BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi...

34
12 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Penelitian mengenai ritual monsehe pada etnik Culambacu belum pernah diteliti sehingga “miskin literatur”. Oleh sebab itu, penelitian ritual monsehe memfokuskan data pustakanya dengan acuan ”pustaka”, yaitu narasumber terutama penutur utama yang masih hidup (living traditions), ingatan kolektif yang tersimpan dalam masyarakat terkhusus yang berhubungan dengan tradisi tersebut (memory traditions). Studi tentang ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia telah banyak dilakukan di tempat lain. Tiap-tiap studi mencoba mengkaji dan membahas aspek-aspek tertentu mulai dari bentuk, fungsi, ideologi, makna dalam ritual, karakteristik ritual, dan nilai-nilai budaya yang melatar belakanginya. Demi menjaga keabsahan ilmiah penelitian ini, ditampilkan beberapa hasil penelitian terdahulu khususnya yang berkaitan dengan ritual dan siklus kehidupan manusia yang dianggap relevan dengan penelitian ini. La Ode Aris (2010) meneliti tentang Kaago-Ago (Ritual Pencegahan Penyakit dalam Masyarakat Muna)”. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian tesis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar magister pada Progaram Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa masyarakat Muna sangat intens melakukan ritual kaago-ago. Salah satu fungsinya adalah mencegah penyakit yang datang pada waktu

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN

MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian mengenai ritual monsehe pada etnik Culambacu belum pernah

diteliti sehingga “miskin literatur”. Oleh sebab itu, penelitian ritual monsehe

memfokuskan data pustakanya dengan acuan ”pustaka”, yaitu narasumber

terutama penutur utama yang masih hidup (living traditions), ingatan kolektif

yang tersimpan dalam masyarakat terkhusus yang berhubungan dengan tradisi

tersebut (memory traditions).

Studi tentang ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia telah

banyak dilakukan di tempat lain. Tiap-tiap studi mencoba mengkaji dan

membahas aspek-aspek tertentu mulai dari bentuk, fungsi, ideologi, makna dalam

ritual, karakteristik ritual, dan nilai-nilai budaya yang melatar belakanginya. Demi

menjaga keabsahan ilmiah penelitian ini, ditampilkan beberapa hasil penelitian

terdahulu khususnya yang berkaitan dengan ritual dan siklus kehidupan manusia

yang dianggap relevan dengan penelitian ini.

La Ode Aris (2010) meneliti tentang Kaago-Ago (“Ritual Pencegahan

Penyakit dalam Masyarakat Muna)”. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian

tesis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar magister pada Progaram

Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM). Dalam penelitian tersebut

ditemukan bahwa masyarakat Muna sangat intens melakukan ritual kaago-ago.

Salah satu fungsinya adalah mencegah penyakit yang datang pada waktu

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

13

pergantian musim. Jenis penyakit yang dicegah oleh masyarakat Muna dengan

ritual kaago-ago, yaitu penyakit yang diakibatkan oleh angin (pergantian cuaca),

seperti demam, flu, dan sakit kepala. Selain penyakit yang diakibatkan dengan

angin, kaago-ago juga berfungsi sebagai sarana untuk menghindari penyakit yang

berasal dari ilmu gaib/sihir.

Temuan yang menarik dalam penelitian La Ode Aris adalah dampak yang

dirasakan oleh masyarakat kalau tidak melakukan ritual kaago-ago dalam

aktivitas pertanian. Masyarakat menyakininya akan terjadi suatu bencana yang

bermacam-macam, misalnya, lahan pertanian kering, penyakit tanaman

bermunculan, dan pada akhirnya melahirkan hasil panen yang tidak memadai.

Dari hasil penelitian La Ode Aris tersebut didapatkan pengetahuan tambahan

berupa kepustakaan dalam meneliti ritual pengobatan monsehe ini.

Perbedaan penelitian dia atas, selain berbeda tempat, etnik, dan bahasa

juga dapat dilihat yaitu La Ode Aris fokus pada ritual pencegahan penyakit pada

pergantian musim dalam masyarakat Muna, sedangkan dalam penelitian ini diteliti

ritual monsehe dalam etnik Culambacu yang meliputi seluruh aspek, mulai dari

pengobatan, pencegahan penyakit, bencana, dan permohonan agar diberikan

kemudahan rezeki. Objek yang dituju adalah penguasa alam gaib yang berada di

luar pengetahuan manusia.

Sumitri (2005) meneliti “Ritual Dhasa Jawa pada Masyarakat Petani di

Rongga, Manggarai Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini merupakan tesis pada

Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana. Dalam penelitian itu

ditemukan bahwa ritual Dhasa Jawa merupakan ritual yang bertujuan untuk

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

14

menyatukan manusia dengan penguasa adikodrati, khususnya penghuni alam gaib.

Temuan Sumitri dalam penelitiannya adalah mengetahui cara beradaptasi,

memperlakukan alam dan roh para leluhur (penghuni alam gaib, roh leluhur),

serta memperlakukan orang lain supaya mereka senang dan bersahabat dengan

masyarakat Rongga yang berprofesi sebagai petani.

Penelitian Sumitri dengan penelitian ini memiliki persamaan, yakni sama-

sama mengkaji ritual dengan pendekatan dan jenis penelitian, yaitu metode

penelitian kualitatif. Di samping itu, teori yang digunakan juga memiliki

kesamaan, di antaranya dalam penggunaan teori semiotika. Perbedaan dengan

yang dilakukan saat ini adalah Sumitri mengkaji “Ritual Dhasa Jawa pada

Masyarakat Petani di Rongga, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yang berkaitan

dengan siklus kehidupan manusia sedangkan dalam penelitian ini dikaji “Ritual

Monsehe pada Etnik Culambacu di Kabupaten konawe Utara, Sulawesi

Tenggara”, yang berkaitan dengan ritual pengobatan, permohonan kesehatan, dan

keselamatan dalam etnik Culambacu secara umum. Objek dan lokasi penelitian

juga mengambarkan perbedaan yang jauh.

Selanjutnya penelitian ritual juga pernah dilakukan Maria Gorrety (2010)

tentang “ Degradasi Ritual Gua Leza dalam Masyarakat Suku Rendu di

Kecamatan Aesea Selatan, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur”.

Penelitian ini merupakan penelitian tesis di Program Pascasarjana Universitas

Udayana. Temuan Maria dalam penelitian tersebut adalah terjadinya perubahan

perilaku masyarakat suku Rendu dalam pelaksanaan ritual gua leza yang

bermukim di Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo Flores. Terlihat

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

15

jelas bahwa peserta dari kalangan suku Rendu yang hadir dalam upacara atau

ritual tersebut semakin berkurang. Selain itu, kelompok generasi muda juga tidak

lagi paham tentang nilai-nilai budaya yang diwariskan leluhurnya. Adapun

persamaan dan perbedaan penelitian tersebut yaitu, ditinjau dari fokus kajian

penelitian, terdapat persamaan dengan penelitian ini. Artnya, sama-sama mengkaji

ritual yang berkaitan dengan siklus hidup manusia.

Pada dasarnya penelitian ini mengkaji ritual juga, tetapi fokus kajiannya

terpusat pada ritual monsehe (pengobatan/penyembuhan dan penyucian diri),

sedangkan objeknya adalah etnik Culambacu yang bermukin di Kecamatan

Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Di pihak lain

daerah penelitian Maria terletak di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.

Itu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh

karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah keilmuan khususnya

yang berhubungan dengan kearifan lokal masyarakat di Indonesia. Hasil

penelitian Maria digunakan sebagai pembanding dan salah satu kepustakaan untuk

mengkaji ritual monsehe pada entik Culambacu.

Moertjipto (1997:26) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa setiap

tahunnya masyarakat Kapuharjo, Sleman, Yogayakarta selalu mengadakan

upacara becekan, yakni suatu ritual yang bertujuan memohon hujan. Hal ini

dilakukan pada saat masyarakat petani Sleman mengalami kekeringan yang

berkepanjangan. Permohonan hujan tersebut dilakukan agar hujan secepatnya

turun. Tujuan permohonan hujan tersebut adalah untuk keperluan persawahan dan

tanaman pertanian lainnya. Selajutnya, Moertjipto mengatakan bahwa

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

16

pelaksanaan ritual tersebut juga ditujukan kepada penguasa Gunung Merapi. Hal

itu dilakukan masyarakat setempat menyakininya bahwa Gunung Merapi

merupakan tempat istana Ratu Jin yang mampu membantu dan melindungi

mereka dari segala kesusahan.

Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Moertjipto dan penelitian ini,

yaitu sama-sama meneliti ritual adat. Itu berarti bahwa ritual adat masih tetap

dilaksanakan kendatipun pelaksanaannya pada saat mengalami kekeringan.

Perbedaannya antara penelitian yang dilakukan Moertjipto dan penelitian ini

adalah Moertjipto meneliti ritual becekan, yaitu memohon hujan yang ditunjukan

kepada penguasa Gunung Merapi. Masyarakat memercayai bahwa Gunung

Merapi merupakan tempat istana Raja Jin yang mampu melindungi kehidupan

mereka.

Penelitian ini mengkaji ritual monsehe (penyucian diri). Tujuannya adalah

untuk pengobatan dan menghindarkan manusia dari segala macam penyakit,

musibah, dan bencana yang diakibatkan oleh pelanggaran adat. Ritual monsehe

juga dilaksanakan untuk dipersembahkan kepada penguasa alam materi atau alam

gaib. Etnik Culambacu percaya bahwa melakukan ritual monsehe tersebut untuk

mengobati penyakit, menenangkan jiwa, dijauhkan dari segala musibah, dan

dimudahkan rezekinya.

Beberapa kajian di atas sangat bermanfaat bagi penelitian ini karena

beberapa hasil penelitian tersebut dapat memberikan gambaran dan perbandingan

yang berarti untuk meneliti dan mengkaji secara mendalam ritual monsehe pada

etnik Culambacu di Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Di

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

17

samping itu, mendeskripsikan bentuk ritual monsehe, ideologi ritual monsehe, dan

makna yang terkandung dalam ritual monsehe pada etnik Culambacu.

2.2 Konsep

Di dalam penelitian ini digunakan beberapa konsep yang membantu

menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan judul penelitian “Ritual

Monsehe pada Etnik Culambacu di Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi

Tenggara”. Adapun konsep yang digunakan dalam penulisan disertasi ini meliputi

konsep ritual, konsep etnik, dan konsep ideologi.

2.2.1 Konsep Ritual

Kata ritual berhubungan dengan ritus, yaitu tata cara dalam upacara

keagamaan (KUBI, 2007:959). Selanjutnya, Hadi (2000:29) menjelaskan bahwa

ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan

beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat khusus yang

menimbulkan rasa hormat yang tulus, dalam arti merupakan suatu pengalaman

yang suci.

Setiap manusia sadar bahwa selain dunia yang fana ini, ada suatu alam

dunia yang tak mampu diraih olehnya dan berada di luar batas akalnya. Dunia ini

adalah dunia supranatural atau dunia alam gaib. Berbagai kebudayaan menganut

kepercayaan bahwa dunia gaib dihuni oleh berbagai makhluk dan kekuatan yang

tak dapat dikuasai oleh manusia dengan cara-cara biasa. Oleh sebab itu, manusia

pada dasarnya ditakuti oleh manusia lainnya (Koentjaranningrat, 2002:220).

Durkheim (1995:157) mengemukakan dua hal pokok dalam agama yaitu

kepercayaan dan ritus/ upacara-upacara. Keyakinan adalah pikiran, sedangkan

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

18

ritus adalah tindakan. Simpulannya, agama merupakan lambang collective

representation dalam bentuknya yang ideal. Agama adalah sarana untuk

memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama. Orang yang terlibat

dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective

consciouness semakin bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana

keagamaaan dibawa dalam kehidupan sehari-hari, kemudian lambat laun

collective consciousness tersebut semakin lemah kembali. Jadi, ritual-ritual

keagamaan merupakan sarana yang dianggap berperan dalam menciptakan

kesadaran kolektif di antara masyarakat. Dengan kata lain ritual agama merupakan

charge bagi manusia untuk mendekatkan diri kembali kepada Tuhan

(Siahaan,1986:25).

Durkheim telah menegaskan bahwa dalam pengkajiannya tentang agama

merupakan sesuatu yang tak ada kaitannya dengan konsepsi ketuhanan. Dalam

konsepsi ini, kekuatan yang diacu oleh ritus-ritus agama primitif sangat jauh

berbeda dengan kekuatan yang dipahami dalam religi atau agama modern. Agama

menurutnya amat bergantung pada kondisi-kondisi yang ditentukan secara

empiris, begitu juga masyarakat yang menurutnya sama objektifnya dengan alam

itu sendiri. Sebagaimana pendekatan fungsionalis yang memandang masyarakat

sebagai struktur sosial yang bekerja seperti struktur organik dan masyarakat itu

sendiri dalam bekerja sebagai suatu sistem terdiri atas organ-organ yang berperan

dan melaksanakan fungsi yang diperlukan sehingga tercipta sistem beserta

struktur sosial itu tadi.

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

19

Pengalaman agama menurutnya berasal dari masyarakat itu sendiri dan

masyarakatlah yang membentuk individu. Durkheim melanjutkan pengertiannya

bahwa masyarakat terdiri atas bangunan individu yang kemudian membuat

pengaruhnya melalui tindakan bersama atau kolektif yang menimbulkan

kesadaran atas dirinya sendiri dan kedudukannya. Tindakan kolektif itulah yang

menguasai kehidupan agama sebagaimana fakta menunjukkan bahwa

masyarakatlah yang merupakan sumbernya. Hal ini diperkuat dengan asumsinya

bahwa hampir semua institusi sosial yang besar dilahirkan dalam agama. Di pihak

lain yang membentuk manusia adalah totalitas unsur intelektual yang

menggambarkan peradaban dan peradaban itulah sebagai hasil karya masyarakat.

Bagaimana suatu masyarakat menciptakan sentimen dan konsepsi mengenai

tempat berlindung yang aman, zat yang senantiasa menjaga dan memperhatikan

setiap diri para penganut agama dan cult (cara memuja atau pemujaan) yang

diciptakannya.

Aspek-aspek prinsipil dari kehidupan kolektif ini dapat bekerja apabila

dilihat dari aspek kehidupan keagamaan. Jelas bahwa kehidupan agama adalah

bentuk yang menonjol dan merupakan ungkapan sentral dari kehidupan kolektif.

Apabila agama telah melahirkan banyak unsur yang esensial dalam masyarakat,

maka hal ini karena roh masyarakat itu sendiri adalah agama. Kekuatan agama

adalah kekuatan manusia atau kekuatan moral (Nafisul, 2003:7). Ritual monsehe

sebagai salah satu upacara/ritus semireligius sangat penting untuk dipraktikkan

dalam masyarakat karena berdasarkan pandangan Durkheim, semakin sering

manusia melalukan upacara maka semakin kuat solidaritas di antara mereka.

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

20

Peranan upacara menurut Van Ball (1997:12), baik ritual maupun

seremonial adalah untuk mengingatkan manusia agar dibiasakan dalam

pelaksanaan upacara berkenaan dengan eksistensi dan hubungan lingkungan

mereka. Manusia yang diingatkan ini harus mampu menjaga keharmonisan

hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan manusia

dengan lingkungan alam.

Selanjutnya, dalam pandangan Clifford Geertz, sebagaimana yang

dikomentari oleh Kleden (1988:14) bahwa ritus adalah tindakan yang

mempersatukan dunia nyata dan dunia imajinatif dalam bentuk simbolik.

Tindakan keagamaan terjadi kalau sistem simbol tersebut diresapi dengan suatu

kekuatan yang laur biasa, yang dalam agama disebut yang illahi atau yang kudus

(suci). Ritual dapat dikatakan agama dalam tindakan.

Menurut Hobsbawn (2003:1), ritual merupakan perangkat praktik yang

biasanya ditentukan oleh aturan-aturan yang diterima secara jelas atau samar-

samar dan suatu ritual atau sifat simbolik yang ingin menanamkan nilai-nilai dan

norma-norma perilaku tertentu melalui pengulangan yang secara otomatis

mengimplikasi adanya kesinambungan dengan masa lalu. Ritual inilah yang

menunjukkan adanya kesinambungan dengan masa lalu dan mewujudkan

kekuatan unsur-unsur religi. Hal ini menunjukkan kepercayaan manusia terhadap

keberadaan kekuatan gaib yang dianggap lebih tinggi kedudukannya daripada

manusia. Oleh karena itu, masyarakat menjalankan aktivitas ritual religi sebagai

sarana komunikasi dengan alam gaib tersebut sesuai dengan kepercayaan yang

dianutnya (Purwasita, 2003:230). Meskipun iman merupakan bagian dari ritual,

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

21

bahkan ritual itu sendiri, iman keagamaan berusaha menjelaskan makna ritual

serta memberikan tafsiran dan mengarahkan vitalitas pada pelaksanaan

(Dhavamony, 1995:167).

Menurut Suhardi (2009:12--13), ada tiga kategori jenis ritual, yaitu

upacara sekuler, upacara semireligius, dan upacara religius. Ritual monsehe dari

ketiga pandangan Suardi di atas, masuk dalam kategori kedua, yakni ritual

monsehe merupakan upacara semirelegius. Ritual monsehe dikatakan sebagai

upacara semireligius karena dapat berfungsi sebgaia media perekat sosial

antarmasyarakat dan juga sarana penghubung antara manusia dengan kekuatan

adikodrati. Upacara semireligius menurut Suhardi adalah upacara yang

mempunyai tujuan sekuler, tetapi juga secara jelas dan pada hakikatnya

didasarkan pada sesuatu yang disakralkan. Tujuan upacara ini adalah untuk

mencari jalan keselamatan, baik dalam bentuk keterpaduan masyarakat maupun

membebaskan diri dari segala bentuk penyakit serta gangguan metafisik. Sistem

ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia

dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek

moyang, atau makhluk lain dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan

Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya itu.

Ritus atau upacara religi biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap

hari, setiap musim, maupun kadang-kadang saja tergantung isi acara dan

sejauhmana kebutuhan itu diperlukan. Ritus atau upacara religi biasanya terdiri

atas suatu kombinasi yang merangkaikan satu, dua, atau beberapa tindakan,

seperti berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

22

menyanyi, berprosesi, berseni drama suci, berpuasa, intositasi, bertapa atau

semadi (Koentjaraningrat, 1985:44).

Pengertian selanjutnya diungkapkan Hadi (1999/2000), yaitu ritual

merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan yang berhubungan dengan

beberapa kepercayaan atau agama yang ditandai dengan sifat khusus, yang

menimbulkan rasa hormat pada leluhur. Berdasarkan pernyataan Hadi tersebut

diketahui memiliki hubungan erat dengan masyarakat etnik Culambacu, yaitu

salah satu tujuan ritual monsehe adalah penghormatan pada leluhur dan penguasa

alam gaib.

Endarswara (2003:175) memberikan klasifikasi terhadap suatu ritual

menjadi dua bentuk. Pertama, ritual krisis hidup, artinya ritual yang berhubungan

dengan krisis hidup manusia. Endarswara berpendapat bahwa manusia pada

hakikatnya akan mengalami krisis hidup (baik kesehatan maupun ekonomi) ketika

sedang masuk dalam masa peralihan. Pada masa tersebut seseorang akan

mengalami tahap krisis karena mengalami perubahan tahapan hidup. Kedua, ritual

gangguan, yaitu ritual sebagai negosiasi antara manusia dan roh agar tidak

mengganggu manusia.

Ritual secara umum adalah sistem upacara yang merupakan wujud

kelakuan dan religi. Seluruh sistem upacara itu terdiri atas aneka macam upacara

yang bersifat harian, musiman, dan kadang kala. Dalam sistem upacara

keagamaan menurut (Koentjaraningrat, 1994:14), terkandung empat aspek, yaitu

:(1) Kayakinan dan emosi, (2) tempat upacara keagamaan, (3) tempat pelaksanaan

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

23

upacara, (4) waktu pelaksanaan upacara serta (5) benda-benda dan peralatan

upacara serta orang yang melakukan dan memimpin jalannya upacara.

Berdasarkan konsepsi ritual di atas, maka dalam penelitian ini secara

operasional ritual monsehe (penyucian diri) di kalangan masyarakat Culambacu di

Kecamatan Wiwirano, pada hakikatnya lebih dipercaya sebagai sarana

penyembuhan dan komunikasi dengan para leluhur atau nenek moyang yang

dipersembahkan dengan sarana verbal melalui pemberian sesajen dan beberapa

macam teknik pengobatannya. Hubungan yang kuat antara penyembuh dan

penderita menjelma menjadi kekuatan super (supranatural) yang menjadi energi

penyembuh, sedangkan sesajen adalah bentuk persembahan pada leluhur dan

kekuatan gaib yang berada di luar diri manusia.

2.2.2 Konsep Etnik

Konsep etnik adalah sebuah konsep kultural yang terpusat pada persamaan

norma, nilai, kepercayaan, simbol, dan praktik kultural. Terbentuknya suku

bangsa bersandar pada penanda kultural yang dimiliki secara bersama yang telah

berkembang dalam konteks historis, sosial, dan politis tertentu dan yang

mendorong rasa memiliki yang sekurang-kurangnya didasarkan pada nenek

moyang mitologis yang sama.

Barth (1988:11--16) menyatakan bahwa kelompok etnik mengemukakan

ciri-ciri suatu populasi yang secara biologis mampu berkembang dan bertahan.

Ciri-ciri yang dimaksudkan di atas adalah (1) mempunyai nilai-nilai budaya yang

sama dan sadar akan makna rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, (2)

membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan (3) menentukan ciri-

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

24

ciri kelompok sendiri yang dapat diterima oleh kelompok lain. Barth

mengemukakan bahwa konsep kelompok etnik sebagai tatanan sosial akan

menentukan ciri khasnya yang akan dapat dilihat oleh kelompok lain. Ciri-ciri asal

yang bersifat kategoris adalah ciri khas yang mendasar secara umum menentukan

seseorang termasuk kelompok etnik mana dan ini dapat diperkirakan dari latar

belakang asal usulnya dengan mengacu pada konsep kelompok etnik sebagai unit

budaya dan tatanan sosial tersebut.

Etnik juga merupakan unsur pengikat (bounding) suatu masyarakat

manusia dan merupakan wadah yang positif di dalam mengejawantahkan nilai-

nilai yang disepakati di dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Namun,

etnisitas yang kaku dan hanya melihat ke dalam tanpa melihat kepada keterikatan

dengan kelompok manusia lainnya yang juga memiliki kebudayaan sendiri, maka

etnisitas yang berlebihan akan menyebabkan berkembangnya nilai-nilai negatif

seperti persaingan yang tidak sehat. Rasa keterikatan terhadap etnis atau dikenal

sebagai tribalisme kadang-kadang merupakan suatu mekanisme defensif dari

seseorang atau kelompok yang tertindas ataupun yang dibatasi kemerdekaannya.

Demokrasi adalah wadah bagi perkembangan tribalisme di Indonesia. Etnisitas

dapat berwujud sebagai identitas atau jati diri suatu kelompok.

Etnisitas dan identitas kelompok merupakan dua wajah dari satu mata

uang. Oleh sebab itu kedua pengertian di atas menjadi kerangka teori penelitian

ini. Yang dimaksud etnik dalam penelitian ini adalah etnik Culambacu yang

memiliki ikatan dan persamaan norma, nilai, kepercayaan, dan seperangkat tata

cara dalam menjalani kehidupan serta aktivitas kesehariannya. Etnik Culambacu

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

25

bermukim di Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi

Tenggara. Walaupun terlihat minoritas, etnik Culambacu masih mempertahankan

jati dirinya sebagai sebuah entitas budaya yang harus dihargai dan dilestarikan.

Hal itu terjadi karena yang menjadi prinsip mereka bahwa budaya ini merupakan

warisan nenek moyang etnik Culambacu yang telah berlangsung berabad-abad

lamanya, melalui pewarisan secara lisan dan turun-temurun dari generasi ke

generasi.

2.2.3 Konsep Ideologi

Upaya menelusuri ideologi tidak bisa dilepaskan dari bagaimana ideologi

itu muncul dan untuk apa saja ideologi tersebut digunakan. Bila manusia ingin

mengatakan apa sebetulnya sesuatu, maka diperlukan ketelitian, pembatasan, dan

pengkotakan. Manusia bertanya, dunia ini sebetulnya apa; ia bertanya mengenai

hakikat barang-barang, hukum-hukum alam, sebab musabab. Bahkan mengenai

ide-ide dan tentang Tuhan sendiri. Manusia melukiskan dan membeberkan, ia

mencari definisi-definisi dan dengan kepala dingin menjadikan barang yang

sedang diselidikinya sebagai ideologi. Akan tetapi, kalau ia mengambil jarak

terhadap dunia, baik yang kodrati maupun yang adikodrati, maka berarti bahwa

manusia sebagai subjek menempatkan diri dalam lingkaran. Manusia juga mulai

bertanya, siapa atau apakah gerangan dia sendiri, ia menemukan dirinya sebagai

subjek, ia menemukan identitasnya sendiri (Peursen, 1976:67).

Manusia pada dasarnya berusaha untuk menemukan diri dan identitasnya

melalui ide-ide dan gagasannya yang diperolehnya dari manusia dan alam

sekitarnya. Ide-ide atau gagasan yang diperoleh manusia tersebut terkadang

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

26

menjadi sebuah ideologi manusia. Ideologi mempunyai beragam pengertian

tergantung dari sudut pandang dan bagaimana konteks ideologi tersebut

digunakan. Eagleton (dalam Takwim, 2003:2) mengatakan bahwa tidak ada

seorang pun yang bisa memberikan suatu definisi ideologi yang memadai, karena

ideologi sebagai sesuatu yang kompleks. Istilah ideologi berasal dari kata “idea”

yang berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita dan “logos” berarti ilmu.

Kemudian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan ideologi adalah

kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang

memberikan arah dan tujuan kelangsungan hidup manusia. Eagleton memaparkan

pengertian ideologi yang berkembang hingga saat ini dengan melihat berbagai

konteks penggunaannya.

Ideologi dapat dilihat sebagai suatu proses reduksi makna-makna, tanda-

tanda, dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial. Ideologi merupakan sekumpulan

karakteristik ide atau pikiran dari sebuah kelompok atau kelas tertentu. Selain itu,

ideologi juga dapat dimaknai sebagai ide-ide yang membantu melegitimasi

ideologi kekuatan politik yang dominan, sesuatu yang menampakkan subjek

dalam posisi tertentu, pemikiran tentang identitas, dan medium yang sangat

penting bagi individu untuk menjalani hubungan-hubungan mereka dalam struktur

sosial.

Kajian ideologi mempertanyakan bentuk-bentuk simbol yang dipakai

untuk menciptakan, memelihara, mendukung, mengembangkan, dan

mempertahankan relasi kekuasaan yang sistematis. Ideologi adalah “perekat

sosial” yang menjaga kestabilan masyarakat dengan mengikat secara kolektif para

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

27

anggotanya untuk menerapkan nilai-nilai dan norma-norma. Analisis bentuk

sosial sebagai fungsi, berarti menganalisis bentuk-bentuk relasi yang digunakan

dan dikendalikan dalam konteks sosial historis tertentu. Apabila seseorang atau

kelompok masyarakat ingin menanamkan ideologinya, ia akan menampilkannya

dalam salah satu ungkapan budaya, baik dalam bahasa verbal maupun dalam cara

berkomunikasi lainnya (Sumantri & Zaimar, 2001:264).

Pengertian ideologi selanjutnya datang dari Teun A. Van Dijk (1995:135--

136) dalam analisis wacananya. Dijk menyatakan bahwa ideologi adalah sebuah

sistem yang merupakan basis pengetahuan sosiopolitik suatu kelompok. Ideologi

mampu mengorganisasi perilaku kelompok yang terdiri atas opini menyeluruh

yang tersusun secara skematis seputar isu-isu sosial yang relevan. Helmut Dahm

memberikan tiga penjelasan mengenai ideologi. Pertama, ideologi adalah ekspresi

dari pemikiran yang dogmatis manusia (refleksi atas kenyataan yang telah

didistorsikan). Kedua, doktrin tentang pandangan dunia (misalnya ideologi

proletariat, kapitalisme, dll). Ketiga, sebagai ilmu pengetahuan, ideologi bertujuan

membagun suatu sistem pengetahuan (Helmut,1980:109).

Menurut Thompson (2003:18) fungsi ideologi adalah sebagai perekat

relasi sosial yang merekat anggota masyarakat secara bersama-sama dengan

menerapkan nilai-nilai dengan norma-norma yang disepakati secara kolektif.

Kekuatan dan relasi dominasi tercermin dari kekuatan kata dan wacana. Makna

sosial ideologi pun terkonstruksi dalam wacana sehingga solidaritas dan soliditas

terjaga. Selain itu, kesatuan langkah pun terpelihara berkat ideologi. Kajian

ideologi yang membentuk tradisi lisan mengenai ritual monsehe pada etnik

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

28

Culambacu unik dan menarik untuk dikaji. Kajian ideologi ini diarahkan pada

penyingkapan dan penggalian ideologi yang berkontribusi pada lingkungan dan

keharmonisan masyarakat dalam mewujudkan soliditas dan solidaritas di antara

mereka. Kerja ideologi begitu cermat dan halus melalui bahasa sehingga patut

dipahami pula bahwa ideologi adalah medium yang paling nyata dari tindakan

sosial. Di dalam kode khususnya bahasa yang digunakan, terdapat ideologi

(Volosinov, 1973:12).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa sebuah ideologi

merupakan suatu gagasan atau konsep yang muncul dan mempunyai dasar untuk

mewujudkan sebuah cita-cita yang diinginkan bersama. Sebagai contoh dalam

konteks kenegaraan kita, tentu Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki

ideologi. Ideologi dan konsep dasar negara Indonesia dalam rangka untuk

mencapai cita-citanya adalah Pancasila.

Selanjutnya Kaelan menyatakan bahwa ideologi bisa juga suatu paham

atau ajaran yang mempunyai nilai kebenaran atau dianggap benar sebagai hasil

kontemplasi (perenungan) manusia, baik berdasarkan wahyu maupun hasil

kontemplasi akal budi secara murni. Ideologi di atas biasanya merupakan hasil

kerja para filosof atau orang yang mau dan mampu menggunakan akalnya untuk

memikirkan diri dan lingkungannya atau segala yang ada. Ideologi-ideologi yang

ada dapat melahirkan suatu kebudayaan karena kebudayaan adalah hasil dunia,

rasa, dan karsa manusia dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan demikian,

ideologi itu mesti kebudayaan, tetapi kebudayaan belum tentu menjadi ideologi

(Kaelan, 2008:5).

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

29

Selain beberapa pengertian ideologi di atas, Gramsci memberikan

pandangan yang lebih umum. Menurutnya ideologi lebih dari sekadar sistem ide.

Ia membedakan antara sistem yang berubah-ubah (arbitary system) yang

dikemukakan oleh intelektual dan filosof tertentu dan ideologi organik, yakni

bersifat historis (historically orgnic ideologies), yaitu ideologi yang diperlukan

dalam kondisi sosial tertentu. Ideologi mempunyai keabsahan yang bersifat

psikologis: ideologi mengatur manusia dan memberikan tempat bagi manusia

untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka

dan sebagainya (Simon, 2004:84).

Simon juga menyatakan bahwa ideologi bukanlah sesuatu yang di awang-

awang dan berada di luar aktivitas politik atau aktivitas praktis manusia lainnya.

Sebaliknya, ideologi mempunyai eksistensi materialnya dalam berbagai aktivitas

praktis yang memberikan berbagai aturan bagi tindakan praktis serta prilaku moral

manusia. Di samping itu, ekuivalen dengan agama dalam makna sekulernya, yaitu

suatu pemahaman antara konsepsi dunia dan norma tingkah laku.

Salah satu sumbangan konsep ideologi berasal dari Althusser. Althusser

memberikan sumbangan bagaimana ideologi beroperasi dan bagaimana ideologi

direproduksi dan dipertahankan. Menurut Althusser, ideologi tidak mencerminkan

dunia riil, tetapi merepresentasikan hubungan-hubungan imajiner individu-

individu terhadap dunia riil. Bagi Althusser, ideologi merupakan ciri yang

dibutuhkan masyarakat sejauh masyarakat mampu memberikan makna untuk

membentuk anggotanya dan mengubah kondisi eksistensinya.

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

30

Masyarakat manusia menyembunyikan ideologi sebagai elemen dan

atmosfer yang sangat diperlukan bagi napas dan kehidupan sejarah mereka.

Selanjutnya dikatakan bahwa ideologi memiliki eksistensi material, yakni

aparatus-aparatus dan praktik-praktiknya sehingga di dalamnya ideologi bisa

hidup. Dalam aparatus dan praktik-praktik inilah ideologi diyakini dan dihayati

oleh semua kelompok dan terus mereproduksi kondisi-kondisi dan hubungan

tatanan masyarakat yang sudah ada, yakni tatanan masyarakat industri kapitalis.

Menurutnya, agar ideologi diterima, diyakini, dan dihayati oleh semua kelompok,

maka ia harus mematerialkan.

Ideologi hidup dalam praktik-praktik kelompok kecil, dalam citraan, dan

objek yang digunakan dan ditunjuk oleh masyarakat, dan dalam organisasi-

organisasi. Misalnya, pada sekolah-sekolah, rumah tangga, organisasi

perdagangan, media massa, olahraga, pengadilan, partai politik, universitas, dan

seterusnya (http://sharingtheory.blogspot.com/2009/05/teori-idiologi-dan-praktek-

kebudayaan.html).

Berdasarkan pemaparan konsep ideologi di atas, maka ideologi di dalam

penelitian ritual monsehe pada etnik Culambacu dikaji dan dianalisis dengan

mengacu kepada hal. Pertama pemaknaan bahwa ideologi dapat dilihat tumbuh

dan berkembang pada individu dan kelompok etnik Culambacu dalam rangka

membentuk identitasnya. Kedua, ideologi di tengah etnik Culambacu diproduksi

untuk melahirkan dominasi kelas, profesi hingga kereativitas atau cipta karsa

manusia. Ketiga, ideologi digunakan sebagai alat perlawanan dan penguasaan agar

ideologi di tengah masyarakat etnik Culambacu bisa bertahan dan lestari

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

31

walaupun disadari ada pertarungan serta hegemoni budaya dan ideologi dominan

yang berasal dari kelompok tertentu. Melalui beberapa konsep ideologi di atas, di

harapkan dapat diungkapkan ideologi ritual monsehe dan makna-makna ideologi

yang terkadung di dalamnya.

2.3 Landasan Teori

Teori adalah alat, instrumen atau logika untuk mengatasi dunia melalui

mekanisme deskripsi, definisi, prediksi, dan kontrol. Konstruksi teori adalah

usaha diskursif yang sadar diri (self-reflexive) yang bertujuan menafsirkan dan

mengintervensi dunia. Argumen-argumen, pendefinisian ulang, dan mengkritik

hasil kerja sebelumnya untuk mencari alat-alat baru untuk mengkritisi dunia

(Barker, 2005:524). Berdasakan pemahaman teori di atas, guna memberikan

arahan yang lebih jelas dan upaya menjawab masalah yang dikaji dalam penelitian

ini, digunakan beberapa teori yang dianggap relevan dengan rencana penelitian.

Teori-teori yang digunakan adalah teori struktural fungsional, teori semiotik, dan

teori hegemoni.

2.3.1 Teori Struktural Fungsional

Pendekatan teori struktural menganggap bahwa masyarakat pada

hakikatnya akan terintegrasi di atas dasar kata sepakat para anggotanya.

Terwujudnya kata kesepakatan itu didasari atas nilai-nilai kemasyarakatan

tertentu, sebagai suatu general agreement yang memiliki daya mengatasi

perbedaan-perbedaan, pendapat-pendapat, dan kepentingan di antara anggotanya

(Nasikun, 1995:4--9).

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

32

Dalam dunia mistis manusia belum merupakan seorang pribadi yang bulat

dan utuh. Dalam alam pikiran ontologis subjek dan objek, manusia dan dunia

mulai berhadapan muka. Akan tetapi, dalam pendekatan fungsional bukan distansi

yang diutamakan, melainkan relasi. Subjek dan objek dibuka yang satu terhadap

yang lain. Ini berarti bahwa identitas manusia modern yang telah diperjuangkan

dengan jerih payah, lalu dibiarkan hilang lenyap. Akan tetapi, identitas itu tidak

dipandang lagi sesuatu yang bulat dan terisosialisasi, tetapi dipandang sebagai

suatu indentitas yang hanya dapat berada dan berkembang dalam relasi-relasi

dengan yang lain (Peursen, 1976:102).

Bagi Durkheim (1951:180), masyarakat modern semestinya merupakan

masyarakat yang harmonis dan tertib, tetapi dalam realitanya modernitas turut

mendorong terjadinya individualisme yang berlebihan dan kaku. Modernitas juga

menyebabkan diversifikasi sehingga tercipta disintegrasi sosial dan solidaritas

menjadi sulit dicapai. Kecenderungan anti sosial, suatu kondisi kurangnya norma

yang mengatur atau tanpa peraturan dan kekacauan oleh Durkheim disebut

sebagai anomi. Jika sebelumnya dalam masyarakat tradisional telah dicapai

‘solidaritas mekanik’ secara indigen sehingga tercipta masyarakat yang saling

bergantung dan harmonis, tetapi dalam masyarakat modern dengan realitas yang

semakin kaku dan individualistis.

Sebagai solusi menurut Durkheim diperlukan ‘solidaritas organik’ yang

akan menyadarkan tiap indvidu tentang kebutuhan kondisi saling ketergantungan

atau interdependency. Namun, bahaya anomi itu mengancam masyarakat modern.

Selanjutnya Durkheim menyimpulkan bahwa peranan kritis agamalah yang

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

33

mampu menghambat anomi dan menjamin terwujudnya solidaritas sosial dalam

masyarakat manusia (Atho, 2003:8).

Menurut Talcott Parsons (dalam Ritzer, 2008:76), fungsi adalah kumpulan

kegiatan yang ditujukan ke arah pemenuhan kebutuhan sistem. Selanjutnya

Parsons menyatakan ada empat fungsi penting yang mutlak dibutuhkan bagi

semua sistem sosial, yang meliputi adaptasi (A), pencapaian tujuan atau goal

attainment (G), integrasi (I), dan latensi (L). Empat fungsi tersebut wajib dimiliki

oleh semua sistem agar tetap bertahan (survive). Berikut penjelasan mengenai

skema AGIL menurut Parson.

1. Adaptasi (adaptation) merupakan fungsi yang amat penting, di sini sistemharus dapat beradaptasi dengan cara menanggulangi situasi eksternal yanggawat, dan sistem harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan jugadapat menyesuaikan lingkungan untuk kebutuhannnya.

2. Pencapaian tujuan (goal attainment), yaitu sebuah sistem yang harusmendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya

3. Integrasi (integrations), sebuah sistem harus mengatur antarhubunganbagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelolaantarhubungan ketiga fungsi penting lainnya (A,G,L).

4. Latensi atau pemeliharaan pola (latency) sebuah sistem harusmemperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individualmaupun pola-pola kultural, yang menciptakan dan menopang motivasi.

Robert K. Merton (dalam Poloma, 2007:35) mengutip tiga postulat dari

analisis fungsional dan disempurnakannya, di antaranya. Postulat pertama,

kesatuan fungsional masyarakat dapat dibatasi sebagai suatu keadaan, yaitu

seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam suatu tingkatan keselarasan

atau konsistensi internal yang memadai tanpa menghasilkan konflik

berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Atas postulat ini Merton

memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional yang sempurna satu masyarakat

bertentangan dengan fakta. Hal ini terjadi karena dalam kenyataannya dapat

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

34

terjadi sesuatu yang fungsional bagi satu kelompok, tetapi dapat pula bersifat

disfungsional bagi kelompok yang lain.

Postulat kedua, yaitu fungionalisme universal yang menganggap

bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-

fungsi positif. Tekait dengan postulat ini dikatakan bahwa sebetulnya di samping

fungsi positif sistem sosial juga terdapat dwifungsi. Beberapa perilaku sosial

dapat dikategorikan ke dalam bentuk atau sifat disfungsi ini. Dengan demikian

dalam analisis keduanya harus dipertimbangkan.

Postulat ketiga, yaitu indispensability yang menyatakan bahwa dalam

setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, objek materil, dan kepercayaan

memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus

dijalankan dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam

kegiatan sistem sebagai keseluruhan. Menurut Merton, postulat yang ketiga ini

masih kabur (dalam arti tak memiliki kejelasan), belum jelas apakah suatu fungsi

merupakan keharusan.

Selanjutnya Merton (dalam Turner dan Alexandra, 2010:116) memberikan

garis-garis besar tentang analisis fungsionalnya. Langkah pertama, dalam

analisisnya digambarkan fenomena yang menarik bagi peneliti karena hanya

melalui penggambaran, sifat-sifat hakiki konteks tempat bekerjanya struktur

tertentu dapat diekspos. Prosedur kedua, yang penting ialah menguraikan

“makna” suatu situasi bagi para aktor yang terlibat dalam proses dan struktur yang

menarik peneliti. Upaya memahami signifikansi peristiwa bagi para aktor sering-

sering bisa memberikan isyarat tentang alasan di balik atau “fungsi nyata”

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

35

peristiwa-peristiwa tertentu. Dengan demikian, peneliti harus menyesuaikan diri

dengan tidak hanya dengan fungsi yang “tampak”, tetapi juga fungsi “yang

tersembunyi” dari peristiwa. Perhatian awal ini memungkinkan bisa dilakukan

penilaian yang lebih memadai terhadap fungsi yang dilayani oleh bagian-bagian

sistem tertentu. Penekanannya adalah pada penggambaran bagian, konteks sosial

tempatnya bagian itu, dan kondisi psikologi aktor.

Analisis akan waspada terhadap rujukan sistem yang berbeda individu,

struktur lain, dan keutuhan sistemik di mana suatu bagian tertentu bisa memiliki

fungsi. Perhatian terhadap fungsi yang “tampak” dan “tersembunyi” membuat

peneliti terbiasa dengan fakta bahwa konsekuensi fungsional itu bisa diinginkan

dan tidak diinginkan, dapat dikenali atau tidak dikenali.

Teori struktural fungsional di atas digunakan dalam mendeskripsikan

bentuk dan fungsi apa saja yang terkadung dalam ritual monsehe dan tidak sebagai

alat analisis.

2.3.2 Teori Semiotik

Teori semiotik digunakan untuk menjelaskan praktik pemaknaan tanda,

tata nilai yang terkandung dalam ritual monsehe yang hidup pada etnik

Culambacu. Sehubungan dengan hal tersebut, Hoed (2008:41) berpendapat bahwa

semiotik adalah studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja dalam

kehidupan manusia. Hal senada juga dikatakan Danesi (2010:8) bahwa makna

dalam semiotik adalah makna yang berada pada akar-akar budaya.

Selanjutnya, semiotik adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji tanda-tanda

dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

36

dilihat sebagai tanda, yaitu sesuatu yang harus diberikan makna. Para strukturalis

merujuk pada Ferdinand de Saussure (dalam Hoed, 2008:3) melihat tanda sebagai

pertemuan antara bentuk yang tercitra dan makna atau isi, yang dipahami oleh

manusia yang memakai tanda tersebut. De Saussure menggunakan istilah

sinificant (penanda) untuk bentuk suatu tanda dan signifie (petanda) untuk segi

maknanya.

Piliang (2003:15) mengatakan seperti di bawah ini.

“Semiotik merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkajitanda. Tanda-tanda atau perangkat-perangkat yang kita pakai dalam upayamencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-samamanusia. Semiotik atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnyahendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanities) memaknai hal-hal (things). Semiotik juga sebuah teori yang mengkaji dan menjelaskantentang tanda-tanda yang dimiliki oleh suatu benda”.

Menurut Piliang, semiotika bukan saja sebagai metode kajian, melainkan

juga sebagai metode penciptaan. Sebagai sebuah disiplin keilmuan, yaitu ilmu

tentang tanda, tentu semiotika mempunyai prinsip-prinsip, sistem, aturan, dan

prosedur-prosedur keilmuan yang khusus dan baku. Namun, semiotika bukanlah

ilmu yang mempunyai sifat kepastian, ketunggalan, dan objektivitas seperti ilmu

alam. Semiotika adalah ranah keilmuan yang jauh lebih dinamis, lentur, dan

terbuka sebagai pelbagai pembacaan dan interpretasi. Sehubungan dengan hal itu,

semiotik tidak dibangun oleh kebenaran tunggal, tetapi dibentuk oleh makna yang

jamak. Dalam logika semiotik, interpretasi tidak diukur berdasarkan salah atau

benarnya, tetapi berdasarkan derajat kelogisannya, interpretasi yang lebih masuk

akal daripada yang lain.

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

37

Dalam kajian semiotik, data yang dijadikan objek analisis pada umumnya

adalah teks. Teks dalam teori kebudayaan didefinisikan tidak terbatas pada

tulisan, tetapi termasuk pula pola perilaku dan tindakan nonverbal dan teks yang

mengungkapkan pesan-pesan budaya. Teks secara umum diklasifikasikan menjadi

teks kongnitif dan teks sosial, baik verbal maupun nonverbal (Hoed, 2008:41).

Pemahaman terhadap hal ini sangat penting karena akan banyak bersinggungan

dengan teks tradisi lokal ritual monsehe pada etnik Culambacu.

Teori semiotik merupakan evolusi teori struktur yang dikembangkan oleh

ilmuwan Amerika Serikat (Carles Sanders Pierce, 1940). Teori ini cukup

membantu menjelaskan berbagai hal mengenai gejala budaya yang melibatkan

proses penafsiran. Pierce mengajukan tiga jenis tanda, yaitu ikon, indeks, dan

simbol. Ikon adalah hubungan antara petanda dan penanda yang bersifat alamiah,

indeks adalah hubungan kausalitas atau bersifat langsung, dan simbol dimaknai

sebagai hubungan arbitrer (manasuka) berdasarkan konvensi yang disepakati para

pemakai bahasa bersangkutan.

Tanda-tanda adalah basis dari keseluruhan komunikasi. Manusia dengan

perantara tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya.

Sehubungan dengan hal tersebut, Lechte (dalam Sobur, 2009:17) mengatakan

sebagai berikut.

“Semiotik adalah teori tentang tanda atau penandaan. Lebih jelas lagi,semiotik adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasiyang terjadi dengan sarana sign “tanda-tanda” dan berdasarkan sign system(code) sistem tanda. Pendekatan semiotik didasarkan pada asumsi bahwatindakan manusia atau hal yang dihasilkan menunjukkan makna asalkantindakan tersebut berfungsi sebagai tanda, tentu ada sistem konvensi danpembedaan yang mendasarinya dan memungkinkan adanya maknatersebut”.

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

38

Menurut Hoed (2008), ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam

semiotik, yaitu jenis tanda (ikon, lambang, simbol), jenis sistem tanda (bahasa,

musik, gerak tubuh), jenis teks, dan jenis konteks atau situasi yang memengaruhi

makna tanda (kondisi psikologis, sosial, historis, dan kultural). Berdasarkan

pemahaman di atas, diketahui bahwa semiotik memberikan kemungkinan kepada

kita untuk berpikir kritis dan memahami adanya kemungkinan makna lain atau

penafsiran atas segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan sosial budaya,

termaksud etnik Culambacu. Teori semiotik digunakan dalam penelitian ini

sebagai alat analisis dalam mendeskripsikan makna yang ada di balik ritual

monsehe.

Dalam konteks semiotika, Geertz (1993:76) menawarkan cara penafsiran

kebudayaan dengan cara memaparkan konfigurasi atau sistem simbol-simbol

bermakna secara mendalam dan menyeluruh. Geertz berkesimpulan bahwa

simbol-simbol yang tersedia di kehidupan umum sebuah masyarakat yang

sesungguhnya menunjukkan bagaimana para warga masyarakat yang

bersangkutan melihat, merasakan, dan berpikir tentang dunia mereka dan

bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Bagi Geertz, kebudayaan adalah

semiotik; hal-hal yang berhubungan dengan simbol yang tersedia di depan umum

dan dikenal oleh warga masyarakat yang bersangkutan.

Simbol adalah sesuatu yang perlu ditangkap maknanya dan pada giliran

berikutnya dibagikan oleh dan kepada warga masyarakat dan diwariskan kepada

anak cucu (Sukanto, 1993:vi--vii). Ada tiga sifat simbol yang ditunjukkan oleh

Victor Turner (dalam Irwan Abdullah, 2002:77-80). Sifat pertama, simbol

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

39

dominan merupakan penyingkatan atau kondensasi dari banyak arti. Sifat kedua,

unifikasi dari arti-arti yang berbeda. Arti-arti yang berbeda sering dihubungkan

atau disatukan dengan asosiasi dalam kenyataan atau gagasan. Sifat ketiga adalah

polarisasi arti. Simbol-simbol ternyata memiliki arti yang berlawanan. Jadi, tidak

hanya memiliki arti-arti yang berbeda.

Ketiga jenis simbol tersebut digunakan sebagai kerangka untuk

menjelaskan sifat simbol yang digunakan oleh etnik Culambacu dalam ritual

monsehe. Simbol-simbol yang digunakan dalam ritual itu mengandung banyak

makna, baik penyingkatan makna, arti-arti makna yang berbeda, maupun simbol-

simbol tersebut dengan bagian-bagian dalam tubuh manusia, perangkat sesajen

sebab menurut etnik Culambacu, bagian tubuh manusia, perangkat sesajen dapat

mewakili apa-apa yang akan diritualkan dalam upacara monsehe.

Turner (1982:19) menegaskan pembedaan simbol dari tanda seperti di

bawah ini.

“Pertama, simbol lebih merangsang perasaan seseorang, sedangkan tandatidak. Kedua, simbol berpartisipasi dalam arti dan kekuatan yangdisimbolkan, sedangkan tanda tidak berpartisipasi dalam realitas yangditandakan. Ketiga, simboil cenderung multivokal atau polisemi artinyamerujuk pada banyak arti, sedangkan tanda cenderung univokal”.

Pada ritual monsehe yang merupakan salah satu wujud kearifan lokal dan

budaya enik Culambacu yang ada, tidak luput dari simbol-simbol. Etnik

Culambacu menggunakan simbol-simbol tersebut sebagai bagian dari sarana

untuk menghubungkan antara manusia dan alam serta makhluk gaib yang ada di

bumi. Simbol-simbol tersebut memiliki makna filosopis. Oleh karena, itu penting

bagi penulis untuk menginterpretasikan/menerjemahkan agar generasi muda

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

40

sebagai pewaris sekaligus pelanjut kearifan budaya lokal tersebut, dapat

memahaminya dan mempakktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Teori

semiotika ini sangat penting digunakan dalam tulisan ini karena di samping

sebagai sebuah teori juga bisa membantu penulis mengkaji dan menganalisis

berbagai data yang didapatkan dalam lapangan penelitian yang sesuai dengan

rumusan masalah yang ada.

2.3.3 Teori Hegemoni

Penggunaan teori hegemoni dalam penelitian ini bermaksud menemukan

kepentingan tersembunyi yang selama ini menjadi alat dominasi kelompok

mayoritas terhadap kelompok minoritas pada etnik Culambacu. Teori hegemoni

bagi Gramsci adalah situasi, yaitu suatu ‘blok historis” faksi kelas berkuasa

menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui

kombinasi antara kekuatan dan terlebih lagi dengan konsensus. Jadi, praktik

normal hegemoni di arena klasik dengan kombinasi kekuasaan dan konsensus,

yang secara timbal balik saling mengisi tanpa adanya kekuatan yang secara

berlebihan memaksakan konsensus. Sesungguhnya, usaha dalam memastikan

bahwa kekuatan tersebut akan tampak hadir berdasarkan konsensus mayoritas

yang diekspresikan oleh apa yang disebut dengan organ opini publik-koran dan

asosiasi.

Analisis Gramscian mengemukakan bahwa ideologi dipahami sebagai ide,

makna dan praktik yang kendatipun diklaim sebagai kebenaran universal,

merupakan peta makna yang mendukung kelompok kekuasaan tertentu. Di atas itu

semua adalah fenomena material yang berakar pada kondisi sehari-hari. Ideologi

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

41

menyediakan aturan perilaku praktis dan tuntunan moral yang sepadan dengan

agama yang secara sekuler dipahami sebagai kekuatan keyakinan antara konsepsi

dunia dan norma tindakan terkait (Gramsci, 1971:349).

Hal itu senada dengan apa yang dikemukakan Larrain (1996:7) berikut ini.

“Ideologi memiliki ciri dan konotasi positif yang justru ditujukan untukmenghindarkan prasangka agama dan metafisika. Sebagai pandangandunia, ideologi merupakan institusionalisasi sistem pengetahuan bersamayang melaluinya masing-masing individu dapat mengidentifikasi daridalam kelompok yang bersangkutan. Ideologi adalah keterikatan sejumlahasumsi yang memungkinkan penggunaan tanda. Ada keterikatan yangsangat kuat antara ideologi dan kebudayaan, bahkan ideologi adalahbagian dari kebudayaan”.

Pemahaman tersebut diperkuat oleh pendapat Van Zoes (1993:53) yang

menyatakan seperti berikut.

“Setiap ideologi terkait pada budaya. Siapa pun yang mempelajari suatubudaya, maka ia harus berhubungan dengan ideologi, dan siapa pun yangmempelajari ideologi, maka ia harus mempelajari budayanya. Mencari titiktolak ideologi dalam ungkapan budaya merupakan pekerjaan penting.Ideologi mengarahkan budaya. Ideologilah yang menentukan visi ataupandangan suatu kelompok budaya terhadap kenyataan. Dengan mengenaliideologinya, kita akan memahami suatu kelompok budaya secara lebihbaik”.

Representasi sistem pendidikan formal sebagai meritokrasi yang

menawarkan kepada semua orang kesempatan yang setara dan adil dalam suatu

masyarakat dan representasi bagi warga kulit berwarna yang ‘secara alamiah’

inferior dan kurang mampu bila dibandingkan dengan orang kulit putih.

Keduanya dapat dikatakan bersifat ideologis. Suatu blok hegemoni tidak pernah

berdiri dari kategori sosial ekonomi tunggal, tetapi dibentuk melalui serangkaian

aliansi, di mana suatu kelompok aliansi berposisi sebagai pemimpin. Ideologi

memainkan peran krusial dalam membiarkan aliansi kelompok ini (awalnya

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

42

dikonsepsikan dalam terminologi kelas) menanggalkan kepentingan sempit usaha

ekonomi dan mengutamakan kepentingan nasionalis populer.

Teori di atas dimaksudkan untuk membantu peneliti dalam mengkaji dan

menganalisis masalah ritual monsehe yang penganutnya semakin sedikit

melaksanakannya. Hal ini disebabkan oleh adanya hegemoni kelompok mayoritas.

Asumsi ini hadir karena terlihat adanya indikasi di lapangan, yaitu masyarakat

penganut ritual monsehe terkooptasi dengan narasi besar atau ideologi Islam yang

dianut masyarakat setempat. Kooptasi ini terlihat seakan-akan tidak disadari oleh

kelompok penganut tradisi lokal. Berdasarkan kooptasi inilah ditemukan ideologi

ritual monsehe mulai tercabut dari pemikiran atau logika universal dan

meninggalkan tradisi lokalnya.

Adanya pengaruh agama besar di atas memberikan dampak terhadap ritual

monsehe. Pengaruh dimaksud adalah lahirnya kecenderungan yang memandang

buruk praktik tradisi lokal yang tidak sejalan dengan prinsip Islam. Oleh sebab itu,

teori hegemoni di atas dalam hubungannya dengan ritual monsehe menjadi

menarik dijadikan sebagai alat analisis pada bab tujuh.

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

43

2.4 Model Penelitian

Keterangan Tanda: : Pengaruh Sepihak: Pengaruh timbal balik

---------- : Pengaruh tidak langsung secara sepihak

Penjelasan Bagan

Bagan penelitian di atas menjelaskan bahwa globalisasi memberikan

pengaruh yang begitu besar terhadap etnik Culambacu melalui budaya global dan

budaya lokal yang pada akhirnya memengaruhi budaya etnik Culambacu. Salah

satu tradisi yang dimiliki etnik Culambacu adalah ritual monsehe. Ritual monsehe

merupakan sebuah pengetahuan lokal etnik Culambacu yang ditransformasikan ke

dalam berbagai aktivitas kehidupannya. Tradisi ritual monsehe di atas

GLOBALISASI

Tradisi Global:Agama, Ekonomi,

Budaya,Pendidikan

Ritual monsehePada EtnikCulambacu

Tradisi Lokal:Budaya, Adat

Istiadat, Ritual

Bentuk Ritualmonsehe

Makna Ritualmonsehe

IdeologiRitual

monsehe

SARANPelestarian

Temuan

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

44

mengandung berbagai nilai dan norma serta berfungsi sebagai media pembentuk

identitas masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai ritual monsehe di atas diwariskan

leluhur mereka secara turun-temurun hingga saat ini.

Perkembangan ilmu pengetahuan, hadirnya ideologi Islam, teknologi

informasi, serta pengaruh media dan pendidikan telah membawa sebuah

peradaban baru. Peradaban baru mendorong manusia dewasa ini mengarah pada

kebebasan berpikir yang mendunia. Globalisasi yang penuh warna dan

menghendaki homogenitas budaya memberikan pengaruh yang cukup besar dalam

transformasi budaya yang menghendaki manusia untuk mengubah diri dan

budayanya. Fenomena tersebut melahirkan pergolakan budaya yang begitu kuat

karena globalisasi hadir menawarkan nilai-nilai baru bagi masyarakat dan pada

akhirnya menghegemoni seluruh lini kehidupan masyarakat lokal.

Pergolakan nilai antara budaya lokal dan globalisasi di atas, tidak hanya

memberikan dampak positif bagi masyarakat lokal, tetapi juga memberikan

banyak pengaruh negatif bagi masyarakat adat. Dampak negatif dimaksud adalah

melemahnya semangat sebagian masyarakat adat, khususnya etnik Culambacu

yang selama ini telah mempertahankan nilai-nilai tradisi leluhurnya.

Globalisasi yang membawa nilai baru juga membawa berbagai perngaruh

dan dialektika di antara keduanya yang sulit dihindari. Sehingga, berbagai

indikasi akan muncul di seputar dialektika antara budaya global dan budaya lokal.

Dengan demikian, studi tentang ritual monsehe penting dikaji dengan fokus

masalah (1) bagaimana bentuk ritual monsehe, (2) ideologi apa yang terdapat di

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN II.pdfItu berarti bahwa objek masalah dan lokasi penelitian berbeda cukup jauh. Oleh karena itu, banyak perbedaan akan memperkaya khazanah

45

balik ritual monsehe, dan (3) makna apa yang terkandung dalam ritual monsehe

pada etnik Culambacu di Kabupaten Konawe Utara.