BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … · Disertasi ”Pembertahanan Tradisi Ruwatan...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN … · Disertasi ”Pembertahanan Tradisi Ruwatan...
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan telaah terhadap pustaka, hasil-hasil
penelitian sejenis yang digunakan sebagai referensi dan untuk menunjukkan
orijinalitas penelitian ini. Beberapa kepustakaan yang dimaksud adalah
sebagai berikut.
Widyastuti dalam skripsinya yang berjudul ”Prosesi dan Fungsi Upacara
Ngerebeg (Makotekan) di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten
Badung” (2006) mengungkapkan bahwa upacara tradisi Makotek yang disebut
sebagai Makotekan itu diyakini keramat oleh masyarakat di Desa Munggu.
Dikatakan bahwa masyarakat di Desa Munggu melaksanakan tradisi Makotek
untuk memohon keselamatan, penyembuhan penyakit, dan menolak bala bagi
masyarakat yang bersangkutan.
Penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti dan disertasi ”Tradisi Makotek
di Desa Munggu, Badung pada Era Global” ini memang sama-sama
mengkaji tradisi Makotek di Desa Munggu. Namun, jika dicermati secara
saksama, dapat dipahami bahwa tujuan, objek formal dan tahun pelaksanaan
kedua penelitian tersebut berbeda. Widyastuti mengkaji awal mula muncul serta
keterkaitan tradisi Makotek dengan upacara Ngerebeg, sementara disertasi ini
mengkaji hal-hal yang melatari masyarakat di Desa Munggu tetap
10
11
melaksanakan tradisi Makotek hingga kini, bagaimana pelaksanaannya, dan apa
implikasinya bagi masyarakat yang bersangkutan pada era global ini. Widyastuti
melaksanakan penelitian pada tahun 2006, sementara penelitian disertasi ini
dilaksanakan pada tahun 2015.
Berdasarkan kajian pustaka tersebut dapat dipahami bahwa penelitian
Widyastuti dan penelitian disertasi ini memang sama-sama mengkaji ”Tradisi
Makotek di Desa Munggu”. Namun, jika diamati tujuan, fokus kajian dan
tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut tampak berbeda. Widyastuti
mengkaji tradisi Makotek secara monodisipliner, sementara disertasi ini
mengkaji tradisi Makotek secara interdisipliner. Perbedaan tersebut tentu juga
berimplikasi terhadap simpulan kedua penelitian tradisi lisan ini.
Wiryani dalam skripsinya “Tari Makotekan dalam Upacara Ngrebeg di
Desa Munggu Kabupaten Badung” (2011) mengatakan bahwa Makotekan adalah
sebuah tari tradisional masyarakat di Desa Munggu. Tradisi Makotek yang
dipandang sebagai sebuah tari oleh Wiryani dikatakan pentas di Desa Munggu
setiap hari raya Kuningan. Tradisi diawali dengan ritual penyucian di Pura
Desa Munggu, masyarakat setempat mementaskan tari Makotekan di Pura
Luhur Sapuh Jagat Desa Munggu. Tari Makotekan dikatakan memiliki ragam
gerak sederhana, menggunakan pakaian adat madya, dan diiringi gamelan
balaganjur.
Penelitian yang dilakukan oleh Wiryani dan disertasi ”Tradisi Makotek
di Desa Munggu, Badung pada Era Global” tampak sama-sama mengkaji
tradisi Makotek di Desa Munggu. Namun, jika dicermati secara saksama,
12
dapat dipahami bahwa tujuan penelitian, perspektif, objek formal dan tahun
pelaksanaan kedua penelitian berbeda.
Wiryani mengkaji tradisi Makotek dalam perspektif seni, secara
monodisipliner. Sementara disertasi ini mengkaji tradisi lisan dalam perspektif
kajian budaya secara interdisipliner. Wiryani mengkaji objek formal tentang
bentuk dan fungsi tari Makotek, sementara fokus kajian disertasi ini adalah
tentang hal-hal yang melatari masyarakat di Desa Munggu tetap
melaksanakan tradisi Makotek hingga kini, bagaimana pelaksanaannya, dan apa
implikasinya bagi masyarakat yang bersangkutan pada era global ini. Lokasi
penelitian Wiryani dan disertasi ini memang sama-sama di Desa Munggu, tetapi
jika dicermati pelaksanaannya, tampak bahwa Wiryani melaksanakan penelitian
pada tahun 2011, sementara penelitian disertasi ini dilakukan pada tahun 2015.
Berdasarkan kajian pustaka tersebut dapat dipahami bahwa skripsi Wiryani
dan disertasi ini memang sama-sama mengkaji obyek material yang sama, yakni
”Makotek di Desa Munggu”. Namun, jika diamati dari tujuan, perspektif, fokus
kajian, dan tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut berbeda. Wiryani
mengkaji Makotek dalam perspektif seni, secara monodisipliner. Sementara
disertasi ini mengkaji Makotek dalam perspektif kajian budaya secara
interdisipliner. Dengan demikian, perbedaan tentu juga terdapat pada simpulan
kedua penelitian.
Relin dalam disertasinya yang berjudul ”Pembertahanan Tradisi
Ruwatan dalam Era Modernisasi dalam Masyarakat Jawa”, (2011)
mengatakan bahwa pelaksanaan ruwatan di Jawa diyakini oleh masyarakat
13
dapat menghilangkan kesialan hidup, menolak bala terutama menghindari
ancaman penderitaan dari Bhatara Kala. Ritual tersebut hingga kini masih
eksis, tetapi dikatakan bahwa pada pelaksanaan tradisi ruwatan tersebut terjadi
gejolak hiperspiritualitas terhadap Bhatara Kala. Melalui simbol-simbol,
Bhatara Kala dikatakan ada kaitannya dengan manusia dan Tuhan. Tuhan
diyakini sebagai sumber ketenteraman, kebahagiaan dan sumber perlindungan
yang dapat memediasi munculnya beragam makna sosial religius serta
multikultural baru dalam penguatan lokal jenius, fisiologis, ekonomi dan
sosial pada masyarakat Jawa.
