BAB II KAJIAN PUSTAKA Konsep Pendidikan Pesantreneprints.umm.ac.id/59151/3/BAB II.pdf · imbuhan...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA Konsep Pendidikan Pesantreneprints.umm.ac.id/59151/3/BAB II.pdf · imbuhan...
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Pendidikan Pesantren
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Berdasarkan susunan katanya, pendidikan agama Islam terdiri dari
dua kata, yaitu pendidikan dan agama. Kata pendidikan berasal dari
kata didik yang berarti pelihara dan latih, yang kemudian mendapat
imbuhan awalan pe- dan akhiran an sehingga menjadi kata kerja
pendidikan, yang berarti proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pendajaran dan pelatihan. (M. Haitami Salim, 2013:25).
Redja Mudyahardjo berpendapat bahwa pendidikan adalah usaha
secara sadar manusia dalam segala pengalaman belajar yang
berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang pengalaman
hidup manusia. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai segala situasi
hidup yang mampu mempengaruhi pertumbuhan setiap individu
(Redja Mudyahardjo, 2010:3).
Menurut Chandra, pendidikan berasal dari kata dasar “didik” yang
memiliki arti memilihara dan memberi latihan. Sehingga untuk
merealisasikan pendidikan terhadap manusia diperlukan dengan
adanya proses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau
sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui usaha
pengajaran dan pelatihan, sehingga dengan adanya pendidikan
14
manusia mampu menjadi individu yang mampu membentuk
kepribadian yang baik, serta memiliki kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, berketerampilan dan
berkepribadian. (Yuli Setio Rini, 2013:3).
Arti pendidikan dapat disimpulkan bahwa segala upaya manusia
dalam meningkatkan kualitas diri yang memiliki tujuan mampu
menjadi pribadi yang matang dan berwibawa secara lahir dan batin
sehingga timbul dengan sendirinya rasa ketakwaan, berakal sehat,
berilmu, berakhlak mulia, kreatif, mandiri serta mampu berusaha
meraih kebahagiaan hidup dunia dan akhirat .
Adapun secara etimologi kata agama berasal dari bahasa
Sansekerta yang berasal dari kata gum, yang mendapat awalan a dan
akhiran a (a-gam-a) menjadi agama, atau mendapat awalan I dan
akhiran a (i-gam-a) menjadi igama, atau mendapat awalan U dan
akhiran a (u-gam-a) menjadi ugana. Sehigga kata agama dipakai dalam
bahasa Indonesia, sdangkan kata igama dipakai oleh orang Jawa, dan
kata Ugama dipakai oleh orang Melayu. Ketiga kata tersebut (Agama,
Igama dan Ugama) memiliki makna yang sama yaitu peraturan, tata
cara, upacara hubungan antara manusia dengan raja atau upacara yang
berhubungan antara manusia dan tuhan serta upacara antara hubungan
antara sesama manusia. (M. Haitami Salim, 2013:29).
15
Adapun jika diperhatikan dari pengertian agama dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata agama adalah kata benda yang
berarti ajaran, sistem yang mengatur keimanan (kepercayaan) kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan antara
manusia dan manusia dan tata kaidah antara manusia dan lingkungan
hidup disekitarnya. Adapun yang dimaksud dalam konteks agama disini
adalah agama Islam (din al-Islam). (M. Haitami Salim, 2013:29).
Berdasarkan pengertian dua kata diatas (Pendidikan dan Agama)
maka pendidikan agama Islam dapat diartikan sebagai usaha sadar
manusia yang dilakukan secara terencana dan sistematik untuk
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran, latihan
keterampilan, keteladanan, dan kepribadian yang sesuai dengan ajaran
agama Islam. Sehingga tumbuh rasa intuisi keagamaan pada diri
seseorang kemudian ia melaksanakan berbagai ajaran-ajaran Islam serta
menjauhi segala larangan-larang yang sudah ditentukan dengan penuh
ketundukan. (M. Haitami Salim, 2013:29).
2 Pengertian Pondok Pesantren
Secara etimologis, kata pondok pesantren merupakan gabungan
dari kata pondok dan pesantren. Pondok berasal dari bahasa Arab
funduk yang berarti hotel, yang dalam artian bahasa Indonesia lebih
disamakan dengan lingkungan padepokan yang dipetak-petak dalam
bentuk kamar sebagai asrama bagi para peserta didik (santri).
16
Sedangkan pesatren merupakan gabungan dari kata pe-santri-an yang
berarti tempat para santri (Ridlwan Nasir, 2005:80).
Pesantren juga dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan dan
pengajaran agama Islam, umumnya dengan cara klasikal, di mana
seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada para peserta didik
(santri) berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh
Ulama abad pertengahan dan para peserta didiknya (santri) biasanya
tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut (Sudjono
Prasodjo, 1982:6).
Secara spesifik, beberapa pondok pesantren merumuskan beragam
tujuan pendidikannya ke dalam tiga kelompok; yaitu pembentukan
akhlak/kepribadian, penguatan kompetensi peserta didik (santri), dan
penyebaran ilmu (M. Dian Nafi’, dkk, 2007:50). Menurut Mastuhu,
sebagaimana dikutip oleh Hasbullah dalam bukunya “Kapita Selekta
Pendidikan Islam” yaitu, pesantren merupakan lembaga pendidikan
tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam
sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari (Hasbullah,
1996:39). Sedangkan menurut M. Arifin, pondok pesantren adalah
“suatu lembaga pendidikan Islam yang tumbuh serta diakui oleh
masyarakat sekitar, dengan sistem asrama atau kampus, di mana para
peserta didik (santri) menerima pendidikan agama melalui sistem
pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan
17
dari seorang atau beberapa kyai dengan ciri khas yang bersifat
kharismatik, serta independent dalam segala hal. (Mujamil Qomar,
2009:2). Namun selain sebagai tempat pendidikan keagamaan
pesantren juga sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan
berbagai macam ilmu-ilmu umum seperti ilmu bahasa asing, ilmu
keterampilan, dan sebagainya, sebagaimana yang telah dilaksanakan
dalam pendidikan pesantren modern yang sudah menerapkan sistem
dan metode yang menggabungkan antara sistem pendidikan non
klasikal (tradisional) dan sistem klasikal (sekolah).
Berdasarkan bebrapa pendapat diatas Pesantren merupakan
lembaga pendidikan tradisional yang para peserta didiknya (santri)
tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih
dikenal dengan sebutan kyai dan mempunyai asrama untuk tempat
menginap peserta didik (santri). Peserta didik (santri) tersebut berada
atau tinggal dalam komplek yang juga tersedia masjid sebagai tempat
untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan
lainnya. Komplek ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk dapat
mengawasi keluar masuknya para peserta didik (santri) yang sesuai
dengan peraturan-peraturan pondok pesantren yang disepakati serta
yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku ditengah-tengah
masyarakat sekitar.
18
3. Unsur-unsur pendidikan pesantren
Unsur-unsur yang ada dalam penididikan pesantren diantaranya
adalah: (a) pelaku: kyai, ustadz, santri, dan pengurus. (b) sarana
perangkat keras: masjid, rumah kyai, asrama santri, gedung-gedung
keperluan pendidikan seperti kantor pengurus guru, kantor pengurus
santri, perpustakaan, aula, dll. (3) sarana perangkat lunak yaitu tujuan
pendiidkan pesantren, kurikulum, sumber belajar atau buku-buku
rujukan dalam pendidikan, cara belajar-mengajar seperti Bandongan,
Sorogan, Halaqah dan Menghafaldan evaluasi pendidikan (Amir
Fadhilah, 2011: 109).
Berbagai unsur-unsur pendidikan pesantren diatas kyai adalah
tokoh utama dalam penentuan segala corak kehidupan yang ada di
pendidikan pesantren. Setiap warga pesantren tentu tiadak akan
melaksanakan segala yang dilarang oleh kyai, akan tetapi setiap warga
pesantren selalu berusaha melakukan segala kegiatan yang mendapat
restu atau ridho kyai.
4. Prinsip-Prinsip Pendidikan Pesantren
Sesuai dengan tujuan pendidikan pesantren yaitu seagai lembaga
pendidikan Islam yang memandang bahawa segala kegiatan belajar
mengajar merupakan ketersatupaduan yang melebur dalam segala
kegiatan yang totatlitas pada kehidupan seharai-hari, prinsip-prinsip
pendidikan pesantren diantaranya adalah:
19
a. Theocentric
Penerapan pendidikan pesantren pada umumnya memiliki dasar
filsafat pendidikannya yaitu filsafat theocentric, yaitu pandangan
yang menyatakan bahwa segala kejadian berasalkan dari
berproses, dan kembali pada kebenaran mutlak tuhan
(Mochammad Muclis Solichin , 2012: 63)
Dari uraian diatas bahwa sistem pendidikan pesantren sejatinya,
segala aktivitas pendidikan yang ada di pesantren memiliki proses
dan dipandang sebagai ibadah kepada tuhan. Hal ini dapat
diartikan bahwa segala aktivitas belajar mengajar di pesantren
memiliki tujuan yaitu sebagai alat untuk beribadah sehingga
dalam proses belajar mengajar tanpa adanya hitungan waktu, serta
dalam prosesnya cenderung melakukan segala perilaku yang baik
dan bersifat sakral.
b. Sukarela dan mengabdi
Seperti disebutkan diatas, bahwa segala proses pendidikan
pesantren adalah ibadah kepada tuhan. Sehubungan dengan ini
maka setiap penyelengaraan pendidikan pesantren harus
dilaksanakan dengan sukarela, hal ini merupakan salah satu
wujud dari pengabdian diri kepada tuhan yang maha kuasa
(Mastuhu, 1994:62).
20
c. Kearifan
Pendidikan pesantren pada umumnya menekankan rasa kearifan
pada peserta didiknya (santri), yang dimaksud kearifan dalam
pendidikan pesantren adalah memiliki sifat yang rendah hati,
sabar, mampu mencapai tujuan tanpa merugikan orang laian,
patuh pada segala ajaran dan hukum agama, serta mampu menjadi
individu yang bermanfaat bagi sesamanya (Mastuhu, 1994:62).
d. Kesederhanaan
Penampilan kesederhanaan sebagai salah satu nilai luhur dalam
pendidikan pesantren dan menjadi salah satu pedoman hidup
setiap warga pesantren, sederhana disini bukan berarti identik
dengan kemiskinan akan tetapi identik dengan kemampuan
peserta dididk (santri) untuk menjadi insan yang mampu berpikir
wajar, proposional, dan tidak memiliki sifat tinggi hati (Mastuhu,
1994:63).
e. Kolektivitas
Pendidikan pesantren memiliki ciri kehidupan yang kolektivitas
atau memiliki rasa kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari.
Kehidupan pesantren memiliki ciri khas yaitu lebih menekankan
dan menjunjung tinggi kolektivitas dan menekan rasa
individualisme, hal ini bertujuan untuk melatih peserta didik
(santri) untuk memiliki jiwa yang besar, seperti mampu
mendahulukan kepentingan orang lain atau kepentingan bersama
21
daripada kepentigan diri sendiri, serta memiliki rasa saling
bekerja sama dan tolong menolong dalam kebaikan (Mastuhu,
1994:63).
f. Mengatur kegiatan bersama
Pelaksanaan pendidikan pesantren memiliki dua kelompok nilai
kegiatan, nilai kegiatan yang pertama adalah segala kegiatan yang
dilakukan oleh kyai dan para ustadz seperti, kegiatan mengajar,
merancang kurikulum, dan kegiatan formal lainya. Nilai kegiatan
kedua adalah segala kegiatan pendidikan pesantren yang
dilakukan oleh peserta didik (santri) dibawah bimbingan para
ustadz dan kyai seperti, kegiatan pembentukan organisasi santri,
ekstrakulikuler, keamanan, perpustakaan, pengembangan diri dan
sebagainya (Mastuhu, 1994:63).
g. Kebebasan terpimpin
Seiring dengan prinsip diatas pendidikan pesantren juga memilki
prinsip kebebasan terpimpin yaitu bebeas dalam menjalankan
segala kebijaksanaan kependidikannya. Prinsip tersebut bertolak
pada ajaran bahwa semua makhluk tidak dapat keluar dari
sunnatullah, yaitu setiap mahluk diciptakan atau dilahirkan
berdasarkan fitrahnya masing-masing yang sesuai dengan
kecenderungan dan kebutuhan masing-masing individu, sehingga
pendidikan pesantren lebih membebaskan peserta didik (santri)
dalam proses belajarnya, namun peserta didik (santri) juga tidak
22
terlepas akan kewajibanya yang sudah terikat kepadanya
(Mastuhu, 1994: 64).
Sehubungan dengan prinsip diatas bahwa dalam proses
pendidikan pesantren, setiap peserta didik (santri) memiliki
kebebasan dalam belajarnya namun sikap lembaga pendidikan
pesantren dalam melaksanakan pendidikannya tetap pada
pendiriannya yaitu, membantu dan menggiring anak didik (santri)
dalam kebebasannya namun tetap berpegang pada tat tertib
pesantren dan hukum dan ketentuan-ketentuan yang sudah
ditentukan oleh agama.
h. Mandiri
Sikap mandiri merupakan prinsip yang dilatih pertama kali dalam
pendidikan pesantren, karena setiap peserta didik (santri) dalam
menjalankan pendidikan di lingkungan pesantren ia dituntut
mampu mengatur uang belanja, mampu memasak, mencuci
pakaian, merencanakan belajar, dan lain sebagainya (Mastuhu,
1994:64).
i. Pesantren merupakan tempat mencari ilmu dan mengabdi
Pesantren merupakan salah satu tempat pijakan santri untuk
menuntut ilmu dan tempat mengabdi, menururt Mastuhu
(1994:65) pengertian ilmu menurut pandangan pendidikan
pesantren ilmu yang ada di pesantren memiliki perbedaan arti
dengan ilmu dalam arti science. Ilmu pesantren dipandang suci
23
dan bagian yang tidak terpisahkan dengan ajaran-ajaran agama.
Model pemikiran pesantren, ilmu merupakan sesuatu yang berasal
dari keyakinan dan berakhir pada kepastian. Sehingga masyarakat
pesantren memandang bahwa ilmu merupakan segala kejadian
yang berawal, bertemu dan berakhir pada kebenaran tuhan secara
mutlak, sehingga para peserta didik (santri) berpandangan bahwa
apa-apa yang telah diajarkan kyai merupakan kebenaran mutlak
yang tidak perlu diperdebatkan tetapi perlu diamalkan.
j. Mengamalkan ajaran agama
Prinsip pendidikan pesantren selain sebagai ranah pendidikan atau
sebagai tempat untuk menuntut ilmu, pesantren juga sebagai
lembaga pendidikan yang fokus pada ranah dakwah, sebagaimana
pandangan Harya Toni (2016:106) bahwa dakwah dapat
dilaksanakan dengan baik jika hal tersebut dilakukan secara
terorganisir melalui lembaga dakwah atau organisasi dakwah.
Pesantren dapat dijadikan sebagai lembaga dakwah organisasi
dakwah. dengan adanya lembaga pendidikan pesantren maka
dakwah dapat terealisasi dengan baik melalui pendidikan
pesantren dan kurikulum yang digunakan di pesantren.
k. Tanpa ijazah
Seiring dengan prinsip-prinsip sebelumnya, prinsip lain dari
pesantren adalah bahwa pesantren tidak memberikan ijazah
sebagai tanda keberhasilan belajar peserta didik (santri).
24
Keberhasilan peserta didik (santri) ditandai dengan segala
perbuatan atau prestasi yang telah dilakukan oleh peserta didik
(santri) yang diakui oleh khalayak dan mendapatkan restu dari
kyai, sehingga pendidikan pesantren tidak memrlukan ijazah yang
sebagai tanda keberhasilan peserta didik (santri) yang dinilai
dengan angka-angka sebagaimana sekolah umum (Mastuhu,
1994: 65).
l. Restu kyai
Konteks kehidupan pesantren kyai merupakan figur elit pesntren
atau segala otoritas tertinggi dalam menyimpan maupun
menyebarkan ilmu agama ada pada kehendak kyai sehingga
kharisma kyai merupakan salah satu fenomena yang ada di
pendidikan pesantren sehingga semua kegiatan yang dilakukan
oleh masyarakat pesantren mengacu pada restu kyai (Amir
Fadhilah, 2011: 104).
B. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Pesantren
Khozin (2016: 71) berpendapat dalam kegiatan belajar mengajar
pada pendidikan pesantren dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kegiatan
pendidikan dan pengajaran yang diselengarakan oleh kyai kepada santri
dan kegiatan belajar serta pelayanan terhadap masyarakat. Kegiatan belajar
mengajar yang terjadi antara kyai dan santri berlangsung sebagaimana
mestinya, kyai menyediakan sarana dan prasarana serta menciptakan
situasi pembelajaran pendidikan Islam yang memiliki tujuan menjadikan
25
santri sebagai pribadi Muslim yang baik. Sedangkan dalam pelayanan
terhadap masayarakat lembaga pendidikan pesantren memberikan berbagai
macam bentuk kegiatan seperti pengajian keislaman atau majelis
tablighhingga memberikan skill pengembangan yang lainnya.
Menurut Tholkah Hasan sebagaimana dikutip oleh Imam Syafi’ie
fungsi dari pendidikan pesantren tidak berhenti dan fokus pada aktifitas
transfer ilmu (transfer of knowledge) saja, pesantren memiliki fungsi dan
tujuan dalam pendidikannya yang diantaranya adalah, Pesantren sebagai
lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (taffaquh
fi ad-dien) dan nilai-nilai Islam (Islamic Value);Pesantren sebagai
lembaga pendidikan keagamaan yang mampu melakuakan kontrol sosial;
Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang mampu
melakukan rekayasa sosial (social engineering) dan perkembangan
masyarakat (community devlopment). Hal itu merupakan tujuan
pendidikan pesantren untuk membangun generasi penerus yang lebih
baik (agent of change)(Imam Syafi’ie, 2017:94).
Pesantren memiliki fungsi sebagai lembaga pendidikan syia’ar
Islam dan sebagai lembaga sosial. Tujuan pendidikan Pesantren secara
umum dapat dibagi menjadi dua tujuan yang dapat diasumsikan
sebagai berikut:
1) Tujuan umum, yaitu untuk membimbing peserta didik (santri)
untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islami yang sanggup
mensyiarkan Islam melalui ilmu dan amalnya.
26
2) Tujuan khusus, yaitu mempersiapkan para peserta didik (santri)
untuk menjadi manusia yang alim dalam ilmu agama yang telah
diajarkan oleh kyai sehingga ia mampu mengamalkan segala
ilmunya untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi agama dan
umat.
C. Tipologi Pendidikan Pesantren
Menurut Zamaksyari Dhofier ada beberapa pendekatan dalam
pengelompokan pola pendidikan pesantren,. Secara garis besar
pengelompokan tersebut dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu,
pesantren salafi yang konsisten mempertahankan pola pendidikannya yang
menggunakan kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan pesantren,
adapun pesantren khalafiyang telah memasukkan pelajaran-pelajaran
umum dalam pendidikan pesantren yang dikembangkan dalam madrasah
atau sekolah umum yang didirikan dalam lingkungan pesantren.
(Zamaksyari Dhofier, 1994:41)
Adapun menurut Haidar Putra Daulay (2004: 27-30) macam-
macam tipologi pendidikan pesantren yang ada pada saat ini yang
diantaranya adalah sebagai sebagai berikut:
a. Pesantren yang masih terikat kuat dengan sistem pendidikan
Islam, sebelum zaman pembaharuan pendidikan Islam di
Indonesia. Adapun pendidikan pesantren tersebut memiliki
ciri-ciri dengan adanya pembelajaran dan pengkajian kitab-
kitab kuning atau kitab-kitab klasik, memakai metode sorogan,
27
wetonan, dan hafalan dalam proses belajar mengajarnya, tidak
menggunakan sistem klasikal.
Adapun pengetahuan peserta didik (santri) dalam proses
pendidikan di pondok pesantren tersebut diukur dari berapa
jumlah kitab yang sudah dipelajari serta kepada siapa ia belajar
kitab-kitab tersebut. Tujuan dari pendidikan pesantren tersebut
adalah untuk meninggikan moral peserta didik (santri), melatih
dan memberi semangat dalam belajar ilmu agama Islam dan
nilai-nilai spiritual bagipeserta didik (santri), serta menjadikan
peserta didik (santri) agar menjadi insan yang bersih hatinya.
b. Pesantren yang menggunakan kitab-kitab klasik dengan
menggunakan sistem klasikal maupun non klasikal, serta
mengajarkan berbagai macam ekstrakulikuler seperti praktik
keorganisasian.
c. Pesantren yang menggunakan pola pendidikan pesantren yang
didalamnya mengajarkan segala ilmu agama dan ilmu-ilmu
umum, ilmu keterampilan, kesenian, kejasamanian dan lain
sebagainya.
d. Pola pesantren yang mengajarkan ilmu agama, akan tetapi
pesantren tersebut juga mengutamakan pengajaran ilmu-ilmu
keterampilan seperti, keterampilan berbahasa asing,
perbengkelan, pertanian dan lain sebagainya. Hal ini bertujuan
untuk membekali peserta didik (santri) berbagai macam
28
keahlian yang berguna untuk masa depan peserta didik (santri)
tersebut.
e. Pesantren yang mengasuh berbagai macam program
pendidikan yang tergolong sebagai pendidikan formal,
nonformal dan informal. Hal ini sebagaimana dengan adanya
berbagai macam sistem pendidikan dan pengajaran yang
terdapat didalam pesantren tersebut seperti, adanya pendidikan
madrasah dan perguruan tinggi, pengajian kitab-kitab klasik,
majelis taklim, pendidikan keterampilan dan lain sebagainya.
D. Sistem Pengajaran pada Pendidikan Pesantren
1. Sistem non klasikal
Sistem pengajaran non klasikal merupakan sistem pendidikan
pesantren yang pertama kali digunakan dalam pengajaranya. Dalam
sistem non klasikal pendidikan dan pengajaran yang dilakukan tidak
terdapat kurikulum serta jenjang tingkatan pendidikan yang telah
ditentukan, evaluas dari hasil pendidikan pesantren hanya dilakukan
oleh peserta didik (santri) yang bersangkutan (Musyrif Kamal Jaaul
Haq, 2015: 24).
Dalam sistem ini peserta didik (santri) diberi kebebasan dalam
memilih pelajaran serta menentukan tingkat kehadiran dalam
pembelajaran dan sikap dalam mengikuti pembelajaran. Apabila
peserta didik (santri) merasa cukup puas terhadap ilmu dan
pengalaman yang sudah didapat maka ia bebas dalam menentukan
29
pilihan untuk meningkatkan ilmu atau pengalaman ke pesantren
lainnyaatau pulang ke kampung halammnya.
Ada beberapa metode dalam sistem pendidikan pesantren non
klasikal yang diantaranya adalah:
a. Metode Wetonan
Metode wetonan adalah suatu metode pendidikan yang dilakukan
oleh kyai dalam proses pendidikan dan pengajaran pelajaran di
pondok pesantren yakni kiyai membaca suatu kitab kemudian
para peserta didik (santri) juga menimak, memperhatikan kitab
yang sama dan mendengarkan kyai membacakan kitab tersebut
(KM. Akhiruddin, 2015: 200)
b. Metode Sorogan
Metode sorogan adalah metode sistem privat di dalam
pembelajaran penddikan pesantren seperti santri datang secara
langsung kepada kyai untuk membaca kitab kuning dihadapannya
kemudian kyai menerjemahkannya (KM. Akhiruddin, 2015: 200)
c. Metode Muhawarah
Muhawarah adalah suatu kegiatan pendidikan pesantren yang
wajib dilaksanakan oleh peserta didik (santri) untuk melakukan
kegiatan percakapan berbahasa Arab atau Inggris, hal ini biasa
dilakukakan dalam kegiatan pidato (muhadarah) atau percakapan
anatara pesaerta didik (santri) dalam menjalankan kehidupan di
pesantren sehari-hari hal ini bertujuan untuk melatih peserta didik
30
(santri) agar terbiasa untuk menggunakan bahasa asing (KM.
Akhiruddin, 2015: 201).
d. Metode Mudzakarah
Menurut KM. Akhiruddin (2015: 201) metode mudzakarah
merupakan metode pendidikan pesantren dimana peserta didik
(santri) atau kyai mengadakan berbagai pertemuan ilmiah yang
didalamnya membahas masalah diniah maupun tentang pendidikan
agama Islam pada umumnya. Peserta didik dilatih agar mampu
berbicara dihadapan khalayak umum serta mampu memecahkan
segala masalah yang dihadapi dengan merujuk pada kitab-kitab
klasik Islam.
e. Metode Bandungan
Zamakhsyri Dhofier (1994: 54) berpendapat bahwa metode
bandungan dalam pendidikan pesantren adalah sistem pangajaran
yang terdiri dari 5 sampai dengan 500 peserta didik (santri)
mendengarkan kyai menerjemahkan, menerangkan dan mengulas
buku atau kitab-kitab Islam berbahasa Arab. Setiap peserta didik
(santri) memperhatikan buku masing-masing dan memberi
keterangan serta mengartikan kata-kata yang sulit dipahamai secara
mandiri.
f. Metode Majelis Ta’lim
Imron Arifin (1995: 39) berpendapat bahwa metode majelis ta’lim
merupakan metode pengajaran pendidikan Islam di pesantren yang
31
bersifat terbuka untuk umum sehingga dalam majelis ini hadir
berbagai macam lapisan masyarakat baik daridalam lingkungan
pondok pesantren maupun berasal dari luar lingkungan pondok
pesantren. Majelis ini biasanya diadakan lembaga pendidikan
pesantren pada waktu seminggu sekali, satu bulan sekali atau pada
saat hari-hari tertentu. Pada umumnya materi yang diajarkan dalam
majelis ini adalah berbagai materi-materi ajaran Islam, nasihat-
nasihat serta ajakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang berdasarkan
dari kitab-kitab tafsir Al-Qur’an maupun hadist.
2. Sistem klasikal
Dalam perkembangannya lembaga pendidikan pesantren selain
menjaga ketradisionalanya, lembaga pendidikan pesantren juga mampu
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman seperti mengadopsi
dan mengembangkan antara sistem pesantren non klasikal dengan
sistem madrasah. Hal ini sebagaimana menurut M. Arifin, pondok
pesantren modern adalah “suatu lembaga pendidikan Islam yang
tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama atau
kampus, di mana para peserta didik(santri) menerima pendidikan agama
melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di
bawah kedaulatan dari seorang atau beberapa kyai dengan ciri khas
yang bersifat kharismatik, serta independent dalam segala hal (Mujamil
Qomar, 2009:2).
32
Dalam pengembangannya sistem pendidikan klasikal memiliki
tujuan untuk menjaga eksistensi pendidikan pesantren serta
mengantisipasi segala perubahan pandangan, tuntutan dan kebutuhan
masyarakat yang semakin maju dalam bidang pendidikan. Perubahan
ini juga bersifat memperbarui atau menyempurnakan sistem lama yang
dianggap tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat zaman modern.
Selain memiliki tujuan untuk mengantisipasi mengenai perubahan
pandangan, tuntutan dan kebutuhan masyarakat, dalam Perubahan
sistem pendidikan pesantren non klasikal menjadi klasikal yaitu peran
sistem madrasah sebagai perubahan pengalihan jenjang pendidikan
peserta didik (santri) pesantren berbagai jenjang madrasah tersebut
dimulai dari Ibtidaiyah (SD), Tsanawiyah (SMP), Aliyah (SMA) hingga
ke tingkat perguruan tinggi.