BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendidikan Islameprints.umm.ac.id/44470/3/jiptummpp-gdl-adiirfanma... ·...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendidikan Islameprints.umm.ac.id/44470/3/jiptummpp-gdl-adiirfanma... ·...
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pendidikan Islam
1. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang Islami yang
memiliki komponen-komponen yang secara keseluruhan dan dapat
membentuk secara utuh seorang muslim yang sempurna yang di dalam
konsepnya tersusun berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits
12. Adapun pendidikan Islam menurut para ahli pendidikan
Islam secara terminologi telah mencoba memformulasikan pengertian
pendidikan Islam.
Al-Syaibany mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah
proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan
pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan
dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan
profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam masyarakat.13
M. Arifin mendefinisikan pendidikan Islam adalah proses yang
mengarahkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik yang
mengangkat derajat kemanusiaannya, sesuai dengan kemampuan dasar
(fitrah) dan kemampuan ajarannya (pengaruh dari luar).14
12 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012), ibid hal. 6.
13 Omar Muhammad al-Thoumy, al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 399.
14 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), Cet. Ke-4, hal. 14.
17
Definisi pendidikan Islam yang telah dikemukakan oleh
beberapa ahli pendidikan pada dasarnya memiliki beberapa persamaan
yang kesemuanya dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah
suatu sistem yang berproses dengan tujuan untuk memanusiakan
manusia seutuhnya agar beriman dan bertakwa kepada Allah SWT
dengan teori-teori yang berasaskan dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Pendidikan Islam memiliki istilah yang beragam dalam
menyebutkan istilah pendidikan Islam itu sendiri, diantara istilah
tersebut adalah tarbiyah, ta’lim, ta’dib. Ketiga istilah tersebut memiliki
penekanan dan konsep tersendiri dalam pendidikan Islam.
Pendidikan Islam dalam arti tarbiyah adalahmemelihara dan
menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa (baligh), mengembangkan
seluruh potensi menuju kesempurnaan, mengarahkan seluruh fitrah
menuju kesempurnaan, dan melaksanakan pendidikan secara bertahap.
Penggunaan Term al-Tarbiyah untuk menunjuk makna pendidikan
Islam dapat dipahami dengan merujuk firman Allah:
ما ك ه ة وقل رب� ارحم ما جناح الذ�ل� من الر�حم ه (٢٤ما رب�ياني صغيرا )واخفض ل
Artinya :“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah : ”Wahai Tuhanku, kasihilah
18
mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua terlah mendidik aku
waktu kecil”(Q.S al-Isra’ [17] : 24)15.
Pendididikan Islam dalam istilah ta’lim adalah proses transmisi
berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan
dan ketentuan tertentu. Argumentasi ini didasarkan dengan merujuk
pada ayat ini :
ة نا وي�ك�يكم وي�ل�مكم الكتاب يتلو عليكم آيات كما أرسلنا فيكم رسو� منكم والحكم
مون ) (١٥١وي�ل�مكم ما لم تكونوا ت�ل
Artinya :“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni’mat Kami
kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan
mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah), serta
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”(Q.S al-
Baqarah [2]:151)16
Pendidikan Islam dalam istilah ta’dib yang berarti pendidikan
haruslah menekankan pada aspek adab dan istilah ini menurut Al-Attas,
istilah yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam
adalah al-ta’dib.17 Konsep ini didasarkan pada hadits Nabi :
“Addabani rabbi fa ahsana ta’dibiy” Artinya : “Tuhan telah
15 Ramayulis, dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Telaah Sistem Pendidikan dan
Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta : Kalam Mulia, 2011), cet-3, hal. 84-85. 16 Muhammad Rasyid Ridho, Tafsir al-Qur’an al-Hakim; Tafsir al-Manar, Juz VII, (Beirut :
Dar al-Fikr, tt.), hal. 262. 17 Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Terj. Haidar Bagir,
(Bandung: Mizan, 1994), hal. 60.
19
mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”. (HR. Al-
‘Akary dari Ali r.a).
2. DasarPendidikanIslam
Dasar pendidikan Islam pada hakikatnya adalah dasar dari ajaran
Islam itu sendiri yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Al-Qur’an sebagai
sumber otentik yang berasal dari Allah SWT. Kedua adalah al-Hadits
yang merupakan perkataan perilaku dan ketetapan Nabi Muhammad
SAW.18
Menetapkan al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar pendidikan Islam
bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didsarkan pada
keimanan semata, tapi karna kebenaran yang berasala dari kedua dasar
tersebut dapat diterima oleh nalar manusia dan dapat dibuktikan dalam
sejarah atau pengalaman kemanusiaan. Sebagai pedoman, al-Qur’an
tidak ada keraguan di dalamnya, tetap terpelihara kesucian dan
kebenaranya, baik dalam aspek pembinaan spiritual maupun dalam
aspek sosial budaya dan pendidikan.
Demikian juga dengan kebenaran hadits sebagai dasar kedua bagi
pendidikan Islam. Dalam pendidikan Islam, Hadits memiliki dua fungsi,
yaitu:
1. Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang ada dalam al-Qur’an
dan menjelaskan hal-hal yang tidak terdapat di dalamnya.
18 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,(Jakarta, Raja Grafindo, 2008), hal. 66-68.
20
2. Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah
bersama sahabat, perilakunya terhadap anak-anak, dan
pendidikan keimanan yang pernah dilakukanya.19
Al-Qur’an sebagai sumber utama pendidikan Islam memiliki
beberapa prinsip dasar yang berkaitan dengan masalah pluralisme dan
toleransi. Paling tidak, dalam dataran konseptual, al-Qur’an telah
memberi resep atau arahan-arahan yang sangat diperlukan bagi manusia
muslim untuk memecahkan masalah kemanusiaan universal, yaitu
realitas pluralitas keberagamaan manusia dan menuntut supaya bersikap
toleransi terhadap kenyataan tersebut demi tercapainya perdamaian di
muka bumi. Karena Islam menilai bahwa syarat untuk membuat
keharmonisan adalah pengakuan terhadap komponen-komponen yang
secara alamiah berbeda. Kajian yang dilakukan oleh Adnan Aslam
menghasilkan beberapa proposisi yang mendukung konstruksi
“Pluralistic Islam”, yaitu:
1. Universalitas dan keragaman wahyu Tuhan kepada manusia
ditegaskan Islam secara eksplisit untuk mendukung universalitas
wahyu Tuhan, yang memainkan peran penting dalam
pemahaman Islam akan agama lain. Tuhan dalam al-Qur’an
bukan hanya Tuhan kaum muslim, tetapi Tuhan seluruh manusia.
QS. al-Baqarah ayat 115 menggambarkan hal ini
dengan mengatakan: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan
19 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002) hal 34-35
21
barat, Maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
mengetahui.” Tuhan semua manusia tidak akan membiarkan
bangsa manapun dalam kegelapan. Sebaliknya, dia menerangi
mereka dengan mengutus para rasul.