Disertasi ”Pembertahanan Tradisi Ruwatan dalam Era Modernisasi
dalam Masyarakat Jawa”, yang ditulis oleh Relin tampak sama-sama
mengkaji tradisi lisan yang hingga era global ini masih tetap lestari. Kedua
penelitian sama-sama mengkaji kearifan lokal sebagai suatu potensi kekuatan
kultural dan kebanggaan masyarakat bersangkutan. Kedua penelitian memang
sama-sama mengkaji kearifan lokal yang bermakna sebagai ritus tolak bala.
Namun, jika dicermati kedua penelitian tersebut sesungguhnya mengkaji
materi, objek formal, lokasi dan tahun pelaksanaan yang berbeda.
Relin mengkaji ”Pembertahanan Tradisi Ruwatan pada Era Modernisasi
dalam Masyarakat Jawa”, sedangkan penelitian ini mengkaji ”Tradisi Makotek di
Desa Munggu, Badung pada Era Global”. Materi yang dikaji oleh Relin
adalah pelaksanaan ruwatan yang diyakini masyarakat di Jawa dapat
menghilangkan kesialan hidup, menolak bala terutama menghindari ancaman
dari Bhatara Kala. Di pihak lain disertasi ini mengkaji pelaksanaan, hal-hal yang
14
melatari dan implikasi pelaksanaan tradisi Makotek bagi masyarakat yang
bersangkutan. Relin melaksanakan penelitiannya di Jawa pada tahun 2011,
sementara penelitian ini dilaksanakan di Desa Munggu, Badung pada tahun
2015.
Renawati dalam disertasinya yang berjudul ”Mrateka Marana Hama
Tikus sebagai Praktik Sosial Budaya Petani di Desa Bedha, Tabanan” (2012)
mengungkapkan bahwa (1) praktik petani dalam penanggulangan hama tikus
di Desa Bedha dalam skala sosial secara ideologis berupa kepercayaan
tradisional, komunalisme, kesejahteraan bersama (sosial ekonomi); (2) bentuk
mrateka marana dilaksanakan dari penangkapan dan pengropyokan tikus secara
massal hingga diaben, ngroras atau memukur yang dirangkaikan dengan
pecaruan di Pura Puseh Bedha dan di Pantai Yeh Gangga. Seluruh rangkaian
upacara itu disebut ngelanus. Setelah upacara ngelanus, beberapa hari
kemudian dilakukan upacara nyalanan. Upacara nyalanan merupakan ritual
ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan. Upacara mrateka marana
dikatakan berbeda dibandingkan dengan upacara ngaben. Upacara ngaben yang
dilakukan untuk manusia Bali disebut ngaben, ngroras/memukur manusia,
atmanya (rohnya) ditempatkan pada pelinggih Dewa Hyang, sementara
mrateka marana, roh binatang tersebut dikembalikan ke laut; (3) mrateka
marana berdampak pada ekonomi, sosial dan psikologis. Sementara, makna
upacara mrateka marana hama tikus dikatakan terdiri atas makna teologi,
kelestarian, kesuburan alam, keselamatan, ketentraman hati, dan makna
hiperialitas.
15
Jika dibandingkan antara disertasi yang ditulis oleh Renawati dan
disertasi ”Tradisi Makotek di Desa Munggu, Badung pada Era Global” ini
tampak keduanya sama-sama mengkaji objek material sejenis. Sama-sama
mengkaji tradisi lisan yang hingga pada era global ini masih tetap lestari.
Namun, jika dicermati, tampak bahwa kedua penelitian memiliki perbedaan.
Perbedaan itu dapat dilihat pada materi, tujuan, objek formal, lokasi dan
tahun pelaksanaan kedua penelitian tersebut.
Renawati mengkaji ”Mrateka Marana Hama Tikus”, sementara
penelitian ini mengkaji ”Tradisi Makotek”. Objek formal penelitian Renawati
tentang kearifan praktik petani dalam penanggulangan hama tikus, sementara
penelitian ini mengkaji hal-hal yang melatari mengapa, bagaimana, dan
implikasi pelaksanaan tradisi Makotek itu bagi masyarakat yang
bersangkutan pada era global ini.
Objek material kedua penelitian tersebut tampak sangat berbeda.
Renawati mengkaji ritual mrateka merana, sementara penelitian ini mengkaji
tradisi Makotek. Perbedaan itu juga tampak pada lokasi dan tahun pelaksanaan
penelitiannya. Renawati melaksanakan penelitian di desa Bedha, Tabanan
pada tahun 2012, sementara penelitian tradisi Makotek ini dilaksanakan di
Desa Munggu, Badung pada tahun 2015.
Gunayaksa dalam disertasinya yang berjudul ”Cepung Sasak : Tradisi
Lisan di Lombok Nusa Tenggara Barat” (2010) mengatakan bahwa Cepung Sasak
memiliki formula tersendiri (bentuk, tema, bunyi, gaya, dsb). Proses penciptaan
Cepung Sasak dilakukan di dalam dan di luar penceritaan. Fungsi
16
penceritaan Cepung Sasak adalah untuk mengingatkan pentingnya
genealogisitas historis etnik Sasak dalam konteks kekinian, pendidikan,
hiburan, solidaritas antaretnis, pengendalian sosial, protes sosial, dan religius.
Di pihak lain makna Cepung Sasak meliputi kasih sayang, ritual, sosial
legitimatif dan kesadaran kolektif.
