BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian...
23
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Makna
Makna muncul dari hubungan khusus antar kata (sebagai simbol verbal)
dan manusia. Makna tidak melekat pada kata-kata, namun kata-kata
membangkitkan makna dalam pikiran orang. Jadi tidak ada hubungan
langsung antara subjek dengan simbol yang digunakan untuk
mempresentasikan sesuatu. Makna adalah balasan terhadap pesan, suatu
pesan terdiri dari tanda-tanda dan simbol-simbol yang sebenarnya tidak
mengandung makna, makna baru akan timbul, ketika ada seseorang yang
menafsirkan tanda dan simbol yang bersangkutan dan berusaha memahami
artinya. Ada beberapa pandangan yang menjelaskan ihwal teori atau konsep
makna. Model prosesi makna menawarkan sejumlah implikasi bagi
komunikasi antar manusia sebagai berikut :1
1. Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata
melainkan pada manusia. Manusiaa menggunakan kata-kata untuk mendekati
makna yang akan dikomunikasikan. Tetapi kata-kata itu tidak secara
sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang dimaksudkan.
2. Makna berubah. Kata-kata relatif statis tapi makna dari kata tersebut yang
terus berubah dan ini khususnya terjadi pada dimensi emosional dari makna.
1 .Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi (Suatu Pengantar, (Bandung : PT.Remaja
Rosdakarya, 2010) hlm : 92
24
3. Makna membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komunikasi mengacu
kepada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana mempunyai
kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal.
4. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna, berkaitan erat dengan
gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang
timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan
yang konkret dan dapat diamati.
5. Makna tidak terbatasnya jumlahnya. Pada suatu saat tertentu jumlah kata
dalam bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas.
6. Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang diperoleh dalam suatu
kejadian bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja
dari makna-makna ini yang dapat dijelaskan, kerena itu pemahaman yang
sebenarnya atau pertukaran makna secara sempurna yang merupakan tujuan
ideal yang ingin dicapai namun tidak tercapai
Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia. Mead menekankan
dasar intersubyektif dari makna. Makna dapat ada, menurut Mead, hanya
ketika orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang
mereka pertukarkan dalam interaksi. Makna merupakan persamaan asumsi
yang terjadi pada sesuatu yang didasari atas interaksi dan hubungan sosial
yang menciptakan tujuan yang sama.
25
2.1.2 Fungsi Makna dalam Kehidupan Sosial
Manusia bisa memaknai arti sesuatu benda dan kegunaannya
seperti alat-alat yang manusia gunakan sehari-hari contohnya alat pemukul
base ball bisa berbeda pemaknaan setiap daerah.
a. Dengan adanya makna manusia bisa berinteraksi dengan individu
lainnya yang artinya bahwa makna tersebut manusia bisa saling
berinteraksi terhadap individu lain dengan memaknai bahasa yang
diungkapkan.
b. Dengan adanya makna manusia bisa memelihara kebudayaan mereka
yaitu dengan mengerti apa yang terkandung dalam suatu kebudayaan
mereka yaitu dengan mengerti apa yang terkandung dalam suatu
kebudayaan tersebut dengan memaknai peralatannya dan mengetahui
makna-makna yang ada, sehingga kebudayaan akan tetap dipelihara.2
2.1.3 Tradisi
1. Definisi Tradisi
Upaya manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya tentu
dengan mengandalkan kemampuan manusia sendiri untuk menjadikan alam
sebagai obyek yang dapat dikelola untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi
dapat dikatakan bahwa kebudayaan tersebut lahir sesungguhnya diakibatkan
oleh keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam bentuk
tingkah laku, pola hidup, perekonomian, pertanian, sistem kekerabatan,
stratifikasi sosial, religi, mitos dan sebagainya. Kesemua aspek tersebut yang
2 . Susilo rahmat K dwi, 20 tokoh sosiologi modern, jogyakarta : ar-ruzz media, 2008 hlm : 48
26
kemudian harus dipenuhi oleh manusia dalam kehidupannya yang sekaligus
secara spontanitas akan melahirkan kebudayaan atau tradisi.
Tradisi adalah kesamaan benda material dan gagasan yang berasal dari
masa lalu namun masih ada hingga kini dan belum dihancurkan atau dirusak.
Tradisi dapat diartikan sebagai warisan yang benar atau warisan masa lalu.
Namun demikian tradisi yang terjadi berulang-ulang bukanlah dilakukan secara
kebetulan atau disengaja.3 Dari pemahaman tersebut maka apapun yang
dilakukan oleh manusia secara turun mrnurun dari setiap aspek kehidupannya
yang merupakan upaya untuk meringankan hidup manusia dapat dikatakan
sebagai “tradisi” yang berarti bahwa hal tersebut adalah menjadi bagian dari
kebudayaan. Secara khusus tradisi oleh C.A van Perseun diterjemahkan sebagai
proses pewarisan atau penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah,
harta-harta. Tradisi dapat dirubah diangkat, ditolak dan dipadukan dengan aneka
ragam perbuatan manusia.4
Lebih khusus tradisi yang dapat melahirkan kebudayaan masyarakat dapat
diketahui dari wujud tradisi itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan
itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu :
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan-gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
b. Wujud kebudayaan sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola dari
manusia dan masyarakat.
3 . Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta : Prenada Media Grup, 2007 hlm : 69 4 . C.A Van Perseun, strategi kebudayaan Yogyakarta : kanisius, 1988 hlm: 11
27
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.5
Masyarakat merupakan sekelompok orang yang memiliki kesamaan
budaya, wilayah identitas, dan berinteraksi dalam suatu hubungan sosial yang
terstuktur. Masyarakat mewariskan masa lalunya melalui :
1. Tradisi dan adat istiadat (nilai,norma yang mengatur perilaku dan
hubungan antar individu dalam kelompok). Adat istiadat yang
berkembang disuatu masyarakat di daerah tersebut. Adat istiadat sebagai
sarana mewariskan masa lalu terkadang yang disampaikan tidak sama
persi dengan yang terjadi di masa lalu tetapi mengalami berbagai
perubahan sesuai perkembangan zaman. Masa lalu sebagai dasar untuk
terus dikembangkan dan diperbaharui.
