BAB II Kajian Pustaka - Perpustakaan Digital ITB...
Transcript of BAB II Kajian Pustaka - Perpustakaan Digital ITB...
4
BAB II Kajian Pustaka
II.1 Analisis input output
II.1.1 Tabel Input-Output
Hubungan timbal balik dan saling keterkaitan antara satuan kegiatan (sektor)
perekonomian dengan sektor lain secara menyeluruh dapat digambarkan
menggunakan tabel input-output. Tabel input-output pada dasarnya adalah matriks
yang menyajikan informasi tentang transaksi barang dan jasa serta saling keterkaitan
antara sektor satu dengan sektor lain dalam suatu wilayah pada suatu periode waktu
tertentu. Masing-masing baris pada tabel input-output menunjukkan bagaimana
output suatu sektor dialokasikan untuk memenuhi permintaan antara sektor lain dan
permintaan akhir. Sedangkan masing-masing kolom menunjukkan pemakaian input
antara dan input primer oleh suatu sektor di dalam proses produksi.
Untuk memperoleh gambaran tentang struktur tabel input-output, pada Tabel II.1
disajikan contoh tabel input-output untuk sistem perekonomian yang terdiri dari 2
sektor produksi, yaitu sektor 1 dan 2.
Tabel II.1 Contoh Tabel Input-Output untuk Sistem Perekonomian dengan Dua Sektor Produksi
Alokasi Output Permintaan Antara
Sektor Produksi Struktur Input 1 2
Permintaan Akhir
Jumlah Output
1 z11 Z12 Y1 X1 Input Antara
Sektor Produksi 2 Z21 Z22 Y2 X2
Nilai Tambah Bruto W1 W2 Jumlah Input X1 X2
Berdasarkan cara pengisian angka-angka ke dalam sistem matriks, maka dapat dilihat
bahwa angka-angka setiap sel pada Tabel II.1 memiliki makna ganda. Angka pada
5
suatu sel pada transaksi antara misal z12, jika dilihat menurut baris menunjukkan
besar output sektor 1 yang dialokasikan untuk memenuhi permintaan antara di sektor
2. Sedangkan jika dilihat menurut kolom, z12 mununjukkan besar input yang
digunakan oleh sektor 2 yang berasal dari sektor 1.
II.1.2 Demand-Side Input-Output Models
Apabila dilihat berdasarkan baris dari Tabel II.1, dapat disimpulkan bahwa Jumlah
Output suatu sektor, sama dengan jumlah ouput antara sektor tersebut,
ditambah dengan Permintaan Akhir, . Jadi untuk perekonomian dengan dua sektor
seperti contoh di atas,
dan
atau
Apabila setiap elemen dari kolom matriks transaksi dibagi dengan Jumlah Output dari
sektor yang sama, diperoleh matriks direct-input coefficient, . Jadi apabila elemen
matriks adalah maka . Persamaan untuk dapat ditulis sebagai
berikut,
Persamaan dapat ditulis ulang menjadi,
6
Jadi perubahan terhadap permintaan akhir, akan mengakibatkan perubahan pada
Jumlah Ouput, sebesar
Matriks disebut sebagai input inverse matrix.
II.1.3 Supply-Side Input-Output Models
Apabila setiap elemen baris dari matriks transaksi Z pada Tabel II.1 dibagi dengan
jumlah output dari baris tersebut, diperoleh matriks direct-output coefficient, . Jadi
apabila elemen matriks adalah maka . Persamaan untuk dapat
ditulis sebagai berikut,
Apabila dilihat berdasarkan kolom, Jumlah Output untuk suatu sektor, merupakan
jumlah dari input antara untuk sektor tersebut, ditambah dengan Nilai Tambah
Bruto, . Jadi untuk perekonomian dengan dua sektor seperti contoh di atas,
dan atau
Persamaan di atas dapat ditulis dalam bentuk matriks sebagai berikut,
7
Karena matriks dapat ditulis sebagai , persamaan di atas dapat diubah
menjadi,
Karena , maka
Jadi perubahan pada Nilai Tambah Bruto, akan menyebabkan perubahan pada
Jumlah Input, sebesar
Matriks disebut output inverse matrix.
II.1.4 Inter-Industrial Linkage Analysis
Di dalam kerangka model input-output, produksi suatu sektor memiliki dua efek pada
sektor lain. Jika sektor j menambah outputnya, maka akan ada pertambahan
kebutuhan dari sektor j ke sektor-sektor lain yang outputnya menjadi input bagi
sektor j untuk berproduksi. Hubungan antara suatu sektor ekonomi dengan sektor lain
di mana ia membeli input disebut backward linkage. Di sisi lain, pertambahan output
di sektor j berarti ada pertambahan jumlah produk j yang dapat dipakai oleh sektor
lain sebagai input. Jadi akan ada pertambahan supply dari sektor j untuk sektor-sektor
8
lain yang menggunakan barang j dalam produksinya. Hubungan antara suatu sektor
dengan sektor lain di mana ia menjual outputnya disebut forward linkage.