Jika diamati antara disertasi ”Cepung Sasak di Lombok Nusa Tenggara
Barat”, yang ditulis oleh Gunayaksa dan disertasi ”Tradisi Makotek di Desa
Munggu” ini memang sama-sama mengkaji tradisi lisan sebagai suatu potensi
kekuatan kultural dan kebanggaan masyarakat yang bersangkutan. Namun, jika
diamati dari objek material, tujuan, objek formal, lokasi, dan tahun
pelaksanaan kedua penelitian tersebut berbeda.
Gunayaksa mengkaji tradisi lisan ”Cepung Sasak”, sedangkan penelitian
ini mengkaji tentang tradisi lisan ”Makotek”. Gunayaksa melaksanakan
penelitian di Lombok, Nusa Tenggara Barat pada tahun 2010, sementara
penelitian ini dilaksanakan di Desa Munggu, Badung pada tahun 2015.
2.2 Konsep
Konsep merupakan pengertian-pengertian dasar yang berlaku umum,
baik secara teoretis maupun praktis, terkait dengan objek material suatu
penelitian. Konsep menyangkut unit-unit analisis objek penelitian yang dikaji.
Konsep dalam penelitian perlu dideskripsikan, dijelaskan makna serta ruang
lingkupnya agar analisis, pembahasan terfokus sesuai dengan tujuan
penelitian. Dengan penjelasan yang diberikan maka pemahaman, penentuan
17
sumber dan jenis data dalam penelitian lebih mudah dilakukan. Untuk itu,
beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai
berikut.
2.2.1 Tradisi Makotek
Makotek merupakan sebuah tradisi lisan yang dimaknai sebagai ritual
tolak bala bagi masyarakat Desa Munggu, Badung. Tradisi ritual tolak bala
tersebut dilaksanakan setiap enam bulan sekali, tepatnya setiap hari raya
Kuningan. Tradisi Makotek merupakan manifestasi dari praktik budaya yang
telah melembaga pada masyarakat di Desa Munggu dalam kurun waktu yang
cukup lama. Tradisi tersebut diperkirakan telah berlangsung secara
berkelanjutan 2--3 generasi, kurang lebih seratus tahun. Lamanya tradisi tolak
bala tersebut melembaga di Desa Munggu tidak terlepas dari dukungan
masyarakatnya, berbagai komponen budaya Desa Munggu, seperti adat istiadat
yang terdapat pada sistem budaya kolektif masyarakat di desa tersebut.
Tradisi yang dimaknai sebagai ritual tolak bala tersebut melibatkan hampir
seluruh warga masyarakat di Desa Munggu. Sebagai sebuah praktik budaya,
Makotek identik dengan tradisi etnis warga masyarakat Hindu Bali yang
diteruskan secara tradisi lisan turun-temurun di Desa Munggu. Tradisi
Makotek bersifat sangat khas untuk memohon keselamatan. Semua warga
masyarakat laki-laki dewasa membawa kayu pulet berjalan beramai-ramai
mengelilingi wilayah Desa Munggu diiringi nyanyian kidung dan gamelan
balaganjur. Pada setiap pertigaan yang dilalui, mereka berkumpul kemudian
18
mengadupadankan tongkat kayu pulet yang dibawanya, berputar-putar hingga
berbunyi ‘tek..tek...tek..’, membentuk semacam piramida diiringi sorak-sorai
masyarakat dan riuhnya gamelan balaganjur.
Sebagai sebuah bentuk puji syukur, pelaksanaan tradisi Makotek yang
diiringi nyanyi-nyanyian kidung menyiratkan arti simbol kemenangan dan
kebanggaan kolektif atas keberhasilan para leluhur warga Desa Munggu
dalam menangkal musibah dan wabah penyakit pada masa lampau.
2.2.2 Era Global
Era global merupakan zaman yaitu kehidupan manusia di berbagai
belahan dunia seolah tanpa batas karena adanya kemajuan, kecanggihan
teknologi yang mampu membuat setiap orang dengan mudah dapat mengakses
segala informasi, pengetahuan di berbagai belahan dunia. Pada era global
ideologi difusi gaya baru itu seolah menjadikan dunia ini satu dimensi. Selain
itu, berpengaruh kuat terhadap perubahan, pelestarian hingga pembentukan
masyarakat melalui proses identifikasi diri dan pembedaan status antarorang.
Abdullah ( 2009) dan Appadurai (2006) mengatakan bahwa era global
dicirikan dengan adanya keadikuasaan tatanan global. Artinya, etos
kapitalistik menjadi kekuatan paling berpengaruh dalam menentukan,
mengarahkan, sampai dengan mengubah status. Bahkan, nilai-nilai budaya
luar bisa saja menjadi basis sub-sub unit kebudayaan lokal melalui globalisasi
yang melibatkan berbagai dimensi, antara lain etnoscape, ideoscape,
technoscape, mediascape, dan finanscape.
19
Tradisi Makotek merupakan salah satu jenis lokal jenius Bali yang
menarik untuk dikaji. Pelaksanaan tradisi Makotek melibatkan seluruh warga
masyarakat Desa Munggu masih tetap lestari hingga pada era global.
2.2.3 Masyarakat Desa Munggu
Masyarakat Desa Munggu merupakan kolektif sosial yang bertempat
tinggal di salah satu wilayah Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali.
Kehidupan kolektif masyarakat tersebut tampak sangat religius. Hal itu dapat
diamati dari perilaku mereka dalam menyikapi kehidupannya sehari-hari.