2. Nasehat dari para leluhur, dilestarikan dengan cara menjaga nasehat
tersebut melalui ingatan kolektif anggota masyarakt dan kemudian
disampaikan secara lisan turun temurun dari satu generasi ke generasi
selanjutnya.
3. Peranan orang yang dituakan (pemimpin kelompok yang memiliki
kemampuan lebih dalam menaklukan alam) dalam masyarakat.
Pemimppin kelompok menyampaikan secara lisan sebuah ajaran yang
harus di taati oleh anggota kelompoknya.
1. Membuat suatu peringatan kepada semua anggota kelompok masyarakat
berupa lukisan serta perkakas sebagai alat bantu hidup serta bangunan
tugu atau makam. Semuanya itu dapat diwariskan kepada generasi
selanjutnya hanya dengan melihat.
5 . Mattulada 1997, Kebudayaan Kemanusiaan Dan Lingkungan Hidup, (Hasanuddin
University) Press, hlm : 1
28
Menurut arti yang lebih lengkap bahwa tradisi mencakup kelangsungan
masa lalu dimasa kini ketimbang sekedar menunjukan fakta bahwa masa kini
berasal dari dibuang atau dilupakan. Maka disini tradisi hanya berarti warisan,
apa yang benar-benar tersisa dari masa lalu. Hal ini senada dengan apa yang
dikatan Shils, keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari masa
lalu namun benar-benar masih ada kini, belum dihancurkan, dirusak, “tradisi
berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa
kini.6
Sebagai sistem budaya, tradisi menyediakan seperangkat model untuk
bertingkah laku yang bersumber dari sistem nilai dan gagasan utama. Tradisi
juga merupakan suatu sistem yang menyeluruh, yang terdiri dari cara aspek
yang pemberian arti perilaku ajaran, perilaku ritual dan beberapa jenis
perilaku lainnya dari manusia atau sejumlah manusia yang melakukan
tindakan satu dengan yang lain. Unsur terkecil dari sistem tersebut adalah
simbol. Simbol meliputi penilai norma, dan sistem ekspresif ( simbol yang
menyangkut pengungkapan perasaan).
Jadi yang menjadi hal penting dalam memahami tradisi adalah sikap atau
orientasi pikiran atau benda material atau gagasan yang berasal dari masa lalu
yang dipungut orang dimasa kini. Sikap dan orientasi ini menepati bagian
khusus dari keseluruhan warisan historis dan mengangkatnya menjadi tradisi.
Arti penting penghormatan atau penerimaan sesuatu yang secara sosial
6 . Piotr Sztompka 2007, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta :Pernada Grup. Hlm 70
29
ditetapkan sebagai tradisi menjelaskan betapa menariknya fenomena tradisi
itu.
2. Lahirnya Tradisi dalam masyarakat
Dalam arti sempit tradisi adalah kumpulan benda material dan gagasan
yang diberi makna khusus berasal dari masa lalu. Tradisi pun mengalami
perubahan. Tradisi lahir disaat tertentu ketika orang menentukan fragmen
tertentu dari warisan masa lalu sebagai tradisi. Tradisi berubah ketika orang
memberikan perhatian khusus pada fragmen tradisi tertentu dan mengabaikan
fragmen yang lain. Tradisi bertahan dalam jangka waktu tertentu dan
mungkin lenyap bila benda material dibuang dan gagasan ditolak atau
dilupakan. Tradisi mungkin pula hidup dan muncul kembali setelah lama
terpendam. Tradisi lahir melalui 2 (dua) cara yaitu :7
Pertama, muncul dari bawah melalui mekanisme kemunculan secara
spontan dan tak diharapkan serta melibatkan rakyat banyak. Karena sesuatu
alasan, individu tertentu menemukan warisan historis yang menarik
perhatian, kecintaan dan kekaguman yang kemudian disebar melalui berbagai
cara mempengaruhi rakyat banyak. Sikap-sikap tersebut berubah menjadi
perilaku dalam bentuk upacara, penelitian dan pemugaran peninggalan
purbakala serta menafsirkan ulang keyakinan lama.
Kedua, muncul dari atas melalui mekanisme paksaan. Sesuatu yang
dianggap tradisi dipilih dijadikan perhatian umum atau dipaksaan oleh
individu yang berpengaruh atau berkuasa. Dua jalan kelahiran tradisi tersebut
7 . Ibid hlm : 73
30
tidak membedakan kadarnya. Perbedaannya terdapat antara tradisi “asli”,
yakni yang sudah ada dimasa lalu dan mampu menularkan impian itu kepada
orang banyak. Lebih sering tradisi buatan ini dipaksakan dari atas oleh
penguasa untuk mencapai tujuan politik mereka.
Begitu terbentuk, tradisi mengalami berbagai perubahan. Perubahan
kuantitatifnya terlihat dalam jumlah penganut atau pendukungnya. Rakyat
dapat ditarik untuk mengikuti tradisi tertentu yang kemudian mempengaruhi
seluruh rakyat dan negara atau bahkan dapat mempengaruhi skala global.
Arah perubahan lain adalah arahan perubahan kualitatif yakni perubahan
kadar tradisi.
Gagasan, simbol dan nilai tertentu ditambahkan dan yang lainnya
dibuang. Cepat atau lambat setiap tradisi mulai dipertanyakan, diragukan,
diteliti ulang dan bersamaan dengan itu fragmen-fragmen masa lalu
ditemukan disahkan sebagai tradisi. Perubahan tradisi juga disebabkan
banyaknya tradisi dan bentrokan antara tradisi yang satu dengan saingannya.
Benturan itu dapat terjadi antara tradisi masyarakat atau kultur yang berbeda
di dalam masyarakat tertentu.
