BAB II KAJIAN PUSTAKA -...

18
5 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kegiatan Pembelajaran Pembelajaran berkenaan dengan kegiatan guru mengajar serta bagaimana siswa belajar. Kegiatan mengajar yang dilakukan oleh guru sangat mempengaruhi kegiatan belajar siswa. Apabila guru mengajar dengan pendekatan yang bersifat menyajikan atau ekspositori, maka siswa akan belajar dengan cara menerima, dan apabila guru mengajar dengan menggunakan pendekatan yang lebih mengaktifkan siswa seperti pendekatan inkuiri, maka siswa akan belajar dengan cara yang aktif pula. Kegiatan pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang disadari dan direncanakan. Menurut Ibrahim (2010), suatu kegiatan berencana atau kegiatan yang direncanakan menyangkut tiga hal, yaitu: perencanaan/persiapan, pelaksanaan dan evaluasi. 1. Perencanaan Pembelajaran Apabila seorang guru akan mengajarkan bahan pengajaran mengenai setiap pokok/satuan bahasan kepada siswa, terlebih dahulu guru harus mengadakan persiapan. Hal ini dimaksudkan agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lancar, sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan proses belajar, antara lain : a) Merumuskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Tujuan pembelajaran merupakan komponen utama yang terlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran dari proses belajar mengajar. Tujuan pembelajaran diartikan sebagai perilaku hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah mereka menempuh proses belajar mengajar. Misalnya, siswa memiliki kemampuan berhitung yang lebih baik. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran dewasa ini selalu berpusat pada siswa. Dengan demikian, keberhasilan proses pembelajaran lebih banyak dinilai dari seberapa jauh perubahan perilaku yang diinginkan telah terjadi pada diri siswa. Menurut Wina Sanjaya (2009), terdapat beberapa alasan mengapa tujuan perlu dirumuskan dalam merancang suatu progam pembelajaran, antara lain: (i) rumusan tujuan yang jelas

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA -...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2568/3/T1_202008004_BAB II.pdfterlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran

5

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kegiatan Pembelajaran

Pembelajaran berkenaan dengan kegiatan guru mengajar serta bagaimana siswa belajar. Kegiatan mengajar yang dilakukan oleh guru sangat mempengaruhi kegiatan belajar siswa. Apabila guru mengajar dengan pendekatan yang bersifat menyajikan atau ekspositori, maka siswa akan belajar dengan cara menerima, dan apabila guru mengajar dengan menggunakan pendekatan yang lebih mengaktifkan siswa seperti pendekatan inkuiri, maka siswa akan belajar dengan cara yang aktif pula. Kegiatan pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang disadari dan direncanakan. Menurut Ibrahim (2010), suatu kegiatan berencana atau kegiatan yang direncanakan menyangkut tiga hal, yaitu: perencanaan/persiapan, pelaksanaan dan evaluasi. 1. Perencanaan Pembelajaran

Apabila seorang guru akan mengajarkan bahan pengajaran mengenai setiap pokok/satuan bahasan kepada siswa, terlebih dahulu guru harus mengadakan persiapan. Hal ini dimaksudkan agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lancar, sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan proses belajar, antara lain : a) Merumuskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.

Tujuan pembelajaran merupakan komponen utama yang terlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran dari proses belajar mengajar. Tujuan pembelajaran diartikan sebagai perilaku hasil belajar yang dicapai oleh siswa setelah mereka menempuh proses belajar mengajar. Misalnya, siswa memiliki kemampuan berhitung yang lebih baik. Dengan kata lain, tujuan pembelajaran dewasa ini selalu berpusat pada siswa. Dengan demikian, keberhasilan proses pembelajaran lebih banyak dinilai dari seberapa jauh perubahan perilaku yang diinginkan telah terjadi pada diri siswa.

Menurut Wina Sanjaya (2009), terdapat beberapa alasan mengapa tujuan perlu dirumuskan dalam merancang suatu progam pembelajaran, antara lain: (i) rumusan tujuan yang jelas

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2568/3/T1_202008004_BAB II.pdfterlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran

6

dapat digunakan untuk mengevaluasi efektivitas keberhasilan proses pembelajaran, (ii) tujuan pembelajaran dapat digunakan sebagai pedoman dan panduan kegiatan pembelajaran, (iii) dengan adanya tujuan yang jelas dapat membantu guru dalam menentukan materi pembelajaran, metode, media, dan sumber belajar, serta dalam menentukan dan merancang alat evaluasi untuk melihat keberhasilan siswa. Oleh sebab itu, guru perlu memahami dan terampil dalam merumuskan tujuan pembelajaran.

b) Menentukan dan menyusun alat evaluasi. Penilaian atau evaluasi pada dasarnya memiliki kegunaan,

yaitu untuk mengetahui seberapa jauh siswa telah menguasai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dan untuk mengetahui bagian dari program pembelajaran yang masih lemah dan perlu diperbaiki. Adapun untuk menilai sejauh mana tujuan pembelajaran telah dikuasai oleh siswa dapat digunakan berbagai cara antara lain tes tertulis, tes lisan, dan tes perbuatan/ tindakan.

c) Menentukan materi dan kegiatan belajar mengajar Menurut Ibrahim (2010) terdapat 4 hal yang perlu

diperhatikan dalam menetapkan materi pelajaran, yaitu: kesesuaian tujuan instruksional, tingkat pendidikan/perkembangan siswa, terorganisasi secara sistematik dan berkesinambungan, dan mencakup hal-hal yang bersifat faktual maupun konseptual. Selanjutnya menurut Winkel (2004), materi/bahan pelajaran harus disesuaikan dalam taraf kesulitannya dengan kemampuan siswa untuk menerima dan mengolah bahan itu (keadaan awal siswa yang aktual).

