BAB II Kelompok 5 Fixx
-
Upload
gita-puspitasari -
Category
Documents
-
view
234 -
download
1
description
Transcript of BAB II Kelompok 5 Fixx
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Lansia
2.1.1 Pengertian Lansia
Pengertian lanjut usia (lansia) ialah manusia yang berumur di atas usia 60
tahun dan masih hidup. Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia
60 tahun ke atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999 dalam Wijayanti, 2008). Menurut
WHO, batas usia untuk kategori lanjut usia berdasarkan tingkat usia yaitu:
1. Usia pertengahan “middleage” 45-59 tahun,
2. Lanjut usia (lansia)“elderly”60-74 tahun,
3. Lansia tua “old” 75-90tahun,
4. Dan usia sangat tua “veryold” diatas 90 tahun
Menurut Saparinah (2003) lansia yang berusia lebih dari 60 tahun merupakan
kelompok umur yang mencapai tahap pensiun, pada tahap ini akan mengalami
berbagai penurunan daya tahan tubuh atau kesehatan dan berbagai tekanan
psikologis. Dengan demikian akan timbul perubahan-perubahan dalam hidupnya.
Menurut Nugroho (2008) lansia merupakan kelompok orang yang sedang mengalami
suatu proses perubahan bertahap dalam jangka waktu beberapa decade, suatu proses
menghilangnya kemampuan jaringan secara perlahan-lahan untuk memperbaiki diri
atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita
Menurut Hardywinoto (1999) periode kemunduran pada masa lanjut usia dapat
dikategorikan menjadi 2 yaitu lanjut usia potensial dan lanjut usia tidak potensial.
Lanjut usia potensial adalah lanjut usia yang masih mampu memenuhi segala
kebutuhan hidup tanpa harus menggantungkan diri pada orang lain. Lanjut usia tidak
potensial adalah lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya
bergantung pada bantuan orang lain.
Depkes (2001) menyatakan batasan lansia dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Kelompok pra senelis atau pra lansia
Kelompok pralansia adalah kelompok usia dalam fase persiapan masa lanjut usia
yang menampakkan keperkasaan fisik dan kematangan jiwa (45-59 tahun).
b. Kelompok usia lanjut
Kelompok usia lanjut adalah kelompok dalam masa senium (60 tahun keatas).
1
c. Kelompok usia lanjut dengan risiko tinggi
Kelompok usia lanjut dengan risiko tinggi adalah kelompok berusia lebih dari 70
tahun atau lebih atau seseorang dengan usia 60 tahun lebih dengan masalah
kesehatan.
2.1.2 Fisiologi Lansia dan Proses Menua
Proses penuaan adalah normal, berlangsung secara terus menerus secara
alamiah. Dimulai sejak manusia lahir bahkan sebelumnya dan umunya dialami seluruh
makhluk hidup. Menua merupakan proses penurunan fungsi struktural tubuh yang
diikuti penurunan daya tahan tubuh. Setiap orang akan mengalami masa tua, akan
tetapi penuaan pada tiap seseorang berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor
yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor herediter, nutrisi,
stress, status kesehatan dan lain-lain (Stanley, 2006).
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa anak, masa dewasa dan
masa tua (Nugroho, 1992). Tiga tahap ini berbeda baik secara biologis maupun
psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami kemunduran secara fisik maupun
psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan kulit yang mengendor, rambut memutih,
penurunan pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan lambat, kelainan berbagai
fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat dan kurang gairah.
Meskipun secara alamiah terjadi penurunan fungsi berbagai organ, tetapi tidak
harus menimbulkan penyakit oleh karenanya usia lanjut harus sehat. Sehat dalam hal
ini diartikan:
a. Bebas dari penyakit fisik, mental dan sosial,
b. Mampu melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari,
c. Mendapat dukungan secara sosial dari keluarga dan masyarakat (Rahardjo, 1996)
Akibat perkembangan usia, lanjut usia mengalami perubahan-perubahan yang
menuntut dirinya untuk menyesuakan diri secara terus-menerus. Apabila proses
penyesuaian diri dengan lingkungannya kurang berhasil maka timbullah berbagai
masalah. Hurlock (1979) seperti dikutip oleh Munandar Ashar Sunyoto (1994)
menyebutkan masalah – masalah yang menyertai lansia yaitu:
Ketidakberdayaan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada orang lain
a. Ketidakpastian ekonomi sehingga memerlukan perubahan total dalam pola
hidupnya
b. Membuat teman baru untuk mendapatkan ganti mereka yang telah meninggal atau
2
pindah
c. Mengembangkan aktifitas baru untuk mengisi waktu luang yang bertambah banyak
d. Belajar memperlakukan anak-anak yang telah tumbuh dewasa.
Berkaitan dengan perubahan, kemudian Hurlock (1990) mengatakan bahwa
perubahan yang dialami oleh setiap orang akan mempengaruhi minatnya terhadap
perubahan tersebut dan akhirnya mempengaruhi pola hidupnya. Perubahan ynag
diminati oleh para lanjut usia adalah perubahan yang berkaitan dengan masalah
peningkatan kesehatan, ekonomi/pendapatan dan peran sosial (Goldstein, 1992).
Dalam menghadapi perubahan tersebut diperlukan penyesuaian. Ciri-ciri penyesuaian
yang tidak baik dari lansia (Hurlock, 1979 dalam Munandar, 1994) adalah: minat
sempit terhadap kejadian di lingkungannya, penarikan diri ke dalam dunia fantasi,
selalu mengingat kembali masa lalu, selalu khawatir karena pengangguran, kurang ada
motivasi, rasa kesendirian karena hubungan dengan keluarga kurang baik, dan tempat
tinggal yang tidak diinginkan.
Di lain pihak ciri penyesuaian diri lanjut usia yang baik antara lain adalah: minat
yang kuat, ketidaktergantungan secara ekonomi, kontak sosial luas, menikmati kerja
dan hasil kerja, menikmati kegiatan yang dilkukan saat ini dan memiliki kekhawatiran
minimla trehadap diri dan orang lain.
2.1.3 Konsep Sindrom Geriatrik
Sindrom geriatri adalah serangkaian kondisi klinis pada orang tua yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup pasien dan dikaitkan dengan kecacatan. Tampilan
klinis yang tidak khas sering membuat sindrom geriatri tidak terdiagnosis. Pasien
geriatri adalah pasien usia lanjut yang memiliki karakteristik khusus yang
membedakannya dari pasien usia lanjut pada umumnya. Karakteristik pasien geriatri
yang pertama adalah multipatologi, yaitu adanya lebih dari satu penyakit kronis
degeneratif. Karakteristik kedua adalah daya cadangan faali menurun karena
menurunnya fungsi organ akibat proses menua. Karakteristik yang ketiga adalah gejala
dan tanda penyakit yang tidak khas. Tampilan gejala yang tidak khas seringkali
mengaburkan penyakit yang diderita pasien. Karakteristik berikutnya adalah penurunan
status fungsional yang merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas
sehari-hari. Penurunan status fungsional menyebabkan pasien geriatri berada pada
kondisi imobilisasi yang berakibat ketergantungan pada orang lain. Karakteristik
khusus pasien geriatri yang sering dijumpai di Indonesia ialah malnutrisi. melaporkan
3
malnutrisi merupakan sindrom geriatri terbanyak pada pasien usia lanjut yang dirawat
(42,6%) di 14 rumah sakit.
Masalah sindrom geriatri yang sering dijumpai pada pasien geriatri adalah
sindrom geriatri yang meliputi: imobilisasi, instabilitas, inkontinensia, insomnia, depresi,
infeksi, defisiensi imun, gangguan pendengaran dan penglihatan, gangguan intelektual,
kolon irritable, impecunity, dan impotensi. Sindrom ini dapat menyebabkan angka
morbiditas yang signifikan dan keadaan yang buruk pada usia tua yang lemah.
Sindrom ini biasanya melibatkan beberapa sistem organ. Sindrom geriatrik mungkin
memiliki kesamaan patofisiologi meskipun presentasi yang berbeda, dan memerlukan
intervensi dan strategi yang fokus terhadap faktor etiologi (Panitaetal., 2011).
Dalam menilai kesehatan lansia perlu dibedakan antara perubahan akibat
penuaan dengan perubahan akibat proses patologis. Beberapa problema klinik dari
penyakit pada lanjut usia yang sering dijumpai. Sindroma geriatri antara lain adalah:
“the O complex” : fall, confusion, incontinence, iatrogenic disorders, impaired
homeostasis
“the big three” : intelectual failure, instability, incontinence
“the 14 I” : Immobility, Impaction, Instability, Iatrogenic, Intelec-tual
Impairment, Insomnia, Incontinence, Isolation, Impotence,
Immunodefficiency, Infection, Inanition, Impairment of Vision,
smelling, hearing, Impecunity
Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/ tirah baring selama 3 hari atau
lebih, diiringi gerak anatomis tubuh yang menghilang akibat perubahan fungsi
fisiologis. Imobilisasi menyebabkan komplikasi lain yang lebih besar pada pasien usia
lanjut bila tidak ditangani dengan baik. Gangguan keseimbangan (instabilitas) akan
memudahkan pasien geriatri terjatuh dan dapat mengalami patah tulang.
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali
pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,
sehingga mengakibatkan masalah sosial dan higienis. Inkontinensia urin seringkali
tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya karena malu atau tabu untuk
diceritakan, ketidaktahuan dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar pada
orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Prevalensi inkontinensia urin di Indonesia
pada pasien geriatri yang dirawat mencapai 28,3%. Masalah inkontinensia urin
umumnya dapat diatasi dengan baik jika dipahami pendekatan klinis dan
pengelolaannya.
4
Insomnia merupakan gangguan tidur yang sering dijumpai pada pasien
geriatri. Umumnya mereka mengeluh bahwa tidurnya tidak memuaskan dan sulit
memertahankan kondisi tidur. Sekitar 57% orang usia lanjut di komunitas mengalami
insomnia kronis, 30% pasien usia lanjut mengeluh tetap terjaga sepanjang malam,
19% mengeluh bangun terlalu pagi, dan 19% mengalami kesulitan untuk tertidur.
Gangguan depresi pada usia lanjut kurang dipahami sehingga banyak kasus tidak
dikenali. Gejala depresi pada usia lanjut seringkali dianggap sebagai bagian dari
proses menua. Prevalensi depresi pada pasien geriatri yang dirawat mencapai
17,5%.12 Deteksi dini depresi dan penanganan segera sangat penting untuk
mencegah disabilitas yang dapat menyebabkan komplikasi lain yang lebih berat.
Infeksi sangat erat kaitannya dengan penurunan fungsi sistem imun pada usia
lanjut. Infeksi yang sering dijumpai adalah infeksi saluran kemih, pneumonia, sepsis,
dan meningitis. Kondisi lain seperti kurang gizi, multipatologi, dan faktor lingkungan
memudahkan usia lanjut terkena infeksi. Gangguan penglihatan dan pendengaran
juga sering dianggap sebagai hal yang biasa akibat proses menua. Prevalensi
gangguan penglihatan pada pasien geriatri yang dirawat di Indonesia mencapai 24,8%.
Gangguan penglihatan berhubungan dengan penurunan kegiatan waktu senggang,
status fungsional, fungsi sosial, dan mobilitas. Gangguan penglihatan dan
pendengaran berhubungan dengan kualitas hidup, meningkatkan disabilitas fisik,
ketidakseimbangan, jatuh, fraktur panggul, dan mortalitas.
Pasien geriatri sering disertai penyakit kronis degeneratif. Masalah yang
muncul sering tumpang tindih dengan gejala yang sudah lama diderita sehingga
tampilan gejala menjadi tidak jelas. Penyakit degeneratif yang banyak dijumpai pada
pasien geriatri adalah hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, osteoartritis, dan
penyakit kardiovaskular. Penelitian multisenter di Indonesia terhadap 544 pasien
geriatri yang dirawat inap mendapatkan prevalensi hipertensi dan diabetes melitus
sebesar 50,2% dan 27,2%.
Kondisi multipatologi mengakibatkan seorang usia lanjut mendapatkan
berbagai jenis obat dalam jumlah banyak. Terapi non-farmakologi dapat menjadi
pilihan untuk mengatasi masalah pada pasien usia lanjut, namun obat tetap menjadi
pilihan utama sehingga polifarmasi sangat sulit dihindari. Prinsip penggunaan obat
yang benar dan tepat pada usia lanjut harus menjadi kajian multi/ interdisiplin yang
mengedepankan pendekatan secara holistik.
5
2.1.4 Perawatan lansia di komunitas
1. Pendekatan fisik
Perawatan yang memperhatikan obyektif, kebutuhan, kejadian-kejadian
yang dialami klien lanjut semasa hidupnya, perubahan fisik pada organ tubuh,
tingkat kesehatan yang masih bisa dicapai dan dikembangkan, dan penyakit yang
dapat dicegah atau ditekan progrevitasnya.
Perawatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia dapat dibagi atas dua bagian,
yakni:
1) Klien lanjut usia yang masih aktif, yang keadaan fisiknya masih mampu
bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga untuk kebutuhannya sehari-hari
masih mampu melakukan sendiri.
2) Klien lanjut usia yang pasif atau tidak dapat bangun, yang keadaan fisiknya
mengalami kelumpuhan atau sakit, perawat harus mengetahui dasar perawatan
klien lanjut usia ini terutama tentang hal-hal yang berhubungan dengan
keberhasilan perorangan untuk memepertahankan kesehatannya. Kebersihan
perorangan sangat penting dalam usaha menceggah timbulnya peradangan,
mengingat sumber infeksi dapat timbul bila kebersihan kurang mendapat
perhatian.
Di samping itu, kemunduran kondisi fisik akibat proses ketuaan, dapat
mempengaruhi ketahanan tubuh terhadap gangguan atau serangan infeksi dari
luar. Untuk klien lanjut usia yang masih aktif dapat diberikan bimbingan mengenai
kebersihan mulut dan gigi, kebersihan kulit dan badan, kebersihan rambut dan
kuku, kebersihan tempat tidur serta posisi tidurnya, hal makanan, cara memakan
obat, dan cara pindah dari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya. Hal ini penting
karena meskipun tidak selalu, keluhan-keluhan yang dikemukakan atau gejala-
gejala yang ditemukan memerlukan perawatan, tidak jarang para klien lanjut usia
dihadapkan pada dokter dalam keadaan gawat yang memerlukan tindakan darurat
dan intensif.
Adapun komponen pendekatan fisik yang lebih mendasar adalah
memperhatikan dan membantu para klien lanjut usia untuk bernafas dengan
lancar, makan termasuk memilih dan menentukan makanan, minum, melakuan
eliminasi, tidur, menjaga sikap tubuh waktu berjalan, duduk, merubah posisi
tiduran, beristirahat, kebersihan tubuh, memakai dan menukar pakaian,
mempertahankan suhu badan, melindungi kulit dan kecelakaan.
6
Toleransi terhadap kekurangan O2 sangat menurun pada klien lanjut usia,
untuk itu kekurangan O2 yang mendadak harus dicegah dengan posisi bersandar
pada beberapa bantal, jangan makan terlalu banyak dan jangan melakukan gerak
badan yang berlebihan.
2. Pendekatan psikis
Di sini perawat mempunyai peranan penting mengadakan pendekatan
edukatif pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter,
interpreter terhadap segala sesuatu yang asing, sebagai penampung rahasia yang
pribadi dan sebagai sahabat yang akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran
dan waktu yang cukup banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para
lanjut usia merasa puas. Perawat harus selalu memegang prinsip “Tripple S”, yaitu
Sabar, Simpatik, dan Service.
Pada dasarnya klien lanjut usia membutuhkan rasa aman dan cinta kasih
dari lingkungan, termasuk perawat yang memberikan perawatan. Untuk itu perawat
harus selalu menciptakan suasana aman, tidak gaduh, membiarkan mereka
melakukan kegiatan dalam batas kemampuan dan hobi yang dimilikinya. Perawat
harus dapat membangkitkan semangat dan kreasi klien lanjut usia dalam
memecahkan dan mengurangi rasa putus asa, rasa rendah diri, rasa keterbatasan
sebagai akibat dari ketidakmampuan fisik, dan kelainan yang dideritanya.
Hal ini perlu dilakukan karena perubahan psikologi terjadi bersama dengan
berlanjutnya usia. Perubahan-perubahan ini meliputi gejala-gejala, seperti
menurunnya daya ingat untuk peristiwa yang baru terjadi, berkurangnya
kegairahan keinginan, peningkatan kewaspadaan, perubahan pola tidur dengan
suatu kecenderungan untuk tiduran di waktu siang, dan pergeseran libido.
Perawat harus sabar mendengarkan cerita-cerita dari masa lampau yang
membosankan, jangan mentertawakan atau memarahi klien lanjut usia bila lupa
atau kesalahan. Harus diingat, kemunduran ingatan jangan dimanfaatkan untuk
tujuan-tujuan tertentu. Bila perawat ingin mengubah tingkah laku dan pandangan
mereka terhadap kesehatan, perawat bisa melakukannya secara perlahan-lahan
dan bertahap, perawat harus dapat mendukung mental mereka kearah pemuasan
pribadi sehingga seluruh pengalaman yang dilaluinya tidak menambah beban, bila
perlu diusahakan agar di masa lanjut usia ini mereka dapat merasa puas dan
bahagia.
7
3. Pendekatan sosial
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu
upaya perawat dalam pendekatan sosial. Memberikan kesempatan untuk
berkumpul bersama dengan sesama klien lanjut usia berarti menciptakan
sosialisasi mereka. Jadi, pendekatan sosial ini merupakan suatu pegangan bagi
perawat bahwa orang yang dihadapinya adalah makhluk sosial yang membutuhkan
orang lain. Dalam pelaksanaannya perawat dapat menciptakan hubungan social
antara lanjut usia dan lanjut usia dan perawat sendiri.
Perawat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para lanjut
usia untuk mengadakan komunikasi dan melakukan rekreasi, misal jalan pagi,
menonton film, atau hiburan-hiburan lain. Para lanjut usia perlu dirangsang untuk
mengetahui dunia luar, seperti menonton televisi, mendengarkan radio, atau
membaca surat kabar dan majalah. Dapat disadari bahwa pendekatan komunikasi
dalam perawatan tidak kalah pentingnya dengan upaya pengobatan medis dalam
proses penyembuhan atau ketenangan para klien lanjut usia.
