BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian...

29
23 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Makna Makna muncul dari hubungan khusus antar kata (sebagai simbol verbal) dan manusia. Makna tidak melekat pada kata-kata, namun kata-kata membangkitkan makna dalam pikiran orang. Jadi tidak ada hubungan langsung antara subjek dengan simbol yang digunakan untuk mempresentasikan sesuatu. Makna adalah balasan terhadap pesan, suatu pesan terdiri dari tanda-tanda dan simbol-simbol yang sebenarnya tidak mengandung makna, makna baru akan timbul, ketika ada seseorang yang menafsirkan tanda dan simbol yang bersangkutan dan berusaha memahami artinya. Ada beberapa pandangan yang menjelaskan ihwal teori atau konsep makna. Model prosesi makna menawarkan sejumlah implikasi bagi komunikasi antar manusia sebagai berikut : 1 1. Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Manusiaa menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang akan dikomunikasikan. Tetapi kata-kata itu tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang dimaksudkan. 2. Makna berubah. Kata-kata relatif statis tapi makna dari kata tersebut yang terus berubah dan ini khususnya terjadi pada dimensi emosional dari makna. 1 .Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi (Suatu Pengantar, (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2010) hlm : 92

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian...

23

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Makna

Makna muncul dari hubungan khusus antar kata (sebagai simbol verbal)

dan manusia. Makna tidak melekat pada kata-kata, namun kata-kata

membangkitkan makna dalam pikiran orang. Jadi tidak ada hubungan

langsung antara subjek dengan simbol yang digunakan untuk

mempresentasikan sesuatu. Makna adalah balasan terhadap pesan, suatu

pesan terdiri dari tanda-tanda dan simbol-simbol yang sebenarnya tidak

mengandung makna, makna baru akan timbul, ketika ada seseorang yang

menafsirkan tanda dan simbol yang bersangkutan dan berusaha memahami

artinya. Ada beberapa pandangan yang menjelaskan ihwal teori atau konsep

makna. Model prosesi makna menawarkan sejumlah implikasi bagi

komunikasi antar manusia sebagai berikut :1

1. Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata

melainkan pada manusia. Manusiaa menggunakan kata-kata untuk mendekati

makna yang akan dikomunikasikan. Tetapi kata-kata itu tidak secara

sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang dimaksudkan.

2. Makna berubah. Kata-kata relatif statis tapi makna dari kata tersebut yang

terus berubah dan ini khususnya terjadi pada dimensi emosional dari makna.

1 .Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi (Suatu Pengantar, (Bandung : PT.Remaja

Rosdakarya, 2010) hlm : 92

24

3. Makna membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komunikasi mengacu

kepada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana mempunyai

kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal.

4. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna, berkaitan erat dengan

gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang

timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan

yang konkret dan dapat diamati.

5. Makna tidak terbatasnya jumlahnya. Pada suatu saat tertentu jumlah kata

dalam bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas.

6. Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang diperoleh dalam suatu

kejadian bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja

dari makna-makna ini yang dapat dijelaskan, kerena itu pemahaman yang

sebenarnya atau pertukaran makna secara sempurna yang merupakan tujuan

ideal yang ingin dicapai namun tidak tercapai

Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia. Mead menekankan

dasar intersubyektif dari makna. Makna dapat ada, menurut Mead, hanya

ketika orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang

mereka pertukarkan dalam interaksi. Makna merupakan persamaan asumsi

yang terjadi pada sesuatu yang didasari atas interaksi dan hubungan sosial

yang menciptakan tujuan yang sama.

25

2.1.2 Fungsi Makna dalam Kehidupan Sosial

Manusia bisa memaknai arti sesuatu benda dan kegunaannya

seperti alat-alat yang manusia gunakan sehari-hari contohnya alat pemukul

base ball bisa berbeda pemaknaan setiap daerah.

a. Dengan adanya makna manusia bisa berinteraksi dengan individu

lainnya yang artinya bahwa makna tersebut manusia bisa saling

berinteraksi terhadap individu lain dengan memaknai bahasa yang

diungkapkan.

b. Dengan adanya makna manusia bisa memelihara kebudayaan mereka

yaitu dengan mengerti apa yang terkandung dalam suatu kebudayaan

mereka yaitu dengan mengerti apa yang terkandung dalam suatu

kebudayaan tersebut dengan memaknai peralatannya dan mengetahui

makna-makna yang ada, sehingga kebudayaan akan tetap dipelihara.2

2.1.3 Tradisi

1. Definisi Tradisi

Upaya manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya tentu

dengan mengandalkan kemampuan manusia sendiri untuk menjadikan alam

sebagai obyek yang dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi

dapat dikatakan bahwa kebudayaan tersebut lahir sesungguhnya diakibatkan

oleh keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam bentuk

tingkah laku, pola hidup, perekonomian, pertanian, sistem kekerabatan,

stratifikasi sosial, religi, mitos dan sebagainya. Kesemua aspek tersebut yang

2 . Susilo rahmat K dwi, 20 tokoh sosiologi modern, jogyakarta : ar-ruzz media, 2008 hlm : 48

26

kemudian harus dipenuhi oleh manusia dalam kehidupannya yang sekaligus

secara spontanitas akan melahirkan kebudayaan atau tradisi.

Tradisi adalah kesamaan benda material dan gagasan yang berasal dari

masa lalu namun masih ada hingga kini dan belum dihancurkan atau dirusak.

Tradisi dapat diartikan sebagai warisan yang benar atau warisan masa lalu.

Namun demikian tradisi yang terjadi berulang-ulang bukanlah dilakukan secara

kebetulan atau disengaja.3 Dari pemahaman tersebut maka apapun yang

dilakukan oleh manusia secara turun mrnurun dari setiap aspek kehidupannya

yang merupakan upaya untuk meringankan hidup manusia dapat dikatakan

sebagai “tradisi” yang berarti bahwa hal tersebut adalah menjadi bagian dari

kebudayaan. Secara khusus tradisi oleh C.A van Perseun diterjemahkan sebagai

proses pewarisan atau penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah,

harta-harta. Tradisi dapat dirubah diangkat, ditolak dan dipadukan dengan aneka

ragam perbuatan manusia.4

Lebih khusus tradisi yang dapat melahirkan kebudayaan masyarakat dapat

diketahui dari wujud tradisi itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan

itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu :

a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan-gagasan,

nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.

b. Wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola dari

manusia dan masyarakat.