Pada umumnya mereka selalu melaksanakan upacara persembahan,
baik secara personal maupun kolektif, ketika akan memulai atau mengakhiri
suatu kegiatan. Secara individual, mereka pada umumnya melakukan
persembahyangan di rumahnya masing-masing. Sementara secara kolektif, pada
umumnya mereka melakukan persembahyangan secara bersama-sama di balai
banjar, di pura khayangan tiga, dan sebagainya. Agar dapat melakukan kegiatan
ritus secara kolektif, mereka bahkan rela meninggalkan kegiatannya sejenak agar
dapat berkumpul, melakukan perembahyangan bersama. Padahal, mereka
memiliki profesi yang heterogen. Namun, dalam menjalankan kehidupannya
sehari-hari mereka tampak sangat kompak melakukan kegiatan-kegiatan upacara
secara kolektif.
Salah satu kegiatan ritus upacara berskala besar yang hingga kini
secara rutin mereka laksanakan adalah Makotek. Tradisi Makotek merupakan
salah satu tradisi lisan yang dimaknai masyarakat Desa Munggu sebagai ritual
20
tolak bala. Tradisi tersebut telah diteruskan secara tradisi lisan, turun-temurun
oleh masyarakat di Desa Munggu. Tradisi budaya tersebut secara kolektif
dimaknai sebagai penyucian terhadap alam lingkungan tempat tinggal mereka
yang hingga kini masih tetap dilaksanakan secara rutin.
Tradisi Makotek sangat khas dan terwariskan sebagai sebuah tradisi
budaya Hindu Bali di Desa Munggu. Setiap enam bulan sekali, tepatnya setiap
hari raya Kuningan warga desa Munggu melaksanakan tradisi tersebut.
Masyarakat Desa Munggu yang dominan sebagai petani sejak dahulu
melakukan tradisi Makotek untuk menjaga kesucian alam lingkungan tempat
tinggal mereka. Mereka yakin bahwa di sekitar mereka ada kekuatan gaib yang
dapat memengaruhi kehidupan manusia. Jika mereka rajin melaksanakan
kewajibannya, yaitu mempersembahkan sesaji sebagai salah satu bentuk
penghormatan ataupun puji syukur atas berkah yang telah dinikmati selama ini.
Untuk itu, secara kolektif masyarakat Desa Munggu tidak berani meninggalkan
tradisi Makotek hingga kini. Walaupun mereka telah memiliki kehidupan yang
heterogen. Bahkan, banyak dari mereka telah bertempat tinggal di luar wilayah
Desa Munggu.
Karakteristik budaya masyarakat Desa Munggu yang religius tersebut
secara simbolik direpresentasikan dalam bentuk lambang Desa Munggu, yang
ditandai dengan lingkaran padma ngelayang berhuruf Bali ‘ongkara’ dan di
bawahnya terdapat sebuah pita bertuliskan moto “Manggeh Jayeng Rat”.
Simbol tersebut dimaknai masyarakatnya sebagai harapan keberhasilan mereka
dalam hidup bermasyarakat melalui jalan dharma dan budi yang luhur.
21
2.3 Landasan Teori
Teori merupakan instrumen logika untuk menjelaskan, memberikan
gambaran tentang objek yang dikaji melalui mekanisme prediksi dan
deskripsi. Konstruksi teori berupa narasi-narasi untuk membedakan,
menerangkan ciri-ciri umum sampai dengan mendefinisikan (Barker, 2005: 525).
Terkait dengan hal itu, dalam penelitian ini digunakan beberapa teori yang
relevan untuk menjelaskan permasalahan yang telah dirumuskan, yaitu sebagai
berikut.
2.3.1 Teori Dekonstruksi
Dekonstruksi secara umum dapat dipahami sebagai pembongkaran
teks tatanan sosial yang telah terkonstruksi (Barker, 2005:102). Pembongkaran
teks secara dekonstruktif didasari oleh asumsi-asumsi teks tersebut. Teori
dekonstruksi digunakan untuk membongkar, membahas, dan mengkaji
permasalahan tradisi Makotek yang hingga kini tetap dilaksanakan oleh warga
masyarakat Desa Munggu. Sehubungan dengan itu, mekanisme dekonstruksi
dapat diartikan sebagai cara pengurangan terhadap daya intensitas atau
konstruksi berdasarkan susunan baku bahkan universal. Terdapat tiga prinsip
dasar pemikiran dekonstruksi Derrida yaitu (1) berawal dari konstruksi oposisi
biner, Derrida berupaya menunda pembenaran pusat terhadap ordinat untuk
menyimak realita ordinat; (2) Derrida mengkritik dominasi struktur yang paling
benar sehingga dekonstruksi mengandung arti lain sebagai upaya menolak
sentralisasi kekuasaan; dan (3) Derrida mengajukan tawaran dalam rangka
22
membendung konsep metafisika dari logosentrisme Barat. Dari ketiga prinsip
dasar ini, Derrida berpendapat bahwa pusat-pusat kebenaran tidak boleh
terbungkam begitu saja atau terlalu bergantung pada subjek tertentu, tetapi
membiarkan terurai dalam pemaknaan tiada henti untuk dapat lebih memahami
realita sesungguhnya.
Dekonstruksi bermakna pembongkaran atas oposisi biner hierarkis yang
berkontribusi terhadap terciptanya kebenaran atas penafikan pasangan yang
lebih inferior dalam tiap-tiap oposisi dalam paham modernisme (Barker,
2005:102). Pembongkaran teks berdasarkan asumsi-asumsi teks tersebut
merupakan ciri khas dari dekonstruksi. Teori dekonstruksi dalam penelitian ini
digunakan untuk mengungkap permasalahan tradisi Makotek yang meliputi
pandangan masyarakat, pelaksanaan, dan implikasinya bagi masyarakat yang
bersangkutan pada era global.
2.3.2 Teori Praktik
Teori praktik merupakan kerangka pikir tentang hal-hal terkait dengan
praktik, yang kebenarannya telah teruji. Bourdieu dalam Harker (2009)
mengusulkan sebuah pemetaan hubungan kuasa dalam masyarakat dengan
mendasarkan pada logika posisi kepemilikan sumber daya. Pemetaan ini lebih
berupa suatu lingkungan pembedaan modal dan komponen modal-modal
tersebut. Harker mengungkapkan bahwa modal secara konseptual merupakan
sumber tinjauan Bourdieu untuk menjelaskan hubungan-hubungan kekuasaan di
tengah masyarakat.