Sebagian besar klien tidak dapat tidur karena stress, stress memikirkan
penyakit, biaya hidup, keluarga yang di rumah sehingga menimbulkan
kekecewaan, ketakutan atau kekhawatiran, dan rasa kecemasan. Untuk
menghilangkan rasa jemu dan menimbulkan perhatian terhadap sekelilingnya perlu
diberi kesempatan kepada lanjut usia untuk menikmati keadaan di luar, agar
merasa masih ada hubungan dengan dunia luar. Tidak jarang terjadi pertengkaran
dan perkelahian di antara lanjut usia (terutama yang tinggal dipanti werda), hal ini
dapat diatasi dengan berbagai usaha, antara lain selalu mengadakan kontak
dengan mereka, senasib dan sepenanggungan, dan punya hak dan kewajiban
bersama. Dengan demikian perawat tetap mempunyai hubungan komunikasi baik
sesama mereka maupun terhadap mempunyai hubungan komunikasi baik sesama
mereka maupun terhadap petugas yang secara langsung berkaitan dengan
pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia dipanti werda.
4. Pendekatan spiritual
Perawat harus bias memberikan ketentuan dan kepuasan batin dalam
hubungannya dengan tujuan atau agama yang dianutnya, terutama bila klien lanjut
usia dalam keadaan sakit atau mendekati kematian.sehubungan dengan
pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang menekati kematian, DR Toni
Setyobudhi mengemukakan bahwa maut sering kali menggugah rasa takut. Rasa
takut semacam ini di dasari oleh berbagai macam faktor seperti, ketidakpastian
8
pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit/penderitaan yang sering menyertainya,
dan kegelisahan untuk tidak kumpul lagi dengan keluarga/lingkungan sekitarnya.
Dalam menghadapi kematian, setiap klien lanjut usia akan memberikan
reaksi-reaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara mereka
menghadapi hidup ini. Sebab itu, perawat harus meneliti dengan cermat di
manakah letak kelemahan dan di mana letak kekuatan klien, agar perawat
selanjutnya akan lebih terarah lagi. Bila kelemahan terletak pada segi spiritual,
sudah seelayaknya perawat dan tim berkewajiban mencari upaya agar klien lanjut
usia ini dapat diringankan penderitaannya. Perawat bisa memberikan kesempatan
pada klien lanjut usia untuk melaksanakan ibadahnya, atau secara langsung
memberikan bimbingan rohani dengan menganjurkan melaksanakan ibadahnya
seperti membaca kitab atau membantu lanjut usia dalam menunaikan kewajiban
terhadap agama yang dianutnya.
Apabila kegelisahan yang timbul disebabkan oleh persoalan keluarga, maka
perawat harus dapat meyakinkan lanjut usia bahwa keluarga tadi ditinggalkan,
masih ada orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan bila ada rasa bersalah
yang menghantui pikiran lanjut usia, segera perawat segera menghubungi seorang
rohaniawan untuk dapat mendampingi lanjut usia dan mendengarkan keluhan-
keluhannya maupun pengakuan-pengakuannya. Umumnya pada waktu kematian
akan datang, agama atau kepercayaan seseorang merupakan faktor yang penting
sekali. Pada waktu inilah kehadiran seorang imam sangat perlu untuk
melapangkan dada klien lanjut usia. Dengan demikian pendekatan perawat lanjut
usia bukan hanya terhadap fisik, yakni membantu mereka dalam keterbatasan fisik
saja, melainkan perawat lebih dituntut menemukan pribadi klien lanjut usia melalui
agama mereka.
2.1.4 Gangguan Kesehatan Pada Lansia
Banyak terjadi kemunduran pada fungsi fisiologis lansia sehingga berakibat
pada munculnya berbagai macam gangguan kesehatan. Nugroho (2000) menyatakan
gangguan kesehatan yang biasa dialami oleh lansia yaitu:
1. Masalah fisik umum
Masalah fisik umum yang biasa dialami oleh lansia adalah mudah jatuh dan
mudah lelah. Banyak faktor yang menyebabkan lansia mudah jatuh. Faktor
instrinsik yang menyebabkan lansia mudah jatuh adalah gangguan gaya berjalan,
kelemahan otot ekstrimitas bawah, kekakuan sendi, dan sinkope atau pusing.
9
Faktor ekstrinsik misalnya lantai yang terlalu licin dan tidak rata, tersandung
benda, dan cahaya kurang terang.
Mudah lelah pada lansia disebabkan oleh faktor psikologi (perasaan bosan,
keletihan, dan depresi), pengaruh obat, gangguan organis yang meliputi anemia,
kekurangan vitamin, perubahan pada tulang (Osteomalasia), gangguan
pencernaan, kelainan metabolisme (diabetes militus, hipertiroid), gangguan ginjal
dengan uremia, gangguan faal hati, gangguan sistem peredaran darah dan
jantung.
2. Gangguan kardiovaskuler
Jantung dan pembuluh darah memberikan oksigen dan nutrien pada setiap sel
hidup yang diperlukan untuk bertahan hidup. Penurunan fungsi kardiovaskuler
akan berdampak pada fungsi yang lainnya. Peningkatan usia menyebabkan
jantung dan pembuluh darah mengalami perubahan baik secara struktural maupun
fungsional. Secara umum, perubahan yang disebabkan oleh penuaan berlangsung
lambat dan tidak disadari (Steanly & Beare, 2007). Perubahan pada sistem
kardiovaskuler meliputi:
a. Ventrikel kiri menebal.
b. Katup jantung menebal dan membentuk penonjolan.
c. Jumlah sel peacemaker yang berfungsi menghasilkan impuls listrik menurun.
d. Arteri menjadi kaku dan tidak lurus pada kondisi dilatasi (pelebaran atau
peregangan struktur tabular).
e. Vena mengalami dilatasi, katup menjadi tidak kompeten.
Manifestasi klinis penuaan pada sistem kardiovaskuler menurut (Steanly & Beare,
2007) adalah:
a. Tekanan darah tinggi
Takanan darah tinggi atau hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya
penyakit kardiovaskuler. Kombinasi hipertensi dengan diabetes atau
hiperlipidemia semakin meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler. Hipertensi
dibagi menjadi dua yaitu:
1. Hipertensi esensial
2. Hipertensi non esensial
Hampir 90% tekanan darah tinggi tergolong tekanan darah tinggi esensial atau
tekanan darah tinggi yang tidak diketahui penyebabnya. Tekanan darah tinggi
esensial biasanya menyerang anak muda. Tekanan darah tinggi untuk lansia
cenderung hipertensi non esensial.
10
b. Aterosklerosis
Aterosklerosis merupakan proses patofisiologis yang paling sering
mempengaruhi fungsi kardiovaskuler. Aterosklerosis adalah proses penyakit
yang secara umum memiliki dampak pada hampir semua arteri. Aterosklerosis
pada lansia dan orang masih muda hampir sama, akan tetapi dampak pada
lansia lebih berat karena proses akumulasi yang lebih lama (Steanly & Beare,
2007).
c. Disritmia
Disritmia meningkat pada lansia karena perubahan struktural dan fungsional
pada proses penuaan. Disritmia dipicu oleh tidak terkoordinasinya jantung dan
sering dimanifestasikan sebagai perubahan perilaku, palpitasi, sesak napas,
keletihan, dan jatuh (Steanly & Beare, 2007). Gangguan kardiovaskuler dapat
berupa nyeri dada, sesak napas pada kerja fisik, palpitasi, dan edema kaki
(Nugroho, 2010).
3. Berat badan menurun
Berat badan menurun pada lansia disebaban oleh:
a. Nafsu makan menurun karena kurang adanya gairah hidup atau kelesuan.
b. Penyakit kronis.
c. Gangguan pada saluran pencernaan sehingga penyerapan makanan
terganggu.
d. Faktor sosio ekonimis (pensiunan).
4. Gangguan eliminasi
Gangguan eliminasi lansia terkait dengan gangguan pada sistem ekskresi pada
tubuh manusia, meliputi:
a. Gangguan pada sistem alat kemih
Penyimpanan dan pengeluaran urin dalam interval yang sesuai adalah suatu
proses koordinasi volunter dan involunter yang rumit. Sistem tersebut harus
utuh secara fisik, neurologis, harus terdapat kesadaran kognitif, keinginan untuk
berkemih, dan tempat serta situasi yang tepat untuk melakukannya (Staenly &
Beare, 2007).
Perubahan yang biasa menyertai penuaan adalah kapasitas kandung kemih
yang lebih kecil, peningkatan volume residu, dan kontraksi kandung kemih yang
tidak disadari. Perubahan yang terjadi pada wanita lansia adalah penurunan
produksi estrogen menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek setelah
melahirkan dapat dilihat pada melemahnya otot dasar panggul. Perubahan
11
pada lansia pria adalah hipertrofi prostat menyebabkan tekanan pada leher
kandung kemih dan uretra (Staenly & Beare, 2007).