2. Keragaman ras, warna kulit, komunitas, dan agama dipandang
sebagai tanda Rahmat dan Keagungan Tuhan yang ditunjukkan
melalui makhluk-Nya. Pluralis dalam pengertian ini diterima
sebagai suatu fenomena alamiah. Dalam al-Qur’an dinyatakan
dalam Surat al-Hujurat: 13
3. Setiap agama yang diwahyukan dapat disebut Islam jika
dipandang sebagai sikap pasrah kepada Tuhan (makna harfiah
Islam). Jadi, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad, semuanya
adalah Muslim. Karena itu, siapa saja di kalangan orang Yahudi
dan Kristen serta semua kaum agama lain yang tunduk kepada
Tuhan yang Esa, tidak menyekutukan Tuhan, maka mereka
adalah Muslim
4. Tidak ada paksaan dalam beragama, ini merupakan salah satu
prinsip unik al-Qur’an yang dimaksudkan untuk mangatur
kebebasan beragama dalam Islam. “Tidak ada paksaan dalam
beragama; Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada
jalan yang sesat.”(QS. al-Baqarah: 256), “Sesungguhnya jika
mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan
22
melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada
agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan
beruntung selama lamanya“ (QS. al-Kahfi: 20), “Dan jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang
ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya” (QS. Yunus: 99)
5. Agama di hadapan Tuhan adalah Islam. Di samping ayat-ayat
yang menunjukkan bentuk pluralisme Islam, ada juga beberapa
ayat yang menunjukkan eksklusivisme Islam. Dalam konteks ini,
al-Qur’an menyatakan: “Sesungguhnya agama di sisi Allah
hanyalah Islam” (QS. Ali Imran: 19), “Barangsiapa mencari
agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi” (QS. Ali Imran: 85),
6. Orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta berbuat
baik akan selamat. Gagasan Islam tentang keselamatan tidak bisa
disamakan dengan pembebasan Buddha atau pencerahan
Kristen.20
3. Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan islam pada dasarnya ditujukan untuk membentuk
manusia yang berkepribadian luhur serta dapat mengembangkan
20 Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multicultural Konsep dan Aplikasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), cet. II, hal. 88-93
23
potensi yang dimilikinya dan bukan sekedar membentuk manusia yang
dapat bekerja dengan baik. Al-Attas memiliki pandangan bahwa
pendidikan haruslah mampu menciptakan manusia yang baik
paripurna21. Hal ini disebutkan oleh Al-Attas dalam bukunya yang
berjudul Islam and Secularism:
“Tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya sekedar sebagai warga Negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga Negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual, (dengan demikian yang ditekankan itu) bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaanya bagi Negara, masyarakat, dunia22.” Sedangkan menurut Fazlur Rahman tujuan pendidikan Islam adalah
untuk mengembangkan manusia sedemikian rupa sehingga semua
pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi hal pada keseluruhan
yang kreatif, yang memungkinkan manusia dapat memanfaatkan
sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk
menciptakan keadilan, kemajuan dan keteraturan dunia.23
Sejalan dengan tujuan pendidikan Islam yang disampaikan oleh Al-
Attas dan Fazlurrahman, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan
Islam diharapkan mampu membentuk manusia yang berprikepriadian
luhur serta dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba Allah SWT
dengan seperangkat potensi yang dimiliki sehingga terbentuk manusia
21 Wan Modh Nur Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Moh. Naquib al-
Attas, Penerjemah: Hamid Fahmy, dkk. (Bandung: Mizan, 2003), hal. 172. 22Wan Modh Nur Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Moh. Naquib al-
Attas, Penerjemah: Hamid Fahmy, dkk. Ibid, hal. 172. 23 Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian Terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan,
(Yogyakarta, Putaka Pelajar, 2006) hal 171
24
yang paripurna dan dapat memanfaatkan sumber-sumber alam untuk
kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan dan
keteraturan dunia..
Demi tujuan itu, maka Pendidikan Islam sebenarnya masih dianggap
sebagai instrumen penting. Sebab, pendidikan Islam sampai sekarang
masih diyakini mempunyai peran besar dalam membentuk karakter
individu-individu yang dididiknya. Dalam konteks inilah, pendidikan
Islam sebagai media penyadaran umat perlu membangun teologi
inklusif dan pluralis, demi harmonisasi agama-agama yang telah
menjadi kebutuhan masyarakat agama sekarang.
Dengan demikian, Tujuan Pendidikan Islam seharusnya
diprioritaskan untuk menumbuhkan saling menghormati kepada semua
manusia yang memiliki iman berbeda atau mazhab berbeda dalam
beragama, Untuk merealisasikan tujuan pendidikan Islam tersebut,
lembaga pendidikan Islam perlu menerapkan sistem pengajaran yang
berorientasi pada penanaman kesadaran pluralisme dalam kehidupan.
Pendidikan Islam, merupakan sarana yang sangat efektif untuk
menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik.
Perbedaan agama di antara peserta didik bukanlah menjadi penghalang
untuk bisa bergaul dan bersosialisasi diri. Justru pendidikan agama pada
peserta didik yang berbeda agama, dapat dijadikan sarana untuk
menggali dan menemukan nilai-nilai keagamaan pada agamanya
masing-masing sekaligus dapat mengenal tradisi agama orang lain.
25
Pendidikan Islam harus memandang “iman”, yang dimiliki oleh
setiap pemeluk agama, bersifat dialogis artinya iman itu bisa
didialogkan antara Tuhan dan manusia dan antara sesama manusia.
Iman merupakan pengalaman kemanusiaan ketika berhubungan dengan-
Nya (dengan begitu, bahwa yang menghayati dan menyakini iman itu
adalah manusia, dan bukannya Tuhan), dan pada tingkat tertentu iman
itu bisa didialogkan oleh manusia, antarsesama manusia dan dengan
menggunakan bahasa manusia.24
4. Kurikulum Pendidikan Islam
Ada beberapa prinsip yang benar-benar harus dikembangkan dalam
kurikulum pendidikan Islam hal ini terdapat dalam bukunya Muhaimin
Dkk. Yaitu:
a. Kurikulum pendidikan Islam harus berpusat pada potensi,
kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
Kurikulum pendidikan dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa
peserta didik memiliki posisi sentral untuk dikembangkan
potensinya agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada
Allah yang Maha Esa.
b. Kurikulum pendidikan Islam Harus beragam dan terpadu.
Kurikulum harus dikembangkan berdasarkan keragaman
karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang, dan jenis
pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap
24 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka,
2005), hal 125-126
26
perbedaan agama, suku, ras, budaya, adat istiadat dan lain
seterusnya.
c. Kurikulum pendidikan harus tanggap terhadap ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni. Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran
bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara
dinamis.
d. Kurikulum pendidikan Islam harus relevan dengan kebutuhan hidup.
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangkas
kepentingan untuk menjamin relevansi pendidikan dan kehidupan,
termasuk di dalamnya kehidupan masyarakat yang plural.
e. Kurikulum pendidikan Islam harus menyeluruh dan
berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup keseluruhan
dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan, dan mata pelajaran
yang direncanakan serta disajikan secara berkesinambungan antar
semua jenjang.
f. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses
pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik
yang berlangsung sepanjang hayat.
