BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini...

31
27 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana) 1. Pengertian Kejahatan Secara etimologis kejahatan adalah perbuatan manusia memiliki perilaku jahat seperti dalam hal seseorang tersebut melakukan pembunuhan, perampokan, pencurian, dan hal lainnya. Sutherland menyatakan bahwa ciri-ciri kejahatan merupakan perilaku yang telah diatur larangannya oleh pemerintah karena hal ini pperbuatan yang sanagt merugikan bagi negara dan perbuatan tersebut juga dapatmempengaruhi atau menimbukan reaksi dari hukum yang berlaku sehingga hal ini berupa pelanggaran 5 . Sedangkat secara sosiologis dapat dikatakan bahwa kejahatan itu berdasarkan dari norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat itu sendiri sehingga dapat dikatakan juga tidak selalu melulu kaitannya dengan perundang-undangan. 6 Arif Gosita merumuskan kejahtan yakni sebagai berikut : Yaitu kejahatan merupakan hasil interaksi yang terjadi didalam pemasyarakatan dan kemudian hal itu saling mempengaruhi, lalu arif gosita menambahkan bahwa kejahatan bukan hanya meliputi seputar undang-undang pidana saja tetapi hal tersebut juga dapat menyebabkan 5 Topo Santoso, Kriminologi (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 14. 6 Ibid, hal. 100.

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

27

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kejahatan (Tindak Pidana)

1. Pengertian Kejahatan

Secara etimologis kejahatan adalah perbuatan manusia memiliki

perilaku jahat seperti dalam hal seseorang tersebut melakukan

pembunuhan, perampokan, pencurian, dan hal lainnya. Sutherland

menyatakan bahwa ciri-ciri kejahatan merupakan perilaku yang telah

diatur larangannya oleh pemerintah karena hal ini pperbuatan yang sanagt

merugikan bagi negara dan perbuatan tersebut juga dapatmempengaruhi

atau menimbukan reaksi dari hukum yang berlaku sehingga hal ini berupa

pelanggaran5. Sedangkat secara sosiologis dapat dikatakan bahwa

kejahatan itu berdasarkan dari norma-norma yang berlaku di dalam

masyarakat itu sendiri sehingga dapat dikatakan juga tidak selalu melulu

kaitannya dengan perundang-undangan.6 Arif Gosita merumuskan

kejahtan yakni sebagai berikut :

Yaitu kejahatan merupakan hasil interaksi yang terjadi didalam

pemasyarakatan dan kemudian hal itu saling mempengaruhi, lalu arif

gosita menambahkan bahwa kejahatan bukan hanya meliputi seputar

undang-undang pidana saja tetapi hal tersebut juga dapat menyebabkan

5 Topo Santoso, Kriminologi (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 14. 6 Ibid, hal. 100.

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

28

kerugian serta penderitaan yang sangat dianggap salah dan hal ini pastilah

jahat.

Pengertian Kejahatan diklasifikasikan menjadi 3 pengertian terlepas

dari berbagai pendapat yakni7:

1. Dari sudut pandang Yuridis, berdasarkan dari sudut pandang yuridis

kejahatan merupakan perilaku yang menentang moral-moral

kemanusiaan, merugikan manusia, menimbulkan keresahan pada

masyarakat, dan sudah pasti telah melanggar undang-undang yang

berlaku yang tercakup dalam undang-undang pidana (KUHP).

Dalam KUPH tidak menentukan pengertian kejahatan itu, tetapi

dapat diketahui bahwa segala bentuk kejahatan merupakan semua

tindakan yang telah di rumuskan dalam ketentuan KUHP.

2. Dari sudut pandang sosiologis, berdasarkan dari sudut pandang

sosiologis kejahatan adalah perbuatan manusia yang timbul oleh

masyarakat itu sendiri, atau juga dapat dikatakan kejahatan adalah

segala tingkah laku, perbuatan, ucapan yang dalam hal politis,

ekonomis serta sosio psikis bisa sangat merugikan masyarakat,

menyebabkan ketidakamanan bagi masyarakat, dan melanggar

norma-norma yang ada, baik itu peraturan yang berupa tertulis dalam

unfang-undang maupun yang tidak tertulis).

3. Dari sudut pandang kriminologis, berdasarkan dari sudut pandang

kriminologis kejahatan merupakan semua perilaku manusia di

7 Ibid, hal. 100

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

29

bidang sosial, polittis, dan ekonomi yang dapat menimbulkan

korban-korban baik perseorangan maupun beberapa orang serta

dapat juga terjadi pada golongan-golongan masyarakat. Hal ini

sanagt merugikan masyarakat.

2. Pengertian Tindak Pidana

Pemberian definisi ataupun pegertian istilah terhadap tindak

pidana merupakan hal yang sulit karena pengertiannya secara

yuridis sama halnya dengan memberikan definisi ataupun

pengertian terhadap istilah hukum. Hukum pidana diperuntukkan

untuk membahas dan memahami pidana itu sendiri sebagai sanksi

atas delik. Pidana merupakan terjemahan dari dari bahasa Belanda

yaitu straf yang berarti hukuman. 8

Hukum Pidana memiliki pengertian dalam kepustakaan

mengenainya yang digunakan dengan istilah delik, dengan kata lain

tindak pidana tidak dapat diartikan begitu saja karena pengertiannya

bersifat abstrak yang dapat saja diambil dari fakta -fakta peristiwa

yang kongkrit yang terjadi lansung di dalam masyarakat tetapi

dengan adanya ini tindak pidana harus diartikan dalam hal mengenai

ilmiah.

Bambang Poernomo mengemukakan pendapat Pompe

mengenai pengertian tindak pidana yang dapat dibedakan menjadi 9

8 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, Bina Aksara, 1987), hal. 37. 9 http://www.hukumsumberhukum.com/2014/06/apa-itu-pengertian-tindak-pidana.html, diakses

pada hari Kamis tanggal 21 November pukul 08.55 WIB.