Kriteria pemilihan materi pelajaran berkaitan erat dengan tujuan instruksional, keadaan awal yang aktual dan komponen-komponen lain dalam proses belajar-mengajar. Perlu dipilih materi pelajaran yang paling sesuai, baik dari segi kuantitatif maupun kualitatif, sehingga dapat membantu dalam mencapai tujuan instruksional seefektif dan seefisien mungkin.

Setelah ditetapkan materi yang akan dibahas, selanjutnya yaitu menentukan metode pembelajaran. Ada beberapa metode yang biasa digunakan dalam kegiatan belajar mengajar, antara

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2568/3/T1_202008004_BAB II.pdfterlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran

7

lain yaitu: metode ceramah, tanya jawab, diskusi, demostrasi, eksperimen, bermain peran, dll. Hal terpenting dalam pemilihan metode yaitu disesuaikan dengan tujuan instruksional, materi yang akan disampaikan, dan waktu dan sarana yang tersedia.

Selanjutnya komponen lain yang perlu dikembangkan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yaitu kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar yang akan dilaksanakan dirinci menurut kegiatan guru dan kegiatan siswa. Jenis-jenis kegiatan yang dilakukan oleh guru dan siswa tergantung dari jenis metode pembelajaran yang digunakan. Agar pembelajaran yang direncanakan dapat terselesaikan pada waktunya, dalam merencanakan kegiatan-kegiatan pembelajaran sebaiknya sekaligus ditetapkan pula alokasi waktu yang disediakan untuk masing-masing kegiatan.

d) Memilih media dan alat pembelajaran Berbagai macam media dapat dikategorikan berdasarkan

ciri tertentu. Winkel (2004) membuat klasifikasi yaitu (a) media visual yang tidak mengunakan proyeksi, misalnya papan tulis, buku pelajaran, papan yang dapat ditempeli gambaran dan tulisan (display board); (b) media visual menggunakan proyeksi, seperti fil, kaset video, proyektor untuk lembar transparan yang dibuat dari plastik; (c) media auditif, seperti gramofon, kaset yang berisikan ceramah atau wawancara dengan seseorang , kaset musik; (d) media kombinasi visual-auditif yang diciptakan sendiri seperti serangkaian dia (slide) dikombinasikan dengan kaset audio, atau diproduksikan oleh perusahaan seperti disket video dan program komputer yang dapat berbicara.

Menurut Wina Sanjaya (2009), prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam penggunaan media pada setiap kegiatan pembelajaran adalah bahwa media digunakan dan diarahkan untuk mempermudah siswa belajar dalam memahami materi pelajaran. Media pembelajaran harus sesuai dengan minat, kebutuhan dan kondisi siswa. Siswa yang memiliki kemampuan mendengar yang kurang baik, akan sulit memahami pelajaran manakala digunakan media yang bersifat auditif. Demikian juga sebaliknya, siswa yang memiliki kemampuan penglihatan yang

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2568/3/T1_202008004_BAB II.pdfterlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran

8

kurang, akan sulit menangkap bahan pelajaran yang disajikan melalui media visual.

Selain menentukan media yang akan digunakan, dalam merencanakan pembelajaran guru perlu menetapkan alat-alat pengajaran yang akan dipakai. Alat pembelajaran mempunyai peran sangat penting sebagai alat bantu untuk memperjelas dan mempermudah penerimaan materi pelajaran oleh siswa dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pembelajaran. Sebagai contoh dalam pembelajaran geometri, penggaris berfungsi sebagai alat pembelajaran yang sering diperlukan.

Guru yang efektif menggunakan beragam strategi untuk menerapkan standar-standar dan memenuhi tujuan-tujuan pembelajaran mereka. Strategi pembelajaran itu berbeda-beda, mulai dari strategi-strategi pembelajaran yang berpusat pada guru, dimana guru memikul tanggung jawab utama dalam mencapai tujuan pembelajaran, hingga strategi-strategi dimana guru berperan sebagai fasilitator, dengan memperkenankan siswa untuk mengambil bagian yang lebih aktif dalam pembelajaran.

Pembelajaran yang berpusat pada guru mencakup strategi pembelajaran “dimana peran guru adalah menghadirkan pengetahuan untuk dipelajari dan mengarahkan proses pembelajaran siswa dengan cara yang lebih eksplisit (Shuell dalam David A. Jacobsen, 2009)

Strategi-strategi yang berpusat pada guru meliputi pengajaran langsung (direct instruction), diskusi-ceramah (lecture-discussion), dan diskoveri terpimpin (guided discovery).

Sedangkan dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa, yaitu siswa-siswa berada dalam pusat proses pembelajaran sedangkan guru sebagai fasilitator lebih banyak memandu siswa dari pada mengajar mereka secara langsung. Strategi-strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa meliputi pembelajaran kooperatif (cooperative learning), diskusi (discussion), dan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning).

