BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

27
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Unsur Pembangun Novel Suatu karya sastra dibangun oleh unsur-unsur yang membentuknya. Unsur tersebut saling mengisi dan berkaitan sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh dalam sebuah karya sastra. Secara garis besar unsur-unsur karya sastra dibagi menjadi dua bagian, yaitu unsur-unsur luar (ekstrinsik) dan unsur-unsur dalam (intrinsik). Semi (1988: 35) menjelaskan kedua unsur tersebut. Unsur-unsur luar (ekstrinsik) adalah segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut memengaruhi kehadiran karya sastra tersebut, misalnya faktor sosial ekonomi. faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan dan tata nilai yang dianut masyarakat. Unsur-unsur dalam (intrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut seperti tema, alur, tokoh, dan sudut pandang. 2.1.1.1 Tema Tema sebuah karya sastra pada dasarnya berkaitan dengan makna. Stanton (dalam Nurgiyatoro, 2000: 70) mengartikan tema sebagai makna sebuah cerita yang secara khusus menerapkan sebagian besar unsur dengan cara yang sederhana. Tema bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose). Dengan demikian tema dapat dikatakan sebagai gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra (Sudjiman, 1988: 50). Nurgiyantoro (2000: 68) mengatakan bahwa tema dalam banyak hal bersifat 9

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Unsur Pembangun Novel

Suatu karya sastra dibangun oleh unsur-unsur yang membentuknya. Unsur

tersebut saling mengisi dan berkaitan sehingga membentuk satu kesatuan yang

utuh dalam sebuah karya sastra. Secara garis besar unsur-unsur karya sastra dibagi

menjadi dua bagian, yaitu unsur-unsur luar (ekstrinsik) dan unsur-unsur dalam

(intrinsik). Semi (1988: 35) menjelaskan kedua unsur tersebut. Unsur-unsur luar

(ekstrinsik) adalah segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra

yang ikut memengaruhi kehadiran karya sastra tersebut, misalnya faktor sosial

ekonomi. faktor kebudayaan, faktor sosio-politik, keagamaan dan tata nilai yang

dianut masyarakat. Unsur-unsur dalam (intrinsik) adalah unsur-unsur yang

membentuk karya sastra tersebut seperti tema, alur, tokoh, dan sudut pandang.

2.1.1.1 Tema

Tema sebuah karya sastra pada dasarnya berkaitan dengan makna. Stanton

(dalam Nurgiyatoro, 2000: 70) mengartikan tema sebagai makna sebuah cerita

yang secara khusus menerapkan sebagian besar unsur dengan cara yang

sederhana. Tema bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama

(central purpose). Dengan demikian tema dapat dikatakan sebagai gagasan, ide,

atau pilihan utama yang mendasari suatu karya sastra (Sudjiman, 1988: 50).

Nurgiyantoro (2000: 68) mengatakan bahwa tema dalam banyak hal bersifat

9

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

10

mengikat kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa konflik situasi tertentu,

termasuk berbagai unsur intrinsik yang lain, karena hal-hal tersebut haruslah

bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan. Dengan demikin,

untuk menentukan sebuah tema suatu karya sastra, harus disimpulkan dari

keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan dari sebagian cerita saja.

Ada kalanya tema dinyatakan secara tersurat, tetapi lebih sering tema itu

dinyatakan secara tersirat. Jika penceritaan memasukkan tema cerita secara

tersurat tentunya pembaca bisa dengan mudah menemukan tema yang telah

tertulis dalam cerita. Namun jika pencerita memasukkan tema secara tersirat,

pembaca cenderung sulit untuk menemukan tema yang dimaksud karena pembaca

harus menemukan sendiri tema tersebut. Hal inilah yang menjadikan tema dalam

karya sastra tidak selalu mudah untuk ditemukan. Oleh karena itu, makna yang

terdapat atau ditemukan dalam karya sastra tidak selalu sama dengan apa yang

dimaksud pengarang sebagai temanya. Namun, hal itu wajar karena karya sastra

pada dasarnya dapat ditafsirkan secara ganda. Tafsir dapat dipertanggung jawaban

dengan adanya unsur-unsur di dalam karya sastra yang menunjang tafsiran

tersebut (Sudjiman, 1988: 55).

Tema harus dilihat dari keseluruhan isi cerita. Tema tidak dapat dilihat

hanya berdasarkan satu bagian cerita saja. Oleh karena itu, Sudjiman (1988: 51)

menjelaskan bahwa tema terkadang didukung oleh pelukisan latar, dalam karya

lain tersirat dalam lakuan tokoh, atau dalam penokohan. Tema bahkan dapat

menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa alam satu alur. Nurgiyatoro

(2000: 82) menjelaskan tema merupakan makna yang dikandung sebuah cerita.

Makna cerita terkandung pada sebuah karya fiksi novel, mungkin saja lebih dari

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

11

satu interpretasi. Hal inilah yang menjadikan sulitnya menentukan tema pokok

sebuah cerita. Tema pokok biasanya tersurat dalam sebagian besar cerita, bukan

makna hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita saja. Makna yang hanya

terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita disebut tema tambahan. Tema

tambahan ini yang mendukung dan mencerminkan makna utama keseluruhan

cerita.

2.1.1.2 Alur

Dalam sebuah cerita rekaan berbagai peristiwa disajikan dalam urutan

peristiwa tertentu. Peristiwa yang diurutkan itu membangun tulang punggung

cerita, yaitu alur (Sudjiman, 1988: 29). Oleh karena itu tidak sedikit yang

menganggap alur sebagai unsur terpenting di antara berbagai unsur intrinsik

lainnya. Cerita atau plot merupakan dua unsur fiksi yang amat erat kaitanya

sehingga keduanya tidak mungkin dipisahkan. Objek pembicaraan cerita dan plot

boleh dikatakan sama. Selanjutnya, Semi (1988, 43) juga menambahkan bahwa

alur berusaha memecahkan konflik yang terdapat didalam peristiwa. Inilah yang

tidak dijumpai pada jalinan cerita yang hanya menjabarkan kelanjutan cerita. Dari

penjelasan tersebut, terdapat pergantian penyebutan antara alur dan plot. Sudjiman

menyebutkannya sebagai alur, sedangkan Nurgiyantoro menyebutnya sebagai

plot. Nurgiyantoro (2000: 111) menyatakan bahwa alur dan plot pada dasarnya

bermakna sama. Menurut Nurgiyantoro, untuk menyebut plot, secara tradisional,

orang juga sering mempergunakan istilah alur.

Secara umum cerita rekaan terdiri atas peristiwa yang terjadi di bagian

awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Sudjiman (1988: 30) membagi struktur

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

12

umum alur masing-masing, bagian awal terdiri atas paparan (exposition),

rangsangan (inciting moment), dan tegangan (rising action). Bagian tengah terdiri

atas tikaian (conflict), rumitan (complication), dan klimaks. Adapun bagian akhir

terdiri atas leraian (falling action) dan selesaian (denouement).

Alur dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis yang berbeda

berdasarkan sudut-sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula. Perbedaan alur

menurut Nurgiyantoro (2000: 153) didasarkan pada tinjauan dan kriteria urutan

waktu, jumlah, dan kepadatan. Dalam kriteria urutan waktu ini terdapat kategori,

yaitu kronologis dan tak kronologis. Kategori kronologis adalah plot lurus, maju,

atau dinamakan progresif. Kategori yang kedua adalah tak kronologis yang

meliputi plot sorot balik, mundur, flash back, atau disebut dengan regresif.

Adapun penggabungan kedua alur tersebut yang dinamakan plot campuran.

2.1.1.3 Tokoh

Istilah tokoh menunjuk pada pelaku cerita. Dengan demikian yang

dimaksud dengan tokoh ialah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau

berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988: 16). Tokoh

dapat juga disebut dengan orang yang memainkan peran dalam karya sastra.

Dalam kaitan dengan tokoh penokohan adalah proses penampilan tokoh dengan

berbagai watak, sifat, atau kebiasaan tokoh pemeran suatu cerita (Zaidan, 1994:

206). Watak menurut Sudjiman (1986: 80) ialah kualitas tokoh, yaitu kualitas

nalar dan jiwa tokoh sehingga tokoh satu dengan yang lain berbeda. Penyajian

watak tokoh dan penciptaan citra tokoh ini yang disebut penokohan (Sudjiman,

1986: 58). Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikap para

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

13

tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi

seseorang tokoh. Penokohan menunjuk pada penetapan tokoh-tokoh tertentu

dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2000: 165).

Dari definisi-definisi tersebut, secara umum dapat dikatakan bahwa dalam

sebuah cerita terdapat tokoh yang berlakuan dan memainkan peran dalam karya

sastra. Tokoh tersebut digambarkan memiliki watak tertentu sehingga masing-

masing tokoh dapat dibedakan kualitasnya. Untuk menyampaikan tokoh beserta

wataknya kepada pembaca, diperlukan adanya penyajian watak yang digambarkan

oleh pengarang. Hal inilah yang dimaksud penokohan.

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya fiksi dapat dibedakan ke dalam

beberapa jenis penamaan. Nurgiyantoro (2000: 176) membedakan tokoh

berdasarkan tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh protagonis dan tokoh

antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat, tokoh statis dan tokoh berkembang,

serta tokoh tipikal dan tokoh netral. Pembedaan yang dilakukan oleh Sudjiman

berbeda dengan yang dilakukan oleh Nurgiyantoro. Jika Nurgiyantoro cenderung

sejajar dalam hal pembedaannya, Sudjiman membedakannya dengan tingkatan.

Pembedaan yang dilakukan Sudjiman (1988: 17) berdasarkan tokoh sentral dan

tokoh bawaan serta tokoh datar dan tokoh bulat. Tokoh sentral terdiri dari tokoh

protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh bawaan pun terbagi menjadi dua yaitu

tokoh andalan dan tokoh tambahan.

Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita dapat dibedakan tokoh sentral

(tokoh utama) dan tokoh bawaan. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan

penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh utama merupakan tokoh

yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

14

dikenai kejadian (Nurgiyantoro, 2000: 176). Tokoh ini merupakan tokoh sentral

dalam cerita. Sudjiman (1988: 61) membagi tokoh sentral menjadi dua, yaitu

protagonis dan antagonis. Pada sebuah cerita, tokoh penentang utama protagonis

disebut antagonis atau tokoh lawan. Protagonis mewakili yang baik dan yang

terpuji karena itu biasanya menarik simpati pembaca, sedang antagonis mewakili

pihak yang jahat atau yang salah (Sudjiman, 1988 19).

Adapun yang dimaksud tokoh bawaan adalah tokoh cerita yang hanya

memegang peran kecil, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang

atau mendukung tokoh utama. Sudjiman membagi tokoh bawahan menjadi dua,

yaitu tokoh andalan dan tokoh bawahan. Tokoh andalan digambarkan sebagai

tokoh yang memberi gambaran lebih terperinci tentang tokoh utama, sedangkan

tokoh bawahan dapat dikatakan tokoh yang tidak memegang peranan di dalam

cerita (Sudjiman, 1988: 20).

Berdasarkan cara menampilkan tokoh di dalam cerita dapat dibedakan

tokoh datar dan tokoh bulat. Tokoh datar bersifat statis, di dalam perkembangan

lakuan, watak tokoh itu sedikit sekali berubah, bahkan ada kalanya tidak berubah

sama sekali (Sudjiman, 1986: 75). Kebalikan dari tokoh datar adalah tokoh bulat.

Jika lebih dari satu ciri segi wataknya yang ditampilkan atau digarap di dalam

cerita sehingga tokoh itu dapat dibedakan dari tokoh-tokoh lain, maka tokoh itu

disebut tokoh bulat, tokoh kompleks (Sudjiman, 1988: 21). Berbagai segi

wakatnya itu tidak ditampilkan sekaligus melainkan berangsur-angsur atau

berganti-ganti. Dengan demikian, tokoh bulat mampu memberikan kejutan karena

tiba-tiba dimunculkan segi wataknya yang tak terduga-duga (Sudjiman, 1988: 75).

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

15

2.1.2 Pengertian Spiritualisme Kritis

Istilah spiritualisme kritis, sebagai nama, mendapatkan inspirasinya dan

strukturnya dari romantisme kritis dalam jurnal Melintas karya Heatubun

Fabianus. Posmodernisme sering disebut juga sebagai kebangkitan romantisisme

baru. Posmodernisme itu neo-romantisisme, romantisisme yang bermetamorfosa.

Atau lebih baik lagi untuk menamai posmodernisme itu dengan nama

romantisisme kritis (Heatubun, 2007: 82). Mulai tahun 2014 Ayu Utami membuat

serial khusus spiritualisme kritis. Novel ini sifatnya cerita dan bahkan hiburan,

meskipun bukan selalu fiksi, tetapi lebih membicarakan konsep ini dalam tataran

praktis.

Simple Miracles Doa dan Arwah merupakan buku pertama dari seri

spiritualisme kritis. Kendati dalam novel pertamanya “Saman” terdapat kesan

menentang agama, Ayu menyadari bahwa agama lah yang memberi alat untuk

berpikir, termasuk untuk mengkritisi agama itu sendiri. Agama yang dimaksud

ialah agama sebagai intuisi atau organisasi. Lebih lanjut tentang spiritualisme

kritis, Ayu Utami menjelaskan bahwa spirit ialah roh, arwah, suatu yang bukan

material. Dalam menghadari yang immaterial, orang terbagi menjadi dua jenis.

Ada orang yang menggunakan cara-cara immaterial untuk tujuan duniawi. Ada

juga yang memperlakukannya untuk tujuan immaterial hingga akhirnya mencapai

hakikat ketuhanan, buddhisme, dan seterusnya.

Spiritualisme kritis hampir sama dengan rasionalisme kritis. Max Weber

dikenal sebagai tokoh yang merintis istilah rasionalisme kritis. Rasionalitas dalam

rasinalisme kritis sebagai konsep yang diduga secara positivistik terbatas dan

mempertentangkannya dengan klaim-klaim nalar dialektis (Albert, 2014: 10).

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

16

Problem rasionalisme kritis adalah persoalan umum dalam praktis manusia dan

oleh karena itu tidak terbatas kepada wilayah pengetahuan atau praktek kognitif.

Nalar manusia memiliki kemampuan dalam seluruh wilayah tindakan

memecahkan masalah (Albert, 2014: 15). Dogmatisasi merupakan kekebalan dari

kritik, satu kemungkinan dalam keyakinan keagamaan atau bahkan praktek

kognitif, penting di manapun tempatnya jika orang memecahkan masalah

persoalan dengan cara paling baik yang dimungkinkan. Tetapi pada saat yang

sama, tidak ada alasan untuk meninggalkan rasionalisme kritis, yang sangat terkait

dengan filsafat klasik dan dengan praktek ilmu.

Hans George Gadamer, pelopor pemikiran hermeneutik di Jerman

mengklaim bahwa orang-orang yang menyatakan rasionalisme kritis sebagai suatu

batang tubuh absolute bagi kebenaran, akan dipaksa melihat sudut pandang

hermeneutik sebagai obscurantisme teologis (praktek yang melarang untuk

melakukan pemahaman dan penelitian untuk menentukan kebenaran). Secara

umum keseluruhan orang bisa mengatakan bahwa rasionalisme kritis, di negara-

negara yang berbahasa Jerman tidak dianggap sebagai suatu kontribusi terhadap

filsafat ilmu tetapi juga sebagai pandangan filsafat general yang melanjutkan

enlightenment berlawanan dengan arus filsafat yang dominan dan berbagai jenis

pemikiran teologis (Albert, 2014: 28).

2.1.3 Spiritualisme Kritis dan Sastra

Orang jawa (Javanese) merupakan orang-orang yang mendukung dan

menghayati budaya Jawa yang tersebar di daerah asal kebudayaan Jawa, Jawa

Tengah dan Jawa Timur, di Cirebon Jawa Barat. Semua orang Jawa itu berbudaya

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

17

satu. Orang Jawa berpikir dan berperasaan seperti moyang mereka di Jawa

Tengah, dengan kota Solo dan Yogya sebagai pusat-pusat kebudayaan, dari

Yogya dan Solo itulah aliran kejawen muncul dan berkembang di seluruh tanah

Jawa. Sosok orang Jawa dengan berbagai karakteristik kehidupan tersebut tak

jarang diangkat dalam karya sastra.

Seperti telah diketahui bahwa sastra merupakan penggambaran kehidupan

yang dituangkan melalui media tulisan. Terdapat hubungan yang erat antara sastra

dan kehidupan karena fungsi sosial sastra adalah bagaimana sastra melibatkan

dirinya ditengah-tengah kehidupan masyarakat (Mulia, 2016: 2). Karya sastra

yang mengangkat kehidupan orang Jawa diperlihatkan dalam novel Simple

Miracles Doa dan Arwah karya Ayu Utami. Novel ini bercerita tentang kehidupan

satu keluarga Jawa yang tinggal di Bogor, namun masih mengamalkan

kepercayaan atau tradisi yang berkaitan dengan mitos di Jawa. Salah satunya

masing memiliki kepercayaan pada hal-hal mistik sesuai karakteritik kehidupan

orang Jawa, yakni percaya terhadap makhluk halus serta hal-hal yang bersifat

takhayul.

Simple Miracles Doa dan Arwah diperlihatkan bahwa makhluk halus yang

dihadirkan merupakan mahkluk halus yang melegenda di Jawa. Melalui novel

Ayu Utami dapat diketahui bahwa karya sastra tidak hanya berkisah tentang hal-

hal yang berkaitan dengan keseharian makhluk hidup yang sifatnya terlihat, tetapi

juga berkisah tentang hal-hal sifatnya tak terlihat yang berhubungan dengan

adanya kepercayaan mengenai hal-hal magis, takhyul, serta bersifat irrasional

yang berkaitan dengan makhluk halus.

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

18

Ada hal yang menarik dari novel karya Ayu Utami ini, yakni sesuatu yang

memiliki citra sakral, tradisional, serta segala sesuatu yang lebih mengarah

terhadap hal-hal yang berbeda di luar logika manusia (dalam budaya Jawa)

dihadirkan pada era modern seperti saat ini. Fenomena munculnya karya Simple

Miralces Doa dan Arwah ini identik dengan karya sastra realisme magis. Karya

sastra realisme magis adalah karya sastra yang menghadirkan kembali segala citra

dan pengertian yang bersifat magis, mistis, ataupun irrasional yang bersumber dari

cerita mitologi, dongeng, legenda yang hidup secara tradisional yang dihadirkan

dalam sebuah kesusastraan modern diindikasi sebagai karya sastra realisme magis

(Mulia dalam Faris, 2004).

Realisme magis muncul di kesusastraan Indonesia tahun 1990-an, arus

realisme magis sebagai paham kesusastraan global mulai masuk dan

memperlihatkan pengaruhnya pada sejumlah karya sastra Indonesia. Sebelum

karya Ayu Utami ini, sudah ada pengarang lain yang menulis cerita fiksi

bergendre realisme magis, misalnya Eka Kurniawan dan Seni Gumira Ajidarma.

Menurut Mulia (dalam Kompas, edisi 30 November 2003), dalam kesusastraan

Indonesia Seno Gumira Ajidarma dengan cerpenya Misteri Kota Ningi, Eka

Kurniawan dengan novelnya Cantik itu Luka menujukkan pengaruh tersebut

dalam prosa Indonesia. Meskipun tiga pengarang ini hidup di era yang sama,

namun karya Eka Kurniawan dan Seno Gumira Ajidarma berbeda dengan karya

Ayu Utami. Karya Eka dan Seno lebih menitiberatkan mitos-mitos yang berkaitan

dengan legenda pada masa lampau dengan setting pada zaman kolonial dan

sesudah masa kolonial. Sedangakan Ayu Utami menghadirkan cerita yang

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

19

didominasi mitos (kepercayaan) serta ritual yang semuanya itu berhubungan

dengan makhluk halus dengan setting zaman modern.

Mitos (kepercayaan) serta ritual yang hadir dalam cerita novel Simple

Miracles Doa dan Arwah pun sangat familiar di telinga orang Jawa. Secara tidak

langsung kehadiran novel Simple Miracles Doa dan Arwah selain sebagai bacaan

hiburan juga mempunyai fungsi mengkomunikasikan sesuatu. Misalnya

memperlihatkan eksistensi mitos/ kepercayaan serta tradisi (budaya Jawa) pada

era saat ini. Mulia (2016: 4) menyatakan kehadiran teks sastra atau novel yang

menyuarakan, menghadirkan, dan mempersoalkan kepercayaan hal-hal magis

seperti mitos, pasti memiliki maksud tertentu. Misalnya bertugas mengukuhkan

suatu kepercayaan mengenai mitos tertentu, atau mungkin bertugas merombak,

membebaskan, memodofikasi, bahkan untuk menentangnya. Spiritualisme kritis

mengajarkan bagaimana cara menafsirkan dan mengkritisi pengalaman yang

terkadang sulit dijelaskan dengan nalar dan dibuktikan secara logis.

2.1.4 Bentuk-Bentuk Spiritualisme Kritis

Bahasa berkolerasi dengan spiritualitas dan religiusitas, dalam hal ini

bahasa sesunggunhnya tergantung pada “iman”, yaitu kepercayaan dan

penerimaan, atas konsep-konsep sendiri agar bahasa bisa berfungsi (Prasetya dan

Utami, 2015: 15). Bentuk-bentuk spiritualisme kritis sendiri adalah cara pandang

seseorang dalam melihat sesuatu atau memecahkan persoalan, membangun suatu

pendirian dan kepercayaan atas hal yang diyakini. Albert (2014: 16) membagi

bentuk-bentuk spiritualisme kritis menjadi empat, yaitu: skeptis, dogmatis,

pemikiran analisis, dan epistemologi wahyu. pembagian yang dilakukan oleh

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

20

Albert berbeda dengan yang dilakukan Utami. Prasetya dan Utami (2015: 15)

membagi bentuk-bentuk spiritualisme kritis mejadi dua, yaitu: skeptis dan

dogmatis. Berdasarkan pendapat Albert dan Utami peneliti memilih pendapat

Albert dalam membagi bentuk-bentuk spiritualisme kritis.

2.1.4.1 Skeptis

Skeptisme berasal dari kata Yunani yaitu skeptomai bermakna saya

pikirkan dengan seksama atau saya lihat dengan teliti (Sudarmita, 2002: 47). Kata

tersebut dimaknai bahwa skeptis merupakan sebuah teori yang didasarkan sikap

keragu-raguan dalam menerima kebenaran. Jadi setiap individu tidak mudah

terpengaruh atau cepat mengambil keputusan yakni menerima kebenaran yang

sudah ada. Kaum Skeptis selalu meragukan setiap klaim pengetahuan, karena

memiliki sikap tidak puas dan masih mencari kebenaran. Sikap tersebut didorong

oleh menyebarnya rasa ketidaksepakatan yang tiada akhir terhadap sebuah isu

fundamental. Jadi, skeptisme sangat erat kaitannya dengan sikap keragu-raguan

terhadap segala sesuatu (Saifulloh, 2013: 216).

Prasetya dan Utami (2015: 15) menjelaskan skeptis adalah sikap

membuang ide tentang kebenaran dan kemungkinan mendekati kebenaran.

Seorang skeptisme yang sejati adalah orang bisu, sebab ia tak mempercayai satu

kata pun. Hanya bisa bicara jika sama-sama percaya bahwa kata “ya” berarti ya

dan “tidak” berarti tidak. Tanpa iman dan kata-kata, tanpa kesetiaan akan

gramatika, tak bisa berbahasa.

Skeptisisme mengajarkan bahwa untuk mendapatkan suatu kebahagiaan

maka seseorang tersebut harus bijaksana. Orang yang bijaksana akan tenang

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

21

dalam hidupnya sehingga yang bersangkutan tidak mudah mengambil keputusan,

menjauhkan orang tersebut dari sikap kekeliruan dalam kehidupannya. Jadi

seseorang dianjurkan untuk selalu meragukan semua hal, agar terhindar dari

kesalahan sekecil apapun (Sudarmita, 2002: 47). Selain itu, skeptis juga bisa

dianggap sebagai sifat. Kadang, seseorang melakukan sesuatu di luar

kesadarannya. Biasanya, ini dilakukan ketika mendengar cerita-cerita khayal,

urban legend, atau horor. Orang skeptis bisa memberikan argumen-argumen

keberatan terhadap cerita tersebut. Orang skeptis meminta bukti serta

menyodorkan fakta kenapa cerita itu tak mungkin dan lain sebagainya.

Sudarmita (2002: 48) menyatakan:

“Skeptisme adalah pandangan bahwa orang tidak mungkin bisa sampai pada pengetahuan. Di dalam pandangan para pemikir skeptis yang lebih moderat, manusia masih bisa sampai pada pengetahuan namun tidak akan pernah sampai pada kepastian. Dalam pandangan yang lebih radikal, pengetahuan manusia tidak pernah bisa pada argumen yang masuk akal. Dengan kata lain pengetahuan manusia itu irasional. Argumentasi adalah sekumpulan kata-kata kosong untuk membuktikan sesuatu yang memang tidak bisa dibuktikan.”

Sejak zaman klasik hingga sekarang, para skeptis telah mengembangkan

argumen untuk meruntuhkan pendapat para filosuf dogmatis, scientist, dan para

teolog. Pada zaman klasik misalnya, kaum skeptis menetang klaim pengetahuan

Platonisme, Aristotelisme, dan Stoikisme. Di era renaissance, mereka menentang

scholasticism dan calvinism. Setelah era Descrates, skeptisme menyerang

cartesianism. Pada era berikutnya, serangan skeptisme ditunjukkan pada

kantianisme dan hegelianisme. Pada abad pencerahan, skeptisme diartikan

menjadi sebuah sikap ketidakpercayaan khususnya dalam masalah agama, yang

pada gilirannya kaum skeptis disamakan dengan ateis (Saifulloh, 2013: 216).

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

22

Menurut Saifulloh (2013: 216) skeptisme memiliki beberapa ajaran yang

selalu mengalami perkembangan. Pertama, doktrin untuk meragukan kebenaran

dari setiap pengetahuan. Skeptis sama sekali tidak permanen, sehingga kebenaran

tetap tentang segala sesuatu yang ada di dalamnya tidak bisa ditemukan. Kedua,

tesis bahwa tidak ada sesuatu yang pasti. Tesis ini dikembangkan oleh kaum

skeptis akademik. Menurutnya, informasi terbaik yang bisa diambil hanyalah

sebuah kemungkinan, dan harus dihukumi berdasarkan kemungkinan juga.

Doktrin skeptisme seperti ini juga diperkuat oleh David Hume (1711-1776 M).

David melihat bahwa, asumsi yang pasti, seperti hubungan antara sebab dan

akibat, hukum-hukum alam, eksistensi Tuhan dan jiwa, semuanya berada jauh dari

kepastian. Hal ini disebabkan karena pengetahuan manusia tentang hal-hal di atas

yang kelihatannya mengandung unsur kepastian, ternyata berdasarkan pada

pengamatan dan kebiasaan belaka, yang pada hakekatnya berlawanan dengan

logika. Keterbatasan pengamatan dan kebiasaan manusia itulah yang menjadi

penghalang untuk mencapai sebuah kepastian.

Ajaran skeptis yang ketiga adalah keharusan untuk menjadikan manusia

sebagai ukuran segala sesuatu (man is the measure of all things). Dengan itu,

maka tidak ada lagi pengetahuan yang disepakati secara bersama. Semuanya

hanya pandangan seseorang/ individu saja. Karena yang menilai segala sesuatu

adalah manusia, maka sebenarnya pengetahuan itu tidak ada. Jikapun ada, maka ia

tidak bisa dipaksakan kepada orang lain (Saifulloh, 2013: 217).

Teori yang keempat adalah keharusan untuk selalu menghadirkan diri dari

kegiatan penilaian terhadap sesuatu yang terjadi. Ajaran ini bisa dilacak dari

sekolah Pyrrho (360-272 SM). Pyrrho dan muridnya Timon (315-225 SM)

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

23

dianggap sebagai bapak skeptisme Yunani. Menurut Pyrrho memberikan penilaian

terhadap sesuatu hanya akan menyebabkan kesedihan dan gangguan mental,

Kaum Pyrrhonis mengaggap bahwa filosuf dogmatis dan akademis tidak benar.

Kelompok yang mengatakan bahwa sesuatu (pengetahuan) itu bisa diketahui,

sedangkan kelompok yang lain berpendapat bahwa tidak ada yang bisa diketahui.

Sebagai alternatif, Pyrrhonis mengajukkan sebuah sikap lain yaitu menafikan

penilaian terhadap keduanya, terkait dengan pertanyaan apakah sesuatu

(pengetahuan) itu bisa diketahui atau tidak (Saifulloh, 2013: 217).

Ajaran skepetisme yang kelima adalah untuk membangun sebuah

pengetahuan, diperlukan sikap ragu yang kuat terhadap segala sesuatu. Teori ini

dikemukakan oleh filosuf Perancis, Rene Descrates (1595-1650 M). Rene

berpendapat bahwa jika manusia selalu meragukan (kebenaran) sesuatu, maka di

saat bersamaan, manusia tersebut akan menemukan sesuatu yang tidak diragukan.

Sikap seperti ini juga digunakan untuk meragukan kebenaran semua keyakinan

yang dengannya akan ditemukan sebuah kebenaran yang pasti (Saifulloh, 2013:

218).

Ajaran yang terakhir adalah pengetahuan obyektif itu tidak pernah ada.

Pandangan ini dikembangkan oleh filosuf Jerman, Friedrich Nietzsche (1844-1900

M). Friedrich melihat bahwa ilmu pengetahuan sebagai aktivitas manusia harus

dijustifikasi berdasarkan pada peranannya untuk kehidupan dan bukan pada

standar benar atau salah. Karena menurut Friedrich standar untuk menilai sebuah

ilmu pengetahuan itu tidak ada. Pandangan seperti ini juga diikuti oleh sebuah

filosuf Perancis, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), dan filosuf Amerika, George

Santayana (1863-1952). Menurutnya, semua keyakinan sebagai manifestasi dari

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

24

pengetahuan obyektif bersifat irrasional. Dari sini terlihat bahwa obyektivitas

sebuah pengetahuan itu telah mati (Saifulloh, 2013: 218). Dengan kata lain,

skeptis bisa berarti meragukan sesuatu. Sifat ini membuat seseorang tidak mau

menerima dengan mudah dan apa adanya. Selalu meragukan sesuatu jika belum

ada bukti yang benar-benar jelas.

2.1.4.2 Dogmatis

Dogma berasal dari bahasa Yunani dogmata yang berarti kepercayaan atau

doktrin yang dipegang oleh sebuah agama atau organisasi untuk bisa lebih

otoritatif. Sedangkan dogmatis suatu yang bersifat otoritatif yang diharapkan

dapat mengikat kalangan tanpa adanya kritik dan penyelidikan atas dasar-dasarnya

(Konrad, 2011: 120). Bukti, analisis, atau fakta mungkin digunakan, mungkin

tidak, tergantung penggunaan. Paham dogmatisme berkembang pada zaman abad

pertengahan.

Dogmatis juga merupakan sikap cenderung membakukan pengetahuan

pada tingkat manapun saat ia diperoleh. Akibatnya secara mendasar menentang

pandangan-pandangan baru. Prasetya dan Utami (2015: 18) menganggap dogmatis

lebih suka pada hukum ketimbang inspirasi ataupun riset. Dogmatisme sudah ada

di dunia ide, tinggal diterapkan. Dalam dogmatisme maka bukan dipergulatkan

dalam kenyataan dan pengalaman manusia.

Semboyan yang dipakai pada masa ini adalah ‘ancilla theologia’ (abdi

agama), sehingga semua aktifitas ilmiah selalu berkaitan dengan aktifitas agama.

Paham ini menerima kebenaran-kebenaran asasi agama dan dasar ilmu

pengetahuan begitu saja, tanpa mempertanggung jawabkannya secara kritis. Sifat

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

25

dogmatis dalam agama menimbulkan jika, pernyataan dalam suatu agama selalu

dihampiri oleh keyakinan tertentu, sehingga menganggap bahwa pernyataan (ayat)

yang ada di dalam kitab suci mengandung nilai kebenaran yang sesuai dengan

keyakinan yang digunakan untuk memahaminya. Kandungan dari ayat kitab suci

ini tidak dapat di ubah dan sifatnya absolut. Namun implikasi dari makna kitab

suci tersebut dapat berkembang secara dinamis sesuai dengan perkembangan

waktu. Pada abad-abad ini Plato dan Aristoteles masih berpengaruh dan berperan

penting terutama melalui Augustinus dan Thomas Aquinas (Konrad, 2011: 120).

Selain itu, dogma dalam Ensiklopedi Encarta didefinisikan sebagai

rumusan pertanyataan doktrin agama yang memiliki otoritas untuk disebarkan,

bukan untuk didiskusikan dan untuk diyakini. Perumusan dogma harus memenuhi

dua syarat. Pertama, dogma harus bersumber pada wahyu. Kedua, dogma harus

disebarkan oleh otoritas keagamaan (Asrohah, 2014: 84). Nalar dogmatis bersifat

tertutup karena membatasi kemungkinan munculnya pendapat lain. Jika dogma

untuk disebarkan, dipropagandakan dan tidak untuk didiskusikan, paradigma

berpikir dogmatis tidak menghendaki adanya perbedaan. Karena menutup adanya

perbedaan, nalar dogmatis bercorak normatif. Dogmatis tidak berusaha

menetapkan kebenaran-kebenaran, tetapi mengajukan argumenn-argumen untuk

mematahkan pendapat lain dan mencegah kontroversi.

Nalar dogmatis merupakan pola berpikir sempit yang menghasilkan

pemahaman baku dan dianggap sakral. Hasil gagasannya seolah-olah tidak dapat

diganggu gugat kebenarannya. Akibatnya, individu merasa terpasung dan tidak

diberi kesempatan mengembangkan potensi dan kreativitas. Ketika kreativitas

dibunuh, yang menjelma adalah individu-individu yang dungu bagaikan robot

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

26

yang bergerak secara otomatis sesuai dengan kehendak kekuatan di luar dirinya.

Individu tidak memiliki kebebasan untuk menentukan kemauan dirinya dan

tumbuh menjadi individu yang deteministik. Dalam pandangan nalar dogmatis,

individu adalah bawaan sistem sosial yang besar (Asrohah, 2014: 84).

Tjahyadi (2013: 47) menyatakan:

“Dogmatisme memberikan pandangan kebenaran berdasarkan wahyu dan dogma. Sebagai makhluk pencari kebenaran, manusia mencari dan menemukan kebenaran berdasarkan teks suci. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar jika sesuai dan koheren dengan wahyu yang terdapat dalam teks-teks suci. Menurut faham ini kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu.” Tjahyadi (2013: 47) juga berpendapat:

“Pandangan dogmatisme, kebenaran diterima begitu saja sebagai kebenaran yang asasi dan dasar ilmu pengetahuan. Dogmatisme menganggap pengenalan obyektif sebagai hal yang sudah dengan sendirinya dan mendasarkan atas ketentuan-ketentuan apriori atau pengertian-pengertian yang telah ada tentang Tuhan, substansi tanpa bertanya apakah rasio memahami hakikatnya sendiri, yakni luas dan batas-batas kemampuannya.”

Jadi dapat disimpulkan dogmatis adalah sikap tertutup, konsisten dalam

mempercayai sesuatu. Ilmu pengetahuan selalu berkaitan dengan ilmu agama.

Sehingga sikap ini mengajarkan penganutnya untuk mudah percaya ilmu

pengetahuan dan agama begitu saja. Ajaran yang bersumber dari agama selalu

berkorelasi dengan keyakinan-keyakinan tertentu, sehingga selalu di anggap

sebagai kebenaran mutlak.

2.1.4.3 Pemikiran Analisis

Secara etimologis, kata analisis yang dalam Bahasa Inggris analysis

berasal dari leksem bahasa Yunani analyein (gabungan morfem ana- dan lyein)

yang berarti melonggarkan atau memisahkan (memisahkan keseluruhan menjadi

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

27

bagian-bagian). Thamzil (2012) berpendapat pemikiran analisis dikategorikan

sebagai metode berpikir dalam mengungkapkan pengetahuan dan kebijaksanaan,

maka tentu di dalamnya terdapat serangkaian fakta, konsep, prinsip dan prosedur

yang digunakan untuk menguraikan ataupun menyederhanakan ungkapan atau

hasil pemikiran. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menjelaskan setiap entitas

yang dikandung dalam ungkapan pemikiran dan perasaan manusia.

Menurut istilah, analisis merupakan bentuk kegiatan logika yang

menyarikan kebenaran konkret suatu proposisi, dan memusatkan perhatian mula-

mula dan terutama pada forma telanjangnya (yang pada dasarnya matematis),

yaitu nilai kebenarannya (Thamzil, 2012). Dalam filsafat analitik (positivisme),

analisis dirumuskan oleh (Thamzil dalam Russel, 1997) dengan pernyataan

“Dalam percobaan yang dilakukan secara serius, tidaklah selayaknya kita tempuh

dengan menggunakan bahasa biasa, sebab susunan bahasa biasa itu selain buruk,

juga bermakna ganda arti. Oleh karena itu saya bermaksud meyakinkan bahwa

sikap bersikeras atau kepala batu untuk tetap menggunakan bahasa biasa dalam

mengungkapkan pemikiran kita adalah penghalang besar bagi kemajuan filsafat.”

Thamzil (dalam Russel, 1997) membedakan antara apa yang disebutnya

dengan pengetahuan, pengenalan, pengetahuan dan deskripsi. Russel berargumen

bahwa individu tidak secara langsung berkenalan dengan obyek-obyek fisik tetapi

menyimpulkan obyek-obyek seperti meja, pohon, anjing, rumah dan orang-orang

dari data indera. Kesulitannya di sini ialah bagaimana inferensi dibuat dari data

indera untuk sebuah entitas yang memenuhi penjelasan common sense tentang

obyek fisik. Bagi Russel kebenaran bersifat logik dan matematik yang

diungkapkan dalam analisa logik “meyakinkan seseorang untuk mengakui

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

28

keperiadaan sifat-sifat universal yang tak terubahkan, padahal banyak teori yang

bersifat empirik murni tidak dapat mempertanggungjawabkan hal seperti itu.”

Oleh karena itu Russel menganjurkan untuk mencari teori ilmu

pengetahuan yang lain dari pada empirik murni. Pandangan yang demikian inilah

agaknya membuat Russel lebih semangat untuk membentuk bahasa yang ideal

bagi filsafat dengan didasarkan pada bentuk logika atau disebut dengan bahasa

logika. Hal ini tersimpul dalam ucapannya yang berbunyi: “Yang menyebabkan

saya menamakan doktrin Atomisme Logik ialah karena atom-atom yang ingin saya

peroleh sebagai hasil dari analisa terakhir bukan merupakan atom fisik, melainkan

atom logik” (Thamzil dalam Russel, 1997). Merujuk pada penjelasan di atas,

pemikiran analisis pada akhirnya dimaknai sebagai kegiatan berpikir yang

melakukan perincian terhadap istilah-istilah atau pernyataan-pernyataan ke dalam

bagian-bagiannya agar dapat menangkap makna yang dikandungnya atau

memahami komponen terlebih dahulu kemudian menguraikan komponen.

2.1.4.4 Epistemologi Wahyu

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, epistem yang berarti

mendudukan, menempatkan/ meletakkan, acapkali dikaitkan dengan gnosis (dari

kata gignosko) yang berarti menyelami dan mendalami. Oleh sebab itu epistem

lebih mengandung arti pengetauan sebagai suatu usaha agar menempatkan sesuatu

di dalam kedudukan yang tepat, sedangkan gnosis lebih mendekati pengetahuan

dalam batin atau singkatnya epistemologi adalah suatu tindakan atau upaya

intelektual untuk menyelidiki dan memutuskan pengetahuan yang benar dan tidak

benar, dan dapat mendudukkan pengetahuan di dalam yang sebenarnya

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

29

(Hardiansyah, 2013: 231). Pada pemahaman filosof mendasar, epistemologi

merupakan fungsi dari cara berada manusia. Melalui epistmologi manusia dipacu

agar selalu mempermasalahkan pengetahuan.

Menurut filsafat Yunani kuno Aristoteles menjelaskan pengertian epistem

adalah suatu kumpulan yang teratur dari pengetahuan rasional dengan objeknya

sendiri yang tepat (Hardiansyah, 2013: 230). Epistemologi merupakan cabang

filsafat yang mengawali penyelidikannya dari asal mula, susunan, metode-metode

dan sahnya pengetahuan. Hardiansyah (2013: 230) menyatakan secara umum

pertanyaan-pertanyaan epistemologi dapat dibagi menjadi dua kelompok:

1) pertanyaan mengacu kepada sumber pengetahuan, pertanyaan ini dinamakan

pertanyaan epistemologi kefilsafatan dan erat sekali hubungannya dengan

ilmu jiwa;

2) merupakan masalah-masalah semantik, yakni menyangkut hubungan

pengetahuan yang diperoleh oleh manusia dan bagaimana cara memperoleh

pengetahuan.

Adapun hal yang ingin dibicarakan oleh epistemologi antara lain masalah

hakikat pengetahuan. Yaitu apa sesungguhnya pengetahuan itu. Juga

membicarakan sumber pengetahuan yang diperoleh oleh manusia dan bagaimana

cara memperoleh pengetahuan (Hardiansyah, 2013: 230).

Epistemologi mengalami perubahan seiring dengan perkembangan ilmu

modern, muncul melalui kontroversi dengan tradisi yang melahirkan tonggak

pemikiran skolastik, yang akan dilampauinya. Namun demikian, bersama dengan

tradisi ini, epistemologi memiliki suatu cara berpikir general yang disebut dengan

metode pengetahuan wahyu. Albert (2014: 64) menunjukkan bahwa inti

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

30

epistemologi optimistik yang mengilhami lahirnya ilmu modern adalah kebenaran

adalah manifest, yang kebenarannya terbuka untuk dilihat, dan orang hanya perlu

membuka mata untuk melihatnya. Epistemologi wahyu yang ditemukan dalam

pemikiran-pemikiran era klasik dibatasi. Pandangan bahwa kesalahan

membutuhkan penjelasan, sementara persepsi atas kebenaran adalah soal biasa,

dan sebab terjadinya kesalahan harus dicari dalam wilayah keinginan, kepentingan

pribadi dan prasangka. Keinginan yang jelek, akan mengganggu proses

pengetahuan yang murni dalam melihat kebenaran. Kepentingan personal dan

prasangka mengintervensi dan memalsukan hasilnya, merusak wahyu.

Antara satu versi model wahyu dengan versi lainnya pada dasarnya

dibedakan berdasarkan pada sumber pengetahuan yang berlaku dalam masing-

masing kasus, di samping juga cara bagaimana akses kepada sumber ini diatur.

Wahyu supernatural yang unik, yang secara historis terbatas pada lingkungan

manusia partikular, yang terhadapnya orang lain, termasuk generasi-generasi

selanjutnya, memiliki akses hanya melalui tradisi yang sebagian tertulis. Inilah

pola mediasi kebenaran yang tersebar luas dalam teologi agama-agama besar.

Wahyu jenis ini bisa mengambil ekspresi sosial sangat luas dan beragam. Tujuan

dari model ini adalah untuk mengukuhkan suatu kebenaran yang terwahyu dan

tidak berubah dan menempatkannya sekali dan selamanya melampaui jangkauan

seluruh kritik yang dimungkinkan (Albert, 2014: 66).

Jadi dapat disimpulkan epistemologi wahyu adalah cabang filsafat yang

membahas tentang hakikat pengetahuan manusia. Persoalan pokok yang

berkembang dalam epistemologi adalah meliputi sumber-sumber pengetahuan,

watak dari pengetahuan manusia. Apakah pengetahuan itu benar atau tidak,

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

31

bagaimana pengetahuan itu didapat, dengan cara apa dan apa saja syarat-syarat

yang harus dipenuhi. Sehingga epistermologi sampai pada problem hubungan

metode dengan obyek dari ilmu pengetahuan. Epistemologi wahyu menjadikan

wahyu untuk dijadikan sumber ilmu pengetahuan.

2.1.5 Faktor-Faktor Penyebab Spiritualisme Kritis

Sastra merupakan penggambaran kehidupan yang dituangkan melalui

media tulisan. Terdapat hubungan yang erat antara sastra dan kehidupan karena

fungsi sosial sastra adalah bagaimana sastra melibatkan dirinya ditengah-tengah

kehidupan masyarakat (Mulia, 2016: 2). Kehidupan orang Jawa dengan berbagai

karakteristik menjadi salah satu faktor lahirnya novel Simple Miracles Doa dan

Arwah. Novel ini bercerita tentang kehidupan satu keluarga Jawa yang tinggal di

Bogor, namun masih mengamalkan kepercayaan atau tradisi yang berkaitan

dengan mitos di Jawa. Salah satunya masing memiliki kepercayaan pada hal-hal

mistik sesuai karakteritik kehidupan orang Jawa, yakni percaya terhadap makhluk

halus serta hal-hal yang bersifat takhayul.

Dalam Simple Miracles Doa dan Arwah diperlihatkan bahwa makhluk

halus yang dihadirkan merupakan mahkluk halus yang melegenda di Jawa.

Melalui novel Ayu Utami dapat diketahui hahwa karya sastra tidak hanya berkisah

tentang hal-hal yang berkaitan dengan keseharian makhluk hidup yang sifatnya

terlihat, tetapi juga berkisah tentang hal-hal sifatnya tak terlihat. Faktor lain yang

juga membuat Ayu Utami melahirkan novel ini yaitu kepercayaan penulis

terhadap hal-hal magis, takhyul, serta bersifat irrasional yang berkaitan dengan

makhluk halus yang kemudian diangkat dalam karya sastranya.

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

32

Sesuatu yang memiliki citra sakral, tradisional, serta segala sesuatu yang

lebih mengarah terhadap hal-hal yang berbeda di luar logika manusia (dalam

budaya Jawa) dihadirkan pada era modern seperti saat ini. Fenomena munculnya

karya Simple Miralces Doa dan Arwah ini identik dengan karya sastra realisme

magis. Karya sastra realisme magis adalah karya sastra yang menghadirkan

kembali segala citra dan pengertian yang bersifat magis, mistis, ataupun irrasional

yang bersumber dari cerita mitologi, dongeng, legenda yang hidup secara

tradisional yang dihadirkan dalam sebuah kesusastraan modern diindikasi sebagai

karya sastra realisme magis (Mulia dalam Faris, 2004).

Mitos (kepercayaan) serta ritual yang hadir dalam cerita novel Simple

Miracles Doa dan Arwah pun sangat familiar di telinga orang Jawa. Secara tidak

langsung kehadiran novel Simple Miracles Doa dan Arwah selain sebagai bacaan

hiburan juga mempunyai fungsi mengkomunikasikan sesuatu. Misalnya

memperlihatkan eksistensi mitos/ kepercayaan serta tradisi (budaya Jawa) pada

era saat ini. Seperti yang diungkapkan Mulia (2016: 4) kehadiran teks sastra atau

novel yang menyuarakan, menghadirkan, dan mempersoalkan kepercayaan hal-hal

magis seperti mitos, pasti memiliki maksud tertentu. Misalnya bertugas

mengukuhkan suatu kepercayaan mengenai mitos tertentu, atau mungkin bertugas

merombak, membebaskan, memodofikasi, bahkan untuk menentangnya.

Spiritualisme kritis mengajarkan bagaimana cara menafsirkan dan mengkritisi

pengalaman yang terkadang sulit dijelaskan dengan nalar dan dibuktikan secara

logis.

Faktor-faktor yang melatar belakangi penulis dalam melahirkan karyanya

dibagi menjadi dua, yaitu:

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

33

2.1.5.1 Faktor Internal Pengarang

Dalam menulis karya sastra seorang pengarang juga dipengaruhi faktor

internal berupa akal dan jiwa pengarang itu sendiri. Susunan unsur-unsur akal dan

jiwa menentukan tingkah laku atau tindakan dari setiap individu manusia disebut

kepribadian. Unsur-unsur kepribadian tersebut adalah pengetahuan, perasaan, dan

dorongan naluri (Siswanto, 2008: 12).

Pengetahuan adalah unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seorang

manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Pengetahuan bisa

terdiri dari persepsi, apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi (Siswanto, 2008:

12). Unsur kedua dari kepribadian adalah perasaan. Perasaan adalah suatu

keadaan dalam kesadaran manusia yang karena pengaruh pengetahuannya

dinilainya sebagai keadaan positif atau negatif. Perasaan dapat menimbulkan

kehendak, yaitu keadaan untuk mendapatkan suatu kenikmatan (kehendak positif)

atau menghindari hal yang dirasakannya sebagai hal yang akan membawa

keadaan yang tidak nikmat kepadanya (kehendak negatif). Kehendak yang kerasa

disebut keinginan. Suatu keinginan yang besar disebut emosi (Siswanto, 1986:

12).

Unsur ketiga dari kepribadian adalah dorongan naluri. Dorongan naluri

adalah kemauan yang sudah merupakan naluri tiap makhluk manusia yang tidak

ditimbulkan karena pengaruh pengetahuannya, melainkan karena sudah

terkandung dalam organismnya. Secara umum sedikitnya ada tujuh macam

dorogan naluri, yaitu dorongan mempertahankan hidup, seks, usaha mencari

makan, untuk bergaul atau berinteraksi dengan sesama manusia, meniru tingkah

laku sesama, berbakti, dan akan keindahan (Siswanto, 2008:13).

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

34

2.1.5.2 Faktor Eksternal Pengarang

Sebagai makhluk sosial, pengarang dipengaruhi oleh faktor eskternal

pengarang (latar belakang pengarang) berupa struktur sosial dan proses-proses

sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan

jalinan antara unsur-unsur yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma

sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial, dan lapisan sosial.

Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara kehidupan ekonomi, politik,

hukum, agama, dan sebagainya (Siswanto, 2008: 3).

Siswanto (2008: 3) menjabarkan faktor eksternal pengarang ada enam

faktor. Yaitu asal sosial, kelas sosial, jenis kelamin, umur, pendidikan, dan

pekerjaan. Asal sosial merujuk pada lingkungan tempat pengarang dibesarkan

atau tinggal dalam kaitannya dengan karya sastranya. Ayu Utami dilahirkan di

Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Ayahnya bernama Johanes Had Sutaryo

dan Ibunya bernama Bernadera Suhartina. Keduanya merupakan keluarga Katolik.

Pendidikan terakhirnya adalah S-1 Sastra Rusia Fakultas Sastra Universitas

Indonesia 1994. Ayu juga pernah sekolah Advanced Journalism, Thomson

Foundation, Cardiff, UK 1995 dan Asian Leadership Fellow Program, Tokyo,

Japan 1999. Ayu pernah menjadi wartawan di majalan Humor, Matra, Forum

Keadilan, dan D & R. Setelah tidak beraktivitas sebagai jurnalis, Ayu kemudian

menulis novel, Novel pertamanya adalah Saman yang ditulis pada tahun 1998.

Dalam Simple Miracles Doa dan Arwah, Ayu sebagai orang yang lahir di

Kota Bogor tentu dapat menggambarkan dengan detail Kota Bogor sebagai latar

utama dalam karyanya. Mitos (kepercayaan) serta ritual banyak dianggat Ayu,

walaupun pengarang sediri dibesarkan di keluarga Katolik.mmmmmmmmmmmm

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA Landasan Teori Unsur Pembangun Novel

35