BAB II Kajian Pustaka

29
6 6 Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Surabaya BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kondisi Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Udang merupakan jenis ikan konsumsi air payau dengan badan beruas-ruas berjumlah 13 (5 ruas kepala dan 8 ruas dada) dan seluruh tubuhnya ditutupi oleh kerangka luar yang disebut eksosketelon. Umumnya udang yang terdapat di pasaran sebagian besar terdiri dari udang laut dan payau, hanya sebagian kecil saja yang terdiri dari udang air tawar, terutama di daerah sekitar sungai besar dan rawa dekat pantai. Udang air tawar pada umumnya termasuk dalam keluarga Palaemonid, sehingga para ahli sering menyebutnya sebagai kelompok udang palaemonid, sedangkan udang laut, terutama dari keluarga Penaeidae, biasa disebut dengan udang penaeid. Udang merupakan salah satu bahan makanan sumber protein hewani yang bermutu tinggi, sehingga Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Jawa Timur, optimis ekspor ikan akan naik 15 persen hingga 20 persen pada tahun 2009 mendatang. Adapun saat ini Indonesia sudah bisa menembus pasar Inggris (Atjo, 2009). Walaupun udang vannamei merupakan komoditas unggulan bagi sektor budidaya perikanan, namun harus diakui bahwa kemajuan teknologi tambak udang di Indonesia hampir selalu tertinggal, berbagai permasalahan dan kendala yang terus merebak lebih cepat, mulai dari penyakit vibriosis (disebabkan oleh

description

penjelasan mengenai sistem tambak dan pengolahannya

Transcript of BAB II Kajian Pustaka

Page 1: BAB II Kajian Pustaka

6

6 Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Surabaya

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kondisi Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

Udang merupakan jenis ikan konsumsi air payau dengan badan beruas-ruas

berjumlah 13 (5 ruas kepala dan 8 ruas dada) dan seluruh tubuhnya ditutupi oleh

kerangka luar yang disebut eksosketelon. Umumnya udang yang terdapat di

pasaran sebagian besar terdiri dari udang laut dan payau, hanya sebagian kecil saja

yang terdiri dari udang air tawar, terutama di daerah sekitar sungai besar dan rawa

dekat pantai.

Udang air tawar pada umumnya termasuk dalam keluarga Palaemonid,

sehingga para ahli sering menyebutnya sebagai kelompok udang palaemonid,

sedangkan udang laut, terutama dari keluarga Penaeidae, biasa disebut dengan

udang penaeid. Udang merupakan salah satu bahan makanan sumber protein

hewani yang bermutu tinggi, sehingga Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan

(DKP) Jawa Timur, optimis ekspor ikan akan naik 15 persen hingga 20 persen

pada tahun 2009 mendatang. Adapun saat ini Indonesia sudah bisa menembus

pasar Inggris (Atjo, 2009).

Walaupun udang vannamei merupakan komoditas unggulan bagi sektor

budidaya perikanan, namun harus diakui bahwa kemajuan teknologi tambak

udang di Indonesia hampir selalu tertinggal, berbagai permasalahan dan kendala

yang terus merebak lebih cepat, mulai dari penyakit vibriosis (disebabkan oleh

Page 2: BAB II Kajian Pustaka

7

bakteri Vibrio harveyi), penyakit virus bercak putih atau Systemic Ectodhermal

Mesodhermal Bacculo Virus (SEMBV), hingga Taura syndrom yang merupakan

pendatang dari benua Amerika. Akibatnya budidaya udang vannamei menjadi

terpuruk dan tidak mudah untuk bangkit kembali (Arifin dkk, 2007)

Selain itu semakin besarnya beban pencemaran di wilayah pantai,

merebaknya berbagai jenis penyakit hingga faktor sosial-ekonomi yang tidak

kondusif, sehingga semakin menempatkan usaha budidaya udang pada posisi yang

kian labil. Tidak kurang dari 80% lahan tambak udang yang pada era tahun 80-an

sangat produktif, kini menjadi lahan kosong, atau dialihkan menjadi tambak

garam tradisional (Mudjiman, 1988)

Masa kelam industri udang Tanah Air sejak tahun 2003 membawa sektor

budidaya udang tertatih-tatih menapak kebangkitan. Kini budidaya udang mulai

memasuki babak baru dalam upaya memutus rantai persoalan di tingkat hulu.