2. Pelaksanaan Pembelajaran

Setelah tahap perencanaan pembelajaran selesai dipersiapkan, langkah berikutnya yaitu melaksanakan pembelajaran sesuai dengan langkah-langkah/kegiatan belajar mengajar yang telah direncanakan. Selama langkah ini berlangsung, kegiatan evaluasi dilakukan oleh guru

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2568/3/T1_202008004_BAB II.pdfterlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran

9

antara lain dalam bentuk kuis, tugas-tugas, observasi, dan bertanya langsung kepada siswa tentang pembelajaran yang sedang disajikan, apakah cukup jelas dan sebagainya. Dari kegiatan evaluasi ini, guru dapat mengetahui bagian-bagian mana dari materi yang belum begitu dipahami oleh siswa, dan bagian-bagian mana yang nampaknya kurang efektif atau sulit dilaksanakan dengan baik.

Atas dasar evaluasi selama kegiatan belajar mengajar berlangsung, guru dapat melakukan perbaikan/penyesuaian seperti menjelaskan kembali materi yang belum sepenuhnya dipahami oleh siswa, dengan cara yang berbeda sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik.

3. Evaluasi Pembelajaran

Dalam pengembangan program pembelajaran, evaluasi merupakan suatu proses yang bersifat berkelanjutan dan mendasari seluruh proses belajar mengajar yang baik. Fungsi adanya evaluasi yaitu untuk mengetahui tingkat efektivitas program dalam mencapai tujuan-tujuannya dan mengidentifikasi bagian-bagian dari program yang perlu diperbaiki. Cara-cara evaluasi yang dapat dilakukan yaitu melalui tes maupun nontes seperti tugas-tugas, observasi dan jika perlu dapat pula berupa angket atau wawancara dengan siswa. Dari gabungan hasil evaluasi tersebut, diharapkan guru dapat mengidentifikasi bagian-bagian mana dari program pembelajaran yang perlu diperbaiki dan bagaimana cara memperbaikinya.

B. Karakteristik dan Masalah Psikologis Siswa Tunanetra 1. Pengertian Tunanetra

Siswa dengan gangguan penglihatan, dalam bidang pendidikan luar biasa lebih akrab disebut siswa tunanetra. Pengertian tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari, terutama dalam belajar. Jadi siswa dengan kondisi penglihatan yang termasuk “setengah melihat”, “low vision” atau rabun adalah bagian dari kelompok siswa tunanetra. (T.Sutjihati S.,2005)

Secara etimologis, kata tuna berarti luka, rusak, kurang atau tiada memiliki. Netra berarti mata atau penglihatan. Jadi tunanetra

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2568/3/T1_202008004_BAB II.pdfterlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran

10

berarti kondisi luka atau rusaknya mata, sehingga mengakibatkan kurang atau tiada memiliki kemampuan persepsi penglihatan. Seseorang dikatakan tunanetra jika ia memiliki visus sentralis 6/60 lebih kecil dari itu. Atau, setelah dikoreksi secara maksimal penglihatannya tidak memungkinkan lagi mempergunakan fasilitas pendidikan dan pengajaran yang biasa digunakan oleh siswa normal/ orang awas (Efendi, 2006)

Definisi tunanetra (kebutaan) menurut Koestler adalah sebagai berikut:

Ketajaman penglihatan pusat 20/200 atau kurang pada bagian mata yang lebih baik dengan kaca mata koreksi atau ketajaman penglihatan pusat lebih dari 20/200 jika terjadi penurunan ruang penglihatan di mana terjadi pengerutan suatu bidang penglihatan sampai tingkat tertentu sehingga diameter terlebar dari ruang penglihatan membentuk sudut yang besarnya tidak lebih dari 20 derajad pada bagian mata yang lebih baik. (David Smith, 1998)

Bila seseorang dapat membedakan dari jarak 20 kaki huruf atau simbol di mana penglihatan normal dapat melakukannya dari jarak 200 kaki, orang tersebut dikategorikan mempunyai tingkat ketajaman penglihatan 20/200 sehingga dapat dikatakan buta secara hukum. Definisi ini juga menunjuk orang yang menunjukkan luas ruang penglihatan 20 derajat atau kurang dianggap buta secara hukum. Hal ini mengacu pada keadaan, seperti retinitis pigmentosa, dimana ketajaman penglihatan tetap di dalam batas normal namun bidang penglihatan telah mengalami pengurangan sebagai akibat kelainan yang serius (Smith, 1998).

2. Faktor Penyebab Tunanetra

Faktor-faktor penyebab seseorang menjadi tunanetra sebenarnya banyak sekali kemungkinannya. Begitu pula dalam hal waktu terjadi ketunanetraannya, dapat terjadi pada waktu dalam kandungan, waktu dilahirkan, setelah dilahirkan atau setelah dewasa. Namun pada dasarnya faktor penyebab tersebut menurut Rusli Ibrahim (2005) dapat dikelompokkan menjadi lima penyebab, yaitu: Pertama, faktor penyakit; penyakit yang dialami oleh seorang ibu yang sedang mengandung atau penyakit yang dialami seseorang sesudah lahir. Penyakit tersebut misalnya: Trachoma, Syphylis, Cataract, Onccerciacis, Glukoma, Radang kornea, dsb. Kedua, faktor kecelakaan;

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2568/3/T1_202008004_BAB II.pdfterlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran

11

kecelakaan ini dapat terjadi pada waktu dilahirkan. Misalnya karena seorang ibu kesulitan dalam melahirkan, sehingga biasanya sering menggunakan alat-alat sehingga mengganggu organ-organ mata atau syaraf-syaraf mata yang menyebabkan ketunanetraan. Kemungkinan lain kecelakaan ini terjadi setelah lahir, misalnya akibat jatuh, sehingga organ-organ mata atau syaraf-syaraf mata menjadi terganggu. Ketiga, deficiency vitamin A (aseroftol); merupakan salah satu penyebab ketunanetraan secara tidak langsung. Seperti kita ketahui bahwa vitamin A diperlukan untuk pertumbuhan sel-sel epitel dan proses oksidasi dalam tubuh, serta mengatur kepekaan rangsangan sinar pada syaraf mata. Kekurangan vitamin A pada seseorang akan didahului dengan adanya gejala-gejala kurang jelas dalam penglihatan pada waktu senja hari yang disebut rabun ayam atau Hemeralopia. Kemudian diikuti dengan kerusakan-kerusakan pada sel-sel epitel dan kulit. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, maka akan menimbulkan kelainan dalam penglihatan. Keempat, faktor genetik; yaitu faktor penyebab dari keturunan yang berasal dari salah satu atau kedua orang tua. Misalnya, gangguan penglihatan presbiopia, myopia, dan hipermetropia. Selanjutnya yang terakhir yaitu faktor yang belum diketahui penyebabnya, seperti degenerasi, yaitu penurunan ketajaman penglihatan.

3. Klasifikasi Tunanetra Menurut Tramton dalam Frieda (1998), pengklasifikasian siswa

tunanetra dapat dikelompokkan berdasarkan berat ringan dari ketajaman penglihatannya yaitu: Kelompok 0, Absolut Blindness; yaitu mereka yang tidak dapat melihat cahaya sedikitpun, dimana tidak dapat membedakan antara siang dan malam melalui penglihatannya. Kelompok 1, Light Perception (projection only); yaitu mereka yang hanya melihat cahaya sedikit saja, yakni hanya dapat membedakan gelap dan terang serta membedakan siang dan malam melalui penglihatannya. Kelompok 2, Motion perception and from perception uo to 5/200 (or up to counts fingers at 3 feet); yaitu mereka yang selain dapat membedakan siang dan malam juga dapat melihat bentuk dan gerak benda pada jarak 5 kaki (±1,5m). Benda tersebut dapat dilihat orang normal pada jarak 200 kaki (±60m). Mereka juga dapat menghitung jari-jari tangan pada jarak maksimal 3 kaki (±1,0m).

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2568/3/T1_202008004_BAB II.pdfterlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran

12

Kelompok 3, They could counts finger at 3 feet but not 10 feet (or 5/200 but not 10/200); yaitu mereka yang mempunyai ketajaman penglihatan untuk melihat benda pada jarak 5 kaki (±1,5m). Apabila benda tersebut terletak pada jarak 10 kaki (±3m), maka tidak dapat dilihat lagi. Benda tersebut dapat dilihat oleh orang normal pada jarak 200 kaki (±60m). Atau ia dapat menghitung jari-jari tangannya pada jarak 3 kaki (±1,0m), tetapi ia tidak dapat menghitung jari-jari tersebut pada jarak 10 kaki atau kira-kira 3 meter. Kelompok 4, 10/200 but not 20/200, yaitu mereka yang mempunyai ketajaman penglihatan untuk melihat benda yang jaraknya lebih dari 10 kaki (±3m), tetapi tidak dapat melihatnya sejauh 20 kaki (±6m), benda tersebut dapat dilihat orang normal pada jarak 200 kaki (±60m). Kelompok 5, disebut 20/200; yaitu mereka yang mempunyai ketajaman penglihatan yang dapat melihat benda sejauh 20 kaki (±6m), dimana benda tersebut dapat dilihat orang normal pada jarak 200 kaki (±60m). Kelompok 6, Better than 20/200, but having periphal vision limited to 20 degress or less in the widest diameter; yaitu mereka yang memiliki ketajaman penglihatan lebih baik dari orang yang hanya dapat melihat benda pada jarak 20 kaki (±6m), tetapi kekurangan mereka hanya mempunyai daerah penglihatan seluas 20 derajad atau kurang. Sedangkan bagi orang yang normal memiliki daerah penglihtan seluas 180 derajad.

Sementara itu, T. Sutjihati S.,(2005) mengelompokkan tunanetra ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) Kelompok buta; yaitu jika siswa sama sekali tidak mampu menerima rangsang cahaya dari luar (visus=0); dan (2) Kelompok “low vision”; yaitu jika siswa masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika siswa hanya mampu membaca headline pada surat kabar.

Derajat tunanetra berdasarkan distribusinya berada dalam rentangan yang berjenjang, dari yang ringan sampai yang berat. Menurut Efendi (2006), berat ringannya jenjang ketunanetraan didasarkan kemampuannya untuk melihat bayangan benda. Jenjang kelainan ditinjau dari ketajaman untuk melihat bayangan benda dapat dikelompokkan menjadi sebagai berikut: Pertama, siswa yang mengalami kelainan penglihatan yang mempunyai kemungkinan dikoreksi dengan penyembuhan pengobatan atau alat optic tertentu.