3 . Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta : Prenada Media Grup, 2007 hlm : 69 4 . C.A Van Perseun, strategi kebudayaan Yogyakarta : kanisius, 1988 hlm: 11

27

c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.5

Masyarakat merupakan sekelompok orang yang memiliki kesamaan

budaya, wilayah identitas, dan berinteraksi dalam suatu hubungan sosial yang

terstuktur. Masyarakat mewariskan masa lalunya melalui :

1. Tradisi dan adat istiadat (nilai,norma yang mengatur perilaku dan

hubungan antar individu dalam kelompok). Adat istiadat yang

berkembang disuatu masyarakat di daerah tersebut. Adat istiadat sebagai

sarana mewariskan masa lalu terkadang yang disampaikan tidak sama

persi dengan yang terjadi di masa lalu tetapi mengalami berbagai

perubahan sesuai perkembangan zaman. Masa lalu sebagai dasar untuk

terus dikembangkan dan diperbaharui.

2. Nasehat dari para leluhur, dilestarikan dengan cara menjaga nasehat

tersebut melalui ingatan kolektif anggota masyarakt dan kemudian

disampaikan secara lisan turun temurun dari satu generasi ke generasi

selanjutnya.

3. Peranan orang yang dituakan (pemimpin kelompok yang memiliki

kemampuan lebih dalam menaklukan alam) dalam masyarakat.

Pemimppin kelompok menyampaikan secara lisan sebuah ajaran yang

harus di taati oleh anggota kelompoknya.

1. Membuat suatu peringatan kepada semua anggota kelompok masyarakat

berupa lukisan serta perkakas sebagai alat bantu hidup serta bangunan

tugu atau makam. Semuanya itu dapat diwariskan kepada generasi

selanjutnya hanya dengan melihat.

5 . Mattulada 1997, Kebudayaan Kemanusiaan Dan Lingkungan Hidup, (Hasanuddin

University) Press, hlm : 1

28

Menurut arti yang lebih lengkap bahwa tradisi mencakup kelangsungan

masa lalu dimasa kini ketimbang sekedar menunjukan fakta bahwa masa kini

berasal dari dibuang atau dilupakan. Maka disini tradisi hanya berarti warisan,

apa yang benar-benar tersisa dari masa lalu. Hal ini senada dengan apa yang

dikatan Shils, keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari masa

lalu namun benar-benar masih ada kini, belum dihancurkan, dirusak, “tradisi

berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa

kini.6

Sebagai sistem budaya, tradisi menyediakan seperangkat model untuk

bertingkah laku yang bersumber dari sistem nilai dan gagasan utama. Tradisi

juga merupakan suatu sistem yang menyeluruh, yang terdiri dari cara aspek

yang pemberian arti perilaku ajaran, perilaku ritual dan beberapa jenis

perilaku lainnya dari manusia atau sejumlah manusia yang melakukan

tindakan satu dengan yang lain. Unsur terkecil dari sistem tersebut adalah

simbol. Simbol meliputi penilai norma, dan sistem ekspresif ( simbol yang

menyangkut pengungkapan perasaan).

Jadi yang menjadi hal penting dalam memahami tradisi adalah sikap atau

orientasi pikiran atau benda material atau gagasan yang berasal dari masa lalu

yang dipungut orang dimasa kini. Sikap dan orientasi ini menepati bagian

khusus dari keseluruhan warisan historis dan mengangkatnya menjadi tradisi.

Arti penting penghormatan atau penerimaan sesuatu yang secara sosial

6 . Piotr Sztompka 2007, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta :Pernada Grup. Hlm 70

29

ditetapkan sebagai tradisi menjelaskan betapa menariknya fenomena tradisi

itu.

2. Lahirnya Tradisi dalam masyarakat

Dalam arti sempit tradisi adalah kumpulan benda material dan gagasan

yang diberi makna khusus berasal dari masa lalu. Tradisi pun mengalami

perubahan. Tradisi lahir disaat tertentu ketika orang menentukan fragmen

tertentu dari warisan masa lalu sebagai tradisi. Tradisi berubah ketika orang

memberikan perhatian khusus pada fragmen tradisi tertentu dan mengabaikan

fragmen yang lain. Tradisi bertahan dalam jangka waktu tertentu dan

mungkin lenyap bila benda material dibuang dan gagasan ditolak atau

dilupakan. Tradisi mungkin pula hidup dan muncul kembali setelah lama

terpendam. Tradisi lahir melalui 2 (dua) cara yaitu :7

Pertama, muncul dari bawah melalui mekanisme kemunculan secara

spontan dan tak diharapkan serta melibatkan rakyat banyak. Karena sesuatu

alasan, individu tertentu menemukan warisan historis yang menarik

perhatian, kecintaan dan kekaguman yang kemudian disebar melalui berbagai

cara mempengaruhi rakyat banyak. Sikap-sikap tersebut berubah menjadi

perilaku dalam bentuk upacara, penelitian dan pemugaran peninggalan

purbakala serta menafsirkan ulang keyakinan lama.

Kedua, muncul dari atas melalui mekanisme paksaan. Sesuatu yang

dianggap tradisi dipilih dijadikan perhatian umum atau dipaksaan oleh

individu yang berpengaruh atau berkuasa. Dua jalan kelahiran tradisi tersebut

7 . Ibid hlm : 73

30

tidak membedakan kadarnya. Perbedaannya terdapat antara tradisi “asli”,

yakni yang sudah ada dimasa lalu dan mampu menularkan impian itu kepada

orang banyak. Lebih sering tradisi buatan ini dipaksakan dari atas oleh

penguasa untuk mencapai tujuan politik mereka.

Begitu terbentuk, tradisi mengalami berbagai perubahan. Perubahan

kuantitatifnya terlihat dalam jumlah penganut atau pendukungnya. Rakyat

dapat ditarik untuk mengikuti tradisi tertentu yang kemudian mempengaruhi

seluruh rakyat dan negara atau bahkan dapat mempengaruhi skala global.

Arah perubahan lain adalah arahan perubahan kualitatif yakni perubahan

kadar tradisi.

Gagasan, simbol dan nilai tertentu ditambahkan dan yang lainnya

dibuang. Cepat atau lambat setiap tradisi mulai dipertanyakan, diragukan,

diteliti ulang dan bersamaan dengan itu fragmen-fragmen masa lalu

ditemukan disahkan sebagai tradisi. Perubahan tradisi juga disebabkan

banyaknya tradisi dan bentrokan antara tradisi yang satu dengan saingannya.

Benturan itu dapat terjadi antara tradisi masyarakat atau kultur yang berbeda

di dalam masyarakat tertentu.

2.1.4 Pengertian Hukum Adat

Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup

bermasyarakat. Sejak manusia itu diturunkan Tuhan ke muka bumi, maka ia

memulai hidupnya berkeluarga, kemudian bermasyarakat dan kemudian

bernegara. Terjadinya hukum dimulai dari dari pribadi manusia yang diberi

tuhan akal fikiran dan perilaku. Perilaku yang terus menerus dilakukan

31

perorangan menimbulkan “kebiasaan pribadi”. Apabila kebiasaan pribadi itu

ditiru orang lain maka ia juga akan menjadi kebiasaan orang itu. Lambat laun

diantara orang yang lain di dalam kesatuan masyarakat ikut pula melakukan

kebiasaan itu menjadi “adat” dari masyarakat itu.

Hukum adat merupakan produk dari budaya yang mengandung

substansi tentang nilai-nilai budaya cipta, karsa, rasa manusia. Dalam arti

bahw hukum adat lahir dari kesadaran atas kebutuhan dan keinginan manusia

untuk hidup secara adil dan beradap sebagai aktualisasi peradaban manusia.

Selain itu hukum adat juga merupakan produk sosial yaitu sebagai hasil kerja

bersama (kesepakatan) dan merupakan karya bersama secara bersama (milik

sosial) dari suatu masyarakat hukum adat.8

Jadi adat adalah kebiasaan masyarakat, dan kelompok-kelompok

masyarakat yang lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang

seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat sehinggamenjadi hukum

adat, jadi hukum adat yang diterima dan harus dilaksanakan dalam

masyarakat yang bersangkutan.9

Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan

kehidupan sosial di indonesia. Hukum adat adalah hukum asli bangsa

inidonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang

tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum

masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh

8 . Dr. Djamat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia, Bandung, Nuansa Aulia. Hlm : 2 9. Hilman Hadikusuma 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung, Mandar

Maju Hlm : 1

32

kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan

elastis.

Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang

yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu

persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar

keturunan.10

Hukum adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh :

a. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di

pulau Jawa dan Bali dipengaruhi Agama hindu, di Aceh dipengaruhi

Agama Islam, di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.

b. Kerajaan seperti antara lain : Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.

c. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.

Ciri-ciri dari hukum Adat yaitu :

a. Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.

b. Tidak tersusun secara sistematis.

c. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.

d. Tidak teratur.

e. Keputusan tidak memakai konseran (pertimbangan)

f. Pasal-pasal aturannya tidak sistemastis dan tidak mempunyai penjelasan.11

10 Djaret Saragih 1996, Pengantar Hukum Adat Indonesia. Bandung, Tarsito, Hlm 32 11 . Muhammad Bushar, 2004, pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta, PT Penebar Swadya. Hlm : 5

33

2.1.5 Bentuk Masyarakat Hukum Adat

1. Masyarakat hukum Teritorial

Masyarakat hukum teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang

anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik

dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani

sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur. Para anggota masyarakatnya

merupakan anggota-anggota yang terkait dalam kesatuanyang teratur baik keluar

maupun kedalam. Di antara anggota yang pergi merantau untuk sementara waktu

masih tetap merupakan anggota kesatuan tutorial itu. Begitu pula orang yang datang

dari luar dapat masuk menjadi anggota kesatuan dengan memenuhi persyaratan adat

setempat.12

2. Masyarakat Genealogis

Masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat genealogis adalah suatu

kesatuan masyarakat yang teratur, dimana para anggotanya terikat pada suatu garis

keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung karena hubungan darah

(keturunan) atau secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian

adat. Menurut para ahli hukum adat di masa Hindia Belanda masyarakat yang

genealogis itu dapat dibedakan dalam tiga macam yaitu yang bersifat patrilinial,

matrilinial dan bilateral atau parental.

12 . Ibid Hal : 10

34

3. Masyarakat Teritorial-Genealogis

Masyarakat hukum Teritorial-Genealogis adalah kesatuan masyarakat yang

tetap dan teratur dimana para anggotanya bukan saja terikat pada tempat kediaman

pada suatu daerah tertentu, tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam

ikatan pertalian darah dan atau kekerabatan.

4. Masyarakat Adat-Keagamaan

Di antara berbagai kesatuan masyarakat adat akan terdapat kesatuan masyarakat

adat yang khusus bersifat keagamaan dibeberapa daerah tertentu. Jadi ada kesatuan

masyarakat adat-keagamaan menurut kepercayaan lama, ada kesatuan masyarakat

yang khusus beragama Hindu, Islam, Kristen / Katolik, dan ada yang sifatnya

campuran. Dilingkungan masyarakat yang didominasi kepercayaan dan agama

tertentu, maka para anggotanya selain merupakan warga kesatuan desa menurut

perundangan, tetapi juga merupakan warga adat yang tradisional dan warga

keagamaan yang di anutnya masing-masing.13

2.1.6 Unsur-Unsur Hukum Adat

Apabila diperhatikan sejarah perkembangan Hukum Adat di Hindia

Belanda, terutama pada masa awal kolonialisme , Pemerintah Kolonial tidak

mengakui hukum Bangsa Indonesia sebagai hukum14. Sebab, pertama tidak tertulis

dan kedua kalaupun ada yang tertulis, bagian yang tertulis itu tidak dibuat oleh

badan pembentuk undang-undang yang diberikan kekuasaan oleh negara.