23
Bourdieu menggolongkan modal menjadi tiga jenis, yaitu modal
ekonomi, modal sosial, dan modal budaya sebagai basis keberadaan struktur
sosial. Sehubungan dengan itu, Makotek merupakan praktik ritual masyarakat
Desa Munggu yang telah mentradisi dan unsur kekhasannya menunjukan
nilai lebih dari modal budaya dalam kesatuan masyarakat tersebut.
Hingga kini, kearifan tradisi Makotek masih lestari di tengah
diferensiasi sosial ekonomi masyarakat Desa Munggu menunjukkan formulasi
pemetaan sumber daya khusus dalam transmisinya. Secara fungsional,
tindakan massa di tengah diferensiasi tersebut sulit untuk direalisasikan, apalagi
konsisten dalam dinamika masyarakat dengan mobilitas tinggi (Beaner dan
Veaner, 2008). Untuk itu teori praktik dipandang relevan digunakan untuk
mengkaji tradisi Makotek, yang tentunya tidak terlepas dari relasi potensi
atau modal dan orientasi budaya masyarakat Desa Munggu pada ranah
kehidupan, terutama pada ranah budaya desa tersebut yang menunjukkan
konfiguratifnya dalam praktik budaya religi setiap hari raya Kuningan.
2.3.3 Teori Simbol
Teori Simbol merupakan kerangka pikir tentang hal-hal yang terkait
dengan simbol, diungkapkan manusia melalui tanda yang telah disepakati
dengan makna tertentu. Manifestasi dan karakteristik simbol tidak terbatas pada
isyarat fisik, tetapi dapat berwujud penggunaan kata-kata yakni simbol suara
yang mengandung arti bersama serta bersifat standar. Triguna (2000: 7)
mengatakan bahwa simbol dapat memimpin pemahaman subjek kepada objek.
24
Artinya, pada makna tertentu, simbol sering memiliki makna mendalam,
paling bernilai dalam kehidupan suatu masyarakat.
De Saussure (1996) menyatakan bahwa ada tiga komponen pokok
dalam simbol. Pertama, adanya tanda yang diwujudkan dalam bentuk
peristiwa, yang dalam penelitian ini adalah pelaksanaan tradisi Makotek.
Kedua, adanya masyarakat di Desa Munggu sebagai penerima tanda/pesan
yang disampaikan oleh para pelaku. Ketiga, adanya media/perantara kedua
belah pihak yang dalam konteks ini adalah ritual upacara tolak bala yang
dilaksanakan masyarakat di Desa Munggu. Prosesnya diawali dengan
mempersembahkan sesaji kepada para dewata sebagai penguasa alam,
kemudian ditutup dengan pelaksanaan tradisi Makotek. Masyarakat di Desa
Munggu, Badung menerima pesan, tanda dan makna yang disampaikan oleh
pelaksanaan tradisi Makotek sebagai sebuah simbol penyucian terhadap alam
lingkungan di Desa Munggu agar mereka terhindar dari malapetaka dan
memperoleh kedamaian dalam menjalankan kehidupannya.
Tradisi tersebut sangat bermakna bagi kedamaian hidup masyarakat di
Desa Munggu. Dengan demikian, hingga saat ini mereka tidak berani untuk
tidak melaksanakan upacara tolak bala yang diakhiri dengan rangkaian prosesi
Makotek mengelilingi wilayah di Desa Munggu. Selain menjaga kontinuitas
pelaksanaan tradisi Makotek, mereka juga tampak sangat kuat menjaga dan
menghormati simbol-simbol yang terdapat dalam tradisi Makotek tersebut.
Walaupun orang lain menilai bahwa pelaksanaan tradisi Makotek
tersebut sebagai sebuah tindakan yang tidak masuk akal karena tradisi Makotek
25
dianggap memiliki makna penting bagi kehidupannya, maka mereka pun
sangat menghargai dan menjaga baik kesakralan peralatan maupun
pelaksanaan tradisi tersebut. Hal itu dapat dilihat dari sikap mereka yang sangat
antusias dan bersungguh-sungguh dalam mempersiapkan, melaksanakan
tradisi Makotek. Masyarakat Desa Munggu menganggap bahwa dengan
melaksanakan tradisi tolak bala yang disimbolkan sebagai proses penyucian
alam dapat menghindari kehidupannya dari mara bahaya (Cassirer, 1987:36--
40).
Pelaksanaan tradisi Makotek oleh kaum laki-laki di desa tersebut
menimbulkan keyakinan bahwa para anak-anak dan kaum perempuan di desa
tersebut telah memperoleh perlindungan dari kaum laki-laki. Mereka
berkeyakinan bahwa kaum laki-laki harus mampu memberikan perlindungan,
baik kepada anggota masyarakat maupun keluarganya dari hal-hal yang tidak
diinginkan. Oleh sebab itu, sesulit apa pun kondisi kehidupan mereka, warga
masyarakat Desa Munggu selalu melaksanakan upacara ritual tolak bala yang
dilengkapi prosesi Makotek. Mereka meyakini bahwa tradisi Makotek dapat
membersihkan segala macam penyakit yang ada di lingkungan Desa Munggu.
Perilaku masyarakat di Desa Munggu sesuai dengan apa yang
diungkapkan oleh Tunner (1970) dan Brown (1979) bahwa ketika manusia tidak
mampu mengatasi permasalahan hidupnya dengan akal sehat, mereka cenderung
melakukan tindakan yang kurang rasional, antara lain melakukan upacara dan
ritus. Sebagaimana tradisi Makotek yang hingga kini tetap dilaksanakan
masyarakat di Desa Munggu untuk menghilangkan rasa gelisah dan rasa takut
26
terhadap serangan wabah penyakit yang dikhawatirkan menimpa kenyamanan
hidupnya.
