BAB II KEDAULATAN RAKYAT DALAM UUD 1945 A....

29
BAB II KEDAULATAN RAKYAT DALAM UUD 1945 A. AJARAN KEDAULATAN RAKYAT DALAM UUD 1945 Adalah suatu hal yang lazim dipahami bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau selanjutnya disebut UUD 1945 saja menganut ajaran kedaulatan rakyat meskipun lazim pula para ahli hukum Tata Negara yang menyatakan bahwa selain ajaran kedaulatan rakyat juga terdapat ajaran kedaulatan lain dalam UUD 1945, misalnya Ismail Sunny yang menyatakan bahwa UUD 1945 menganut tiga ajaran kedaulatan sekaligus yaitu ajaran kedaulatan tuhan, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum. 54 Hal ini secara tegas dirumuskan dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dalam proses perubahan UUD 1945 terjadi pergulatan pemikiran tentang gagasan kedaulatan rakyat. Pergulatan pemikiran tersebut berujung dengan diubahnya ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Awalnya, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Kemudian diubah pada saat perubahan ketiga UUD 1945 sehingga rumusannya menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. MPR yang pada mulanya dipahami sebagai pemegang mandat sepenuhnya dari rakyat atau 54 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di Indonesia:Pergeseran Keseimbangan Antara Individualisme Dan Kolektivisme Dalam Kebijakan Demokrasi Politik Dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi,1945-1980-an, Disertasi Pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 61. Universitas Sumatera Utara

Transcript of BAB II KEDAULATAN RAKYAT DALAM UUD 1945 A....

BAB II

KEDAULATAN RAKYAT DALAM UUD 1945

A. AJARAN KEDAULATAN RAKYAT DALAM UUD 1945

Adalah suatu hal yang lazim dipahami bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 atau selanjutnya disebut UUD 1945 saja menganut ajaran kedaulatan

rakyat meskipun lazim pula para ahli hukum Tata Negara yang menyatakan bahwa selain

ajaran kedaulatan rakyat juga terdapat ajaran kedaulatan lain dalam UUD 1945, misalnya

Ismail Sunny yang menyatakan bahwa UUD 1945 menganut tiga ajaran kedaulatan sekaligus

yaitu ajaran kedaulatan tuhan, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum.54 Hal ini secara

tegas dirumuskan dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Kedaulatan berada

di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Dalam proses perubahan UUD 1945 terjadi pergulatan pemikiran tentang gagasan

kedaulatan rakyat. Pergulatan pemikiran tersebut berujung dengan diubahnya ketentuan Pasal

1 ayat (2) UUD 1945. Awalnya, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 berbunyi “Kedaulatan adalah

ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.

Kemudian diubah pada saat perubahan ketiga UUD 1945 sehingga rumusannya menjadi

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

MPR yang pada mulanya dipahami sebagai pemegang mandat sepenuhnya dari rakyat atau

54 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di Indonesia:Pergeseran Keseimbangan Antara Individualisme Dan Kolektivisme Dalam Kebijakan Demokrasi Politik Dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi,1945-1980-an, Disertasi Pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 61.

Universitas Sumatera Utara

pemegang kedaulatan rakyat yang tertinggi,55 bergeser ke arah pemahaman bahwa MPR tidak

lagi sebagai pemegang mandat tunggal yang tertinggi, melainkan mandat itu dilaksanakan

berdasarkan Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, mandat rakyat dijalankan oleh

cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan UUD, termasuk oleh MPR sebagai salah satu

lembaga penyelenggara kekuasaan negara. Alasan perubahan ini menurut Jimly Asshiddiqie

dikarenakan rumusan Pasal 1 Ayat (2) sebelum perubahan memuat ketentuan yang tidak

jelas, dengan adanya ungkapan “…dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat” maka ada yang menafsirkan bahwa hanya MPR sajalah yang melakukan kedaulatan

rakyat sehingga DPR yang merupakan wakil rakyat dipandang tidak melaksanakan

kedaulatan rakyat.56

Perubahan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ini menunjukan terjadinya perubahan

gagasan yang begitu mendasar tentang kedaulatan rakyat dalam UUD 1945. Terjadi

pergeseran yang sangat fundamental tentang siapa sebenarnya yang bertindak sebagai

pemegang supremasi atau kekuasaan tertinggi. Sebagaimana dikemukakan Soewoto

Mulyosudarmo, perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 merupakan perubahan menuju sebuah

kondisi yang mencerminkan keadaan yang sebenarnya tentang pengaturan kekuasaan

tertinggi.57 Di mana pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat yang

pelaksanaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar.

Perubahan gagasan kedaulatan dalam UUD 1945 sekaligus juga diiringi dengan

perubahan terhadap cara rakyat memberikan mandat terhadap penyelenggara kekuasaan

negara. Salah satu contoh yang dapat dikemukan bahwa Presiden sebagai penyelenggara

55 Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Asosiasi Pengajar HTN dan HAN dan In-TRANS, Malang, 2004, hal. 3 56 Baca Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum Nasional, Sambutan Pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN) Oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) Republik Indonesia, Jakarta, 21 November 2005. 57 Soewoto Mulyosudarmo, op.cit., hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

salah satu cabang kekuasaan negara pada awalnya dipilih oleh MPR. Sedangkan berdasarkan

UUD 1945 yang telah diamandemen, Presiden dipilih langsung oleh rakyat, tidak lagi oleh

MPR. Begitu juga mandat yang diberikan rakyat kepada penyelenggara kekuasaaan negara

lainnya, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Semua anggota DPR dan DPD dipilih melalui pemilihan umum. Tidak seorangpun anggota

DPR dan DPD yang ditunjuk sebagaimana pernah terjadi pada masa-masa sebelum reformasi,

di mana anggota DPR, DPRD I dan DPRD II yang berasal dari ABRI tidak dipilih oleh

rakyat melalui mekanisme pemilihan umum.

Sebagai wujud dari ide kedaulatan rakyat, dalam sistem demokrasi harus dijamin bahwa

rakyat terlibat penuh dalam merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan

pengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan. Pelaksanaan keterlibatan

penuh rakyat tersebut haruslah diorganisasikan menurut Undang-Undang Dasar sesuai

dengan dengan ketentuan UUD 1945, tidak lagi diorganisasikan melalui institusi kenegaraan

Majelis Permusyawaratan Rakyat layaknya ketentuan UUD 1945 sebelum perubahan.

Perbedaan yang terjadi setelah perubahan itu sangat jelas dan prinsipil.58 Pertama, kedaulatan

yang berada di tangan rakyat it sekarang tidak lagi dilembagakan hanya pada satu subjek

(ordening subject), MPR sebagai penjelmaan tunggal lembaga negara. Dalam rumusan yang

baru, semua lembaga negara baik secara langsung ataupun tidak langsung juga dianggap

sebagai penjelman dan dibentuk dalam rangka pelaksanaan kedaulatan rakyat. Kedua,

pengharusan pelaksanaan tugas menurut ketentuan undang-undang dasar tidak hanya satu

lembaga saja, yakni MPR, melainkan semua lembaga negara diharuskan bekerja menurut

ketentuan undang-undang dasar.

58 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, op.cit., hal. 292.

Universitas Sumatera Utara

Dalam rumusan yang baru, subjek pemegang kedaulatan rakyat tidak lagi terkait hanya

dengan satu subjek, maka berarti, semua lembaga negara atau jabatan publik baik secara

langsung atau tidak langsung juga dianggap sebagai penjelmaan dan dibentuk dalam rangka

pelaksanaan kedaulatan rakyat. Secara langsung penjelmaan dan pelaksanaan kedaulatan

rakyat itu adalah melalui pemilihan umum langsung untuk menetukan pemegang jabatan

publik pada suatu lembaga negara sedangkan secara tidak langsung adalah dengan perantara

wakil rakyat dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat.

Oleh karena semua lembaga negara atau jabatan publik pada hakikatnya adalah jabatan

yang memperoleh legitimasi dari rakyat yang berdaulat, maka bukan saja tugas dan

wewenang jabatan itu harus diselenggarakan menurut undang-undang dasar, tetapi juga harus

dipertanggungjawabkan kepada rakyat melalui prinsip akuntabilitas, transparansi, dan cara

kerja yang partisipatoris. Setiap warga negara harus mendapatkan akses yang seluas-luasnya

terhadap kinerja lembaga-lembaga negara, dan secara berkala lembaga-lembaga negara yang

bersangkutan diharuskan menyampaikan laporan terbuka kepada masyarakat, dan yang tidak

kalah pentinganya adalah kebebasan pers untuk mendapatkan informasi dan memberikan

informasi itu kepada masyarakat luas.59

Utamanya, pengertian atau maksud kedaulatan rakyat dalam UUD 1945, dapat pula

dikatakan berbeda dengan maksud atau pengertian kedaulatan rakyat di negara-negara liberal

pada umumnya. Sebabnya adalah kedaulatan rakyat Indonesia menurut UUD 1945 tidak

hanya menyangkut bidang politik, tetapi juga kedaulatan rakyat di bidang ekonomi dan

bahkan sosial.60 Menurut Soekarno, prinsip ini disebutkan sebagai sosio-demokrasi,

demokrasi yang berdiri di kedua kakinya. Sosio-demokrasi menurutnya adalah mencakup

juga demokrasi ekonomi tidak hanya demokrasi politik. Ditambahkannya pula bahwa pada

59 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, op.cit., hal. 295. 60 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, op.cit., hlm. 296.

Universitas Sumatera Utara

bentuk demokrasi seperti ini rakyat menjadi berdaulat dalam bidang politik dan juga dalam

bidang ekonomi. Itu juga sebabnya maka UUD 1945,61 selain memuat ketentuan-ketentuan

dasar mengenai sistem politik juga memuat dasar-dasar mengenai sistem ekonomi.

Dengan kata lain, UUD 1945 sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi dalam

ketatanegaraan Republik Indonesia harus menjadi acuan dan pegangan bagi penyelenggara

negara dalam menentukan kebijakan-kebijakan dalam rangka menjalankan tugas kenegaraan

dan pemerintahan. Kebijakan politik, kebijakan ekonomi, dan bahkan kebijakan sosial

budaya harus mengacu pada ketentuan hukum dasar atau ketentuan hukum tertinggi yaitu

UUD 1945. UUD 1945 adalah cerminan kehendak politik seluruh rakyat yang berdaulat

dalam negara Republik Indonesia. Kedaulatan rakyat itu tidak hanya menyangkut aspek

politik kehidupan bernegara, tetapi juga dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya dalam

bernegara. Karena itu dikatakan bahwa Indonesia menjalankan paham demokrasi politik dan

demokrasi ekonomi.62

B. PENJELMAAN KEDAULATAN RAKYAT DALAM UUD 1945

Dalam hubungan antara rakyat dengan kekuasaan negara dalam hubungan sehari-hari,

ada dua teori yang lazim dikembangkan, yaitu teori demokrasi langsung (direct democracy)

dan teori demokrasi tidak langsung (representative democracy). Artinya kedaulatan rakayat

dapat dilakukan secara langsung dimana rakyatlah yang melaksanakan kekuasaan tertinggi

yang dimilikinya. Namun, di zaman modern sekarang ini dengan kompleksitas permasalahan

yang dihadapi, bentuk semacam ini hampir tidak lagi dapat dilakukan. Karena itu, hal yang

61 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, op.cit., hlm. 296. 62 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, op.cit., hlm. 292.

Universitas Sumatera Utara

lebih populer dewasa ini adalah ajaran demokrasi yang tidak langsung atau demokrasi

perwakilan (representative democracy).63

Karena hal tersebut pada umumnya negara-negara modern memiliki badan atau

lembaga perwakilan rakyat yang bertindak sebagai pelaku atau pelaksana kedaulatan rakyat

itu dalam kekuasaan negara sehari-hari. Pengisian jabatan keanggotaan badan atau lembaga

perwakilan itu biasanya dilakukan melalui mekanisme Pemilihan Umum yang menghimpun

dan mengorganisasikan aspirasi, pendapat, dan suara rakyat yang berdaulat itu. Oleh karena

itu, sistem demokrasi atau paham kedaulatan rakyat dewasa ini selalu terkait dengan

pemilihan umum dan partai politik. Dan bahkan terkadang melalui pelaksanaan pemilihan

umum dan keberadaan partai politik suatu negara dapat ditentukan pula negara tersebut sudah

demokrasi atau tidak.

Ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang jelas menyatakan bahwa kedaulatan

berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang dasar

berimplikasi pada sebuah supremasi konstitusi dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat

haruslah sesuai dengan ketentuan-ketentuan pada undang-undang dasar. Kedaulatan yang

berada di tangan rakyat itu dapat dikatakan ditafsirkan oleh keberadaan undang-undang dasar

sehingga ketentuan-ketentuan didalamnya adalah ketentuan yang menurut kehendak rakyat

atau melaksanakan kedaulatan rakyat.

Perihal pemilihan umum dan partai politik, berbeda dengan sebelum dilakukannya

perubahan, UUD 1945 hasil perubahan kini lebih jelas memuat ketentuan mengenai kedua

hal tersebut. Bab VIIB pada UUD 1945 memuat 1 pasal dengan kandungan 6 ayat yang

mengatur ketentuan mengenai pemilihan umum dan terkandung juga mengenai partai politik.

Ketentuan ini memuat aturan-aturan umum mengenai pemilihan umum yang pengaturan lebih

63 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat…, op.cit., hal.73.

Universitas Sumatera Utara

rincinya diamanatkan dengan pembentukan undang-undang.64 Sedangkan ketentuan

mengenai kehadiran partai politik dilihat dari keberadaan Pasal 22E Ayat (3) yang

menentukan bahwa yang menjadi peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.65

Penjelmaan kedaulatan rakyat dalam UUD 1945 berarti penjelmaan kedaulatan rakyat

itu dalam ketentuan-ketentuan UUD 1945 sebagai implikasi jurudis ketentuan Pasal 1 Ayat

(2) UUD 1945, bukan seperti sebelum perubahan66 yang dilakukan sepenuhnya oleh MPR.

UUD 1945 setelah perubahan menetukan bahwa semua lembaga atau organ negara

melaksanakan kedaulatan rakyat, tidak hanya MPR saja sebagai lembaga tertinggi negara

seperti sebelumnya.67 Keberadaan ketentuan mengenai pemilihan umum dan partai politik

adalah penjelmaan atas kedaulatan rakyat itu juga karena pengaturannya yang berada dalam

UUD 1945. Dalam sistem konstitusional berdasarkan undang-undang dasar, pelaksanaan

kedulatan rakyat disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang

ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy).68

Kedaulatan rakyat Indonesia berdasarkan ketentuan undang-undang dasar

(constitutional democracy) diselenggarakan secara langsung dan melalui sistem perwakilan.

Kedaulatan rakyat diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaaan yang tercermin dalam Majelis

Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan

Daerah sebagai pemegang kekuasaan legislatif, Presiden dan Wakil Presiden sebagai

pemegang kekuasaan eksekutif, dan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai

pemegang kekuasaan yudikatif. Dalam menentukan kebijakan pokok pemerintahan dan

mengatur ketentuan-ketentuan hukum berupa undang-undnag dasar dan undang-undang dan

64 BAB VIIB UUD 1945. 65 Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945. 66 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat…, Op.Cit., hlm.76. 67 Baca Jimly Asshiddiqie, Implikasi Perubahan…, Op.Cit. 68 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…,Op.Cit., hlm. 58.

Universitas Sumatera Utara

juga dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan,

dilangsungkanlah suatu perlembagaan kedaulatan rakyat berdasarkan sistem perwakilan yang

mengahadirkan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Bahkan juga di

daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota, perlembagaan kedaulatan rakyat itu disalurkan

melalui sistem perwakilan sehingga menghadirkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.69

Penyaluran kedaulatan secara langsung (direct democracy) dilakukan melalui

pemilihan umum, pemilihan presiden, dan sebagai tambahan yaitu pelaksanaan referendum

untuk menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap rencana perubahan atas pasal-pasal

tertentu dalam Undang-Undang Dasar. Bentuk penyaluran kedaulatan rakyat lainnya yaitu

melalui pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan pers, hak atas

kebebesan informasi, hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat serta hak-hak asasi

lainnya yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar.70 Pada hakikatnya dalam ide kedaulatan

rakyat itu, tetap harus dijamin bahwa rakyatlah yang sesungguhnya pemilik negara dengan

segala kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi kekuasaan negara, baik di bidang

legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Dan tentunya UUD 1945 dengan segala ketentuannya

merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat, baik yang dilaksanakan secara langsung (direct

democracy) maupun yang dilaksanakan secara tidak langsung atau perwakilan

(representative democracy) melalui lembaga perwakilan rakyat. Oleh sebab itu pula, organ

atau lembaga-lembaga negara yang melaksanakan fungsi kekuasaan negara dianggap

melaksanakan amanat kedaulatan rakyat dan tunduk pada kedaulatan rakyat berdasarkan

ketentuan undang-undang dasar. Apabila hal ini dihubungkan dengan teori kontrak sosial

Jean Jacques Roesseau yang menyatakan bahwa kehendak rakyat yang berdaulat itu dapat

disalurkan dengan dua cara yaitu,71 pertama adalah kehendak seluruh rakyat yang biasa

69 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…,Op.Cit., hlm. 59. 70 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…,op.cit.hal.59. 71 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat…, op.cit., hal.77.

Universitas Sumatera Utara

disebut volunte de tous dan yang kedua adalah kehendak umum yang berarti tidak harus

semua rakyat atau disebut sebagai volunte generale. Kehendak yang pertama biasa juga

disebut sebagai kedaulatan politik dan yang kedua biasa juga disebut sebagai kedaulatan

hukum.

Dalam sistem hukum Indonesia, kehendak yang pertama atau kedaulatan politik itu

disalurkan melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara periodik setiap 5 (lima) tahun

sekali. Hasil dari pemilihan umum itulah yang kemudian mengisi jabatan-jabatan

kelembagaan negara yang menjalankan kedaulatan rakyat dalam bentuk kedaulatan hukum.

Hanya saja dalam proses menjalankan kedaulatan rakyat itu, semua lembaga negara haruslah

tunduk pada ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar sebagai implikasi dari supremasi

konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. tidak hanya itu saja, segala

ketentuan yang berada dalam UUD 1945 sejatinya adalah amanat pelaksanaan kedaulatan

rakyat namun tetap tidak dapat bertentangan dengan kedaulatan rakyat itu sendiri. Artinya

apabila rakyat menghendaki untuk merubah ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945, maka

kehendak rakyat ini harus dipandang sebagai kehendak hukum ataupun kedaulatan di bidang

hukum (volunte general) yang harus disalurkan dan tidak boleh dikesampingkan karena UUD

1945 juga telah memberi peluang untuk melakukan perubahan terhadapnya. Inilah penegasan

kembali terhadap pelaksanaan sistem konstitusional berdasarkan undang-undang dasar, yaitu

pelaksanaan kedulatan rakyat yang disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur

konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy).72

Atupun disebutkan sebagai negara demokrasi yang berdasarkan hukum dan negara hukum

yang demokratis, beriringannya konsep demokrasi dan nomokrasi. Hal ini dikarenakan

kedaulatan rakyat itu terwujud juga dalam hukum selain terwujud juga dalam instansi

sebagaimana telah isebutkan sebelumnya diatas. Oleh karena itu, lembaga-lembaga tinggi

72 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme…,op.cit., hal.58.

Universitas Sumatera Utara

negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat secara kehendak hukum (volunte generale)

tetap tidak boleh melanggar prinsip kedaulatan rakyat.73

C. PEMILIHAN UMUM SEBAGAI SARANA PELAKSANAAN KEDAULATAN

RAKYAT

Seperti dikemukakan Moh. Kusnardi dan Harmailly Ibrahim dalam paham kedaulatan

rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik atau pemegang kekuasaan

tertinggi dalam suatu negara.74 Rakyatlah yang menentukan corak dan bagaimana cara

pmerintahan diselenggarakan. Rakyatlah yang menetukan tujuan yang hendak dicapai oleh

negara dan pemerintahannya itu. Dalam suatu negara yang kecil, yang jumlah penduduknya

sedikit, dan juga dengan luas wilayah yang tidak begitu besar, kedaulatan rakyat yang seperti

ini tidak dapat berjalan dengan semurni-murninya atau tidak berkalan dengan sepenuhnya.

Apalagi di negara-negara dengan jumlah penduduk yang besar dan ditambah lagi dengan luas

wilayah yang besar pula, sangat tidak mungkin untuk menghimpun pendapat rakyat seorang

demi seorang untuk menentukan jalannya pemerintahan. Ditambah lagi dalam konteks

masyarakat modern seperti sekarang ini dimana kehidupan sudah sangat berkembang dinamis

dan kompleks, masing-masing rakyat memiliki ragam pekerjaan dan spesialisasi yang

perbedaannya sudah semakin tajam, termasuk juga perbedaan tingkat kecerdasan antar

individual dalam masyarakat. Hal-hal seperti ini menyebabkan kedaulatan rakyat tidak dapat

dilakukan secara murni, namun dengan tetap dalam kondisi bahwa kedaulatan rakyat itu

harus ditegakkan, kompleksitas seperti ini berujung pada pembenaran bahwa kedaulatan

rakyat itu dilaksanakan dengan melalui sistem perwakilan (representation).

73 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat…, op.cit., hal. 81. 74 Moh. Kusnardi dan Harmailly Ibrahim, Op.Cit., hal. 328

Universitas Sumatera Utara

Dalam kedaulatan rakyat dengan sistem perwakilan atau demokrasi biasa juga disebut

sebagai sistem demokrasi perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak

langsung (indirect democracy). Di dalam demokrasi perwakilan ini yang menjalankan

kedaulatan rakyat adalah para wakil-wakil rakyat yang duduk di dalam lembaga perwakilan

rakyat atau biasa juga disebut parlemen. Para wakil-wakil rakyat tersebut bertindak atas nama

rakyat dan merekalah yang kemudian menentukan corak dan jalannya pemerintahan suatu

negara, serta tujuan apa yang hendak dicapai baik dalam jangka waktu yang pendek maupun

dalam waktu yang panjang. Hal seperti yang dikatakan Rousseau sebagai pelaksanaan

kedaulatan rakyat melalui kehendak hukum (volunte generale).75

Agar wakil-wakil rakyat itu benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat maka

wakil-wakil rakyat itu harus ditentukan oleh rakyat sendiri, yaitu melalui suatu mekanisme

yang dinamakan pemilihan umum (general election) yang merupakan pelaksanaan kehendak

seluruh rakyat secara politik (volunte de tous). Jadi pemilihan umum adalah tidak lain sebagai

cara untuk memilih wakil-wakil rakyat secara demokratis. Oleh sebab itu, bagi suatu negara

yang mengaku sebagai negara demokrasi, pemilihan umum (general election) yang

demokratis itu merupakan ciri penting dan harus dilaksanakan dalam waktu-waktu yang

tertentu. Pengertian pemilu sendiri menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang

Pemilu DPR, DPRD, dan DPD bahwa pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan

rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-jurdil)

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.76 Dari

pengertian ini saja kemudian dapat kita tarik suatu pemahaman bahwa konstitusi memang

mengehendaki pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat.

75 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), Visimedia, Jakarta, 2009, hal. 46. 76 Pasal 1 Angka 1 UU No. 10 Tahun 2008

Universitas Sumatera Utara

Peserta pemilihan umum dapat bersifat kelembagaan atau perseorangan calon wakil

rakyat. Perseorangan apabila calon wakil rakyat itu mencalonkan diri secara pribadi. Akan

tetapi yang pribadi itu memerlukan suatu mesin politik untuk mendukung pencalonannya dan

sebagai mesin kampanye pencalonannya yang bersifat kelembagaan. Kelembagaan yang

seperti itulah yang biasanya disebut sebagai partai politik, yaitu organisasi yang sengaja

dibentuk untuk tujuan-tujuan yang bersifat politik, seperti untuk kepentingan rekrutmen

politik, komunikasi politik, pendidikan politik, dan sebagainya. Partai politik sangat terkait

erat dengan kegiatan pemilihan umum, bahkan dikatakan bahwa partai politik merupakan

pilar demokrasi yang sangat penting dalam sistem demokrasi perwakilan yang secara rutin

dan periodik melaksanakan pemilihan umum.77

Ada beberapa alasan mengapa sangat penting bagi pemilihan umum untuk dilaksanakan

secara berkala.78 Pertama, pendapat atau aspirasi rakyat tidak akan selalu sama untuk jangka

waktu yang panjang dalam artian bahwa kondisi kehidupan rakyat itu bersifat dinamis

sehingga aspirasi mereka akan aspek kehidupan bersama juga akan berubah-ubah seiring

dengan berjalannya waktu. Mungkin saja terjadi dalam jangka waktu tertentu rakyat

menghendaki agar corak dan jalannya pemerintahan harus berubah, hal ini dapat kita pahami

dengan melihat proses amandemen UUD 1945 dan dihubungkan dengan teori resultante dari

K.C. Wheare yang menyatakan bahwa kondisi masyarakat pada suatu masa tertentu memiliki

aspek pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan konstitusi. Kedua, disamping

pendapat rakyat dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu, kondisi kehidupan bersama dalam

masyarakat dapat pula berubah, baik karena dinamika internasional maupun karena dinamika

dalam negeri sendiri, baik karena faktor internal manusia maupun karena faktor eksternal

manusia. Ketiga, perubahan-perubahan aspirasi dapat juga disebabkan karena pertambahan

77 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hal. 170. 78 Jimly Asshiddiqie, Ibid., hal. 171.

Universitas Sumatera Utara

jumlah penduduk dan rakyat yang dewasa. Mereka itu, terutama para pemilih baru (new

voters) atau pemilih pemula belum tentu memiliki sikap yang sama dengan orang tua mereka

sendiri. Dan keempat, pemilihan umum perlu diadakan secara teratur dengan maksud untuk

menjamin terjadinya pergantian kepemimpinan negara, baik di cabang kekuasaan eksekutif

maupun di cabang kekuasaan legislatif.

Untuk menjamin siklus kekuasaan yang besifat teratur itu diperlukan mekanisme

pemilihan umum yang diselenggarakan secara berkala sehingga demokrasi dapat terjamin,

dan pemerintahan yang sungguh-sungguh mengabdi kepada kepentingan seluruh rakyat dapat

benar-benar bekerja efektif dan efisien. Jadi, dengan adanya jaminan sistem demokrasi yang

beraturan itulah kesejahteraan dan keadilan dapat diwujudakan dengan baik.

Dalam sistem demokrasi modern, legalitas dan legitamasi pemerintahan merupakan

faktor yang sangat penting. Di satu puhak, suatu pemerintahan haruslah terbentuk

berdasarkan ketentuan hukum dan konstitusi sehingga dapat dikatakan memiliki legalitas. Di

lain pihak, pemerintahan itu juga harus legitimate, dalam arti bahwa di samping legal, ia juga

harus dipercaya. Tentu akan timbul keragu-raguan, apabila suatu pemerintah menyatakan diri

bahwa mereka berasal dari rakyat dan dapat disebut sebagai pemerintahan yang demokrasi,

padahal pembentukannya tidak berasal dari pemilihan umum. Artinya, setiap pemerintahan

yang demokratis yang mengaku berasal dari rakyat, memang diharuskan sesuai dengan hasil

pemilihaan umum sebagai ciri yang penting atau pilar yang pokok dalam sistem demokrasi

modern. Jimly Asshiddiqie kemudian menegaskan bahwa, pemilihan umum dapat dikatakan

sebagai syarat yang mutlak bagi negara demokrasi, yaitu untuk melaksanakan kedaulatan

rakyat.79 Dan melalaui pemilulah rakyat dapat terlibat dalam penentuan atau pengambilan

keputusan mengenai jalannya pemerintahan setelah pemilu. Karena perlu ditegaskan lagi

79 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum…, Op.Cit., hlm. 417.

Universitas Sumatera Utara

bahwa demokrasi itu merupakan suatu sistem politik,80 dimana di dalamnya

mengikutsertakan rakyat atau warga dalam pengambilan keputusan, dan wujud pelaksanaan

atau implementasi demokrasi adalah pemilihan umum, sebagaimana disebutkan dalam

undang-undang tentang pemilu yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Dan tentunya

pelaksanaan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.81

Affan Gafar mengajukan 5 (lima) parameter untuk sebuah pemilihan umum yang

ideal.82 Pertama, pemilihan umum yang akan dating haruslah diselenggarakan dengan cara

yang demokratis sehingga memberikan peluang bagi semua partai dan calon legislatif yang

terlibat untuk berkompetisi secara fair dan jujur. Rekayasa dan manipulasi yang sangat

mewarnai penyelenggaraan pemilu masa lampau jangan sampai terulang lagi. Kedua,

pemilihan umum haruslah menciptakan MPR/DPR, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II

yang lebih baik, lebih berkualitas, dan memiliki akuntabilitas politik yang tinggi. Ketiga,

derajat keterwakilan, artinya bahwa anggota MPR/DPR yang dibentuk melalui pemilihan

umum haruslah memiliki keseimbangan perwakilan, baik antara wakil Jawa maupun luar

Jawa atau antara pusat dengan daerah. Keempat, peraturan perundang-undangan pemilu

haruslah tuntas. Kelima, pelaksanaan pemilu hendaknya bersifat praktis, artinya tidak rumit

dan gampang dimengerti oleh kalangan masyarakat banyak.

1. Tujuan Pemilihan Umum

Secara menyeluruh melalui uraian di atas, dapat dikatakan bahwa tujuan

penyelenggaraan pemilihan umum itu ada 4 (empat)83, yaitu :

80 Soehino, Hukum Tata Negara “Perkembangan Pengaturan dan Pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia”, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hlm.74. 81 Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. 82 Affan Gafar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 251-255. 83 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum…, Op.Cit., hal. 418-419.

Universitas Sumatera Utara

a. untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib

dan damai;

b. untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan

rakyat di lembaga perwakilan;

c. untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan

d. untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.

Harus dimaklumi, kemampuan seseorang dalam melaksanakan apapun adalah bersifat

terbatas. Di samping itu pula, jabatan pada dasarnya merupakan amanah yang berisi beban

dan tanggung jawab, bukan merupakan hak yang harus dinikmati. Jadi, sudah seharusnya

seseorang tidak boleh menduduki suatu jabatan tanpa ada kepastian berapa lama ia duduk di

jabatan tersebut. Dibutuhkan suatu siklus jabatan yang dinamis untuk mencegah kekuasaan

yang permanen dan menjadi sumber malapetaka, hal ini dikarenakan dalam setiap jabatan,

dalam dirinya selalu ada kekuasaan yang cenderung berkembang menjadi sumber

kesewenang-wenangan bagi siapa saja yang memegangnya. Untuk itulah, pergantian

kepemimpinan harus dipandang sebagai suatu keniscayaan untuk memelihara amanah yang

terdapat dalam setiap kekuasaan itu sendiri.

Dalam pemilihan umum, yang dipilih tidak saja wakil rakyat yang akan duduk di

lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, tetapi juga para pemimpin pemerintahan yang

duduk di kursi eksekutif. Di cabang kekuasaaan legislatif, para wakil rakyat itu ada yang

duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik di tingkat

provinsi maupun kabupaten/kota, dan ada yang duduk di Dewan Perwakilan Daerah.

Sementara itu di cabang kekuasaan eksekutif, para pemimpin yang dipilih secara langsung

oleh rakyat adalah Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan

Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Dengan terlaksananya pemilihan umum

Universitas Sumatera Utara

yang teratur dan berkala maka pergantian pejabat yang dimaksud juga berjalan secara teratur

dan berkala pula.84

Suatu kewajaran apabila selalu terjadi pergantian pejabat baik di lingkungan eksekutif

maupun di lingkungan legislatif. Pergantian pejabat yang dimaksudkan disini adalah

pergantian yang terjadi secara legal atau terjadi menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan. Dan di dalam negara demokrasi pergantian pejabat pemerintah itu ditentukan

secara langsung oleh rakyat, yaitu melalui pemilihan umum yang diselenggarakan secara

periodik yang kemudian dituangkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemilihan umum kemudian disebut juga bertujuan untuk memungkinkan terjadinya

peralihan pemerintahan dan pergantian pejabat negara yang diangkat melalui pemilihan

(elected public officials). Dalam hal tersebut di atas, memungkinkan disini bermaksud bahwa

tidak harus selalu berarti ketika terjadi pemilihan umum harus terjadi pergantian

pemerintahan atau pejabat negara. Mungkin saja terjadi, pemerintahan suatu partai politik

dalam sistem parlementer memerintah untuk dua, tiga, atau empat kali, ataupun seorang

Presiden di Indonesia atau Amerika Serikat dipilih untuk dua kali masa jabatan. Dimaksud

memungkinkan disini berarti bahwa pemilihan umum itu harus membuka kesempatan yang

sama bagi peserta pemilu untuk menang atau kalah. Pemilihan umum yang demikian itu

hanya dapat terjadi apabila benar-benar dilaksanakan dengan jujur dan adil (jurdil).

Tujuan ketiga dan keempat dari pemilihan umum itu adalah juga untuk melasanakan

kedaulatan rakyat dan melaksanakan hak asasi para warga negara. Untuk menentukan

jalannya negara, rakyat sendirilah yang harus mengambil keputusan melalui perantaraan

wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga legislatif. Hak-hak politik rakyat untuk

menentukan jalannya pemerintahan dan fungsi-fungsi negara secara dengan benar dan

84 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum…, Op.Cit., hal. 419.

Universitas Sumatera Utara

sebaik-baiknya menurut UUD adalah hak konstitusional warga negara dan merupakan hak

yang sangat fundamental. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemilihan umum, di samping

merupakan perwujudan kedaulatan rakyat, juga merupakan sarana pelaksanaan hak-hak asasi

warga negara sendiri. Untuk itulah, diperlukan pemilihan umum guna memilih para wakil

rakyat itu secara periodic. Demikian pula di lingkungan kekuasaan eksekutif, rakyat

sendirilah yang harus memilih Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk memimpin

jalannya pemerintahan, baik di tingkat pusat, di tingkat provinsi, maupun di tingkat

kabupaten/kota.

2. Sistem Pemilihan Umum

Dalam menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk di dalam keanggotaan lembaga

perwakilan rakyat atau parlemen, diperlukan cara sebagai sistem yang kemudian biasa

dipakai atau dipraktikkan di berbagai negara.85 Di setiap negara itu, sistem pemilihan

umumnya berbeda satu sama lain, namun tergantung juga darimana kita melihatnya. Dari

sudut kepentingan rakyat, sejauh mana rakyat dipandang sebagai individu yang bebas untuk

menentukan pilihannya,dan sekaligus mencalonkan dirinya sebagai calon wakil rakyat, atau

apakah rakyat hanya dipandang sebagai anggota yang sama sekali tidak berhak untuk

menentukan siapa yang akan menjadi wakilnya untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat.,

atau juga tidak berhak untuk mencalonkan diri sebaga wakil rakyat. Dalam ilmu politik,86

sistem pemilihan umum diartikan sebagai kumpulan metode atau cara warga masyarakat

memilih para wakil mereka.

Sebagai tindak lanjut Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang sudah diubah, maka Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 yang merupakan undang-

85 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op.Cit., hlm. 758. 86 M. Hadi Subhan, Op. Cit., hlm. 43.

Universitas Sumatera Utara

undang pertama setelah reformasi yang mengatur bahwa anggota DPR dan DPD mesti

dipilih. Seluruh anggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tanpa

terkecuali harus dipilih melalui mekanisme pemilihan umum. Sampai di sini, dapat dipahami

bahwa prinsip kedaulatan rakyat dalam Undang-Undang Dasar 1945 tergambar dengan jelas

dan juga sekaligus telah diiringi dengan sebuah mekanisme untuk melaksanakannya, yaitu

pemilihan umum. Walaupun demikian, tanpa melihat bagaimana sistem yang diterapkan

dalam sebuah pemilihan umum, tentunya penilaian terhadap paras kedaulatan rakyat

belumlah cukup atau lengkap. Sebab, untuk menilai apakah pemilu benar-benar telah

dijadikan sebagai media pelaksanaan

kedaulatan rakyat dapat dilihat dari sistem yang digunakan dalam pemilihan umum

tersebut.87

Kemudian pilihan terhadap sistem pemilu juga akan dapat menjadi ukuran sejauhmana

konsistensi penyelenggara negara terhadap penegakan prinsip kedaulatan rakyat yang telah

diamanahkan dalam UUD 1945. Semakin sistem tersebut memberikan ruang lebih banyak

dan luas bagi rakyat untuk menentukan sendiri pilihannya, maka sistem tersebut akan lebih

mendekati hakekat kedaulatan rakyat. Semakin sistem tersebut mempersempit ruang bagi

rakyat menentukan pilihannya, maka sistem tersebut akan semakin menjauh dari hakekat

kedaulatan yang dikandung Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ada dua macam jenis utama sistem pemilihan umum, yang pertama yaitu sistem

pemilihan umum mekanis dan yang kedua yaitu sistem pemilihan umum organis.88 Sistem

mekanis merupakan sistem pemilihan umum yang memberikan pandangan bahwa rakyat

harus ditempatkan sebagai suatu individu-individu yang sama. Aliran Liberalisme, 87 Khairul Fahmi, Prinsip Kedaulatan Rakyat dalam Penentuan Sistem Pemilihan Umum Anggota Legislatif, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 3, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 149. 88 Moh. Kusnardi dan Harmailly Ibrahim, Op.Cit., hlm. 332.

Universitas Sumatera Utara

Sosialisme, dan Komunisme semuanya menganut sistem pemilihan umum ini. Perbedaaanya

adalah, pada Liberalisme mengutamakan individu sebagai kesatuan otonom dan memandang

masyarakat sebagai hubungan kompleks antarindividu yang bersifat kontraktual, sedangkan

Sosialisme dan khususnya Komunisme lebih mengutamakan totalitas kolektif masyarakat dan

mengecilkan peranan individu dalam totalitas kolektif itu. Namun dalam semua aliran

pemikiran di atas, individu tetap dilihat sebagai penyandang hak pilih yang bersifat aktif dan

memandang rakyat (konstituen) sebagai individu-individu, yang masing-masing memiliki

satu suara dalam setiap pemilihan, yaitu suara dirinya masing-masing secara sendiri-sendiri

(one man one votes).

Sementara itu dalam sistem organis, merupakan sistem pemilihan umum yang

memberikan pandangan bahwa rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup

bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup. Persekutua hidup ini terbentuk

berdasarkan faktor genealogis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industri),

lapisan sosial (buruh tani, cendekiawan), dan lembaga sosial (universitas). Masyarakat dilihat

sebagai suatu organisme yang terdiri dari organ-organ yang memilki kedudukan dan fungsi

tertentu dalam totalitas organisme, seperti komunitas atau persekutuan hidup. Beradsarkan

pandangan tersebut maka persekutuan hisup atau komunitas itulah yang dipandang sebagai

pengendali hak untuk mengutus wakil-wakil kepada lembaga-lembaga perwakilan

masyarakat.

Dalam sistem pemilihan mekanis, partai-partai politik yang mengorganisasikan para

pemilih dan memimpin pemilih berdasarkan sistem biparty atau multi party menurut paham

liberalisme dan sosialisme ataupun berdasarkan sistem partai tunggal menurut paham

komunisme. Sedangkan menurut sistem sistem pemilihan oraganis, paratai-partai politik tidak

perlu dikembangkan, karena pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh setiap persekutuan

Universitas Sumatera Utara

hidup atau komunitas dalam lingkungannya sendiri-sendiri. Menurut sistem yang pertama

lembaga perwakilan merupakan badan perwakilan kepentingan umum rakyat seluruhnya,

sedangkan sistem yang kedua lembaga perwakilan itu merupakan badan perwakilan

kepentingan-kepentingan yang bersifat khusus dari persekutuan hidup yang bersangkutan.

Dalam bentuknya yang paling ekstrim, sistem pertama menghasilkan parlemen, sedangkan

yang kedua menghasilkan dewan korporatif. Di beberapa negara, dewan korporatif itu secara

organis diangkat, bukan dipilih. Tetapi di beberapa negara lain, misalnya, anggota senat

Irlandia (Seinad Eirann) dipilih dalam lingkungan kelompok fungsional dari mana setiap

anggota Senat Berasal.89

Dalam praktiknya, kedua sistem ini dapat dikombinasikan, khususnya di negara-negara

yang menganut sistem parlemen dua kamar atau bikameral. Melalui sistem makanis, rakyat

dapat langsung memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat

melalui pemilihan umum. Sedangkan melalui sistem oraganis, wakil-wakil tersebut diangkat

atau dipilih secara demokratis dalam lingkungannya masing-masing. Dengan demikian

negara-negara yang menganut sistem parlemen dua kamar biasa menganut penerapan kedua

sistem tersebut sekaligus. Di Indonesia yang memiliki struktur parlemen yang terdiri atas

DPR, DPD, dan MPR, semua anggotanya dipilih dengan sistem mekanis. Namun di beberapa

daerah, seperti yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus Papua, di samping sistem mekanis untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Papua (DPRP), sistem organis juga dipraktikkan untuk pemilihan anggota Majelis Rakyat

Papua (MRP). Anggota MRP itu terdiri atas unsure tokoh masyarakat hukum adat, golongan

perempuan, dan tokoh agama.90

89 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, UI-Press, Jakarta, 1997. 90 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op.Cit., hlm. 760.

Universitas Sumatera Utara

Dalam sistem pemilihan mekanis, sistem pemilihan ini dikatakan dapat dilaksanakan

dengan dua cara, yaitu : (a) Sistem Single Member Constituencies, atau Sistem Distrik, atau

disebut juga Sistem Mayoritas;91 dan (b) Sistem Multi Member Constituencies atau Sistem

Perwakilan Berimbang atau dikenal juga dengan sebutan Sistem Proporsional.92

a. Single Member Constituencies

Sistem pertama ini dinamakan sebagai single member constituency atau sistem distrik

(district system). Dinamakan sistem distrik karena wilayah negara dibagi dalam distrik-

distrik pemilihan (daerah-daerah pemilihan) yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota

lembaga perwakilan rakyat yang dikehendaki. Sistem ini juga dinamakan dengan sistem

mayoritas (majority system) atau single member constituencies,93 yaitu di satu daerah

pemilihan ditentukan hanya untuk satu orang wakil (single member). Misalnya, jumlah

anggota DPR 500 orang, maka wilayah negara dibagi dalam 500 distrik wilayah pemilihan

(daerah pemilihan atau constituencies). Jadi setiap distrik pemilihan diwakili oleh satu orang

saja sebagai wakil di Dewan Perwakilan Rakyat. Karena itu dinamakan sebagai sistem distrik

atau single member constituencies.

Sebagian sarjana menamakan sistem ini sebagai sistem mayoritas (majority system)

dikarenakan orang-orang yang akan dipilih sebagai wakil rakyat dari suatu distrik atau daerah

pemilihan ditentukan oleh siapa yang memperoleh suara terbanyak atau suara mayoritas

(majority vote), meskipun hanya mayoritas yang relatif atau mayoritas sederhana (simple

majority). Pemilihan umum dilaksanakan satu kali, dimana suara-suara yang tidak terpilih

dari suatu distrik pemilihan, tidak dapat digabungkan dengan dengan suara yang diperoleh

dari distrik pemilihan yang lain. Dengan demikian, setiap suara yang tidak mencapai

mayoritas, yang berarti juga bahwa calonnya tidak terpilih, maka suara yang diperoleh oleh 91 Ismail Sunny dalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op.Cit., hlm. 761. 92 Ismail Sunny dalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Loc.Cit. 93 Bintan R. Saragih dalam Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Loc. Cit.

Universitas Sumatera Utara

calon yang bersangkutan menjadi hilang dan tidak dapat diperhitungkan untuk menambah

suara bagi calon yang berasal dari partai politik yang sama yang diajukan untuk distrik yang

lain. Inilah salah satu yang dianggap sebagai kelemahan utama sistem distrik. Yang

memenagkan kursi parlemen hanyalah calon wakil rakyat yang mendapatkan suara mayoritas

relatif saja yang tidak lain adalah adalah suara minoritas, sedangkan suara mayoritas yang

sesungguhnya diabaikan sama sekali. Dikatakan seperti ini karena misalnya pada suatu distrik

pemilihan, calon A mendapat 10.000 suara, calon B mendapat 9.800 suara, dan calon C

mendapat 8.900 suara, maka A yang dinyatakan terpilih karena dialah yang mendapatkan

suara mayoritas dalam distrik pemilihan tersebut. Namun tentunya dalam distrik pemilihan

tersebut yang mendukung A sebagai calon yang terpilih sebenarnya hanyalah 10.000 suara

dibandingkan dengan suara yang tidak mendukungnya yaitu 18.700 suara.

Jika ditelaah lebih lanjut maka akan ditemukan baik kelemahan maupun kekurangan

sistem distrik ini. Kelebihan sistem distrik adalah94 :

a) Hubungan antara pemilih dan wakilnya sangat dekat.

b) Sistem distrik ini mendorong penyederhanaan jumlah partai politik secara alamiah.

c) Wakil-wakil rakyat terpilih relative lebih banyak memperhatikan kepentingan

rakyat dan daerah yang diwakilinya, sehingga aspirasi daerah dapat terangkat ke

tingkat nasional.

d) Proses penyelenggaraan pemilu relatif lebih sederhana, lebih efisien, dan relatif

memerlukan biaya yang sedikit.

Sedangkan kekurangan sistem distrik ini adalah95 :

94 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op.Cit., hlm. 772. 95 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Loc.Cit.

Universitas Sumatera Utara

a) Terdapat suara yang terbuang yang berarti ada atau bahkan banyak aspirasi rakyat

yang tersisihkan begitu saja karena kalah jumlah.

b) Sistem ini menyulitkan partai-partai politik yang kecil untuk ikut berperan di medan

persaingan politik demokrasi.

b. Sistem Multi Member Constituency atau Perwakilan Berimbang

Sistem perwakilan berimbang atau sistem proporsional disebut juga dengan istilah sistem

multi member constituencies,96 yaitu sistem di mana persentase kursi di lembaga perwakilan

rakyat yang dibagikan kepada setiap partai politik disesuaikan dengan persentase jumlah

suara yang diperoleh setiap partai politik itu. Misalnya, jumlah pemilih yang sah pada suatu

pemilihan umum adalah 10 ribu orang, dan jumlah kursi di Badan Perwakilan Rakyat

ditentukan sebanyak 50 kursi, berarti untuk satu orang wakil rakyat dibutuhkan suara 200.

Pembagian kursi di lembaga perwakilan rakyat tersebut tergantung kepada berapa jumlah

suara yang didapat setiap partai politik yang ikut pemilihan umum itu.

Jika sistem ini digunakan maka dalam bentuk aslinya tidak perlu lagi membagi

konstituen dalam distrik-distrik tertentu, namun tentu saja dibagi atas sejumlah daerah

pemilihan, dengan ketentuan bahwa tiap-tiap daerah pemilihan itu disediakan beberapa kursi

sesuai dengan perimbangan jumlah penduduk. Walaupun demikian jumlah kursi untuk suatu

pemilihan, dan sesuai dengan jumlah penduduk yang boleh mengikuti pemilihan umum,

tetapi apabila ternyata tidak semua penduduk memberikan suara atau ada sebagian yang tidak

sah, maka persentase untuk satu kursi menjadi berubah juga.

Pada kenyataannya, sistem proporsional ini dapat dilakukan denganbanya variasi, tetapi

ada dua metode yang dianggap utama dalam praktik yaitu yang dinamakan: Single

Transferable Vote (Hare System) dan List System. Pertama, dalam Single Transferable Vote

96 Bintan R. Saragih dalam Jimly Asshiddiqie, Op.Cit. hlm. 766.

Universitas Sumatera Utara

(Hare System), pemilih diberi kesempatan untuk memilih piluhan pertama, kedua, dan

seterusnya dari daerah pemilihan yang bersangkutan. Jumlah imbangan suara yang

dibutuhkan untuk pemilih ditentukan, dan segera setelah jumlah keutamaan pertama

dipenuhi, dan jika ada sisa suara, maka kelebihan ini dapat dipindahkan kepada calon

berikutnya, dan seterusnya. Calon-calon dari partai politik x mendapat suara sebagai berikut:

A untuk daerah I mendapat 19.500 suara, B untuk daerah II mendapat 9.500 suara, C untuk

daerah III mendapat 7.000 suara dan D untuk daerah IV mendapat 4.000 suara. Jika

didasarkan kepada imbangan suara 10.000 maka hanya calon A dari daerah I yang berhak

untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat, sedangkan calon-calon lain tidak memenuhi

ambang batas suara.

Namun jika yang dipraktikkan adalah Hare System, maka kelebihan suara dari A

sebanyak 9.500 dapat dipindahkan kepada calon B, sehingga calon B juga dapat terpilih,

karena B akan memperoleh 19.000 suara, kelebihan 9.000 yang diperoleh B ini dapat pula

dipindahkan kepada C, sehingga C akan memperoleh 16.000 suara yang berarti masih ada

lebihnya 6.000 suara. Suara lebih ini juga dapat dipindahkan kepada calon berikutnya yaitu

D, sehingga akhirnya D juga dapat terpilih, sebab jumlah suaranya menjadi 10.000, sesuai

dengan jumlah imbangan suara yang dibutuhkan. Dari contoh ini, dapat kita lihat bahwa

calon yang pada mulanya terpilih hanyalah A, namun dengan menggunakan Hare System,

maka semua calon dapat terpilih.