Pemeriksaan mikroskopik ginjal lansia menunjukkan hanya 30% ginjal yang
utuh. Kondisi seperti itu menyebabkan daya kerja ginjal berkurang. Gangguan
pada sistem alat kemih biasa ditandai dengan:
1) Inkontinensia urin
Inkontinensia urin (gangguan terlalu sering kencing) dihubungkan dengan
keinginan yang kuat dan mendesak untuk berkemih dengan kemampuan
yang kecil untuk menunda berkemih. Proses inkontinensia uri terjadi apabila
kandung kemih hampir penuh sebelum kebutuhan untuk berkemih dirasakan
sehingga berakibat sebagian kecil sampai sedang urin keluar sebelum
seseorang mencapai toilet (Staenly & Beare, 2007).
Nugroho (2000) menyatakan penyebab inkontinensia uri adalah:
a. Melemahnya otot dasar panggul yang menyangga kendung kemih dan
memperkuat sfingter uretra.
b. Konstraksi abnormal pada kandung kemih.
c. Obat diuretik dan obat penenang yang terlalu banyak.
d. Radang kandung kemih dan saluran kemih.
e. Kelainan kontrol dan persarafan pada kandung kemih.
f. Hipertrofi prostat.
g. Faktor psikologi.
2) Retensio urine
Retensio urine adalah suatu keadaan penumpukan urin dikandung kemih
dan tidak mempunyai kemampuan untuk mengosongkan secara sempurna
(Staenly & Beare, 2007). Tanda dan gejala dalam retensio urine adalah:
a) Urin mengalir lambat.
b) Poliuria yang makin lama menjadi parah karena pengosongan kendung
kemih tidak efisien.
c) Distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih.
d) Terasa ada tekanan.
b. Inkontinensia alvi
Incontinensia alvi adalah ketidakmampuan untuk mengontrol buang air besar
yang menyebabkan tinja (feses) bocor tidak terduga dari dubur. Kondisi
tersebut dapat terjadi karena penurunan fungsi usus yang sebelumya bertugas
sebagai penyerap dan pengeluaran feses (Staenly & Beare, 2007).
12
5. Gangguan pada sistem muskuloskeletal
Perubahan normal muskuloskeletal pada lansia meliputi penurunan tinggi badan,
redistribusi massa otot dan lemak subkutan, peningkatan porositas tulang, atrofi
otot, pergerakan yang lambat, pengurangan kekuatan, dan kekauan sendi (Staenly
& Beare, 2007). Masalah muskuloskeletal yang sering terjadi adalah:
a. Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu kondisi penurunan massa tulang secara
keseluruhan sehingga seseorang tidak mampu berjalan atau bergerak.
Osteoposisis sering ditemukan pada wanita, walaupun pria juga masih
mengalami osteoporosis. Hilangnya substansi tulang menyebabkan tulang
menjadi lemah secara mekanis dan cenderung untuk mengalami fraktur baik
spontan maupun akibat trauma. Ketika kemampuan menahan berat badan
normal menurun atau tidak ada sebagai konsekuensi dari penurunan atau
gangguan mobilitas maka akan terjadi osteoporosis karena tulang jarang
digunakan (Staenly & Beare, 2007).
b. Osteoartritis
Osteoartritis adalah gangguan yang berkembang secara lambat, tidak simetris,
dan non inflamasi. Osteoarthritis terjadi pada sendi yang dapat digerakkan
khususnya pada sendi yang menahan berat tubuh. Kerusakan sendi akibat
penuaan memainkan peranan dalam perkembangan osteoartritis (Staenly &
Beare, 2007).
c. Artritis reumatoid (penyakit radang sendi)
Staenly & Beare (2007) menyatakan artritis reumatoid (AR) adalah penyakit
inflamasi artikuler yang paling sering pada lansia. AR adalah suatu penyakit
kronis sistemik yang berkembang secara perlahan dan ditandai oleh adanya
radang yang sering kambuh pada sendi diartrodial dan struktur yang
berhubungan. AR sering disertai dengan nodul reumatoid, arthritis (radang
sendi), neuropati (gangguan saraf), skleritis (radang pada bagian putih mata),
perikarditis (radang pada perikardium), limfadenopati (pembesaran kelenjar
getah bening), dan splenomegali (pembesaran limfa).
6. Gangguan fungsi paru dan jantung
Hubungan antara jantung dan paru sangat dekat sehingga apabila salah satu
terganggu maka akan menganggu fungsi yang lainnya. Paru memiliki struktur
gelembung sangat halus yang dinamakan alveolus, apabila terjadi kerusakan pada
alveolus tersebut maka akan menyebabkan darah antara paru dan jantung
13
terbendung. Gejala yang timbul apabila terjadi penyakit paru yaitu; batuk, sesak
nafas, kulit membiru karena kekurangan oksigen, dan sakit dada.
2.2 Hipertensi pada Lansia
2.2.1 Pengertian
Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah diastolik dan sistolik
yang intermiten atau menetap. Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai
tekanan sistolik 140 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001).Menurut
WHO ( 1978 ), tekanan darah sama dengan atau diatas 140 / 95 mmHg dinyatakan
sebagai hipertensi. Pada Populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan
sistolik 140 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Brunner & Suddarth, 1996).
2.2.2 Klasifikasi Hipertensi
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi :
1) Hipertensi primer atau esensial
Penyebab pasti masih belum diketahui. Jenis ini adalah yang terbanyak, yaitu
sekitar 90-95% dari seluruh pasien hipertensi. Riwayat keluarga,obesitas,diit tinggi
natrium,lemak jenuh dan penuaan adalah faktor pendukung. Walaupun faktor
genetik sepertinya sangat berhubungan dengan hipertensi primer, tapi mekanisme
pastinya masih belum diketahui.
2) Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder akibat penyakit ginjal atau penyebab yang terindentifikasi
lainya. Hipertensi yang penyebabnya diketahui seperti hipertensi renovaskuler,
feokromositoma, sindrom cushing, aldosteronisme primer, dan obat-obatan, yaitu
sekitar 2-10% dari seluruh pasien hipertensi.
Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Pedoman Joint National Committee 7
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal
Normal
115 atau kurang
< 120
75 atau kurang
< 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi stage I 140-159 90-99
Hipertensi stage II ≥ 160 ≥ 100
Berdasarkan klasifikasi dari JNC-VI maka hipertensi pada usia lanjut dapat dibedakan:
14
Hipertensi sistolik saja (Isolated systolic hypertension), terdapat pada 6-12%
penderita di atas usia 60th, terutama pada wanita. Insioden meningkat seiring
bertambahnya umur
Hipertensi diastolic saja (Diastolic hypertension), terdapat antara 12-14% penderita
di atas usia 60th, terutama pada pria. Insidensi menurun seiring bertambahnya
umur.
Hipertensi sistolik-diastolik: terdapat pada 6-8% penderita usia di atas 60 th, lebih
banyak pada wanita. Menningkat dengan bertambahnya umur.
2.2.3 Etiologi Hipertensi
Dengan perubahan fisiologis normal penuaan, faktor resiko hipertensi lain
meliputi diabetes ras riwayat keluarga jenis kelamin faktor gaya hidup seperti obesitas
asupan garam yang tinggi alkohol yang berlebihan.
Faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat atau tidak dapat
dikontrol, antara lain:
a. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:
Faktor risiko yang tidak dapat diubah, seperti riwayat keluarga (genetik
kromosomal), umur (pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun), jenis kelamin pria atau
wanita pasca menopause.
Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita.Namun
wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita
yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang
berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar
kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah
terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai
penjelasan adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada
premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen
yang selama ini melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus
berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai
dengan umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita
umur 45-55 tahun.
Dari hasil penelitian didapatkan hasil lebih dari setengah penderita
hipertensi berjenis kelamin wanita sekitar 56,5%.Hipertensi lebih banyak terjadi
pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak menyerang
15
wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah wanita.
Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah menopause.
Umur
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi
orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari
orang yang berusia lebih muda. Hipertensi pada usia lanjut harus ditangani
secara khusus. Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai
menurun, karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-benar tepat. Tetapi
pada kebanyakan kasus , hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut. hipertensi
sering terjadi pada usia pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun. Hal ini
disebabkan terjadinya perubahan hormon sesudah menopause. Hanns Peter
(2009) mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah
produk samping dari keausan arteriosklerosis dari arteri-arteri utama, terutama
aorta, dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan mengerasnya arteri-
arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu kehilangan daya
penyesuaian diri.
Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akanmenyebabkan
keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan
dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara
potasium terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi
mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada
orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Seseorang
akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika
orang tuanya adalah penderita hipertensi.
b. Faktor resiko yang dapat dikontrol:
Obesitas
Pada usia + 50 tahun dan dewasa lanjut asupan kalori mengimbangi
penurunan kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya berat
badan meningkat. Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia. Kelompok
lansia dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan
pembuluh darah, hipertensi. Indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung
dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk
menderita hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
16
seorang yang berat badannya normal. Pada penderita hipertensi ditemukan
sekitar 20-30% memiliki berat badan lebih.
Kurang Olahraga.
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak
menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan
perifer yang akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih
otot jantung sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan
pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi tertentu Kurangnya aktivitas
fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk
menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak
jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada
setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus memompa semakin
besar pula kekuaan yang mendesak arteri.
Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat
dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko
terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis.
Mengkonsumsi garam berlebih
Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO)
merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko
terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak lebih
dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi
natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan
ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke
luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume
cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah,
sehingga berdampak kepada timbulnya hipertensi.