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2568/3/T1_202008004_BAB II.pdfterlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran

13

Siswa yang termasuk dalam kelompok ini tidak dikategorikan dalam kelompok tunanetra sebab ia dapat menggunakan fungsi penglihatan dengan baik untuk kegiatan belajar. Kedua, siswa yang mengalami kelainan penglihatan, meskipun dikoreksi dengan pengobatan atau alat optik tertentu masih mengalami kesulitan mengikuti kelas regular sehingga diperlukan kompensasi pengajaran untuk mengganti kekurangannya. Siswa yang memiliki kelainan penglihatan dalam kelompok kedua dapat dikategorikan sebagai siswa tunanetra ringan sebab ia masih bisa membedakan bayangan. Pada praktik percakapan sehari-hari siswa yang masuk dalam kelompok kedua ini lazim disebut siswa tunanetra sebagian (partially seeing-children). Ketiga, siswa yang mengalami kelainan penglihatan yang tidak dapat dikoreksi dengan pengobatan atau alat optik apapun, karena siswa tidak mampu lagi memanfaatkan indera penglihatannya. Ia hanya dapat dididik melalui saluran lain selain mata. Pada percakapan sehari-hari, siswa yang mengalami kelainan penglihatan dalam kelompok ini dikenal dengan sebutan buta (tunanetra berat). Termologi buta berdasarkan rekomendasi dari The White House Conference on Child Health and Education di Amerika (1930), “Seseorang dikatakan buta jika tidak dapat mempergunakan penglihatannya untuk kepentingan pendidikannya”(Patton dalam Efendi, 2006)

4. Karakteristik Psikologis Siswa Tunanetra

Menurut Rusli Ibrahim (2005), masalah-masalah psikologis yang diakibatkan oleh ketunanetraan itu meliputi : a) Aspek Kognitif

Karena kurang atau tidak adanya ketajaman penglihatan, maka siswa tunanetra tidak dapat mengamati sesuatu dengan penglihatannya seperti orang awas. Dengan demikian, mereka berusaha mengatasi kekurangannya itu dengan menggunakan indera lain seperti, indera perabaan, pendengaran, pengecap, pembau dan pengalaman kinestetis.

Aktivitas keindraan siswa tunanetra terbatas dalam ruang lingkup dan keanekaan, sehingga diperlukan langkah-langkah pendidikan untuk dapat mengatasi kekurangan tersebut sejauh mungkin. Kekurangan ini dapat diatasi dengan jalan meningkatkan ketajaman indera yang masih berfungsi, yaitu

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2568/3/T1_202008004_BAB II.pdfterlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran

14

dengan latihan dan memberikan motivasi pada siswa tersebut. Seperti menggunakan huruf Braille merupakan pemanfaatan fungsi perabaan.

b) Inteligensi dan prestasi belajar

Intelegensi siswa tunanetra pada prinsipnya sama dengan siswa normal lain pada umumnya. Perubahan intelegensi adalah karena faktor-faktor yang menyertai ketunanetraannya. Jadi intelegensi yang langsung menurun akibat ketunanetraan itu tidak ada. Intelegensi yang rendah dapat dihubungkan dengan sebab ketunanetraannya, misalnya yang disebabkan oleh radang otak (meningitis)

Prestasi akademik siswa tunanetra di sekolah lebih lambat bila dibandingkan dengan siswa normal. Keterlambatan itu disebabkan keterbatasan penglihatannya ditambah lagi dengan kurangnya sarana yang menunjang dalam proses belajarnya. Keterlambatan dalam memasuki sekolah dan dalam pengalaman belajar hanya terbatas pada pendengaran dan perabaan.

c) Perkembangan motorik dan faktor mobilitas (kemampuan

berpindah tempat) Perkembangan motorik siswa tunanetra cenderung lambat

dibandingkan dengan siswa normal pada umumnya. Hal ini sebagai akibat dari ketidakserasian koordinasi fungsional antara fungsi psikis (kognitif, afektif, konagtif) yang kurang mendukung dengan system persyarafan dan otot (neuromuscular system), termasuk keterbatasan kesempatan yang diberikan lingkungan. Bagi siswa tunanetra, penguasaan perilaku psikomotor dasar, seperti berjalan dan memegang benda, sudah menjadi masalah besar yang tidak mudah dikuasainya dengan baik.

Siswa tunanetra mengalami hambatan dalam kemampuan berpindah tempat. Hilang atau terganggunya penglihatan menjadikan mereka tergantung pada indera lain yang masih berfungsi. Keterbatasan mobilitas menghasilkan keadaan yang mempunyai pengaruh terhadap dua aspek dalam kehidupan siswa tunanetra, yaitu : aspek kesempatan pengalaman dan hubungan sosial.

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2568/3/T1_202008004_BAB II.pdfterlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran

15

d) Perkembangan faktor emosional Perkembangan emosi siswa tunanetra biasanya akan sedikit

terhambat dibandingkan dengan siswa yang normal. Hal ini disebabkan siswa tunanetra memiliki kemampuan penglihatan yang terbatas, terutama dalam proses belajarnya. Bagi siswa tunanetra tentu mengalami kesulitan dalam belajar secara visual tentang stimulus-stimulus apa saja yang harus direspons secara emosional. Karena itu bagi siswa tunanetra bentuk respons emosional lebih banyak diekspresikan secara verbal ketimbang non-verbal.