Sejak Februari 2009, pemerintah mengoperasikan pusat perbanyakan pemuliaan

(multiplication broodstock center) udang vaname di Desa Gelung, Kecamatan

Panarukan, Situbondo, Jawa Timur. Pusat perbanyakan pemuliaan itu dibuat

untuk menghasilkan induk udang vaname yang unggul, dilakukan dengan metode

perkawinan silang induk asal Hawai, Florida, dan lokal yang bebas penyakit,

Specific Phatogen Free (SPF) dan tahan penyakit, Specific Phatogen Resistant

(SPR). Persilangan itu diikuti dengan metode seleksi individu untuk memperoleh

induk unggulan. Pusat pemuliaan induk udang vaname di Gelung memiliki 12 bak

pengembangan calon induk berukuran 60 meter kubik, enam bak sudah

dioperasikan dan diisi 600.000 ekor benih udang, sedangkan pusat pemuliaan

Page 3: BAB II Kajian Pustaka

8

serupa juga akan beroperasi di Karangasem, Bali, tahun 2009.

(http://Kompas.Com, 25 Februari 2009)

Metode pemuliaan udang dilakukan dengan pola resirkulasi pengairan

secara tertutup. Air buangan dari bak pemuliaan induk akan diolah dengan

menggunakan teknik penyaringan (filterisasi) bakteri, pengendapan, penetralan

amoniak, dan penyaringan kotoran, lalu dimasukkan kembali ke dalam bak.

Metode resirkulasi tertutup bertujuan menghindari kondisi air yang kurang

bagus dan mempertahankan parameter kualitas air. Kestabilan kualitas air

diharapkan meningkatkan produksi udang (Mudjiman, 1988). Walaupun masih

banyak kendala, namun hingga sampai saat ini banyak negara produsen udang

yang terus bermunculan dan akan menjadi pesaing bagi ekspor udang Indonesia.

B. Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

1. Taksonomi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

Udang Vannamei digolongkan ke dalam genus Penaeid pada filum

Arthropoda dan ada ribuan spesies di filum ini. Namun, yang mendominasi

perairan berasal dari sub filum Crustaceae yaitu memiliki 3 pasang kaki berjalan

yang berfungsi untuk mencapit, terutama dari ordo Decapoda, seperti Litopenaeus

chinnensis, Litopenaeus indicus, Litopenaeus monodon, dan Litopenaeus

vannamei. Udang vaname memiliki tata nama ilmiah menurut ilmu taksonomi

yang dituliskan dari urutan kingdom sampai tingkat spesies adalah sebagai berikut :

Page 4: BAB II Kajian Pustaka

9

2. Morfologi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

Tubuh udang vaname dibentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu exopodite

dan endopodite. Vannamei memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti

kulit luar eksoskeleton secara periodik (moulting). Morfologi tubuh udang

Gambar 1. Litopenaeus vannamei

Kingdom : Animalia

Subkingdom : Metazoa

Filum : Arthropoda

Subfilum : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Subkelas : Eumalacostraca

Superordo : Eucarida

Ordo : Decapoda

Subordo : Dendrobranchiata

Famili : Penaeidae

Genus : Litopenaeus

Spesies : Litopenaeus vannamei

(Sumber : Dian dan Rubiyanto, 2005)

Gambar 2. Morfologi Litopenaeus vannamei

skopocherit

maxilla

coxa

basis

ischium

merus

carpus

cropus

Page 5: BAB II Kajian Pustaka

10

vannamei terdiri dari antena, rustrum, mata, carapace, ruas perut sejumlah enam,

lima pasang kaki berjalan (peripoda), lima pasang kaki berenang (pleopoda),

sepasang sirip ekor (uropods), dan telson.

Kepala (Thorax) udang vannamei terdiri dari antenula, antena, mandibula,

dan 2 pasang maxilla. Kepala udang vannamei juga dilengkapi dengan 3 pasang

maxilipied dan 5 pasang kaki berjalan (Peripoda) atau kaki sepuluh (decapoda).

Maxillipied sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk

makan. Endopoditeka berjalan menempel pada cephalothorax yang dihubungkan

oleh coxa. Bentuk peripoda beruas-ruas yang berujung di bagian dactylus.