14 . Subari S. Albar.H & Albariansyah Hamonangan 2010 Pokok Pokok Hukum Adat.

Palembang, Sriwijaya Hlm : 2

35

Pandangan seperti itu timbul karena pengaruh ajaran legalisme yang sangat

mempengaruhi pandangan terhadap hukum sarjana Eropa pada umumnya dan

sarjana Belanda khusunya. Ajaran legalisme tersebut menganggap, tidak ada

hukum kecuali undang-undang, hukum tidak tertulis seperti hukum bangsa

indonesia, dipandang bukan hukum.

Akan tetapi lama kelamaan berkat jasa para etnologis, pandangan seperti itu

dari pemerintah kolonial terhadap hukum bangsa Indonesia berubah yaitu dengan

di akuinya hukum bangsa Indonesia sebagai hukum sederajat dengan hukum barat

yang mereka bawa dari belanda dengan asas korkondansi. Pengakuan terhadap

hukum bangsa Indonesia itu, kemudian dilanjutkan dengan tindakan yudiris Pasal

131 ayat 6 IS yang menyatakan hukum bangsa Indonesia adalah hukum positif bagi

hukum bangsa Indonesia. Dengan diakui hukum bangsa Indonesia itu, maka oleh

pasal 131 IS diakui dua sistem hukum positif yang berlaku berbarengan di hindia

belanda, yaitu sistem hukum belanda dan hukum bangsa Indonesia.

Karena telah ada dua sistem hukum, maka untuk memudahkan pengenalannya,

hukum tersebut diperlukan nama. Akan tetapi pada awal pengakuan secara yudiris

keberlakuan kedua sistem hukum itu belum ada nama. Istilah yang menunjukan

nama itu mula-mula dkembangkan oleh para ahli yang meneliti hukum bangsa

Indonesia. Salmon Keyzer dan Van deb Berg menyebutkan dengan istilah-istilah

yang mana kemudian oleh pemerintah kolonial dijadikan istilah teknis yudiris.

Ketika Salomon Keyzer dan Van den Berg berhasil merumuskan hasil

penelitiannya dari hukum bangsa Indonesia dan di umumkan hasil penelitian itu

dalam teori receptio in complexu, mereka menyimpulkan bahwa hukum bangsa

36

Indonesia itu tidak lain dari hukum agama yang dianut. Menurut teori Reception in

complexu, unsur pembentuk hukum bangsa Indonesia itu hanyalah hukum agama

semata karena teori tersebut menyimpulkan hukum bangsa Indonesia itu tidak lain

hukum agama yang di anut, maka hukum itu dinamakan oleh mereka

Godsdientige(Undang-Undang Agama).

Apabila dari batasa makna hukum adat tersebut ditarik kesimpulan, maka

unsur-unsur yang terkandung dalam istilah Adtrech itu, meliput unsur-unsur

sebagai berikut15 :

1. Tidak tertulis

2. Indonesia dan Timur Asing

3. Perbedaan lokal yang tebal

4. Renapan Kesusilaan

5. Diluar Perundang-undangan

2.1.7 Fungsi hukum sebagai Sosial Kontrol.

Fungsi hukum sebagai sosial kontrol merupakan aspek yudiris normatif dari

kehidupan sosial masyarakat atau dapat disebut pemberi definifi dari tingkah laku

yang menyimpang serta akibat-akibatnya seperti larangan-larang, perintah-

perintah, pemidanaan dan ganti rugi. Sebagai alat pengendalian sosial, hukum

dianggap berfungsi untuk menetapkan tingkah laku yang baik dan tidak baik atau

perilaku yang menyimpang hukum, dan sanksi hukum terhadap orang yang

mempunyai perilaku yang tidak baik16.

15 . Ibid hlm : 6 16 . Zainuddin Ali 2015. Sosiologi Hukum. Jakarta Sinar Grafika. Hal: 37

37

Setiap masyarakat mempunyai perbedaan kuantitas sanksi terhadap

penyimpangan tertentu terhadap hukum. Sebagai contoh dapat diungkapkan, bagi

masyarakat muslim di Mekah, orang yang berzina dienai hukuman cambuk 100 kali

bagi pezina pemuda/pemudi dan hukuman rajam bagi pezina janda/duda. Lain

halnya pada masyarakat muslim indonesia, saat ini tidak ditemukan sanksi hukum

yang demikian, baik bagi pezina pemudi/pemuda maupun pezina duda/janda.

Dengan demikian, tingkah laku yang menyimpang merupakan tindakan yang

tergantung dari kontrol sosial masyarakat atau sanksi hukum yang dijadikan acuan

untuk menerapkan hukuman. Hal itu berarti kontrol sosial adalah segala sesuatu

yang dijalankan untuk melaksanakan proses yang direncanakan dan yang tidak

direncanakan untuk mendidik dan mengajak warga masyarakat agar menyesuaikan

diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang

bersangkutan.

Dari uraian diatas, tampak bahwa manfaat yang di dapat diperoleh dari kontrol

sosial terhadap penyimpangan perilaku seseorang yang terjadi dalam masyarakat

adalah pranata hukum berfungsi bersama pranata lainnya dalam melakukan

pengendalian sosial. Selain itu, dapat diketahui bahwa pranata hukum itu pasif,

yaitu hukum menyesuaikan diri dengan kenyataan sosial dalam masyarakat. Oleh

karena itu, terlaksanaya atau tidak fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial

amat ditentukan oleh faktor aturan hukum dan faktor pelaksana hukum.

2.1.8 Reorientasi Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat

Sejak awal sejarah pembentukan umat manusia dalam konteks interaksi

dalam masyarakat, persoalan kaidah atau norma merupakan jelmaan yang

38

dibutuhkan dalam upaya mencapai harmonisasi kehidupan, secara empirik

sosiologis kaidah atau norma adalah tuntunan atau kunci dalam mencapai stabilisasi

interaksi sehingga pelanggaran akan kaidah atau norma akan dijatuhi hukuman atau

sanksi sosial.17

Kaidah agama maupun kaidah hukum yang bersumber pula dari kaidah

sosial merupakan payung kehidupan dalam masyarakat. Masyarakat yang tidak

beradab adalah masyarakat yang tidak mempunyai kaidah agama maupun kaidah

sosial, atau masyarakat yang mengingkari atau menyimpang dari kedua kaidah

tersebut. Dalam sejarah kehidupan manusia hal ini telah banyak dibuktikan.