2.1.4 Pengertian Hukum Adat
Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup
bermasyarakat. Sejak manusia itu diturunkan Tuhan ke muka bumi, maka ia
memulai hidupnya berkeluarga, kemudian bermasyarakat dan kemudian
bernegara. Terjadinya hukum dimulai dari dari pribadi manusia yang diberi
tuhan akal fikiran dan perilaku. Perilaku yang terus menerus dilakukan
31
perorangan menimbulkan “kebiasaan pribadi”. Apabila kebiasaan pribadi itu
ditiru orang lain maka ia juga akan menjadi kebiasaan orang itu. Lambat laun
diantara orang yang lain di dalam kesatuan masyarakat ikut pula melakukan
kebiasaan itu menjadi “adat” dari masyarakat itu.
Hukum adat merupakan produk dari budaya yang mengandung
substansi tentang nilai-nilai budaya cipta, karsa, rasa manusia. Dalam arti
bahw hukum adat lahir dari kesadaran atas kebutuhan dan keinginan manusia
untuk hidup secara adil dan beradap sebagai aktualisasi peradaban manusia.
Selain itu hukum adat juga merupakan produk sosial yaitu sebagai hasil kerja
bersama (kesepakatan) dan merupakan karya bersama secara bersama (milik
sosial) dari suatu masyarakat hukum adat.8
Jadi adat adalah kebiasaan masyarakat, dan kelompok-kelompok
masyarakat yang lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang
seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat sehinggamenjadi hukum
adat, jadi hukum adat yang diterima dan harus dilaksanakan dalam
masyarakat yang bersangkutan.9
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan
kehidupan sosial di indonesia. Hukum adat adalah hukum asli bangsa
inidonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang
tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum
masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh
8 . Dr. Djamat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia, Bandung, Nuansa Aulia. Hlm : 2 9. Hilman Hadikusuma 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung, Mandar
Maju Hlm : 1
32
kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan
elastis.
Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang
yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu
persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan.10
Hukum adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh :
a. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di
pulau Jawa dan Bali dipengaruhi Agama hindu, di Aceh dipengaruhi
Agama Islam, di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
b. Kerajaan seperti antara lain : Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
c. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
Ciri-ciri dari hukum Adat yaitu :
a. Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.
b. Tidak tersusun secara sistematis.
c. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
d. Tidak teratur.
e. Keputusan tidak memakai konseran (pertimbangan)
f. Pasal-pasal aturannya tidak sistemastis dan tidak mempunyai penjelasan.11
10 Djaret Saragih 1996, Pengantar Hukum Adat Indonesia. Bandung, Tarsito, Hlm 32 11 . Muhammad Bushar, 2004, pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta, PT Penebar Swadya. Hlm : 5
33
2.1.5 Bentuk Masyarakat Hukum Adat
1. Masyarakat hukum Teritorial
Masyarakat hukum teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang
anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik
dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani
sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur. Para anggota masyarakatnya
merupakan anggota-anggota yang terkait dalam kesatuanyang teratur baik keluar
maupun kedalam. Di antara anggota yang pergi merantau untuk sementara waktu
masih tetap merupakan anggota kesatuan tutorial itu. Begitu pula orang yang datang
dari luar dapat masuk menjadi anggota kesatuan dengan memenuhi persyaratan adat
setempat.12
2. Masyarakat Genealogis
Masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat genealogis adalah suatu
kesatuan masyarakat yang teratur, dimana para anggotanya terikat pada suatu garis
keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung karena hubungan darah
(keturunan) atau secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian
adat. Menurut para ahli hukum adat di masa Hindia Belanda masyarakat yang
genealogis itu dapat dibedakan dalam tiga macam yaitu yang bersifat patrilinial,
matrilinial dan bilateral atau parental.
12 . Ibid Hal : 10
34
3. Masyarakat Teritorial-Genealogis
Masyarakat hukum Teritorial-Genealogis adalah kesatuan masyarakat yang
tetap dan teratur dimana para anggotanya bukan saja terikat pada tempat kediaman
pada suatu daerah tertentu, tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam
ikatan pertalian darah dan atau kekerabatan.
4. Masyarakat Adat-Keagamaan
Di antara berbagai kesatuan masyarakat adat akan terdapat kesatuan masyarakat
adat yang khusus bersifat keagamaan dibeberapa daerah tertentu. Jadi ada kesatuan
masyarakat adat-keagamaan menurut kepercayaan lama, ada kesatuan masyarakat
yang khusus beragama Hindu, Islam, Kristen / Katolik, dan ada yang sifatnya
campuran. Dilingkungan masyarakat yang didominasi kepercayaan dan agama
tertentu, maka para anggotanya selain merupakan warga kesatuan desa menurut
perundangan, tetapi juga merupakan warga adat yang tradisional dan warga
keagamaan yang di anutnya masing-masing.13
2.1.6 Unsur-Unsur Hukum Adat
Apabila diperhatikan sejarah perkembangan Hukum Adat di Hindia
Belanda, terutama pada masa awal kolonialisme , Pemerintah Kolonial tidak
mengakui hukum Bangsa Indonesia sebagai hukum14. Sebab, pertama tidak tertulis
dan kedua kalaupun ada yang tertulis, bagian yang tertulis itu tidak dibuat oleh
badan pembentuk undang-undang yang diberikan kekuasaan oleh negara.
14 . Subari S. Albar.H & Albariansyah Hamonangan 2010 Pokok Pokok Hukum Adat.
Palembang, Sriwijaya Hlm : 2
35
Pandangan seperti itu timbul karena pengaruh ajaran legalisme yang sangat
mempengaruhi pandangan terhadap hukum sarjana Eropa pada umumnya dan
sarjana Belanda khusunya. Ajaran legalisme tersebut menganggap, tidak ada
hukum kecuali undang-undang, hukum tidak tertulis seperti hukum bangsa
indonesia, dipandang bukan hukum.
