BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah...
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
Bab ini hendak menyajikan tiga hal pokok yang saling bertautan antara satu dengan
yang lainnya. Ketiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep
(concepts), landasan teori (grand theory), dan model penelitian (model of the research)
2.1 Kajian Pustaka (related studies)
Kajian pustaka merupakan hasil kajian terdahulu yang mempunyai kaitan dengan
kajian bahasa ritual barong wae (BRBW). Hasil penelitian tersebut dijadikan sebagai rujukan
atau sumber informasi teoretis dan informasi empiris yang digunakan oleh peneliti untuk
menganalisis permasalahan-permasalahan penelitian ini. Kajian pustaka yang berkaitan
dengan penelitian BRBW dapat diuraikan sebagai berikut.
Kajian pertama adalah “Operasi Formal Antonim dalam Bahasa Manggarai”.
Penelitian ini dilakukan Erom pada tahun 2011 yang mengangkat masalah relasi antonim
pada kata benda dan kata keterangan arah. Relasi antonim yang terjadi pada kata benda,
antara lain pada kata wina „istri‟ berantonim rona „suami‟, kata ende ‘mama‟ berantonim
dengan ema ’bapak‟. Contoh-contoh di atas menggambarkan dengan jelas bahwa pasangan
kata yang berantonim itu, menunjukkan yang lemah selalu mendahului yang kuat dan yang
mudah mendahului yang tua. Dalam pasangan kata berantonim itu menggambarkan pula
imajeri budaya guyub tutur BM. Dengan kata lain, pasangan kata berantonim
menggambarkan dengan jelas skema berpikir guyub tutur BM, bahwa masyarakat Manggarai
sangat menghormati dan menjaga kaum lemah. Laki-laki dipandang orang yang kuat dan
wanita orang lemah sehingga laki-laki selalu di depan karena serangan musuh selalu datang
dari depan. Pada umumnya, orang Manggarai setia terhadap yang lemah. Misalnya adik dan
kakak, orang tua selalu berpesan hendaknya sang kakak harus mengalah kepada sang adik
manakala ada pertengkaran. Apabila adik dalam kesulitan sang kakak wajib membantu
menyelesaikan masalah sang adik.
Relasi antonim juga terjadi pada kata keterangan arah atau preposisi. Wa’di bawah‟
berantonim dengan eta ‘di atas‟, sina „sebelah sana‟ berantonim dengan ce’e „sebelah sini‟.
Contoh ini dengan jelas menggambarkan preposisi di bawah selalu mendahului preposisi di
atas. Hal ini juga mengambar imejeri budaya guyub tutur BM. Ini berarti orang Manggarai
memikirkan atau memandang segala sesuatu di dunia berdasarkan pengalaman yang
diperoleh melalu apa yang mereka lihat, mereka rasakan, mereka cium, mereka raba, dan
mereka dengar. Karena itulah, muncul unggkapan-ungkapan seperti telah dijelaskan di atas.
Ungkapan-ungkapan tersebut menggambarkan apa yang ada dalam pikiran dan benak
mereka. Kata eta „di atas‟ mereka memandang sebagai lambang kekuatan dan wa ‘di bawah‟
sebagai lambang kelemahan. Oleh karena atas selalu diibaratkan sebagai orang laki-laki
satria, penguasa, pelindung, sedangkan wa „di bawah‟ dianalogikan dengan orang lemah
(wanita, adik). Karena itu pula, posisi wa selalu mendahului eta.
Relevansi kajian di atas dengan kajian BRBW terletak pada teori yang digunakan
keduanya. Baik kajian BRBW maupun kajian Operasi Formal Antonim dalam BM sama-
sama merupakan objek kajian linguistik kebudayaan. Metode yang digunakan untuk
mengumpulkan data, baik penelitian BRBW maupun penelitian operasi formal antonim
dalam bahasa Manggarai adalah metode wawancara dan observasi serta studi dokumen.
Selain itu, pasangan antonomin yang menyatakan arah pada penelitian terdahulu menjadi
rujukan empiris untuk menganalisis antomin pada ujaran ritual barong wae.
Kajian kedua adalah kajian tentang “sistem leksikogramatika dalam bahasa
Manggarai (BM) yang dilakukan oleh peneliti yang sama, Erom pada tahun 2011. Kajian ini
merupakan telaah yang menerapakan teori linguistik kebudayaan. Ia berpendapat bahwa
leksikogramatika itu merupakan wujud imajeri budaya guyub tutur BM dalam hal
memandang masa lampau, masa sekarang, dan menatap masa depan. Maka dari itu, sistem
leksikogramatikal terkait dengan bagaimana guyub tutur BM melihat dunia di sekitarnya
berdasarkan dimensi waktu. Ia menemukan beberapa leksikon yang digunakan untuk
menggambarkan waktu lampau, sekarang, dan akan datang dalam BM yang mengekspresikan
sejumlah imajeri budaya guyub tutur BM. Lesikon BM yang menunjukkan masa lalu adalah
one „di dalam‟. Preposisi ini akan bermakna waktu lampau apabila berkolaborasi dengan kata
benda bilangan, seperti one sua „di dalam dua‟. Penggabungan preposisi dan kata bilangan
tersebut bermakna dua hari yang lalu. Waktu lampau itu dipandang oleh guyub tutur BM
sebagai sesuatu yang sedang disimpan di dalam kotak. Misalnya, suatu benda apabila
disimpan di dalam kotak itu, maka tidak bisa bergerak lagi. Itu berarti waktu lampau itu tidak
akan pernah berubah. Selain kata one, ada juga preposisi lain, yaitu olo „waktu lampau
sebelum kemarin‟. Misalnya one wulang olo „bulan lalu‟, one minggu olo’minggu lalu‟, one
ntaung olo‟tahun lalu‟.
Ia menemukan bahwa pasangan preposisi tersebut menggambarkan imajeri budaya
guyub tutur BM tentang dimensi kehidupan, yaitu dimensi lampau, kini, dan akan datang.
One sua ‘dua hari yang lalu‟, one minggu olo „minggu lalu‟, one wulang olo „bulan lalu, one
ntaung olo „tahun lalu‟ menyatakan dimensi kehidupan yang telah lewat dan tidak mungkin
peristiwa itu dapat dialami lagi. Peristiwa-peristiwa kehidupan dalam dimensi waktu ini,
secara historis, menjadi pengetahuan empiris. Pengetahuan yang berguna bagi mereka
dijadikan penuntun hidup selanjutnya dan mereka bercita-cita untuk menasehati, memotivasi,
dan meneruskan kepada anak cucu mereka, sedangkan yang tidak berguna dijadikan
perbandingan agar anak dan cucu mereka bisa memahami dan membedakan hal baik dan
buruk. leso ho’o „hari ini‟, minggu ho’o ‘minggu ini‟, wulang ho’o’bulan ini’, ntaung ho’o
„tahun ini‟ merupakan pasang kata keterangan waktu kekinian atau dimensi hidup kekinian
yang menyatakan peristiwa-peristiwa yang dialami saat ini dalam periode singkat, leso ho’o
„hari ini‟, periode lebih lama „minggu ho’o „minggu ini‟, dan lebih lama lagi wulang ho’o
„bulan ini‟, dan yang paling lama ntaung ho’o „tahun ini‟. Peristiwa-peristiwa yang mereka
alami pada periode kekinian ini menjadi suatu proses untuk membentuk pengetahuan baru.
Dalam proses ini orang Manggarai selalu merefleksi pada pengetahuan yang telah
diperolehnya. minggu musi minggu depan‟, wulang musi ‟bulan depan’, ntaung musi „tahun
depan‟ adalah pasangan-pasangan kata yang menerangkan waktu yang akan datang.
Kelompok kata ini merupakan rentangan waktu atau periode waktu yang membingkai
peristiwa kehidupan munusia atau masyarakat Manggarai. Namun, peristiwa-peristiwa
kehidupan manusia itu belum pasti, peristiwa apa yang akan terjadi. Mungkin hal baik atau
mungkin juga hal buruk akan terjadi pada manusia. Oleh Karena itu kehidupan manusia
penuh dengan misteri yang sulit untuk ditebak.
BRBW memiliki unsur-unsur linguistik, seperti frasa yang menyatakan dimensi waktu
kelampauan, kekinian, dan keakanan. Inilah yang menjadi alasan artikel yang berjudul sistem
lesikogramatika dalam BM, yang teraktualisasi dalam lesikon-lesikon tentang waktu. Model
analisis yang diterapkan Erom dalam artikelnya, dijadikan model analisis pula untuk
menganalisis ungkapan-ungkapan atau frasa tentang waktu dalam BRBW. Selain itu, artikel
ini dibahas berdasarkan teori linguistik kebudayaan yang berakar pada imajeri atau imajeri
budaya penuturnya.
Kajian ketiga adalah kajian yang dilakukan Erom 2010. Penelitian ini mengangkat
masalah sistem pemarkahan nomina bahasa Manggarai dan interelasi sistem penamaan entitas
pada guyub tutur BM. Penelitian ini tidak ada kaitan dengan penelitian BRBW, terutama
masalah dan sasaran kajian yang berfokus pada sistem pemarkahan nomina dan interelasi
sistem penamaan entitas pada GTM. Akan tetapi, penelitian ini menjadi referensi penelitian
BRBW terkait dengan pendekatan teoretis yang digunakannya, yaitu teori linguistik
kebudayaan.
Penelitian Erom juga berfokus pada hubungan antara bahasa dan kebudayaan. Karena
itu, Sistem Peramakahan nomina berinterelasi dengan Sistem Penamaan Entitas GTM
merupakan kajian linguistik kebudayaan. Hal ini tercermin dalam teori linguistik kebudayaan
yang berasumsi bahwa imajeri manusia merupakan perwujudan mental yang berawal dari
analogi konseptual pengalaman langsung dari pancaindera, yang mencakup mata, telinga,
hidung, lidah, dan kulit (Palmer, 1996). Fungsi awal imejeri untuk menggambarkan
lingkungan sekitarnya dengan sepenuhnya menggunakan bahasa. Asumsi tersebut dilengkapi
lagi dengan teori linguistik kebudayaan yang bertujuan menjelaskan masalah-masalah
hubungan antara bahasa, pikiran, dan kebudayaan.
Kajian keempat adalah penelitian yang Pampe pada tahun 2007. Penelitian ini
berjudul “Pemakaian Bahasa Manggarai dalam kegiatan keagamaan Katolik di Kabupaten
Manggarai”. Kajian ini secara teoretis tidak ada hubungan dengan kajian BRBW dalam
upacara barongwae pada guyub tutur BM. Kajian pemakaian BM dalam kegiatan keagamaan
Katolik digunakan kerangka pikir sosiolinguistik yang dilengkapi oleh landasan teori wacana
dan beberapa landasan teoretis yang lain. Berbeda dengan kajian BRBW yang menggunakan
teori linguistik kebudayaan dan dilengkapi oleh teori ekolinguistik.
Selain perbedaan landasan teoretis yang diterapkan dalam penelitian Pampe, juga
perbedaan lain yaitu kajian tersebut diletakan pada tuturan ritual dalam upacara agama
Katolik, sedangkan BRBW adalah kajian tuturan ritual pada upacara adat yang disebut
upacara barong wae. Uraian tersebut di atas menggambarkan bahwa kajian pemakaian BM
dalam upacara keagamaan Katolik yang dilakukan Pampe tidak terlalu signifikan dalam
kajian BRBW. Kajian Pampe dipakai sebagai pembanding dalam analisis masalah-masalah
BRBW, terutama analisis nilai-nilai yang terkandung di dalam BRBW.
Kajian kelima, dilakukan Bustan pada tahun 2005. Kajian ini mendeskripsikan
korelasi antara bahasa dan kebudayaan Manggarai dari perspektif linguistik kebudayaan.
Fokus kajiannya pada masalah bentuk, makna, dan fungsi wacana budaya tudak penti.
Namun, landasan teori linguistik kebudayaan yang berdasarkan pada imajeri manusia seperti
yang diusung Palmer (1996) dan dikembangkan Erom, (2010:17) kurang mendapat
penegasan.
Kajian Bustan tersebut jelas berkaitan dengan linguistik kebudayaan, dapat dilihat
pada beberapa hal, antara lain: judul, perumusan masalah, landasan teoretis, akan tetapi,
peneltian tersebut lebih menonjolkan aspek-aspek yang bersifat antropologis. Hal ini dapat
dilihat pada kajian pustaka, konsep dan analisis. Sebagian besar kajian pustaka bukan
merupakan penelitian yang berperspektif linguistik kebudayaan, melainkan penelitian yang
bersifat Linguisitk Antropologi (lihat Erom, 2010: 17). Ulasan tentang “Etnografi Budaya
Manggarai” memperjelas penelitian Bustan bersifat linguistik antropologi. Metode yang
digunakan dan data yang digunakan Bustan dijadikan metode dan data pembanding dalam
penelitian BRBW.
Penelitian BRBW berbeda dengan penelitian Bustan dalam beberapa hal. Pertama,
teori Linguistik kebudayan yang digunakan dalam penelitian BRBW prinsip dasar teorinya
adalah imajeri, sementara prinsip dasar teori yang digunakan dalam penelitian Bustan
mungkin pada variasi budaya. Kedua, tujuan kajian penelitian BRBW adalah mendeskripsi
bangunan estetik bahasa ritual barong wae; menelusuri imajeri budaya GTBM; makna-
makna BRBW; nilai-nilai; dan kesenjangan kognitif GT dan GM penutur BM, sedangkan
penelitian Bustan lebih fokus pada bentuk dan makna secara umum. Ketiga, model analisis
yang digunakan dalam penelitian BRBW mengacu pada tiga parameter yang diajukan
Palmer, yaitu gramatika bahasa aliran Boas, etnosemantik, dan etnografi berbicara, dan yang
terakhir adalah BRBW lebih fokus pada upacara barong wae sementara, teks tuturan dalam
kajian Bustan digunakan dalam upacara paki kaba’ bunuh kerbau‟. Lagi pula fokus kajian
BRBW ini adalah pada ujaran-ujaran tudak manuk „tuturan ayam‟ di tempat air minum.
Kajian keenam dilakukan Erom pada tahun 2004. Fokus kajiannya adalah menelaah
paralelisme dalam BM. Hasil penelitian Erom menunjukkan bahwa paralelisme dalam BM
dapat disejajarkan dengan metafora, bahkan juga disejajarkan dengan metonimi.
Hasil kajian Paralelisme BM tersebut juga menunjukkan bahwa paralelisme
menampilkan gaya kiasan, gaya indah, dan kesejajaran bentuk dan semantis. Penemuan yang
penting dalam kajian tersebut adalah paralelisme dalam BM mencakup tiga aspek Linguistik,
yaitu aspek fonologi, aspek gramatika, aspek leksikosemantika. Aspek fonologi meliputi tiga
unsur, yaitu asonansi, aliterasi, dan rima. Aspek gramatik mencakup kelas kata, modus,
jumlah dan seperangkat diad metafor. Aspek leksikosemantik mencakup seperangkat diad
seperti sinonim, antitesis, dan sintesis.
Namun, Erom tidak membicarakan imajeri budaya yang terkandung dalam ketiga
aspek linguistik tersebut yang merupakan dasar teori linguistik kebudayaan yang digunakan
dalam studi ini. Dianjurkan studi ini lebih baik dianalisis dalam terang teori linguistik
kebudayaan karena permainan-permainan simbol verbal atau ungkapan-ungkapan dalam
paralelisme BM pasti berakar pada imajeri budaya. Kajian Erom tersebut sangat berkaitan
dengan kajian BRBW berdasarkan beberapa hal, antara lain konsep teoretis yang digunakan
sebagai landasan analisis masalah-masalah penelitian dari kedua kajian itu adalah linguistik
kebudayaan. Sasaran kaji kedua penelitian itu adalah bentuk dan makna bahasa yang
digunakan dalam konteks budaya. Metode penelitian yang digunakan dalam pengumpulan
data adalah metode kualitatif dengan teknik wawancara dan observasi langsung di lapangan.
Kajian ketujuh adalah penelitian Basso (1990). Penelitian ini dirancang untuk
menginvestigasi metafora struktural dalam bahasa Apache. Bahasa ini adalah bahasa asli
(native language) penduduk yang mendiami wilayah Apache Barat, Arizona Timur Tengah.
Fokus kajiannya adalah pada „penanmaan bagian kendaraan bermotor dalam bahasa Apache
(yang selanjut disebut BA). Penutur BA bagian Barat biasa memetaforakan bagian tubuh
manusia dan binatang dengan tubuh (body) kendaraan bermotor, seperti mobil dan mobil Pick
up. Penelitian menunjukkan bahwa metofora struktural dalam BA memiliki skenario sebagai
berikut. Kap mobil dikiaskan dengan bichih ‟hidung‟, lampu muka mobil disamakan dengan
bidáá „mata‟. Kaca depan diibaratkan dengan bita „dahi‟. Ban depan mobil diassosiasikan
dengan bagian „tangan dan bahu‟. Ban belakang dan ban dalam mobil dibandingkan dengan
bikee ‘kaki‟.
Rupanya, peta pengetahuan (pengalaman) penutur BA pertama kali melihat bahwa
konstruksi tubuh (body) kendaraan bermotor sama seperti anatomi tubuh manusia terdiri dari
mata, dahi, hidung, tangan dan bahu serta kaki. Karena itu, dalam pemakaiannya sering
mereka menggunakan metafora untuk mengekspresikan maksud, tujuan berkomunikasi, dan
memaknai sesuatu dari apa yang mereka lihat, rasa, cium, kecap. Konsep metafora struktural
tersebut seperti yang dikemukakan oleh Palmer (1996: 224-225) mengatakan bahwa
kendaraan bermotor dipandang sebagai benda yang bernyawa atau benda hidup. Dengan kata
lain, kendaraaan bermotor itu seolah-olah bagaikan makluk hidup seperti manusia dan
binatang. Peta pengetahuan (pengalaman) atau cara melihat dunia sekitar semacam itu
menjadi dasar untuk membandingkan bagian-bagian (bangunan) tubuh makluk hidup dan
bagian tubuh (body) kendaraan bermotor.
Dalam metafora jenis ini benda yang kita sebut (kendaraan bermotor) dan bagian-
bagian intinya disebut ranah target. Sementara, benda yang kita bicarakan adalah makluk
hidup dengan bagian-bagian inti tubuhnya dan hubungan (topologi kognitif) merupakan ranah
sumber. Peta pengetahuan (pengalaman) atau skema pengetahuan yang tersirat dalam
metafora struktural sebagai beriktut ini.
Target: bagian-bagian inti kendaraan bermotor meliputi kap, lampu muka mobil, kaca
depan mobil, ban depan, ban belakang, dan ban dalam
Sumber: bagian-bagian inti tubuh makluk hidup: hidung, mata, dahi, tangan dan bahu,
dan kaki. Relasi Struktural: Kap//hidung, lampu muka mobil // mata, kaca depan //
dahi, ban depan // tangan dan bahu, ban belakang dan ban dalam // kaki.
Penelitian ini memiliki keunggulan, yaitu secara ontologis objek kajian Basso terletak
pada bentuk bahasa yang dipakai dalam konteks tertentu, seperti konteks budaya dan sosial.
Secara epistemologis, metode yang digunakan Basso untuk mencari kebenaran yang
berdasarkan fakta lingual kultural adalah metode kualitatif dengan teknik wawancara dan
observasi serta metode simak terhadap apa yang disampaikan dan dilakukan informan di
lapangan. Hal menarik lainnya adalah kelugasan Basso menganalis metafora dalam bahasa
Apache. Beberapa keunggulan penelitian Baso tersebut di atas sungguh relevan dengan
penelitian bahasa ritual, khusus terkait dengan dengan analisis metafora yang merupakan
salah satu bangunan estetis dalam BRBW.
Kajian kedelapan adalah Penelitian Matsuki 1989. Kajian Matsuki pada tahun 1989
mengenai metafora struktural dalam bahasa Jepang (yang selanjutnya disebut BJ). Kajian ini
lebih fokus pada metafora kemarahan. Seperti apa yang dikutip Palmer (1996:227-229). Ia
menjelaskan bahwa dalam BJ terdapat tiga wilayah kemarahan dalam tubuh manusia. Ketiga
wilayah itu menggambarkan skema kemarahan. Dalam peta pikiran atau pengetahuan
(pengalaman) orang Jepang, wilayah-wilayah tersebut merupakan tempat kemarahan. Mereka
memahami bahwa kemarahan itu bertingkat-tingkat. Tempat pertama (tingkat pertama)
disebut Hara „Perut‟. Kemarahan manusia berawal dari perut. Menurut Matsuki, tempat
pertama kemarahan, bukan hanya perut, melainkan juga bisa pusat, kandungan atau rahim,
jantung, hati, bisa juga termasuk keinginan atau kehendak. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa
tempat itu untuk menyimpan emosi. Ketika marah meningkat orang mengatakan: Hara
bangkit atau naik, emosi itu dalam hara. Tempat yang kedua adalah Mune „dada‟. Ketika
emosi tidak bisa dikontrol atau tidak bisa tahan lama di Hara. Emosi diibaratkan dengan air
panas yang sedang mendidih dan masuk ke dalam dada atau Mune. Pada tingkat akan
mengukapkan pernyataan seperti ini: I feel strangled with Mune beacause of the rise of Hara.
Tempat yang ke tiga adalah atama „kepala‟. Ketika seseorang tidak mampu mengendalikan
emosinya, kemarahan masuk ke wilayah puncak, di kepala. Apabila sampai di kepala,
keluarlah ungkapan it come to atama. Dari tempat ini keluarlah ungkapan yang kotor
misalnya, anjing kau!, babi kau!, monyet kau!. Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan
wujud kemarahan seseorang.
Penutur BJ memetaforakan bagian tubuh manusia dengan kualitas kemarahan (sifat
manusia) atau bagian dari jiwa manusia. Dan kemarahan itu diibarat cairan panas. Penelitian
menunjukkan peta metofora struktural dalam BJ memiliki skenario sebagai berikut. Hara’
perut‟ dikiaskan sebagai tempat bersemayamnya emosi atau marah. Selain itu, bisa juga
pusaran, jantung, hati, dan maksud sebagai tempat emosi. Kalau amarah itu tidak bisa
dikontrol terlalu lama, maka akan naik ke Mune „dada‟. Kondisi itu diasosiasikan dengan
tempat emosi naik. Atama diasosiasikan dengan tempat emosi mendidih. Artinya, emosi tidak
bisa dikontrol lagi. Atama ini merupakan puncak emosi sampai seseorang mengeluarkan
pernyataan-pernyataan yang sangat kasar, umpatan-umpatan, dan caci-maki.
Rupanya, peta pengetahuan (pengalaman) penutur BJ pertama kali melihat dan
merenung bahwa konstruksi tubuh manusia perut-dada-kepala sama seperti konstruksi emosi
jiwa manusia, khususnya sifat marah. Karena itu dalam komunikasi sesama penutur
seringkali menggunakan metafora untuk mengekspresikan struktur emosi kemarahan.
Kemarahan merupakan ekspresi keadaan jiwa jiwa pentur BJ membandingkan dengan
struktur tubuhnya yaitu perut-dada-kepala.
Matsuki berfokus pada metafora struktural yang menjadi objek kajiannya. Sasaran
kajian ini juga merupakan bagian dari bangunan estetik bahasa ritual. Dalam persepketif
Linguistik kebudayaan, bentuk atau bangunan estetik, makna fungsi, dan nilai bahasa yang
digunakan dalam konteks tertentu, misalnya konteks soisal dan budaya dijadikan objek
kajiaannya. Jika dilihat dari sisi paradigma ontologis, kajian Matsuki dapat dipastikan
kerangka teoretis linguistik kebudayaan adalah landasan teoretis yang dipakainya sebagai
dasar untuk menganalisis masalah metafora strutural dalam bahasa Jepang.
Secara epistemologis, cara yang digunakan Matsuki untuk mencari kebenaran
metafora struktural dalam bahasa Jepang adalah dengan menggunakan metode kualitatif yang
dibantu dengan teknik wawancara dan observasi partisipatif di lapangan. Ketepatan metode
penelitian yang digunakan, dapat menentukan bahwa dalam bahasa Jepang terdapat metafora
struktural. Landasan teori dan metode penelitian yang digunakan Matsuki dijadikan dasar
teoretis dan metode penelitian bahasa ritual barong wae.
Kajian kesembilan adalah kajian yang dilakukan Kovecses pada tahun 1987. Kajian
ini dilakukan Kovecses pada 1987 di Inggris. Ia melakukan penelaahan tentang metafora
ontologis kemarahan dalam bahasa Ingggris (BI). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
Kemarahan (anger) diibaratkan sebagai zat cair dalam sebuah wadah. Zat cair itu bersifat
panas apabila terkena panas. Misalnya, terkena sinar matahari atau apabila dimasak dalam
dalam sebuah periuk. Berikut ini ditampilkan contoh metafora ontologis dalam BI.
You make me blood boil
Engkau buat saya darah mendidih
Tutur katamu membuat saya marah
Kata blood „darah‟ pada makluk hidup manusia dan binatang adalah zat yang
dibutuhkannya. Jadi tanpa darah manusia tidak bisa hidup. Darah, berkaitan dengan metafora
ontologis, diasosiasikan dengan amarah, sedangkan boil „mendidih‟ dianalogikan dengan
tindakan atau aksi yang menimbulkan sesuatu terjadi. Verba mendidih dianalogikan dengan
tindakan yang menimbulkan amarah. Verba tersebut menggambarkan sifat khas dari zat cair
yakni darah. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa metafora ontologis adalah
gaya bahasa yang membandingkan sifat khas suatu benda dengan sifat khas makluk hidup
yakni manusia.
Metafora ontologis, pada prinsipnya adalah membandingkan suatu benda dengan
benda yang lain karena kesamaan. Metafora ontologis membandingkan dua benda yang
memiliki sifat khas yang sama. Pada prinsipnya, metafora adalah sebuah skema atau skenario
terjadinya suatu peristiwa. BI dijelaskan demikian:The fluid anger rises; anger produces
steam and pressure on the container. Kemarahan itu mendidih, kemudian menghasilkan uap,
lalu uap itu menekan tutupan wadah sehingga keluarlah percikan air panas yang dapat
membahayakan sesuatu yang berada dekat wadah. Skenario semacam ini mengeluarkan
ungkapan-ungkapan sebagai berikut.
1. She got all steam up „Ia melampiaskan semua kemarahannya‟
2. She blew up at me’Ia melampiaskan kemarahannya pada saya‟
3. His anger finally came out.’Bersyukurlah kemarahannya telah keluar‟.
Di samping metafora memiliki skenario atau skema, juga memiliki dua ranah, yaitu
ranah sumber dan ranah target. Ranah sumber adalah cairan dalam wadah sedangkan ranah
target adalah kemarahan itu sendiri. Metafora menciptakan relasi atau hubungan entitas dari
kedua ranah tersebut. Kovecses (1987:56-57) menyatakan bahwa hubungan atau relasi itu
adalah korespondensi ontologis. Palmer (1996:230) merumuskan korespondensi ontologis
sebagai berikut:
Sumber : Zat cair panas dalam wadah
Target : Kemarahan
Relasi ontologis: Wadah berkorespondensi dengan tubuh, zat cair panas
berkorespondensi dengan kemarahan. Dalam skenario metafora ontologis, sumber penyebab
atau tempat bermula analogi, dan target merupakan tujuan atau sasaran analogi. Jadi Relasi
ontologis merupakan sebuah hubungan antara dua benda yang dianalogikan atau
dibandingkan berdasarkan atas kesamaan sifat dari masing-masing benda tersebut. Kajian ini
digunakan sebagai rujukan untuk mendeskripsikan BRBW dalam BM dengan alasan bahwa
kajian metefora ontologis dijadikan kerangka teoretis untuk menjelaskan masalah bangunan
estetis bahasa ritual barong wae dalam BM. Dalam hal ini, salah satu bangunan estetis dari
BRBW dalam adalah metafora.
Kajian kesepuluh adalah kajian yang dilakukan Verheijen pada tahun 70-an.
Penelitian ini berjudul “Plants Names in Austronesian Linguistics” menjelaskan sistem
penamaan tanaman dalam bahasa Manggarai. Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk
menjelaskan fenomena linguistik yang dapat ditemukan dalam nama-nama tanaman dalam
BM, Veheijen (1984: x). Temuan-temuan Verheijen menunjukkan bahwa sistem penamaan
tanaman-tanaman dalam bahasa Manggarai berdasarkan beberapa hal, yaitu (1) berdasarkan
sejarah seperti kata majemuk: saung jepang atau saung nipon „daun jepang‟; (2) nama-nama
pinjaman dari bahasa lainnya seperti nama rumput dalam bahasa Manggarai renggong, bolel,
bulel, mbulel dalam bahasa Ende disebut kinggo (Nuabosi-Ende), wunu, mbaka (Rewo-Reke-
Ende); (3) nama-nama Aetiologi (benih yang jatuh dari pesawat) misalnya rewut kepal
(Manggarai Barat) „rumput liar dari pesawat‟; (4) nama-nama deskriptif misalnya kata boje;
rumput yang daun tebal di Todo disebut bece „gemuk‟. Jikalau dicermati sistem penamaan
tanaman BM, bentuk bahasa yang ditampilkan merupakan wujud pikiran GTBM. Kerangka
teori yang digunakan dalam hal ini adalah teori linguistik kebudayaan.
Kerangka kerja penelitian Verheijen untuk mengumpulkan data leksikon-leksikon
tentang flora dan fauna di provinsi NTT, khususnya di kabupaten Manggarai. Verheijen
menunjukkan bahwa untuk mendapatkan data lekson-leksikon nama binatang dan tumbuh-
tumbuha di Manggarai digunakannya metode pengamatan, wawancara, dan studi pustaka.
Informasi tentang metode pengumpulan data itu dijadikan rujukan yang digunakan peneliti
laras ritual barong wae untuk mengumpulkan data penelitian.
2.2 Konsep-Konsep (concepts)
Bab ini menjelaskan beberapa konsep penting berkaitan dengan Disertasi. Konsep-
konsep itu adalah bahasa ritual barong wae, dinamika guyub tutur BM, bangunan estetik
BRBW, paralelisme, metafora, makna sosial dan makna budaya, nilai sosial dan nilai budaya,
imajeri, pandangan dunia, dan kesenjangan kognitif.
2.2.1 Bahasa Ritual BarongWae
Bahasa ritual barong wae (BRBW) merupakan salah ragam ritual dalam BM. Laras
ritual ini digunakan sebagai sarana komunikasi dalam kegiatan ritual pada guyub tutur bahasa
Manggarai, yaitu kegiatan ritual barong wae. (Pit Janggur, 2012)
2.2.2 Dinamika Guyub Tutur BM.
Istilah dinamika adalah tenaga yang mengerakan, semangat, dan gerak dari dalam
sedangkang kata “guyub” berarti baik hati (KBI: 227). Di samping itu, kata tutur berarti
bicara (speech). Istilah guyub tutur (speech community) adalah masyarakat atau sekelompok
orang yang secara sadar menggunakan atau berbicara bahasa yang sama. Secara garis besar,
Bloomfield (1933: 42) mengatakan bahwa guyub tutur adalah sekolompok orang yang
berinteraksi dengan bertutur. Definisi ini diperjelas oleh Hymes.Dia menyebutkan bahwa
guyub tutur adalah suatu komunitas yang memiliki pengetahuan yang sama dalam hal
bertutur dan pengetahuan yang sama pula dalam hal menginterpretasi tuturan (Erom, 2010:
40; Hymes, 1974:51).
Berdasarkan uraian di atas, istilah dinamika guyub tutur adalah semangat yang
dimiliki oleh suatu komunitas bahasa yang berpengetahuan sama dalam bertutur dan
pengetahuan yang sama pula dalam menginterpretasi apa yang dituturkan. Merujuk pada
definisi itu, dinamika guyub tutur bahasa Manggarai adalah semangat yang dimiliki penutur
bahasa Manggarai untuk memahami dan menginterpretasi apa yang dituturkannya atau
dibicarakan dalam interaksi sosial dan budaya.
2.2.3 Bangunan Estetik BRBW
Bangunan estetik bahasa adalah simbol verbal yang hadir dalam setiap aktivitas
masyarakat penuturnya dengan gaya yang indah dan kias. Secara pragmatis, simbol verbal itu
digunakan sebagai sarana komunikasi dalam interaksi sosial-budaya penuturnya
(band.Palmer, 1996:3). Berdasarkan definisi itu, bangunan estetik BRBW adalah simbol
verbal yang digunakan sebagai sarana komunikasi verbal dalam berinteraksi dengan wujud
tertinggi dan leluhur guyub tutur BM dengan gaya indah dan kias.
2.2.4 Paralelisme
Paralelisme merupakan salah satu figurasi bahasa yang memiliki unsur estetik. Hal ini
dipertegas oleh Kridalaksana (1993: 154) bahwa paralelisme itu adalah pemakaian berulang-
ulang ujaran yang sama dalam bentuk bunyi, tatabahasa, makna, atau gabungan dari
kesemuannya. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa paralelisme itu merupakan ciri khas bahasa
puisi.
Di samping itu, Jakobson (1990: 358) dalam Foley (1997:166) mengatakan bahwa
paralelisme adalah fungsi puitis yang memproyeksi prinsip kesejajaran bentuk inti yang
terseleksi untuk menjadi anggota dalam gabungan. Selanjutnya, Foley menjelaskan bahwa
jenis-jenis pilihan yang merupakan struktur sistem linguistik pada level yang berbeda, seperti
level fonologi misalnya fonem /p/ versus /b/ = / pέt/ versus /bέt/, level gramatikal misalnya (a
quicker runner versus one who runs more quickly), dan pada level leksioksemantik misalnya
big versus little, little versus tiny, state versus government.
2.2.5 Metafora
Metafora adalah pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain
berdasarkan kias atau persamaan. Misalnya kaki gunung, kaki meja berdasarkan kias pada
kaki manusia (Kridalaksana, 1993:136). Selanjutnya ia mengatakan bahwa istilah metafora
adalah pemakaian kata atau bentuk lain yang mengacu pada objek konkret untuk konsep
abstrak, misalnya namanya harum dibandingkan dengan bunga itu harum, sambutan yang
dingin. Jadi, konsep metafora mengandung gagasan dasar, yaitu memperluas makna dengan
nalogi atau perbandingan dua objek tanpa mempedulikan makna literal. Dengan kata lain,
metafora adalah penggunaan sebuah kata atau kelompok kata (frasa) untuk menyatakan
sesuatu yang berbeda dari makna harafiah (McGinley, 1997315).
2.2.6 Makna sosial dan Makna budaya
Makna sosial adalah makna yang diciptakan oleh sekolompok masyarakat bahasa
sebagai pendukungnnya. Makna sosial dalam ujaran-ujaran ritual barong wae adalah makna
yang dibuat berdasarkan kesepakatan kelompok tutur bahasa Manggarai. Makna-makna
ujaran itu berdasarkan konteks sosial. Makna budaya adalah makna yang diciptakan
berdasarkan konteks budaya masyarakat pendunkungnya (Palmer, 1996: 26)
2.2.7 Nilai Sosial dan nilai budaya
Nilai sosial merupakan sesuatu yang mewarnai dan menjiwai tindakan sekelompok
masyarakat. Dalam perspektif Linguistik, nilai sosial adalah posisi lambang bahasa dalam
sistem semantik suatu bahasa yang berkaitan dengan aktivitas sosial guyub tuturnya (band.
F.de Saussure, dalam Kridalaksana, 1993:145). Nilai budaya adalah sesuatu yang
mengambarkan suasana jiwa atau yang tercermin dalam bahasa yang digunakan untuk
melukiskan peristiwa budaya guyub tuturnya.
2.2.8 Tataran Linguistik
Tataran linguistik meliputi fitur fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Palmer
menjelaskan bahwa tataran atau fitur linguistik itu merupakan ekspresi imajeri (Palmer, 1996)
2.2.9 Kesenjangan Kognitif
Konsep kesenjangan kognitif adalah perbedaan pemahaman antara generasi tua (GT)
dan generasi muda (GM) dalam memaknai ujaran-ujaran dalam wacana ritual. Kesenjangan
itu disebabkan oleh karena tidak terjalinnya interelasi dan interdependensi antara generasi
muda dengan bahasa ritual dan kealpaan generasi tua untuk mentransmisi pengetahuan
bahasa ritual itu kepada generasi muda dengan baik (Mbete, 2012).
2.2.10 Imajeri
Imajeri adalah gambaran atau perwujudan mental seseorang tentang sesuatu atau
seseorang yang diekspresikan melalui bahasa. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa
imajeri berada di otak manusia, bukan pada gramatika bahasa. Oleh karena itu, bahasa adalah
permainan simbol verbal yang berdasarkan imajeri penuturnya ( Palmer, 1996: 3)
2.2.11 Pandangan Dunia
Pandangan dunia memberikan model dasar dimana bahasa dunia terpolakan (Palmer
1996:9; Erom, 2010:41). Pendapat ini seiring dengan apa yang diungkapkan Mathiot (Palmer,
1996:15) menyatakan bahwa bidang semantik bahasa merupakan aspek pandangan dunia
yang dikaitkan secara nyata hanya melalui perilaku linguistik sedangkan bidang kognitif
bahasa merupakan aspek pandangan dunia yang bisa dinyatakan pada media lain. Pernyataan
tersebut mengisyaratkan bahwa pandangan dunia dari sekelompok masyarakat tutur dapat
dipahami hanya melalui bahasa. Bahasa itu dihasilkan oleh pikiran manusia. Jadi, pandangan
dunia adalah hasil pikiran manusia yang terwujud dalam bahasa.
2.2.14 Linguistik Kebudayaan
Linguistik Kebudayaan adalah salah satu cabang linguistik yang mengkaji korelasi
antara bahasa, pikiran, dan kebudayaan. Di sisi lain, linguistik kebudayaan merupakan
cabang linguistik yang bersifat interdisipliner. Artinya ilmu linguistik yang membuka dirinya
untuk bergandengan dengan disiplin ilmu lain, yang dalam hal ini ilmu budaya. Palmer
(1996:10) menjelaskan bahwa linguistik kebudayaan berawal dari perpaduan dari tiga tradisi
linguistik yaitu lingustik aliran Boas, etnosemantik, dan etnografi berbicara. Ketiga tradisi
pendekatan linguistik itu melahirkan Linguistik Kebudayaan(cultural linguistics).
Linguistik kebudayaan memandang bahasa sebagai permainan simbol verbal yang
berdasarkan pada imajeri penuturnya (Language is the play of verbal simbol that based on the
imagery of its speaker) (band. Palmer, 1996:3). Karena itu, Linguistik Kebudayaan lebih
berkonsentrasi pada imajeri penutur. Oleh sebab itu, Palmer berpendapat bahwa imajeri
penutur yang berperan sebagai dasar terciptanya bahasa dan sebagai dasar kreativitas penutur
untuk menghadirkannya dalam sendi kehidupan penuturnya.
2.3 Landasan Teori
Konsep-konsep yang telah diutarakan terdahulu menjadi landasan pijak untuk
menentukan teori yang cocok sebagai pedoman dalam rangka menganalisis masalah-masalah
penelitian BRBW. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilandasi dua teori, yakni teori
linguistik kebudayaan dan teori ekolinguistik. Kedua teori ini memiliki peran yang berbeda,
namun keduanya menjelaskan bahasa ritual barong wae sebagai objek penelitian disertasi ini.
seperti yang dipaparkan berikut ini.
2.3.1 Linguistik kebudayaan
Linguistik kebudayaan merupakan salah satu cabang linguistik yang secara khusus
mengkaji hubungan bahasa dan budaya. Oleh karena itu, cabang linguistik ini disebut
sebagai sebuah disiplin ilmu linguistik yang bersifat interdisipilner. Dalam perspektif itu,
linguistik kebudayaan tidak memiliki pendekatan teoretis monolitik, tetapi pendekatan yang
bersifat pluralistik.
2.3.1.1 Perkembangan linguistik kebudayaan
Istilah linguistik kebudayaan pada mulanya dipopulerkan oleh Sutan Takdir
Alishabana tahun 1977 (band. Mbete, 2004:18). Fokus kajiannya pada hubungan bahasa,
pikiran, dan kebudayaan. Kemudian, Suharno pada tahun 1982 menyebutnya linguistik
kultural dengan fokus perhatiannya: Peran Manusia dalam Telaah Bahasa. Istilah ini hampir
sama dengan apa yang dipromosikan Palmer (1996) dengan sebutan cultural linguistics. Dari
segi namanya, bidang kajian ini bersifat interdisipliner, sebuah cabang linguistik yang
mengkaji bahasa dan budaya. Pakar linguistik Indonesia Kridalaksana mengatakan bahwa
kajian interdisipliner merupakan bidang kajian makrolinguistik (band. Mbete, 2004:19;
Kridalaksana, 1988; Bright, 1995).
Linguistik kebudayaan sebagai makrolinguistik, tentunya berdampingan dengan
linguistik antropologi yang diajukan oleh Foley (1997) yang lebih menekankan aspek bahasa
dan istilah antropologi linguistik yang dikembangkan oleh Duranti (1997) dengan
penekanannya pada aspek antropologis. Linguistik kebudayaan yang dikembangkan Palmer
dengan menekankan bahasa sebagai salah satu unsur budaya.
2.3.1.2 linguistik kebudayaan sebagai ilmu
Dalam perespektif linguistik kebudayaan, bahasa adalah permainan simbol
verbal yang berdasarkan imajeri penutur (band.Palmer, 1996:3).
“Language is the play of verbal simbols that are based on imagery. Imagery is what we see in
our mind’s eye, but it is also the taste of mango, the feel of walking in tropical downpour, the
music of Mississipi Masalala. Our imaginations dwell on experiences obtained through all
sensory modes, and then we talk”
Pernyataan teoretis tersebut di atas, dipandang sebagai teori umum linguistik
kebudayaan. Berdasarkan teori ini muncul teori wacana, teori simbol verbal, teori makna dan
nilai, teori imajeri dan pandangan dunia guyub tutur.
Wacana adalah skenario interpretasi prakonsepsi yang ditentukan oleh pendengar dan
pembaca. Skenario terletak dalam model situasi yang merupakan representasi konteks sosial
dan budaya yang inklusif. Misalnya diskusi kelas, jadwal perkuliahan, tingkah laku
nonverbal, percakapan adat, berbicara halus dan kasar (band.Schiffrin, 1987: 28; Palmer,
1996: 171-172). Model situasi merupakan organisasi dan pengelolaan pengetahuan dan meta
pengetahuan serta apa yang diketahui oleh penutur dan pendengar. Teori yang dikemukakan
di atas, dijadikan sebagai landasan teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalah
wacana yang dibahas pada bab 4, yaitu hakikat bahasa ritual barong wae.
Teori simbol verbal adalah tanda linguistik yang manyatu dengan konsep dan imaji
bunyi, bukan berkaitan dengan benda atau hal-hal yang konkret. Konsep dan imaji bunyi
yang dimaksud adalah tanda psikologis dan bunyi, kesan yang diperoleh melalui panca indra
rasa penutur bahasa. Tanda merupakan inti teori simbol yang dikemukakan Saussure.
Dikatakan demikian, karena ia memosisikan bahasa dalam pikiran atau otak penuturnya,
yakni imaji pendengaran berhubungan dengan konsep (Palmer, 1996:4). Konsep dan imaji
bunyi tidak bisa dipasahkan dan saling mendukung. Teori simbol verbal ini diaplikasikan
dalam rangka menjelaskan masalah bangunan estetik bahasa ritual yang meliputi paralelisme
dan metafora. (lihat bab 5).
Dalam perspektif linguistik kebudayaan makna dan nilai yang terkandung dalam
bahasa yang digunakan dalam peristiwa tutur muncul dalam wacana itu sendiri. Hal ini
berarti peserta menginterpretasikan tampilan tuturan satu sama yang lain. Pembicara
menunturkan dan pendengar menafsirkan apa yang dituturkan. Jelas, bahwa makna dan nilai
menyatu dengan peristiwa tutur, bukan seluruhnya terkandung dalam kata dan tata bahasa
yang konvensional (band. Palmer, 1996: 37; Clifford, 1986;Sherzer, 1987; Brody, 1991).
Selanjutnya, Palmer mejelaskan bahwa pendengar bertugas untuk memformulasikan situasi
tutur dan menafsirkan makna menurut konsep dan imaji bunyinya sendri. Dalam konteks ini,
bahasa mengekspresikan pikiran atau kognisi pendengar dalam interkasi yang sedang
berlansung. Jadi, makna dan nilai konvensional yang terkandung dalam bahasa, tidak hanya
makna dan nilai yang sudah secara konvensional terdapat dalam kata dan tatabahasa untuk
mencakup peristiwa dan pengalaman, tetapi kemampuan kognitif atau kemampuan pikiran
yang kreatif penutur untuk mengkonstruksi makna dalam wacana. Kerangka konseptual
tentang makna dan nilai linguistik kebudayaaan tersebut dijadikan acuan untuk menjelaskan
masalah makna dan nila yang terkandung di dalam bahasa ritual. (lihat bab 6 - 7).
Teori imajeri dan pandangan dunia. Imajeri merupakan perwujudan metal yang
berawal dari sebuah analogi konseptual pengalaman langsung dari organ panca indra bagian
luar tubuh, selain panca indra pikiran. Hal itu menunjukkan bahwa sebagian besar imaji
adalah analogi konseptual pengalaman di luar tubuh. Oleh karena itu, konsep pengalaman itu
berhubungan langsung dengan lingkungan penutur bahasa yang ditafsir secara luas, meliputi
masyarakat, fenomena alam, badan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, lingkungan penutur
adalah relitas atau dunia di luar tubuh manusia (Palmer, 1996: 47). Konsep imajeri tersebut
menjadi dasar teori untuk menjelaskan permasalahan imajeri bahasa ritual barong wae.
Di samping itu, dalam perspektif linguistik kebudayaan pandangan dunia adalah
hasil pikiran manusia yang dikemas dalam bahasa tentang apa saja yang berada di
lingkungannya (band. Ridington,1191:249; Palmer,1996:113). Pernyataan ini
menggambarkan bahwa bahasa yang digunakan dalam peristiwa tutur dipengaruhi oleh
pandangan dunia. Selaian itu, dari sudut pandangan antropologi, pandangan tentang dunia
berkaitan dengan pikiran masyarakat, baik secara individu maupum kelompok. Oleh karena
itu pandangan dunia mencakup filsafat alam, tema eksistensi fundamental dan tema normatif,
nilai-nilai, emosi dan etika. Menurut Lakoff dan Johnson (1980) bahwa pikiran metaforis dan
metonimi juga merupakan bagian pandangan dunia. Berdasarkan pendapat pakar antropologi
di atas, Palmer berpendapat bahwa nilai-nilai moral atau kepercayaan dan konfigurasi budaya
juga termasuk pandangan dunia (Palmer, 1996: 113-114).
Berdasarkan uraian di atas, pandangan dunia meliputi semua aspek kehidupan
manusia (penutur). Palmer menyimpulkan bahwa pandangan dunia juga meliputi imajeri
makna bahasa. Oleh karena itu, pandangan dunia merupakan faktor penting terhadap tata
bahasa atau gramatika. Jadi, studi gramatika dapat dianggap sebagai studi pandangan dunia
yang terbatas pada simbol-simbol linguistik. Misalnya studi yang dilakukan Keesing (1979)
yang menunjukkan bahwa makna nilai rasa nonfisik yang terdapat dalam kata-kata Kwaio di
pulau Malaita di kepulauan Salomon, sangat bergantung pada pengetahuan tentang perbedaan
kebudayaan. Teori pandangan dunia yang dipaparkan di atas dijadikan sebagai acuan teoretis
untuk menjelaskan masalah pandangan dunia guyub tutur bahasa Manggarai yang terkandung
di dalam bahasa ritual barong wae.
2.3.1.3 Prinsip Dasar Teori Linguistik Kebudayaan
Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa ciri umum teori linguistik kebudayaan
adalah bahasa merupakan permainan simbol verbal berdasarkan imajeri. Berdasarkan
pernyataan itu, simbol verbal adalah adalah fitur-fitur linguistik, seperti: fonologi, morfologi,
sintaksis, semantik, dan bahkan wacana. Teori linguistik kebudayaan berprinsip bahwa
masing-masing fitur linguistik itu berlandaskan pada imajeri. Jadi teori linguistik kebudayaan
memosisikan imajeri dalam setiap perwujudan sistem bahasa. Dengan kata lain imajeri itu
berada pada setiap fitur-fitur linguistik, anatara lain fitur fonologi.
2.3.1.4 Mekanisme Kerja Teori Linguistik Kebudayaan
Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa linguistik kebudayaan digunakan untuk
menjelaskan hubungan bahasa dan budaya. Fokus kajiannya terletak pada pengetahuan rakyat
dan kepercayaan masyarakat tutur bahasa dalam hal ini masyarakat tutur BM. Cara kerja
linguistik kognitif menjadi dasar untuk memahami, mencarai makna dan nilai, imajeri dan
pandangan dunia serta pengetahuan dan kepercayaan masyarakat yang dikemas dalam
bahasa ritual, khususnya bahasa ritual barong wae (Palmer,1996:36).
Imajeri adalah ekspresi mental yang berawal dari analogi konseptual pengalaman
langsung dari alat pancaindra manusia, seperti mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit
(Palmer,1996:46). Penggambaran lingkungan diekspresikan sepenuhnya oleh bahasa yang
didasari oleh imajeri. Hal ini sejalan dengan Eggins (2004: 11) yang menegaskan bahwa
manusia berinteraksi untuk menciptakan makna atau memaknai dunia dan sesama.
Pengalaman manusia tentang dunia, termasuk tentang alam dan budaya di sekitarnya
direkam oleh otaknya (Palmer 1996: 47). Dalam hal ini otak memegang peranan penting
karena otak berfungsi untuk mengidentifikasi semua yang dialami oleh pancaindra manusia.
Dilihat oleh mata, dicium oleh hidung, didengar oleh telinga, dikecap oleh lidah, dan
dirasakan dan diraba oleh kulit. Semuanya direkam dalam otak.
Imajeri memengaruhi konstruksi gramatikal bahasa (Palmer, 1996:5). Konsruksi
gramatikal merupakan salah satu dari konstruksi bahasa yang begitu banyak. Oleh sebab itu,
imajeri juga memengaruhi atau mendasari sistem kebahasaan yang lain seperti sistem
fonologi, sistem morfologi, sistem sintaksis, sistem wacana, sistem narasi, dan termasuk
sistem metafora, sitem paralelisme, dan sistem bahasa puitis. Palmer juga menegaskan bahwa
tema imajeri dalam bahasa itu menjadi dasar untuk mengkaji topik-topik linguistik yang lebih
luas, seperti, kiasan, semantik kata, konstruksi gramatikal wacana, tuturan ritual, dan
termasuk fonologi suprasegmental tekanan dan nada tutur permohonan dalam tuturan ritual.
Selain itu Palmer juga mengatakan bahwa linguistik kebudayaan mengkaji struktur leksikal,
isi cerita, struktur fonem, intonasi dalam lagu-lagu, untuk orang mati (Fed,1990), agen dan
pasien dalam tatabahasa kasus, serta peran peserta dalam wacana tradisional (band. Sherzer,
1983). Untuk memahami semua aspek-aspek kajian linguistik kebudayaan diperlukan suatu
kemampuan interpretasi peneliti.
BRBW dalam BM merupakan suatu wacana ritual yang meliputi sistem gramatika
bahasa. Sistem ini mencakup: tata susunan fonem untuk membentuk kata (word), tata
susunan morfem untuk membentuk frasa atau kelompok kata, tata susunan kata untuk
membentuk klausa atau kalimat, dan tata susunan kalimat untuk membentuk teks-teks wacana
ritual atau teks yang lain. Sistem gramatika yang terdapat dalam teks ritual dalam BM yang
tentu didorong atau didasari oleh imajeri mental guyub tutur BM atau imajeri budaya .Peran
imajeri mental guyub tutur BM memunculkan sebuah sistem ujaran yang disebut tuturan
ritual.
Pernyatan-pernyataan teoretis tersebut di atas, mempertegas pernyataan bahwa
analisis penelitian yang dipandu oleh teori lingusitik kebudayaan sangat kompleks dan
terpadu secara holisitik. Dikatakan demikian karena analisis melalui koridor teori linguistik
kebudayaan mencakup banyak hal, yaitu hal yang berkaitan dengan linguistik dan hal yang
berkaitan dengan non-linguistik atau hal yang berada di luar linguistik.
Analisis melalui teori linguistik kebudayaan, langkah pertama yang harus dilalui
adalah analisis linguistik, meliputi analisis fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.
Setelah itu dilakukan analisis aspek-aspek non-linguistik atau aspek-aspek yang berada di
luar kebahasaan. Aspek-aspek di luar kebahasaan, antara lain identitas peserta, sejarah peserta
dalam sebuah wacana, materi-materi yang digunakan dalam tuturan ritual adat, misalnya,
binatang-bintang persebahan seperti ayam, babi, kerbau, kambing; nasi, telur, sirih pinang,
tembakau, dan tuak atau moke (sering disebut minuman tradisional).
Model analisis yang dipandu teori linguistik kebudayaan di atas, peneliti
menggunakan langkah-langkah itu untuk menganalisis data BRBW yang telah dikumpulkan.
Pertama, peneliti mentranskrip data yang direkam, baik dalam tape recorder dan camera
maupun handycamp dan dilengkapi dengan data wawancara langsung dengan informan
utama untuk menyusun teks sahih. Setelah itu, dilakukan pengglosan terhadap kata dalam
setiap klausa teks wacana ritual tersebut. Kemudian, peneliti mengartikan atau
menerjemahkan kalimat-kalimat yang mengkonstruksi teks wacana rtual barong wae. Lalu,
Peneliti menyusun terjemahan teks wacana tersebut secara keseluruhan. Kedua adalah
analisis aspek-aspek nonlingusitik dalam teks wacana ritual barong wae dalam BM. Aspek-
aspek nonlinguistik yang perlu dianalisis dalam Teks BRBW adalah indentitas pelaku,
matari-meteri yang sering disebut bahan-bahan dan binatang persembahan, dan instrumen
gong. Ketiga adalah analisis permasalahan. Permasalahan pertama adalah Bangunan estetik
bahasa ritual Barong wae dalam BM. Permasalahan ini mencakup beberapa hal penting
seperti imajeri GTBM atau imajeri budaya GTBM, gaya bahasa (figurative language) yang
eksis dalam BRBW, misalnya metafora, paralelisme semantik, bahasa indah atau puitis.
Kedua adalah analisis semantik BRBW. Analisis semantik ini lebih berfokus kepada makna
yang berada di luar kebahasaan atau linguistik. Dengan kata lain Analisis makna denotasi
BRBW. Ketiga adalah analisis nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa ritual barong wae
„undangan leluhur penjaga air‟.
2.3.1.5 Paradigma Pemilihan Teori Linguistik Kebudayaan
Sebagaimana dijelaskan tedahulu bahwa teori linguistik kebudayaan dapat digunakan
untuk menjadi acuan teoretis dalam analisis beberapa permasalahn-permasalahan penelitian
BRBW, yaitu teori wacana ritual, teori tanda linguistik atau teori simbol verbal, teori makna
situasi atau makna kontekstual, teori nilai kontekstual, teori imajeri, dan teori pandangan
dunia.
Secara ontologis, linguistik kebudayaan menempatkan bentuk, fungsi, makna dan
makna pemakaian bahasa dijadikan sasaran kajiannya (Mbete, 2004:5). Menurut Palmer
bahwa objek kajian linguistik kebudayaan tidak hanya mengkaji fungsi, makna dan nilai yang
terkandung dalamnya, tetapi juga mengkaji imajeri, pandangan dunia (world view) atau
falsafah hidup penuturnya (Palmer, 1996:3).
Dalam perspektif epistemologis, linguistik kebudayaan memiliki metodologi yang
sesuai dengan objek kajiannya. Hal itulah yang dapat membedakan linguistik kebudayaan
dengan bidang kajian linguistik lainnya. Seperti diutarakan pada bagian terdahulu bahwa
objek kajian linguistik kebudayaan adalah bentuk bahasa yang memiliki makna, nilai, imajeri,
dan pandangan dunia penutur. Secara pragmatis, bentuk bahasa tersebut berupa teks atau
wacana ritual baik lisan maupun tulisan. Semua bentuk bahasa itu, secara budaya, berdeda
antara guyub tutur yang satu dengan guyub tutur lainya. Misalnya leksikon makan dalam
bahasa Indonesia, hang dalam bahasa Manggarai, eat dalam bahasa Inggris, mu’a dalam
bahasa Rote, dan nga’a dalam bahasa Sabu,dan sebagainya. Semua merujuk kepada makna
yang sama yaitu makan. Palmer mengemukan bahwa bentuk bahasa yang menjadi objek
kajian linguistik keduyaan dikonstruksi secara metaforis dan perangkat framing devises atau
perangkat diad lainnya. Dalam metafora itu terdapat makna, nilai, imjeri, dan pandangan
dunia.
Sebagaimana yang dikutip Bagus (2004:63), yang menyatakan dalam linguistik
terdapat pluralisme teoretis dan metodologis. Pluralisme itu juga terkandung dalam linguistik
kebudayaan. Berdasarkan pernyataan itu, pendekatan teoretis dan metodologis linguistik
kebudayaan bersifat eklektik. Oleh karena itu pendekatan yang diterapkan dalam linguistik
kebudayaan bermuara pada ketiga tradisi pendekatan linguistik yakni pendekatan linguistik
aliran Boas, pendekatan lingusitik etnosemantik atau NSM (Natutal Semantic
Metalanguage), pendekatan etnogafi berbicara (etnography of speaking). Ketiga pendekatan
penelitian linguistik tersebut masing-masing memiliki fokus perhatian. Misalnya, linguistik
aliran Boas menaruh perhatian pada tatabahasa atau grammar, etnosemantik berfokus pada
makna leksikon, dan etnografi berbicara berfokus pada aktivitas tutur (speech activity).
Berdasarkan ketiga pendekatan itu, maka linguistik kebudayaan menerapkan metode, antara
lain metode wawancara dan pengamatan langsung (direct observation) terhadap sikap dan
perilaku bertutur dan berbudaya, misalnya melakukan aktivitas adat dalam guyub tutur BM.
Melalui kedua cara itu, peneliti dapat memperoleh, antara lain data bentuk atau bangunan
estetik bahasa yang digunakan dalam aktivitas adat, makna, nilai, imajeri, dan pandangan
hidup guyub tutur masyarakat kebahasaan.
Di samping itu, Palmer menegaskan bahwa teori linguistik kebudayaan sudah
diterapkan dalam penelitian berbagai bahasa di dunia. Misalnya bahasa Apache di Amerika
sehingga tidak perlu diragukan lagi kemampuan teori tersebut dalam menjelaskan
permasalahan penelitian BRBW.
2.3.2 Ekolinguistikk
Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa linguistik kebudayaan memiliki
keterbatasan untuk menjelaskan masalah-masalah penenlitian bahasa ritual dalam bahasa
Manggarai. Oleh karena itu diperlukan pendekatan teoretis dari disiplin lain yang mempunyai
hubungan dengan linguistik kebudayaan. Dalam peneltitian BRBW terdapat salah satu
masalah yang dari sisi linguistik kebudayaan sulit untuk dijelaskan, yaitu kesenjangan
kognitif antara generasi tua dan generasi muda dalam hal memahami dan mengetahui bahasa
ritual dalan bahasa Manggarai. Dicermati bahwa teori ekolinguistiklah yang cocok untuk
menganalisis permasalahan tersebut.
Ekolinguistik merupakan salah cabang linguistik yang mengaji hubungan antara
bahasa dan lingkungan. Konsep dasar ekolinguistik adalah bahasa, ekologi, dan lingkungan.
Bahasa manapun di dunia ini selalu hidup dalam lingkungan tertentu. Di dalam lingkungan
bahasa meliputi beberapa komponen, yaitu bahasa, penutur, dan benda-benda lainnya.
Kehidupan bahasa dan penuturnya dalam lingkungan itu tentu saling beriterkasi, saling
berhubungan, dan saling bergantung satu sama lainnya. Hal itu pasti terjadi pula di dalam
lingkungan bahasa ritual.
Ekolinguistik sebagai ilmu, memiliki objek kajiannya ialah bentuk, makna, nilai dan
fungsi bahasa, baik dalam kata-kata, kalimat, dan maupun dalam wacana lingkungan. Di sisi
lain, kesenjangan kognitif antara penutur, misalnya penutur tua dan penutur muda yang
tergambar baik secara fonologis, morfologis, maupun intaksis dalam bentuk bahasa ritual
juga merupakan objek kajian ekolinguistik.
Secara epistemologis, ekolinguistik menggunakan metode mawancara dan observasi
untuk mengumpulkan data. Kedua metode dilakukan secara simultan di lapangan. Di
samping itu, metode studi pustaka yang bertujuan untuk mengumpulkan data ekolinguistik.
Ekolinguistik sebagai cabang ilmu linguistik, memiliki seperangkat teori, yaitu teori
keberagaman dalam konteks lingkungan bahasa, teori interkasi, dan teori interralasi serta
teori saling bergantung. Ketiga teori ini menjadi dasar teori ekolinguistik. Bahasa hidup dan
berkembang seiring dengan bahasa-bahasa lain di dunia ini sehinggga terjadi kontak antara
bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Peristiwa kontak bahasa dapat mengakibatkan
terjadinya pergerseran, interferensi, alih dan campur kode, dan kesenjangan lingual cultural
atau kesenjangan kognitif.
Di pihak yang lain, bahasa dan pengetahuan. Bahasa sangat penting dipelajari dan
diketahui oleh penuturnya karena kehidupan manusia sangat bergantung pada bahasa, dan
sebaliknya (band. Steiner dalam Fill, dkk. 2001:24). Hal ini menunjukkan bahwa keduanya
saling berhubungan dan saling kebergantungan. Dikaitkan dengan ekologi bahasa, manusia
tidak bisa hidup tanpa bahasa dan bahasa dapat hidup terus apabila penuturnya selalu
berinteraksi dan kreatif menggunakanya dalam peristiwa kehidupannya. Penjelasn tersebut di
atas menjadi teori ekolinguistik yang digunakan untuk menjelaskan masalah kesenjangan
kognitif antara generasi tua dan generasi muda dalam bahasa ritual barong wae
Teori interelasi dalam ekolinguistik tersebut memandang bahasa merupakan sarana
komunikasi antara generasi tua dan generasi muda. Oleh karena itu terjalinan hubungan
antara generasi tua dan generasi muda. Oleh karena itu teori interrelasi berasumsi bahwa
apabila terdapat perbedaan pemahaman atau pengetahuan tentang bahasa ritual antara
generasi tua dan generasi muda, maka kehidupan bahasa itu sangat terancam, khususnya
bahasa ritual. Jadi, teori ekolinguistik tersebut menjadi acuan untuk menganalisis masalah
kesenjangan kognitif antara generasi tua dan generasi muda sebagai penutur bahasa ritual
barong wae dalam bahasa Manggarai.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa landasan teoretis
yang dipilih untuk menjelaskan masalah BRBW adalah linguistik kebudayaan yang
ditetapkan sebagai landasan teorertis utama yang berfungsi untuk menjelasakan bangunan
estetik BRBW, khususya bangunan metafora, makna, nilai, dan lebih utama menjelaskan
imajeri dan pandangan dunia GTB. Dikatakan demikian karena landasan teoretis linguistik
kebudayaan mampu menjelaskan hampir semua masalah penelitian BRBW. Kedua,
ekolinguistik digunakan sebagai teori penopang karena kehadirannya untuk menjelaskan
hanya satu masalah, yaitu masalah kesenjangan kognitif antara generasi tua (GT) dan
generasi muda (GM) dalam hal memaknai BRBW.
2.4 Model penilitian (framework of research)
Eichelberger (1986:76) menyatakan bahwa hasil akhir kajian pustaka, kajian terhadap
studi-studi yang berkaitan sebelumnya, adalah kerangka kerja yang digunakan untuk
memahami dan mengonsepkan masalah penelitian. Hal ini bisa berupa sebuah model
komprehensif yang mencakup semua variable yang relevan. Seiring hal ini berupa daftar
variabel yang paling penting yang berkaitan dengan masalah penelitian dan rasionalisasi
variable-variabel tersebut.
Topik penelitian ini adalah wacana Ritual Barong Wae dalam persepektif linguistik
kebudayaan. Dalam studi ini akan dikaji bangunan estetika dalam wacana tersebut, yaitu
Paralelisme dan metafora. Aspek-aspek linguistik dan budaya yang hendak dicari di dalam
bangunan estetik itu adalah makna, nilai, imajeri budaya dan falsafah hidup masyarakat
Manggarai yang ada didalam bangunan estetik.
Penelitian ini merupakan studi lintas bidang linguistik dan bidang-bidang
ilmu-ilmu lain , antara lain kebudayaan. Cabang linguistik ini merupakan cabang linguistik
yang mengaji bahasa dan budaya masyarakat. Pada umumnya diketahui bahwa linguistik
dibagi kedalam dua cabang: linguistik mikro dan linguistik makro. Linguistik mikro
mencakup fonologi, morfologi, sintaksisi, dan semantik. Linguistik makro mencakup
psikolinguistik, sosiolinguistik, linguistik antropologi, linguistik kognitif, linguistik forensik,
sastra, linguistik matematika dan statistik, linguistik kebudayaan, dan ekolinguistik.
Penelitian ini ingin mengaji wacana ritual barong wae dengan bangunan estetik
(paralelisem semantik dan mateforanya) dan imajeri budaya masyarakat Manggarai yang
mendasari munculnya wacana ritual tersebut yang dikaji dalam persepktif teori linguistik
kebudayaan. Karena itu yang dikaji pertama adalah verbal simbol (fitur-fitur linguistik)
(band. Palmer, 1996:1). Verbal simbol tersebut menampilkan dirinya sebagai bangunan
estetik yang dipilari oleh paralelisme dan metafora. Fitur-fitur lingustik yang dikaji adalah
fitur fonologis dalam wacana ritual barong wae ungkapan paralelisme dan metafora
khususnya. Kemudian melalui fitur-fitur linguistik tersebut, imajeri budaya masyarakat
Manggarai ditemukan. Setelah ditemukan imajeri budaya masyarakat Manggarai, maka
pandang dunia atau falsafah hidup etnik Manggarai dapat ditemukan pula. Pada dasarnya hal
pokok yang dicari dalam kajian ini adalah imajeri budaya dan pandangan dunia atau falsafah
hidup masyarakat Manggarai, bukan sekedar mencari makna, fungsi dan nilai yang
terkandung dalam fitur linguistik.
Sebagai ringkasan dari apa yang sudah dijelaskan di atas dan untuk memahami lebih
jelas tentang uraian di atas, dapat disimak pada diagram berikut. Melalui penyajian diagram
ini dapat dilihat dengan jelas cakupan penelitian ini dan cakupan fitur-fitur linguistik. Laras
ritual barong wae yang dikaji bermuara pada ditemukannya imajeri budaya dan pandangan
dunia atau falsafah hidup masyarakata Manggarai.
Microling.
Linguistics
Macroling.
Cultural Ling. socioling Antro.Ling. Ecoling. Phsyco.ling
bw
Ket. Bagan : Macroling. = Macrolinguistics
Microling. = Microlinguistics
Cultural ling. = Cultural linguistics
Socioling. = Sociolinguistics
Antro.ling = Aantro linguistics
Psycho.ling .= Psycolinguistics
Ecoling. = Ecolinguistics
Ling. Tool = Linguistic Tool
Cogni.Gab = Cognitive Gab
Verbal sym. = Verbal symbol
Imagery com. = Imagery Mangaraian Community
Ritual ling.bw = Ritual Language barong wae
Ritual disco. = Ritual discourse.
Simbol :
Arah Analisis
Arah saling bergubungan
Kotak Komponen
Ekolinguistik adalah makrolinguistik yang mangaji hubungan bahasa dengan
lingkungan. Makrolingusitik ini memandang bahasa sebagai sarana penghubungan antara
penutur dalam lingkungan bahasa. Definisi ini menjadi kerangka pikir umum ekolinguistik.
Teori ini dapat dijabarkan lagi menjadi beberapa sub teori ekolinguistik, yaitu teori
keberagaman, teori interrelasi, interdependensi, dan interaksi, dan teori lingkungan.
Verbal sym. Imagery com.
Ritual lang. bw
Ritual disco. barong wae
Cultural imag.
Situational mean.
Ling.Tool
Ritual Lang.bw
Cogni.Gab