Hendropuspito (1983: 41) mengatakan bahwa suatu upacara yang
dilakukan secara rutin dan berkelanjutan bisa saja berkembang menjadi tradisi.
Artinya, perilaku religi yang diyakini dapat menyelesaikan permasalahan hidup
dapat saja terus dilakukan oleh masyarakat yang bersangkutan. Hal itu
disebabkan oleh mereka karena yakin akan kekuatan magis tradisi ritual
tersebut. Sebagaimana tradisi Makotek yang hingga kini secara rutin tetap
dilaksanakan oleh masyarakat Desa Munggu untuk menyikapi masalah penyucian
alam dari mara bahaya segala penyakit.
Tradisi Makotek di Desa Munggu merupakan ekspresi budaya masyarakat
yang religius. Artinya, tradisi Makotek yang dilaksanakan masyarakat Desa
Munggu merupakan simbol religiusitas masyarakat tersebut. Sebagaimana
diungkapkan oleh Kusmayati (1990:2-3) bahwa suatu ritual dilakukan sesuai
dengan konteksnya. Hal itu dapat dipahami dari tanda, pesan dan simbol-simbol
yang diungkapkan oleh para pelakunya. Oleh sebab itu, teori simbol dipandang
relevan digunakan untuk mengkaji pelaksanaan tradisi Makotek yang penuh
dengan simbol bermakna religius.
2.3.4 Teori Religi
Teori religi adalah suatu kerangka pikir tentang hal-hal yang terkait
dengan keyakinan, kepercayaan suatu masyarakat, yang telah teruji kebenarannya
27
oleh banyak pihak. Kepercayaan pada ritual atau ritus dan upacara merupakan
prinsip penting dalam sistem religi (Donder, 2005).
Dojosantoso (1986:2-3) mengatakan bahwa untuk memperoleh
ketenteraman, manusia menerima ikatan Tuhan sebagai pelindung utama.
Artinya, manusia menganggap bahwa melalui pelaksanakan berbagai ritual
mereka akan memperoleh kebahagiaan hidup, baik batin maupun lahir.
Eliade (2002:13--22) mengatakan bahwa ada dua hal penting yang dapat
dilakukan untuk memahami aktivitas religius, yaitu sakral dan profan. Sakral
berkaitan dengan hal-hal yang suci, keramat, sementara profan adalah
sebaliknya. Dalam kehidupan suatu masyarakat selalu ada nilai-nilai yang
disakralkan atau disucikan.
Dhavamony (1995: 90--93) dan Sutrisno (2005: 89--96) mengatakan
bahwa sesuatu yang sakral dapat diwujudkan melalui simbol-simbol yang
diyakini masyarakatnya. Artinya, simbol-simbol yang bernilai sakral sering
digunakan masyarakat untuk menjaga keutuhan ikatan sosial warga dalam
hidup bermasyarakat. Sebagaimana masyarakat di Desa Munggu yang hingga
kini menggunakan berbagai simbol dalam Makotek sebagai aktivitas upacara
ritual tolak bala untuk mempererat ikatan sosial antarmereka.
Sejarah menunjukkan bahwa manusia sudah mengenal kepercayaan
terhadap leluhur atau nenek moyang, keyakinan terhadap kekuatan-kekuatan
alam, kekuatan gaib yang dapat memengaruhi kehidupannya. Kepercayaan
terhadap kekuatan-kekuatan gaib merupakan naluri manusia yang kemudian
digunakan sebagai landasan hidup beragama (Cundamani, 1987:12--13). Terlebih,
28
jika agama suatu masyarakat tersebut masih primitif, akan selalu terkait
dengan mitos, makhluk-makhluk spiritual, nenek moyang mereka dalam
kehidupannya. Bahkan, gunung, batu, pohon besar dan laut pun diyakini memiliki
kekuatan gaib.
Dhurkeim dalam Sanderson (1993:517--527) mengemukakan bahwa
masyarakat umumnya lebih mengutamakan pelaksanaan ritual karena tindakan
religius itu dianggap dapat menjaga keselamatan hidupnya. Sebagaimana
masyarakat di Desa Munggu, Badung yang hingga kini secara rutin
melaksanakan upacara tolak bala yang diakhiri dengan pelaksanaan Makotek
mengelilingi wilayah Desa Munggu. Mereka melaksanakan tradisi Makotek
sebagai aktivitas ritual untuk menjaga keselamatan hidup mereka dari hal-hal
yang tidak diinginkannya.
Masyarakat Desa Munggu percaya bahwa melalui sistem kepercayaan
yang diyakini itu mereka akan memperoleh keselamatan. Aktivitas seperti itu
oleh Peursen (1988:18) sering dikatakan sebagai budaya mitis. Dalam alam
pikiran mitis berkembang mitos yang diwujudkan melalui cerita, sebagai
pedoman hidup bagi masyarakat yang bersangkutan. Sistem kepercayaan itu
berkembang sesuai dengan tingkat sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya.
Semakin baik ekonomi masyarakatnya maka semakin besar upacara yang
dipersembahkan.
Mitos dalam suatu masyarakat ada yang dituturkan, dan ada pula yang
diungkapkan melalui berbagai ekspresi karya seni. Sebagaimana mitos grubug
(wabah) di Desa Munggu yang dikaitkan dengan keharusan masyarakat
29
setempat melaksanakan upacara tolak bala diakhiri dengan pelaksanaan
rangkaian prosesi Makotek.
Secara mitologis, masyarakat di Desa Munggu meyakini bahwa di pura
kahyangan tiga bersemayam Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa yang diyakini
memiliki kuasa atas kehidupan. Oleh sebab itu, hingga kini masyarakat di Desa
Munggu selalu melaksanakan tradisi Makotek sebagai ritual tolak bala diawali
dengan mempersembahkan sesaji terlebih dahulu. Mitos seperti itu tampak
masih kuat di Desa Munggu, Badung.
Teori religi dalam penelitian ini dianggap sangat relevan digunakan
untuk mengkaji awal mula munculnya dan eksistensi tradisi Makotek pada
era global di Desa Munggu, Badung. Kerangka teori religi itu juga digunakan
untuk menjelaskan keyakinan masyarakat Desa Munggu terhadap mitos
terjadinya musibah jika mereka tidak melaksanakan upacara tolak bala
tersebut pada era global.
Untuk mengkaji asas dari tahapan Makotek digunakan teori religi
Preusz. Preusz menganggap bahwa ritus atau upacara religi akan bersifat kosong
dan tidak bermakna apabila tingkah laku manusia di dalamnya di dasarkan pada
logika dan akal rasional. Akan tetapi, kekokohan itu ditunjang secara naluri
manusia yang memiliki suatu emosi mistikal untuk berbakti kepada pemilik
kekuatan tertinggi yang tampak konkret dalam keteraturan dari alam, proses
pergantian musim dan kedashyatan alam dalam hubungannya dengan masalah
kualitas kehidupan dan maut (Koentjaraningrat, 1987). Demikian pula tradisi
30
Makotek diselenggarakan secara rutin untuk menanggulangi masalah kualitas
kehidupan dan maut.
Preusz dalam Koentjaraningrat (1987) berpendapat bahwa pusat dari
sistem religi adalah ritus dan upacara. Wujud religi tertua merupakan tindakan
manusia untuk mewujudkan keperluan kehidupan yang tidak tercapai dengan
akal dan kemampuan biasa. Sebagaimana pada masyarakat Munggu bahwa
tradisi Makotek merupakan ritual tolak bala yang menjadi sentral pada
perayaan hari raya Kuningan khas setempat.
2.3.5 Teori Kuasa Pengetahuan
Foucault mengemukakan bahwa hampir tidak mungkin sebuah
kekuasaan tidak ditopang, baik oleh suatu ekonomi maupun politik
pembenaran. Kuasa dapat memproduksi pengetahuan. Sebaliknya, pengetahuan
sangat diperlukan bagi kuasa. Kekuasaan selalu terartikulasi lewat
pengetahuan, sehingga pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa.
Sebagaimana para tetua yang berhasil memproduksi pengetahuan bagi
keberlangsungan tradisi Makotek. Hal itu dapat memberikan efek bagi basis
kekuasaannya.
Foucault menyebutkan bahwa tidak ada kuasa tanpa pengetahuan dan
tidak ada pengetahuan tanpa kuasa. Dalam arti tersebut, suatu konstruksi
pengetahuan dianggap telah berada di dalam relasi kuasa. Demikian pula, pada
penyelenggaraan tradisi Makotek tampak melibatkan konstruksi pengetahuan
yang samar-samar bahkan irasional. Apabila disimak lebih jauh, konstruksi
31
pengetahuan telah berada dalam relasi kuasa yang telah terbangun dan bekerja
dengan baik dalam pembenaran lintas generasi dan menopang kesinambungan
penyelenggaraan tradisi Makotek.
Foucault memaknai kuasa tidak berada dalam term kepemilikan. Pada
suatu term kepemilikan, seseorang sangat jelas mempunyai sumber kekuasaan
tertentu. Baginya, kuasa tidak dimiliki, tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang
lingkup yang secara strategis melibatkan posisi satu dengan lainnya. Demikian
pula masyarakat di Desa Munggu memaknai tradisi Makotek dapat
diselenggarakan pada era global bukanlah karena jasa seorang tokoh, bahkan
dilakukan masih secara anonim menunjukkan ketidakjelasan dalam
pengelolaan sumber kekuasaan. Namun, di sisi lain tradisi Makotek selalu
dipraktikan oleh umat Hindu di Desa Munggu bertepatan dengan hari raya
Kuningan merepresentasikan tatanan kuasa secara sistematik. Oleh karena
itu, teori kuasa pengetahuan dipandang sangat relevan digunakan untuk
mengkaji implikasi pelaksanaan tradisi Makotek bagi kehidupan masyarakat
Desa Munggu pada era global.
2.4 Model Penelitian
Model penelitian merupakan sebagian realitas fenomena budaya yang
merepresentasikan alur pemikiran dalam sebuah penelitian. Adapun model
penelitian tradisi Makotek di Desa Munggu dapat disimak sebagai berikut.
32
Keterangan Tanda Panah :
: Hubungan Berdampak Sepihak
: Hubungan Timbal Balik
Penjelasan :
Masyarakat di Desa Munggu memiliki karakter khas yang mentradisi
dari generasi ke generasi. Tradisi Makotek merupakan ritual rutin yang
diselenggarakan masyarakat di Desa Munggu berkaitan dengan perayaan hari
33
raya Kuningan. Karakteristik tradisi ritual tersebut tampak khas yang
dipengaruhi oleh modal budaya dan modal sosial masyarakat di Desa Munggu
sebagai basisnya. Hal itu dapat dipahami terjadi karena pada dasarnya soliditas
modal budaya dan modal sosial yang dimilikinya tidak terlepas dari mata
pencaharian hidup masyarakat bersangkutan. Bilamana semakin tertata modal
budayanya, maka representasi modal sosial sebagai basis produksinya akan
terkonsentrasi kekuatannya menjadi budaya yang mentradisi dari masa ke masa.
Terlepas dari kebenaran formulatif yang terdapat dalam tradisi, sebagai pedoman
yang telah membantu dalam melegitimasi sampai menanggulangi persoalan hidup
masyarakat tersebut maka mereka tentu akan melaksanakan tradisi upacara itu
secara berkelanjutan.
Globalisasi yang telah merambah kehidupan masyarakat di Desa Munggu,
tampak tidak terpengaruh dalam menyikapi persoalan hidupnya tentang wabah
penyakit. Walaupun mereka telah hidup pada era global yang membuat
seseorang berpikir secara logika, hingga kini mereka tampak tetap melaksanakan
tradisi Makotek sebagai solusi untuk menghindari dirinya dari bencana wabah
penyakit. Representasi tradisi religius itu tentu tidak terlepas dari sistem sosial
khususnya peran serta pemerintah daerah setempat dalam menyikapi pergulatan
nilai-nilai budaya lokal di tengah arus globalisasi.
Globalisasi merupakan proses global yang mengakomodasi perjuangan
lokal menjadi global. Hal itu dapat mendorong terjadinya pergulatan yang
mendalam antara grobal dan glokal. Grobalisasi dapat megakibatkan terjadinya
peningkatan pertumbuhan, penjualan, dan keuntungan, sehingga mendorong
34
berbagai organisasi negara untuk melakukan ekspansi secara lebih luas. Oleh
sebab itu, grobalisasi menimbulkan banyak dampak yang negatif bagi
kebertahanan suatu tradisi. Ardika (2007) dan Atmadja (2010) mengatakan
bahwa globalisasi sulit dihindari karena eksistensinya tidak luput dari
pengaruh global yang tersubstitusi melalui mediascape, ethnoscape,
technoscape, finanscape dan ideoscape. Salah satu komponen grobalisasi yang
paling berpengaruh terhadap konstruksi keadilan sosial pada suatu masyarakat
adalah pelembagaan agama pasar dari dimensi finanscape (Maguire, 2004).
Agama pasar berpadu dengan pembangunanisme yang menjanjikan peningkatan
terhadap kualitas hidup, khususnya bagi peningkatan kesejahteraan hidup
masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana diungkapkan oleh Evers
(1997:80) bahwa agama pasar dapat meningkatan kualitas hidup seseorang.
Pada umumnya tradisi budaya suatu masyarakat tidak terlepas dari
sistem religi masyarakatnya. Hal itu juga diungkapkan oleh Piliang (1998) bahwa
agama pasar banyak mengeksplorasi hasrat dan keinginan masyarakat mulai
dari yang bersifat karnal sampai dengan libidinal. Oleh sebab itu, banyak
terdapat tradisi budaya lokal termarginalkan bahkan tersingkirkan karena
tidak sesuai dengan etos agama pasar. Etos agama pasar berkaitan erat dengan
pembangunanisme.
Fakih (2004: 29--30) mengatakan bahwa dalam pembangunanisme
terdapat stigma ”tradisi merupakan bagian dari persoalan hidup yang mesti
segera diubah”. Pembangunanisme yang berpadu dengan agama pasar sering
membawa model gerakan detradisionalisasi yang bersifat mengancam,
35
mereduksi, dan melemahkan sistem keyakinan masyarakat konvensional.
Begitu pula halnya dengan keberadaan tradisi Makotek di Desa Munggu pada
era global masih eksis dan bertumpu pada sistem keyakinan dan sistem adat
masyarakat yang bersangkutan.
Pemarginalan yang mengarah kepada pelenyapan praktik budaya
dianggap mengganggu pembangunan (Rich, 1999:276). Praktik budaya
merupakan ciri pembangunanisme yang dinamis rasional. Kondisi tersebut tentu
dapat menjadi masalah krusial karena tidak semua modal budaya bersifat
menghambat pembangunan dan tidak semua kelompok masyarakat
menginginkan pembangunanisme untuk perubahan nasib dan peningkatan
modal ekonominya (Dove, 1985). Berkaitan dengan hal tersebut, perubahan
sosial yang radikal bisa saja dapat meluluhlantakkan modal budaya lokal
seperti tradisi Makotek yang mengandung nilai-nilai budaya adiluhung
masyarakat Desa Munggu yang diteruskan secara lisan. Hal itu juga
diungkapkan Piliang (2004a: 102--103) bahwa kearifan lokal yang tersirat
dalam tradisi budaya suatu masyarakat secara ideologis pada umumnya
dijadikan pedoman bagi masyarakat bersangkutan untuk melestarikan tradisi
budaya daerahnya secara lintas generasi.
Giddens (2005) mengungkapkan bahwa refleksivitas tradisi budaya
ditunjukkan warga melalui praktik budaya oleh segenap anggota masyarakat
yang bersangkutan. Reflektivitas sosial itu termediasi dalam ruang sosial
religius sebagaimana praktik tradisi Makotek di Desa Munggu yang hingga
kini tetap berlangsung secara berkelanjutan.
36
Reflektivitas merupakan bagian penelaahan sistem pengetahuan
berbasis praktik budaya. Sehubungan dengan itu, tidak akan mungkin terjadi
pelenyapan suatu praktik tradisi ritual oleh masyarakat pendukungnya sendiri
hanya karena janji terhadap peningkatan kualitas kenikmatan hidup semata.
Berkaitan dengan hal itu, terdapat sangat banyak permasalahan menarik untuk
dikaji menyangkut fenomena tradisi Makotek di Desa Munggu yang hingga
pada era global masih berkelanjutan. Akan tetapi, mengingat keterbatasan
kemampuan, waktu, dan sebagainya maka dalam penelitian ini dirumuskan
permasalahan yang dikaji yaitu bagaimana pandangan masyarakat Desa
Munggu, bagaimana pelaksanaan, serta apa implikasinya bagi masyarakat
Desa Munggu pada era global ini.