Akan tetapi lama kelamaan berkat jasa para etnologis, pandangan seperti itu
dari pemerintah kolonial terhadap hukum bangsa Indonesia berubah yaitu dengan
di akuinya hukum bangsa Indonesia sebagai hukum sederajat dengan hukum barat
yang mereka bawa dari belanda dengan asas korkondansi. Pengakuan terhadap
hukum bangsa Indonesia itu, kemudian dilanjutkan dengan tindakan yudiris Pasal
131 ayat 6 IS yang menyatakan hukum bangsa Indonesia adalah hukum positif bagi
hukum bangsa Indonesia. Dengan diakui hukum bangsa Indonesia itu, maka oleh
pasal 131 IS diakui dua sistem hukum positif yang berlaku berbarengan di hindia
belanda, yaitu sistem hukum belanda dan hukum bangsa Indonesia.
Karena telah ada dua sistem hukum, maka untuk memudahkan pengenalannya,
hukum tersebut diperlukan nama. Akan tetapi pada awal pengakuan secara yudiris
keberlakuan kedua sistem hukum itu belum ada nama. Istilah yang menunjukan
nama itu mula-mula dkembangkan oleh para ahli yang meneliti hukum bangsa
Indonesia. Salmon Keyzer dan Van deb Berg menyebutkan dengan istilah-istilah
yang mana kemudian oleh pemerintah kolonial dijadikan istilah teknis yudiris.
Ketika Salomon Keyzer dan Van den Berg berhasil merumuskan hasil
penelitiannya dari hukum bangsa Indonesia dan di umumkan hasil penelitian itu
dalam teori receptio in complexu, mereka menyimpulkan bahwa hukum bangsa
36
Indonesia itu tidak lain dari hukum agama yang dianut. Menurut teori Reception in
complexu, unsur pembentuk hukum bangsa Indonesia itu hanyalah hukum agama
semata karena teori tersebut menyimpulkan hukum bangsa Indonesia itu tidak lain
hukum agama yang di anut, maka hukum itu dinamakan oleh mereka
Godsdientige(Undang-Undang Agama).
Apabila dari batasa makna hukum adat tersebut ditarik kesimpulan, maka
unsur-unsur yang terkandung dalam istilah Adtrech itu, meliput unsur-unsur
sebagai berikut15 :
1. Tidak tertulis
2. Indonesia dan Timur Asing
3. Perbedaan lokal yang tebal
4. Renapan Kesusilaan
5. Diluar Perundang-undangan
2.1.7 Fungsi hukum sebagai Sosial Kontrol.
Fungsi hukum sebagai sosial kontrol merupakan aspek yudiris normatif dari
kehidupan sosial masyarakat atau dapat disebut pemberi definifi dari tingkah laku
yang menyimpang serta akibat-akibatnya seperti larangan-larang, perintah-
perintah, pemidanaan dan ganti rugi. Sebagai alat pengendalian sosial, hukum
dianggap berfungsi untuk menetapkan tingkah laku yang baik dan tidak baik atau
perilaku yang menyimpang hukum, dan sanksi hukum terhadap orang yang
mempunyai perilaku yang tidak baik16.
15 . Ibid hlm : 6 16 . Zainuddin Ali 2015. Sosiologi Hukum. Jakarta Sinar Grafika. Hal: 37
37
Setiap masyarakat mempunyai perbedaan kuantitas sanksi terhadap
penyimpangan tertentu terhadap hukum. Sebagai contoh dapat diungkapkan, bagi
masyarakat muslim di Mekah, orang yang berzina dienai hukuman cambuk 100 kali
bagi pezina pemuda/pemudi dan hukuman rajam bagi pezina janda/duda. Lain
halnya pada masyarakat muslim indonesia, saat ini tidak ditemukan sanksi hukum
yang demikian, baik bagi pezina pemudi/pemuda maupun pezina duda/janda.
Dengan demikian, tingkah laku yang menyimpang merupakan tindakan yang
tergantung dari kontrol sosial masyarakat atau sanksi hukum yang dijadikan acuan
untuk menerapkan hukuman. Hal itu berarti kontrol sosial adalah segala sesuatu
yang dijalankan untuk melaksanakan proses yang direncanakan dan yang tidak
direncanakan untuk mendidik dan mengajak warga masyarakat agar menyesuaikan
diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang
bersangkutan.
Dari uraian diatas, tampak bahwa manfaat yang di dapat diperoleh dari kontrol
sosial terhadap penyimpangan perilaku seseorang yang terjadi dalam masyarakat
adalah pranata hukum berfungsi bersama pranata lainnya dalam melakukan
pengendalian sosial. Selain itu, dapat diketahui bahwa pranata hukum itu pasif,
yaitu hukum menyesuaikan diri dengan kenyataan sosial dalam masyarakat. Oleh
karena itu, terlaksanaya atau tidak fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial
amat ditentukan oleh faktor aturan hukum dan faktor pelaksana hukum.
2.1.8 Reorientasi Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat
Sejak awal sejarah pembentukan umat manusia dalam konteks interaksi
dalam masyarakat, persoalan kaidah atau norma merupakan jelmaan yang
38
dibutuhkan dalam upaya mencapai harmonisasi kehidupan, secara empirik
sosiologis kaidah atau norma adalah tuntunan atau kunci dalam mencapai stabilisasi
interaksi sehingga pelanggaran akan kaidah atau norma akan dijatuhi hukuman atau
sanksi sosial.17
Kaidah agama maupun kaidah hukum yang bersumber pula dari kaidah
sosial merupakan payung kehidupan dalam masyarakat. Masyarakat yang tidak
beradab adalah masyarakat yang tidak mempunyai kaidah agama maupun kaidah
sosial, atau masyarakat yang mengingkari atau menyimpang dari kedua kaidah
tersebut. Dalam sejarah kehidupan manusia hal ini telah banyak dibuktikan.