Interaksi kehidupan manusia dalam masyarakat sepanjang perjalanan hidup

tidak ada yang berjalan lurus, mulus dan aman-aman saja. Sepanjang kehidupan

manusia, yang namanya persengketaan, kejahatan, ketidak adilan, diskriminasi,

kesenjangan sosial, konflik SARA dan sebagainya adalah warna-warni dari realitas

yang dihadapi. Persoalan-persoalan tersebut semakin berkembamg dalam

modifikasi lain akibat pengaruh teknologi globalisasi akan semakin canggih setua

usia bumi. Manusia pun menyadari bahwa ketenangan dan ketentraman hidup tidak

akan tercapai tanpa kesadaran pada diri untuk berubah, memperbaiki perilaku selain

dukungan masyarakat untuk memulihkannya. Secara kodrati, hal esensial ini akan

dicapai apabila masyarakat”menyediakan” perangkat kontrol, pengawasan sosial,

baik itu berupa peraturan tertulis maupun tidak tertulis, kelembagaan penerap

sanksi maupun bentuk-bentuk kesepakatan masyarakat yang menjalankan fungsi

tersebut. Secara realitas unsur-unsur pengawasan sosial ini akan mengalami

17. Syaifullah 2013. Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung. PT Refika Aditama hal : 25

39

perubahan-perubahan, baik secara evolusi maupun revolusi sesuai dengan

perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

Kesepakatan atau kontrak sosial dari masyarakat kemudian dikukuhkan

dalam bentuk kepastian hukum berupa ketentuan tertulis. Prosesi pengangkatan

kesepakatan dalam kaidah tidak tertulis ke tertulis adalah proses pemuatan konsep

normatif dalam kaidah hukum secara resmi. Legalitas ini akan di dukung oleh

lembaga perwakilan dari masyarakat. Penambahan ketentuan tertulis ini dalam

masyarakat mempunyai arti penting agar singkronisasi yang sudah tercipta selama

ini merupaakan unsur penting dalam menjaga dan memelihara harmonisasi

kehidupan manusia sehingga sistem sosial yang selama ini berjalan dapat harmonis

dengan kehadiran hukum positif. Keberadaan hukum positif dalam masyarakat

pada akhirnya akan mengukuhkan komponen-komponen lain secara yudiris yang

membentuk satu kesatuan dalam suatu sistem hukum. Lawrence

M.Friedman dalam bukunya yang berjudul The legal system A Social Science

Perspective, 1975: menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat

struktur hukum (berupa lembaga hukum), substansi hukum (peraturan perundang-

undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung

berjalannya sistem hukum disuatu negara, secara realitas sosial,keberadaan sistem

hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai

akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu

secara evolusi maupun revolusi.

Tuntutan perubahan sosial tersebut membawa dampak pada keberdaan

sistem hukum yang selama ini berlangsung dalam keajengannya. Perubahan hukum

secara sunatullah,natural dan melalui seleksi alamiah mengalami perubahan dengan

40

sendirinya, bukan persoalan apakah hukum mau tidak mau, suka tidak suka, tetapi

kembali pada persoalan perubahan itu sendiri. Jika hukum tidak mengalami

perubahan maka akan menemui banyak kendala baik itu yang berhadapan langsung

dengan rasa keadilan masyarakat maupun persoalan penegakan hukum (law

enforcement). Tuntutan yang terjadi pada diri”hukum” yang harus melakukan

“pemulihan-pemulihan” terhadap eksistensinya dalam masyarakat akan

memberikan konsekuensi berbeda pada perubahan hukum yang akan dilakukan.

Selama perubahan hukum dilakukan responsif dan mengikuti18 “iramaa” hukum

yang hidup dalam masyarakat, maka hukum akan selalu selaras dengan kehidupan

masyarakat. Hukum tidak akan menjauh dari masyarakat, dan jika hal itu dilakukan

maka hukum akan seperti benda asing, sesuatu yang berada dimenara emas, tidak

berpijak ke bumi, dan hal itu yang tidak diinginkan oleh hukum, baik secara yudiris,

sosiologis maupun filosofis.

2.1.9 Hukum Cambuk di Aceh

Hukuman cambuk merupakan salah satu jenis hukuman yang telah

ditentukan dalam Al-Qur’an Surat An-Nuur ayat 2 untuk tindak pidana zina, dan

Surat An-Nuur ayat 4 untuk tindak pidana menuduh orang lain berzina

(Qadzaf)Ayat tersebut menjelaskan jumlah cambukan untuk pezina 100 kali,

sedangkan untuk perbuatan menuduh orang lain berzina (Qadzaf) 80 kali. Sanksi

meminum-minuman keras dalam beberapa hadis disebutkan 40 kali cambukan.

Pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh berbeda dengan beberapa negara yang

melaksanakan hukuman cambuk seperti di Malaysia,Pakistan dan Singapura. Di

18. Ibid hal : 26

41

Malaysia pelaksanaan Hukuman cambuk dilaksanakan di dalam gedung tertutup (di

dalam penjara), yang tidak disaksi-kan oleh masyarakat.19

Pelaksanaan hukuman cambuk dilakukan dengan cara mengikat ketua tangan

terpidana dit iang balok yang sudah disediakan dengan posisi terpidana setengah te

lungkup. Begitu juga di Singapura, pelaksanan hukuman cambuk dilaksanakan

dengan posisi terpidana setengah telungkup dan tangan terikat. Di Pakistan,

hukuman cambuk dilaksanakan di lapangan terbuka dan disaksikan oleh

masyarakat umum serta terpidana menjalani hukuman cambuk dengan tangan

terikat.Bentuk ancaman hukuman cambuk dimaksudkan sebagai upaya memberi

kesadaran pada pelaku dan segaligus menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak

melakukan perbuatan yang dilarang dalam Qanun Aceh, di samping itu hukuman

cambuk sebagai upaya pendidikan dan pembinaan, sehingga sipelaku akan

menyadari dan menyesali kesalahan yang dilakukan dan mengantarkannya untuk

memposisikan diri dalam taubatan nasuha.

Pelaksanan hukuman cambuk didepan umum dimaksudkan sebagai upaya

preventif dan lebih efektif karena terpidana merasa malu dan tidak

menimbulkanresiko pada keluarganya. Jenis hukuman cambuk juga menjadikan

biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah lebih murah dibandingkan dengan

jenis hukuman lainnya seperti yang dikenal dalam sistem KUHP yang berlaku

sekarang ini. Hukuman cambuk di Aceh dilaksanakan setelah adanya keputusan

Mahkamah Syar’iyah yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Terpidana tidak

ditahan untuk menunggu eksekusihukuman cambuk. Pada waktu eksekusi

19 . Ablisar Madiasa, Relevansi Hukuman Cambuk Sebagai salah satu bentuk

Pemidanaan Pembaharuan Hukum Pidana: Jurnal hukum No.2 Vol 14 2014

42

dilaksanakan jaksa penuntut umum akan mengirim surat panggilan untuk hadir

pada waktu dan tempat yang telah ditentutan.

Kehadiran terpidana cambuk untuk menjalani eksekusi bersifat suka rela atas

kesadarannya sendiri. Jaksa penuntut umum tidak pernah berusaha untuk

melakukan penjemputan paksa. Tempat dan waktu pencambukan ditentukan oleh

Jaksa dan berkoodinasi dengan Ketua Mahkamah Syar’iyah untuk menyiapkan

hakim pengawas yang harus hadir pada waktu pelaksanaan hukuman

cambuk,Kepala Dinas Kesehatan untuk menyiapkan dokter yang akan memeriksa

kesehatan terhukum sebelum dan sesudah pelaksanaan pecambukan dan

mengirimkannama dokter yang ditunjuk pada Jaksa sebelumwaktu pemeriksaan

danInstansi yang membawahi Wilayatul Hisbah untuk menyiapkan pecambuk dan

memberitahukan pada Jaksa tentang kesiapan pecambuk sebelum waktu

pencambukan

Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan

melakukan advokasi terhadap pelaksanaan Peraturan Perundang Undangan bidang

Syari’at Islam dalam rangka melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar Jaksa

menghadirkan terhukum di tempat pelaksanaan hukuman cambuk dengan terlebih

dahulu memberitahukan secara tertulis selambat lambatnya satu hari sebelum

tanggal pencambukan kepada keluarga dan Geuchik Gampong tempat tinggalnya.

2.1.10 Visi Dasar Penegakan Syariat Islam di Aceh

Pelaksanaan otonomi khusus yang meliputi kewenangan menegakkan

syariatIslam di Aceh telah ditindaklanjuti denganpembuatan berbagai qanun.

Penyusunan berbagai qanun dimaksud dilakukan dengan bertumpu pada garis-garis

kebijakan yang rasional yang dituangkan di dalam Peraturan Daerah Nomor 5

43

Tahun 2000 sebagai Pelaksanaan Syariat Islam. Peraturan daerah ini merupakan

pelaksanaan dari UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Di dalam Perda tersebut ditetapkan

bahwa syariat Islam yang ditulis dan diberlakukan di Aceh harus bersifat kaffah

(menyeluruh, mencakup seluruh aspek kehidupan) yang ditegakkan di atas tiga

prinsip utama yaitu :

(1) berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah secara penuh; (2) melakukan

pemahaman dan penalaran atas ketentuan Al-qur’an dan Sunnah tersebut

berdasarkan metode ilmiah (memenuhi syarat dan dapat dipertanggung jawabkan)

guna memenuhi kebutuhan masyarakat Aceh masa kini dalam bingkai Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); serta (3) berorientasi ke depan untuk

mengantisipasi kebutuhan umat yang muncul karena pembangunan dan kemajuan

di abad ke dua puluh satu miladiah atau kelima belas hijriyah.10 Keberhasilan

pemerintah Provinsi Aceh dalam mempersiapkan sejumlah perangkat hukum

berupa qanun sebagai payung hukum penegakan syariat Islam, merupakan langkah

positif menuju keberhasilan penegakan syariat Islam ini. 20

Lembaga yang oleh pemerintah Provinsi Aceh diberi wewenang

mempersiapkan pelaksanaan syari’at Islam ini adalah Dinas Syariat Islam Provinsi

dan Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh Visi penegakan syariat Islam di Provinsi

Aceh adalah “terwujudnya masyarakat Aceh yang sejahtera dan bermartabat

sebagai hasil dari pelaksanaan syariat Islam secara kaffah”. Visi ini kemudian

20 . Subakti Natangsa, Pidana Cambuk dalam Presfektif Keadilan Hukum dan Hak

Assasi Manusia di Provinsi Nanggro Aceh Darusalam : Jurnal hukum No.3 Vol 17 2010

44

dijabarkan lebih lanjut dalam rumusan misi, (1) menyebarluaskan pelaksanaan

syariat Islam; (2) mempersiapkan, mensosialisasikan qanun dan

perundang-undangan pelaksanaan syariat Islam; (3) mempersiapkan dan membina

sumber daya manusia pelaksana dan pengawasan syariat Islam; (4) membina dan

memantapkan kesadaran beragama masyarakat; dan (5) mewujudkan pengadilan

yang jujur, adil, mengayomi, berwibawa serta murah, dan cepat.11

Selain pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan di tingkat

daerahProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), di tingkat pemerintah pusat

juga telah dilakukan perubahan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan

yang mengatur kedudukan dan kewenangan berbagai lembaga penegak hukum.