Ada masalah-masalah emosional lain yang dihadapi oleh siswa tunanetra, yaitu ada gejala-gejala emosi yang kurang seimbang, atau pola-pola emosi yang negatif dan berlebihan, seperti: terbentuknya perasaan takut, malu, khawatir/cemas, mudah tersinggung, gampang marah, iri hati, mudah curiga, dan rasa sedih yang berlebihan. Semua itu akibat dari ketidak mampuan atau keterbatasan penglihatan yang dimiliki, sehingga ia tidak mampu mendeteksi secara tepat kemungkinan bahaya misalnya, reaksi orang lain atau lingkungan terhadap dirinya, atau kurang kasih sayang lingkungan terhadap dirinya, atau mungkin ada perlakuan lingkungan masyarakat yang kurang adil terhadap dirinya, dan sebagainya.

e) Faktor-faktor sosial dan kepribadian

Di dalam kehidupan sosial, ketunanetraan pada dasarnya tidak mengganggu komunikasi, tetapi akan menghambat gerak ekspresif. Sebab gerak-gerik muka maupun gerak isyarat sebagian besar diperoleh dengan menirukan berdasarkan penglihatan.

Siswa tunanetra akan merasa terasing dari lingkungannya. Perasaan ini akan menimbulkan perasaan tidak aman, dan perasaan inilah yang menyebabkan timbulnya masalah pribadi. Faktor-faktor yang memungkinkan siswa tunanetra mengalami masalah dalam kepribadian, biasanya disebabkan oleh faktor lingkungan, faktor terjadinya ketunanetraan, kesehatan fisik, dan usia mentalnya. Beberapa ciri yang sering tampak pada siswa tunanetra, antara lain: mudah putus asa, terlalu sensitive, kurang inisiatif, dll.

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2568/3/T1_202008004_BAB II.pdfterlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran

16

C. Tinjauan Tentang Geometri 1. Pengertian Geometri

Geometri merupakan cabang matematika mengenai bangun, bentuk, dan ukuran benda-benda, dan telaah atau sifat-sifat tetap (invatian) dari elemen-elemen yang diketahui, dibawah pengaruh grup-grup transformasi khusus (Djati Kerami, 2003). Selanjutnya, Reys (1998) mengatakan bahwa geometri adalah studi tentang bidang datar dan bangun ruang dan berbagai bentuk dalam ruang. Jadi, geometri adalah bagian dari matematika yang merupakan pengetahuan tentang hubungan dan pemahaman secara mendalam tentang bangun ruang dan bidang datar serta sifat-sifatnya yang berguna dalam berbagai situasi dan berkaitan dengan topik matematika dan pelajaran lainnya.

Geometri sudah dipelajari sejak sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi antara lain geometri bidang, geometri ruang, geometri analistik, dsb. Pada geometri bidang (dimensi dua) dan geometri ruang (dimensi tiga) di sekolah menengah telah dipelajari bangun-bangun titik, garis, bidang datar, dsb dengan sifat-sifatnya yang sederhana. Bangun-bangun atau benda-benda perlu didefinisikan, untuk mendefinisikan sesuatu perlu diketahui pengertian-pengertian sebelumnya.

2. Pembelajaran Geometri Van Hiele mengemukakan 5 (lima) tahapan siswa dalam

belajar geometri, yaitu (a) tahap pengenalan, yaitu tahap ketika siswa mulai mengenal bentuk geometri secara keseluruhan, tetapi ia belum mengetahui sifat-sifat dari bentuk geometri tersebut, (b) tahap analisis, yaitu tahap ketika siswa mulai mengenal sifat-sifat dari bentuk geometri yang diamati, (c) tahap pengurutan, yaitu tahap ketika siswa mulai dapat membuat kesimpulan, mengaitkan, dan mengurutkan, (d) tahap deduksi, yaitu tahap ketika siswa dapat menarik kesimpulan secara deduktif, mulai dapat memahami dan menggunakan teorema atau dalil dan aksioma atau postulat dalam pembuktian, (e) tahap akurasi, yaitu tahap yang termasuk kategori tinggi karena kompleks, pada tahap ini siswa mulai mengetahui pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang mendasari sebuah pembuktian.

Di dalam proses pembelajarannya, pendekatan dan strategi pembelajaran bersandar pada pendapat yang menyatakan bahwa

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2568/3/T1_202008004_BAB II.pdfterlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran

17

pemahaman suatu konsep atau pengetahuan dibangun sendiri (dikonstruksi) oleh siswa. Ini berarti, suatu rumusan, konsep atau prinsip dalam geometri ruang, seyogyanya ditemukan kembali oleh siswa dengan bimbingan guru (guided reinvention). Pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk menemukan kembali, membuat siswa terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu, dan hal ini akan sangat bermanfaat pada bidang lainnya maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran geometri ruang untuk siswa harus dimulai dari benda-benda konkret seperti tempat kapur, kerangka kubus, dadu dan benda-benda lainnya diubah ke bentuk semi konkret yang berupa gambar kubus sehingga pada akhirnya siswa tersebut akan dapat memiliki pengetahuan tentang kubus tersebut yang sudah bersifat abstrak yang ada didalam pikiran tiap-tiap siswa.