27
g. Seimbang antara kepentingan Nasional dan kepentingan daerah. Hal
ini diperuntukan membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.25
Kurikulum pendidikan Islam formal dijabarkan dalam tiga
komponen materi pendidikan utama yang sekaligus menjadi
karekteristik, yaitu: (1) pembentukan kepribadian Islami (2) tsaqafah
Islam (3) ilmu kehidupan (iptek, keahlian, dan ketrampilan). Hal
tersebut diberikan sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan
anak didik berdasarkan jenjang pendidikanya masing-masing.26
5. Metode Pendidikan Islam
Metode pendidikan diartikan sebagai prinsip-prinsip yang
mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang, khususnya
proses belajar mengajar. Atas dasar inilah metode pendidikan Islam
harus didasarkan dan disesuaikan dengan hal-hal berikut:
a. Metode pendidikan Islam didasarkan pandangan bahwa manusia
dilahirkan dengan potensi bawaan tertentu dan dengan itun ia
mampu berkembang.
b. Metode pendidikan Islam didasarkan pada karakteristik
masyarakat madani, yaitu manusia yang bebas dari ketakutan,
bebas berekspresi dan bebas menentukan arah kehidupanya.
25 Muhaimin, dkk. Pengembangan Model Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Pada Sekolah Dan Madrasah, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007), hal 21-23 26 Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Isla, (Jakarta, Ar-Ruuz Media, 2011) hal 68
28
c. Metode pendidikan Islam didasarkan pada learning kompetensi,
yakni peserta didik akan memiliki seperangkat pengetahuan,
ketrampilan, sikap, wawasan dan penerapanya sesuai dengan
kriteria atau tujuan pembelajaran.
Mastuhunu mengusulkan konsep pemikira metodologi
pendidikan Islam yang sifatnya lebih teknis sebagai berikut.
Pertama, bagi studi pendidikan Islam tidak ada pemisahan istilah
antara pendidikan dan pengajaran. Kedua, dalam melaksanakan
metodologi pendidikan dan pengajaran Islam, harus digunakan
paradigma holistik. Artinya, memandang kehidupan sebagai suatu
kesatuan, konkrit dan dekat dengan kepentingan hidup sehari-hari
sampai dengan hal-hal abstrak dan transendental. Ketiga, perlu
digunakan model penjelasan yang rasional disamping pelatihan dan
keharusan melaksanakan ketentuan-ketentuan doktrin spiritual dan
norma peribadatan. Keempat, perlu digunakan teknik pembelajaran
partisipatoris.27
6. Transformasi Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sepanjang sejarah, selalu bersifat antisipatif yaitu
selalu mempersiapkan peserta didik (generasi muda) agar dapat
melaksanakan peran serta tugas hidupnya sebagai manusia dan siap
menghadapi segala tantangan hidup di masa depan. Dalam hal inilah
hubungan ideologi dan trnsformasinya harus dilihat secara cerdas.
27 Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Isla, (Jakarta, Ar-Ruuz Media, 2011) hal 69-70
29
Pancasila sebagai ideologi bangsa, tidak perlu diubah dengan ideologi
yang lain, namun karena tuntutan zaman yang slelalu mengalami
perubahan, perlu dilakukan interpretasi dan reinterpretasi terhadap nilai-
nilai yang terkandung di dalamnya agar tidak menjadi ideologi tertutup
yang kaku, beku, dan totaliter. Implikasinya dalam pendidikan, perlu
dikembangkan strategi pendidikan transformatif, yaitu pendidikan yang
akomodatif terhadap perubahan tetapi dengan tetap berpijak pada nilai-
nilai dasar yang terkandung dalam pandangan hidup tersebut.
Humanisme teosentris sebagai paradigma ideologi pendidikan
Islam, secara normatif tidak perlu mengalami perubahan karena diyakini
memiliki nilai-nilai transendental yang memiliki kebenaran mutlak.
Akan tetapi dalam rangka menyusun strategi yang relevan dalam
menghadapi perubahan, perlu dilakukan interpretasi nilai-nilai yang
terkandung dalam paradigma tersebut dan reinterpretasi terhadap
pemahaman masa lalu sehingga menghasilkan formulasi strategi
pendidikan Islam transformatif.28 Hal ini dapat diambil dari penjelasan
Muslim Abdurrahman untuk memberikan batasan tentang pendidikan
Islam transformatif, yakni pendidikan yang mengakses perubahan
dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip liberalisasi, humanisasi dan
trnsendensi yang bersifat profetik.29
28 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2005) hal 158 29 Muslim Abdurrahman, Islam Trnasformatif, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995) hal 40.
30
Pada dasarnya ketiga prinsip tersebut merupakan implementasi
paradigma humanisme-teosentris karena: (1) liberalisme pendidikan
sebagaimana pandangan John Dewey dengan teori progresivisme dan
eksperimentalisnya, tetapi bertolak dari prinsip-prinsip kebebasan yang
bertanggungjawab sebagaimana yang diisyaratkan dalam Alquran
bahwa manusia diberi potensi kebebasan kehendak untuk menentukan
pilihan. Akan memilih yang baik atau yang buruk, mau berusaha
mengubah nasibnya atau tidak (QS. Ar-Ra’du [13]: 11), bahkan
termasuk pilihan beriman atau kufur (QS. Al-Kahfi [18]: 29). Dengan
kebebasan itulah maka akan adil jika manusia harus
mempertanggungjawabkan segala perbuatanya. (2) Humanisasi yang
ditawarkan dalam Islam bukanlah humanisasi yang merujuk pada
humanisme sekuler yang ada di barat yang muncul sebagai perlawanan
terhadap agama yang dianggap tidak dapat diharapkan untuk
mengadvokasi masalah kemanusiaan. Bahkan agama dinilai kerap
menimbulkan masalah kemanusiaan. Namun didasarkan atas konsep
fitrah dalam Islam yang memandang bahwa manusia sebagai makhluk
paling mulia dengan potensi insani (SDM) yang dapat dikembangkan
sehingga mampu berperan sebagai khalifah Allah di bumi dan bisa
mendekatkan diri kepada sang Khaliq. Oleh karena itu, humanisasi
dalam Islam dipandang sebagai penghargaan yang tinggi terhadap
harkat dan martabat manusia dalam rangka optimalisasi dalam rangka
pengembangan SDM yang dimilikinya. (3) Transendensi yang bersifat
31
profetis ialah memberikan makna ubudiyah dalam proses liberalisasi
dan humanisasi. Artinya kedua proses tersebut sama sekali tidak terlepas
dari konsep manusia sebagai abd (pengabdi), baik kepada sang Illahi
maupun kepada sesama manusia dan kehidupan di sekitarnya.
Sebagai pijakan transformasi pendidikan perlu ditegaskan kembali
substansi ideologi humanisme-teosentris pendidikan yang secara
eksplisit membedakan dengan dengan pendidikan lainya. Mengenai
manusia sebagai subjek dan objek pendidikan, didasarkan atas
pandangan Islam tentang konsep fitrah, dasar dan tujuan pendidikan
didasarkan atas nilai-nilai Illahiyah dan insaniyah. Begitu pula
mengenai isi pendidikan secara aksiologi dan epistemologi haruslah
mengacu pada paradigma tersebut.
Dalam melakukan transformasi pendidikan, Islam tidak harus
mengubah paradigma ideologinya, tetapi cukup pada tataran strateginya
dengan melakukan interpretasi nilai-nilai yang terkandung dalam
paradigma dan reinterpretasi terhadap pemahaman masalalu. Dalam hal
ini pendidikan Islam harus mampu menjawab pluralistik sebagai
interpretasi dan reinterpretasi dari humanisme teosentris yang telah
dibahas di atas. Denagan cara itulah pendidikan Islam akan selalu
menemukan urgeni dan kesesuaianya dalam menjawab tantangan dan
32
dinamika kehidupan umat Islam, serta mampu menjadi rahmat bagi
seluruh umat manusia (rahmatan lilalamin).30
B. Pendidikan Islam Pluralistik
1. Pengertian Pendidikan Pluralistik
Definisi tentang pendidikan pluralisme menurut Frans
Magnez Suseno adalah suatu pendidikan yang mengandaikan kita
untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu
melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama
sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah
keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita.
Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk
perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.31
Pendidikan Pluralisme sering dikenal orang dengan sebutan
“Pendidikan Multikultural”. Ainurrofiq Dawam menjelaskan
definisi pendidikan multikultural sebagai proses pengembangan
seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan
heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis,
suku, dan aliran (agama).32
Muhammad Ali menyebut pendidikan multikultural sebagai
pendidikan yang berorientasi pada proses penyadaran yang
30 Ahmad Nurholis, Peace Education & Pendidikan Perdamaian Gus Dur, (Jakarta: Gramedia,
2015) hal 88-90 31 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka,
2005), ibid hal 92 32 Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme
Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press, 2003), hlm. 100
33
berwawasan pluralis secara agama sekaligus berwawasan
multikultural, seperti itu, dengan sebutan “Pendidikan Pluralis
Multikultural”. Menurutnya, pendidikan semacam itu harus dilihat
sebagai bagian dari upaya komprehensif mencegah dan
menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama,
separatisme, dan integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep
pendidikan ini adalah toleransi.33
Memperhatikan beberapa definisi tentang pendidikan
pluralisme tersebut di atas, secara sederhana pendidikan pluralisme
dapatlah didefinisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman
keagamaan dan kebudayaan dalam merespon perubahan demografis
dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia
secara keseluruhan. Pendidikan di sini, dituntut untuk dapat
merespon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah,
sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.
Melalui sistem pendidikannya, sebuah pendidikan yang
berbasis pluralistik akan berusaha memelihara dan berupaya
menumbuhkan pemahaman yang inklusif pada peserta didik.
Dengan suatu orientasi untuk memberikan penyadaran terhadap
33 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, op Cit hlm 103
34
para peserta didiknya akan pentingnya saling menghargai,
menghormati dan bekerja sama dengan agama-agama lain.34
Secara umum Pendidikan Islam didefinisikan sebagai
pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran Islam dan
nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam al-Qur’an dan as-
Sunah. Pendidikan Islam sebagai sistem mempunyai orientasi yang
jelas bahwa semata-mata untuk beribadah kepada Allah dan
bermanfaat bagi umat manusia. Bisa dikatakan jika pendidikan
Islam belum membentuk pribadi peserta didik sesuai nilai-nilai
universal dan tidak bermanfaat bagi manusia lainnya maka
pendidikan Islam tersebut belum mencapai tujuan. Atas dasar ini,
pendidikan Islam pada dasarnya mengandung nilai-nilai inklusif dan
plural . Al-qur’an menegaskan dalam surat ar-Rum ayat 22 :dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan
bumi danberlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.
Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi orang-orang yang mengetahui.
Al-qur’an menjelaskan bahwa keragaman etnis maupun
budaya merupakan fitrah manusia seutuhnya yang telah di
anugerahkan sang pencipta. Fitrah manusia seutuhnya bersifat
sosial, tanpa adanya rasa sosial mustahil manusia dapat hidup
secara individual. Dari ajaran fundamentalis ini, Al-Qur’an
34 Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme,
(Semarang: Nedd’s Press, 2008), hlm. 100
35
mengakui bahwa budaya merupakan bagian dari fitrah manusia, dan
kebudayaan pula yang membentuk suatu peradaban manusia
terlepas dari baik dan buruknya. Menurut Muslih Usa dan Aden
Wijdan seperti yang dikutip Maslikhah memberi pengertian bahwa
pendidikan islam merupakan proses pembelajaran yang sangat
intens pada pembentukan kepribadian, budi pekerti yang luhur.
Walaupun pendidikan Islam dipahami secara berbeda, namun pada
dasarnya merupakan satu kesatuan dalam satu sistem, yaitu
pendidikan islam.35
Pandangan Gus Dur terhadap pendidikan Islam tidak
terlepas dari faktor sosio kultur yang berkembang di masyarakat,
terutama Indonesia. Maka realitas tersebut dijadikan acuan oleh Gus
Dur untuk mengembangkan pluralistik pada setiap institusi
pendidikan. Gus dur dalam bukunya Menggerakan Tradisi
menjelaskan bahwa keberadaan pesantren selalu ada dalam lingkup
budaya tertentu yang disebut oleh Gus Dur dengan istilah
“subkultur”. Fenomena multikultur di pesantren adalah suatu hal
yang wajar. Kitab-kitab yang diajarkanpun tidak satu mazhab. Ada
beberapa kitab yang dikaji oleh para santri yang di dalamnya
terdapat hukum fiqih yang bisa dijadikan landasan hukum bagi umat
Islam yang memiliki kultur yang berbeda.
35Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultur, (Surabaya: PT Temprina Media Grafika,2007) hal 120
36
Dalam kehidupan pesantren juga dikenal juga dikenal kaidah
fiqh “suatu ijtihad tidak bisa digantikan dengan ijtihad” yang
berarti bahwa orang yang berijtihad tidak bisa mengklaimbahwa
ijtihadnyalah yang paling benar, dan santri dipersilahkanmemilih
yang mana yang sesuai untuk dijalankan.36
2. Dasar Pendidikan Islam Pluralistik
I. Dasar Historis
Ada banyak bukti historis bahwa Nabi Muhammad SAW.
Sangat proeksistensi terhadap pemeluk agama lain dan memberikan
kebebasan kepada mereka untuk melakukan ritual di masjid milik
umat Islam. Dikisahkan oleh Ibnu Hisyam dalam al Sirah al-
Nabawiyyah, bahwa Nabi pernah menerima kunjungan para tokoh
Kristen Najran berjumlah 60 orang. Menurut Muhammad ibnu
Ja’far ibnu al-Zubair, ketika rombongan itu sampai di Madinah,
mereka langsung menuju masjid. Saat itu Nabi sedang
melaksanakan shalat ashar bersama para sahabatnya. Mereka datang
dengan memakai jubah dan surban, pakaian yang juga lazim
digunakan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan para sahabatnya.
Ketika waktu Kebaktian tiba, mereka pun tak harus mencari gereja.
Nabi memperkenankan mereka untuk melakukan sembahyang di
masjid.
36 Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Isla, (Jakarta, Ar-Ruuz Media, 2011) hal 98-99
37
Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh kalangan Kristen.
Ketika umat Islam dikejar-kejar oleh Kafir-Quraisy Mekkah, yang
memberikan perlindungan adalah Najasy, raja Abesinia yang
Kristen. Ia berpendirian bahwa pengikut Muhammad haruslah
dilindungi hak-haknya, termasuk hak memeluk agama.37
Begitu pula ketika Nabi hijrah ke Madinah, Beliau
mengadakan pertemuan secara besar-besaran bersama sahabat
Anshar dan beberapa keluarga (Naqib) dari Mekkah. Dalam
pertemuan itu, 23 artikel dari Piagam Madinah telah ditetapkan. Juga
tercantum dalam piagam itu, untuk membentuk masyarakat dan
hubungan-hubungan legal bagi kelompok Muslim yang baru.
Selanjutnya Beliau berkonsultasi dengan perwakilan dari non-
Muslim. Akhirnya seluruh dari mereka menyepakati dasar-dasar
pembentukan sebuah “city-state” yang baru. Inilah yang kemudian
diabadikan dengan sebutan “Piagam Madinah”.38
Piagam Madinah adalah piagam pertama dalam sejarah
peradaban Islam yang menyepakati soal-soal hubungan atau
interaksi sosial antara kelompok-kelompok yang memiliki
perbedaan agama dan budaya, yakni antara kelompok Yahudi,
Nasrani dan Muslim. Di sini, Nabi Muhammad SAW bertindak
sebagai pencetus dan mediator dalam gerakan ishlah ini. Hal-hal
37 Moh. Shofan, Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh
Muhammadiyah, (Jogjakarta: LSAF, 2008), hlm. 54-55 38 Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, op. cit.,
hal. 67
38
penting yang dapat dijadikan sebagai dasar interaksi sosial di tengah
komunitas yang plural antara lain:
a. Seluruh suku yang ada di Madinah disebut dalam pasal-pasal
piagam dengan maksud menghormati identitas kolektivitas
keagamaan dan etnik yang ada dalam masyarakat tersebut.
b. Tiap-tiap kelompok etnik dan keagamaan dijamin otonomi
hukum dan budayanya secara total.
c. Secara garis besar Piagam Madinah memuat kesepakatan antara
Muhammad, kaum Musyrik, dan Yahudi. Dari 47 pasal yang
termuat dalam piagam itu meliputi masalah monoteisme,
persatuan-kesatuan, persamaan hak, keadilan, kebebasan
beragama, bela negara, pelestarian adat, perdamaian dan
proteksi.
d. Masing-masing berkewajiban menjaga keamanan dan stabilitas
Madinah.
e. Piagam Madinah menunjukkan bahwa Islam memiliki
kepedulian tinggi terhadap kesetaraan antaretnis dan ras. Dari
sudut tinjauan modern, ia diterima sebagai sumber inspirasi
untuk membangun masyarakat yang majemuk.
f. Piagam Madinah menjadi bukti bagi kerja sama kaum
Muslimin dengan kelompok beragama lain, sekaligus
menunjukkan bahwa Muhammad telah melembagakan asas
39
toleransi beragama yang dinyatakan dalam al-Qur’an (Q.S al-
Baqarah: 156, al-Maidah: 48, dan al-Kafirun: 6)
g. Piagam Madinah menjadi piagam pertama yang mengakui
kebebasan hati nurani yang ditemui dalam sejarah umat
manusia.
Juga dikisahkan oleh al Qushairi dalam al-Risalah; saya
mendengar seorang ulama mengabarkan, “seorang Majusi
mengundang Nabi Ibrahim as. untuk makan. Ibrahim menjawab:
“aku mau menerima undanganmu dengan satu syarat, yaitu bahwa
engkau memeluk Islam.” Mendengar jawaban Ibrahim itu, orang
Majusi itu langsung pergi. Kemudian Allah SWT menurunkan
wahyu kepada Ibrahim, ‘selama lima puluh tahun Kami (Allah) telah
memberinya makan sekalipun ia kafir. (apa salahnya) jika engkau
menerima seporsi makanan darinya tanpa menuntutnya mengganti
agama?’ Ibrahim kemudian mengejar si Majusi itu lalu meminta
maaf kepadanya. Ketika si Majusi bertanya mengapa ia minta maaf,
Ibrahim menceritakan apa yang telah terjadi, dan orang Majusi itu
kemudian masuk Islam.”39
II. Dasar Normatif
Al-Qur’an secara jelas menyatakan bahwa pluralitas adalah
salah satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis
hukum Allah atau sunnah Allah, dan bahwa hanya Allah yang tahu
39http://mukhsinblog.blogspot.com/ diakses pada 06 Juni2010 pendidikan-pluralisme-
multikultural.html
40
dan dapat menjelaskan di hari akhir nanti, mengapa manusia
berbeda satu dari yang lain. Hal tersebut tercantum dalam QS. al-
Hujurat: 13.
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di
antara kamu.
Asbabun nuzul ayat tersebut menegaskan kesatuan asal usul
manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan
manusia. Tidak wajar seseorang berbangga dan merasa diri lebih
tinggi dari yang lain, bukan saja antar satu bangsa, suku atau warna
kulit dengan selainnya, tetapi juga antara jenis kelamin mereka.
Kata ta’ārafū terambil dari kata ‘arafa yang berarti
mengenal. yakni mengandung makna timbal balik, dengan demikian
ia berarti saling mengenal. Semakin kuat pengenalan suatu pihak
kepada selainnya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi
manfaat. Karena itu ayat di atas menekankan perlunya saling
mengenal. Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling menarik
pelajaran dan pengalaman pihak lain, guna meningkatkan
ketakwaan kepada Allah swt. Yang dampaknya tercermin pada
41
kedamaian dan kesejahteraan hidup duniawi dan kebahagiaan
ukhrawi.40
Islam juga memerintahkan umatnya untuk berinteraksi
terutama dengan agama Kristen dan Yahudi, dan dapat menggali
nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat intelektual dan
teologis secara bersama-sama dengan cara yang sebaik-baiknya. Hal
tersebut terdapat pada QS. al-Ankabut: 46 yang artinya:
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab, melainkan
dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang
dzalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami Telah
beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami
dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu
adalah satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.
Dalam ayat ini, Allah memberi petunjuk kepada Nabi
Muhammad dan kaum Muslimin tentang materi dakwah dan cara
menghadapi Ahli Kitab karena sebagian besar mereka ini tidak
menerima seruannya. Ketika Rasulullah menyampaikan ajaran
Islam, kebanyakan mereka mendustakannya. Hanya sedikit sekali
di antara mereka yang menerimanya. Padahal mereka telah
40 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2005), Vol. 13, hal. 261-262.
42
mengetahui Muhammad dan ajaran yang dibawanya, sebagaimana
mereka mengetahui dan mengenal anak-anak mereka sendiri.41
Serta mengapa jalan manusia berbeda-beda dalam beragama,
telah dijelaskan dalam QS. al-Maidah: 48 yang artinya:
Untuk masing-masing dari kamu (umat manusia) telah Kami
tetapkan hukum (syari’ah) dan jalan hidup (minhaj). Jika
Tuhan menghendaki, maka tentulah ia jadikan kamu
sekalian umat yang tunggal (monolitik). Namun Ia jadikan
kamu sekalian berkenaan dengan hal-hal yang telah
dikaruniakan-Nya kepada kamu. Maka berlombalah kamu
sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah-lah tempat
kalian semua kembali, maka Ia akan menjelaskan kepadamu
sekalian tentang perkara yang pernah kamu perselisihkan.
Allah telah menetapkan syari’at dan minhaj yang
khususbuat mereka dan masa mereka. Umat yang hidup pada masa
Nuhas. ada syari’ah dan minhajnya, demikian juga pada masa nabi
danrasul yang datang sesudahnya, Musa as. dan Muhammad saw.
Pundemikian.
Allah juga tidak menghendaki menjadikan manusia
semuasejak dahulu hingga kini satu umat saja, yakni satu pendapat,
41 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 13, ibid hal 402
43
satukecenderungan, bahkan satu agama dalam segala prinsip
danrinciannya. Karena jika Allah menghendaki demikian, dia
tidakakan memberi manusia kebebasan memilah dan memilih,
termasuk kebebasan memilih agama dan kepercayaan. Kebebasan
memilah dan memilih itu dimaksudkan agar manusia dapat
berlomba-lomba dalam kebajikan, dan dengan demikian akan terjadi
kreativitas dan peningkatan kualitas, karena hanya dengan
perbedaan dan perlombaan yang sehat, kedua hal itu akan tercapai.42
Menurut Moh. Shofan yang mengutip tafsir Al-Misbah,
menjelaskan bahwa setidaknya ada empat tema pokok yang menjadi
kategori utama al-Qur’an tentang pluralisme agama:
a. Tidak ada paksaan dalam beragama, yang terdapat pada QS. al-
Baqarah (2): 256 yang artinya:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.
Tidak boleh ada paksaan dan tindakan kekerasan untuk masuk
ke dalam agama. Iman itu tunduk dan khudhu’ (patuh). Untuk
mencapai hal itu tidak bisa dilakukan dengan paksaan dan
tekanan, tetapi harus dengan alasan dan penjelasan yang
42 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2005), Vol. 3, ibid hal. 115-116
44
menguatkan. Iman adalah urusan hati. Tidak seorang pun bisa
menguasai hati manusia.
Ayat ini cukup untuk membuktikan tentang kekeliruan
musuh-musuh agama Islam yang mengatakan: “agama Islam
ditegakkan dengan pedang, dan orang yang tidak mau memeluk
agama Islam dipancung lehernya”. Sejarah telah membuktikan
kebohongan dari pernyataan itu. Peperangan yang terjadi pada
masa Nabi bertujuan membela diri, supaya kaum Musyrik
berhenti mengganggu dan memfitnah para Muslim. Inilah
sebabnya, para Muslim tidak lagi memerangi para Musyrik ketika
mereka telah memeluk Islam atau tetap pada agama semula
dengan membayar jizyah (pajak) sebagai jaminan keamanan.
Allah Maha Kuasa, sehingga dengan kekuasaan-Nya, Dia bisa
jadi ada yang menduga bahwa hal tersebut dapat menjadi alasan
bagi Allah untuk memaksa makhluk mematuhi agama-Nya.
Namun yang terjadi tidak demikian, yang dimaksud dengan tidak
ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut
akidahnya. Ini berarti jika seseorang telah memilih satu akidah,
maka dia terikat dengan tuntunan-tuntunannya, dia berkewajiban
melaksanakan perintahperintahnya. Dia terancam sanksi jika
melanggar ketetapannya.
45
Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian.
Agama-Nya dinamai Islam, yakni damai. Kedamaian tidak dapat
diraih kalau jiwa tidak damai, karena itu tidak ada paksaan dalam
menganut keyakinan agama Islam. Mengapa ada paksaan,
padahal telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.
Sangatlah wajar semua memilih agama ini, pasti ada sesuatu yang
keliru dalam jiwa seseorang yang enggan menelusuri jalan yang
lurus setelah jelas jalan yang terbentang di hadapannya.
Tidak ada paksaan dalam menganut agama, karena telah jelas
jalan yang lurus. Itu sebabnya, sehingga orang gila dan belum
dewasa, atau yang tidak mengetahui tuntunan agama, tidak
berdosa jika melanggar atau tidak menganutnya, karena bagi dia
jalan yang jelas itu belum diketahuinya. Tetapi Anda jangan
berkata bahwa Anda tidak tahu jika Anda mempunyai potensi
untuk mengetahui tetapi potensi itu tidak Anda gunakan. Di sini
Anda pun dituntut karena menyia-nyiakan potensi yang Anda
miliki.
Anda juga tahu bahwa telah jelas yang ini membawa manfaat
dan itu mengakibatkan mudharat, jika demikian tidak perlu ada
paksaan karena yang dipaksa adalah yang enggan tunduk akibat
ketidaktahuan. Di sini telah jelas jalan itu sehingga
tidak perlu ada paksaan. Anda memaksa anak untuk
46
minum obat yang pahit, karena Anda tahu bahwa obat itu adalah
mutlak untuk kesembuhan penyakit yang dideritanya.
b. Pengakuan akan eksistensi agama-agama lain. Pengakuan al-
Qur’an terhadap pemeluk agama-agama lain, antara lain
tercantum dalam QS. al-Baqarah (2): 62 yang artinya:
Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi,
orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi'in, siapa saja
diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari
Kemudian dan beramal shaleh, mereka akan menerima pahala
dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.
Pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat kelompok:
al-ladzina Amanu (menunjuk pada umat Islam), alladzina Hadu
(ummat Yahudi), al-Nashara (umat Kristen), dan al-Shabi’in. Al-
Thabari berpendapat bahwa jaminan Allah atas keselamatan
tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman, percaya pada hari
kemudian, dan perbuatan baik. Syarat beriman itu termasuk
beriman kepada Allah dan Muhammad saw. Atau dengan kata
lain, yang dimaksud dalam ayat ini ialah mereka yang telah
memeluk Islam.
kata Hadu adalah orang-orang yang beragama Yahudi.
Mereka dalam bahasa Arab disebut Yahud. Penulis mengamati
bahwa al-Qur’an tidak menggunakan kata Yahud kecuali dalam
47
konteks kecaman. Agaknya itulah sebabnya maka di sini tidak
digunakan kata tersebut tetapi digunakan kata Hadu. Kata al-
Nashara terambil dari kata Nashirah yaitu satu wilayah Palestina.
Di mana Maryam, ibu Nabi ‘Isa as. Dibesarkan dan dari sana
dalam keadaan mengandung ‘Isa as., beliau menuju baitul
maqdis, tetapi sebelum tiba beliau melahirkan ‘Isa as. Di
Bethlehem. Dari ‘Isa as. Digelari oleh Bani Israil dengan Yasu’,
dari sini pengikut-pengikut beliau dinamai Nasharaa yang
merupakan bentuk jamak dari Nashry atau Nashiry.
Kata al-Shabi’in ada yang berpendapat terambil dari kata
Shaba’ yang berarti muncul atau Nampak, misalnya ketika
melukiskan bintang yang muncul. Dari sini ada yang memahami
istilah al-Qur’an ini dalam arti penyembah bintang. Ada juga
yang memahaminya terambil dari kata Saba’, satu daerah di
Yaman di mana pernah berkuasa ratu Balqis dan penduduknya
menyembah matahari dan bintang.
Persyaratan beriman kepada Allah dan hari Kemudian,
seperti bunyi ayat di atas, bukan berarti hanya kedua rukun itu
yang dituntut dari mereka, tetapi keduanya adalah istilah yang
biasa digunakan oleh al-Qur’an dan Sunnah untuk makna iman
yang benar dan mencakup semua rukunnya.
Perkara surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah
memang harus diakui. Tetapi hak tersebut tidak menjadikan
48
semua penganut agama sama dihadapan-Nya. Bahwa hidup rukun
dan damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan
merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk mencapai hal itu
bukan dengan mengorbankan ajaran agama. Caranya adalah
hidup damai dan menyerahkan kepada-Nya semata untuk
memutuskan di hari Kemudian kelak, agama siapa yang direstui-
Nya dan agama siapa saja yang keliru, serta siapa yang
dianugerahi surge dan siapa pula yang akan takut dan bersedih.
c. Kesatuan Kenabian, yang bertumpu pada QS. Asy Syura: 13 yang
artinya: Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa
yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang
Musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah
menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya).
Penyebutan Nabi-Nabi sebagaimana terbaca di atas, sejalan
dengan masa kehadiran mereka di pentas bumi ini terkecuali Nabi
Muhammad saw. Itu untuk mengisyaratkan kedudukan
terhormat yang diperoleh Nabi Muhammad saw. Di kalangan
49
para Nabi. Ini serupa dengan firman-Nya dalam QS. al-Ahzab:
7.
penyebutan nama Nuh dalam urutan pertama dalam konteks
syari’at sebagai isyarat bahwa syari’at Beliau adalah syari’at
pertama dan penyebutan kelima Nabi di atas mengisyaratkan
bahwa merekalah tokoh para nabi, atau yang diistilahkan dengan
Ulil ‘Azmi. Ulama ini juga memahami bahwa syari’at kedua
adalah syari’at Nabi Ibrahim, lalu syari’at Nabi Musa kemudian
Nabi ‘Isa as., dan berakhir dengan syari’at Nabi Muhammad saw.
Ini menurutnya berarti bahwa Nabi yang diutus setelah Nabi Nuh
dan sebelum Nabi Ibrahim tidak memiliki syari’at khusus, tetapi
mereka menjalankan syari’at Nabi Nuh as. Demikian juga nabi
yang diutus setelah Nabi Ibrahim dan sebelum Nabi Musa as.,
mereka semua melaksanakan syari’at Nabi Ibrahim as. Sampai
datangnya Nabi Musa as., demikian seterusnya.
d. Kesatuan Pesan Ketuhanan yang berpijak pada QS. an-Nisa’: 131
yang artinya: Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan
yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada
orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada
kamu; bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir
Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa
50
yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya
dan Maha Terpuji.
Apa saja yang ada di langit dan bumi adalah kepunyaan Allah.
Dialah yang menciptakan dan Dialah yang mengurus. Dalam
mengurus makhluk-makhuk-Nya, Allah menciptakan hukum
secara mutlak, dan semuanya tunduk di bawah hukum itu.
Orang yang benar-benar memahami hukum-hukum Allah
yang berlaku umum terhadap bumi, langit dan semua isinya serta
memahami pula hukum yang mengatur kehidupan makhluk-Nya,
akan mengetahui betapa besar limpahan rahmat dan karunia-Nya
kepada semua makhluk-Nya. Oleh sebab itulah kepada setiap
hamba diperintahkan agar bertakwa kepada-Nya, seperti telah
diperintahkan kepada umat-umat terdahulu, yang telah diberi al-
Kitab seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani. Serta kepada
orang-orang yang melaksanakan ketakwaan dengan tunduk dan
patuh kepada- Nya dan dengan menegakkan syari’at-Nya.
Dengan tunduk dan patuh kepada-Nya dan dengan menegakkan
syari’at-Nya manusia akan berjiwa bersih dan dapat mewujudkan
kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat.43
43 Moh. Shofan, Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah, op cit hal 74-78
51
Sikap tolera dan pluralis yang dicontohkan oleh Gus Dur
adalah berdasarkan dari penghayatan terhadap teks-teks inklusif
al-Qur’an. Seperti (QS. Al-Baqarah [2]: 256 yang artinya: “tidak
ada paksaan dalam agama”. (QS. Al-Kafirun [109]: 6 “untukmu
agamamu dan untuku agamaku”. Ayat-ayat toleransi ini sering
dikutip oleh Gus Dur dalam esai-esai dan ceramahnya.44
3. Tujuan Pendidikan Islam Pluralistik
Melalui pendidikan Islam pluralistik kita diantarkan pada
penciptaan perdamaian dan upaya menanggulangi konflik yang akhir-
akhir ini marak baik di luar negeri maupun di Indonesia sendiri, sebab
nilai dasar dari pendidikan pluralisme adalah penanaman dan
pembumian nilai toleransi, empati, simpati, dan solidaritas sosial. Akan
tetapi untuk merealisasikan tujuan pluralism seperti itu, perlu
memperhatikan konsep unity in diversity dengan menanamkan
kesadaran bahwa keragaman dalam hidup sebagai suatu kenyataan dan
memerlukan kesadaran bahwa moralitas dan kebijakan bisa saja lahir
(dan memang ada) dalam konstruk agama-agama lain. Tentu saja
penanaman konsep seperti ini dengan tidak mempengaruhi kemurnian
masing-masing agama yang diyakini kebenarannya oleh kita semua.
Tujuan pendidikan pluralisme adalah:
44Ahmad Nurholis, Peace Education & Pendidikan Perdamaian Gus Dur, (Jakarta: Gramedia, 2015) hal 186
52
Bukan untuk membuat suatu kesamaan pandangan, apalagi
keseragaman, melainkan mendapatkan titik-titik pertemuan yang
dimungkinkan secara teologis oleh masing-masing agama, karena setiap
agama mempunyai sisi ideal secara filosofis dan teologis. Oleh karena
itu, suatu dialog dalam pendidikan pluralism harus selalu mengandalkan
kerendahan hati untuk membandingkan konsep-konsep ideal yang
dimiliki agama lain yang hendak di bandingkan, sehingga menuju
kesadaran bahwa pluralism sungguh-sungguh fitrah kehidupan manusia.
Terkait dengan solidaritas antar agama, akan menciptakan
kerjasama yang harmonis dalam kehidupan manusia, baik beragama,
bermasyarakat, dan berbangsa. Sebab sikap pluralism harus ditekankan
dalam rangka membangun ketuhanannya dengan cara menghargai
minoritas pemeluk agama tertentu dan memandang kemaslahatan di
masa depan. Dalam hal ini dialog-dialog perlu dilakukan untuk
menguatkan keharmonisan dan keberagaman umat manusia yang plural
ini.
Memberikan perubahan paradigma dan pola pikir dalam menyikapi
kemajemukan budaya dalam sistem pendidikan. Wawasan pluralisme,
Inklusivisme, dan toleransi perlu diwujudkan dalam wujud nyata,
kemudian melakukan reorientasi visi dan misi, serta rekontruksi
penyelenggaraan pendidikan yang sejalan dengan wawasan pluralisme
dan desentralisasi, serta menyusun kurikulum yang berpendekatan
53
lintas budaya, dan merumuskan metode belajar mengajar alternative
yang bertujuan menghasilkan warga masyarakat yang mempunyai sikap
inklusif dan toleran terhadap kemajemukan masyarakat di sekelilingnya.
Mempelajari ide-ide baru bagi pengembangan pemikiran islam yang
relevan dengan tantangan-tantangan kontemporer Menyebarkan sikap-
sikap religious yang didasarkan pada keterbukaan, nonsektarianisme,
toleransi dan pencerahan pemikiran islam. Membangun sistem
pendidikan yang memberikan informasi mengenai persoalan-persoalan
kontemporer kepada para pelajar dalam kalangan ilmu-ilmu tradisional
dan pada saat yang sama memberikan pelatihan dalam ilmu-ilmu islam
tradisional kepada para pelajar dari kalangan ilmu-ilmu modern.
Menumbuhkan kesadaran islam melalui gerakan dakwah yang
direncanakan dan disusun secara profesional.
Beberapa tujuan pluralisme diatas mungkin banyak berkaitan
dengan keberagaman, toleransi, serta teologi agama. Kenapa demikian?
Itu karena dalam pergaulan antar agama semakin hari semakin sering
intens pertemuan agama-agama itu. Semakin berkembangnya iptek dan
tatanan masyarakat yang semakin teratur sistem sosialnya, bukan tidak
mungkin konsep pluralisme akan menjadi suatu ujung tombak rasa
persatuan baik antar agama, sosial, politik, maupun budaya.
54
Selain hal diatas, tujuan pluralisme yang akan dibentuk secara
khusus adalah dalam rangka menjawab, merespon, dan mengantisipasi
persoalan-persoalan kerusuhan berbau SARA. Bentuk pendidikannya
juga harus mencerminkan adanya pluralitas. Maksudnya, guru dan
muridnya harus bersifat heterogen, tidak berkotak-kotak satu sama lain,
sehingga orang-orang yang memiliki keberagaman budaya, agama, dan
etnis dapat berinteraksi secara langsung dan memungkinkan untuk
saling belajar dan memahami satu sama lain dalam satu komunitas
pendidikan. Selanjutnya dalam proses pendidikannya berbagai
pemikiran-pemikiran keagamaan dapat di kaji secara sistematik,
konseptual, dan rasional dari sudut pandang berbagai disiplin keilmuan.
Dan berupaya mengembangkan dialog atau sharing pemahaman dan
pembelajaran iman baik pada agamanya sendiri maupun agama orang
lain, serta mengembangkan misi untuk menciptakan perdamaian dan
persaudaraan terutama dikalangan para pemeluk agama. Bentuk
pluralisme semacam itu tentunya akan dapat dijadikan sebagai jawaban
atau solusi alternative bagi pemecahan masalah yang dihadapi oleh
masyarakat majemuk seperti Indonesia ini. Serta mampu mengantisipasi
dan meminimalisir ketegangan dan pertikaian antar
kelompok. Akhirnya mampu menentukan ke arah keselamatan
Rahmatanlial-‘alamin menebarkan berkah bagi seluruh masyarakat.
Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah bentuk
pendidikan multireligion seperti ini, akan menjadi suatu penyelesaian
55
bila itu di jadikan sebagai pengetahuan, sehingga timbul kesadaran
untuk saling mengerti perbedaan agamanya lebih jauh, maka tidak
menghasilkan apapun. Sehingga selain mempelajari pengetahuan
multireligion untuk menanamkan nilai universal dan solidaritas, yang
harus dilakukan adalah mendalami agamanya masing-masing secara
murni untuk mendekatkan diri dari Yang Maha Kuasa.45
4. Kurikulum Pendidikan Islam Pluralistik
Kurikulum yang sesuai bagi masyarakat majemuk adalah kurikulum
yang dapat menunjang proses peserta didik menjadi manusia yang
demokratis, pluralis, dan menekankan penghayatan terhadap nilai-nilai
kultural baik yang terkndung dalam ajaran agama maupun tradisi atau
adat istiadat yang ada dan berkembang di tengah masyarakat.
Kurikulum pendidikan Islam pluralistik juga harus mampu
mengantarkan generasi muda yang tidak hanya pandai secara
intelektual, tetapi juga memiliki integritas moral dan etis,serta dapat
hidup dalam suasana demokratis antara satu dengan yang lain.46 Selain
itu yang jauh lebih penting dalam implementasinya, kurikulum harus
dipahami sebagi proses dalam pendidikan. oleh karena itu paling tidak
ada empat hal yang harus diperhatikan oleh guru dalam
mengembangkan kurikulum sebagi proses.
a. Posisi peserta didik sebagi subjek dalam pembelajaran
45 http//www.pendidikanberbasispluralisme.co.id diakses pada 21 September 2010 46 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia, (Yogyakarta, Logung Pustaka, 2005)
hal 9
56
b. Cara belajar peserta didik yang ditentukan oleh latar belakang
budayanya.
c. Lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi peserta
didik adalah entry behavior kultur peserta didik.
d. Menjadikan lingkungan budaya peserta didik sebagai sumber
belajar.
Dalam konteks deskriftif ini, kurikulum pendidikan menyangkut
subjek toleransi, tema-tema tentang perbedaan ethno-kultur dan
agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi,
HAM, demokrasi dan pemahaman atas kemajemukan (pluralitas),
kemanusiaan universal, dan subjek-subjek lain yang relevan dengan
kebutuhan peserta didik.47
5. Metode Pendidikan Islam Pluralistik
Metode pendidikan diartikan sebagai prinsip-prinsip yang
mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang, khususnya
proses belajar mengajar. Atas dasar inilah metode pendidikan Islam
harus didasarkan dan disesuaikan dengan hal-hal berikut:
d. Metode pendidikan Islam didasarkan pandangan bahwa manusia
dilahirkan dengan potensi bawaan tertentu dan dengan itun ia
mampu berkembang.
47 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme Di Indonesia, (Yogyakarta, Logung Pustaka, 2005)
hal 99
57
e. Metode pendidikan Islam didasarkan pada karakteristik
masyarakat madani, yaitu manusia yang bebas dari ketakutan,
bebas berekspresi dan bebas menentukan arah kehidupanya.
f. Metode pendidikan Islam didasarkan pada learning kompetensi,
yakni peserta didik akan memiliki seperangkat pengetahuan,
ketrampilan, sikap, wawasan dan penerapanya sesuai dengan
kriteria atau tujuan pembelajaran.
Mastuhunu mengusulkan konsep pemikira metodologi
pendidikan Islam yang sifatnya lebih teknis sebagai berikut.
Pertama, bagi studi pendidikan Islam tidak ada pemisahan istilah
antara pendidikan dan pengajaran. Kedua, dalam melaksanakan
metodologi pendidikan dan pengajaran Islam, harus digunakan
paradigma holistik. Artinya, memandang kehidupan sebagai suatu
kesatuan, konkrit dan dekat dengan kepentingan hidup sehari-hari
sampai dengan hal-hal abstrak dan transendental. Ketiga, perlu
digunakan model penjelasan yang rasional disamping pelatihan dan
keharusan melaksanakan ketentuan-ketentuan doktrin spiritual dan
norma peribadatan. Keempat, perlu digunakan teknik pembelajaran
partisipatoris.48
Menurut Gus Dur Kondisi sosial masyarakat yang majemuk
membutuhkan metode yang mapan dan berbeda pada setiap daerah.
Hal ini membutuhkan kerja ekstra dalam mengupayakan sistem
48 Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Isla, (Jakarta, Ar-Ruuz Media, 2011) hal 69-70
58
pendidikan dalam setiap daerah. Pendidikan Islam haruslah beragam
dikarenakan kondisi masyarakat antara daerah satu dan yang lain
memiliki perbedaan yang tajam dalam berbagai aspek kehidupan.49
49 Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Isla, (Jakarta, Ar-Ruuz Media, 2011) hal ibid 123