Dactylus ada yang berbentuk capit (kaki-1, kaki-2, kaki ke-3) dan tanpa capit

(kaki ke-4 dan ke-5). Di antara coxa dan Dactylus, terdapat ruang yang berturut-

turut disebut basis, iscium, merus, carpus, dan cropus. Pada bagian ischium

terdapat duri yang bisa digunakan untuk mengidentifikasi beberapa spesies

Pennaeid dalam taksonomi (Dian dan Rubiyanto, 2005).

Perut (Abdomen) udang vannamei terdiri dari 6 ruas. Pada bagian abdomen

terdapat 5 pasang kaki renang dan sepasang uropods (mirip ekor) yang

membentuk kipas bersama-sama telson. Bagian tubuh udang vannamei sudah

mengalami modifikasi sehingga dapat digunakan untuk keperluan sebagai berikut :

1. Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing).

2. Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas.

3. Organ sensor, seperti pada antena dan antenula (Dian dan Rubiyanto, 2005).

Page 6: BAB II Kajian Pustaka

11

C. Persiapan Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

Persiapan tambak merupakan langkah awal budi daya udang vaname

sehingga pemeliharaan dan produktivitasnya bisa optimal. Hal-hal yang perlu

dipersiapkan yaitu pemilihan lokasi, konstruksi tambak, persiapan tambak, dan

persiapan media pertumbuhan udang.

1. Pemilihan Lokasi

Menurut Dian dan Rubiyanto (2005), lokasi tambak udang vannamei

memiliki syarat secara teknis sebagai berikut :

1. Terletak di daerah pantai dengan fluktuasi air pasang dan surut 2-3 m.

2. Jenis tanah sebaiknya liat berpasir untuk menghindari kebocoran air.

3. Lokasi tambak harus memiliki green-belt yang berupa hutan mangrove di

lokasi tambak dan pantai.

Persiapan Tambak Baru

Persiapan tambak baru dilakukan dengan membuang semua jenis kotoran

yang membahayakan kelangsungan hidup udang, diantaranya lumpur hitam

terbentuk dari sisa pakan dan bahan lain yang tidak terdekomposisi atau terurai

secara sempurna. Lumpur hitam biasanya menyebabkan timbulnya senyawa

beracun, seperti gas rawa (H2S) dan ammonia. Pembersihan dapat dilakukan

dengan cara mengeruk dan dimasukkan ke dalam karung.dan dibuang ke luar

tambak (Dian dan Rubiyanto, 2005).

Page 7: BAB II Kajian Pustaka

12

Persiapan sarana tambak

1. Memeriksa pH tanah dasar tambak, apabila pH kurang dari 6 maka

dilakukan pengapuran hingga pH netral = 7

2. Menebar saponin ke dalam tambak untuk mengantisipasi predator

3. Mengisi tambak dengan air laut sampai kedalaman 130-150 cm apabila

lahan sudah siap digunakan (Anonim, 2000)

2. Persyaratan Lokasi Tambak Udang Vaname (Litopenaeus vannamei):

a. Lokasi yang cocok untuk tambak udang vannamei adalah pada daerah

sepanjang pantai (beberapa meter dari permukaan air laut) dengan suhu rata-

rata 26-280

C.

b. Tanah yang ideal untuk tambak udang vannamei adalah bertekstur liat atau

liat berpasir, karena dapat menahan air. Tanah dengan tekstur ini mudah

dipadatkan dan tidak pecah-pecah.

c. Tekstur tanah dasar terdiri dari lumpur liat berdebu atau lumpur berpasir,

dengan kandungan pasir tidak lebih dari 20%. Tanah tidak boleh porous

(ngrokos).

d. Jenis perairan yang dikehendaki oleh udang vaname adalah air payau.

Daerah yang paling cocok untuk pertambakan adalah daerah pasang surut

dengan fluktuasi pasang surut 2-3 meter.

e. Parameter fisik: suhu air = 26-300

C; kadar garam/salinitas= 0-35 permil dan

optimal 10-30 permil (diukur dengan salinometer); kecerahan air 25-30 cm

(diukur dengan secchi disk)

Page 8: BAB II Kajian Pustaka

13

f. Parameter kimia : pH=7,5-8,5; DO=4-8 mg/liter; Amonia (NH3) < 0,1

mg/liter; H2S< 0,1 mg/liter; Nitrat (NO3-)=200 mg/liter; Nitrit (NO3)= 0,5

mg/liter; Mercuri (Hg)=0-0,002 mg/liter; Tembaga (Cu)=0-0,02 mg/liter;