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

30

a. menurut teori definisi tindak pidana atau “strafbaar feit”

merupakan pelanggaran norma, dilakukan oleh pelanggar

dengan diancam pidana agar t idak terganganggunya ketatana

hukum dan menjaga ketertiban umum.

b. menurut hukum positif definisi tindak pidana atau “straafbaar

feit” merupakan kejadian kejadian sehingga dapat

dirumuskan menjadi peraturan perundang-undangan yang

jika dilanggar mendapatkan sanksi atau untuk dihukum.

Menurut Prof. Moeljatno, tindak pidana merupakan perbuatan

yang jelas dilarang oleh hukum yang berlaku serta jika dilanggar

ada ancaman sanksinya bagi si pelanggar aturan tersebut. 10

Tindak Pidana menurut E.Utrech yaitu perbuatan pidana dapat

juga disebut dengan delik, perbuatan (doen positif atau handelen)

atau lalai (natalennegatif), dan akibatnya yaitu timbulnya keadaan

atau peristiwa karena hal yang teah lalai tersebut. 11

Dalam pernyataan Barda Nawawi Arief yakni “tindak pidana

secra umum dapat diartikan baik perbuatan melawan hukum secara

formal ataupun dengan secara materiil12

Terdapat dua unsur yaitu unsur subjektif dan unsur objektif,

unsur objektif yaitu unsur yang berkaitan dengan diri pelaku pidana

10 Ibid, 11 Ibid, 12 Ibid,

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

31

dan segala yang termasuk didalam hatinya. Sedangkan unsur

objektif yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pelaku seperti

keadaan-keadaan yang harus dilakukan oleh si pelaku. 13

Dalam tindak pidana terdapat unsur subjektif yaitu adalah: 14

1. dolus atau culpa (kesengajaan atau ketidaksengajaan)

2. Voornemen (maksud) yaitu terdapat pada percobaan (pogging) yang

hal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana,

3. Ooogmerk ( berbagai maksud) yitu seperti dalam hal perbuatan

kejahatan misalnya pemalsuan, pencurian, pemerasan, penipuan dan

lainnya;

4. Perencanaan awal (voorbedachte raad) hal ini terdapat di kejahatan

seperti pembunuhan yang temaksud di dalam Pasal 340 KUHP;

5. Yang terdapat didalam Pasal 308 KUHP yang memaksudkan

perasaan takut.

Dalam tindak pidana juga ada unsur objektif yaitu:15

1. Wederrechtelicjkheid (sifat melanggar hukum)

13 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia (Jakarta, Citra Aditya Bakti, 1997),

hal. 193. 14 Ibid 15 Ibid,

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

32

2. Kesempatan melakukan tindak pidana seperti keaadaan si pelaku

yang merupakan seorang pegawai hal ini juga merupaka kualitas

dari si pelaku.

3. Penyebab tindak pidana yang menyebabkan akibat dari

perbutanyaanya (kausalitas)

Prof. Moeljatno berpendapat bahwa unsur tindak pidana yaitu:16

a. Perbuatan/tindakan

b. Hal yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan, dan;

c. Ancaman sanksi pidana bagi yang melanggar peraturan hukum.

R. Tresna berpendapat bahwa tindak pidana memiliki unsur yakni: 17

a. Rangkaian tindakan;

b.Hal-hal yang dapat melanggar undang-undang

c. Adanya tindak penghukuman.

Perbedaan pendapat-pendapat oleh ahli hukum sangatlah terlihat teatpi

tidak pada hakikatnya yang jelas memiliki persamaan dan tidak

memisahkan unsur-unsur tentang tindakan dan tentang orang lain.

Delik formil dan delik materiil juga dikenal di dalam hukum pidana

yaitu delik formil adalah delik yang dirumuskan dengan lebih fokus ke

perbuatan dan tindakan yang dilarang dengan ancaman pidana yang

16 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan &

Batas Berlakunya Hukum Pidana) , (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2014), hal. 79. 17 Ibid,

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

33

termasuk di dalam undang-undang. Delik ini lebih melihat ke perbuatan

yang telah jelas dilanggar seperti Pasal 362 tentang pencurian didalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana. Sedangkan delik materiil yaitu delik yang

dirumuskan lebih fokus kepada akibat yang ditimbulkan dari hal yang telah

dilarang dan dikenakan sanski yang terdapat di dalam undang-undang.

Hukum pidana merupakan pengaturan-pegaturan mengenai kejahtan-

kejahatan yang dapat menganggu ketertiban umum dan kesejahteraan

sosial. Jikalau individu atau kelompok melakukan pelanggaran maka akan

diancam dengan sanksi-sanksi atau hukuman yang bisa menyebabkan

siksaan bagi si pelanggar. Pelanggaran juga memiliki arti lain yaitu dapat

berupa diartikan sebagai pidana yang ringan seperti kurungan ataupun

denda, sedangkan kejahataan itu sendiri adalah tindaka pidana yang

termasuk berat yang sanksi atau hukumannya bukan seperti pidana ringan

sebelumnya tetapi dapat berupa hukuman mati, penjara dan biasanya dapat

ditambahkan lagi hukuman, pencabutan hak tertentu serta penyitaan barang-

barang tertentu.18

Beberapa macam bentuk perbuatan pidana dapat dibedakan yakni: 19

1. Delik Formil, merupakan suatu yang dikenal di dalam hukum

pidana yaitu delik formil adalah delik yang dirumuskan dengan

lebih fokus ke perbuatan dan tindakan yang dilarang dengan

18 Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, 2004),

hal. 60. 19 Ibid, hal. 63.

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

34

ancaman pidana yang termasuk di dalam undang-undang. Delik

ini lebih melihat ke perbuatan yang telah jelas dilanggar seperti

Pasal 362 tentang pencurian didalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana.

2. Delik Materiil yaitu delik yang dirumuskan lebih fokus kepada

akibat yang ditim bulkan dari hal yang telah dilarang dan

dikenakan sanski yang terdapat di dalam undang-undang.

3. Delik Colus, merupakan perbuatan yang jelas dilakukan dengan

sengaja oleh pelaku pidana seperti halnya di dalam Pasal 338

KUHP tentang pembunuhan berencana

4. Delik Culpa, merupakan perbuatan yang dilakukan dengan tidak

sengaja oleh pelaku pidana, bisa saja dapat berupa kelalaiannya

sehingga dapat menimbulkan akibat kematian seseorang atau

membuat seseorang tersebut terluka, hal ini dimaksudkan di

dalam Pasal 359 KUHP tentang kealpaan/kelalaian.

5. Delik Aduan merupakan perbuatan yang dapat diketahui dari

laporan/pengaduan orang yang mengadukan tersebut. Dengan ini

dimaksudkan bahwa apabila tidak ada laporan/pengaduan maka

belum bisa dikatakan bahwa itu adalah delik, hal ini termaktub

dalam Pasl 310 tentang penghinaan dan Pasal 284 tentang

perzinaan.

6. Delik Politik, merupakan perbuatan yang kaitannya lansung

dengan segala ketertiban dan keamanan suatu negara.

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

35

B. Penyebab Tindak Pidana (Teori Kriminologi)

Berikut adanya beberapa teori-teori yang dipaparkan oleh Arbintoro

Prakoso20 mengenai beberapa unsur yang menjadi penyebab terjadinya

tindak pidana yaitu:

Teori Kriminologi Moderen

a. Differential Association Theory atau teori asosiasi diferensial yang

dinyatakan oleh Gabriel yang memaparkan bahwa peniruan

terhadap kejahatan-kejahatan yang telah ada di dalam masyarakat.

Dalam teori ini juga Edwin H. Sutherland menyatakan bahwa

tindakan seorang krim inal dalam hal sikap, motif, teknik kejahtan,

serta dorongan di ketahui oleh kriminal dengan melanggar apa yang

telah berlaku di masyarakat.

b. Strain Theory atau teori anomi atau tegang, teori ini dipaparkan oleh

Emile Durkheim yang menyatakan bahwa tindakan-tindakan yang

dilakukan kriminal karena krim inal berada di bawah kondisi sosial

tertentu bisa saja berupa norma-norma tradisonal masyaraakat.

Robert K. Merton juga menyatakan hal dalam pelanggaran sudah

merupakan bawahan dari manusia itu sendiri yang selalu melanggar

ketentuan yang ada disebabkan karena pelaku melihat adanya

keinginan yang cara untuk tercapainya merupakan hal yang cukup

20 Wahju Muljono, Pengantar Teori Kriminologi (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012), hal. 97.

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

36

sulit sehingga dengan melakukan tindak pidana dapat saja menjadi

cara ia dengan mudah mendapatkan hal yang diinginkan tersebut.

c. Social contro theori atau Teori kontrol sosial, teori ini merupakan

teori yang menganggap kejahatan atau perbuatan pidana itu berasal

dari ketidakmampuan manusia itu snediri dalam hal mengontrol

pengendalian dirinya dikarenakan bisa disebabkan oleh beberapa

fakoto seperti faktor pendidikan ataupun faktor keluarga. Travis

Hirschi menyatakan bahwa sikap tidak bisanya manusia melakukan

pengendalian karena manusia hidup dengan bersosial sehingga

apabila seseorang tersebut tidak memiliki ikatan lagi terhadap sosial

atau masyarakat maka ia akan merasa bebas untuk melakukan

perilaku-perilaku yang dapat menimbulkan tindak pidana.

d. Sub culture theory atau teori sub budaya, teroi ini dpaparkan oleh

Albert K.Cohen, yang menyatakan bahwa contoh dalam perilaku

menyimpang yang dilakukan anak nakal di lingkungannya hal itu

menunjukkan karena si anak merasa ia tidak cukup puasa terhadap

aturan-aturan yang berlaku di lingkungannya itu.

e. The self theories atau Teori-teori sendiri yang dipaparkan oleh Carl

Roger yang menyatakan bahwa teori ini lebih berfokus ke tindak si

pelaku kriminal sebagai orang yang memiliki penafsiran sendiri

terhadap pelaku tersebut.

f. Psycho analitic theory atau teori psikoanalis, yaitu teoti yang dimana

pelaku tidak dapat mengontrol dorongan-dorongan yang ada pada

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

37

dirinya seperti kebutuhan akan dirinya yang harus ia penuhi

sehingga dapat menjadi kriminalitas .

g. the techniques of netralization atau teori netralisasi, teori ini

berpendapat bahwa seorang individual memiliki pikiran-pikiran

yang ingin dicapainya dan karena manusia hidup bersosial selalu

adanya persetujuan-persetujuan yang merujuk kepada hal yang baik

di dalam kehidupan sosial itu dan mecari cara untuk mencapai tujuan

tersebut.

h. Social learning theory ata teori pembelajaran sosial, teori ini

berpendapat bahwa pengharapan individual terkahadp kehidupan

bermasyarakat yang disertai dengan nilai-nilai serta pengalaman

yang telah di lalui individu itu sendiri dapat mempengaruhinya.

i. Opportunity theory yang dipaparkan oleh Richard A. Cloward dan

Lloyd E. Ohlin yang menyatakan dpaat terjadnya tindak pidana

ataupun kejahatan dapat disebabakan karena adanya kesempatan-

kesempatan baik itu kesempatan terhadap norma-norma yang

berlaku atau kesempatan untuk melanggar ketentuan aturan.

j. Interactionist theory atau teori interaksionis yang dipapaprkan oleh

Goode yang menyatakan bahwa perbuatan pidana atau kejahatan

terjadi karena adanya hubungan antar orang yang satu denga orang

yang lainnya hubungan ini ada karena hubungan yang dekat dan

interaksi yang dilakukan akan serin terus-menerus berkembang

tergantuan dengan kondisi.

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

38

k. Rational choice theory atau Teori pilihan rasional, teori i ni

dipaparkan oleh Gary Becker yang menyatakan bahwa pelaku tindak

pidana melakukan perbuatnnya karena telah menetpakan keputusan

bahwa dirinya melihat adanya peluang yang bisa didapatkan

olehnya.

l. Labeling theory atau teori pemberian nama, teori ini dinyatakan

bahwa masyarakat dapat menjadi sebab akan hal terjadinya

perbuatan pidana karena melakukan pelabelan terhadap individu

yang diketahui oleh masyarakat.

m. Conflict theories atau teori-teori konflik, teori ini dipaparkan oleh

George B. Volt yang menyatakan bahwa segala adanya hukum

merupakan bentuk dari hasil kepentingan pihak-pihak tertentu untuk

mendapatkan kekuasaan dan kewenangan akan negara tersebut.

n. Reintegrative shaming theory atau teori pembangkit rasa malu, teori

ini dipaparkan oleh John Braithwaite yang menyatakan bahwa

reaksi-reaksi dari masyarakat dapat menimbulkan perbuatan pidana

atau kejahatan.

o. Radical Criminology atau teori krim inologi kritis, teori ini

menyatakan bahwa sebelumnya yang memegang kekuasaan telah

merumuskan perbuatan-perbuatan pidana.

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

39

C. Pengaturan Tindak Pidana Kosmetik yang Tidak Memiliki Izin

Edar/Ilegal

1. Kosmetik yang Tidak Memiliki Izin Edar/Ilegal

Kosmetik yang berarti alat kecantikan wanita yang berasal dari

bahasa inggris cosmetic. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa

Indonesia) kosmetik merupakan segala sesuatu yang ada kaitannya

dengan wajah wanita seperti mengenai kulit wajah, bahan-bahan obat

untuk mempermulus wajah, serta produk-produk untuk kesehatan

rambut dan lainnya. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

merumuskan definisi kosmetik itu sendiri yaitu kosmetik adalah

campuran kandungan bahan-bahan obat yang dipergunakan untuk

kepentinga tubuh bagian luar seperti bibir, kuku, gigi dan kelamin luar,

dan segala alat dan bahan untuk merubah tampilan seseorang agar

dalam keadaan yang baik. 21

Kosmeti pada sekarang ini bisa dikatakan merupakan kebutuhan

primer manusia terlebih terhadap wanita, dan karena kebutuhan yang

besar tersebut terdapatnya kosmetik yang muncul dalam beragam

tampilan dan design untuk menarik konsumen serta industr-industri

dalam bidang kosmetik lebih mengembangkan teknologologi tidak

hanya itu tetapi juga terus mengembangkan kepergunaannya dan terus

mengikuti perkembangan yang hidup di masyarakat. 22

21 https:jdih.pom.go.od/ diakses pada hari Senin, 1 November 2019, pukul 18.30 WIB 22 Retno Iswari Tranggono dan Fatma Latifah, Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik.

(Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007).

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

40

Departemen Kesehatan dan BPOM menyatakan bahwa pelaku usaha

tidak bertanggung jawab seringnya memasukkan kandungan bahan-

bahan berbahaya kedalam kosmetik yang tidak memiliki izin edar

seperti bukti yang paling terbaru dipaparkan lansung oleh kepala

BPOM yaitu Dr. Ir. Penny K. Lukito yang menyatakan bahwa se lama

penagwasan masih banyaknya ditemukan berbagai macam merek

kosmetik yang masih saja mengandung baha-bahan kimia obat

terlarang untuk dimasukkan kedalam kosmetik. Bahan-bahan kimia

obat tersebut dapat berupa Zat warna Rhodamin B, Merkury (Hg) dan

Hidroquinon serta pewarna merak K3. Hasil-hasil temuan ini

ditemukan selama pengawasan dari tahun 2017 yang dilakukan oleh

BPOM hinga saat ini. 23

Beredarnya kosmetik yang tidak memiliki izin edar/ilegal di market-

market merupakan hal yang sanagt berbahaya dan sangat menimbulkan

kerugian bagi konsumen yang membeli serta memakainya. Efek

samping dari penggunaan kosmetik yang mengandung bahan

berbahaya ini sebaiknya dihindara mulai dari dri karena hal ini sangat

berbaha bagi kesehatan konsumen baik itu dapat menimbulkan alergi,

kegagalan jantung hingga kanker. Bahan-bahan kimia berbahaya

penggunaannya dalam kosmetik sangat bisa dibilang dapat

menimbulkan banyaknya resiko kesehatan bagi konsumen. Hal ini

23 https://www.pom.go.id/new/view/direct/head diakses pada hari Senin, 1 November 2019, pukul

20.00 WIB.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

41

karena juga awamnya pengetahuan orang-orang mengenai kosmetik

yang tidak sadar ia membeli kosmetik yang yang mengandung bahan

berbahaya dan menggunakanannya sangatlah menimbulkan resiko

sperti dalam penggunaancat kuku atau kuteks yang diketahui tanpa

sadar dapat masuk kedalam tubuh melalui kulit yang terkena. Dalam

hal pencernaan juga dapat disebabkan oleh bahan kimia yang tanpa

sadar masuk melalui pori-pori kulit ini merupaka hasil penelitian yang

telah dilakukan oleh BPOM yang terus mengingatkan akan bahaya

kandungan kosmetik yang tidak memiliki izin edar/ilegal, terlebih lagi

kosmetik-kosmetik yang mengandung banyak bahan kimia merkury

2. PengaturanMengenai Kosmetik yang Tidak Memiliki Izin Edar/Ilegal

1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Mengenai Tindak Pidana

Peredaran Kosmetik yang Tidal Memiliki Izin Edar/ilegal

Kosmetik adalah salah satu bagian dari farmasi karena

pembuatannya sampai peredarannya telah ditetapkan harus memenuhi

segala standar dan mengikuti berbagai aturan terhadap hal tersebut. UU

No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan merupakan salah satu peraturan

yang juga mengatur mengenai permasaahan kosmetik yang dimana

didalamya memasukkan kosmetik sebagai golongan bagian dari

farmasi yang penjualan/peredarannya produk pelaku usaha harus patuh

sesuai dengan standar keamanan yang telah ditetapkan.

Di dalam Ayat 1 Pasal 98 UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan

disebutkan bahwa “sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman,

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

42

berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.” Lalu ayat (2)

menyebutkan, “setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan

kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah,

mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat

obat.” Kemudian ayat ayat (3) menyebutkan, “ketentuan mengenai

pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan

farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan

farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.” Serta ayat 4

menyatakan, “pemerintah berkewajiban membina, mengatur,

mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi,

dan pengedaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).”

Di dalam Pasal 196 UU NO. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan telah

mengatur bagaimana saksi pidana bagi pelaku usaha yang melanggra

pasal 98 aturan tersebut berbuyi “setiap orang yang dengan sengaja

memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat

kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan

keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara

paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak

Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Tidak hanya Pasal 196 saja tetapi juga telah diatur di dalam Pasal

106 dan Pasal 197 mengenai ancaman hukuman bagi si pelanggar.

Pasal 106:

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

43

1. Dapat diedarkannya alat-alat kesehatan dan farmasi setelah

mendapatkan izin edar dari BPOM

2. Dalam penglabelan produk alat kesehatan dan farmasi harus

dicantumkannya dengan memenuhii a turan persyraatan dan tidak

dengan penipuan.

3. Dilakukannya pencabutan izin edar oelh pihak pemerintah

berwenang apabila ditemukannya bukti bahwa produk terebut tidak

memnuhi persyaratan yang ada dan dapat dilakukannya penyitaan

dan pemusnahaan berdasarakan aturan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 197 :

Barang siapa yang dengan senagaj memproduksi atau

mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak

memiliki iz in edar sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 106 ayat

(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun

dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus

juta rupiah).

2) UU Perlindungan Konsumen (UUPK)

Undang-undang perlindungan konsumen telah menetapkan

aturan-aturan agar dapat menghindarkan kaibat-akibat negatif yang

ditimbulakn oleh pemakaina produk-produk atau jasa yang

merupakan larangan bagi pelaku usaha, hal ini diatur dalam Pasal 10

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

44

Undang-Undang Perlindungan Konsumen. UUPK itu sendiri

memiliki tujuan agar konsumen mendapatkan perlindungan hukum

apabila ia telah terkena akibat negatif dari perbuatan pealku usaha

yang tidak bertanggung jawab. UUPK merumuskannya untuk

menghindarkan konsumen yang diatur sebagai berikut: 24

1. Adanya tarif atau harga dari barang ataupun jasa

2. Penggunaan jasa ataupun barang

3. hak, tanggugan, jaminan serta kondisi ganti rugi atas suatu jasa

ataupu barang

4. Diskon-diskon yang dapat enarik konsumen

5. Pengguanaan berbahaya terhadap jasa ataaupun barang.

Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Iz in Produksi

Kosmetika Pasal 16 produsen dilarang menciptakan ataupun

memproduk mebuat serta mengedarkan bahn-bahn kosmetik yang

mengandung bahan berbahaya serta segala bahan-bbahan yang telah

ditetapkan sebagai berbahaya di dalam aturan undang-undang.

Produsen juga dilarang melakukan segala bentuk promosi

sebagiamana dalam Pasal 30 apabila belum mendapatkan izin edar

sesuai dengan ketentuan di dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas

Obat dan Makanan RI no. HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik.

24 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen , (Jakarta: PT. Rajawali Pers,

2011), hal. 63.

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

45

D. Upaya Penanggulangan

Upaya perlindungan masyarakat serta upaya untu mencapai

ketertiban umu merupakan kebijakan dalam hal penanggulanangna tindak

pidana atau kejahatan. Hal ini merupakan tujuan dari kebijakan yang telah

dibentuk untuk mencapai tujuan memberikan perlindungan terhadap

masyarakan dan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Muladi yang menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan yang

ada baik itu kebijakan kriminal atau kebijakan penanggulangan adalah

masalah yang terjadi di dalam kemanusian serta dapat berupa menjadi

masalah sosial yang memiliki pengertian berbeda. Kejahatan yang timbul

dalam masyarakat ini memiliki kaitan dengan struktur masyarakan itu

sendiri.25

Criminal Politic atau Politik kriminal merupakan salah satu bentuk

usaha-usaha yang rasional agar dapat menangulangi kejahatan-kejahatan.

Politik kriminal ini memiliki tujuan utama ialah dalam hal perlindungan

masyarakat. Kemudian dari seluruh bagian kebijakan sosial merupakan

perncanaaan dari perlindungan masyarakat. Pendekatan kebijakan sangat

diperlukan dalam hal penangulangan kejahatan ini seperti yang bearti: 26

1. Adanya keterkaitan antara politik sosial dan politik krim inal

2. Adanya hubungan antara kebijakan upaya penanggulangan yang

dilakukan secara penal maupun non penal.

25 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan

Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 2. 26 Ibid, hal.75.

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

46

Menanggulangi kejahatan melalui upaya penal ini lebih berfokus

kepada sifat represif yang bermaksud dilakukan dengan cara

pemberantasan atau penindakan lansung setelah terjadinya kejahatanm,

sedangkan menanggulangi kejahatan melalui upaya non penal lebih

berfokus pada sifat preventif atau yang dimaksud dengan penangkalan

ataupun pencegahan sebelum adanya kejahatan yang telah dilakukan.

Dapat dikatan dua upaya dalam menanggulangi kejahatan ini sanagtlah

berbeda karena penindakan secara represif dapat merupakakn

penindkaan secara preventif dengan maksud yang lebih luas.27

Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa menguti dari G.P

Hoefnagels yaitu upaya penanggulanagan perbuatan pidana dapat

dilakukan dengan cara:

1. Criminal law application atau penerapan hukum pidana

2. Prevention without punishment atau pencegahan tanpa pidana.

3. Influencing viewa of society on crime and punishment or mass

media atau menggunakan media massa untuk mempengaruhi sudut

pandang masyarakata terkait dengan perbutaan pidana . 28

Berdasarkan hal tersebut upaya dalam menanggulangi perbuatan

pidana atau kejahatan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu melalui

penal dan melalui dencara non penal.

27 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 188 28 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Semarang: Fajar

Interpra tama, 2011), hal. 45.

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

47

1. Menanggulangi Kejahatan Melalui Upaya Penal (Represif)

Barda Nawawi Arief29 berpendapat bahwa uapaya dalam

menanggulangi kejahatan melalui upaya represif atau upaya penal dapat

dikatakan sebagai upaya yang dialkukan secara dengan menggunakan

hukum pidana. Upaya ini adalah upaya dalam menanggulangi yang

lebih berfokus pada sifat represif yaitu penindakan lansung yang

dilakukan setelah adanya kejahatan dengan menetapkan ancaman

hukuman serta penegakan hukum yang berlaku terhadap pelaku yang

telah melakukan kejahatan tersebut. Daripada itu melalui cara represif

ini penindakan yang akan dilakukan dalam hal penanggulangan

perbuatan pidana hingga penindakan rehabilitisai ataupun pembinaan.

Strafrechtpolitik, aau Penal policy (kebijakan hukum pidana) adalah

alur dalam menegakkan jalur penal dalam hal keseluruhan. Hal-hal

yang berhubungan lansung denga kebijakan hukum pidana yakni: 30

a. Bagaimana hukum pidana (penal) sebagai upaya pemerintahan

dalam menanggulangi perbuatan pidana/kejahatan

b. Apakah kondisi masyrakat telah sesuai dengan hukum pidana

(penal) yang telah dirumuskan.

c. Hukum pidana (penal) bagaimana kebijakan dalam menagtur

masyarakat oleh pemerintah.

29 Ibid, hal. 46. 30 Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik, (Bandung:

Alumni, 2008), hal. 390.

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

48

d. Apakah penegakan hukum pidana (penal) dalam hal mengatur

masyarakat akan mendapatkan tujuan yang lebih luas.

Upaya penanggulangan secara represif pada hakikatnya juga

terdapat didalamnya unsur preventif dikarenakan dirumuskannyanya

penjatuhan hukuman dan ancaman pidana diinginkannya ada efek

penanggulannya yang mencegah tindak pidana tersebut terjadi.

Kebijakan upaya penanggulangan yang bersifa represif juga,

dikarenakan sikap masyarakat yang tidak menyukai di harapkan akan

menajdi bentuk perlindungan sosial. Maka dari itu dinyatakannya

kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan dari

masyarakat itu sendiri.31

Roeslan Saleh juga menyatakan bahwa masih adanya beberapa yang

dapat menjadi lasan masih digunakannyanya hukum pidana yang

ditanyatakan seper ti berikut:

a. Dibutuhkannya hukum pidana tidak dilihat dari persoalan akan

tujuan yang akan dicapai tetapi melihat dimana letak permasalahan

yang dapat dicapai dengan diperlukannya paksaan,

permasalahannya juga bukan dari hal tersebut tetapi dari individual

masig-masing yang mengetahui hasil dari batasan-batasan tersebut.

31 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam

Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 182.

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

49

b. Terdapatnya hasil kepada si pelaku pidana dengan usaha terhadap

perawatan serta perbaikan dan tidak hanay itu pelanggaran yang

telah dilakukan oleh pelaku akan menimbulkan reaksi terhadap

norma yang telah berlaku dan hal tersebut tidak boleh dibiarkan.

c. Masyarakat juga merupakan yang harus mendapatkan pengaruh

terhadap dirum uskannya hukum pidana, jadi tidak hanya kepada

pelaku pidana itu saja yang dapat pengaruh dari adanya hukum

pidana.32

Dari pendapat-pendapat diatas dapat diambil kesimpulan yaitu

hukum pidana digunakan dalam hal penanggulangan kejahatan pada

saat ini sanagtlah diperlukan, mengetahui yakni hukum pidana selain

memiliki sifat represif dan juga sifat preventif untuk melakukan

pencegahan supaya masyarakat yang mengetahui hukum yang berlaku

tidak akan melakukan pelanggaran-pelanggaran dan akan berpikir

lebih rasioanl jikalau hendak melakukan perbuatan pidana/kejahatan.

Barda Nawawi Arief juga berpendapat, bahwa efektifnya hukuma n

pidana penjara dapat ditunjukkan akan dua aspek yaitu tujuan

pemidaan penjara itu sendiri dan perbaikan si pelanggaran hukum.

Yang dimaksud Barda Nawawi yaitu perlindungan terhadap

masyarakat sudah termasuk di dalamnya bagaimana memulihkan,

mengendalikan tindak pidana dan apa tujuan mencegah dari hukum

32 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana , (Bandung:

Alumni, 2010), hal. 153

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

50

pidana, seperti setelah menyelesaikan konflik pastilah timbulnya rasa

aman di masyrakat, meperbaiki kerusakan-kerusakan yang ada serta

mengembalikan norma-norma yang hidup di masyarakat. Sedangkan

yang dimaksud Barda Nawawi dengan bentuk perbaikan si pelaku

pidana dalam hal melakukan pengembalian nilai, memsyarakatkan

kembali si pelaku dan melakukan perlindungan dari tindakan

sewenang-wenang.33

Jadi penjatuhan hukuman pidana dapat dikatakan telah efektif

apabila pidana itu sendiri dapat digunakan untuk penanggulangan dan

mengurangi perbuatan pidana/kejahatan yang terjadi. Jadi keefektifan

pidana dapat dilihat dari kriteria kejahatan. 34

Barda Nawawii Arief berpendapat bahwa penelitian-penelitian yang

telah dilakukan selama ini dapat dinyatkanan bulum bisa membuktikan

hukuman pidana penjara itu efektif atau sebaliknya. Apalagi diketahui

permasalahan-permasalahan pidana berkaitan dengan beberapa faktor.

Dikatakan efektif jika tujuan dari pemidanaan itu telah dicapai yang

dinginkan. Diketahui juga pidana penjara dikatakan tidak bisa efektif

apabila disebabkan karena pidana denadanya dapat diwakilkan orang

lain, dan dalam perolehan uang untuk membayar denda tersebut dapat

dikum pulkan oleh pelaku yang didenda dari pihak mana saja.

33 Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hal. 224. 34 Ibid, hal. 225

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

51

Terkait dengan hal efektif dan tidak efektifnya, Soerjono Soekanto

berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang bisa menjadi rujukan

dalam hal keefektifan hukuman pidana itu. Faktor-faktor tersbut

adalah:35

a. Hakekat atau kakateristik dari pidana itu.

b. Sudut pandang masyarakat dalam hal menanggung suatu resiko

c. Periode penerapan pidana negatif itu sendiri.

d. Karakteristik pelaku pidana yang dijatuhkan hukuman

e. Kebudayaan masyarakat yang meberi peluang-peluang

f. pengendalian dan pengawasan terhadap karakteristik pelaku pidana

g. Dukungan sosial perilaku keinginan masyarakat

Sudarto berpendapat bahwa terjadinya perbutan pidana/kejahatan

disebabkan oleh beberapa faktor yang kompleks seperti jauh diluar

hukum pidana, maka dari itu hukum pidana memiliki batasan-batasan

kemampuan dalam hal penanggulangan dan menurut Sudarto hukum

pidana adalah bentuk cara menanggulangi suatu gejalan dan bukan

merupakan cara penyelesaian dengan meniadakan faktor-faktor

penyebabnya. Terbatasnya hukum pidana selama ini juga disebabkan

karena hakikat dan tujuan dari hukum pidana, karena penjatuhan

hukuman bukan merupakan obat untuk mengatasi faktor-faktor

penyebab terjadinya suatu penyakit, malah dikatakan hanya untuk

35 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana , (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal.

108.

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

52

mengatasi gejala dari penyakit itu. Jadi yang dimaksud hukum pidana

bukan sebagai penyembuh dari penyakit tersebut melainkan masih

memiliki banyak kekurangan, maka dari itu sampai saat ini keefektifan

dalam hukum pidana masih menjadi persoalaan. 36

2. Menanggulangi Kejahatan Melalui Upaya Non Penal (Preventif)

Barda Nawawi Arief berpenfapat, bahwa upaya dalam

menanggulangi kejahatan dengan melalui non penal ini dapat dikatakan

sebagai penanggulangan secara di luar hukum pidana. Upaya ini adalah

upaya yang menanggulangi yang lebih berfokus dalam hal bersifat

preventif yaitu penanggulangan yang dilakukan seblum terjadinya

perbuatan pidana. Dengan upaya preventif ini dengan menanggulangi

faktor-faktor atau kondisi-kondisi masyarakat yang dilihat apakah dapat

menimbulkan permasalahan atau mengembangkan kejahatan. 37

Kebijakan penanggulangan kejahatan melalui cara non penal atau

diluar hukum pidana merupakan kebijakan non penal. Bentuk

penanggulangan yang bersifat preventif ini dapat dilakukan dalam

bentuk beberpaa kegiatan seperti: peningkatan usaha -usaha

kesejahteraan anak dan rem aja; pendidikan sosial dalam rangka

mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat;

penyantunan, agama, dan kegiatan patroli dan pengawasan lainnya

secara terstruktuk oleh aparatur negara seperti polisi. Penanggulangan

36 Ibid, hal. 72 37 Ibid, hal. 46.

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

53

dalam bentuk preventif ini dapat berupa hal-hal yang sangat luas

jangkauannya dalam bagian sosial, penanggulangan cara preventif ini

merupaka cara pokok utama yang harus di efektifkan karena merupakan

tujuan utama dalam politik kriminal.38

Upaya penanggulangan secara preventif ini juga bisa didapatkan

dari berbagai sumber manapun, contohnya dengan melalui media massa

atau media pers dengan bantuaan kemajuaan teknologi dan pemanfaatan

aparatur penegak hukum. Sudarto juga menyatakan bahwa kegiatan

pengawasan yang dilakukan oleh kepolisian harus berkelanjutan.

Berkaitan dengan hal ini kegiatan operasi rutin yang dilakukan oleh polisi

di tempat tertentu dan berfokus ke kegiatan-kegiatan dalam masyarakat

dengan melakukan yang lebih komunikatif serta edukatif di dalam

masyarakat, dengan cara preventif juga memerlukan keefektifitasan. 39

Yang telah dipaparkan diatas pada dasanya mempertegas bahwa

upaya penanggulangan dengan cara preventif (non penal) yang paling

strategis seperti upaya untuk membentuk masyarakat menjadi memiliki

lingkungan yang bersosial dan lingkungan yang sehat. Hal ini berarti,

bagian dari keseluruhan politik krimanal yang memercai bahwa

mayarsakat dapat menjadi faktor pencegah dengan seluruh potensinya.

38 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana , (Bandung: Alumni, 2010),

hal. 159. 39 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Kejahatan , (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 48

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

54

IS Heru Permana berpendapat,40 antara lain dibanding kebijakan

represif, penanggulanagan perbuatan pidana sangat jauh lebih baik

dilakukan dengan kebijakan preventif. Denagan upaya-upaya sosial

masyarakat dalam hal bidang pendidikan serta perbaikan taraf hidup

setiap masyarakat.

Upaya preventif adalah penanggulangan tindak pidana, dimana

upaya penanggulangan ini dilakukan sebelum tindak pidana itu terjadi,

W.A. Bonger juga menyatakan bahwa efektifitas upaya

penanggulangan tindak pidana secara preventif jauh lebih baik daripada

upaya penanggulangan yang bersifat represif.

Upaya penanggulangan melalui cara preventif ini juga memiliki

banyak kelebihan dalam hal penanggulangan kejahatan karena lansung

ke pokok permasalahan suatau masalah yakni penyebab kejahatan

tersebut. Upaya preventif ini mencakup bidang yang sangat luas.41

E. Pengertian Penegakan Hukum

Penyelenggaraan hukum yang dilakukan oleh aparatur penegak

hukum merupakan penegakan hukum dan penegakannya sesuai dengan

kepentingan dan kewenangannya dengan aturan-aturan yang telah berlaku.

Penegakan hukum pidana memiliki beberapa alur dalam prosesnya yaitu

pertama dengan dilakukannya penyidikan, lalu penangkapan, kemudian

40 IS Heru Permana, Politik Kriminal, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2007), hal.12 41 Sudarto, Op. Cit, hal. 113-116

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

55

penahanan, setelah itu dilakukannya peradilan terdakwa dan yang terakhir

dengan memasyarakatkan kembali pelaku pidana tersebut.

Soerjono Soekanto berpendapat yang menyatakan bahwa penegakan

hukum merupakan tindakan meyelaraskan hubungan norma-norma yang

telah memiliki kaidah yang cukup baik dan dilakukannya penjabaran akan

hal tersebut. Hal ini untuk tercpainya kedamaian dan kepentingan umum di

dalam masyarakat.42 Penegakan ini terbilang penegkan hukum yang

kongkrit yang dilakukan lansung oleh kepolisian.

Dengan demikian penegakan hukum adalah hal yang bersangkutan

denga penyelarasan antara norma dan kaidah-kaidah pada manusia dan

perilakunya. Perilaku tersebut yang membedakan mana tindakan yang

dianggap baik atau mengharuskan, perilaku itu juga memiliki fungsi untuk

menciptakan ketertiban umum serta menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Moeljatno berpendapat bahwa penegakan hukum merupakan segala

sesuatu yang menjadi sebab adanya unsur da n atura-aturan sebagai

berikut:43

a. Dibuatnya ancaman atau hukuman sanksi bagi siapa saja yang

melanggar perbuatan-perbuatna yang telah dilarang.

b. Dijatuhkannya pidana kepada si pelanggar sesuai dengan dalam hal apa

yang dilanggarnya dari aturan-aturan yang berlaku.

42 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum , (Jakarta:

Rajawali,1983) hal. 35. 43 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Surabaya: Putra Harsa,1993). hal. 23.

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

56

c. Melaksanakan penjatuhan hukuman pidana dengan cara yang telah

ditentukan kepada pelaku yang telah melanggar aturan-aturan larangan

tersebut.

F. Faktor-Faktor yang dapat Mempengaruhi Penegakan Hukum

(Kendala-Kendala)

Di dalam masyarakat adanya peraturan-peraturan yang berlaku dan

peraturan itu harus ditegakkan serta dilaksanakan oleh masyarakat,

sehingga segala bentuk perwujudan dari penegakan hukum tersebut dari

yang masih bersifat tidak jelas menajdi nyata. Proses penegakan hukum

tidak dapat jalan dengan sendirinya tentuny adanaya keterlibatan lansung

masyarakat itu sendiri dan penegak hukumnya. Dengan demikian hukum

tidak lebih berupa konsep ataupun ide yang didalamnya terdapat seperti hal

ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum yang telah termasuk di dalam

undang-undang dengan memiliki tujuan tertentu. Peraturan-peraturan

hukum tidaklah lengkap dan belumlah sempurna sehingga memerlukan

penyempurnaan dengan terkaitnya beberapa hal seperti keprofesionalisme

aparatur penegak hukum yang memiliki keterampilan serta kemampuan

dalam memahami baik atura perundang-undangan maupun dalam hal di

lapangannya.

Soerjono Soekanto berpendapat bahwa pelaksanaan perundang-

undangan saja tidak dapat dikatakan penegakan hukum, karena masih

banyaknya beberap penyebab/alasan yang dapat mempengaruhinya yaitu

sebagai berikut:

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kejahatan (Tindak Pidana)eprints.umm.ac.id/61429/56/BAB II.pdfhal ini termaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 3. Ooogmerk ( berbagai

57

1. Dikarenakan hukum itu sendiri.

2. Dikarenakan yang membuat atau menetapkan hukum itu dan

penerapannya.

3. Dikarenakan sarana pra sarana maupun fasilitas dalam penegakan

hukum yang mendukung

4. Dikarenakan masyarakat itu sendiri, yaitu diberlakukan dan

diterapkannya sesuai atau sebaliknya dengan faktor lingkungan

5. Dikarenakan culture yang terdapat di dalam masyarakat seperti rasa

dan hasil karya di dalam kehidupan bermasyarakat 44

Kelima alasan tersebut dan menjadi penyebab atau alasan

ditemukannya faktor yang dapat menghambat dan mendorong

penegakan hukum atau pelaksanaan tugas aparatur negara.

44 Soerjono Soekanto, Op. Cit, hal. 5.