Interaksi kehidupan manusia dalam masyarakat sepanjang perjalanan hidup
tidak ada yang berjalan lurus, mulus dan aman-aman saja. Sepanjang kehidupan
manusia, yang namanya persengketaan, kejahatan, ketidak adilan, diskriminasi,
kesenjangan sosial, konflik SARA dan sebagainya adalah warna-warni dari realitas
yang dihadapi. Persoalan-persoalan tersebut semakin berkembamg dalam
modifikasi lain akibat pengaruh teknologi globalisasi akan semakin canggih setua
usia bumi. Manusia pun menyadari bahwa ketenangan dan ketentraman hidup tidak
akan tercapai tanpa kesadaran pada diri untuk berubah, memperbaiki perilaku selain
dukungan masyarakat untuk memulihkannya. Secara kodrati, hal esensial ini akan
dicapai apabila masyarakat”menyediakan” perangkat kontrol, pengawasan sosial,
baik itu berupa peraturan tertulis maupun tidak tertulis, kelembagaan penerap
sanksi maupun bentuk-bentuk kesepakatan masyarakat yang menjalankan fungsi
tersebut. Secara realitas unsur-unsur pengawasan sosial ini akan mengalami
17. Syaifullah 2013. Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung. PT Refika Aditama hal : 25
39
perubahan-perubahan, baik secara evolusi maupun revolusi sesuai dengan
perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Kesepakatan atau kontrak sosial dari masyarakat kemudian dikukuhkan
dalam bentuk kepastian hukum berupa ketentuan tertulis. Prosesi pengangkatan
kesepakatan dalam kaidah tidak tertulis ke tertulis adalah proses pemuatan konsep
normatif dalam kaidah hukum secara resmi. Legalitas ini akan di dukung oleh
lembaga perwakilan dari masyarakat. Penambahan ketentuan tertulis ini dalam
masyarakat mempunyai arti penting agar singkronisasi yang sudah tercipta selama
ini merupaakan unsur penting dalam menjaga dan memelihara harmonisasi
kehidupan manusia sehingga sistem sosial yang selama ini berjalan dapat harmonis
dengan kehadiran hukum positif. Keberadaan hukum positif dalam masyarakat
pada akhirnya akan mengukuhkan komponen-komponen lain secara yudiris yang
membentuk satu kesatuan dalam suatu sistem hukum. Lawrence
M.Friedman dalam bukunya yang berjudul The legal system A Social Science
Perspective, 1975: menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat
struktur hukum (berupa lembaga hukum), substansi hukum (peraturan perundang-
undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen ini mendukung
berjalannya sistem hukum disuatu negara, secara realitas sosial,keberadaan sistem
hukum yang terdapat dalam masyarakat mengalami perubahan-perubahan sebagai
akibat pengaruh, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu
secara evolusi maupun revolusi.
Tuntutan perubahan sosial tersebut membawa dampak pada keberdaan
sistem hukum yang selama ini berlangsung dalam keajengannya. Perubahan hukum
secara sunatullah,natural dan melalui seleksi alamiah mengalami perubahan dengan
40
sendirinya, bukan persoalan apakah hukum mau tidak mau, suka tidak suka, tetapi
kembali pada persoalan perubahan itu sendiri. Jika hukum tidak mengalami
perubahan maka akan menemui banyak kendala baik itu yang berhadapan langsung
dengan rasa keadilan masyarakat maupun persoalan penegakan hukum (law
enforcement). Tuntutan yang terjadi pada diri”hukum” yang harus melakukan
“pemulihan-pemulihan” terhadap eksistensinya dalam masyarakat akan
memberikan konsekuensi berbeda pada perubahan hukum yang akan dilakukan.
Selama perubahan hukum dilakukan responsif dan mengikuti18 “iramaa” hukum
yang hidup dalam masyarakat, maka hukum akan selalu selaras dengan kehidupan
masyarakat. Hukum tidak akan menjauh dari masyarakat, dan jika hal itu dilakukan
maka hukum akan seperti benda asing, sesuatu yang berada dimenara emas, tidak
berpijak ke bumi, dan hal itu yang tidak diinginkan oleh hukum, baik secara yudiris,
sosiologis maupun filosofis.
2.1.9 Hukum Cambuk di Aceh
Hukuman cambuk merupakan salah satu jenis hukuman yang telah
ditentukan dalam Al-Qur’an Surat An-Nuur ayat 2 untuk tindak pidana zina, dan
Surat An-Nuur ayat 4 untuk tindak pidana menuduh orang lain berzina
(Qadzaf)Ayat tersebut menjelaskan jumlah cambukan untuk pezina 100 kali,
sedangkan untuk perbuatan menuduh orang lain berzina (Qadzaf) 80 kali. Sanksi
meminum-minuman keras dalam beberapa hadis disebutkan 40 kali cambukan.
Pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh berbeda dengan beberapa negara yang
melaksanakan hukuman cambuk seperti di Malaysia,Pakistan dan Singapura. Di
18. Ibid hal : 26
41
Malaysia pelaksanaan Hukuman cambuk dilaksanakan di dalam gedung tertutup (di
dalam penjara), yang tidak disaksi-kan oleh masyarakat.19
Pelaksanaan hukuman cambuk dilakukan dengan cara mengikat ketua tangan
terpidana dit iang balok yang sudah disediakan dengan posisi terpidana setengah te
lungkup. Begitu juga di Singapura, pelaksanan hukuman cambuk dilaksanakan
dengan posisi terpidana setengah telungkup dan tangan terikat. Di Pakistan,
hukuman cambuk dilaksanakan di lapangan terbuka dan disaksikan oleh
masyarakat umum serta terpidana menjalani hukuman cambuk dengan tangan
terikat.Bentuk ancaman hukuman cambuk dimaksudkan sebagai upaya memberi
kesadaran pada pelaku dan segaligus menjadi peringatan bagi masyarakat agar tidak
melakukan perbuatan yang dilarang dalam Qanun Aceh, di samping itu hukuman
cambuk sebagai upaya pendidikan dan pembinaan, sehingga sipelaku akan
menyadari dan menyesali kesalahan yang dilakukan dan mengantarkannya untuk
memposisikan diri dalam taubatan nasuha.