Seng (Zn)=0-0,02 mg/liter; Krom Heksavalen (Cr)=0-0,05 mg/liter;

Kadmiun (Cd)=0-0,01 mg/liter; Timbal (Pb)=0-0,03 mg/liter; Arsen (Ar)=0-

1 mg/liter; Selenium (Se)=0-0,05 mg/liter; Sianida (CN)=0-0,02 mg/liter;

Sulfida (S)=0-0,002 mg/liter; Flourida (F)=0-1,5 mg/liter; dan Klorin bebas

(Cl2)=0-0,003 mg/liter (Anonim, 2000)

D. Teknik Pembuatan Tambak

Teknik pembuatan tambak berdasarkan letak, biaya dan teknik pelaksanaan

meliputi : Tambak Ekstensif/Tradisional, Semi Intensif, dan Insentif.

1). Tambak Ekstensif atau Tradisional

a. Dibangun di lahan pasang surut, umumnya berupa rawa-rawa bakau, atau

rawa-rawa pasang surut bersemak dan rerumputan

b. Bentuk dan ukuran petakan tambak tidak teratur

c. Luasnya antara 3-10 ha per petak, dengan isi 10-20 benur setiap 1m2.

d. Setiap petak mempunyai saluran keliling (caren) yang lebarnya 5-10 m di

sepanjang keliling petakan sebelah dalam. Di bagian tengah juga dibuat

caren dari sudut ke sudut (diagonal). Kedalaman air di atas pelataran dengan

caren 30-50 cm, bagian pelataran hanya dapat berisi sedalam 30-40 cm saja.

Page 9: BAB II Kajian Pustaka

14

e. Di tengah petakan dibuat petakan yang lebih kecil dan dangkal untuk

mengipuk nener yang baru datang selama 1 bulan.

f. Selain itu ada beberapa tipe tambak tradisional, misalnya tipe corong dan

tipe taman yang dikembangkan di Sidoarjo, Jawa Timur.

g. Pada tambak ini tidak ada pemupukan (Darmono, 1991)

2) Tambak Semi Intensif

a. Bentuk petakan umumnya empat persegi panjang dengan luas 1-3

ha/petakan, dengan isi 20-40 benur setiap 1m2.

b. Tiap petakan mempunyai pintu pemasukan (inlet) dan pintu pengeluaran

(outlet) yang terpisah untuk keperluan penggantian air, penyiapan kolam

sebelum ditebari benih, dan pemanenan.

c. Suatu caren diagonal dengan lebar 5-10 m menyerong dari pintu (pipa) inlet

ke arah pintu (pipa) outlet. Dasar caren miring ke arah outlet untuk

memudahkan pengeringan air dan pengumpulan udang pada waktu panen

Gambar 3. Tambak Tradisional atau Ekstensif dengan tipe taman, yang

Caren

Pelataran

Pematang

terdapat caren dan pelataran

Page 10: BAB II Kajian Pustaka

15

d. Kedalaman caren selisih 30-50 cm dari pelataran

e. Kedalaman air di pelataran hanya 40-50 cm (Darmono, 1991)

3) Tambak Intensif

Intensifikasi diartikan sebagai peningkatan hasil dengan menambah input

produksi tanpa adanya perluasan lahan. Dengan perkataan lain intensifikasi adalah

peningkatan hasil produksi dengan memaksimalkan daya dukung lahan yang ada.

Terdapat sebuah relevansi yang erat antara produksi dengan daya dukung

lingkungan (carrying capacity).

Daya dukung lingkungan (atau hasil produksi), dapat diperbesar sampai

pada tahap tertentu (bukan tanpa batas). perlu diketahui bahwa daya dukung lahan

adalah sesuatu yang dinamis dan akan berubah setiap saat.

Gambar 4. Tambak Semi Intensif

Caren diagonal

Pematang

Dinding tambak

Pengapuran pada dinding tambak

Page 11: BAB II Kajian Pustaka

16

a. Petakan berukuan 0,2-0,5 ha/petak, supaya pengelolaan air dan

pengawasannya lebih mudah

b. Kolam/petak pemeliharaan dapat dibuat dari beton seluruhnya atau dari

tanah seperti biasa. Atau dinding dari tembok, sedangkan dasar masih tanah

c. Biasanya berbentuk bujur sangkar dengan pintu pembuangan di tengah dan

pintu panen model monik di pematang saluran buangan. