BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah...

32
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN Bab ini hendak menyajikan tiga hal pokok yang saling bertautan antara satu dengan yang lainnya. Ketiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory), dan model penelitian (model of the research) 2.1 Kajian Pustaka (related studies) Kajian pustaka merupakan hasil kajian terdahulu yang mempunyai kaitan dengan kajian bahasa ritual barong wae (BRBW). Hasil penelitian tersebut dijadikan sebagai rujukan atau sumber informasi teoretis dan informasi empiris yang digunakan oleh peneliti untuk menganalisis permasalahan-permasalahan penelitian ini. Kajian pustaka yang berkaitan dengan penelitian BRBW dapat diuraikan sebagai berikut. Kajian pertama adalah Operasi Formal Antonim dalam Bahasa Manggarai. Penelitian ini dilakukan Erom pada tahun 2011 yang mengangkat masalah relasi antonim pada kata benda dan kata keterangan arah. Relasi antonim yang terjadi pada kata benda, antara lain pada kata wina „istri‟ berantonim rona „suami‟, kata ende ‘mama‟ berantonim dengan ema bapak‟. Contoh-contoh di atas menggambarkan dengan jelas bahwa pasangan kata yang berantonim itu, menunjukkan yang lemah selalu mendahului yang kuat dan yang mudah mendahului yang tua. Dalam pasangan kata berantonim itu menggambarkan pula imajeri budaya guyub tutur BM. Dengan kata lain, pasangan kata berantonim menggambarkan dengan jelas skema berpikir guyub tutur BM, bahwa masyarakat Manggarai sangat menghormati dan menjaga kaum lemah. Laki-laki dipandang orang yang kuat dan wanita orang lemah sehingga laki-laki selalu di depan karena serangan musuh selalu datang

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

Bab ini hendak menyajikan tiga hal pokok yang saling bertautan antara satu dengan

yang lainnya. Ketiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep

(concepts), landasan teori (grand theory), dan model penelitian (model of the research)

2.1 Kajian Pustaka (related studies)

Kajian pustaka merupakan hasil kajian terdahulu yang mempunyai kaitan dengan

kajian bahasa ritual barong wae (BRBW). Hasil penelitian tersebut dijadikan sebagai rujukan

atau sumber informasi teoretis dan informasi empiris yang digunakan oleh peneliti untuk

menganalisis permasalahan-permasalahan penelitian ini. Kajian pustaka yang berkaitan

dengan penelitian BRBW dapat diuraikan sebagai berikut.

Kajian pertama adalah “Operasi Formal Antonim dalam Bahasa Manggarai”.

Penelitian ini dilakukan Erom pada tahun 2011 yang mengangkat masalah relasi antonim

pada kata benda dan kata keterangan arah. Relasi antonim yang terjadi pada kata benda,

antara lain pada kata wina „istri‟ berantonim rona „suami‟, kata ende ‘mama‟ berantonim

dengan ema ’bapak‟. Contoh-contoh di atas menggambarkan dengan jelas bahwa pasangan

kata yang berantonim itu, menunjukkan yang lemah selalu mendahului yang kuat dan yang

mudah mendahului yang tua. Dalam pasangan kata berantonim itu menggambarkan pula

imajeri budaya guyub tutur BM. Dengan kata lain, pasangan kata berantonim

menggambarkan dengan jelas skema berpikir guyub tutur BM, bahwa masyarakat Manggarai

sangat menghormati dan menjaga kaum lemah. Laki-laki dipandang orang yang kuat dan

wanita orang lemah sehingga laki-laki selalu di depan karena serangan musuh selalu datang

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

dari depan. Pada umumnya, orang Manggarai setia terhadap yang lemah. Misalnya adik dan

kakak, orang tua selalu berpesan hendaknya sang kakak harus mengalah kepada sang adik

manakala ada pertengkaran. Apabila adik dalam kesulitan sang kakak wajib membantu

menyelesaikan masalah sang adik.

Relasi antonim juga terjadi pada kata keterangan arah atau preposisi. Wa’di bawah‟

berantonim dengan eta ‘di atas‟, sina „sebelah sana‟ berantonim dengan ce’e „sebelah sini‟.

Contoh ini dengan jelas menggambarkan preposisi di bawah selalu mendahului preposisi di

atas. Hal ini juga mengambar imejeri budaya guyub tutur BM. Ini berarti orang Manggarai

memikirkan atau memandang segala sesuatu di dunia berdasarkan pengalaman yang

diperoleh melalu apa yang mereka lihat, mereka rasakan, mereka cium, mereka raba, dan

mereka dengar. Karena itulah, muncul unggkapan-ungkapan seperti telah dijelaskan di atas.

Ungkapan-ungkapan tersebut menggambarkan apa yang ada dalam pikiran dan benak

mereka. Kata eta „di atas‟ mereka memandang sebagai lambang kekuatan dan wa ‘di bawah‟

sebagai lambang kelemahan. Oleh karena atas selalu diibaratkan sebagai orang laki-laki

satria, penguasa, pelindung, sedangkan wa „di bawah‟ dianalogikan dengan orang lemah

(wanita, adik). Karena itu pula, posisi wa selalu mendahului eta.

Relevansi kajian di atas dengan kajian BRBW terletak pada teori yang digunakan

keduanya. Baik kajian BRBW maupun kajian Operasi Formal Antonim dalam BM sama-

sama merupakan objek kajian linguistik kebudayaan. Metode yang digunakan untuk

mengumpulkan data, baik penelitian BRBW maupun penelitian operasi formal antonim

dalam bahasa Manggarai adalah metode wawancara dan observasi serta studi dokumen.

Selain itu, pasangan antonomin yang menyatakan arah pada penelitian terdahulu menjadi

rujukan empiris untuk menganalisis antomin pada ujaran ritual barong wae.

Kajian kedua adalah kajian tentang “sistem leksikogramatika dalam bahasa

Manggarai (BM) yang dilakukan oleh peneliti yang sama, Erom pada tahun 2011. Kajian ini

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

merupakan telaah yang menerapakan teori linguistik kebudayaan. Ia berpendapat bahwa

leksikogramatika itu merupakan wujud imajeri budaya guyub tutur BM dalam hal

memandang masa lampau, masa sekarang, dan menatap masa depan. Maka dari itu, sistem

leksikogramatikal terkait dengan bagaimana guyub tutur BM melihat dunia di sekitarnya

berdasarkan dimensi waktu. Ia menemukan beberapa leksikon yang digunakan untuk

menggambarkan waktu lampau, sekarang, dan akan datang dalam BM yang mengekspresikan

sejumlah imajeri budaya guyub tutur BM. Lesikon BM yang menunjukkan masa lalu adalah

one „di dalam‟. Preposisi ini akan bermakna waktu lampau apabila berkolaborasi dengan kata

benda bilangan, seperti one sua „di dalam dua‟. Penggabungan preposisi dan kata bilangan

tersebut bermakna dua hari yang lalu. Waktu lampau itu dipandang oleh guyub tutur BM

sebagai sesuatu yang sedang disimpan di dalam kotak. Misalnya, suatu benda apabila

disimpan di dalam kotak itu, maka tidak bisa bergerak lagi. Itu berarti waktu lampau itu tidak

akan pernah berubah. Selain kata one, ada juga preposisi lain, yaitu olo „waktu lampau

sebelum kemarin‟. Misalnya one wulang olo „bulan lalu‟, one minggu olo’minggu lalu‟, one

ntaung olo‟tahun lalu‟.

Ia menemukan bahwa pasangan preposisi tersebut menggambarkan imajeri budaya

guyub tutur BM tentang dimensi kehidupan, yaitu dimensi lampau, kini, dan akan datang.

One sua ‘dua hari yang lalu‟, one minggu olo „minggu lalu‟, one wulang olo „bulan lalu, one

ntaung olo „tahun lalu‟ menyatakan dimensi kehidupan yang telah lewat dan tidak mungkin

peristiwa itu dapat dialami lagi. Peristiwa-peristiwa kehidupan dalam dimensi waktu ini,

secara historis, menjadi pengetahuan empiris. Pengetahuan yang berguna bagi mereka

dijadikan penuntun hidup selanjutnya dan mereka bercita-cita untuk menasehati, memotivasi,

dan meneruskan kepada anak cucu mereka, sedangkan yang tidak berguna dijadikan

perbandingan agar anak dan cucu mereka bisa memahami dan membedakan hal baik dan

buruk. leso ho’o „hari ini‟, minggu ho’o ‘minggu ini‟, wulang ho’o’bulan ini’, ntaung ho’o

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

„tahun ini‟ merupakan pasang kata keterangan waktu kekinian atau dimensi hidup kekinian

yang menyatakan peristiwa-peristiwa yang dialami saat ini dalam periode singkat, leso ho’o

„hari ini‟, periode lebih lama „minggu ho’o „minggu ini‟, dan lebih lama lagi wulang ho’o

„bulan ini‟, dan yang paling lama ntaung ho’o „tahun ini‟. Peristiwa-peristiwa yang mereka

alami pada periode kekinian ini menjadi suatu proses untuk membentuk pengetahuan baru.

Dalam proses ini orang Manggarai selalu merefleksi pada pengetahuan yang telah

diperolehnya. minggu musi minggu depan‟, wulang musi ‟bulan depan’, ntaung musi „tahun

depan‟ adalah pasangan-pasangan kata yang menerangkan waktu yang akan datang.

Kelompok kata ini merupakan rentangan waktu atau periode waktu yang membingkai

peristiwa kehidupan munusia atau masyarakat Manggarai. Namun, peristiwa-peristiwa

kehidupan manusia itu belum pasti, peristiwa apa yang akan terjadi. Mungkin hal baik atau

mungkin juga hal buruk akan terjadi pada manusia. Oleh Karena itu kehidupan manusia

penuh dengan misteri yang sulit untuk ditebak.

BRBW memiliki unsur-unsur linguistik, seperti frasa yang menyatakan dimensi waktu

kelampauan, kekinian, dan keakanan. Inilah yang menjadi alasan artikel yang berjudul sistem

lesikogramatika dalam BM, yang teraktualisasi dalam lesikon-lesikon tentang waktu. Model

analisis yang diterapkan Erom dalam artikelnya, dijadikan model analisis pula untuk

menganalisis ungkapan-ungkapan atau frasa tentang waktu dalam BRBW. Selain itu, artikel

ini dibahas berdasarkan teori linguistik kebudayaan yang berakar pada imajeri atau imajeri

budaya penuturnya.

Kajian ketiga adalah kajian yang dilakukan Erom 2010. Penelitian ini mengangkat

masalah sistem pemarkahan nomina bahasa Manggarai dan interelasi sistem penamaan entitas

pada guyub tutur BM. Penelitian ini tidak ada kaitan dengan penelitian BRBW, terutama

masalah dan sasaran kajian yang berfokus pada sistem pemarkahan nomina dan interelasi

sistem penamaan entitas pada GTM. Akan tetapi, penelitian ini menjadi referensi penelitian

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

BRBW terkait dengan pendekatan teoretis yang digunakannya, yaitu teori linguistik

kebudayaan.

Penelitian Erom juga berfokus pada hubungan antara bahasa dan kebudayaan. Karena

itu, Sistem Peramakahan nomina berinterelasi dengan Sistem Penamaan Entitas GTM

merupakan kajian linguistik kebudayaan. Hal ini tercermin dalam teori linguistik kebudayaan

yang berasumsi bahwa imajeri manusia merupakan perwujudan mental yang berawal dari

analogi konseptual pengalaman langsung dari pancaindera, yang mencakup mata, telinga,

hidung, lidah, dan kulit (Palmer, 1996). Fungsi awal imejeri untuk menggambarkan

lingkungan sekitarnya dengan sepenuhnya menggunakan bahasa. Asumsi tersebut dilengkapi

lagi dengan teori linguistik kebudayaan yang bertujuan menjelaskan masalah-masalah

hubungan antara bahasa, pikiran, dan kebudayaan.

Kajian keempat adalah penelitian yang Pampe pada tahun 2007. Penelitian ini

berjudul “Pemakaian Bahasa Manggarai dalam kegiatan keagamaan Katolik di Kabupaten

Manggarai”. Kajian ini secara teoretis tidak ada hubungan dengan kajian BRBW dalam

upacara barongwae pada guyub tutur BM. Kajian pemakaian BM dalam kegiatan keagamaan

Katolik digunakan kerangka pikir sosiolinguistik yang dilengkapi oleh landasan teori wacana

dan beberapa landasan teoretis yang lain. Berbeda dengan kajian BRBW yang menggunakan

teori linguistik kebudayaan dan dilengkapi oleh teori ekolinguistik.

Selain perbedaan landasan teoretis yang diterapkan dalam penelitian Pampe, juga

perbedaan lain yaitu kajian tersebut diletakan pada tuturan ritual dalam upacara agama

Katolik, sedangkan BRBW adalah kajian tuturan ritual pada upacara adat yang disebut

upacara barong wae. Uraian tersebut di atas menggambarkan bahwa kajian pemakaian BM

dalam upacara keagamaan Katolik yang dilakukan Pampe tidak terlalu signifikan dalam

kajian BRBW. Kajian Pampe dipakai sebagai pembanding dalam analisis masalah-masalah

BRBW, terutama analisis nilai-nilai yang terkandung di dalam BRBW.

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

Kajian kelima, dilakukan Bustan pada tahun 2005. Kajian ini mendeskripsikan

korelasi antara bahasa dan kebudayaan Manggarai dari perspektif linguistik kebudayaan.

Fokus kajiannya pada masalah bentuk, makna, dan fungsi wacana budaya tudak penti.

Namun, landasan teori linguistik kebudayaan yang berdasarkan pada imajeri manusia seperti

yang diusung Palmer (1996) dan dikembangkan Erom, (2010:17) kurang mendapat

penegasan.

Kajian Bustan tersebut jelas berkaitan dengan linguistik kebudayaan, dapat dilihat

pada beberapa hal, antara lain: judul, perumusan masalah, landasan teoretis, akan tetapi,

peneltian tersebut lebih menonjolkan aspek-aspek yang bersifat antropologis. Hal ini dapat

dilihat pada kajian pustaka, konsep dan analisis. Sebagian besar kajian pustaka bukan

merupakan penelitian yang berperspektif linguistik kebudayaan, melainkan penelitian yang

bersifat Linguisitk Antropologi (lihat Erom, 2010: 17). Ulasan tentang “Etnografi Budaya

Manggarai” memperjelas penelitian Bustan bersifat linguistik antropologi. Metode yang

digunakan dan data yang digunakan Bustan dijadikan metode dan data pembanding dalam

penelitian BRBW.

Penelitian BRBW berbeda dengan penelitian Bustan dalam beberapa hal. Pertama,

teori Linguistik kebudayan yang digunakan dalam penelitian BRBW prinsip dasar teorinya

adalah imajeri, sementara prinsip dasar teori yang digunakan dalam penelitian Bustan

mungkin pada variasi budaya. Kedua, tujuan kajian penelitian BRBW adalah mendeskripsi

bangunan estetik bahasa ritual barong wae; menelusuri imajeri budaya GTBM; makna-

makna BRBW; nilai-nilai; dan kesenjangan kognitif GT dan GM penutur BM, sedangkan

penelitian Bustan lebih fokus pada bentuk dan makna secara umum. Ketiga, model analisis

yang digunakan dalam penelitian BRBW mengacu pada tiga parameter yang diajukan

Palmer, yaitu gramatika bahasa aliran Boas, etnosemantik, dan etnografi berbicara, dan yang

terakhir adalah BRBW lebih fokus pada upacara barong wae sementara, teks tuturan dalam

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

kajian Bustan digunakan dalam upacara paki kaba’ bunuh kerbau‟. Lagi pula fokus kajian

BRBW ini adalah pada ujaran-ujaran tudak manuk „tuturan ayam‟ di tempat air minum.

Kajian keenam dilakukan Erom pada tahun 2004. Fokus kajiannya adalah menelaah

paralelisme dalam BM. Hasil penelitian Erom menunjukkan bahwa paralelisme dalam BM

dapat disejajarkan dengan metafora, bahkan juga disejajarkan dengan metonimi.

Hasil kajian Paralelisme BM tersebut juga menunjukkan bahwa paralelisme

menampilkan gaya kiasan, gaya indah, dan kesejajaran bentuk dan semantis. Penemuan yang

penting dalam kajian tersebut adalah paralelisme dalam BM mencakup tiga aspek Linguistik,

yaitu aspek fonologi, aspek gramatika, aspek leksikosemantika. Aspek fonologi meliputi tiga

unsur, yaitu asonansi, aliterasi, dan rima. Aspek gramatik mencakup kelas kata, modus,

jumlah dan seperangkat diad metafor. Aspek leksikosemantik mencakup seperangkat diad

seperti sinonim, antitesis, dan sintesis.

Namun, Erom tidak membicarakan imajeri budaya yang terkandung dalam ketiga

aspek linguistik tersebut yang merupakan dasar teori linguistik kebudayaan yang digunakan

dalam studi ini. Dianjurkan studi ini lebih baik dianalisis dalam terang teori linguistik

kebudayaan karena permainan-permainan simbol verbal atau ungkapan-ungkapan dalam

paralelisme BM pasti berakar pada imajeri budaya. Kajian Erom tersebut sangat berkaitan

dengan kajian BRBW berdasarkan beberapa hal, antara lain konsep teoretis yang digunakan

sebagai landasan analisis masalah-masalah penelitian dari kedua kajian itu adalah linguistik

kebudayaan. Sasaran kaji kedua penelitian itu adalah bentuk dan makna bahasa yang

digunakan dalam konteks budaya. Metode penelitian yang digunakan dalam pengumpulan

data adalah metode kualitatif dengan teknik wawancara dan observasi langsung di lapangan.

Kajian ketujuh adalah penelitian Basso (1990). Penelitian ini dirancang untuk

menginvestigasi metafora struktural dalam bahasa Apache. Bahasa ini adalah bahasa asli

(native language) penduduk yang mendiami wilayah Apache Barat, Arizona Timur Tengah.

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

Fokus kajiannya adalah pada „penanmaan bagian kendaraan bermotor dalam bahasa Apache

(yang selanjut disebut BA). Penutur BA bagian Barat biasa memetaforakan bagian tubuh

manusia dan binatang dengan tubuh (body) kendaraan bermotor, seperti mobil dan mobil Pick

up. Penelitian menunjukkan bahwa metofora struktural dalam BA memiliki skenario sebagai

berikut. Kap mobil dikiaskan dengan bichih ‟hidung‟, lampu muka mobil disamakan dengan

bidáá „mata‟. Kaca depan diibaratkan dengan bita „dahi‟. Ban depan mobil diassosiasikan

dengan bagian „tangan dan bahu‟. Ban belakang dan ban dalam mobil dibandingkan dengan

bikee ‘kaki‟.

Rupanya, peta pengetahuan (pengalaman) penutur BA pertama kali melihat bahwa

konstruksi tubuh (body) kendaraan bermotor sama seperti anatomi tubuh manusia terdiri dari

mata, dahi, hidung, tangan dan bahu serta kaki. Karena itu, dalam pemakaiannya sering

mereka menggunakan metafora untuk mengekspresikan maksud, tujuan berkomunikasi, dan

memaknai sesuatu dari apa yang mereka lihat, rasa, cium, kecap. Konsep metafora struktural

tersebut seperti yang dikemukakan oleh Palmer (1996: 224-225) mengatakan bahwa

kendaraan bermotor dipandang sebagai benda yang bernyawa atau benda hidup. Dengan kata

lain, kendaraaan bermotor itu seolah-olah bagaikan makluk hidup seperti manusia dan

binatang. Peta pengetahuan (pengalaman) atau cara melihat dunia sekitar semacam itu

menjadi dasar untuk membandingkan bagian-bagian (bangunan) tubuh makluk hidup dan

bagian tubuh (body) kendaraan bermotor.

Dalam metafora jenis ini benda yang kita sebut (kendaraan bermotor) dan bagian-

bagian intinya disebut ranah target. Sementara, benda yang kita bicarakan adalah makluk

hidup dengan bagian-bagian inti tubuhnya dan hubungan (topologi kognitif) merupakan ranah

sumber. Peta pengetahuan (pengalaman) atau skema pengetahuan yang tersirat dalam

metafora struktural sebagai beriktut ini.

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

Target: bagian-bagian inti kendaraan bermotor meliputi kap, lampu muka mobil, kaca

depan mobil, ban depan, ban belakang, dan ban dalam

Sumber: bagian-bagian inti tubuh makluk hidup: hidung, mata, dahi, tangan dan bahu,

dan kaki. Relasi Struktural: Kap//hidung, lampu muka mobil // mata, kaca depan //

dahi, ban depan // tangan dan bahu, ban belakang dan ban dalam // kaki.

Penelitian ini memiliki keunggulan, yaitu secara ontologis objek kajian Basso terletak

pada bentuk bahasa yang dipakai dalam konteks tertentu, seperti konteks budaya dan sosial.

Secara epistemologis, metode yang digunakan Basso untuk mencari kebenaran yang

berdasarkan fakta lingual kultural adalah metode kualitatif dengan teknik wawancara dan

observasi serta metode simak terhadap apa yang disampaikan dan dilakukan informan di

lapangan. Hal menarik lainnya adalah kelugasan Basso menganalis metafora dalam bahasa

Apache. Beberapa keunggulan penelitian Baso tersebut di atas sungguh relevan dengan

penelitian bahasa ritual, khusus terkait dengan dengan analisis metafora yang merupakan

salah satu bangunan estetis dalam BRBW.

Kajian kedelapan adalah Penelitian Matsuki 1989. Kajian Matsuki pada tahun 1989

mengenai metafora struktural dalam bahasa Jepang (yang selanjutnya disebut BJ). Kajian ini

lebih fokus pada metafora kemarahan. Seperti apa yang dikutip Palmer (1996:227-229). Ia

menjelaskan bahwa dalam BJ terdapat tiga wilayah kemarahan dalam tubuh manusia. Ketiga

wilayah itu menggambarkan skema kemarahan. Dalam peta pikiran atau pengetahuan

(pengalaman) orang Jepang, wilayah-wilayah tersebut merupakan tempat kemarahan. Mereka

memahami bahwa kemarahan itu bertingkat-tingkat. Tempat pertama (tingkat pertama)

disebut Hara „Perut‟. Kemarahan manusia berawal dari perut. Menurut Matsuki, tempat

pertama kemarahan, bukan hanya perut, melainkan juga bisa pusat, kandungan atau rahim,

jantung, hati, bisa juga termasuk keinginan atau kehendak. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa

tempat itu untuk menyimpan emosi. Ketika marah meningkat orang mengatakan: Hara

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

bangkit atau naik, emosi itu dalam hara. Tempat yang kedua adalah Mune „dada‟. Ketika

emosi tidak bisa dikontrol atau tidak bisa tahan lama di Hara. Emosi diibaratkan dengan air

panas yang sedang mendidih dan masuk ke dalam dada atau Mune. Pada tingkat akan

mengukapkan pernyataan seperti ini: I feel strangled with Mune beacause of the rise of Hara.

Tempat yang ke tiga adalah atama „kepala‟. Ketika seseorang tidak mampu mengendalikan

emosinya, kemarahan masuk ke wilayah puncak, di kepala. Apabila sampai di kepala,

keluarlah ungkapan it come to atama. Dari tempat ini keluarlah ungkapan yang kotor

misalnya, anjing kau!, babi kau!, monyet kau!. Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan

wujud kemarahan seseorang.

Penutur BJ memetaforakan bagian tubuh manusia dengan kualitas kemarahan (sifat

manusia) atau bagian dari jiwa manusia. Dan kemarahan itu diibarat cairan panas. Penelitian

menunjukkan peta metofora struktural dalam BJ memiliki skenario sebagai berikut. Hara’

perut‟ dikiaskan sebagai tempat bersemayamnya emosi atau marah. Selain itu, bisa juga

pusaran, jantung, hati, dan maksud sebagai tempat emosi. Kalau amarah itu tidak bisa

dikontrol terlalu lama, maka akan naik ke Mune „dada‟. Kondisi itu diasosiasikan dengan

tempat emosi naik. Atama diasosiasikan dengan tempat emosi mendidih. Artinya, emosi tidak

bisa dikontrol lagi. Atama ini merupakan puncak emosi sampai seseorang mengeluarkan

pernyataan-pernyataan yang sangat kasar, umpatan-umpatan, dan caci-maki.

Rupanya, peta pengetahuan (pengalaman) penutur BJ pertama kali melihat dan

merenung bahwa konstruksi tubuh manusia perut-dada-kepala sama seperti konstruksi emosi

jiwa manusia, khususnya sifat marah. Karena itu dalam komunikasi sesama penutur

seringkali menggunakan metafora untuk mengekspresikan struktur emosi kemarahan.

Kemarahan merupakan ekspresi keadaan jiwa jiwa pentur BJ membandingkan dengan

struktur tubuhnya yaitu perut-dada-kepala.

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

Matsuki berfokus pada metafora struktural yang menjadi objek kajiannya. Sasaran

kajian ini juga merupakan bagian dari bangunan estetik bahasa ritual. Dalam persepketif

Linguistik kebudayaan, bentuk atau bangunan estetik, makna fungsi, dan nilai bahasa yang

digunakan dalam konteks tertentu, misalnya konteks soisal dan budaya dijadikan objek

kajiaannya. Jika dilihat dari sisi paradigma ontologis, kajian Matsuki dapat dipastikan

kerangka teoretis linguistik kebudayaan adalah landasan teoretis yang dipakainya sebagai

dasar untuk menganalisis masalah metafora strutural dalam bahasa Jepang.

Secara epistemologis, cara yang digunakan Matsuki untuk mencari kebenaran

metafora struktural dalam bahasa Jepang adalah dengan menggunakan metode kualitatif yang

dibantu dengan teknik wawancara dan observasi partisipatif di lapangan. Ketepatan metode

penelitian yang digunakan, dapat menentukan bahwa dalam bahasa Jepang terdapat metafora

struktural. Landasan teori dan metode penelitian yang digunakan Matsuki dijadikan dasar

teoretis dan metode penelitian bahasa ritual barong wae.

Kajian kesembilan adalah kajian yang dilakukan Kovecses pada tahun 1987. Kajian

ini dilakukan Kovecses pada 1987 di Inggris. Ia melakukan penelaahan tentang metafora

ontologis kemarahan dalam bahasa Ingggris (BI). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

Kemarahan (anger) diibaratkan sebagai zat cair dalam sebuah wadah. Zat cair itu bersifat

panas apabila terkena panas. Misalnya, terkena sinar matahari atau apabila dimasak dalam

dalam sebuah periuk. Berikut ini ditampilkan contoh metafora ontologis dalam BI.