Dalam hal ini dapat disebut, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok

Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan. Selain itu juga terdapat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh. Di dalam Undang-undang yang disebut terakhir ini terdapat

penetapan kedudukan dan fungsilembaga wilayatul hisbah (WH) sebagai pengawas

pelaksanaan syari’at dan melakukan penegakan hukum atas qanun-qanun

penegakan syari’at Islam.12 Di masa depan, wilayatul hisbah ini diproyeksikan

akan ditingkatkan perannya sebagai pelaksana fungsi penyidikan pada kasus-kasus

pelanggaran qanun menggantikan

45

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu menjadi salah satu acuan peneliti dalam melakukan

penelitian, adapun bentuk-bentuk penelitian terdahulu yang digunakan sebagai

acuan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel.2

Penelitian Terdahulu

No Peneliti/judul Hasil

Relevansi

1 Sherly

Herdiyanti

(2015), skripsi

Universitas

Hassanudin

Makasar

dengan Judul

Penerapan

sanksi pidana

cambuk

terhadap

pelanggaran

qanun di

bidang maisir

(studi kasus di

kota Banda

Aceh)

Dilihat dari angka statistik

pelaku maisir yang terjadi di

Kota Banda Aceh sejak Tahun

2011 hingga tahun 2014 angka

kasus maisir mengalami

peningkatan. Kasus maisir

adalah kasus yang paling

banyak terjadi di Kota Banda

Aceh di susl Khalwat dan

Khamar. Tercatat tahun 2011

30 kasus, Tahun 2012 ada 40

kasus, tahun 2013 45 kasus dan

2014 65 kasus. Data statistik ini

mengindikasi bahwa

penerapan Hukuman cambuk

belum berjalan secara efektif.

Terbukti dari tahun ke tahun

mengalami pening-

katan.Tingkat pelanggaran mai

sir di kota Banda Aceh sudah

mencapai angka yang meng

khwatirkan. Hal ini disebabkan

oleh beberapa

faktor antara lain: lemahnya

pengawa san orang tua,

masyarakat, dan tersedianya

tempat-tempat yang

mendorong untuk melakukan

praktik per- judian misalnya,

warnet, rumah kost, warung

kopi. Warnet yang di jadikan

sebagai tempat praktik judi

online, rumah kost yang hanya

Dari penelitian ini memiliki

relevansi dengan penelitian

yang ingin di lakukan yaitu

sama-sama meneliti subjek

yang serupa yaitu mengenai

hukum cambuk di Aceh

hanya saja fokus dan tempat

penelitiannya yang berbeda,

dimana penelitian yang

dilakukan oleh Sherly

Herdianti fokus pada

bagaimana Penerapan sanksi

pidana cambuk terhadap

pelanggaran qanun di bidang

maisir ( perjudian) di kota

Banda

Aceh. Sementara peneliti an

yang akan dilakukan adalah

bagaimana bentuk

pergeseran makna hukum

cambuk pada masyarakat

Aceh setelah hukum cambuk

tidak lagi menjadi hukum

adat.

46

dihuni oleh mahasiswa/

mahasiswi tanpa ada penjaga

kost, karna kebutuhan ekonomi,

untuk mengisi kekosangan wa

ktu,karena tidak adanya

pekerjaan yang tetap, lemahnya

pengwasan pemerintah dan

masyarakat setempat, peranan

lembaga formal yang sangat

terbatas, dan tidak adanya

sosialisasi tentang qanun

maisir/judi pada kelompok-

kelompok sasaran serta

semakin lemahnya pengetahuan

ilmu agama.

2 Husaini (2015)

Universitas Isl

am

Negeri Sunan

Kalijaga

Yogyakarta de

ngan

judul Cambuk

Sebagai Bentu

k Hukuman

(Studi

Komparatif

Antara Qanun

Aceh Dan

Hukum Adat

Aceh)

Aceh dan hukum adat Aceh

terdapat banyak kesamaan

diantara keduanya,Diantaranya

memiliki dasar-dasar hukum

yang sama, tujuan dari

penerapan hukuman cambuk

yang sama, dan mempunyai

peran yang sama karena bentuk

hukuman cambuk yang telah

diuraikan dalam qanun Aceh itu

rangkuman dari kebiasan

sehari-hari masyarakat Aceh

yang menyatu dengan Adat

sehingga sering sifat adatnya itu

lebih menonjol dari sifat

syariatnya Namun tidak

menutup kemung kinan

diantara keduanya itu tetap

memiliki perbedaan, adapun

perbedaan yang signifikan

terdapat pada

bentukpelaksanaan ditengah-

tengah masyarakat, yakni

dalam hukum adat Aceh apabila

terjadi pelanggaran baik itu

berupa pelanggaran minum-

minuman keras (khamar),

Perjudian (maisir), dan

perbuatan mesum (khalwat),

maka pelanggaran tersebut akan

diselesaikan melalui Reusam

Kampoeng (hukum adat

setempat) dengan mengadakan

Dari penelitian ini memiliki

relevansi dengan penelitian

yang ingin di lakukan yaitu

sama-sama meneliti tentang

persoalan hukum cambuk di

Aceh hanya saja fokus

penelitian nya yang berbeda,

yaitu dimana penelitian yang

dilakukan Husaini fokus

pada

Cambuk Sebagai Bentuk

Hukuman yang merujuk

kepada ketentuan-ketentuan

yang ada dalam sistem

penegakan hukum cambuk

dan tujuan diterapkannya

hukum cambuk di Aceh,

Sementara penelitian yang

akan dilakukan adalah

tentang pergeseran makna

hukum cambuk pada

masyarakat Aceh.

47

musyawarah, adapun bentuk

sangsi bagi yang melakukan

pelangaran-pelangaran tersebut

yaitu membayar denda sebesar

Rp. 10.000.000 dan dicambuk

hanya dengan 5 kali

cambukan, yang pelaksan- aan

nya disaksikan oleh masyarakat

umum dengan ketentuan bagi

kaum laki-laki berdiri tegak dan

memakai pakaian berwarna

putih, dan bagi kaum

perempuan dengan cara duduk

dan ditutup kepalanya dengan

kain putih, namun dalam

hukum adat Aceh, sebelum di

eksekusi dengan hukuman

cambuk terlebih dahulu si

pelanggar disiram dengan air

kotor seperti air parit. Berbeda

halnya dalam qanun Aceh, tidak

dilakukan dengan cara

penyiramandengan air kotor

terlebih dahulu, bagi mereka

yang melakukan pelanggaran

tersebut.

3 Willy Purnama

Sari

(2013) skripsi

Universitas Isl

am

Negeri Sunan

Kalijaga

Yogyakarta de

ngan judul

Efektifitas

Regulasi

Hukuman

Cambuk

Terhadap

Pelaku minum-

minuman keras

(Khamar) Dan

Perujudian

(Maisir) di

Kota Langsa

Aceh

Dari data dan analisa

menunjukan bahwa pelaksa-

naan syariat Islam dan

penerapan Hukuman Cambuk

di Aceh terdapat perubahan

yang signifikan. Tetapi

pelanggaran minuman keras

(khamar) belum begitu efektif

karena dari tahun 2005 sampai

2007 adanya penurunan jumlah

pelanggaran namun tahun 2008

terjadi pelang garan lagi. Oleh

karena itu, pelanggaran

minuman keras (khamar) harus

lebih banyak di sosialisasi

kan lagi untuk meminimalisir

kejahatan.

Dari penelitian ini memiliki

relevansi dengan penelitian

yang ingin di laku- kan yaitu

sama-sama meneliti tentang

persoalan hukum cambuk di

aceh hanya saja fokus dan

tempat penelitiannya yang

berbeda, dimana penelitian

yang dilakukan oleh Willy

Pirnama Sari fokus pada

judul Efektifitas Regulasi

HukumanCambukTerhadap

Pelaku minum-minuman

keras (Khamar) Dan

Perujudian (Maisir) di Kota

Langsa Aceh. Sementara

penelitian yang akan

dilakukan adalah bagaimana

pergeseran makna hukum

cambuk pada masyarakat

Aceh. yang di dasari oleh

48

banyaknya pro dan kontra

yang terjadi pada

masyarakat Aceh terkait

hukum cambuk .

2.3 Landasan teori

Landasan teori digunakan sebagai alat untuk menganalisis data yang akan

dihasilkan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori Max Weber yaitu teori

Tindakan Sosial dalam tipe Rasionalitas berorientasi nilai, dimana teori tersebut

menjadi landasan peneliti dalam menganalisa hasil penelitian dan temuan-temuan

data terkait tema Pergeseran Makna Tradisi Hukum Cambuk pada Masyarakat

Aceh yang menjadi kajian dalam penelitian ini. Teori tentang Tindakan sosial

dalam tipe Rasionalitas yang berorientasi nilai (Wertrationalitat ) ini adalah, bahwa

alat-alat adalah obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar, tujuan-tujuan

sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau

merupakan nilai akhir baginya. Nilai akhir bersifat nonrasional dalam hal seseorang

tidak dapat memperhitungkannya secara obyektif mengenai tujuan-tujuan mana

yang ahrus dipilih.

Sebagaimana yang digagas oleh Max Weber dalam merancang dan

mendifinisikan makna dan interaksi sosial, individu dilihat sebagai pelaku tindakan

yang bebas tetapi tetap bertanggung jawab. Artinya, didalam bertindak atau

berinteraksi itu, seseorang tetap dibawah pengaruh bayang-bayang struktur sosial

dan pranata-pranata dalam masyarakat, tetapi fokus perhatian paradigma ini tetap

pada individu dengan tindakannya.

49

Tindakan sosial adalah semua tindakan manusia yang berkaitan dengan

sejauhmana individu yang bertindak itu memberinya suatu makna subyektif bagi

dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Dari sudut waktu tindakan sosial

dapat berupa seseorang individu atau sekumpulan orang, sebaliknya tindakan

individu yang diarahkan kepada benda mati atau objek fisik semata tanpa

dihubungkannya dengan tindakan orang lain bukan merupakan tindakan sosial.

Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya

mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Pembedaan pokok yang diberikan adalah

tindakan rasional dan nonrasionalitas. Tindakan rasional berhubungan dengan

pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Atas dasar

rasionaalitas tindakan sosial, Weber membedakannya kedalam empat tipe. Semakin

rasional tindakan sosial itu semakin mudah pula dipahami, empat tipe tindakan

sosial tersebut antara lain : Rasionalitas instrumental, Rasionalitas berorientasi

nilai, tindakan tradisional dan tindakan afektif.

1. Rasional Instrumental (Zwerkrationalitat) tindakan diarahkan apabila

tujuan,alat dan akibatnya diperhitungkan dan dipertimbangkan secara rasional.

Tindakan ini tidak ditentukan oleh harapan terhadap perilaku objek dalam

lingkungan dan perilaku manusia lain, harapan-harapan ini digunakan sebagai

syarat atau sarana untuk mencapai tujuan-tujuan aktor lewat upaya dan

perhitungan rasional.

2. Rasionaitas Nilai yaitu Tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh

kesadaran akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku

lain, yang terlepas dari prospek keberhasilannya.

50

3. Tindakan afektif yaitu tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh perasaan

emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sukar dipahami, aksi adalah

afektif manakalaa faktor emosional menetapkan cara-cara dan tujuan daripada

aksi.

4. Tindakan Tradisional yaitu tindakan yang dilakukan karena kebiasaan, tanpa

refleksi yang sadar atau perencanaan, menurut Weber tindakan ini bersifat non

rasional. Tindakan ekonomi biasanya tidak berada dalam ruang hampa, suatu

ruang yang tidak melibatkan hubungan sosial dengan orang lain. Oleh sebab

itu, tindakan ekonomi dapat berlangsung dengan melibatkan kerjasama,

kepercayaan, dan jaringan. Atau sebaliknya, suatu tindakan ekonomi dapat

menghasilkan perselisihan, ketidakpercayaan dan pemutusan hubungan.

Menurut Weber bentuk rasionalitas manusia meliputi mean (alat) yang

menjadi sasaran utama serta ends (tujuan) yang meliputi aspek kultural,

sehingga dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya orang besar mampu hidup

dengan pola fikir yang rasional yang ada pada seperangkat alat yang dimiliki

dan kebudayaan yang mendukung kehidupannya. Orang yang rasional akan

memilih alat yang paling benar untuk mencapai tujuan sebagaimana tindakan

sosial adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna

atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain.

Tindakan sosial yang dimaksud Weber dapat berupa tindakan yang nyata

diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat

51

“membatin” atau bersifat subjektif yang mungkin terjadi karena pengaruh

positif dari situasi tertentu.21

21 . Prof.Dr.I.B. Wirawan,teori-teori dalam tiga paradigma. Jakarta: Kencana

Prenadamedia,2012, hlm 95