Apabila backward linkage suatu sektor i lebih besar dibanding sektor j, dapat
disimpulkan bahwa nilai satu rupiah pertambahan output sektor i lebih
menguntungkan bagi ekonomi dibanding pertambahan yang sama dari sektor j
dipandang dari sudut aktivitas produksi yang akan dibangkitkannya. Apabila forward
linkage suatu sektor r, lebih besar dibanding sektor s, dapat disimpulkan bahwa satu
rupiah ekspansi output sektor r akan lebih bermanfaat dibanding pertambahan output
yang sama dari sektor s dipandang dari sudut keseluruhan aktivitas produksi yang
didukungnya.
BACKWARD LINKAGE Salah satu ukuran kekuatan backward linkage suatu sektor i adalah jumlah kolom ke i
dari direct-input coefficients matrix, yaitu . Karena koefisien-koefisien di
dalam matriks hanya mengukur efek langsung, biasanya variabel ini disebut
sebagai direct backward linkage, . Jadi
sehingga .
OUPUT MULTIPLIER Ukuran kekuatan backward linkage yang lebih komperhensif dari suatu sektor j
adalah jumlah elemen-elemen pada kolom ke j output invers matrix yaitu
. Koefisien-koefisien di dalam matriks memperhitungkan efek
langsung maupun tidak langsung sehingga variabel ini merupakan total backward
9
linkage atau lebih dikenal sebagai output multiplier masing-masing sektor, .
Jadi
Matriks baris untuk output multiplier tersebut adalah
.
FORWARD LINKAGE Paralel dengan backward linkage, direct forward linkage suatu sektor j, adalah
jumlah baris ke j dari matriks direct output coefficients, yaitu
Matriks kolom untuk direct forward linkage masing-masing sektor adalah
.
INPUT MULTIPLIER Input multiplier atau total forward linkage dari suatu sektor j, adalah
jumlah elemen-elemen pada baris ke j dari inverse output matriks, , yaitu
Matriks kolom input multiplier berbagai sektor dapat diperoleh dengan
10
II.2 Model kontrak pengusahaan migas indonesia
Model kontrak pengusahaan gas bumi Indonesa diperlukan sebagai landasan dalam
membuat analisa kebijakan dan pengambilan dasar keputusan pemberian insentif.
Dalam kajian ini hanya dibahan tentang kontrak kerja sama atau production sharing
contract. Kontrak lainnya seperti TAC dan JOB tidak di bahas karena merupakan
kontrak turunan dari PSC dan akan habis masa berlakunya dalam waktu dekat.
Sejak tahun 2001 yang lalu paradigma pengusahaan migas nasional berkembang
sedemikian rupa sejak diundangkannya UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi. Dengan adanya UU Migas yang baru, maka aturan lama yang selama ini
menjadi pondasi kegiatan usaha Gas Bumi di Indonesia yaitu UU No 08 Tahun 1971
tentang Pertamina tidak berlaku lagi. Beberapa pokok perubahan paradigma tersebut
dapat dijelaskan dalam bagan pada Gambar II.1
Gambar II.1 Perubahan Paradigma Pengelolaan Gas Bumi Nasional
Dari gambar diatas, sebelum UU No 22 Tahun 2001, subyek utama kegiatan usaha
gas bumi adalah pemerintah, Pertamina dan PGN. Pemerintah bertanggung jawab
11
merumuskan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pembinaan, standar mutu dan
lindung lingkungan. Pertamina bertanggung jawab atas kegiatan usaha hulu dan hilir
gas. Kegiatan hulu dipegang oleh Pertamina sebagai pemegang kuasa pertambangan
seluruh Indonesia. Dalam pelaksanaannya, Pertamina bekerja sama dengan
Kontraktor hulu. Sedangkan untuk kegiatan usaha hilir gas, dilaksanakan Pertamina
secara monopolis. Disamping Pertamina, PGN melakukan kegiatan transmisi dan
distribusi gas bumi dengan segmen utama pemasokan gas ke rumah tangga,
pelanggan kecil, komersial dan industri. Masuknya PGN ke dalam bisnis gas, pada
awalnya diperuntukkan untuk mengembangkan gas kota (city gas). Namum
demikian, mengingat kemungkinan pengembangan city gas masih kurang
menggembirakan, pengembangan bisnis transmisi menjadi alternatif. Saat ini PGN
sudah merupakan perusahaan publik, dengan demikian, perannya sebagai
kepanjangan pemerintah dengan sendirinya sudah tidak berlaku lagi.
Dengan berlakunya UU No 22 Tahun 2001, subyek utama pelaku migas dipegang
oleh Ditjen Migas, BP Migas dan BPH Migas, sedangkan mekanisme usaha
diserahkan ke pasar terbuka yang memungkinkan masuknya badan usaha baru.
Berdasarkan UU Migas, Pemerintah menjalankan fungsi pengaturan (policy),
pembinaan, penentuan standar mutu, keselamatan kerja, lindung lingkungan dan
pemberian ijin usaha. Tanggung jawab utama Badan Pelaksana Migas adalah
mengatur dan mengawasi kegiatan usaha migas atas dasar kontrak kerjasama,
sedangkan BPH Migas berwenang untuk melakukan pengaturan dan pengawasan
kegiatan usaha penyediaan dan pendistribusian BBM dan pengangkutan gas bumi
melalui pipa. Badan ini juga punya hak untuk menetapkan harga gas bumi untuk
rumah tangga dan pelanggan kecil serta penyelesaian perselisihan usaha antar pelaku
bisnis hilir.
Perkembangan Kontrak Gas Bumi di Indonesia
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu, kontrak kerjasama yang banyak
berlaku saat ini adalah kontrak bagi hasil (production sharing contract-PSC). Dalam
12
perkembangannya dan pelaksanaannya PSC mengalami perubahan-perubahan
beberapa prinsip pokoknya. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan akibat situasi
perminyakan baik di dalam maupun di luar negeri. Dengan adanya perubahan-
perubahan tersebut, prinsip PSC dapat dikelompokkan sebagai berikut:
PSC generasi pertama (1964-1977)
Kontrak ini merupakan bentuk awal PSC. Pada tahun 1974 terjadi lonjakan harga
minyak dunia sehingga pemerintah menetapkan kebijakan bahwa sejak tahun 1974,
Kontraktor wajib melaksanakan pembayaran tambahan kepada pemerintah. Prinsip-
prinsip pokok PSC generasi I adalah:
• Manajemen operasi di tangan pertamina
• Kontraktor menyediakan seluruh biaya operasi perminyakan
• Kontraktor akan memperoleh seluruh biaya operasinya, dengan ketentuan
maksimum 40 % setiap tahun.
• Dari 60 % dibagi menjadi:
Pertamina : 65 %
Kontraktor : 40 %
• Pertamina membayar pajak pendapatan kepada pemerintah
• Kontraktor wajib memenuhi kebutuhan BBM untuk dalam negeri secara
proporsional (maksimum 25 % bagiannya) dengan harga US $ 0.20/ bbl.
• Semua peralatan dan fasilitas yang dibeli oleh Kontraktor menjadi milik
pertamina.
• Dari interest Kontraktor ditawarkan kepada perusahaan nasional Indonesia
setelah lapangan dinyatakan komersial.
• Sejak tahun 1974 sampai dengan 1977, Kontraktor diwajibkan memberikan
tambahan pembayaran kepada pemerintah.
PSC generasi kedua (1978-1987)
13
Prinsip-prinsip pokok PSC generasi II adalah sebagai berikut :
• Tidak ada pembatasan biaya pengembalian biaya operasi yang diperhitungkan
oleh Kontraktor
• Setelah dikurangi biaya-biaya, pembagian hasil menjadi :
untuk minyak : 65,91 % untuk Pertamina, 34,09 % untuk Kontraktor.
Untuk gas : 31,8 % untuk Pertamina, 68,2 % untuk Kontraktor
• Kontraktor membayar pajak 56 % secara langsung kepada pemerintah
• Kontraktor mendapat insentif :
- harga ekspor penuh minyak mentah DMO setelah lima tahun pertama
produksi
- insentif pengembangan 20 % dari modal yang dikeluarkan untuk fasilitas
produksi.
PSC generasi ke III (1988-2001) Pada tahun 1984 pemerintah menetapkan peraturan perundang-undangan pajak baru
dengan tarif 48 %. Namun peraturan tersebut baru dapat diterapkan terhadap PSC
yang ditandatangani tahun 1988, karena dalam perundingan-perundingan yang
dilakukan, pihak Kontraktor masih mempunyai kecenderungan untuk menggunakan
peraturan perpajakan yang lama. Dengan demikian pembagian hasil berubah menjadi
:
- untuk minyak : 71.15 % untuk Pertamina, 28.85 % untuk Kontraktor
- untuk gas : 42.31 % untuk Pertamina, 57.69 % untuk Kontraktor
Bagian bersih setelah dikurangi pajak :
- untuk minyak : Pertamina/Kontraktor = 85 : 15
- untuk gas : Pertamina/Kontraktor = 70 : 30
PSC generasi ke IV (2001 – sekarang)
14
PSC generasi ini dikembangkan berdasarkan UU No 22 Tahun 2001. beberapa
ketentuan yang menonjol adalah
• Diterapkannya DMO gas sebesar 25% dari produksi,
• Penetapan split antara pemerintah dan Kontraktor yang bervariasi tergantung
keekonomian lapangan.
Untuk lebih menarik investor asing menanamkan modalnya di bidang migas di
Indonesia yang nampak mulai mengalami penurunan akibat tidak menentunya harga
minyak di pasar dunia, maka pemerintah mengeluarkan beberapa insentif sebagai
berikut.
Model Kontrak Bagi Hasil
Skematika dari rincian PSC di atas untuk minyak dan gas bumi dapat dilihat pada
Gambar II.2.
15
Gambar II.2 Sistematika Kontrak Bagi Hasil (PSC) Migas Indonesia
16
Adapun penjelasan lebih lanjut dari diagram di atas adalah sebagai berikut:
a. Gross revenue (pendapatan kotor) adalah Lifting migas x harga. Lifting
merupakan minyak/gas yang dijual. Angka lifting tidak sama dengan angka
produksi sumur. Harga minyak ditentukan oleh pemerintah yang berpedoman
pada formulasi ICP (indonesia crude price), sedangkan harga gas berdasarkan
perjanjian antara Kontraktor dan pembelinya.
b. FTP (First Tranche Petroleum) adalah minyak atau gas awal yang disisihkan
sebelum dikurangi investment credit dan biaya operasi. Besarnya FTP adalah
20% (atau sesuai kontrak) dari gross revenue dan selanjutnya akan dibagi antara
pemerintah dan Kontraktor sesuai dengan porsi bagi hasil yang telah disepakati.
c. Investment credit
Sejenis insentif dari pemerintah untuk mendorong investor menanamkan
modalnya untuk mengembangkan penemuan migas. Investment credit diberikan
kepada Kontraktor sebesar persentase tertentu dari investasi kapital. Investment
credit merupakan obyek pajak.
d. Cost recovery
Jumlah biaya operasi yang dapat diganti sesuai dengan besarnya pengeluaran dan
prosedur akuntansi yang berlaku dalam suatu periode tertentu dan dikoreksi pada
akhir tahun. Apabila jumlah biaya operasi masih lebih besar dari jumlah gross
revenue pada periode yang bersangkutan, maka biaya operasi yang belum
tergantikan disebut “unrecovered cost” dan akan di”carry forward” ke tahun
berikutnya. Dengan demikian cost recovery terdiri atas biaya operasi tahun lalu
yang belum tergantikan, biaya operasi tahun yang bersangkutan, dan depresiasi
terhadap modal kapital tahun sebelumnya dan tahun berjalan.
e. Non Capital Cost
Biaya operasi yang berkaitan dengan operasi pada tahun berjalan, termasuk biaya-
biaya survey dan pemboran eksplorasi, pemboran pengembangan, meliputi tenaga
kerja, material, jasa, transportasi serta biaya umum dan administrasi dan lain-lain.
f. Capital Cost
17
Seluruh biaya yang dikeluarkan untuk pembelian/pembangunan aset yang
mempunyai umur manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
g. Depresiasi
Nilai susut suatu barang yang berumur manfaat lebih dari 1 (satu) tahun , dihitung
berdasarkan beberapa metode: straight line, declining balance, double declining
balance, delining balance with lump sum payment atau declining balance with
straight line switch.
h. Equity to be split (ETS)
Sejumlah perolehan setelah dikurangi dengan investment credit dan cost recovery
yang dibagi antara pemerintah dengan Kontraktor sesuai dengan share yang telah
ditentukan.
i. Indonesia share
Bagian pemerintah dari ETS. Besarnya sesuai dengan share yang ditentukan
dalam kontrak.
j. Contractor share
Bagian Kontraktor dari ETS. Besarnya sesuai dengan share yang ditentukan
dalam kontrak.
k. DMO
Domestic Market Obligation (DMO) adalah kewajiban Kontraktor kepada
pemerintah untuk menyerahkan sejumlah 25% dari bagian migas dalam rangka
untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar dalam negeri. DMO akan dikenakan
apabila ETS lebih besar dari FTP.
l. DMO Fee
Imbalan yang diberikan pemerintah atas penyerahan DMO dengan ketentuan 60
bulan pertama sejak produksi harganya 100 % ICP dan selanjutnya 10% (atau
sesuai kontrak) ICP.
m. Taxable income
Pendapatan Kontraktor sebelum kena pajak. Merupakan penjumlahan DMO fee,
contractor share sesudah DMO, dan investment credit.
n. Government Tax
18
Pajak yang harus dibayar oleh Kontraktor sesuai dengan perundangan yang
berlaku.
o. Net contractor income
Pendapatan Kontraktor setelah dikurangi biaya-biaya operasi, pajak dan lain-lain.
p. Bonus-bonus
Pendapatan yang harus dibayar Kontraktor pada pemerintah atas prestasi produksi
yang telah dicapai.
q. Indonesia take
Seluruh pendapatan bersih Indonesia dari migas baik yang berasal dari ETS,
DMO, bonus-bonus, maupun pajak.
r. Contractor take
Seluruh pendapatan bersih Kontraktor dari migas setelah dikurangi biaya-biaya
dan pajak.
II.3 Cadangan
Cadangan gas bumi Indonesia status 1 Januari 2006 sebesar 185.8 TCF, terdiri dari
97,3 TSCF proven reserve, dan 88,5 TSCF potential reserve. Sebaran cadangan gas
bumi nasional diperlihatkan pada Gambar II.3 dan Gambar
II.4
19
Sumber, Ditjen Migas 2007
Gambar II.3 Cadangan Gas Bumi Indonesia (Status 01 Januari 2007)
Pada Gambar II.3 diperlihatkan cadangan gas Indonesia sebagian besar terkonsentrasi
di Natuna, Kalimantan, Papua dan Sumatera Selatan. Cadangan gas di Natuna belum
dieksplorasi, sedangkan cadangan di Papua masih dalam tahap pengembangan.
Supply gas alam Indonesia selama ini berasal dari Kalimantan dan Sumatera Selatan
yang saat ini telah mengalami penurunan produksi secara alami.
20
Sumatera Selatan13.3%
Jawa Barat3.3%
Jawa Timur5.6%
Sulawesi2.5%
Papua13.0%
Kalimantan26.3%
Sumatera Tengah4.2%
Sumatera Utara0.7%
NAD2.4%
Natuna28.9%
Sumber: Ditjen Migas, 2006
Gambar II.4 Distribusi Cadangan Gas Bumi Indonesia
II.4 Produksi dan Pemanfaatan
Produksi gas bumi nasional dalam 2 tahun terakhir mengalami penurunan walaupun
cadangan gas bumi nasional sebagaimana diulas di atas terus mengalami kenaikan.
Pada tahun 2004 produksi nasional mencapai 3,03 TCF, sedangkan pada tahun 2003
3,16 TCF dan tahun 2002 3,04 TCF. Penurunan produksi ini disebabkan disebabkan
menurunnya produksi di Aceh akibat gangguan keamanan. Sedangkan untuk wilayah
Kalimantan Timur terjadi kenaikan, terutama disebabkan pemindahan beban produksi
untuk memenuhi komitmen dengan pembeli luar negeri akibat ditutupnya ladang gas
di Aceh. Demikian pula produksi gas di Jawa Timur sudah mengalami penurunan
disebabkan menurunnya produksi gas lapangan Kangean. Lebih lanjut tentang
produksi gas bumi di Indonesia dapat di lihat pada Tabel II.2.
21
Tabel II.2 Produksi Gas Bumi Nasional 2001-2006
Tahun Total Sales(mmscfd) Total Gross(mmscfd)
2001 6,274.3 7,551.6
2002 7,021.4 8,276.0
2003 7,158.0 8,533.5
2004 7,127.2 8,384.3
2005 6,984.5 8,249.9
2006 7,068.2 8,279.2
Sumber: Ditjen Migas 2005
Pada tahun 2004 Indonesia memproduksi 8,3 BSCFD atau sekitar 3,03 TSCF.
Dari jumlah tersebut 444,84 BSCF digunakan untuk keperluan sendiri. Yang
dimaksud dengan digunakan sendiri adalah penggunaan gas bumi untuk kebutuhan
aktivitas produksi, pengolahan dan kompresi gas bumi pada pipa transmisi gas bumi.
Total pemanfaatan gas bumi diluar pemakaian sendiri adalah 2,585 TSCF. Dari
jumlah tesebut 62,2 % digunakan untuk ekspor. Hanya 37,8 % yang digunakan untuk
keperluan domestik. Data pemanfaatan gas bumi dapat dilihat pada Tabel II.3.
22
Tabel II.3 Pemanfaatan Gas Bumi
Ekspor 1.607.971
Ekspor ke Singapura 145.474
Ekspor LNG 1.462.497
Ekspor LPG 0.000
Domestik 977.320
Pembangkit Listrik 169.457
Pupuk Petrokimia 253.708
Gas Kota 253.230
Kilang Minyak 20.497
LPG Plant 33.058
Pabrik Semen 0.000
Lain-lain 247.371
Total 2.585.290
Sumber: Ditjen Migas 2005
II.5 Data Pasokan dan Kebutuhan Gas Bumi
Data pasokan dan permintaan gas bumi di representasikan dengan neraca pasokan dan
permintaan gas bumi. Neraca pasokan dan permintaan gas bumi atau gas balance
menunjukkan perbandingan antara supply dan demand gas bumi dalam suatu cakupan
geografis tertentu dan rentang waktu tertentu.
23
Pasokan atau supply terbagi dalam 3 kategori :
- Existing Supply
Supply berasal dari lapangan sedang dan siap berproduksi. Existing supply
menggunakan perhitungan (90%P1) untuk LNG dan (90% P1 + 50 % P2)
untuk gas pipa. Formulasi tersebut digunakan untuk mendapatkan tingkat
keyakinan terhadap estimasi cadangan dan mengantisipasi resiko alamiah
kondisi reservoir.
- Project Supply
Project Supply adalah pasokan gas yang akan dihasilkan (estimasi) dari
lapangan migas yang sedang dan akan dikembangkan. Formulasi yang
digunakan sama dengan existing supply. Project supply meliputi:
1. On Going
POD telah disetujui dan proses konstruksi sedang berlangsung
2. Plan
POD disetujui dan fasilitas konstruksi belum dibangun
3. Confirmed
Pasokan gas yang diperkirakan dari lapangan migas dimana POD sedang
diproses.
Pasokan gas yang diperkirakan dari lapangan migas dimana POD belum
diusulkan namun cadangan dan besar pasokan telah dievaluasi secara In-
House (belum dievaluasi oleh BPMIGAS)
24
- Potential Supply
Potential supply diperkirakan akan dihasilkan dari lapangan yang
cadangannya masih dikategorikan sebagai cadangan possible (P3) atau dari
cadangan new discovery. Tingkat keyakinan 90%, 50% dan 25% dari
cadangan , merupakan klasifikasi tingkat keyakinan terhadap estimasi.
Sedangkan permintaan terbagi menjadi beberapa kategori:
- Contracted Demand
Contracted Demand adalah kebutuhan gas yang didasarkan pada perjanjian
jual beli gas (PJBG/GSA) dimana pasokan sudah atau akan siap mengalir,
meliputi:
o GSA (on stream)
o GSA (going to stream)
- Committed Demand :
Committed Demand terbagi menjadi:
o Existing Capacity (feedstock/kapasitas sisa)
Kebutuhan gas didasarkan pada kapasitas pabrik yang terpasang atau sisa
kapasitas pabrik yang belum terpenuhi. Kebutuhan gas yang dialokasikan
untuk PJBG yang akan berakhir pada tahun tertentu dan diprioritaskan
antara lain Pupuk, PLN, Kilang Minyak dan Industri lain
o Confirmed Demand (HoA/MoU/Negosiasi)
Kebutuhan gas didasarkan pada pokok-pokok perjanjian (HoA), dimana
volume dan profil pasokan gas serta harga gas masih dievaluasi.
Confirmed demand juga dapat didasarkan pada Memorandum of
25
Understanding (MoU) dan proses negosiasi yang dilakukan antara KKKS
dengan para calon pembeli.
- Potential Demand :
Potential Demand adalah kebutuhan gas yang didasarkan pada hasil survey
yang dilakukan oleh KKKS
Data pasokan dan kebutuhan gas nasional menunjukkan fluktuasi supply gas bumi
disebabkan menurunnya existing supply, sedangkan project supply dan potential
supply tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Sementara itu, contracted demand
gas bumi memang mengalami penurunan, sedangkan comitted demand dan potential
demand mengalami kenaikan signifikan (lihat Gambar II.5). Kenaikan demand gas
bumi yang paling utama datang dari pemanfaatan untuk bahan bakar industri
domestik dan kebutuhan pembangkit tenaga listrik (lihat Gambar II.6).
Gambar II.5 Grafik supply dan demand berdasarkan status kontrak gas bumi
nasional 2007-2015.
26
Gambar II.6 Grafik supply dan demand gas bumi nasional 2007-2015 berdasarkan
sektor pemanfaatan.
Data pasokan dan kebutuhan gas bumi di atas merupakan kompilasi dari data pasokan
dan kebutuhan gas bumi dari sebelas region di seluruh Indonesia. Region ditetapkan
berdasarkan jumlah cadangan gas dan besar demand gas di wilayah tersebut serta
keterhubungan jaringan pipa
Region I meliputi wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. Data Region I menunjukkan
baik supply maupun demand gas bumi di region ini menurun. Penurunan ini
disebabkan penurunan existing supply dan ekspor meskipun project supply
meningkat. Kebutuhan untuk bahan baku industri dan pembangkit listrik di region ini
antara tahun 2007-2015 tetap. Grafik supply dan demand berdasarkan status kontrak
dapat dilihat pada Gambar II.7. Grafik supply dan demand berdasarkan pemanfaatan
dapat dilihat pada Gambar II.8.
27
Gambar II.7 Grafik supply dan demand gas bumi Region I 2007-2015 berdasarkan
status kontrak.
28
Gambar II.8 Grafik supply dan demand gas bumi Region I 2007-2015 berdasarkan
sektor pemanfaatan.
Region II meliputi wilayah Sumatera Bagian Utara. Data region ini menunjukkan
bahwa demand jauh lebih besar dibanding supply. Baik potential demand maupun
comitted demand mengalami pertumbuhan yang besar sepanjang 2007-2015. Hal ini
disebabkan peningkatan kebutuhan gas untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar
industri. Meskipun tidak sebesar kebutuhan bahan bakar industri, kebutuhan gas
untuk pembangkit listrik juga mengalami peningkatan. Grafik supply dan demand gas
bumi di Region II berdasarkan status kontrak dapat dilihat pada Gambar II.9. Grafik
supply dan demand gas bumi di Region II berdasarkan sektor pemanfaatan dapat
dilihat pada Gambar II.10.
29
Gambar II.9 Grafik supply dan demand gas bumi Region II 2007-2015
berdasarkan status kontrak.
30
Gambar II.10 Grafik supply dan demand gas bumi Region II 2007-2015
berdasarkan sektor pemanfaatan.
Region III meliputi wilayah Sumatera Bagian Tengah dan Sumatera Bagian Selatan
serta Jawa Bagian Barat. Di region ini banyak terdapat pembangkit listrik tenaga gas
PT PLN dan industri kimia dasar seperti pabrik ammonia-urea yang menggunakan
gas bumi sebagai bahan baku serta industri lain yang membutuhkan gas bumi sebagai
bahan bakar. Supply gas di region ini antara 2007-2015 cenderung stagnan meskipun
ada tambahan potential supply. Demand gas Region III termasuk yang tertinggi
dibanding region lain. Demand gas region ini mengalami kenaikan antara tahun 2007-
2015. Peningkatan demand didorong oleh sektor bahan bakar industri dan listrik.
Sedangkan demand untuk bahan baku industri cukup stabil. Grafik supply dan
demand gas bumi di Region III berdasarkan status kontrak dapat dilihat pada Gambar
II.11. Grafik supply dan demand gas bumi di Region III berdasarkan sektor
pemanfaatan dapat dilihat pada Gambar II.12.
31
Gambar II.11 Grafik supply dan demand gas bumi Region III 2007-2015
berdasarkan status kontrak.
32
Gambar II.12 Grafik supply dan demand gas bumi Region III 2007-2015
berdasarkan sektor pemanfaatan.
Region IV meliputi wilayah Jawa Bagian Tengah. Di region ini existing supply
sangat kecil. Data menunjukkan adanya project supply yang diperkirakan mulai
terealisir setelah 2008. Pasokan tersebut mencapai lebih dari 190 MMSCFD dan akan
stabil hingga 2013. Setelah 2013, pasokan akan mengalami penurunan. Demand di
region ini antara tahun 2007-2015 akan mengalami peningkatan. Peningkatan demand
yang utama datang dari kebutuhan bahan bakar pembangkit listrik dan bahan bakar
industri. Grafik supply dan demand gas bumi di Region IV berdasarkan status
kontrak dapat dilihat pada Gambar II.13. Grafik supply dan demand gas bumi di
Region IV berdasarkan sektor pemanfaatan dapat dilihat pada Gambar II.14.
33
Gambar II.13 Grafik supply dan demand gas bumi Region IV 2007-2015
berdasarkan status kontrak.
34
Gambar II.14 Grafik supply dan demand gas bumi Region IV 2007-2015
berdasarkan sektor pemanfaatan.
Region V meliputi wilayah Jawa Bagian Timur. Existing supply di region ini
mengalami penurunan demikian pula dengan contracted demand. Akan tetapi demand
secara keseluruhan mengalami peningkatan. Peningkatan ini datang dari semua sektor
pemanfaatan kecuali ekspor. Peningkatan terutama datang dari pemanfaatan untuk
bahan baku industri dan energi. Sementara itu kebutuhan untuk pembangkit listrik
cenderung fluktuatif. Grafik supply dan demand gas bumi di Region V berdasarkan
status kontrak dapat dilihat pada Gambar II.15. Grafik supply dan demand gas bumi
di Region V berdasarkan sektor pemanfaatan dapat dilihat pada Gambar II.16.
35
Gambar II.15 Grafik supply dan demand gas bumi Region V 2007-2015
berdasarkan status kontrak.
36
Gambar II.16 Grafik supply dan demand gas bumi Region V 2007-2015
berdasarkan sektor pemanfaatan.
Region VI meliputi wilayah Kalimantan Bagian Timur. Supply gas bumi di region ini
akan mengalami penurunan sepanjang 2007-2015 karena penurunan existing supply
meskipun ada project supply dan potential supply. Demand gas bumi di region ini
termasuk relatif tinggi karena ekspor yang cukup besar. Demand relatif stabil
sepanjang tahun 2007-2015, karena meskipun ekspor mengalami penurunan yang
signifikan, muncul demand baru dari sektor bahan bakar industri dan listrik. Demand
gas bumi untuk bahan baku industri di region ini relatif stabil. Grafik supply dan
demand gas bumi di Region VI berdasarkan status kontrak dapat dilihat pada Gambar
II.17. Grafik supply dan demand gas bumi di Region VI berdasarkan sektor
pemanfaatan dapat dilihat pada Gambar II.18.
37
Gambar II.17 Grafik supply dan demand gas bumi Region VI 2007-2015
berdasarkan status kontrak.
38
Gambar II.18 Grafik supply dan demand gas bumi Region VI 2007-2015
berdasarkan sektor pemanfaatan.
Region VII meliputi wilayah Sulawesi Bagian Tengah. Di region ini belum ada
existing supply dan contracted demand. Di region ini hanya terdapat project supply
yang diperkirakan akan mampu berproduksi setelah tahun 2009 dan akan memasok
sekitar 325 MMSCFD. Demand gas bumi di region ini mengalami kenaikan yang
signifikan sepanjang tahun 2007-2015. kenaikan yang terbesar muncul dari
kebutuhan energi dan pembangkit listrik. Grafik supply dan demand gas bumi di
Region VII berdasarkan status kontrak dapat dilihat pada Gambar II.19. Grafik supply
dan demand gas bumi di Region VII berdasarkan sektor pemanfaatan dapat dilihat
pada Gambar II.20.
39
Gambar II.19 Grafik supply dan demand gas bumi Region VII 2007-2015
berdasarkan status kontrak.
40
Gambar II.20 Grafik supply dan demand gas bumi Region VII 2007-2015
berdasarkan sektor pemanfaatan.
Region VIII meliputi wilayah Sulawesi Bagian Selatan. Supply gas bumi di region ini
sepanjang 2007-2015 akan cenderung stabil. Selain existing supply, terdapat project
supply yang akan berproduksi setelah 2007 dan menambah kapasitas hingga
mencapai 73 MMSCFD. Existing supply yang ada digunakan untuk kebutuhan bahan
bakar industri. Demand gas bumi di region ini sepanjang tahun 2007-2015 akan
mengalami kenaikan. Kenaikan ini muncul dari pemanfaatan gas bumi untuk
pembangkit listrik. Grafik supply dan demand gas bumi di Region VIII berdasarkan
status kontrak dapat dilihat pada Gambar II.21. Grafik supply dan demand gas bumi
di Region VIII berdasarkan sektor pemanfaatan dapat dilihat pada Gambar II.22.
41
Gambar II.21 Grafik supply dan demand gas bumi Region VIII 2007-2015
berdasarkan status kontrak.
42
Gambar II.22 Grafik supply dan demand gas bumi Region VIII 2007-2015
berdasarkan sektor pemanfaatan.
Region IX meliputi wilayah Papua. Supply di region ini sepanjang tahun 2007-2015
akan meningkat. Existing supply memang masih kecil, hanya sekitar 1 MMSCFD.
Akan tetapi terdapat project supply yang akan mampu berproduksi penuh mulai tahun
2010 dengan kapasitas mencapai lebih dari 1080 MMSCFD. Project supply tersebut
sudah memiliki contracted demand untuk ekspor. Grafik supply dan demand gas
bumi di Region IX berdasarkan status kontrak dapat dilihat pada Gambar II.23.
Grafik supply dan demand gas bumi di Region IX berdasarkan sektor pemanfaatan
dapat dilihat pada Gambar II.24.
43
Gambar II.23 Grafik supply dan demand gas bumi Region IX 2007-2015
berdasarkan status kontrak.
44
Gambar II.24 Grafik supply dan demand gas bumi Region IX 2007-2015
berdasarkan sektor pemanfaatan.
Region X meliputi wilayah Masela. Di region ini hanya terdapat project supply yang
akan terealisir setelah tahun 2014. Demand untuk kebutuhan ekspor maupun
domestik sepanjang tahun 2007-2015 belum ada. Grafik supply dan demand gas bumi
di Region X berdasarkan status kontrak dapat dilihat pada Gambar II.25. Grafik
supply dan demand gas bumi di Region X berdasarkan sektor pemanfaatan dapat
dilihat pada Gambar II.26.
45
Gambar II.25 Grafik supply dan demand gas bumi Region X 2007-2015
berdasarkan status kontrak.
46
Gambar II.26 Grafik supply dan demand gas bumi Region X 2007-2015
berdasarkan sektor pemanfaatan.
Region XI meliputi wilayah Natuna. Supply gas bumi di region ini sepanjang tahun
2007-2015 akan mengalami kenaikan. Terdapat project supply yang akan terealisir
setelah tahun 2009 yang akan menambah kapasitas pasokan hingga mencapai lebih
dari 680 MMSCFD dan setelah tahun 2014 yang akan menambah kapasitas pasokan
hingga mencapai lebih dari 1600 MMSCFD. Contracted demand yang ada adalah
untuk kebutuhan ekspor. Belum ada comitted demand maupun potential demand yang
akan menyerap produksi dari project supply. Grafik supply dan demand gas bumi di
Region XI berdasarkan status kontrak dapat dilihat pada Gambar II.27. Grafik supply
dan demand gas bumi di Region XI berdasarkan sektor pemanfaatan dapat dilihat
pada Gambar II.28.
47
Gambar II.27 Grafik supply dan demand gas bumi Region XI 2007-2015
berdasarkan status kontrak.
48
Gambar II.28 Grafik supply dan demand gas bumi Region XI 2007-2015
berdasarkan sektor pemanfaatan.
II.6 Data pemanfaatan gas bumi
Gas bumi Indonesia dimanfaatkan untuk ekspor, bahan bakar pembangkit listrik, dan
bahan baku industri. Pada tahun 2006, total produksi kotor mencapai 8,185
MMSCFD. Angka tersebut berasal dari produksi Pertamina sebesar 957,5 MMSCFD
dan produksi PSC sebesar 7.225,5 MMSCFD. 65,4% dari produksi gas bumi tersebut
diekspor sedangkan 33,1% digunakan untuk kepentingan domestik. Dari 33,1% yang
digunanakan untuk kepentingan domestik tersebut, porsi terbesar digunakan oleh
industri nasional untuk bahan baku maupun sebagai bahan bakar. Penggunan untuk
pembangkit listrik oleh PLN hanya sekitar 4,6%. Neraca produksi dan pemanfaatan
dapat dilihat pada Gambar II.29 berikut ini.
49
Sumber: Migas 2006
Gambar II.29 Neraca produksi dan pemanfaatan gas bumi 2007 (Status Agustus 2007).
Grafik volume pemanfaatan gas bumi untuk masing-masing sektor tersebut dari tahun
ke tahun dapat dilihat pada Gambar II.30 berikut ini.
KPS 6.784 BSCFD
PRODUKSI
7.555 BSCFD
PER
TA
MIN
A
0.77
1 B
SCFD
DOMESTIK 45.3%
MMSCFD
(%)
PEMAKAIAN DOMESTIK PUPUK 570.5 7.6 KILANG 56.8 0.8 PETROKIMIA 134.2 1.8 KONDENSASI 28.2 0.4 LPG 95.2 1.3 PGN 868.8 11.5 PLN 463.8 6.1 KRAKATAU STEEL 75.2 1.0 INDUSTRI LAIN 139.7 1.8 PEMAKAIAN SENDIRI 752.9 10.0 SUSUT+FLARE 236.6 3.1 SUB TOTAL DOMESTIK 3,421.9 45.3 LNG 3520.7 46.6 LPG 0.0 0.0 GAS PIPA 612.6 8.1 SUB TOTAL EKSPOR 4,133.2 54.7 T O T A L 7 555 1 100
EKSPOR 54.7%
50
Sumber: Migas 2005
Gambar II.30 Grafik volume pemanfaatan gas bumi dari tahun ke tahun untuk masing-masing sektor.