Minum alkohol
Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak jantung
dan organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan minum alkohol
berlebihan termasuk salah satu faktor resiko hipertensi.
Minum kopi
Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi
mengandung 75 – 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut
berpotensi meningkatkan tekanan darah 5 -10 mmHg.
17
Stress
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf
simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten
(tidak menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan
darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka
kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di
pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami
kelompok masyarakat yang tinggal di kota. Menurut Anggraini (2009)
mengatakan stres akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan
curah jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Adapun
stres ini dapat berhubungan dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan
karakteristik personal.
2.2.4 Patofisiologi Hipertensi (Terlampir)
2.2.5 Tanda Gejala Hipertensi
Seperti penyakit degeneratif pada lanjut usia lainnya, hipertensi sering tidak
memberikan gejala apapun atau gejala yang timbul tersamar (insidious) atau
tersembunyi (occult). Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa pasien
yang menderita hipertensi yaitu : Mengeluh sakit kepala, pusing Lemas, kelelahan,
Sesak nafas, Gelisah, Mual Muntah, Epistaksis, Kesadaran menurun
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang Hipertensi
a. Hemoglobin / hematokrit
Untuk mengkaji hubungan dari sel – sel terhadap volume cairan (viskositas) dan
dapat mengindikasikan factor – factor resiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia.
b. BUN : memberikan informasi tentang perfusi ginjal
c. Glukosa
Hiperglikemi (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan oleh
peningkatan katekolamin (meningkatkan hipertensi).
d. Kalium serum
Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama (penyebab) atau
menjadi efek samping terapi diuretik.
e. Kalsium serum
Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi.
f. Kolesterol dan trigliserid serum
18
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk / adanya
pembentukan plak ateromatosa ( efek kardiovaskuler )
g. Pemeriksaan tiroid.
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi.
h. Kadar aldosteron urin/serum
Untuk mengkaji aldosteronisme primer ( penyebab ).
i. Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau adanya diabetes.
j. Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi.
k. Steroid urin
Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
l. IVP
Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit parenkim ginjal, batu
ginjal / ureter.
m. Foto dada
Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung.
n. CT scan
Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati.
o. EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi,
peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
2.2.7 Komplikasi Hipertensi
Pasien dengan hipertensi dapat meninggal dengan cepat; penyebab tersering
kematian adalah penyakit jantung, sedangkan stroke dan gagal ginjal sering
ditemukan, dan sebagian kecil pada pasien dengan retinopati.
a. Komplikasi pada Sistem Kardiovaskuler
Kompensasi akibat penambahan kerja jantung dengan peningkatan tekanan
sistemik adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang ditandai dengan penebalan dinding
ventrikel. Hal ini menyebabkan fungsi ventrikel memburuk, kapasitasnya membesar
dan timbul gejala-gejala dan tanda-tanda gagal jantung. Angina pektoris dapat
timbul sebagai akibat dari kombinasi penyakit arteri koronaria dan peningkatan
kebutuhan oksigen miokard karena penambahan massanya.
19
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pembesaran jantung dengan denyut
ventrikel kiri yang menonjol. Suara penutupan aorta menonjol dan mungkin
ditemukan murmur dari regurgitasi aorta. Bunyi jantung presistolik (atrial, keempat)
sering terdengar pada penyakit jantung hipertensif, dan bunyi jantung protodiastolik
(ventrikuler, ketiga) atau irama gallop mungkin saja ditemukan. Pada
elektrokardiogram, ditemukan tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri. Bila penyakit
berlanjut, dapat terjadi iskemi dan infark. Sebagian besar kematian dengan
hipertensi disebabkan oleh infark miokard atau gagal jantung kongestif. Data-data
terbaru menduga bahwa kerusakan miokardial mungkin lebih diperantarai oleh
aldosteron pada asupan garam yang normal atau tinggi dibandingkan hanya oleh
peningkatan tekanan darah atau kadar angiotensin II.
b. Efek Neurologik
Efek neurologik pada hipertensi lanjut dibagi dalam perubahan pada retina
dan sistem saraf pusat. Karena retina adalah satu-satunya jaringan dengan arteri
dan arteriol yang dapat langsung diperiksa, maka dengan pemeriksaan
optalmoskopik berulang memungkinkan pengamatan terhadap proses dampak
hipertensi pada pembuluh darah retina.
Efek pada sistem saraf pusat juga sering terjadi pada pasien hipertensi.
Sakit kepala di daerah oksipital, paling sering terjadi pada pagi hari, yang
merupakan salah satu dari gejala-gejala awal hipertensi. Dapat juga ditemukan
’keleyengan’, kepala terasa ringan, vertigo, tinitus dan penglihatan menurun atau
sinkope, tapi manifestasi yang lebih serius adalah oklusi vaskuler, perdarahan atau
ensefalopati. Patogenesa dari kedua hal pertama sedikit berbeda. Infark serebri
terjadi secara sekunder akibat peningkatan aterosklerosis pada pasien hipertensi,
dimana perdarahan serebri adalah akibat dari peningkatan tekanan darah dan
perkembangan mikroaneurisma vaskuler serebri (aneurisma Charcot-Bouchard).
Hanya umur dan tekanan arterial diketahui berpengaruh terhadap perkembangan
mikroaneurisma.
Ensefalopati hipertensi terdiri dari gejala-gejala : hipertensi berat, gangguan
kesadaran, peningkatan tekanan intrakranial, retinopati dengan papiledem dan
kejang. Patogenesisnya tidak jelas tapi kemungkinan tidak berkaitan dengan
spasme arterioler atau udem serebri. Tanda-tanda fokal neurologik jarang
ditemukan dan jikalau ada, lebih dipikirkan suatu infark / perdarahan serebri atau
transient ischemic attack.
20
Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada retina
berupa retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya tidak beraturan, eksudat
pada retina, edema retina dan perdarahan retina. Kelainan pembuluh darah dapat
berupa penyempitan umum atau setempat, percabangan pembuluh darah yang
tajam, fenomena crossing atau sklerosis pembuluh darah.
c. Efek pada Ginjal
Lesi aterosklerosis pada arteriol aferen dan eferen serta kapiler glomerulus
adalah lesi vaskuler renal yang paling umum pada hipertensi dan berakibat pada
penurunan tingkat filtrasi glomerulus dan disfungsi tubuler. Proteinuria dan
hematuria mikroskopik terjadi karena lesi pada glomerulus dan ± 10 % kematian
disebabkan oleh hipertensi akibat gagal ginjal. Kehilangan darah pada hipertensi
terjadi tidak hanya dari lesi pada ginjal; epitaksis, hemoptisis dan metroragi juga
sering terjadi pada pasien-pasien ini.
2.3 Asuhan Keperawatan Lansia
Kegiatan asuhan keperawatan pada lansia, dimaksudkan untuk memberikan
bantuan, bimbingan, pengawasan, perlindungan dan pertolongan kepada lanjut
usia secara individu maupun kelompok, seperti di rumah/lingkungan keluarga,
Panti Werda maupun Puskesmas, yang di berikan perawat. Untuk asuhan
keperawatan yang masih dapat dilakukan oleh anggota keluarga atau petugas
sosial yang bukan tenaga keperawatan, diperlukan latihan sebelumnya atau
bimbingan langsung pada waktu tenaga keperawatan melakukan asuhan
keperawatan di rumah atau panti. Adapun asuhan keperawatan dasar yang di
berikan, disesuaikan pada kelompok lanjut usia, apakah lanjut usia aktif atau pasif,
antara lain :
1. Untuk lanjut usia yang masih aktif, asuhan keperawatan dapat berupa
dukungan tentang personal hygine, kebersihan lingkungan serta makanan
yang sesuai dan kesegaran jasmani.
2. Untuk lanjut usia yang telah mengalami pasif, yang tergantung pada orang
lain. Hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan asuhan keperawatan
pada lanjut usia pasif pada dasarnya sama sama seperti pada lanjut usia aktif,
dengan bantuan penuh oleh anggota keluarga atau petugas. Khususnya bagi
yang lumpuh, perlu dicegah agar tidak terjadi dekubitus.
Pendekatan asuhan keperawatan yang dapat dilakukan untuk masalah
keperawatan pada lansia dapat dilakukan melalui pendekatan promotif maupun
preventif.
21
2.3.1 Pendekatan promotif
Pencegahan promotif dengan menggunakan pendekatan komunitas
dapat dilakukan dengan membentuk kelompok masyarakat yang peduli pada
bahaya hipertensi dengan melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk
mampu mendeteksi dini hipertensi dan melakukan berbagai kegiatan untuk
menurunkan risiko kejadian hipertensi.
Selain itu juga dapat melalui program promosi kesehatan di tingkat
puskesmas yaitu salah satunya adalah Program Posbindu (Pos Pembinaan
Terpadu) bagi masyarakat tingkat RW yang berusia 45 tahun ke atas. Dalam
program ini yang dilakukan sebulan sekali salah satu kegiatannya adalah
memeriksa tekanan darah peserta secara rutin. Jika ada peserta yang
menderita hipertensi oleh petugas puskesmas diberikan penyuluhan dan
dianjurkan untuk berobat ke puskesmas.
2.3.2 Pendekatan preventif
3. Preventif primer
Tindakan preventif (pencegahan) primer merupakan pencegahan sejati yang
mendahului suatu penyakit dan diterapkan pada individu yang sehat secara fisik
dan emosional. Program ini mencakup pendidikan kesehatan dan aktifitas
kebugaran fisik serta nutrisional yang dapat diberikan secara individual maupun
kelompok atau dapat pula berfokus pada individu yang berisiko untuk memperoleh
penyakit tertentu. Pencegahan primer mencakup seluruh usaha promosi kesehatan
dan aktivitas pendidikan kesejahteraan yang berfokus pada pemeliharaan atau
peningkatan kesehatan keseluruhan dari individu, keluarga dan komunitas
(Potter&Perry, 2009)..
Pencegahan primer yaitu upaya awal pencegahan sebelum seseorang
menderita hipertensi, dimana dilakukan penyuluhan faktor-faktor risiko hipertensi
terutama pada kelompok risiko tinggi. Tujuan pencegahan primer adalah untuk
mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab
penyakit dan faktor-faktor risikonya.
Upaya-upaya yang dilakukan dalam pencegahan primer terhadap hipertensi antara
lain:
1. Pola Makan yang Baik
a. Mengurangi asupan garam dan lemak tinggi
22
Terlalu banyak mengonsumsi garam dapat meningkatkan tekanan darah
hingga ke tingkat yang membahayakan. Panduan terkini dari British
Hypertension Society menganjurkan asupan natrium dibatasi sampai kurang
dari 2,4 gram sehari. Jumlah tersebut setara dengan 6 gram garam, yaitu
sekitar 1 sendok teh per hari. Penting untuk diingat bahwa banyak natrium
(sodium) tersembunyi dalam makanan, terutama makanan yang diproses.
Mengurangi asupan garam <100 mmol/hari (2,4 gram natrium atau 6 gram
garam) bisa menurunkan TDS 2-8 mmHg. Lemak dalam diet meningkatkan
risiko terjadinya atherosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan
darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan
yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh
secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain
yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah.
Mengurangi diet lemak dapat menurunkan tekanan darah TDS/TDD 6/3
mmHg.
b. Meningkatkan konsumsi sayur dan buah
Jenis makanan ini sangat baik untuk melawan penyakit hipertensi. Dengan
mengonsumsi sayur dan buah secara teratur dapat menurunkan risiko
kematian akibat hipertensi, stroke, dan penyakit jantung koroner,
menurunkan tekanan darah, dan mencegah kanker. Sayur dan buah
mengandung zat kimia tanaman (phytochemical) yang penting seperti
flavonoids, sterol, dan phenol. Mengonsumsi sayur dan buah dengan teratur
dapat menurunkan tekanan darah TDS/TDD 3/1 mmHg.
2. Perubahan Gaya Hidup
a. Olahraga teratur
Olahraga sebaiknya dilakukan teratur dan bersifat aerobik, karena kedua
sifat inilah yang dapat menurunkan tekanan darah. Olahraga aerobik
maksudnya olahraga yang dilakukan secara terus-menerus dimana
kebutuhan oksigen masih dapat dipenuhi tubuh, misalnya jogging, senam,
renang, dan bersepeda. Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang
meningkatkan pengeluaran tenaga dan energi (pembakaran kalori). Aktivitas
fisik sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya 30 menit perhari dengan baik
dan benar. Salah satu manfaat dari aktivitas fisik yaitu menjaga tekanan
darah tetap stabil dalam batas normal. Contoh dari aktivitas fisik yang dapat
menjaga kestabilan tekanan darah misalnya turun bus lebih awal menuju
23
tempat kerja yang kira-kira menghabiskan 20 menit berjalan kaki dan saat
pulang berhenti di halte yang menghabiskan kira-kira 10 menit berjalan kaki
menuju rumah, atau membersihkan rumah selama 10 menit, dua kali dalam
sehari ditambah 10 menit bersepeda, dan lain-lain. Melakukan olahraga
secara teratur dapat menurunkan tekanan darah sistolik 4-8 mmHg. Latihan
fisik isometrik seperti angkat besi dapat meningkatkan tekanan darah dan
harus dihindari pada penderita hipertensi. Di usia tua, fungsi jantung dan
pembuluh darah akan menurun, demikian juga elastisitas dan kekuatannya.
Tetapi jika berolahraga secara teratur, maka sistem kardiovaskular akan
berfungsi maksimal dan tetap terpelihara.
b. Menghentikan rokok
Tembakau mengandung nikotin yang memperkuat kerja jantung dan
menciutkan arteri kecil hingga sirkulasi darah berkurang dan tekanan darah
meningkat. Berhenti merokok merupakan perubahan gaya hidup yang paling
kuat untuk mencegah penyakit kardiovaskular pada penderita hipertensi.
c. Membatasi konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol dalam jumlah sedang sebagai bagian dari pola makan
yang sehat dan bervariasi tidak merusak kesehatan. Namun demikian,
minum alkohol secara berlebihan telah dikaitkan dengan peningkatan
tekanan darah. Pesta minuman keras (binge drinking) sangat berbahaya
bagi kesehatan karena alkohol berkaitan dengan stroke. Wanita sebaiknya
membatasi konsumsi alkohol tidak lebih dari 14 unit per minggu dan laki-laki
tidak melebihi 21 unit perminggu. Menghindari konsumsi alkohol bisa
menurunkan TDS 2-4 mmHg.
3. Mengurangi Kelebihan Berat Badan
Di antara semua faktor risiko yang dapat dikendalikan, berat badan adalah salah
satu yang paling erat kaitannya dengan hipertensi. Dibandingkan dengan yang
kurus, orang yang gemuk lebih besar peluangnya mengalami hipertensi.
Penurunan berat badan pada penderita hipertensi dapat dilakukan melalui
perubahan pola makan dan olahraga secara teratur. Menurunkan berat badan
bisa menurunkan TDS 5-20 mmHg per 10 kg penurunan BB.
4. Preventif sekunder
Pencegahan sekunder berfokus pada individu yang mengalami masalah
kesehatan atau penyakit dan berisiko mengalami komplikasi atau kondisi yang
24
memburuk. Aktivitas diarahkan pada diagnosis dan terapi sedini mungkin sehingga
menurunkan keparahan dan memungkinkan individu kembali ke tingkat kesehatan
yang normal segera mungkin. Ini termasuk teknik skrining dan penanganan stadium
awal penyakit untuk membatasi kecacatan dengan menunda konsekuensi dari
penyakit yang lanjut (Potter&Perry, 2009). Adapun pencegahan sekunder yang
dapat dilakuakan antara lain:
a. Pemeriksaan berkala
Pengukuran Tekanan Darah
Mengendalikan tensi secara teratur agar tetap stabil
b. Pengobatan/Perawatan
Pengobatan segera
Menghindari komplikasi
Menstabilkan tekanan darah
Memperkecil efek samping pengobatan
Mengobati penyakit penyerta seperti; DM, PJK, dll
Menghindari faktor risiko hipertensi media pencegahan hipertensi
5. Preventif tersier
Pencegahan tersier dilakukan sesudah terdapat gejala penyakit dan cacat,
mencegah cacat bertambah dan ketergantungan, serta perawatan bertahap.
Sistem ini dilakukan setelah sistem ditangani dengan strategi-strategi pencegahan
sekunder. Pencegahan ini difokuskan pada perbaikan kembali kearah stabilisasi
sistem klien secara optimal. Tujuan utamanya adalah utnuk memperkuat resistensi
terhadap stressor untuk mencegah reaksi timbul kembali atau regresi, sehingga
dapat mempertahankan energy. Pencegahan sekunder cenderung untuk kembali
pada pencegahan primer. Ada beberapa tahap perawatan tersier yaitu :
a. Perawatan di rumah sakit
b. Rehabilitasi pasien rawat jalan
c. Perawatan jangka panjang
Sedangkan jenis pelayanan tersier adalah sebagai berikut :
a. Mencegah berkembangnya gejala dengan menfasilitasi rehabilitasi dan
membatasi ketidakmampuan akibat kondisi kronis.
b. Mendukung usaha untuk mempertahankan kemampuan berfungsi
2.4 Intervensi Non Farmakologi Yang Diberikan
25
2.4.1 Telaah Jurnal Perbedaan Penurunan Tekanan Darah Sistolik Lanjut Usia
Hipertensi Yang Diberi Jus Tomat (Lycopersicum Commune) Dengan Kulit
Dan Tanpa Kulit
Abstrak
Latar Belakang : Hipertensi meningkatkan peluang terjadinya penyakit ginjal dan
kardiovaskuler serta gangguan sistem saraf dan retinopati. Likopen berperan dalam
menurunkan tekanan darah dengan cara mencegah penebalan dan pengerasan
dinding arteri dengan mengendalikan tonus otot polos pembuluh darah.