Pelaksanan hukuman cambuk didepan umum dimaksudkan sebagai upaya
preventif dan lebih efektif karena terpidana merasa malu dan tidak
menimbulkanresiko pada keluarganya. Jenis hukuman cambuk juga menjadikan
biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah lebih murah dibandingkan dengan
jenis hukuman lainnya seperti yang dikenal dalam sistem KUHP yang berlaku
sekarang ini. Hukuman cambuk di Aceh dilaksanakan setelah adanya keputusan
Mahkamah Syar’iyah yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Terpidana tidak
ditahan untuk menunggu eksekusihukuman cambuk. Pada waktu eksekusi
19 . Ablisar Madiasa, Relevansi Hukuman Cambuk Sebagai salah satu bentuk
Pemidanaan Pembaharuan Hukum Pidana: Jurnal hukum No.2 Vol 14 2014
42
dilaksanakan jaksa penuntut umum akan mengirim surat panggilan untuk hadir
pada waktu dan tempat yang telah ditentutan.
Kehadiran terpidana cambuk untuk menjalani eksekusi bersifat suka rela atas
kesadarannya sendiri. Jaksa penuntut umum tidak pernah berusaha untuk
melakukan penjemputan paksa. Tempat dan waktu pencambukan ditentukan oleh
Jaksa dan berkoodinasi dengan Ketua Mahkamah Syar’iyah untuk menyiapkan
hakim pengawas yang harus hadir pada waktu pelaksanaan hukuman
cambuk,Kepala Dinas Kesehatan untuk menyiapkan dokter yang akan memeriksa
kesehatan terhukum sebelum dan sesudah pelaksanaan pecambukan dan
mengirimkannama dokter yang ditunjuk pada Jaksa sebelumwaktu pemeriksaan
danInstansi yang membawahi Wilayatul Hisbah untuk menyiapkan pecambuk dan
memberitahukan pada Jaksa tentang kesiapan pecambuk sebelum waktu
pencambukan
Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan
melakukan advokasi terhadap pelaksanaan Peraturan Perundang Undangan bidang
Syari’at Islam dalam rangka melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar Jaksa
menghadirkan terhukum di tempat pelaksanaan hukuman cambuk dengan terlebih
dahulu memberitahukan secara tertulis selambat lambatnya satu hari sebelum
tanggal pencambukan kepada keluarga dan Geuchik Gampong tempat tinggalnya.
2.1.10 Visi Dasar Penegakan Syariat Islam di Aceh
Pelaksanaan otonomi khusus yang meliputi kewenangan menegakkan
syariatIslam di Aceh telah ditindaklanjuti denganpembuatan berbagai qanun.
Penyusunan berbagai qanun dimaksud dilakukan dengan bertumpu pada garis-garis
kebijakan yang rasional yang dituangkan di dalam Peraturan Daerah Nomor 5
43
Tahun 2000 sebagai Pelaksanaan Syariat Islam. Peraturan daerah ini merupakan
pelaksanaan dari UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Di dalam Perda tersebut ditetapkan
bahwa syariat Islam yang ditulis dan diberlakukan di Aceh harus bersifat kaffah
(menyeluruh, mencakup seluruh aspek kehidupan) yang ditegakkan di atas tiga
prinsip utama yaitu :
(1) berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah secara penuh; (2) melakukan
pemahaman dan penalaran atas ketentuan Al-qur’an dan Sunnah tersebut
berdasarkan metode ilmiah (memenuhi syarat dan dapat dipertanggung jawabkan)
guna memenuhi kebutuhan masyarakat Aceh masa kini dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); serta (3) berorientasi ke depan untuk
mengantisipasi kebutuhan umat yang muncul karena pembangunan dan kemajuan
di abad ke dua puluh satu miladiah atau kelima belas hijriyah.10 Keberhasilan
pemerintah Provinsi Aceh dalam mempersiapkan sejumlah perangkat hukum
berupa qanun sebagai payung hukum penegakan syariat Islam, merupakan langkah
positif menuju keberhasilan penegakan syariat Islam ini. 20
Lembaga yang oleh pemerintah Provinsi Aceh diberi wewenang
mempersiapkan pelaksanaan syari’at Islam ini adalah Dinas Syariat Islam Provinsi
dan Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh Visi penegakan syariat Islam di Provinsi
Aceh adalah “terwujudnya masyarakat Aceh yang sejahtera dan bermartabat
sebagai hasil dari pelaksanaan syariat Islam secara kaffah”. Visi ini kemudian
20 . Subakti Natangsa, Pidana Cambuk dalam Presfektif Keadilan Hukum dan Hak
Assasi Manusia di Provinsi Nanggro Aceh Darusalam : Jurnal hukum No.3 Vol 17 2010
44
dijabarkan lebih lanjut dalam rumusan misi, (1) menyebarluaskan pelaksanaan
syariat Islam; (2) mempersiapkan, mensosialisasikan qanun dan
perundang-undangan pelaksanaan syariat Islam; (3) mempersiapkan dan membina
sumber daya manusia pelaksana dan pengawasan syariat Islam; (4) membina dan
memantapkan kesadaran beragama masyarakat; dan (5) mewujudkan pengadilan
yang jujur, adil, mengayomi, berwibawa serta murah, dan cepat.11
Selain pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan di tingkat
daerahProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), di tingkat pemerintah pusat
juga telah dilakukan perubahan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan
yang mengatur kedudukan dan kewenangan berbagai lembaga penegak hukum.