You make me blood boil

Engkau buat saya darah mendidih

Tutur katamu membuat saya marah

Kata blood „darah‟ pada makluk hidup manusia dan binatang adalah zat yang

dibutuhkannya. Jadi tanpa darah manusia tidak bisa hidup. Darah, berkaitan dengan metafora

ontologis, diasosiasikan dengan amarah, sedangkan boil „mendidih‟ dianalogikan dengan

tindakan atau aksi yang menimbulkan sesuatu terjadi. Verba mendidih dianalogikan dengan

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

tindakan yang menimbulkan amarah. Verba tersebut menggambarkan sifat khas dari zat cair

yakni darah. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa metafora ontologis adalah

gaya bahasa yang membandingkan sifat khas suatu benda dengan sifat khas makluk hidup

yakni manusia.

Metafora ontologis, pada prinsipnya adalah membandingkan suatu benda dengan

benda yang lain karena kesamaan. Metafora ontologis membandingkan dua benda yang

memiliki sifat khas yang sama. Pada prinsipnya, metafora adalah sebuah skema atau skenario

terjadinya suatu peristiwa. BI dijelaskan demikian:The fluid anger rises; anger produces

steam and pressure on the container. Kemarahan itu mendidih, kemudian menghasilkan uap,

lalu uap itu menekan tutupan wadah sehingga keluarlah percikan air panas yang dapat

membahayakan sesuatu yang berada dekat wadah. Skenario semacam ini mengeluarkan

ungkapan-ungkapan sebagai berikut.

1. She got all steam up „Ia melampiaskan semua kemarahannya‟

2. She blew up at me’Ia melampiaskan kemarahannya pada saya‟

3. His anger finally came out.’Bersyukurlah kemarahannya telah keluar‟.

Di samping metafora memiliki skenario atau skema, juga memiliki dua ranah, yaitu

ranah sumber dan ranah target. Ranah sumber adalah cairan dalam wadah sedangkan ranah

target adalah kemarahan itu sendiri. Metafora menciptakan relasi atau hubungan entitas dari

kedua ranah tersebut. Kovecses (1987:56-57) menyatakan bahwa hubungan atau relasi itu

adalah korespondensi ontologis. Palmer (1996:230) merumuskan korespondensi ontologis

sebagai berikut:

Sumber : Zat cair panas dalam wadah

Target : Kemarahan

Relasi ontologis: Wadah berkorespondensi dengan tubuh, zat cair panas

berkorespondensi dengan kemarahan. Dalam skenario metafora ontologis, sumber penyebab

atau tempat bermula analogi, dan target merupakan tujuan atau sasaran analogi. Jadi Relasi

ontologis merupakan sebuah hubungan antara dua benda yang dianalogikan atau

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

dibandingkan berdasarkan atas kesamaan sifat dari masing-masing benda tersebut. Kajian ini

digunakan sebagai rujukan untuk mendeskripsikan BRBW dalam BM dengan alasan bahwa

kajian metefora ontologis dijadikan kerangka teoretis untuk menjelaskan masalah bangunan

estetis bahasa ritual barong wae dalam BM. Dalam hal ini, salah satu bangunan estetis dari

BRBW dalam adalah metafora.

Kajian kesepuluh adalah kajian yang dilakukan Verheijen pada tahun 70-an.

Penelitian ini berjudul “Plants Names in Austronesian Linguistics” menjelaskan sistem

penamaan tanaman dalam bahasa Manggarai. Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk

menjelaskan fenomena linguistik yang dapat ditemukan dalam nama-nama tanaman dalam

BM, Veheijen (1984: x). Temuan-temuan Verheijen menunjukkan bahwa sistem penamaan

tanaman-tanaman dalam bahasa Manggarai berdasarkan beberapa hal, yaitu (1) berdasarkan

sejarah seperti kata majemuk: saung jepang atau saung nipon „daun jepang‟; (2) nama-nama

pinjaman dari bahasa lainnya seperti nama rumput dalam bahasa Manggarai renggong, bolel,

bulel, mbulel dalam bahasa Ende disebut kinggo (Nuabosi-Ende), wunu, mbaka (Rewo-Reke-

Ende); (3) nama-nama Aetiologi (benih yang jatuh dari pesawat) misalnya rewut kepal

(Manggarai Barat) „rumput liar dari pesawat‟; (4) nama-nama deskriptif misalnya kata boje;

rumput yang daun tebal di Todo disebut bece „gemuk‟. Jikalau dicermati sistem penamaan

tanaman BM, bentuk bahasa yang ditampilkan merupakan wujud pikiran GTBM. Kerangka

teori yang digunakan dalam hal ini adalah teori linguistik kebudayaan.

Kerangka kerja penelitian Verheijen untuk mengumpulkan data leksikon-leksikon

tentang flora dan fauna di provinsi NTT, khususnya di kabupaten Manggarai. Verheijen

menunjukkan bahwa untuk mendapatkan data lekson-leksikon nama binatang dan tumbuh-

tumbuha di Manggarai digunakannya metode pengamatan, wawancara, dan studi pustaka.

Informasi tentang metode pengumpulan data itu dijadikan rujukan yang digunakan peneliti

laras ritual barong wae untuk mengumpulkan data penelitian.

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

2.2 Konsep-Konsep (concepts)

Bab ini menjelaskan beberapa konsep penting berkaitan dengan Disertasi. Konsep-

konsep itu adalah bahasa ritual barong wae, dinamika guyub tutur BM, bangunan estetik

BRBW, paralelisme, metafora, makna sosial dan makna budaya, nilai sosial dan nilai budaya,

imajeri, pandangan dunia, dan kesenjangan kognitif.

2.2.1 Bahasa Ritual BarongWae

Bahasa ritual barong wae (BRBW) merupakan salah ragam ritual dalam BM. Laras

ritual ini digunakan sebagai sarana komunikasi dalam kegiatan ritual pada guyub tutur bahasa

Manggarai, yaitu kegiatan ritual barong wae. (Pit Janggur, 2012)

2.2.2 Dinamika Guyub Tutur BM.

Istilah dinamika adalah tenaga yang mengerakan, semangat, dan gerak dari dalam

sedangkang kata “guyub” berarti baik hati (KBI: 227). Di samping itu, kata tutur berarti

bicara (speech). Istilah guyub tutur (speech community) adalah masyarakat atau sekelompok

orang yang secara sadar menggunakan atau berbicara bahasa yang sama. Secara garis besar,

Bloomfield (1933: 42) mengatakan bahwa guyub tutur adalah sekolompok orang yang

berinteraksi dengan bertutur. Definisi ini diperjelas oleh Hymes.Dia menyebutkan bahwa

guyub tutur adalah suatu komunitas yang memiliki pengetahuan yang sama dalam hal

bertutur dan pengetahuan yang sama pula dalam hal menginterpretasi tuturan (Erom, 2010:

40; Hymes, 1974:51).

Berdasarkan uraian di atas, istilah dinamika guyub tutur adalah semangat yang

dimiliki oleh suatu komunitas bahasa yang berpengetahuan sama dalam bertutur dan

pengetahuan yang sama pula dalam menginterpretasi apa yang dituturkan. Merujuk pada

definisi itu, dinamika guyub tutur bahasa Manggarai adalah semangat yang dimiliki penutur

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

bahasa Manggarai untuk memahami dan menginterpretasi apa yang dituturkannya atau

dibicarakan dalam interaksi sosial dan budaya.

2.2.3 Bangunan Estetik BRBW

Bangunan estetik bahasa adalah simbol verbal yang hadir dalam setiap aktivitas

masyarakat penuturnya dengan gaya yang indah dan kias. Secara pragmatis, simbol verbal itu

digunakan sebagai sarana komunikasi dalam interaksi sosial-budaya penuturnya

(band.Palmer, 1996:3). Berdasarkan definisi itu, bangunan estetik BRBW adalah simbol

verbal yang digunakan sebagai sarana komunikasi verbal dalam berinteraksi dengan wujud

tertinggi dan leluhur guyub tutur BM dengan gaya indah dan kias.

2.2.4 Paralelisme

Paralelisme merupakan salah satu figurasi bahasa yang memiliki unsur estetik. Hal ini

dipertegas oleh Kridalaksana (1993: 154) bahwa paralelisme itu adalah pemakaian berulang-

ulang ujaran yang sama dalam bentuk bunyi, tatabahasa, makna, atau gabungan dari

kesemuannya. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa paralelisme itu merupakan ciri khas bahasa

puisi.

Di samping itu, Jakobson (1990: 358) dalam Foley (1997:166) mengatakan bahwa

paralelisme adalah fungsi puitis yang memproyeksi prinsip kesejajaran bentuk inti yang

terseleksi untuk menjadi anggota dalam gabungan. Selanjutnya, Foley menjelaskan bahwa

jenis-jenis pilihan yang merupakan struktur sistem linguistik pada level yang berbeda, seperti

level fonologi misalnya fonem /p/ versus /b/ = / pέt/ versus /bέt/, level gramatikal misalnya (a

quicker runner versus one who runs more quickly), dan pada level leksioksemantik misalnya

big versus little, little versus tiny, state versus government.

2.2.5 Metafora

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

Metafora adalah pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain

berdasarkan kias atau persamaan. Misalnya kaki gunung, kaki meja berdasarkan kias pada

kaki manusia (Kridalaksana, 1993:136). Selanjutnya ia mengatakan bahwa istilah metafora

adalah pemakaian kata atau bentuk lain yang mengacu pada objek konkret untuk konsep

abstrak, misalnya namanya harum dibandingkan dengan bunga itu harum, sambutan yang

dingin. Jadi, konsep metafora mengandung gagasan dasar, yaitu memperluas makna dengan

nalogi atau perbandingan dua objek tanpa mempedulikan makna literal. Dengan kata lain,

metafora adalah penggunaan sebuah kata atau kelompok kata (frasa) untuk menyatakan

sesuatu yang berbeda dari makna harafiah (McGinley, 1997315).

2.2.6 Makna sosial dan Makna budaya

Makna sosial adalah makna yang diciptakan oleh sekolompok masyarakat bahasa

sebagai pendukungnnya. Makna sosial dalam ujaran-ujaran ritual barong wae adalah makna

yang dibuat berdasarkan kesepakatan kelompok tutur bahasa Manggarai. Makna-makna

ujaran itu berdasarkan konteks sosial. Makna budaya adalah makna yang diciptakan

berdasarkan konteks budaya masyarakat pendunkungnya (Palmer, 1996: 26)

2.2.7 Nilai Sosial dan nilai budaya

Nilai sosial merupakan sesuatu yang mewarnai dan menjiwai tindakan sekelompok

masyarakat. Dalam perspektif Linguistik, nilai sosial adalah posisi lambang bahasa dalam

sistem semantik suatu bahasa yang berkaitan dengan aktivitas sosial guyub tuturnya (band.

F.de Saussure, dalam Kridalaksana, 1993:145). Nilai budaya adalah sesuatu yang

mengambarkan suasana jiwa atau yang tercermin dalam bahasa yang digunakan untuk

melukiskan peristiwa budaya guyub tuturnya.

2.2.8 Tataran Linguistik

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

Tataran linguistik meliputi fitur fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Palmer

menjelaskan bahwa tataran atau fitur linguistik itu merupakan ekspresi imajeri (Palmer, 1996)

2.2.9 Kesenjangan Kognitif

Konsep kesenjangan kognitif adalah perbedaan pemahaman antara generasi tua (GT)

dan generasi muda (GM) dalam memaknai ujaran-ujaran dalam wacana ritual. Kesenjangan

itu disebabkan oleh karena tidak terjalinnya interelasi dan interdependensi antara generasi

muda dengan bahasa ritual dan kealpaan generasi tua untuk mentransmisi pengetahuan

bahasa ritual itu kepada generasi muda dengan baik (Mbete, 2012).

2.2.10 Imajeri

Imajeri adalah gambaran atau perwujudan mental seseorang tentang sesuatu atau

seseorang yang diekspresikan melalui bahasa. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa

imajeri berada di otak manusia, bukan pada gramatika bahasa. Oleh karena itu, bahasa adalah

permainan simbol verbal yang berdasarkan imajeri penuturnya ( Palmer, 1996: 3)

2.2.11 Pandangan Dunia

Pandangan dunia memberikan model dasar dimana bahasa dunia terpolakan (Palmer

1996:9; Erom, 2010:41). Pendapat ini seiring dengan apa yang diungkapkan Mathiot (Palmer,

1996:15) menyatakan bahwa bidang semantik bahasa merupakan aspek pandangan dunia

yang dikaitkan secara nyata hanya melalui perilaku linguistik sedangkan bidang kognitif

bahasa merupakan aspek pandangan dunia yang bisa dinyatakan pada media lain. Pernyataan

tersebut mengisyaratkan bahwa pandangan dunia dari sekelompok masyarakat tutur dapat

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

dipahami hanya melalui bahasa. Bahasa itu dihasilkan oleh pikiran manusia. Jadi, pandangan

dunia adalah hasil pikiran manusia yang terwujud dalam bahasa.

2.2.14 Linguistik Kebudayaan

Linguistik Kebudayaan adalah salah satu cabang linguistik yang mengkaji korelasi

antara bahasa, pikiran, dan kebudayaan. Di sisi lain, linguistik kebudayaan merupakan

cabang linguistik yang bersifat interdisipliner. Artinya ilmu linguistik yang membuka dirinya

untuk bergandengan dengan disiplin ilmu lain, yang dalam hal ini ilmu budaya. Palmer

(1996:10) menjelaskan bahwa linguistik kebudayaan berawal dari perpaduan dari tiga tradisi

linguistik yaitu lingustik aliran Boas, etnosemantik, dan etnografi berbicara. Ketiga tradisi

pendekatan linguistik itu melahirkan Linguistik Kebudayaan(cultural linguistics).

Linguistik kebudayaan memandang bahasa sebagai permainan simbol verbal yang

berdasarkan pada imajeri penuturnya (Language is the play of verbal simbol that based on the

imagery of its speaker) (band. Palmer, 1996:3). Karena itu, Linguistik Kebudayaan lebih

berkonsentrasi pada imajeri penutur. Oleh sebab itu, Palmer berpendapat bahwa imajeri

penutur yang berperan sebagai dasar terciptanya bahasa dan sebagai dasar kreativitas penutur

untuk menghadirkannya dalam sendi kehidupan penuturnya.

2.3 Landasan Teori

Konsep-konsep yang telah diutarakan terdahulu menjadi landasan pijak untuk

menentukan teori yang cocok sebagai pedoman dalam rangka menganalisis masalah-masalah

penelitian BRBW. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilandasi dua teori, yakni teori

linguistik kebudayaan dan teori ekolinguistik. Kedua teori ini memiliki peran yang berbeda,

namun keduanya menjelaskan bahasa ritual barong wae sebagai objek penelitian disertasi ini.

seperti yang dipaparkan berikut ini.

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

2.3.1 Linguistik kebudayaan

Linguistik kebudayaan merupakan salah satu cabang linguistik yang secara khusus

mengkaji hubungan bahasa dan budaya. Oleh karena itu, cabang linguistik ini disebut

sebagai sebuah disiplin ilmu linguistik yang bersifat interdisipilner. Dalam perspektif itu,

linguistik kebudayaan tidak memiliki pendekatan teoretis monolitik, tetapi pendekatan yang

bersifat pluralistik.

2.3.1.1 Perkembangan linguistik kebudayaan

Istilah linguistik kebudayaan pada mulanya dipopulerkan oleh Sutan Takdir

Alishabana tahun 1977 (band. Mbete, 2004:18). Fokus kajiannya pada hubungan bahasa,

pikiran, dan kebudayaan. Kemudian, Suharno pada tahun 1982 menyebutnya linguistik

kultural dengan fokus perhatiannya: Peran Manusia dalam Telaah Bahasa. Istilah ini hampir

sama dengan apa yang dipromosikan Palmer (1996) dengan sebutan cultural linguistics. Dari

segi namanya, bidang kajian ini bersifat interdisipliner, sebuah cabang linguistik yang

mengkaji bahasa dan budaya. Pakar linguistik Indonesia Kridalaksana mengatakan bahwa

kajian interdisipliner merupakan bidang kajian makrolinguistik (band. Mbete, 2004:19;

Kridalaksana, 1988; Bright, 1995).

Linguistik kebudayaan sebagai makrolinguistik, tentunya berdampingan dengan

linguistik antropologi yang diajukan oleh Foley (1997) yang lebih menekankan aspek bahasa

dan istilah antropologi linguistik yang dikembangkan oleh Duranti (1997) dengan

penekanannya pada aspek antropologis. Linguistik kebudayaan yang dikembangkan Palmer

dengan menekankan bahasa sebagai salah satu unsur budaya.

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

2.3.1.2 linguistik kebudayaan sebagai ilmu

Dalam perespektif linguistik kebudayaan, bahasa adalah permainan simbol

verbal yang berdasarkan imajeri penutur (band.Palmer, 1996:3).

“Language is the play of verbal simbols that are based on imagery. Imagery is what we see in

our mind’s eye, but it is also the taste of mango, the feel of walking in tropical downpour, the

music of Mississipi Masalala. Our imaginations dwell on experiences obtained through all

sensory modes, and then we talk”

Pernyataan teoretis tersebut di atas, dipandang sebagai teori umum linguistik

kebudayaan. Berdasarkan teori ini muncul teori wacana, teori simbol verbal, teori makna dan

nilai, teori imajeri dan pandangan dunia guyub tutur.

Wacana adalah skenario interpretasi prakonsepsi yang ditentukan oleh pendengar dan

pembaca. Skenario terletak dalam model situasi yang merupakan representasi konteks sosial

dan budaya yang inklusif. Misalnya diskusi kelas, jadwal perkuliahan, tingkah laku

nonverbal, percakapan adat, berbicara halus dan kasar (band.Schiffrin, 1987: 28; Palmer,

1996: 171-172). Model situasi merupakan organisasi dan pengelolaan pengetahuan dan meta

pengetahuan serta apa yang diketahui oleh penutur dan pendengar. Teori yang dikemukakan

di atas, dijadikan sebagai landasan teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalah

wacana yang dibahas pada bab 4, yaitu hakikat bahasa ritual barong wae.

Teori simbol verbal adalah tanda linguistik yang manyatu dengan konsep dan imaji

bunyi, bukan berkaitan dengan benda atau hal-hal yang konkret. Konsep dan imaji bunyi

yang dimaksud adalah tanda psikologis dan bunyi, kesan yang diperoleh melalui panca indra

rasa penutur bahasa. Tanda merupakan inti teori simbol yang dikemukakan Saussure.

Dikatakan demikian, karena ia memosisikan bahasa dalam pikiran atau otak penuturnya,

yakni imaji pendengaran berhubungan dengan konsep (Palmer, 1996:4). Konsep dan imaji

bunyi tidak bisa dipasahkan dan saling mendukung. Teori simbol verbal ini diaplikasikan

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

dalam rangka menjelaskan masalah bangunan estetik bahasa ritual yang meliputi paralelisme

dan metafora. (lihat bab 5).

Dalam perspektif linguistik kebudayaan makna dan nilai yang terkandung dalam

bahasa yang digunakan dalam peristiwa tutur muncul dalam wacana itu sendiri. Hal ini

berarti peserta menginterpretasikan tampilan tuturan satu sama yang lain. Pembicara

menunturkan dan pendengar menafsirkan apa yang dituturkan. Jelas, bahwa makna dan nilai

menyatu dengan peristiwa tutur, bukan seluruhnya terkandung dalam kata dan tata bahasa

yang konvensional (band. Palmer, 1996: 37; Clifford, 1986;Sherzer, 1987; Brody, 1991).

Selanjutnya, Palmer mejelaskan bahwa pendengar bertugas untuk memformulasikan situasi

tutur dan menafsirkan makna menurut konsep dan imaji bunyinya sendri. Dalam konteks ini,

bahasa mengekspresikan pikiran atau kognisi pendengar dalam interkasi yang sedang

berlansung. Jadi, makna dan nilai konvensional yang terkandung dalam bahasa, tidak hanya

makna dan nilai yang sudah secara konvensional terdapat dalam kata dan tatabahasa untuk

mencakup peristiwa dan pengalaman, tetapi kemampuan kognitif atau kemampuan pikiran

yang kreatif penutur untuk mengkonstruksi makna dalam wacana. Kerangka konseptual

tentang makna dan nilai linguistik kebudayaaan tersebut dijadikan acuan untuk menjelaskan

masalah makna dan nila yang terkandung di dalam bahasa ritual. (lihat bab 6 - 7).

Teori imajeri dan pandangan dunia. Imajeri merupakan perwujudan metal yang

berawal dari sebuah analogi konseptual pengalaman langsung dari organ panca indra bagian

luar tubuh, selain panca indra pikiran. Hal itu menunjukkan bahwa sebagian besar imaji

adalah analogi konseptual pengalaman di luar tubuh. Oleh karena itu, konsep pengalaman itu

berhubungan langsung dengan lingkungan penutur bahasa yang ditafsir secara luas, meliputi

masyarakat, fenomena alam, badan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, lingkungan penutur

adalah relitas atau dunia di luar tubuh manusia (Palmer, 1996: 47). Konsep imajeri tersebut

menjadi dasar teori untuk menjelaskan permasalahan imajeri bahasa ritual barong wae.

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

Di samping itu, dalam perspektif linguistik kebudayaan pandangan dunia adalah

hasil pikiran manusia yang dikemas dalam bahasa tentang apa saja yang berada di

lingkungannya (band. Ridington,1191:249; Palmer,1996:113). Pernyataan ini

menggambarkan bahwa bahasa yang digunakan dalam peristiwa tutur dipengaruhi oleh

pandangan dunia. Selaian itu, dari sudut pandangan antropologi, pandangan tentang dunia

berkaitan dengan pikiran masyarakat, baik secara individu maupum kelompok. Oleh karena

itu pandangan dunia mencakup filsafat alam, tema eksistensi fundamental dan tema normatif,

nilai-nilai, emosi dan etika. Menurut Lakoff dan Johnson (1980) bahwa pikiran metaforis dan

metonimi juga merupakan bagian pandangan dunia. Berdasarkan pendapat pakar antropologi

di atas, Palmer berpendapat bahwa nilai-nilai moral atau kepercayaan dan konfigurasi budaya

juga termasuk pandangan dunia (Palmer, 1996: 113-114).

Berdasarkan uraian di atas, pandangan dunia meliputi semua aspek kehidupan

manusia (penutur). Palmer menyimpulkan bahwa pandangan dunia juga meliputi imajeri

makna bahasa. Oleh karena itu, pandangan dunia merupakan faktor penting terhadap tata

bahasa atau gramatika. Jadi, studi gramatika dapat dianggap sebagai studi pandangan dunia

yang terbatas pada simbol-simbol linguistik. Misalnya studi yang dilakukan Keesing (1979)

yang menunjukkan bahwa makna nilai rasa nonfisik yang terdapat dalam kata-kata Kwaio di

pulau Malaita di kepulauan Salomon, sangat bergantung pada pengetahuan tentang perbedaan

kebudayaan. Teori pandangan dunia yang dipaparkan di atas dijadikan sebagai acuan teoretis

untuk menjelaskan masalah pandangan dunia guyub tutur bahasa Manggarai yang terkandung

di dalam bahasa ritual barong wae.

2.3.1.3 Prinsip Dasar Teori Linguistik Kebudayaan

Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa ciri umum teori linguistik kebudayaan

adalah bahasa merupakan permainan simbol verbal berdasarkan imajeri. Berdasarkan

pernyataan itu, simbol verbal adalah adalah fitur-fitur linguistik, seperti: fonologi, morfologi,

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

sintaksis, semantik, dan bahkan wacana. Teori linguistik kebudayaan berprinsip bahwa

masing-masing fitur linguistik itu berlandaskan pada imajeri. Jadi teori linguistik kebudayaan

memosisikan imajeri dalam setiap perwujudan sistem bahasa. Dengan kata lain imajeri itu

berada pada setiap fitur-fitur linguistik, anatara lain fitur fonologi.

2.3.1.4 Mekanisme Kerja Teori Linguistik Kebudayaan

Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa linguistik kebudayaan digunakan untuk

menjelaskan hubungan bahasa dan budaya. Fokus kajiannya terletak pada pengetahuan rakyat

dan kepercayaan masyarakat tutur bahasa dalam hal ini masyarakat tutur BM. Cara kerja

linguistik kognitif menjadi dasar untuk memahami, mencarai makna dan nilai, imajeri dan

pandangan dunia serta pengetahuan dan kepercayaan masyarakat yang dikemas dalam

bahasa ritual, khususnya bahasa ritual barong wae (Palmer,1996:36).

Imajeri adalah ekspresi mental yang berawal dari analogi konseptual pengalaman

langsung dari alat pancaindra manusia, seperti mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit

(Palmer,1996:46). Penggambaran lingkungan diekspresikan sepenuhnya oleh bahasa yang

didasari oleh imajeri. Hal ini sejalan dengan Eggins (2004: 11) yang menegaskan bahwa

manusia berinteraksi untuk menciptakan makna atau memaknai dunia dan sesama.

Pengalaman manusia tentang dunia, termasuk tentang alam dan budaya di sekitarnya

direkam oleh otaknya (Palmer 1996: 47). Dalam hal ini otak memegang peranan penting

karena otak berfungsi untuk mengidentifikasi semua yang dialami oleh pancaindra manusia.

Dilihat oleh mata, dicium oleh hidung, didengar oleh telinga, dikecap oleh lidah, dan

dirasakan dan diraba oleh kulit. Semuanya direkam dalam otak.

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

Imajeri memengaruhi konstruksi gramatikal bahasa (Palmer, 1996:5). Konsruksi

gramatikal merupakan salah satu dari konstruksi bahasa yang begitu banyak. Oleh sebab itu,

imajeri juga memengaruhi atau mendasari sistem kebahasaan yang lain seperti sistem

fonologi, sistem morfologi, sistem sintaksis, sistem wacana, sistem narasi, dan termasuk

sistem metafora, sitem paralelisme, dan sistem bahasa puitis. Palmer juga menegaskan bahwa

tema imajeri dalam bahasa itu menjadi dasar untuk mengkaji topik-topik linguistik yang lebih

luas, seperti, kiasan, semantik kata, konstruksi gramatikal wacana, tuturan ritual, dan

termasuk fonologi suprasegmental tekanan dan nada tutur permohonan dalam tuturan ritual.

Selain itu Palmer juga mengatakan bahwa linguistik kebudayaan mengkaji struktur leksikal,

isi cerita, struktur fonem, intonasi dalam lagu-lagu, untuk orang mati (Fed,1990), agen dan

pasien dalam tatabahasa kasus, serta peran peserta dalam wacana tradisional (band. Sherzer,

1983). Untuk memahami semua aspek-aspek kajian linguistik kebudayaan diperlukan suatu

kemampuan interpretasi peneliti.

BRBW dalam BM merupakan suatu wacana ritual yang meliputi sistem gramatika

bahasa. Sistem ini mencakup: tata susunan fonem untuk membentuk kata (word), tata

susunan morfem untuk membentuk frasa atau kelompok kata, tata susunan kata untuk

membentuk klausa atau kalimat, dan tata susunan kalimat untuk membentuk teks-teks wacana

ritual atau teks yang lain. Sistem gramatika yang terdapat dalam teks ritual dalam BM yang

tentu didorong atau didasari oleh imajeri mental guyub tutur BM atau imajeri budaya .Peran

imajeri mental guyub tutur BM memunculkan sebuah sistem ujaran yang disebut tuturan

ritual.

Pernyatan-pernyataan teoretis tersebut di atas, mempertegas pernyataan bahwa

analisis penelitian yang dipandu oleh teori lingusitik kebudayaan sangat kompleks dan

terpadu secara holisitik. Dikatakan demikian karena analisis melalui koridor teori linguistik

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

kebudayaan mencakup banyak hal, yaitu hal yang berkaitan dengan linguistik dan hal yang

berkaitan dengan non-linguistik atau hal yang berada di luar linguistik.

Analisis melalui teori linguistik kebudayaan, langkah pertama yang harus dilalui

adalah analisis linguistik, meliputi analisis fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik.

Setelah itu dilakukan analisis aspek-aspek non-linguistik atau aspek-aspek yang berada di

luar kebahasaan. Aspek-aspek di luar kebahasaan, antara lain identitas peserta, sejarah peserta

dalam sebuah wacana, materi-materi yang digunakan dalam tuturan ritual adat, misalnya,

binatang-bintang persebahan seperti ayam, babi, kerbau, kambing; nasi, telur, sirih pinang,

tembakau, dan tuak atau moke (sering disebut minuman tradisional).

Model analisis yang dipandu teori linguistik kebudayaan di atas, peneliti

menggunakan langkah-langkah itu untuk menganalisis data BRBW yang telah dikumpulkan.

Pertama, peneliti mentranskrip data yang direkam, baik dalam tape recorder dan camera

maupun handycamp dan dilengkapi dengan data wawancara langsung dengan informan

utama untuk menyusun teks sahih. Setelah itu, dilakukan pengglosan terhadap kata dalam

setiap klausa teks wacana ritual tersebut. Kemudian, peneliti mengartikan atau

menerjemahkan kalimat-kalimat yang mengkonstruksi teks wacana rtual barong wae. Lalu,

Peneliti menyusun terjemahan teks wacana tersebut secara keseluruhan. Kedua adalah

analisis aspek-aspek nonlingusitik dalam teks wacana ritual barong wae dalam BM. Aspek-

aspek nonlinguistik yang perlu dianalisis dalam Teks BRBW adalah indentitas pelaku,

matari-meteri yang sering disebut bahan-bahan dan binatang persembahan, dan instrumen

gong. Ketiga adalah analisis permasalahan. Permasalahan pertama adalah Bangunan estetik

bahasa ritual Barong wae dalam BM. Permasalahan ini mencakup beberapa hal penting

seperti imajeri GTBM atau imajeri budaya GTBM, gaya bahasa (figurative language) yang

eksis dalam BRBW, misalnya metafora, paralelisme semantik, bahasa indah atau puitis.

Kedua adalah analisis semantik BRBW. Analisis semantik ini lebih berfokus kepada makna

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

yang berada di luar kebahasaan atau linguistik. Dengan kata lain Analisis makna denotasi

BRBW. Ketiga adalah analisis nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa ritual barong wae

„undangan leluhur penjaga air‟.

2.3.1.5 Paradigma Pemilihan Teori Linguistik Kebudayaan

Sebagaimana dijelaskan tedahulu bahwa teori linguistik kebudayaan dapat digunakan

untuk menjadi acuan teoretis dalam analisis beberapa permasalahn-permasalahan penelitian

BRBW, yaitu teori wacana ritual, teori tanda linguistik atau teori simbol verbal, teori makna

situasi atau makna kontekstual, teori nilai kontekstual, teori imajeri, dan teori pandangan

dunia.

Secara ontologis, linguistik kebudayaan menempatkan bentuk, fungsi, makna dan

makna pemakaian bahasa dijadikan sasaran kajiannya (Mbete, 2004:5). Menurut Palmer

bahwa objek kajian linguistik kebudayaan tidak hanya mengkaji fungsi, makna dan nilai yang

terkandung dalamnya, tetapi juga mengkaji imajeri, pandangan dunia (world view) atau

falsafah hidup penuturnya (Palmer, 1996:3).

Dalam perspektif epistemologis, linguistik kebudayaan memiliki metodologi yang

sesuai dengan objek kajiannya. Hal itulah yang dapat membedakan linguistik kebudayaan

dengan bidang kajian linguistik lainnya. Seperti diutarakan pada bagian terdahulu bahwa

objek kajian linguistik kebudayaan adalah bentuk bahasa yang memiliki makna, nilai, imajeri,

dan pandangan dunia penutur. Secara pragmatis, bentuk bahasa tersebut berupa teks atau

wacana ritual baik lisan maupun tulisan. Semua bentuk bahasa itu, secara budaya, berdeda

antara guyub tutur yang satu dengan guyub tutur lainya. Misalnya leksikon makan dalam

bahasa Indonesia, hang dalam bahasa Manggarai, eat dalam bahasa Inggris, mu’a dalam

bahasa Rote, dan nga’a dalam bahasa Sabu,dan sebagainya. Semua merujuk kepada makna

yang sama yaitu makan. Palmer mengemukan bahwa bentuk bahasa yang menjadi objek

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

kajian linguistik keduyaan dikonstruksi secara metaforis dan perangkat framing devises atau

perangkat diad lainnya. Dalam metafora itu terdapat makna, nilai, imjeri, dan pandangan

dunia.

Sebagaimana yang dikutip Bagus (2004:63), yang menyatakan dalam linguistik

terdapat pluralisme teoretis dan metodologis. Pluralisme itu juga terkandung dalam linguistik

kebudayaan. Berdasarkan pernyataan itu, pendekatan teoretis dan metodologis linguistik

kebudayaan bersifat eklektik. Oleh karena itu pendekatan yang diterapkan dalam linguistik

kebudayaan bermuara pada ketiga tradisi pendekatan linguistik yakni pendekatan linguistik

aliran Boas, pendekatan lingusitik etnosemantik atau NSM (Natutal Semantic

Metalanguage), pendekatan etnogafi berbicara (etnography of speaking). Ketiga pendekatan

penelitian linguistik tersebut masing-masing memiliki fokus perhatian. Misalnya, linguistik

aliran Boas menaruh perhatian pada tatabahasa atau grammar, etnosemantik berfokus pada

makna leksikon, dan etnografi berbicara berfokus pada aktivitas tutur (speech activity).

Berdasarkan ketiga pendekatan itu, maka linguistik kebudayaan menerapkan metode, antara

lain metode wawancara dan pengamatan langsung (direct observation) terhadap sikap dan

perilaku bertutur dan berbudaya, misalnya melakukan aktivitas adat dalam guyub tutur BM.

Melalui kedua cara itu, peneliti dapat memperoleh, antara lain data bentuk atau bangunan

estetik bahasa yang digunakan dalam aktivitas adat, makna, nilai, imajeri, dan pandangan

hidup guyub tutur masyarakat kebahasaan.

Di samping itu, Palmer menegaskan bahwa teori linguistik kebudayaan sudah

diterapkan dalam penelitian berbagai bahasa di dunia. Misalnya bahasa Apache di Amerika

sehingga tidak perlu diragukan lagi kemampuan teori tersebut dalam menjelaskan

permasalahan penelitian BRBW.

2.3.2 Ekolinguistikk

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa linguistik kebudayaan memiliki

keterbatasan untuk menjelaskan masalah-masalah penenlitian bahasa ritual dalam bahasa

Manggarai. Oleh karena itu diperlukan pendekatan teoretis dari disiplin lain yang mempunyai

hubungan dengan linguistik kebudayaan. Dalam peneltitian BRBW terdapat salah satu

masalah yang dari sisi linguistik kebudayaan sulit untuk dijelaskan, yaitu kesenjangan

kognitif antara generasi tua dan generasi muda dalam hal memahami dan mengetahui bahasa

ritual dalan bahasa Manggarai. Dicermati bahwa teori ekolinguistiklah yang cocok untuk

menganalisis permasalahan tersebut.

Ekolinguistik merupakan salah cabang linguistik yang mengaji hubungan antara

bahasa dan lingkungan. Konsep dasar ekolinguistik adalah bahasa, ekologi, dan lingkungan.

Bahasa manapun di dunia ini selalu hidup dalam lingkungan tertentu. Di dalam lingkungan

bahasa meliputi beberapa komponen, yaitu bahasa, penutur, dan benda-benda lainnya.

Kehidupan bahasa dan penuturnya dalam lingkungan itu tentu saling beriterkasi, saling

berhubungan, dan saling bergantung satu sama lainnya. Hal itu pasti terjadi pula di dalam

lingkungan bahasa ritual.

Ekolinguistik sebagai ilmu, memiliki objek kajiannya ialah bentuk, makna, nilai dan

fungsi bahasa, baik dalam kata-kata, kalimat, dan maupun dalam wacana lingkungan. Di sisi

lain, kesenjangan kognitif antara penutur, misalnya penutur tua dan penutur muda yang

tergambar baik secara fonologis, morfologis, maupun intaksis dalam bentuk bahasa ritual

juga merupakan objek kajian ekolinguistik.

Secara epistemologis, ekolinguistik menggunakan metode mawancara dan observasi

untuk mengumpulkan data. Kedua metode dilakukan secara simultan di lapangan. Di

samping itu, metode studi pustaka yang bertujuan untuk mengumpulkan data ekolinguistik.

Ekolinguistik sebagai cabang ilmu linguistik, memiliki seperangkat teori, yaitu teori

keberagaman dalam konteks lingkungan bahasa, teori interkasi, dan teori interralasi serta

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

teori saling bergantung. Ketiga teori ini menjadi dasar teori ekolinguistik. Bahasa hidup dan

berkembang seiring dengan bahasa-bahasa lain di dunia ini sehinggga terjadi kontak antara

bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Peristiwa kontak bahasa dapat mengakibatkan

terjadinya pergerseran, interferensi, alih dan campur kode, dan kesenjangan lingual cultural

atau kesenjangan kognitif.

Di pihak yang lain, bahasa dan pengetahuan. Bahasa sangat penting dipelajari dan

diketahui oleh penuturnya karena kehidupan manusia sangat bergantung pada bahasa, dan

sebaliknya (band. Steiner dalam Fill, dkk. 2001:24). Hal ini menunjukkan bahwa keduanya

saling berhubungan dan saling kebergantungan. Dikaitkan dengan ekologi bahasa, manusia

tidak bisa hidup tanpa bahasa dan bahasa dapat hidup terus apabila penuturnya selalu

berinteraksi dan kreatif menggunakanya dalam peristiwa kehidupannya. Penjelasn tersebut di

atas menjadi teori ekolinguistik yang digunakan untuk menjelaskan masalah kesenjangan

kognitif antara generasi tua dan generasi muda dalam bahasa ritual barong wae

Teori interelasi dalam ekolinguistik tersebut memandang bahasa merupakan sarana

komunikasi antara generasi tua dan generasi muda. Oleh karena itu terjalinan hubungan

antara generasi tua dan generasi muda. Oleh karena itu teori interrelasi berasumsi bahwa

apabila terdapat perbedaan pemahaman atau pengetahuan tentang bahasa ritual antara

generasi tua dan generasi muda, maka kehidupan bahasa itu sangat terancam, khususnya

bahasa ritual. Jadi, teori ekolinguistik tersebut menjadi acuan untuk menganalisis masalah

kesenjangan kognitif antara generasi tua dan generasi muda sebagai penutur bahasa ritual

barong wae dalam bahasa Manggarai.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa landasan teoretis

yang dipilih untuk menjelaskan masalah BRBW adalah linguistik kebudayaan yang

ditetapkan sebagai landasan teorertis utama yang berfungsi untuk menjelasakan bangunan

estetik BRBW, khususya bangunan metafora, makna, nilai, dan lebih utama menjelaskan

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

imajeri dan pandangan dunia GTB. Dikatakan demikian karena landasan teoretis linguistik

kebudayaan mampu menjelaskan hampir semua masalah penelitian BRBW. Kedua,

ekolinguistik digunakan sebagai teori penopang karena kehadirannya untuk menjelaskan

hanya satu masalah, yaitu masalah kesenjangan kognitif antara generasi tua (GT) dan

generasi muda (GM) dalam hal memaknai BRBW.

2.4 Model penilitian (framework of research)

Eichelberger (1986:76) menyatakan bahwa hasil akhir kajian pustaka, kajian terhadap

studi-studi yang berkaitan sebelumnya, adalah kerangka kerja yang digunakan untuk

memahami dan mengonsepkan masalah penelitian. Hal ini bisa berupa sebuah model

komprehensif yang mencakup semua variable yang relevan. Seiring hal ini berupa daftar

variabel yang paling penting yang berkaitan dengan masalah penelitian dan rasionalisasi

variable-variabel tersebut.

Topik penelitian ini adalah wacana Ritual Barong Wae dalam persepektif linguistik

kebudayaan. Dalam studi ini akan dikaji bangunan estetika dalam wacana tersebut, yaitu

Paralelisme dan metafora. Aspek-aspek linguistik dan budaya yang hendak dicari di dalam

bangunan estetik itu adalah makna, nilai, imajeri budaya dan falsafah hidup masyarakat

Manggarai yang ada didalam bangunan estetik.

Penelitian ini merupakan studi lintas bidang linguistik dan bidang-bidang

ilmu-ilmu lain , antara lain kebudayaan. Cabang linguistik ini merupakan cabang linguistik

yang mengaji bahasa dan budaya masyarakat. Pada umumnya diketahui bahwa linguistik

dibagi kedalam dua cabang: linguistik mikro dan linguistik makro. Linguistik mikro

mencakup fonologi, morfologi, sintaksisi, dan semantik. Linguistik makro mencakup

psikolinguistik, sosiolinguistik, linguistik antropologi, linguistik kognitif, linguistik forensik,

sastra, linguistik matematika dan statistik, linguistik kebudayaan, dan ekolinguistik.

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

Penelitian ini ingin mengaji wacana ritual barong wae dengan bangunan estetik

(paralelisem semantik dan mateforanya) dan imajeri budaya masyarakat Manggarai yang

mendasari munculnya wacana ritual tersebut yang dikaji dalam persepktif teori linguistik

kebudayaan. Karena itu yang dikaji pertama adalah verbal simbol (fitur-fitur linguistik)

(band. Palmer, 1996:1). Verbal simbol tersebut menampilkan dirinya sebagai bangunan

estetik yang dipilari oleh paralelisme dan metafora. Fitur-fitur lingustik yang dikaji adalah

fitur fonologis dalam wacana ritual barong wae ungkapan paralelisme dan metafora

khususnya. Kemudian melalui fitur-fitur linguistik tersebut, imajeri budaya masyarakat

Manggarai ditemukan. Setelah ditemukan imajeri budaya masyarakat Manggarai, maka

pandang dunia atau falsafah hidup etnik Manggarai dapat ditemukan pula. Pada dasarnya hal

pokok yang dicari dalam kajian ini adalah imajeri budaya dan pandangan dunia atau falsafah

hidup masyarakat Manggarai, bukan sekedar mencari makna, fungsi dan nilai yang

terkandung dalam fitur linguistik.

Sebagai ringkasan dari apa yang sudah dijelaskan di atas dan untuk memahami lebih

jelas tentang uraian di atas, dapat disimak pada diagram berikut. Melalui penyajian diagram

ini dapat dilihat dengan jelas cakupan penelitian ini dan cakupan fitur-fitur linguistik. Laras

ritual barong wae yang dikaji bermuara pada ditemukannya imajeri budaya dan pandangan

dunia atau falsafah hidup masyarakata Manggarai.

Microling.

Linguistics

Macroling.

Cultural Ling. socioling Antro.Ling. Ecoling. Phsyco.ling

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … II kanis.pdfKetiga hal pokok itu adalah kajian pustaka (related studies), konsep-konsep (concepts), landasan teori (grand theory),

bw

Ket. Bagan : Macroling. = Macrolinguistics

Microling. = Microlinguistics

Cultural ling. = Cultural linguistics

Socioling. = Sociolinguistics

Antro.ling = Aantro linguistics

Psycho.ling .= Psycolinguistics

Ecoling. = Ecolinguistics

Ling. Tool = Linguistic Tool

Cogni.Gab = Cognitive Gab

Verbal sym. = Verbal symbol

Imagery com. = Imagery Mangaraian Community

Ritual ling.bw = Ritual Language barong wae

Ritual disco. = Ritual discourse.

Simbol :

Arah Analisis

Arah saling bergubungan

Kotak Komponen

Ekolinguistik adalah makrolinguistik yang mangaji hubungan bahasa dengan

lingkungan. Makrolingusitik ini memandang bahasa sebagai sarana penghubungan antara

penutur dalam lingkungan bahasa. Definisi ini menjadi kerangka pikir umum ekolinguistik.

Teori ini dapat dijabarkan lagi menjadi beberapa sub teori ekolinguistik, yaitu teori

keberagaman, teori interrelasi, interdependensi, dan interaksi, dan teori lingkungan.

Verbal sym. Imagery com.

Ritual lang. bw

Ritual disco. barong wae

Cultural imag.

Situational mean.

Ling.Tool

Ritual Lang.bw

Cogni.Gab