Tujuan : Menganalisis perbedaan penurunan tekanan darah sistolik lanjut usia
hipertensi yang diberi jus tomat (Lycopersicum commune) dengan kulit dan tanpa kulit.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimental dengan rancangan
pre-post grup design. Subyek penelitian ini adalah 34 lanjut usia hipertensi yang
memiliki tekanan darah sistolik 120 – 190 mm Hg. Subyek dibagi menjadi 2 kelompok
yaitu kelompok perlakuan I (jus tomat dengan kulit) dan kelompok perlakuan II (jus
tomat tanpa kulit) dengan dosis 150 g tomat yang diblanch, air 50 ml, dan gula 2 g
selama 7 hari. Uji normalitas menggunakan uji Saphiro-Wilk. Uji Wilcoxon untuk
melihat perbedaan tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah perlakuan pada kedua
kelompok karena distribusi data tidak normal. Data perbedaan penurunan tekanan
darah sistolik diuji dengan Mann-Whitney karena distribusi data tidak normal.
Hasil : Pada kelompok perlakuan I rata-rata tekanan darah sistolik sebelum perlakuan
144,71 + 18,07 mmHg menjadi 134,71 + 17,72 mmHg setelah perlakuan sehingga
terjadi penurunan tekanan darah sistolik sebesar 10,00 + 7,91 mmHg dengan p=0,001.
Sedangkan pada kelompok perlakuan II rata-rata tekanan darah sistolik sebelum
perlakuan 140,59 + 20,45 mmHg menjadi 134,71 + 15,46 mmHg setelah perlakuan
sehingga terjadi penurunan tekanan darah sistolik sebesar 5,88 + 7,12 mmHg dengan
p=0,008. Uji Man-Whitney menunjukkan penurunan tekanan darah sistolik kedua
kelompok memiliki p=0,218.
Kesimpulan : Terdapat penurunan tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah
perlakuan pada masing-masing kelompok (p<0.05), tetapi antara kelompok I dan II
tidak terdapat perbedaan penurunan tekanan darah sistolik yang bermakna (p>0,05).
Kata kunci : Jus tomat dengan kulit; jus tomat tanpa kulit; hipertensi; lanjut usia
Pendahuluan
Hipertensi atau sering disebut penyakit darah tinggi merupakan salah satu
masalah/penyakit yang sedang dihadapi oleh penduduk Indonesia saat ini. Pada tahun
2007 diketahui prevalensi hipertensi di Indonesia mencapai 31,7% (DEPKES RI,
26
2008). Di Wilayah provinsi jawa timur, khususnya di daerah kota malang kelurahan
bareng RW 4 terdapat sebagian besar lansianya menderita hipertensi yaitu sebasar
40 lansia (65%). Dengan rata-rata tekanan sistoliknya ≥ 140 mmHg.
Hipertensi merupakan kondisi tekanan darah tinggi pada pembuluh darah arteri
yang berlangsung secara terus-menerus dalam jangka waktu lama. Hipertensi
meningkatkan peluang terjadinya penyakit ginjal dan kardiovaskuler serta gangguan
sistem saraf dan retinopati. Sekitar 54% penyakit stroke dan 47% penyakit jantung di
dunia disebabkan oleh hipertensi, sedangkan lebih dari sepertiga kematian pada
negara-negara pendapatan rendah di Eropa dan Asia Sentral disebabkan oleh tekanan
darah yang tinggi.
Banyak faktor yang mempengaruhi hipertensi, salah satunya adalah gaya hidup
seperti aktivitas fisik kurang, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol berlebih, serta
asupan sodium tinggi sedangkan asupan sayur dan buah rendah (Mahan,2012).
Pemilihan makanan yang bergizi bagi lansia diperlukan untuk menjaga kesehatan dan
mencegah penyakit atau komplikasi dari penyakit yang sudah diderita lansia. Zat gizi
yang dapat menunjang kesehatan dan mencegah hipertensi diantaranya adalah
karotenoid, kalium, asam lemak omega 3, dan serat (Ha, 2013). Salah satu karotenoid
yang terdapat dalam makanan adalah likopen. Aktivitas antioksidan likopen dua kali
lebih baik dari β-karoten. Bahan makanan yang merupakan sumber likopen salah
satunya adalah tomat (Yaling, 2011). Terdapat 9,27 mg likopen dalam 100 g tomat
mentah (Engelmann, 2011).
Selain likopen, tomat juga menjadi sumber kalium, asam folat, vitamin A, C, E,
dan serat yang dapat membantu menurunkan tekanan darah (Canene,2005). Tomat
matang juga mengandung zat gizi bioaktif seperti tocopherols, phenolics,
glycoalkaloids, flavonoids (Engelmann, 2011). Penelitian di Selandia Baru
menunjukkan bahwa kulit dan biji tomat memberikan kontribusi 53% total phenolics,
52% total flavonoids, 48% total likopen, dan 43% total asam askorbat (Toor,2005).
Lansia termasuk kelompok rawan gizi karena lansia telah mengalami proses
penuaan yang menyebabkan penurunan fungsi fisiologis. Pemenuhan kebutuhan gizi
lansia dapat diperoleh dengan mengonsumsi sayur dan buah yang kaya antioksidan.
Tomat merupakan bahan makanan yang murah, mudah didapat, mudah diolah, dan
lunak, sehingga lansia mudah mengkonsumsinya.
Beberapa olahan tomat yang menghilangkan kulitnya antara lain sirup, puree,
saos dan tomat kalengan. Rerata kandungan likopen dalam 100 g tomat utuh 10,7 mg,
sedangkan rerata kandungan likopen dalam 100 g tomat tanpa kulit adalah 2,1 mg.
27
Pengupasan kulit menyebabkan tomat kehilangan likopen sebesar 71% (Vinha,2013).
Tomat yang mengalami proses pemasakan mengubah bentuk all-trans lycopene
menjadi cis-lycopene isomers yang lebih larut dalam misel asam basa sehingga lebih
mudah dicerna (Ahuja, 2006).
Tingginya angka kejadian hipertensi dan banyaknya penelitian yang
mendukung tentang tomat dalam menurunkan tekanan darah menjadi alasan peneliti
jurnal ini ingin mengkaji lebih jauh mengenai pengaruh pemberian jus tomat dengan
kulit dan tanpa kulit terhadap penurunan tekanan darah sistolik lansia.
Metode
Penelitian ini adalah penelitian quasi experiment dengan rancangan pre-post
group design yang menggunakan manusia sebagai subjek penelitian. Variabel bebas
dalam penelitian adalah pemberian jus tomat dengan kulit dan tanpa kulit. Jus tomat
dengan kulit perhari terbuat dari tomat merah utuh 150 g yang diblanching /diblender
satu menit lalu ditambahkan air 50 ml dan gula 2 g, sedangkan jus tomat tanpa kulit
dibuat dengan dosis yang sama dari tomat merah kupas. Pemberian jus tomat
dilakukan selama 7 hari dengan dosis tersebut perhari. Variabel terikat pada penelitian
ini adalah penurunan tekanan darah sistolik pada kedua kelompok perlakuan.
Subjek penelitian adalah lansia yang dibina di panti rehabilitasi atau panti
wreda Kota Semarang diambil dengan menggunakan metode consecutive sampling
yang memenuhi kriteria antara lain berusia > 60 tahun dan memiliki tekanan darah
sistolik ≥ 120 mmHg dan memiliki riwayat hipertensi minimal setahun terakhir. Kriteria
eksklusi pada subjek penelitan yaitu mengkonsumsi obat dan suplemen antihipertensi
secara rutin, tidak kooperatif, mengundurkan diri saat penelitian berlangsung, dan
meninggal dunia saat penelitian berlangsung. Lansia yang bersedia menjadi subjek
penelitian diminta menandatangani informed consent. Selanjutnya dilakukan
pengukuran tekanan darah untuk mengetahui apakah tekanan darah sistolik subjek
memenuhi kriteria inklusi.
Subjek yang memenuhi seluruh kriteria inklusi dan dinyatakan sebagai sampel
penelitian kemudian dibagi menjadi dua kelompok secara acak. Kelompok I merupakan
kelompok yang diberi jus tomat dengan kulit, sedangkan kelompok II diberi jus tomat
tanpa kulit. Setelah sampel penelitian diberi jus tomat sesuai kelompok perlakuan,
dilakukan pengukuran tekanan darah sistolik kembali. Data yang terkumpul merupakan
data primer berupa data umum dan kondisi kesehatan berdasarkan catatan di panti
dan wawancara dengan subjek serta tekanan darah sistolik dari hasil pengukuran yang
dilakukan oleh perawat.
28
Pada saat penelitian terdapat masing-masing dua subjek dari kelompok I dan
kelompok II drop out sehingga jumlah akhir subjek adalah 34 lansia, terdiri dari 17
lansia kelompok perlakuan I dan 17 lansia pada kelompok perlakuan II
Hasil Penelitian
Subjek kelompok I maupun kelompok II paling banyak pada rentang usia 71-80
tahun (52,90%). Jumlah subjek laki-laki pada kedua kelompok perlakuan juga sama,
demikian pula dengan jumlah subjek perempuan pada kedua kelompok perlakuan.
Tekanan darah sistolik sebelum perlakuan pada kelompok I rata-rata 144,71 mmHg
sedangkan kelompok II 140,59 mmHg. Hasil uji Mann-Whitney tidak terdapat
perbedaan tekanan darah sistolik sebelum perlakuan pada kelompok I dan kelompok II
(p>0,05).
Untuk perbedaan penurunan tekanan darah sistolik lansia hipertensi yang diberi
jus tomat dengan kulit dan tanpa kulit yaitu pada kelompok perlakuan I rata-rata
tekanan darah sistolik sebelum perlakuan 144,71 + 18,07 mmHg menjadi 134,71 +
17,72 mmHg setelah perlakuan sehingga terjadi penurunan tekanan darah sistolik
sebesar 10,00 + 7,91 mmHg dengan p=0,001. Sedangkan pada kelompok perlakuan II
rata-rata tekanan darah sistolik sebelum perlakuan 140,59 + 20,45 mmHg menjadi
134,71 + 15,46 mmHg setelah perlakuan sehingga terjadi penurunan tekanan darah
sistolik sebesar 5,88 + 7,12 mmHg dengan p=0,008. Uji Man-Whitney menunjukkan
penurunan tekanan darah sistolik kedua kelompok memiliki p=0,218.
Kesimpulan
Konsep dan metode dalam penelitian jurnal ini memungkinkan untuk diterapkan
atau diimplikasikan dalam penyelesaian masalah praktek keperawatan gerontik di
kelurahan bareng RW 4 yang sebagian besar lansianya menderita hipertensi. Hal ini
bisa menjadi solusi yang menarik dan tantangan dalam menurunkan angka prevalensi
lansia yang menderita hipertensi di kelurahan bareng ini.
Dalam melakukan implikasi penelitian ini, perlu adanya metode baru dalam
menyajikan tomat. Sehingga tidak hanya dalam bentuk jus saja tapi juga dalam bentuk
sajian yang lain. Dan perlu mencari jurnal penelitian lain yang dapat mendukung jurnal
ini.
2.4.2 Telaah Jurnal Pengaruh Teknik Relaksasi Otot Progresif Terhadap
Tekanan Darah Pada Lansia Dengan Hipertensi Di Kel.Pringapus,
29
Kec.Pringapus Kab.Semarang
Abstrak
Pengobatan hipertensi dapat dilakukan dengan cara nonfarmakologi salah
satunya menggunakan terapi komplementer teknik relaksasi otot progresif yang
bermanfaat dapat menurunkan resistensi perifer dan menaikkan elastisitas pembuluh
darah. Otot-otot dan peredaran darah akan lebih sempurna dalam mengambil dan
mengedarkan oksigen serta relaksasi otot progresif dapat bersifat vasodilator yang
efeknya memperlebar pembuluh darah dan dapat menurunkan tekanan darah. Pasien
lansia dengan hipertensi di Kelurahan Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten
Semarang banyak yang belum mengetahui teknik relaksasi otot progresif dapat
menurunkan tekanan darah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh
teknik relaksasi otot progresif terhadap tekanan darah pada lansia dengan hipertensi di
Kelurahan Pringapus Kecamatan Pringapus kabupaten Semarang.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, metode quasi eksperimen
dengan desain non equivalent control group. Populasi yang diteliti adalah seluruh
lansia penderita hipertensi yang berjumlah 56 orang, dengan jumlah sampel 30 sampel
yang dibagi menjadi 15 untuk kelompok intervensi dan 15 untuk kelompok kontrol. Alat
pengumpul data dengan sphygmomanometer air raksa, stetoskop dan lembar
observasi. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan purposive sampling.
Hasil uji analisa dengan menggunakan uji t- independen didapatkan bahwa p-
value 0,032 (sistole) dan p-value 0,008 (diastole) < α 0,05 maka dapat disimpulkan ada
pengaruh teknik relaksasi otot progresif terhadap tekanan darah pada lansia dengan
hipertensi di Kelurahan Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang. Terapi
teknik relaksasi otot progresif dapat digunakan sebagai pengobatan alternative yang
tepat dan praktis pada penderita hipertensi
Pendahuluan
Hipertensi adalah sebagai tekanan persisten dimana tekanan sistoliknya diatas
140 mmHg dan tekanan diastoliknya di atas 90 mmHg, hipertensi merupakan penyakit
yang kedua yang banyak diderita oleh usia lanjut setelah artritis (Smeltzer&Bare,
2002). Hipertensi merupakan salah satu penyebab terbesar kematian di seluruh dunia
tahun 2000 selain itu juga merupakan penyebab utama gagal jantung, stroke dan gagal
ginjal (Smeltzer& Bare, 2002).
Seiring bertambahnya usia, kepekaan terhadap hipertensi akan semakin
meningkat seiring bertambahnya umur seseorang. Individu yang berumur diatas 60
tahun, 50-60% mempunyai tekanan darah lebih besar atau sama dengan 140/90
30
mmHg. Hal ini merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang yang lanjut
usia atau lansia (Susilo&Wulandari, 2011).
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi farmakologis dan nonfarmakologis
Terapi non farmakologis selalu menjadi hal yang penting dilakukan pada penderita
hipertensi berusia lanjut. Langkah awal pengobatan hipertensi secara non farmakologi
adalah dengan menjalani gaya hidup sehat, salah satunya dengan terapi
komplementer yang menggunakan bahan-bahan alami yang ada disekitar kita, seperti
relaksasi otot progresif, meditasi, aromaterapi, terapi herbal, terapi nutrisi.Teknik
relaksasi memberikan individu mengontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau
nyeri (Susilo&Wulandari,2011).
Teknik relaksasi otot progresif adalah memusatkan perhatian pada suatu
aktifitas otot, dengan mengidentifikasi otot yang tegang kemudian menurunkan
ketegangan dengan melakukan teknik relaksasi untuk mendapatkan perasaan relaks
(Purwanto,2013). Dalam hal ini yang paling kuat yaitu reflek baroreseptor yang mana
relaksasi akan menurunkan aktifitas saraf simpatis dan epinefrin serta peningkatan
saraf parasimpatis sehingga kecepatan denyut jantung menurun, volume sekuncup
(CO) menurun, serta terjadi vasodilatasi arteriol dan venula. Selain itu curah jantung
dan resistensi perifer total juga menurun dan tekanan darah turun (Sheps, 2005).
Pernyataan Masalah
Adakah pengaruh relaksasi otot progresif terhadap penurunan tekanan darah
pada hipertensi pada lansia
Tujuan Telaah Hasil Penelitian
6. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh teknik relaksasi otot progresif terhadap tekanan darah pada
lansia dengan hipertensi
7. Tujuan Khusus
Mengetahui teknik relaksasi otot progresif
Mengidentifikasi pengaruh teknik relaksasi otot progresif terhadap penurunan
tekanan darah pada lansia di kelurahan Bareng.
Telaah Hasil Penelitian
Metode
31
Penelitian ini menggunakan desain quasi-eksperimental atau eksperimen
semu, dimana dalam desain ini dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya akibat
dari sesuatu yang dikenakan pada subjek selidik (Notoadmodjo, 2010). Rancangan
yang digunakan adalah quasi eksperimen pre dan post control group design dengan
jumlah sampel 30 orang yang dibagi menjadi 15 orang kelompok kontrol dan 15 orang
kelompok intervensi.
Hasil
Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi penurunan tekanan darah cukup
signifikan yang ditunjukan pada tabel berikut:
Tabel 1. TekananDarahLansiaSebelumDiberikan
TeknikRelaksasiOtotProgresif
Tabel 2.TekananDarahLansiaSetelahDiberikan
TeknikRelaksasiOtotProgresif
Kesimpulannya,ada perbedaan tekanan darah pada lansia dengan hipertensi
sebelum dan sesudah diberikan teknik relaksasi otot progresif pada kelompok
intervensi, sedangkan tidak ada pebedaan secara signifikan tekanan darah pada awal
dan akhir penelitian pada lansia dengan hipertensi pada kelompok kontrol. Sehingga
terdapat pengaruh teknik relaksasi otot progresif terhadap tekanan darah pada lansia
dengan hipertensi.
Implikasi
32
Berdasarkan hasil penelitian jurnal tersebut menunjukan bahwa relaksasi otot
progresif dapat membantu menurunkan tekanan darah pada lansia dan teknik tersebut
memungkinkan untuk diterapkan pada lansia di kelurahan Bareng.
Kesimpulan
1. Teknik relaksasi dapat membantu menurunkan tekanan darah dengan rata-rata
sistolik pada kelompok intervensi adalah 154,73 mmHg dan rata-rata diastoliknya
adalah 95,73 mmHg dan pada kelompok intervensi setelah dilakukan teknik
relaksasi otot progresif rata-rata sistoliknya adalah 147,67 mmHg dan rata-rata
diastoliknya adalah 87,87 mmHg.
2. Ada pengaruh teknik relaksasi otot progresif terhadap tekanan darah pada lansia
dengan hipertensi di Kelurahan Pringapus Kecamatan Pringapus Kabupaten
Semarang. Dengan p-valuesistole sebesar 0,032 sistole, sedangkan diastole p-
value 0,008.
Saran
1. Pelayanan kesehatan agar dapat menjadikan teknik relaksasi otot progresif
sebagai salah satu kebijakan dalam pemberian pelayanan kesehatan untuk dapat
menurunkan tekanan darah pada lansia dengan hipertensi dengan tetap
memperhatikan penyakit-penyakit lain yang menyertai.
2. Diharapkan bagi petugas kesehatan pada umumnya dan khusus perawat lansia
dapat menjadikan teknik relaksasi menjadi salah satu intervensi keperawatan dan
salah satu terapi komplementer dalam menurunkan tekanan darah pada lansia
dengan hipertensi.
33