D. Pembelajaran Matematika Siswa Tunanetra 1. Pembelajaran Siswa Tunanetra

Menurut pandangan behavioral menegaskan bahwa pembelajaran merupakan perubahan perilaku, yang dengannya seseorang bertindak dalam satu situasi tertentu. Pembelajaran selalu menghasilkan satu perubahan pada seseorang yang belajar (Anita E. Woolfolk,2004). Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik (Mulyana 2003). Sedangkan menurut Wina Sanjaya (2009) “Pembelajaran mempunyai arti sebagai penciptaan sistem lingkungan yang merupakan seperangkat peristiwa yang diciptakan dan dirancang untuk mendorong, menggiatkan, mendukung, dan memungkinkan terjadinya belajar”.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, pembelajaran siswa tunanetra adalah proses interaksi antara siswa yang menyandang tunanetra dengan lingkungannya, dan proses penciptaan sistem lingkungan yang merupakan seperangkat peristiwa yang diciptakan dan dirancang untuk mendorong, menggiatkan, mendukung dan memungkinkan terjadinya siswa tunanetra belajar, sehingga terjadi perubahan perilaku siswa tunanetra kearah yang lebih baik.

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2568/3/T1_202008004_BAB II.pdfterlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran

18

2. Pembelajaran Matematika Siswa Tunanetra Pengertian pembelajaran matematika menurut beberapa ahli

adalah suatu aktivitas yang disengaja untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk tercapai tujuan melalui kegiatan penalaran. Pembelajaran matematika siswa tunanetra merupakan proses penciptaan sistem lingkungan yang merupakan seperangkat peristiwa yang diciptakan dan dirancang untuk mendorong, menggiatkan, mendukung dan memungkinkan terjadinya siswa tunanetra belajar matematika, sehingga terjadi perubahan perilaku atau keterampilan matematika siswa tunanetra kearah yang lebih baik.

Pada prinsipnya, pembelajaran matematika siswa tunanetra sama dengan pembelajaran matematika siswa normal di sekolah formal pada umumnya. Hanya saja pada pembelajaran matematika siswa tunanetra dibutuhkan beberapa pra syarat yaitu antara lain, penggunaan huruf Braille ataupun gambar timbul untuk siswa tunanetra dengan kategori buta dan pembesaran huruf atau tulisan untuk siswa tunanetra dengan kategori low vision.

3. Alat Pembelajaran untuk Siswa Tunanetra Untuk pembelajaran berhitung atau matematika siswa

tunanetra perlu dilatih untuk menggunakan salah satu alat bantu matematika sampai benar-benar lancar menggunakannya. Baru setelah itu guru dapat memperkenalkan penggunaan jenis alat bantu matematika yang lain kepada siswa tunanetra. Menurut Smith (1998), alat-alat bantu yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika bagi siswa tunanetra antara lain sebagai berikut :

a) Bacaan dan Tulisan Braille (Braille Reading and Writing)

Siswa dianggap tunanetra (buta total) jika mereka tidak dapat membaca huruf bahkan dalam keadaan khusus sekalipun. Bagi siswa tunanetra, kemampuan membaca dan menulis melalui huruf Braille menjadi penting untuk komunikasi dan pembelajaran. Huruf Braille adalah suatu sistem yang menggunakan kode berupa titik-titik yang ditonjolkan untuk menunjukkan huruf, angka, dan simbol-simbol lainnya. Sistem ini berdasarkan pada susunan enam titik (six-dot cell) dengan dua titik horisontal dan tiga titik vertikal.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2568/3/T1_202008004_BAB II.pdfterlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran

19

b) Keyboarding Kemampuan menggunakan keyboarding standar merupakan

suatu cara agar penyandang tunanetra dapat berkomunikasi dalam bentuk tulisan dengan orang lain. Ini dapat menjadi faktor penting bagi kemampuan siswa agar dapat mengikuti pendidikan di dalam kelas dengan guru dan siswa yang dapat melihat. Siswa penyandang tunanetra biasanya diberi pengajaran dalam menggunakan keyboard sedini mungkin. Sistem keyboard digunakan sebagai model respon utama untuk tes, pekerjaan rumah, dan tugas sekolah lainnya, ketika huruf Braille tidak dapat digunakan dengan tepat. Hanya satu kemampuan tulis tangan yang ditekankan pada siswa penyandang tunanetra yaitu dalam membuat tanda tangan.

c) Alat Bantu Menghitung (Calculation Aids)

Di dalam pelajaran matematika, cipoa (sempoa) telah menjadi suatu alat bantu yang penting bagi siswa tunanetra. Penghitungan matematika dasar dapat dilakukan dengan memainkan biji cipoa (sempoa) dan hasilnya terdapat dalam bentuk taktil, yang dapat diraba dengan jari tangan. Kini yang telah umum digunakan adalah kalkulator elektronik kecil baik masukan maupun hasil keluarannya selain dinyatakan dalam bentuk tulisan yang dapat diamati secara visual, juga dinyatakan secara verbal sehingga dapat didengarkan atau diamati secara auditif. Adanya kalkulator bersuara ini sangat membantu penyandang tunanetra untuk melakukan hitung-menghitung.

d) Optacon

Optical-to-Tactile Converter (Optacon) dikembangkan oleh Laboratorium Elektronika Universitas Stanford. Mesin ini seukuran dengan tape recorder kecil, bekerja mengubah materi yang dicetak kedalam pola-pola getaran pada ujung jari pemakai. Optacon terdiri dari satu kamera dengan elemen photosensitive yang dihubungkan ke susunan ‘sandi raba’ (tactile pin) yang sesuai dengan huruf tertentu, satu huruf yang dipindahkan oleh kamera akan menghasilkan pola getaran tertentu yang bisa dirasakan dengan meraba. Pemakai meletakkan ujung jarinya pada pin dan

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2568/3/T1_202008004_BAB II.pdfterlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran

20

akan merasakan getaran yang berbeda saat kamera bergerak diatas tiap huruf dan kata. Kamera ini dapat “melihat” bidang sekitar ukuran tunggal pada satu waktu. Untuk menggunakan Optacon diperlukan persyaratan dan latihan yang intensif.

e) Mesin Baca Kurzweil (Kurzweil Reading Machine)

Mesin ini dapat membaca suatu buku yang tercetak, hasil huruf-hurufnya dikeluarkan dalam bentuk suara. Bila materi yang dicetak diletakkan pada suatu lembaran kaca pemindah elektronik (scanner) dan mesin dihidupkan dengan menekan sebuah tombol, maka akan terdengar suara buatan yang membacakannya. Bila tombol ini ditekan, akan terdengan suara yang dengan sabar terus-menerus akan mengulang kata, kalimat, paragraf beberapa kali, atau mengeja kata tertentu yang diminta.

f) Buku Bersuara (Talking Books)

Talking books telah menjadi alat pendidikan bagi siswa tunanetra. Program Talking Books ini disponsori oleh Library or Congress. Buku dan majalah direkam dalam disket atau kaset dan dibagikan kepada siswa yang mengalami hambatan penglihatan secara gratis. Buku-buku ini dibaca oleh pembaca sukarela dan dapat didengar dalam rata-rata 160-170 kata per menit untuk fiksi, dan sekitar 150 kata per menit untuk nonfiksi. Salah satu kekurangan dalam mendengarkan buku teks atau materi lainnya adalah prosesnya lebih lambat dibanding bacaan normal. Biasanya siswa tunanetra memerlukan waktu lebih lama dalam mendengarkan satu bab dibanding siswa lain yang membacanya. Salah satu solusi bagi pemecahan masalah ini yang telah dikembangkan adalah compressed speech devices. Alat ini dapat mengurangi/menghilangkan unsur-unsur yang tidak perlu dari suara yang direkam. Ini dapat mengurangi distorsi yang cukup besar. Proses ini menghasilkan tingkat pendengaran yang semakin meningkat.

g) Rangka Taylor atau “Taylor Frame”.

Rangka Taylor dibuat dari bahan dan logam yang mempunyai lubang-lubang yang setiap lubang memiliki delapan segi. Pada

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2568/3/T1_202008004_BAB II.pdfterlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran

21

lubang tersebut dapat dimasukan batangan logam yang dapat dirubah-rubah letaknya dalam delapan posisi. Batang yang dimasukan dalam lubang, bagian atasnya dapat diraba. Pada setiap batang logam kedua ujungnya dapat menunjukan suatu angka, huruf dan tanda lainnya. Selain untuk mengerjakan matematika atau berhitung, rangka Taylor juga memiliki fungsi untuk membuat soal dimana pengerjaannya dapat dilakukan dengan cara mendatar atau horizontal maupun vertikal.

h) Sempoa atau Abakus

Sempoa atau abakus biasanya terbuat dari kayu atau plastik dengan ukuran yang bervariasi. Pada dasarnya sempoa merupakan sebuah papan bingkai yang dibagian tengah terdapat palang pemisah yang dari kanan ke kiri terdapat kisi-kisi/jari-jari. Pada setiap jari-jari terdapat semacam butir-butir kelereng yang dapat digeser ke atas dan atau ke bawah. Palang pemisah ini berfungsi untuk membatasi kelereng yang ada di atas palang dan di bawah palang. Sempoa atau abakus digunakan untuk mengerjakan hitungan, yaitu penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian yang meliputi bilangan bulat maupun pecahan.

E. Faktor Pendukung dan Penghambat Pembelajaran Geometri Siswa

Tunanetra 1. Faktor Pendukung Pembelajaran Geometri Siswa Tunanetra

Siswa tunanetra memiliki kemampuan intelegensi yang cukup baik dan daya ingat yang kuat. Selain itu juga memiliki kemampuan taktil (synthetic touch dan analytic touch) yaitu kemampuan merasakan objek melalui ujung-ujung jarinya sebagai indera penglihatan (Delphie, 2006). Siswa tunanetra dapat memaksimalkan kemampuan yang ada pada dirinya saat belajar geometri. Untuk mendeskripsikan suatu benda siswa tunanetra menggunakan indera raba dengan jari-jarinya. Siswa tunanetra memiliki daya ingat yang kuat untuk mengingat materi pelajaran matematika sehingga konsep yang diberikan oleh guru akan tertanam dipikiran siswa tunanetra.

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2568/3/T1_202008004_BAB II.pdfterlebih dahulu harus dirumuskan oleh guru, karena merupakan sasaran

22

2. Faktor Penghambat Pembelajaran Geometri Siswa Tunanetra Faktor penghambat pengajaran geometri bagi siswa tunanetra

adalah keterbatasan pada indera penglihatannya sedangkan untuk materi geometri diperlukan indera penglihatan karena adanya kegiatan pengamatan pada benda-benda yang bersifat abstrak. Guru merasa kesulitan dalam menyampaikan materi yang bersifat visual terhadap siswa tunanetra dikarenakan kurangnya media atau alat peraga sebagai penunjang kegiatan belajar mengajar. Jika pun ada media atau alat peraga, beberapa diantaranya penggunaan media atau alat peraga kurang dapat dimaksimalkan karena dalam pembuatannya tidak memperhatikan hambatan yang ada pada siswa tunanetra.