Dalam hal ini dapat disebut, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan. Selain itu juga terdapat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Di dalam Undang-undang yang disebut terakhir ini terdapat
penetapan kedudukan dan fungsilembaga wilayatul hisbah (WH) sebagai pengawas
pelaksanaan syari’at dan melakukan penegakan hukum atas qanun-qanun
penegakan syari’at Islam.12 Di masa depan, wilayatul hisbah ini diproyeksikan
akan ditingkatkan perannya sebagai pelaksana fungsi penyidikan pada kasus-kasus
pelanggaran qanun menggantikan
45
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu menjadi salah satu acuan peneliti dalam melakukan
penelitian, adapun bentuk-bentuk penelitian terdahulu yang digunakan sebagai
acuan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel.2
Penelitian Terdahulu
No Peneliti/judul Hasil
Relevansi
1 Sherly
Herdiyanti
(2015), skripsi
Universitas
Hassanudin
Makasar
dengan Judul
Penerapan
sanksi pidana
cambuk
terhadap
pelanggaran
qanun di
bidang maisir
(studi kasus di
kota Banda
Aceh)
Dilihat dari angka statistik
pelaku maisir yang terjadi di
Kota Banda Aceh sejak Tahun
2011 hingga tahun 2014 angka
kasus maisir mengalami
peningkatan. Kasus maisir
adalah kasus yang paling
banyak terjadi di Kota Banda
Aceh di susl Khalwat dan
Khamar. Tercatat tahun 2011
30 kasus, Tahun 2012 ada 40
kasus, tahun 2013 45 kasus dan
2014 65 kasus. Data statistik ini
mengindikasi bahwa
penerapan Hukuman cambuk
belum berjalan secara efektif.
Terbukti dari tahun ke tahun
mengalami pening-
katan.Tingkat pelanggaran mai
sir di kota Banda Aceh sudah
mencapai angka yang meng
khwatirkan. Hal ini disebabkan
oleh beberapa
faktor antara lain: lemahnya
pengawa san orang tua,
masyarakat, dan tersedianya
tempat-tempat yang
mendorong untuk melakukan
praktik per- judian misalnya,
warnet, rumah kost, warung
kopi. Warnet yang di jadikan
sebagai tempat praktik judi
online, rumah kost yang hanya
Dari penelitian ini memiliki
relevansi dengan penelitian
yang ingin di lakukan yaitu
sama-sama meneliti subjek
yang serupa yaitu mengenai
hukum cambuk di Aceh
hanya saja fokus dan tempat
penelitiannya yang berbeda,
dimana penelitian yang
dilakukan oleh Sherly
Herdianti fokus pada
bagaimana Penerapan sanksi
pidana cambuk terhadap
pelanggaran qanun di bidang
maisir ( perjudian) di kota
Banda
Aceh. Sementara peneliti an
yang akan dilakukan adalah
bagaimana bentuk
pergeseran makna hukum
cambuk pada masyarakat
Aceh setelah hukum cambuk
tidak lagi menjadi hukum
adat.
46
dihuni oleh mahasiswa/
mahasiswi tanpa ada penjaga
kost, karna kebutuhan ekonomi,
untuk mengisi kekosangan wa
ktu,karena tidak adanya
pekerjaan yang tetap, lemahnya
pengwasan pemerintah dan
masyarakat setempat, peranan
lembaga formal yang sangat
terbatas, dan tidak adanya
sosialisasi tentang qanun
maisir/judi pada kelompok-
kelompok sasaran serta
semakin lemahnya pengetahuan
ilmu agama.
2 Husaini (2015)
Universitas Isl
am
Negeri Sunan
Kalijaga
Yogyakarta de
ngan
judul Cambuk
Sebagai Bentu
k Hukuman
(Studi
Komparatif
Antara Qanun
Aceh Dan
Hukum Adat
Aceh)
Aceh dan hukum adat Aceh
terdapat banyak kesamaan
diantara keduanya,Diantaranya
memiliki dasar-dasar hukum
yang sama, tujuan dari
penerapan hukuman cambuk
yang sama, dan mempunyai
peran yang sama karena bentuk
hukuman cambuk yang telah
diuraikan dalam qanun Aceh itu
rangkuman dari kebiasan
sehari-hari masyarakat Aceh
yang menyatu dengan Adat
sehingga sering sifat adatnya itu
lebih menonjol dari sifat
syariatnya Namun tidak
menutup kemung kinan
diantara keduanya itu tetap
memiliki perbedaan, adapun
perbedaan yang signifikan
terdapat pada
bentukpelaksanaan ditengah-
tengah masyarakat, yakni
dalam hukum adat Aceh apabila
terjadi pelanggaran baik itu
berupa pelanggaran minum-
minuman keras (khamar),
Perjudian (maisir), dan
perbuatan mesum (khalwat),
maka pelanggaran tersebut akan
diselesaikan melalui Reusam
Kampoeng (hukum adat
setempat) dengan mengadakan
Dari penelitian ini memiliki
relevansi dengan penelitian
yang ingin di lakukan yaitu
sama-sama meneliti tentang
persoalan hukum cambuk di
Aceh hanya saja fokus
penelitian nya yang berbeda,
yaitu dimana penelitian yang
dilakukan Husaini fokus
pada
Cambuk Sebagai Bentuk
Hukuman yang merujuk
kepada ketentuan-ketentuan
yang ada dalam sistem
penegakan hukum cambuk
dan tujuan diterapkannya
hukum cambuk di Aceh,
Sementara penelitian yang
akan dilakukan adalah
tentang pergeseran makna
hukum cambuk pada
masyarakat Aceh.
47
musyawarah, adapun bentuk
sangsi bagi yang melakukan
pelangaran-pelangaran tersebut
yaitu membayar denda sebesar
Rp. 10.000.000 dan dicambuk
hanya dengan 5 kali
cambukan, yang pelaksan- aan
nya disaksikan oleh masyarakat
umum dengan ketentuan bagi
kaum laki-laki berdiri tegak dan
memakai pakaian berwarna
putih, dan bagi kaum
perempuan dengan cara duduk
dan ditutup kepalanya dengan
kain putih, namun dalam
hukum adat Aceh, sebelum di
eksekusi dengan hukuman
cambuk terlebih dahulu si
pelanggar disiram dengan air
kotor seperti air parit. Berbeda
halnya dalam qanun Aceh, tidak
dilakukan dengan cara
penyiramandengan air kotor
terlebih dahulu, bagi mereka
yang melakukan pelanggaran
tersebut.
3 Willy Purnama
Sari
(2013) skripsi
Universitas Isl
am
Negeri Sunan
Kalijaga
Yogyakarta de
ngan judul
Efektifitas
Regulasi
Hukuman
Cambuk
Terhadap
Pelaku minum-
minuman keras
(Khamar) Dan
Perujudian
(Maisir) di
Kota Langsa
Aceh
Dari data dan analisa
menunjukan bahwa pelaksa-
naan syariat Islam dan
penerapan Hukuman Cambuk
di Aceh terdapat perubahan
yang signifikan. Tetapi
pelanggaran minuman keras
(khamar) belum begitu efektif
karena dari tahun 2005 sampai
2007 adanya penurunan jumlah
pelanggaran namun tahun 2008
terjadi pelang garan lagi. Oleh
karena itu, pelanggaran
minuman keras (khamar) harus
lebih banyak di sosialisasi
kan lagi untuk meminimalisir
kejahatan.
Dari penelitian ini memiliki
relevansi dengan penelitian
yang ingin di laku- kan yaitu
sama-sama meneliti tentang
persoalan hukum cambuk di
aceh hanya saja fokus dan
tempat penelitiannya yang
berbeda, dimana penelitian
yang dilakukan oleh Willy
Pirnama Sari fokus pada
judul Efektifitas Regulasi
HukumanCambukTerhadap
Pelaku minum-minuman
keras (Khamar) Dan
Perujudian (Maisir) di Kota
Langsa Aceh. Sementara
penelitian yang akan
dilakukan adalah bagaimana
pergeseran makna hukum
cambuk pada masyarakat
Aceh. yang di dasari oleh
48
banyaknya pro dan kontra
yang terjadi pada
masyarakat Aceh terkait
hukum cambuk .
2.3 Landasan teori
Landasan teori digunakan sebagai alat untuk menganalisis data yang akan
dihasilkan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori Max Weber yaitu teori
Tindakan Sosial dalam tipe Rasionalitas berorientasi nilai, dimana teori tersebut
menjadi landasan peneliti dalam menganalisa hasil penelitian dan temuan-temuan
data terkait tema Pergeseran Makna Tradisi Hukum Cambuk pada Masyarakat
Aceh yang menjadi kajian dalam penelitian ini. Teori tentang Tindakan sosial
dalam tipe Rasionalitas yang berorientasi nilai (Wertrationalitat ) ini adalah, bahwa
alat-alat adalah obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar, tujuan-tujuan
sudah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut atau
merupakan nilai akhir baginya. Nilai akhir bersifat nonrasional dalam hal seseorang
tidak dapat memperhitungkannya secara obyektif mengenai tujuan-tujuan mana
yang ahrus dipilih.
Sebagaimana yang digagas oleh Max Weber dalam merancang dan
mendifinisikan makna dan interaksi sosial, individu dilihat sebagai pelaku tindakan
yang bebas tetapi tetap bertanggung jawab. Artinya, didalam bertindak atau
berinteraksi itu, seseorang tetap dibawah pengaruh bayang-bayang struktur sosial
dan pranata-pranata dalam masyarakat, tetapi fokus perhatian paradigma ini tetap
pada individu dengan tindakannya.
49
Tindakan sosial adalah semua tindakan manusia yang berkaitan dengan
sejauhmana individu yang bertindak itu memberinya suatu makna subyektif bagi
dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Dari sudut waktu tindakan sosial
dapat berupa seseorang individu atau sekumpulan orang, sebaliknya tindakan
individu yang diarahkan kepada benda mati atau objek fisik semata tanpa
dihubungkannya dengan tindakan orang lain bukan merupakan tindakan sosial.
Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya
mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Pembedaan pokok yang diberikan adalah
tindakan rasional dan nonrasionalitas. Tindakan rasional berhubungan dengan
pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan. Atas dasar
rasionaalitas tindakan sosial, Weber membedakannya kedalam empat tipe. Semakin
rasional tindakan sosial itu semakin mudah pula dipahami, empat tipe tindakan
sosial tersebut antara lain : Rasionalitas instrumental, Rasionalitas berorientasi
nilai, tindakan tradisional dan tindakan afektif.
1. Rasional Instrumental (Zwerkrationalitat) tindakan diarahkan apabila
tujuan,alat dan akibatnya diperhitungkan dan dipertimbangkan secara rasional.
Tindakan ini tidak ditentukan oleh harapan terhadap perilaku objek dalam
lingkungan dan perilaku manusia lain, harapan-harapan ini digunakan sebagai
syarat atau sarana untuk mencapai tujuan-tujuan aktor lewat upaya dan
perhitungan rasional.
2. Rasionaitas Nilai yaitu Tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh
kesadaran akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku
lain, yang terlepas dari prospek keberhasilannya.
50
3. Tindakan afektif yaitu tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh perasaan
emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sukar dipahami, aksi adalah
afektif manakalaa faktor emosional menetapkan cara-cara dan tujuan daripada
aksi.
4. Tindakan Tradisional yaitu tindakan yang dilakukan karena kebiasaan, tanpa
refleksi yang sadar atau perencanaan, menurut Weber tindakan ini bersifat non
rasional. Tindakan ekonomi biasanya tidak berada dalam ruang hampa, suatu
ruang yang tidak melibatkan hubungan sosial dengan orang lain. Oleh sebab
itu, tindakan ekonomi dapat berlangsung dengan melibatkan kerjasama,
kepercayaan, dan jaringan. Atau sebaliknya, suatu tindakan ekonomi dapat
menghasilkan perselisihan, ketidakpercayaan dan pemutusan hubungan.
Menurut Weber bentuk rasionalitas manusia meliputi mean (alat) yang
menjadi sasaran utama serta ends (tujuan) yang meliputi aspek kultural,
sehingga dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya orang besar mampu hidup
dengan pola fikir yang rasional yang ada pada seperangkat alat yang dimiliki
dan kebudayaan yang mendukung kehidupannya. Orang yang rasional akan
memilih alat yang paling benar untuk mencapai tujuan sebagaimana tindakan
sosial adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna
atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain.
Tindakan sosial yang dimaksud Weber dapat berupa tindakan yang nyata
diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat