BAB II Kasus Forensik Kejahatan Anak

4
BAB II Penyebab Kejahatan Anak Anak-anak yang melakukan kejahatan kekerasan melakukannya untuk berbagai alasan. Penelitian kriminalitas remaja di Inggris oleh Wilson dan kolega (2006) serta Snyder dan Sickmund (2006) di Amerika Serikat menemukan bahwa pelaku kejahatan kekerasan anak banyak yang berasal dari rumah yang tidak harmonis, anak-anak dari latar belakang sosial-ekonomi rendah, anak-anak dengan akses ke senjata tanpa pengawasan yang cukup, anak-anak yang pernah mengalami kekerasan dan pengabaian, serta anak yang menggunakan atau menyalahgunakan zat adiksi terlarang (Brown, 2010). Anak-anak yang mengalami trauma kekerasan juga dapat menjadi pelaku kejahatan kekerasan karena mengembangkan cara pandang yang salah tentang penggunaan kekerasan dalam kehidupannya kelak. Misalkan: anak yang pernah mengalami “plonco” menggunakan kekerasan di masa awal adaptasi sekolahnya, dapat mengembangkan pemahaman yang salah mengenai kegunaan “plonco” sebagai cara memperlakukan adik kelasnya kelak. Atau anak-anak yang mengalami pengabaian dan kurangnya pengawasan dapat terlibat dalam perilaku “geng”, dan mudah terpengaruh untuk melakukan perilaku dibawah pengaruh kelompok bahkan melakukan tindakan kriminal seperti mencuri bersama kelompoknya. Hal-hal tersebut dapat disebut sebagai faktor resiko perilaku kejahatan anak. Meskipun kadang-kadang tidak mungkin untuk mengetahui secara pasti motivasi di balik setiap kejahatan; namun tetap

description

forensic

Transcript of BAB II Kasus Forensik Kejahatan Anak

Page 1: BAB II Kasus Forensik Kejahatan Anak

BAB II

Penyebab Kejahatan Anak

Anak-anak yang melakukan kejahatan kekerasan melakukannya untuk berbagai

alasan. Penelitian kriminalitas remaja di Inggris oleh Wilson dan kolega (2006) serta Snyder

dan Sickmund (2006) di Amerika Serikat menemukan bahwa pelaku kejahatan kekerasan

anak banyak yang berasal dari rumah yang tidak harmonis, anak-anak dari latar belakang

sosial-ekonomi rendah, anak-anak dengan akses ke senjata tanpa pengawasan yang cukup,

anak-anak yang pernah mengalami kekerasan dan pengabaian, serta anak yang menggunakan

atau menyalahgunakan zat adiksi terlarang (Brown, 2010).

Anak-anak yang mengalami trauma kekerasan juga dapat menjadi pelaku kejahatan

kekerasan karena mengembangkan cara pandang yang salah tentang penggunaan kekerasan

dalam kehidupannya kelak. Misalkan: anak yang pernah mengalami “plonco” menggunakan

kekerasan di masa awal adaptasi sekolahnya, dapat mengembangkan pemahaman yang salah

mengenai kegunaan “plonco” sebagai cara memperlakukan adik kelasnya kelak. Atau anak-

anak yang mengalami pengabaian dan kurangnya pengawasan dapat terlibat dalam perilaku

“geng”, dan mudah terpengaruh untuk melakukan perilaku dibawah pengaruh kelompok

bahkan melakukan tindakan kriminal seperti mencuri bersama kelompoknya. Hal-hal

tersebut dapat disebut sebagai faktor resiko perilaku kejahatan anak.

Meskipun kadang-kadang tidak mungkin untuk mengetahui secara pasti motivasi di

balik setiap kejahatan; namun tetap penting untuk memeriksa semua faktor yang terlibat.

Lebih lanjut, penting untuk diperiksa alasan mengapa anak-anak melakukan jenis kejahatan

karena mungkin saja anak melakukannya sebagai bagian dari teriakan minta tolong, yang

disebabkan dari riwayat pelecehan dan penelantaran.

Faktor lainnya yang perlu dipertimbangkan adalah adanya gangguan psikologis pada

anak. Seperti depresi, skizofren dan kecenderungan gangguan kepribadian. Jenis gangguan

kepribadian yang sering diasosiasikan dengan perilaku kejahatan adalah :

1. Narsisme, adalah perasaan dan pikiran bahwa diri sendiri spesial dan lebih unggul

daripada orang lain

2. Psikopatik, demi mencapai tujuannya tanpa ragu seseorang menyakiti / merugikan

orang lain tanpa ada perasaan bersalah.

Page 2: BAB II Kasus Forensik Kejahatan Anak

Beberapa perilaku anak yang mengindikasikan gangguan kepribadian dapat tampak

sejak kecil contohnya ketika ia mudah menyakiti hewan, sikap kejam terhadap makhluk yang

lemah, pekembangan berulang, riwayat tindak kriminalitas ringan, pengalaman melakukan

kekerasan, dsb.

Berdasar Pendekatan Psikodinamik

Pada kasus ini dimana seorang anak tega membunuh temannya karena berhutang

1000 rupiah merupakan suatu yang sangat disayangkan. Mengacu pada pola terminologi

Freud, id, ego, superego, sebagai kondisi mental seseorang bahwa, adanya dorongan agresi

pada anak ketika ia merasa bahwa temannya memiliki hutang 1000 rupiah. Ketika id anak

kuat kemudian egonya lemah maka anak cenderung psikopat. Dorongan idnya begitu kuat

sehingga anak tidak dapat mengontrol diri. Pada anak ini adanya hasrat yang tidak ia sadari

yang begitu kuat yang mendorong anak melakukan perilaku agresi dan egonya lemah dalam

melihat realita tanpa mau berfikir terlebih dahulu sebelum bertindak. Sehingga muncul

masalah psikologis, yaitu ketidak mampuan anak dalam mengatasi hal-hal yang tidak disadari

tersebut.

Berdasar Pendekatan Kognitif

Orientasi pendekatan ini adalah pada kondisi kognisi, khususnya pola pikir tetang diri

sendiri yang diyakini sebagai sumber timbulnya gangguan psikologis. Konsep dasarnya

sendiri adalah perilaku tidak hanya dipelajari antara stimulus respon, juga dari cara seseorang

berfikir terhadap suatu kejadian. Menurut kelly dalam teorinya “gangguan perilaku adalah

hasil dimana seseorang mengembangkan respons yang tidak tepat terhadap pengalaman sosial

yang dihadapinya”. Mengacu pada teori kelly bahwa pada kasus ini mungkin anak pernah

memiliki pengalaman sosial yang negatif sehingga respons anak menjadi tidak tepat.

Mungkin saja anak belajar melalui modeling, ia melihat banyak orang melakukan kekerasan

dalam masalah hutang piutang, sehingga apa yang dilihatnya itu dianggap sebagai suatu cara

yang efektif ketika ia mengalami hal serupa tanpa adanya proses berfikir terhadap kejadian

tersebut.