda perempuan
dan memiliki kemampuan yang memadai diperlukan sosialisasi kepada
masyarakat agar dapat menjadi teladan dalam hal kepedulian dan kesesuaian
hati nurani. Perempuan dan gerakan perempuan bekerja keras dalam rangka
mendorong peningkatan partisipasi, representasi, serta penambahan jumlah
pemimpin dalam lingkup nasional maupun lokal sebagaimana untuk
mencapai kebijakan publik.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,
pada Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) adalah
sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Pemilihan umum menjadi tolak ukur yang sangat penting bagi
penyelenggaraan negara yang demokratis. Demokratis sendiri mempunyai
6 Adriana Venny, Ada Untuk Membawa Perubahan: Refleksi Pengalaman Perempuan Anggota
Parlemen Periode 2004-2009, UNDP Indonesia, Jakarta, 2010, h. 21.
20
makna bahwa di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, rakyat
memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban. Penyelenggaraan
pemilu harus dilaksanakan dengan maksimal, karena sifat demokrasi di
suatu negara dapat hilang apabila tidak terselenggaranya pemilu.7
Dengan demikian dapat disimpulkan mengenai pengertian pemilihan
umum yaitu sarana yang penting dalam kehidupan suatu negara yang
menganut asas demokrasi yang memberi kesempatan berpartisipasi politik
bagi warga negara untuk memilih wakil rakyat yang akan menyuarakan dan
menyalurkan aspirasi rakyat.
Menurut Joko J. Prihatmoko pemilu dalam pelaksanaanya memiliki 3
(tiga) tujuan sebagai berikut: sebagai mekanisme untuk menyeleksi para
pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum (public policy),
pemilu sebagai pemindahan konflik kepentigan dari masyarakat kepada
badan perwakilan rakyat, pemilu sebagai sarana mobilisasi. Selanjutnya
tujuan pemilu dalam pelaksanaannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2012 pasal 3 yakni pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota
DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Negara Kesatuan
Negara Republik Indonesia yang berdasarkan pada pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia.8
Penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan
pemilu, terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu
7 Sunny Ummul Firdaus dalam acara Penguatan Sistem dan Implementasi Kelembagaan Partai
Politik, Surakarta, diselenggarakan oleh Kesbangpol Kota Surakarta, tanggal 2 Desember 2018,
tanpa halaman. 8Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
21
(DKPP) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu untuk
memilih anggota legislatif, presiden dan wakil presiden dan untuk memilih
anggota DPRD secara langsung oleh rakyat.9
Menurut Jimly Asshiddiqie penyelanggaran pemilu di dalam suatu
negara mempunyai tujuan:10
a. Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan secara tertib
dan damai;
b. Untuk memungkinkan terjadinya pergantian jabatan yang akan mewakili
kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;
c. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat;
d. Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.
Tujuan pemilu yang diungkapkan Jimly merupakan bentuk dalam
peralihan kekuasaan baik kekuasaan eksekutif maupun kekuasaan legislatif,
tujuan lain yang paling penting mengenai pelaksanaan prinsip kedaulatan
rakyat dan hak-hak asasi warga negara merupakan tujuan yang memberikan
kekuatan dalam pelaksanaan pemilu.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Undang-undang ini merumuskan aturan
tentang bentuk diskriminasi positif (Affirmative Action) berupa kuota 30%
bagi perempuan di ranah politik Indonesia dalam pemilihan legislatif dapat
dikatakan sudah dapat diterapkan pada pemilu legislatif tahun 2009.
9 Nur Imam Subono, et.al., Pembekalan Calon Anggota Legislatif (Caleg), Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Jakarta, 2018, h. 98. 10 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jendral dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, h. 175.
22
Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat tiga pasal penting yang
menjadi payung hukum keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2009.
Pertama, Pasal 8 ayat (1) huruf (d) mengatur ketentuan partai politik dapat
menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan menyertakan
sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan kepengurusan partai
politik tingkat pusat. Kedua, Pasal 53 yang mengatur tentang ketentuan
bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit
30 persen keterwakilan perempuan. Pasal 52 mengatur tentang tata cara
pencalonan anggota legislatif dari jalur partai politik. Ketiga, Pasal 55 ayat
(2) yang mengatur ketentuan bahwa dalam daftar bakal calon yang
dimaksud pada Pasal 55 ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat
sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.11
b) Affirmative Action
Affirmative Action menurut Dahlerup adalah “positive discrimination”
dalam jangka waktu tertentu dengan meningkatkan representasi kaum
perempuan.12 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum ini merumuskan aturan tentang bentuk diskriminasi positif yang
berupa kuota 30% bagi perempuan di ranah politik Indonesia. Affirmative
Action atau juga disebut tindakan afirmasi adalah kebijakan yang diambil
bertujuan agar kelompok atau golongan tertentu memperoleh tempat yang
setara dengan kelompok atau golongan lain. Affirmative Action juga dapat
11Kumpulan pemikiran html. Tentang studi kasus keterwakilan perempuan terhadap undang-
undang kuota 30 persen. 12 Dahlerup, “increasing Women’s Political Participation: New Trends in Gender Quotas.” In
Women in Parliament: Beyond Numbers, ed. J. Ballington & A. Karam, International IDEA,
Stockholm, 2005, h. 141.
23
diartikan sebagai pemberian perlakuan yang istimewa terhadap kelompok
tertentu khususnya perempuan. Pippa Norris menerangkan bahwa selain
menempatkan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif sebagai
calon yang mempunyai potensial, juga dilakukan dengan memberikan
pelatihan khusus, dukungan pendanaan dan publikasi yang seimbang
terhadap calon perempuan tersebut.13 Tujuan kebijakan afirmatif untuk
perempuan dengan mekanisme kuota adalah menambah jumlah wakil rakyat
berjenis kelamin perempuan, yang mewakili identitas kelas atau kelompok
tertentu dan tersisih sehingga harapannya adalah asas keterwakilan akan
bekerja secara optimal mengubah agenda kebijakan dan menggeser prioritas
kebijakan yang selama ini menjadikan perempuan tersisih.14
Perjuangan perempuan dalam meningkatkan representasi perempuan
di legislatif melalui Affirmative Action dapat dilakukan dengan melibatkan
kaum perempuan lebih banyak aktif di partai politik. Memberdayakan
perempuan dalam partai politik adalah merupakan langkah paling awal
untuk mendorong agar kesetaraan dan keadilan bisa dicapai antara laki-laki
dan perempuan di dunia publik dalam waktu tidak terlalu lama. Langkah ini
diperlukan agar jumlah perempuan di lembaga legislatif dapat seimbang
jumlahnya dengan laki-laki.
Berbagai alasan dikemukakan oleh para pemimpin partai perihal
penurunan keterwakilan perempuan di DPR. Pertama, partai politik
kesulitan dalam merekrut anggota legislatif perempuan. Persoalan terkadang
13Pippa Norris, Affirmative Action dan Paradoks Demokrasi, Jurnal Konstitusi PSHK-FH UII,Vol.
II, No. 1, Juni 2009, h. 10. 14Ani Widyani Soetjipto, Politik Harapan: Perjalanan Politik Perempuan Indonesia Pasca
Reformasi, Marjin Kiri, Tangerang, 2011, h. 72.
24
tidak hanya pada kuantitas tetapi juga kualitas calon. Dengan alasan
minimnya kader perempuan terkait dengan sistem pengaderan partai yang
memang tidak memberi tempat, perhatian serta peluang pada perempuan.
Kedua, partai politik mengaku sulit mengajak perempuan terlibat dalam
wacana politik, karena rendahnya kesadaran politik. Selain kendala kendala
tersebut perempuan juga terhambat karena modal. Karena untuk dapat
masuk ke lembaga-lembaga politik formal seseorang harus memiliki sumber
daya ekonomi (modal).15 Kebijakan afirmatif di Indonesia baru sampai pada
tingkat mendorong peningkatan jumlah perempuan, namun belum sampai
pada upaya bagaimana keberadaan perempuan yang cakap dengan
menyaring perempuan-perempuan terpilih yang memenuhi syarat agar
tindakan afirmatif tidak hanya dimaknai sebatas hanya membawa jenis
kelamin perempuan tetapi tidak melihat lebih jauh agar menuai hasil positif.
c) Sekilas tentang Demokrasi
Menurut asal katanya Demokrasi berasal dari dua kata, yaitu Demos
yang berarti rakyat dan Kratos atau Cratein yang berarti pemerintahan.16
Sehingga dapat disimpulkan bahwa demokrasi berarti kekuasaan atau
pemerintahan oleh rakyat atau lebih dikenal dengan pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Menurut Joseph Schmeter, Demokrasi
adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai suatu putusan politik
dimana individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan
15 Musdah Siti, Mulia & Anik Farida. Perempuan dan politik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
2005. h. 17. 16 Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2014,
h. 56.
25
kompetitif atas suara rakyat.17 Sedangkan menurut Ramlan Surbakti,
Demokrasi adalah sistem politik yang memelihara keseimbangan antara
konflik dan konsensus. Artinya demokrasi memungkinkan adanya
perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan antar individu di antara
berbagai kelompok, diantara individu dan kelompok, individu dan
pemerintah, kelompok dan pemerintah, bahkan di antara lembaga-lembaga
pemerintah.18
Demokrasi menjadi sebuah bentuk pemerintahan yang berpegang pada
kedaulatan rakyat. Dalam hal ini rakyat berperan sebagai pemegang hak
kedaulatan atas negara. Salah satu negara yang paling demokratis di dunia
adalah Indonesia. Demokrasi menyangkut cara penegakan rule of law,
akuntabilitas, responsiveness, dan membuka ruang partisipasi yang adil bagi
setiap warga negara apapun jenis kelamin, suku, agama, etnis, warna kulit,
kelas, ataupun status sosial.19
Jimly Asshiddiqie menyebutkan 11 prinsip pokok yang terkandung
dalam negara hukum yang demokratis, yakni:20
1. Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama;
2. Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan/pluralitas;
3. Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama;
4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme
aturan yang ditaati bersama itu;
17 Munir Fiadi, Konsep Negara Demokrasi, Retika Aditama, Jakarta, 2009, h. 2. 18 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h.
228. 19 Ani Widyani Soetjipto, Op.Cit., h. 8. 20 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konpress, Jakarta, 2005, h.
299-300.
26
5. Pengakuan dan penghormatan terhadap HAM;
6. Pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan pembagian
kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan
antar lembaga negara baik secara vertikal dan horizontal;
7. Adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak dengan
kewibawaan putusan tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran;
8. Dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin keadilan
bagi warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan
pemerintah (pejabat administrasi negara);
9. Adanya mekanisme ‘judiciel review’ oleh lembaga peradilan terhadap
norma-norma ketentuan legislatif baik yang ditetapkan oleh lembaga
legislatif maupun eksekutif;
10. Dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang
mengatur jaminan-jaminan pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut;
11. Pengakuan terhadap asas legalitas atau ‘due process of law’ dalam
keseluruhan sistem penyelenggaraan negara.
Konsep demokrasi tidak terlepas dalam bidang politik. Demokrasi
pada konsep politik lebih tertuju untuk memberdayakan seluruh kekuatan
masyarakat secara umum. Demokrasi mempunyai karakter sebagai
berikut:21
1. Adanya kebebasan bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, artinya rakyat ikut menentukan
21 Bahder Johan Nasution, Op.Cit., h. 58.
27
jalannya pemerintahan, baik melalui lembaga perwakilan maupun di
luar lembaga perwakilan;
2. Adanya persamaan hukum dan pemerintahan, artinya baik rakyat maupun
pemerintahan tunduk pada hukum.
Bentuk demokrasi dibagi menjadi demokrasi langsung dan demokrasi
tidak langsung. Demokrasi langsung adalah pemerintahan yang dilakukan
secara langsung oleh warga negara, seperti contoh turut serta dalam membuat
keputusan oleh pemerintah. Sedangkan demokrasi tidak langsung adalah
pemerintahan yang dilakukan melalui badan perwakilan rakyat yang dipilih
oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat.22
Menurut Macpherson sebagaimana dikutip Nasution “what is essential
in modern democratic theory? As soon as democracy is feen as a kind of
society, notmerely a mechanism of choosing and authorizing goverments, the
equalitarian principle inherent in democracy requires not only one man one
vote, but also one man equal effective right to live as fully human as the may
wish.”23 (Apa yang penting dalam teori demokrasi modern? Seketika
demokrasi dipandang sebagai semacam masyarakat, terutama mekanisme
memilih dan mengotorisasi pemerintahan, prinsip kesetaraan yang melekat
dalam demokrasi tidak hanya membutuhkan satu orang satu suara, tetapi juga
satu orang yang sama efektifnya untuk hidup yang diinginkan sebagai
manusia seutuhnya). Pada demokrasi modern ini, rakyat mempunyai hak
untuk ikut berpartisipasi, mengetahui, memikirkan, musyawarah, dan
22 Ibid. 23 Ibid., hlm. 59.
28
memutuskan dalam pelaksanaan proses pengambilan keputusan
pemerintahan.
B. Hasil Penelitian
a) Pengaturan Hukum Nasional dalam Melindungi Hak Politik
Perempuan
Pada masa orde baru, Undang-Undang pemilu di Indonesia berbeda
setiap periode pemilu yang baru. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 pada
Pemilu 1999, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 pada Pemilu 2004,
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 pada Pemilu 2009, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 pada Pemilu 2014, dan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 pada Pemilu 2019.
Tabel 3.1
Perbandingan Pengaturan Hukum tentang Affirmative Action
Kebijakan Afirmasi Keterwakilan Perempuan
UU No. 3 Tahun 1999 -
UU No. 12 Tahun 2003
Pasal 65 ayat (1) “memperhatikan”
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya
30% (tiga puluh persen)
UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 53 sampai dengan Pasal 58 “memuat
paling sedikit 30% keterwakilan perempuan”
UU No. 8 Tahun 2012 Pasal 53 “memuat paling sedikit 30%
keterwakilan perempuan”
UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 245 “memuat paling sedikit 30%
keterwakilan perempuan”
29
1) Undang-Undang Dasar Negara Repyblik Indonesia Tahun 1945
Dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea 1 yang menyatakan: “Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu
maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan”. Pada Alinea IV Pembukaan UUD 1945
juga menyebutkan bahwa: “…Pemerintah Negara Republik Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan
kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial…”
Selanjutnya pada Pasal 27 Ayat (1) menyatakan “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Secara umum urusan dan kepentingan hak asasi manusia di Indonesia diatur
dalam Pasal 28 UUD 1945, Pasal 28C Ayat (2) “setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negara”. Pasal 28D Ayat (3)
menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan”. Selanjutnya Pasal 28E Ayat (3)
menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul
dan mengeluarkan pendapat”. Dalam Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945
menyatakan: “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan”. Pasal 28I Ayat (2) menyatakan: “Setiap
30
orang bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu”. Dan yang terakhir pada Pasal 28J Ayat (1) menyatakan bahwa: “Setiap
orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Dengan demikian,
perempuan juga memiliki hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif
berdasarkan karena statusnya sebagai perempuan, ataupun atas dasar
perbedaan lainnya. Oleh karena itu, UUD 1945 menjamin perlakuan khusus
tersebut sebagai hak untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama.
2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak
lahir yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh
siapapun. Pada Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa: “Diskriminasi adalah setiap
pembatasan, pelecehan, atau pun pengucilan yang langsung atau pun tidak
langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras,
etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin,
bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau
penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif
dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan
lainnya”. Selanjutnya di dalam Pasal 3 Ayat (3) “Setiap orang berhak atas
perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa
31
diskriminasi”. Pasal 46 disebutkan bahwa: “Sistem pemilihan umum,
kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di
bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai
pernyataan yang ditentukan”.
3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 dibentuk pada pemilu 1999 dengan
pembentukan badan penyelenggara pemilu yaitu KPU dibentuk melalui
Keppres Nomor 16 Tahun 1999, belum mengatur keterwakilan perempuan
dalam penyelenggaraan pemilu. Hasil pemilu terhadap keterwakilan
perempuan yaitu 46 orang atau 9% dari 500 anggota DPR.
4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah diberlakukan pada pemilu 2004 dengan KPU
dibentuk melalui Keppres Nomor 10 Tahun 2001 yang juga belum mengatur
keterwakilan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu. Pasal 65 ayat (1)
menyatakan bahwa setiap partai politik peserta pemilu “dapat” mengajukan
calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk
setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30%.24 Hal ini perlu ditegaskan pada kata
“memperhatikan”, karena hanya melihat keterwakilan perempuan dalam
24 Pasal 65 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
32
partisipasi politik saja sebagai pengajuan calon anggota legislatif namun
bukan suatu kewajiban untuk penyertaan perempuan sebagai calon anggota
legislatif. Hasil pemilu terhadap keterwakilan perempuan yaitu 61 orang
atau 11,09% dari 550 anggota DPR.
Pemenuhan mengenai keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%
apabila ditafsirkan, kata “dapat” dalam pasal 65 ayat (1) dalam hal ini
keterwakilan perempuan bukan keharusan, melainkan fakultatif yang
perumusannya tidak adanya sanksi terhadap partai politik apabila tidak
memenuhi kuota untuk perempuan.
5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah merupakan pengganti Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2003 karena tidak sesuai dengan tuntutan, perkembangan, dan
dinamika demokrasi masyarakat. Ketentuan pada Pasal 53 sampai dengan
Pasal 58 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menyatakan adanya
tindakan khusus kepada perempuan yang dapat juga disebut dengan
Affirmative Action dalam penentuan calon legislatif yang memberikan
kesempatan kepada perempuan untuk memilih dan dipilih pada pemilu yang
telah ditentukan. Mengenai sistem keterwakilan perempuan menurut Pasal
53 berbunyi:
33
“Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling
sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”.
Pasal 52 mengatur mengenai penyusunan daftar bakal calon anggota DPR
ditetapkan oleh pengurus partai politik peserta pemilu tingkat pusat, daftar
bakal calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh pengurus partai
politik peserta pemilu tingkat provinsi, daftar bakal calon anggota DPRD
kabupaten/kota oleh pengurus partai politik peserta pemilu tingkat
kabupaten/kota.25 Dengan demikian, Affirmative Action untuk perempuan
tidak hanya diberlakukan untuk DPR saja, namun juga berlaku untuk
DPRD Provinsi maupun DPRD kabupaten/kota.
Menurut Pasal 55 ayat (2) menyatakan secara tegas bahwa:
“Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap
3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang
perempuan bakal calon”.
Ayat (1) mengatur bahwa nama-nama calon dalam daftar bakal calon
disusun berdasarkan nomor urut. Apabila suatu partai politik menetapkan
bakal calon nomor urut 1 hingga 3, maka salah satu di antaranya haruslah
bakal calon seorang perempuan. Seorang perempuan harus diletakkan pada
nomor urut 1, 2, atau 3 dan tidak berada di bawah nomor urut tersebut dan
selanjutnya dari nomor urut 4 hingga 7.26
Apabila daftar bakal calon tidak memuat keterwakilan perempuan minimal
30%, maka KPU akan memberikan kesempatan partai politik untuk
25 Pasal 52 Ayat (2), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. 26 Pasal 55 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008.
34
memperbaiki daftar bakal calon.27 Dalam hal ini lebih menekankan pada
daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30%
dapat dikaitkan dengan penggunaan sistem zipper,28 dimana setiap 3 (tiga)
orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan.
Hasil pemilu terhadap keterwakilan perempuan yaitu 101 orang atau 18,4%
dari 560 anggota DPR.
6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum telah
diberlakukan pada pemilu tahun 2014. Sebagaimana dalam Pasal 55, syarat
bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota
sesuai Pasal 53 memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Pasal
56 menegaskan pada penggunaan sistem zipper, dimana setiap tiga orang
bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan bakal
calon.29 Dalam setiap tiga bakal calon, bakal calon perempuan dapat
ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya, tidak
hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.30 Hasil pemilu terhadap
keterwakilan perempuan yaitu 97 orang atau 17, 23% dari 560 orang DPR.
27 Pasal 58 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. 28 Sistem zipper adalah sistem yang mengatur adanya minimal 30% perempuan di parlemen. Jadi,
apabila sebuah partai mendapat 3 kursi, maka salah satunya harus diberikan kepada caleg
perempuan yang mendapatkan suara terbanyak. KPU harus melaksanakan sistem zipper tersebut
berdasarkan Pasal 53 UU No. 10 Tahun 2008 yang mengatur 30% kuota perempuan. 29 Pasal 56 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 30 Penjelasan Pasal 56 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.
35
7) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tidak mengalami banyak perubahan
mengenai tindakan khusus perempuan dibandingkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 yang telah digunakan untuk Pemilu 2014 lalu.
Sebagaimana dalam Pasal 245 daftar bakal calon anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota memuat keterwakilan perempuan
paling sedikit 30%. Penggunaan sistem semi zipper ditegaskan pada Pasal
246 Ayat (2) dimana setiap 3 orang bakal calon terdapat paling sedikit 1
orang bakal calon perempuan.31 Dimana dalam 3 bakal calon, bakal calon
perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau 3 dan
demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya32.
Terlihat pada pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota dengan menambahkan aturan bahwa perempuan dapat
ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau 3 secara berurutan. Dalam
hal ini memberikan tempat atau ruang bagi perempuan untuk dapat
ditempatkan pada urutan kecil.
31 Pasal 246 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. 32 Penjelasan Pasal 246 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
36
Tabel 3.2
Perbandingan Aturan tentang Affirmative Action
Pemilu 2014 dan Pemilu 2019
Aspek Pemilu 2014
UU No.8 Tahun 2012
Pemilu 2019
UU No. 7 Tahun 2017
Sistem Pemilihan
Umum
Sistem proporsional
dengan daftar terbuka
Sistem proporsional
dengan daftar terbuka
Alokasi kursi 3-10 kursi per dapil DPR
dengan jumlah 560 orang
anggota DPR (Pasal 22
ayat 2)
3-12 kursi per dapil
DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota
(Pasal 24 ayat 2)
3-10 kursi per dapil
DPR dengan jumlah
575 orang anggota DPR
(Pasal 187 ayat 2)
3-12 kursi per dapil
DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota
(Pasal 189 ayat 2)
Pencalonan Caleg Daftar bakal calon
memuat 100% dari
jumlah kursi pada setiap
daerah pemilihan. Daftar
calon memuat 30%
perempuan. Setiap tiga
calon, minimal terdapat
satu perempuan. (Pasal
54-56)
Daftar bakal calon
memuat 100% dari
jumlah kursi pada setiap
daerah pemilihan.
Daftar bacalon memuat
keterwakilan
perempuan paling
sedikit 30%. Setiap tiga
orang bacalon, minimal
terdapat satu orang
perempuan. (Pasal 244-
246)
Jumlah dapil 77 dapil 80 dapil33
Sumber: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017.
33 Penambahan dapil terjadi di tiga wilayah, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, dan Nusa
Tenggara Barat.
37
Keterlibatan partisipasi perempuan dalam mengambil keputusan di
lembaga legislatif tidak terlalu besar, dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 3.3
Jumlah dan Presentase Anggota DPR menurut Jenis Kelamin
Pemilu Laki-Laki Perempuan Jumlah Presentase
Perempuan
1955 256 16 272 5,88%
1971 429 31 460 6,74%
1977 423 37 460 8,04%
1982 418 42 460 9,13%
1987 441 59 500 11,80%
1992 438 62 500 12,40%
1997 442 58 500 11,60%
1999 456 44 500 8,80%
2004 485 65 550 11,82%
2009 460 100 560 17,86%
2014 463 97 560 17,32%
Sumber: Komisi Pemilihan Umum RI
Jumlah representasi perempuan anggotan DPR mengalami peningkatan.
Keterwakilan perempuan terendah ada pada tahun 1955 dengan 5,88% dan
tertinggi pada tahun 2009 dengan 17,86% dan tahun 2014 dengan 17,32%.
b) Pengaturan Hukum Internasional dalam Melindungi Hak Politik
Perempuan
1) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
Piagam PBB yang menjadi instrument hukum internasional ini
menyebutkan tentang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Dalam piagam itu tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa diatur dalam
Pasal 1 Ayat (4) yang menyatakan bahwa: “Mencapai kerjasama
38
internasional dalam memecahkan masalah internasional di bidang
karakter ekonomi, sosial, budaya, atau kemanusiaan, dan dalam
memajukan dan mendorong penghormatan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin,
bahasa, atau agama”.
2) Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM)
Secara internasional telah diatur mengenai hak asasi manusia yang
terkandung di dalam DUHAM. Pada Pasal 1 menyatakan bahwa
“Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-
hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya
bergaul satu sama lain dalam persaudaraan”.
Pasal 2 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas semua hak dan
kebasan-kebebasan yang tercantum di dalam deklarasi ini dengan
tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul
kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun
kedudukan lain”.
Pasal 7 selanjutnya mengatur bahwa “Semua orang sama di depan
hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa
diskriminasi…”
39
3) Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Againts Women (CEDAW)
Secara internasional, telah diatur hak politik perempuan dalam
CEDAW 1979. CEDAW merupakan dasar untuk mewujudkan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam memberikan jaminan
dan kesempatan dalam berpolitik dan aktivitas publik, termasuk dalam
hak mengikuti pemilihan umum dan memberikan suara. Indonesia
mempunyai dokumen untuk melindungi hak-hak perempuan, yaitu
Konvensi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984
mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan, dikenal dengan nama CEDAW (Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women) yang
bertujuan untuk menciptakan pemenuhan dan perlindungan hak asasi
perempuan dari segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam CEDAW diatur bahwa Affirmative Action merupakan strategi
khusus yang diangkat untuk menyelaraskan antara perempuan dan
laki-laki. Seperti yang di kemukakan oleh Asadnejad34 bahwa “a
gender equality in politics is not only the issue of quantity, but also
quality, if one wants to see any effects resulting from a balanced
participation of women and men in decision making.” (Kesetaraan
gender dalam politik tidak hanya masalah kuantitas, tetapi juga
kualitas, jika seseorang ingin melihat efek yang dihasilkan dari
34 Elham Asadnejad, Affirmative Action And Women’s Political Participation In Decentralised
Governance In Iran, Faculty of Law, University of Oslo, Norwegian Centre for Human Rights,
2010, h. 8.
40
partisipasi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam
pengambilan keputusan).
CEDAW menekankan pada kesetaraan dan keadilan antara perempuan
dan laki-laki, yaitu dalam hak, kesetaraan dalam kesempatan dan
akses serta persamaan hak untuk menikmati manfaat di segala
kegiatan.
Pasal 4 ayat (1) CEDAW, menyatakan bahwa: “Pembentukan
peraturan-peraturan dan melakukan tindakan khusus sementara oleh
negara-negara pihak yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan de
facto antara laki-laki dan perempuan, tidak dianggap sebagai
diskriminasi seperti ditegaskan dalam konvensi ini, dan sama sekali
tidak harus membawa konsekuensi pemeliharaan standar-standar yang
tidak sama atau terpisah, maka peraturan-peraturan dan tindakan
tersebut wajib dihentikan jika tujuan, persamaan kesempatan dan
perlakuan telah tercapai”.
Khusus untuk hak politik diatur dalam pasal 7 dan pasal 8. Pasal 7
CEDAW mewajibkan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan,
mengatur sebagai berikut:
“Negara-negara pihak wajib mengambil langkah-langkah yang sesuai
untuk mrnghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan
politik dan kehidupan bermasyarakat di negaranya, khususnya
menjamin bagi perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki:
41
a. Untuk memilih dalam semua pemilihan dan angenda publik dan
berkemampuan untuk dipilih dalam lembaga-lembaga yang dipilih
masyarakat;
b. Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan
implementasinya, serta memegang jabatan dalam pemerintahan dan
melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkatan; dan
c. Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-
perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan
politik dan publik.”
Pasal 8 CEDAW bahwa negara wajib menjamin perempuan
berdasarkan persyaratan yang sama dengan laki-laki dan tanpa
diskriminasi mendapat kesempatan untuk:
a. Mewakili pemerintah mereka pada tingkat internasional; dan
b. Berpartisipasi dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional.
Konvensi ini tidak hanya mengakui hak politik perempuan, tetapi
juga memberikan solusi bagaimana meningkatkan partisipasi
politik perempuan sebagai pelaku politik. Indonesia telah
menjadikan konvensi ini sebagai landasan hukum penegakan hak
asasi manusia dengan kesetaraan gender antara laki-laki dan
perempuan.
c) Hak Politik Perempuan dalam Affirmative Action
Hukum dipahami sebagai norma, yaitu ukuran yang harus dipatuhi oleh
seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan
42
lingkungannya. Perihal hak politik perempuan juga tentunya tidak terlepas
dari pengaturan hukum. Karena dengan demikian perempuan haruslah
mendapat keadilan sebagai haknya.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak lahir yang berlaku
seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Ada macam-
macam hak asasi manusia dapat digolongkan sebagai berikut:
d) Hak asasi pribadi, yaitu hak asasi yang berhubungan dengan kehidupan
pribadi manusia. Contohnya: hak beragama, hak menentukan jalan hidup,
dan hak berbicara;
e) Hak asasi politik, yaitu berhubungan dengan kehidupan politik.
Contohnya: hak mengeluarkan pendapat, ikut serta dalam pemilu,
berorganisasi;
f) Hak asasi ekonomi, yaitu hak yang berhubungan dengan kegiatan
perekonomian. Contohnya: hak memiliki barang, menjual barang,
mendirikan perusahaan atau berdagang;
g) Hak asasi budaya, yaitu hak yang berhubungan dengan kehidupan
bermasyarakat. Contohnya: hak mendapat pendidikan, hak mendapat
pekerjaan, hak mengembangkan seni budaya;
h) Hak kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu hak yang
berkaitan dengan kehidupan hukum dan pemerintahan. Contohnya: hak
mendapat perlindungan hukum, hak membela agama, hak menjadi pejabat
pemerintah, hak untuk diperlakukan secara adil;
43
i) Hak untuk diperlakukan sama dalam tata cara pengadilan. Contohnya:
dalam penyelidikan, dalam penahanan, dalam penyitaan.
Pada dasarnya semua orang dapat menjadi pemimpin (leader),
perempuan tidak semuanya lemah, apabila diibaratkan dengan sebuah
bangunan dan fondasi yang kokoh dan berstruktur kuat. Hal ini dapat dilihat
dari peran perempuan pada kehidupan bermasyarakat, dalam konsumen
pembangunan bukan hanya sebagai proses pembangunannya saja, sungguh
menyedihkan apabila hanya melihat dari sudut pandang yang berlainan
bahkan sudah banyak kenyataannya peran seorang perempuan tradisional
dianggap sebagai cadangan. Terwujudnya peran wanita dalam berkesempatan
memegang peranan sebagai kepemimpinan membawa dampak yang
mengarah lebih baik bahwa permasalahan akan kesetaraan gender ditandai
dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Dengan
demikian, antara perempuan dan laki-laki memiliki akses yang sama dalam
mencapai sebuah peran pemimpin. Kini perempuan mampu memberikan
suara dalam berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan negara yang lebih
baik. Tentu hal ini adalah sebuah kebijakan dalam memperoleh manfaat
kesetaraan serta adil dari pembangunan. Kini saatnya para wanita maju dan
memiliki peran penting dalam kepemimpinan.
Keterlibatan perempuan dalam politik penting karena:
Pertama, pada dasarnya bahwa demokrasi berkaitan dengan hak, dan
sebagai konsekuensinya, setiap orang atau kelompok baik perempuan maupun
laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalam mempengaruhi, menentukan,
dan membuat keputusan dan kebijakan politik dalam sistem demokrasi.
44
Karena itu, baik perempuan maupun laki-laki mendapatkan kesempatan yang
sama di berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam dunia politik sebagai
politisi partai politik maupun parlemen atau pejabat publik dalam suatu
pemerintahan. CEDAW (Convention the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women atau Konvensi Penghapusan segala entuk
Diskriminasi terhadap Perempuan) mempunyai isi yang kuat bahwa tidak ada
diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dimana keduanya memiliki
posisi, peran dan kesempatan yang sama termasuk dalam dunia politik.
Dalam konteks politik, status perempuan harus diberikan hak-hak dasarnya,
termasuk hak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara yang telah
tertuang dan ditegaskan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,
“Segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan wajib menjungjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya”.
Kedua, mengenai Kepentingan perempuan “women’s interest”.
Perempuan dan laki-laki mempunyai kepentingan yang berbeda, seperti laki-
laki tidak dapat mewakili perempuan yang seolah-olah tahu akan kebutuhan
dan kepentingan perempuan. Sangat diperlukan keberadaan perempuan untuk
menjadi inspirasi bagi perempuan lainnya untuk terlibat dalam dunia politik.
Ketiga, berkaitan dengan emansipasi dan perubahan, perempuan dapat
menjadi pelopor lembaga perwakilan rakyat untuk memperjuangkan isu di
dalam masyarakat. Oleh karena itu, calon legislatif perempuan haruslah
menjadi pelopor dengan membawa perubahan terutama untuk membongkar
sistem patriarkal di masyarakat bahkan di negara karena hal ini merupakan
45
salah satu hambatan terbesar yang menghalangi perempuan untuk
berpartisipasi dalam politik. Perempuan dapat mengubah agenda kebijakan
dan prioritas isu ke arah kepentingan sosial kemasyarakatan. Perempuan
inilah yang membutuhkan energi lebih untuk berjalan setara dengan laki-laki
pada budaya patriarki yang sangat melekat.
Keempat, perempuan membuat perbedaan. Di Indonesia khususnya
berupaya untuk meningkatkan jumlah perempuan dalam politik. Itulah
mengapa diperlukan adanya affirmative action dalam kuota 30% yaitu untuk
meningkatkan jumlah perempuan di dalam partisipasi politik. Adanya
keterwakilan perempuan dapat memberikan warna bagi lembaga perwakilan
rakyat dengan memulai menggerakkan agenda-agenda seperti pemberantasan
korupsi, penguatan partisipasi rakyat, hingga memperjuangkan kesetaraan
yang terutama. Dengan demikian, kehadiran perempuan dapat memberikan
perbedaan dan perubahan yang nyata.
Kelima, perempuan menjadi simbolik, yang artinya, perempuan
menjadi panutan dalam motivasi atau acuan yang memberi aspirasi dan
pemberi semangat bagi perempuan lain.
Jadi, dalam mewujudkan Affirmative Action dalam bentuk sistem kuota
pada pemilu mendatang adalah dengan memperbaiki sistem politik dengan
menghapuskan segala bentuk persepsi terhadap perempuan bahwa hanya
pantas menjadi ibu rumah tangga, mengasuh anak, apalagi berkecimpung di
dunia politik. Pemikiran tersebut sangatlah membatasi peluang perempuan
untuk berperan aktif dan berpartisipasi di politik yang selama ini didominasi
oleh kaum laki-laki. Melalui Affirmative Action dengan sistem kuota paling
46
sedikit 30% keterwakilan perempuan memungkinkan banyak perempuan
yang masuk ke ranah politik. Salah satunya adalah dengan menyambut dan
meningkatkan kapasitas kemampuan perempuan agar lebih berperan dalam
membuat kebijakan, terutama yang menyangkut hak-hak perempuan.
Tindakan afirmasi belum terlaksana dengan maksimal karena partai masih
memahami bahwa kebijakan tersebut hanya sebatas aspek administratif untuk
memenuhi kebutuhan undang-undang.
Konvensi tentang hak-hak politik perempuan berkeinginan untuk
melakukan prinsip persamaan hak laki-laki dan perempuan yang dicantumkan
dalam Piagam PBB dan berkeinginan menyamakan status laki-laki dan
perempuan dalam pekerjaan dan pelaksanaan hak-hak politik sesuai dengan
piagam PBB dan DUHAM. Konvensi hak-hak politik perempuan ini
ditetapkan dalam Pasal 1 menyatakan bahwa “Wanita berhak memberikan
suara dalam semua pemilihan atas syarat-syarat yang sama dengan pria, tanpa
diskriminasi apa pun”. Pasal 2 menentukan bahwa “Wanita dapat dipilih
untuk pemilihan pada semua badan yang dipilih secara umum, dibentuk oleh
hukum nasional, atas syarat-syarat yang sama dengan pria, tanpa diskriminasi
apa pun”. Pasal 3 selanjutnya mengatur bahwa “Wanita berhak memegang
jabatan pemerintah dan melaksanakan semua fungsi pemerintah, yang
dibentuk oleh hukum nasional atas syarat-syarat yang sama dengan pria,
tanpa diskriminasi apa pun”.35
Melihat pada negara lain, sebagai contoh negara-negara Skandinavia
meliputi Denmark, Norwegia, dan Swedia yang berhubungan dengan
35 Peter Baehr, et.al., Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia (terjemahan), Obor,
Jakarta, 2001, h. 1049.
47
perwakilan perempuan dalam politik. Negara-negara Skandinavia terkenal
dalam ranah politik yang representasi perempuan tertinggi. Berbagai
peraturan yang menetapkan Affirmative Action dimaksudkan untuk mengatasi
masalah rendahnya representasi dalam mengambil keputusan. Demi
terciptanya hasil yang efektif, penerapan program tindakan tegas dan
penetapan kuota juga harus diiringi oleh jadwal yang pasti dan sasaran yang
jelas.36
Perlindungan dan jaminan hak asasi manusia dilakukan sesuai keadaan
warga negara yang pada kenyataannya terdapat perbedaan kemampuan untuk
mengakses perlindungan dan pemenuhan hak yang diberikan oleh negara
yang dilakukan tanpa memperhatikan perbedaan tertentu justru
mempertahankan ketimpangan atau bahkan semakin menjauhkan perbedaan
yang terjadi antara laki-laki dan perempuan.
Perempuan memang mempunyai peran penting dalam keluarga,
namun bukan hanya keluarga saja akan tetapi perempuan dapat berperan
penting dalam perubahan dunia. Seperti tokoh-tokoh perempuan yang
berhasil menjadi pemimpin yang jauh lebih baik dan juga disegani baik
masyarakat maupun dunia antara lain:
1. Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri
Lebih dikenal dengan nama Megawati Soekarnoputri yang lahir di
Yogyakarta pada tanggal 23 Januari 1947 yang merupakan Presiden
Kelima pada tahun 2001 hingga tahun 2004 yang merupakan presiden
perempuan pertama di Indonesia dan anak kedua dari presiden pertama
36 India adalah contoh negara yang dipandang berhasil mencapai target 33% kursi di lembaga
legislatif distrik (panchayati raj) setelah diberlakukannya amandemen nomor 74 terhadap
Konstitusi 1989.
48
Indonesia yaitu Soekarno.37 Megawati merupakan orang yang tergolong
baru dalam dunia politik namun sangat pesat dalam perkembangan
karirnya di politik dalam menjadi anggota DPR RI. Tahun 1993 Megawai
terpilih menjadi Ketua Umum PDI. Pemilu tahun 1999-2001, PDI
Perjuangan berhasil memenangkan pemilu dengan berhasil meraih tiga
puluh persen suara. Megawati tidak harus menunggu lima tahun untuk
menggatikan presiden Abdurrahman Wahid, tahun 2001 resmi dilantik
sebagai presiden. Terpilihnya Megawati disambut oleh kalangan luas
terutama “wong cilik” sebagai pemberi harapan bagi rakyat masa
depan.38 Namun pada putaran kedua, Megawati kalah suara dengan
Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilu presiden 2004. Pada tahun
2014, Megawati dan PDIP menunjuk Joko Widodo untuk maju pemilu
presiden periode 2014-2019. Pada Rakernas IV PDIP 2014 di Semarang,
Megawati kembali ditunjuk kembali sebagai Ketua Umum PDIP periode
2015-2020.
2. Kristiani Herrawati
Lebih dikenal dengan nama Ani Yudhoyono merupakan istri dari
Presiden Indonesia keenam Susilo Bambang Yudhoyono. Lahir di
Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1952. Ani Yudhoyono selalu
mendampingi suami tercinta ke panggung politik. Tahun 2004 Susilo
Bambang Yudhoyono terpilih menjadi Presiden Indonesia pertama yang
langsung dipilih oleh rakyat untuk periode 2004-2009 dan periode kedua
37 Kristitin Wahyuni, Masa Kepresidenan Megawati SoekarnoPutri Periode Tahun 2001-2004,
Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 2008, h. 1. 38 Ibid., h. 4.
49
2009-2014. Ani Yudhoyono sangat aktif berperan dalam berbagai
organisasi seperti Pelindung Nasional Women Internasional Club (WIC),
Pelindung Utama Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan
lain-lain.39
3. Najwa Shihab
Akrab di panggil Nana lahir di Makasar, 16 September 1977. Najwa
adalah seorang pembawa acara di stasiun televise Metro TV yang
merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2000.40
Tahun 2006 Najwa diangkat menjadi jurnalis terbaik Metro TV dan
masuk dalam nominasi Panasonic awards. Najwa merupakan sosok
perempuan yang mempunyai komunikasi yang sangat baik, dan juga
mempunyai tatap mata yang sangat intens namun tidak mengintimidasi
yaitu dengan acara “Mata Najwa dan dengan konsep debat yang luar
biasa terlebih dari pangung politik dengan narasumber-narasumber yang
sangat hebat antara lain: Joko Widodo, Susilo Bambang Yudhoyono, B.J.
Habibie, Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, Boediono, Prabowo
Subianto, dan hampir semua tokoh politik pernah ia wawancarai.
4. Susi Pujiastuti
Susi Pujiastuti merupakan menteri kelautan dan perikanan di Indonesia
pada masa presiden Joko Widodo yang secara langsung memilihnya pada
26 Oktober2014. Walaupun hanya lulusan SMP, namun dengan karakter
yang tegas dan berani mampu mengambil tindakan heroik dengan
39 https://aniyudhoyono.or,id/profile.php 40 Syaira Arlizar Ritonga, Analisis Toko (Najwa Shihab) Berdasarkan Teori Komunikasi
Antarpribadi, magister Ilmu Komunikasi, Universitas Sumatera Utara SIimbolika, vol. 3, tanggal 2
Oktober 2017, h. 72.
50
peledakan kapal-kapal illegal dari negara lain yang memancing di
perairan Indonesia.41
5. Rustiningsih
Rustiningsih merupakan politikus yang pernah menjabat sebagai wakil
gubernur Jawa Tengah periode 2008-2013 yang sebelumnya menjabat
sebagai Bupati Kebumen ke-28 untuk dua periode 2000-2005 dan 2005-
2010, namun pada periode kedua tidak terselesaikan karena terpilih
menjadi wakil gubernur Jawa Tengah, mendampingi Bibit Waluyo tahun
2008.42 Awalnya Rustiningsih merupakan deklarator dari organisasi
masyarakat bersama Surya Paloh tahun 2012 yang akhirnya menjadi partai
yang membesarkannya yaitu PDI Perjuangan.
Selain itu, adapun tokoh-tokoh perempuan dari luar negeri antara lain:
1. Angela Merkel
Angela Merkel merupakan Kanselir Jerman sejak tahun 2005 dan Ketua
Persatuan Demokrat Kristen (CDU) sejak tahun 2000. Merkel sempat
menjadi juru bicara untuk cabinet Jerman Timur yang terpilih secara
demokratis pertama kalinya tahun 1990. Kemudian Merkel diangkat
sebagai Menteri Perempuan dan Pemuda tahun 1991, lalu Menteri
Lingkungan tahun 1994. Merkel mengalami gejolak politik sejak kecil saat
konflik Jerman timur, perang dingin dan paham komunis yang mendorong
Merkel berpikir dan bertindak menurut naluri politik. Merkel adalah
41 Stevani dan Widiyatmoko, Kepribadian dan Komunikasi Susi Pudjiastuti Dalam Membentuk
PersonalBranding, Jurnal Komunikasi, Vol 9 No.1, Juli 2017 h. 69-73. 42 Kang Juki, Artikel Pilgub Jateng; Jalan Terjal Bagi Rustiningsih, tanggal 3 Januari 2018, pukul
01.28, tanpa halaman.
51
perempuan yang mempunyai berbagai kelebihan di segala bidang dan
menjadi seorang pemimpin yang sangat disegani.43
2. Mother Theresa
Lahir di Uskub, kerajaan Ottoman tanggal 26 Agustus 1910 adalah
seorang biarawati Katolik Roma keturunan Albania dan kewarganegaraan
India yang selama 47 tahun melayani orang miskin, sakit, yatim piatu dan
sekarat. Pada tahun 1970an, Theresa terkenal di dunia internasional untuk
pekerjaan kemanusiaan dan advokasi bagi hak-hak orang miskin dan tak
berdaya sehingga Theresa menerima penghargaan Perdamaian Nobel tahu
1979 dan Ia merupakan sosok perempuan yang paling dikagumi dalam
sejarah.44
3. Margaret Thatcher
Perdana menteri wanita pertama di Inggris. Margaret Thatcher merupakan
sosok yang tegas dan bertangan dingin. Dalam kondisi ekonomi yang
buruk, Thatcher berhasil membawa Inggris bangkit di masa sulitnya.
Tahun 1950 Margaret Thatcher mencalonkan diri sebagai anggota
parlemen dan dua kali gagal, namun untuk yang ketiga ia berhasil
menduduki banyak posisi strategis di pemerintahan Harold McMillan.
Thatcher pernah menempati posisi menteri pendidikan.thatcher merupakan
politisi yang siap dan berani.45
43 Makalah Choirun Nafik, Sang Kanselir Jerman (Studi Kasus: Angela Merkel), Program Studi
Ekonomi, STIE Yadika Bangil, 2016, h. 4. 44 Ibid., h. 10. 45 https;//www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/internasional/read/2018/04/11/biografi-tokoh-
dunia-margaret-thatcher-si-iron-lady
52
4. Gloria Macapagal Arroyo
Presiden wanita pertama Filipina yang memenangkan dua kali pemilihan
presiden. Sebagai presiden, Gloria menunjukan bahwa masyarakat Filipina
menyukai pemimpin berdasarkan kedekatan secara ketokohan, dan
memiliki sumber daya ekonomi yang kuat. Walaupun sering mendapat
perlawanan dalam membantu perubahan Filipina terutama dalam
pandangan politik.46
C. Analisa
Dalam rangka menjawab rumusan masalah, maka Penulis akan
menjelaskan tentang pengaturan hukum tentang Affirmative Action terhadap
hak perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Pengaturan hukum ini
bersifat nasional dan internasional
1. Peraturan hukum yang melindungi hak politik perempuan dalam hukum
nasional
a. UUD 1945
Sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea 1,
pada anak kalimat Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka
menurut Penulis pernyataan tersebut dapat ditafsirkan bahwa hal ini
berkaitan juga dengan kemerdekaan bagi kaum perempuan untuk
memenuhi hak dan partisipasi politiknya dalam rangka peradaban
suatu bangsa
46 Jurnal Independence, Politik Dinasti Dalam Pemilihan Presiden Di Filipina Tahun 2001-2011,
Vol.1, No. 3, September-Desember, 2013, h. 227.
53
Pada Alinea IV Pembukaan UUD 1945: “… Pemerintah Negara
Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan
perdamaian abadi dan keadilan sosial.…” Pada pasal ini disebutkan
bahwa tujuan nasional Indonesia antara lain ialah melindungi
segenap bangsa Indonesia. Pernyataan ini dapat diartikan bahwa
hak politik perempuan juga harus dilindungi.
Dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945 menyatakan
tentang persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
baik itu laki-laki maupun perempuan. Dalam hal ini ketika
perempuan mempunyai keinginan dan mampu untuk melangkah
maju, maka dari kedudukan dalam hukum dan permerintahan dapat
disetarakan dengan laki-laki melalui langkah Affirmative Action.
Bahwa pada dasarnya perempuan dan laki-laki mempunyai hak
yang sama yaitu termasuk dalam lingkup politik. Secara umum
urusan dan kepentingan hak asasi manusia di Indonesia diatur
dalam Pasal 28 UUD 1945, Pasal 28C Ayat (2) “setiap orang
berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara”
dalam hal ini kedudukan perempuan secara kolektif perlu
dilindungi haknya dengan prinsip Affirmative Action. Akomodasi
54
dalam bentuk 30% kuota bagi perempuan misalnya adalah bagian
dari hak kolektif tersebut.
Pasal 28D Ayat (3) menyatakan bahwa “Setiap warga negara
berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Dalam hal ini harus ditegaskan bahwa kaum perempuan Indonesia
adalah bagian dari integral dari bagian Indonesia sehinggal juga
harus memiliki hak politik.
Pasal 28E Ayat (3) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Pasal ini sesungguhnya berkaitan langsung dengan hak berpolitik,
termasuk untuk kaum perempuan atau untuk melindungi kaum
perempuan, karena menyangkut hak berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.
Dalam Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang
berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan”. Dalam hal ini perlakuan khusus yang
dimaksud mengandung makna yang sama dengan Affirmative
Action yaitu adanya tindakan atau perlakuan khusus dalam bentuk
kepastian hukum berupa pemberian persentasi tertentu bagi kaum
perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Salah satu warga
negara yang karena kondisinya membutuhkan perlakuan khusus
adalah perempuan. Tanpa adanya perlakuan khusus, perempuan
tidak akan dapat mengakses perlindungan dan pemenuhan hak
55
konstitusionalnya karena perbedaan dan pembedaan dari struktur
masyarakat yang patriarkis. Terlebih dalam pasal ini dapat menjadi
jaminan secara konstitusional untuk mencapai persamaan dan
keadilan bagi perempuan tanpa adanya diskriminasi dengan
perlakuan khusus tersebut.
Pasal 28I Ayat (2) menyatakan bahwa “Setiap orang bebas dari
perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu”. Dalam hal ini makna Affirmative Action adalah
suatu diskriminasi positif yang berarti langkah khusus guna
tercapainya keadilan dan kesetaraan hingga kesenjangan sosial
dapat teratasi. Kesenjangan sosial yang dimaksud adalah jangan
sampai terjadi diskriminasi negatif berupa pembiaran atau
ketiadaan akomodasi perlindungan hukum terhadap hak politik
perempuan.
Pasal 28J Ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang wajib
menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Pasal ini dapat
ditafsirkan perlunya penghormatan oleh siapapun terhadap hak
politik perempuan.
Berdasarkan keseluruhan pasal diatas, maka perlakuan khusus yang
dimaksud dapat ditafsirkan berupa adanya Affirmative Action
terhadap hak perempuan untuk berpartisipasi dalam politik.
56
b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia
Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap
manusia sejak lahir yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat
diganggu gugat oleh siapapun. Pada Pasal 1 angka (3) Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
disebutkan bahwa: “Diskriminasi adalah setiap pembatasan,
pelecehan, atau pun pengucilan yang langsung atau pun tidak
langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama,
suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi,
jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat
pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek
kehidupan lainnya”. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 angka
3 tentang pengertian diskriminasi, maka perempuan tidak boleh di
diskriminasi sebab pasal tersebut mengatur bahwa semua warga
negara mempunyai hak yang sama tanpa melihat jenis kelamin.
Pasal 3 Ayat (3) menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas
perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia,
tanpa diskriminasi”. Istilah setiap orang perlu dipastikan secara
hukum yang dimaksud adalah kaum perempuan dalam hal ini
perempuan tidak boleh di diskriminasi secara politik.
57
Dalam pasal 46 disebutkan bahwa “Sistem pemilihan umum,
kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem
pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin
keterwakilan wanita sesuai pernyataan yang ditentukan”.
Berdasarkan pasal tersebut penulis berpandangan bahwa
perempuan harus mendapatkan hak dalam kesempatan dan
kedudukan yang sama untuk melaksanakan peranannya dalam
bidang eksekutif, yudikatif, legislatif, kepartaian, dan pemilihan
umum menuju keadilan dan kesetaraan gender dan kemanfaatan
bagi masyarakat secara keseluruhan. Penggolongan hak asasi salah
satunya adalah hak asasi politik, yaitu berhubungan dengan
kehidupan politik, baik dalam mengeluarkan pendapat, ikut serta
dalam pemilu dan berorganisasi.
c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentng Pemilihan Umum
Undang-undang ini belum mengatur mengenai keterwakilan
perempuan dalam penyelenggaraan pemilu. Oleh karena itu,
Affirmative Action dalam undang-undang ini belum terwadahi baik
mengenai pencalonan maupun persentase kuota.
d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Pasal 65 Ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap partai politik peserta
pemilu “dapat” mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi
dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan
58
“memperhatikan” keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya
30%.” Kata “dapat” dalam pasal 65 Ayat (1) dalam hal ini
keterwakilan perempuan bukan keharusan tetapi diharapkan adanya
partisipasi politik perempuan yang lebih jelas, dan kata
“memperhatikan” adalah kata yang sangat penting sebagaimana
sering disebutkan dalam konsideran atau bagian pertimbangan dari
suatu peraturan perundang-undangan, karena istilah memperhatikan
perlu dipahami sebagai langkah maju untuk mendorong perlakuan
yang lebih konkrit terhadap hak politik perempuan.
e. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Undang-Undang ini telah memakai Affirmative Action dalam
memilih dan dipilih pada penentuan calon anggota legislatif untuk
perempuan. Mengenai sistem keterwakilan perempuan menurut
Pasal 53 berbunyi: “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan”. Angka 30% yang ditegaskan dalam
pasal tersebut sudah menunjukkan adanya pengaturan hukum
mengenai Affirmative Action untuk pemenuhan hak politik
perempuan.
Menurut Pasal 55 Ayat (2) menyatakan secara tegas bahwa: “Di
dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1
59
(satu) orang perempuan bakal calon”. Berdasarkan pasal tersebut
maka penulis beranggapan bahwa sudah ada Affirmative Action
bagi kaum perempuan karena telah ditegaskan dari tiga bakal calon
harus ada 1 orang perempuan.
f. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Pasal 55 menyatakan bahwa “Syarat bakal calon anggota DPR,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sesuai Pasal 53
memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan.” Sesuai
dengan bunyi pasal tersebut, maka pengaturan hukum dalam hak
politik perempuan sudah dilakukan secara khusus berupa 30%
dengan demikian tampak perlakuan khusus dalam affirmative
action. Adanya sistem zipper dengan menyertakan setiap tiga bakal
calon perempuan dan minimal satu orang pada posisi nomor urut 1,
2, atau 3.
g. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Pemerintah memberikan jaminan hukum dalam bentuk tindakan
khusus yang termuat dalam Pasal 245 berbunyi “Dalam daftar
bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 memuat
keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen)”.
Daftar bakal calon yang dimaksud adalah anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang berdasarkan ketentuan
memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Berdasarkan
60
pasal ini maka sudah tampak pula perlakuan khusus bagi
perempuan dalam Affirmative Action.
Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 246
ayat (2) berbunyi: “Di dalam daftar bakal calon sebagaimana
dimaksud ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat paling
sedikit 1 (satu) orang perempuan bakal calon.”
Sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal tersebut maka
penyertaan perempuan paling sedikit 1 orang perempuan dari 3
calon. Apabila telah terpenuhinya keterwakilan perempuan paling
sedikit 30%, maka sesuai dengan Pasal 248 yang menyatakan:
“KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran
dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan
verifikasi terhadap terpenuhinya keterwakilan perempuan paling
sedikit 30%”.
Dapat diketahui bahwa KPU akan melakukan verifikasi apabila
keterwakilan perempuan memenuhi kuota 30%. Namun apabila
keterwakilan perempuan tidak memuat paling sedikit 30%, maka
KPU memberikan kesempatan bagi partai politik untuk
memperbaiki daftar calon tersebut sesuai Pasal 249 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Penerapan Affirmative Action dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 merupakan tindakan yang dapat mendukung perolehan
suara bagi keterwakilan perempuan. Dengan adanya undang-
undang ini dapat dikatakan tindakan yang nyata dalam
61
memperjuangkan hak perempuan terutama dalam hal keterwakilan
perempuan dalam politik.
2. Peraturan hukum yang melindungi hak politik perempuan dalam hukum
internasional
a. Piagam PBB
Piagam PBB yang menjadi instrument hukum internasional ini
menyebutkan tentang persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan. Dalam piagam itu tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa
diatur dalam Pasal 1, yang berkaitan dengan pokok bahasan skripsi
ini adalah tujuan PBB yang ke empat sebagaimana disebutkan
Pasal 1 Ayat (4) yang menyatakan bahwa “Mencapai kerjasama
internasional dalam memecahkan masalah internasional di bidang
karakter ekonomi, sosial, budaya, atau kemanusiaan, dan dalam
memajukan dan mendorong penghormatan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin,
bahasa, atau agama”. Sebagaimana disebutkan di atas, maka
rumusan “…mendorong…tanpa membedakan…jenis kelamin…”.,
dapat diartikan sebagai dasar hukum untuk melindungi secara
hukum hak politik perempuan.
b. Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM)
Dengan tujuan menjunjung tinggi dan melindungi hak kemanusiaan
tanpa membedakan suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
62
agama, atau bahkan politik tanpa terkecuali apapun atas dasar
perlindungan terhadap perempuan kini hadir berbagai instrument
hak asasi manusia di segala aspek kehidupan.
Pasal 1 menyatakan bahwa “Semua orang dilahirkan merdeka dan
mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai
akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam
persaudaraan”. Dengan demikian Pasal 1 mengartikan bahwa
perempuan dan laki-laki membpunyai hak yang sama termasuk
dalam bidang politik.
Pasal 2 menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas semua hak
dan kebasan-kebebasan yang tercantum di dalam deklarasi ini
dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras,
warna kulit, jenis kelamin, Bahasa, agama, politik atau pandangan
lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik,
kelahiran ataupun kedudukan lain”. Sebagaimana dalam pasal 2
DUHAM maka perempuan mempunyai hak politik yaitu untuk
dipilih dalam pemilihan umum tanpa membedakan jenis kelamin.
Hal ini menegaskan bahwa ini menunjukan Affirmative Action.
Pasal 7 selanjutnya mengatur bahwa “Semua orang sama di depan
hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa
diskriminasi…” Istilah yang ada di dalam pasal 7 DUHAM maka
perempuan mempunyai hak yang sama di dalam hukum tanpa
adanya perslakuan yang mendiskriminasi.
63
c. Convention on the Elimination of All Form of Discrimination
Againts Women (CEDAW)
Pasal 4 ayat (1) Konvensi CEDAW menyebutkan bahwa tindakan
afirmasi (Affirmative Action), yaitu tindakan yang dilakukan untuk
mencapai kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan bagi
perempuan dan laki-laki yang sekarang ini dianjurkan oleh Komite
CEDAW dengan istilah tindakan khusus sementara. Konvensi
mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan dikenal dengan nama Convention on the Elimination of
All Form of Discrimination Againts Women (CEDAW) bertujuan
untuk menciptakan pemenuhan dan perlindungan hak asasi
perempan dari segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Kovensi CEDAW menekankan pada kesetaraan dan keadilan
antara perempuan dan laki-laki, yaitu dalam hak, kesetaraan dalam
kesempatan dan akses serta persamaan hak untuk menikmati
manfaat di segala kegiatan. Pasal 4 CEDAW, menyatakan bahwa:
tindakan affirmatif adalah langkah-langkah khusus sementara yang
dilakukan untuk mencapai persamaan kesempatan dan perlakuan
antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan ketentuan hukum
pasal 4 CEDAW ini maka isu hukum tentang hak politik
perempuan sangat jelas ditegaskan misalnya melalui kata-kata:
langkah khusus, untuk mencapai persamaan dan perlakuan, antara
laki-laki dan perempuan.
64
Khusus untuk hak politik diatur dalam pasal 7 dan pasal 8. Pasal 7
mewajibkan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, atas
dasar persamaan dengan laki-laki untuk memilih dan dipilih;
berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan
implementasinya, memegang jabatan dalam pemerintahan dan
melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkat; dan
berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-
perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan
politik dan publik. Sebagaimana dalam pasal 7, perempuan
mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam politik baik
dipilih dan memilih.
Pasal 8 CEDAW menyatakan bahwa “Negara wajib menjamin
perempuan berdasarkan persyaratan yang sama dengan laki-laki
dan tanpa diskriminasi mendapat kesempatan untuk mewakili
pemerintah mereka pada tingkat internasional dan berpartisipasi
dalam pekerjaan organisasi-organisasi internasional”. Sehubungan
dengan pasal 8 CEDAW, perempuan mempunyai hak yang sama
dengan laki-laki termasuk dalam hak politik baik di tingkat
nasional maupun internasional tanpa adanya sifat yang
mendominasi antara kaum laki-laki dan perempuan. Dengan istilah
persyaratan, apabila dalam hal ini belum diatur dengan hukum
internasional maka dibutuhkan Affirmative Action.
Pada bagian akhir analisa ini penulis berpandangan bahwa
ketentuan hukum nasional lebih tajam daripada konvensi internasional
65
dalam mengatur mengenai keterwakilan perempuan dalam partisipasi
politik. Namun melihat dari undang-undang pada tahun sebelumnya
memang belum secara lengkap mengatur mengenai Affirmative Action.
Akan tetapi pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum telah tertuang pengaturan hukum yang tegas mengatur mengenai
paling sedikit 30% keterwakilan perempuan, hal ini sangatlah penting
terutama dalam meningkatkan keterwakilan perempuan.
Dalam rangka menyemangati dan mendorong partisipasi
perempuan dalam aplikasi hak politiknya maka perlu ditegaskan kembali
contoh tentang kiprah perpolitikan dari beberapa tokoh sebagaimana telah
disebutkan dalam hasil penelitian walaupun tidak seluruh tokoh perempuan
itu baik di tingkat nasional maupun internasional berkiprah dalam bidang
legislatif tetapi dengan mengenal sejarah dan peran senyatanya dari
keterlibatan mereka dalam aplikasi hak politik perempuan maka hal ini
sangatlah bermanfaat.