Kedua, pada pemilu proporsional dengan sistem daftar atau list system, pemilih diminta

memilih dari daftar yang tersedia yang berisi nama-nama calon wakil rakyat yang akan

dipilih dalam pemilihan umum. Rakyat pemilih cukup memilih satu calon dari daftar itu dan

calon yang mendapatkan suara terbanyak dinyatakan sebagai calon terpilih. Terkadang dalam

praktiknya sistem daftar ini digabungkan dengan sistem proporsional (sistem pemilihan

Universitas Sumatera Utara

berimbang). Pemilih dapat memilih tanda gambar partai politik dan/atau memilih calon yang

terdapat dalam daftar calon. Dalam praktik, kedua prosedur ini dapat dialternatifkan, yaitu

para pemilih dimungkinkan hanya memilih tanda gambar partai poltik saja atau memilih

calon saja. Terkadang prosedur dengan stelsel daftar (list system) ini juga dapat digabung dan

diintegrasikan, yaitu pemilih diharuskan secara mutlak memilih tanda gambar dan calon

sekaligus. Ada juga negara yang tidak memutlakkan penggabungan itu, melainkan

mengembangkan prosedur yang lebih terbuka, yaitu tanda gambar dipilih dan nama atau foto

calon juga dipilih, tetapi jika pemilih hanya memilih salah satu maka dianggap sudah cukup

dan hasil pemilihan itu dianggap sah. Sistem yang bersifat alternatif seperti ini dianggap lebih

realistis, apalagi jika di terapkan di negara-negara yang jumlah penduduknya besar. Dalam

sistem pemilu di Indonesia dewasa ini, prosedur inilah yang diterapkan.97

Dari uraian di atas maka dapat disajikan beberapa kelebihan dan kekuarangan sistem

proporsional atau sistem perwakilan berimbang. Adapaun kelebihan dari sistem ini adalah:98

a) Suara rakyat yang terbuang sangat sedikit yang berarti hanya sedikit aspirasi rakyat

yang tidak tertampung di lembaga perwakilan rakyat.

b) Partai-partai politik yang kecil berpeluang untuk mendudukkan calon-calonnya di

lembaga perwakilan rakyat.

c) Wakil-wakil rakyat yang terpilih cenderung berorientasi nasional, sehingga dalam

rangka pembinaan kepentingan nasional, sistem ini dapat dianggap lebih baik.

Sedangkan kekurangan dari sistem ini adalah:99

a) Sistem proporsional cenderung mempermudah terjadinya perpecahan partai politik dan

memunculkan partai-partai baru.

97 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op.Cit., hlm. 769. 98 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op.Cit., hlm. 772. 99 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Loc.Cit.

Universitas Sumatera Utara

b) Wakil rakyat yang terpilih cenderung merasa lebih dekat dengan dan terkait dengan

kepentingan partai politik daripada kepentingan rakyat yang diwakilinya.

c) Banyaknya partai politik mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil. Karena,

semakin banyaknya jumlah partai, pembentukan pemerintahan semakin tergantung

kepada jumlah koalisi antar partai yang dapat diajak bekerja sama atas dasar

kepentingan kekuasaan.

3. Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Putusan Nomor 22-24/PUU-

VI/2008 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Sistem Pemilu Indonesia.

Pemilihan umum anggota DPR dan DPRD menganut sistem pemilu yang pada

pokoknya adalah sistem proporsional dengan variasi list system yang terbuka secara terbatas

sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008

menyatakan “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.” Dikatakan pada

pokoknya adalah sistem proporsional karena: (i) peserta pemilu adalah partai politik yang

dilakukan dengan cara memilih tanda gambar partai politik; namun (ii) para pemilih dapat

juga langsung dengan cara memilih foto calon yang bersangkutan atau daftar nama yang

disediakan dalam surat suara.100 Hal ini tergambar melalui ketentuan Pasal 55 UU No.10

Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPRD, dan DPD yang menyebutkan bahwa daftar nama

calon anggota legislatif itu disusun berdasarkan nomor urut yang tentunya ditentukan oleh

partai politik dimana calon tersebut berasal.101 Apabila kemudian pemilih tidak memilih

daftar nama calon berdasarkan nomor urut tersebut melainkan memilih gambar partai politik

100 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok…, Op.Cit., hlm. 774. 101 Pasal 55 UU No.10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPRD, dan DPD.

Universitas Sumatera Utara

saja maka berlakulah penetapan nomor urut dari calon wakil rakyat apabila para calon yang

dipilih tidak mencukupi Bilangan Pembagi Pemilihan yang merupakan hasil bagi dari jumlah

suara sah partai politik pada suatu daerah pemilihan dengan jumlah kursi yang disediakan

untuk daerah pemilihan tersebut. Ketentuan ini dapat kita lihat berdasarkan Pasal 214 huruf e

UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu yang menyatakan bahwa dalam hal tidak ada calon

yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka

calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.102

Melalui putusannya dengan perkara Nomor 22-24/PUU-VI/2008, Mahkamah Konstitusi

kemudian dipandang melakukan suatu terobosan penting dalam pelaksanan pemilihan umum

yang berkedaulatan rakyat di Indonesia. Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya

kemudian membatalkan ketentuan Pasal 214 UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu tersebut

dan menetapkan bahwa sistem suara terbanyaklah yang dipakai untuk menentukan

keterpilihah sesorang sebagai wakil rakyat bukan nomor urut yang ditentukan oleh partai

politik yang bersangkutan karena hal tersebut menciderai aspek kedaulatan rakyat. Lebih

jelasnya dalam pendapatnya Mahkamah menyatakan:

“Ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 yang menentukan bahwa calon terpilih adalah calon yang mendapat di atas 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP, atau menempati nomor urut lebih kecil, jika tidak ada yang memperoleh 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP, atau yang menempati nomor urut lebih kecil jika yang memperoleh 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP lebih dari jumlah kursi proporsional yang diperoleh suatu partai politik peserta Pemilu adalah inkonstitusional. Inkonstitusional karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat sebagaimana telah diuraikan di atas dan dikualifisir bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Hal tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif akan benar-benar melanggar kedaulatan rakyat dan keadilan, jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem terpaksa calon yang mendapat

102 Pasal 214 huruf e UU No.10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPRD, dan DPD.

Universitas Sumatera Utara

suara banyak dikalahkan oleh calon yang mendapat suara kecil, karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil”103

Jadi melalui putusan Mahkamah Konstitusi ini paradigma sistem pemilu di Indonesia

kemudian berubah, nomor urut seorang calon wakil rakyat tidaklah kemudian berpengaruh

sangat signifikan dalam penentuan keanggotaan pada lembaga perwakilan rakyat. Pasal 1

ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan

dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar 1945 ditafsirkan Mahkamah Konstitusi bahwa

kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga dalam kegiatan pemilihan umum,

rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya. Pendapat Mahkmah Konstitusi ini

menepis pendapat yang menyatakan bahwa DPR sebagai pembuat undang-undang melalui

kebijaksanaannya bebas untuk menentukan suatu sistem pemilu yang digunakan karena diberi

kewenangan untuk itu dengan memasukkannya dalam ketentuan undang-undang. Namun

menurut Mahkamah Konstitusi hal ini memang benar adanya namun bukan berarti

kewenangan tersebut kemudian menyimpangi atau menciderai prinsip-prinsip kedaulatan

rakyat yang terdapat dalam UUD 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini kemudian menggeser peran besar partai politik dan

mengembalikan bandul peranan penting rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam memilih

wakil-wakil mereka yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. Sistem penetapan suara

terbanyak dapat dipandang memberi kemudahan bagi para peserta pemilu dam masyarakat

karena baik peserta pemilu maupun masyarakat menjadi bebas menentukan hak pilihnya.104

Selain itu penetapan suara terbanyak memberikan keadilan yang substantif dimana seorang

calon wakil rakyat memang benar-benar dipilih berdasarkan dukungan rakyat bukan karena

campur tangan partai politik yang bersangkutan sehingga prinsip pertanggungjawaban dari

103 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang (PUU) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. 104 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang (PUU) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

Universitas Sumatera Utara

calon yang terpilih semakin mengikat kuat secara moral kepada para konstituennya. Putusan

Mahkamah Konstitusi ini merupakan perkembangan signifikan terhadap pelaksanaan

demokrasi di Indonesia.105

105 Saldi Isra dalam Suara Rakyat Dihormati, Harian Kompas, 24 Desember 2008, hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara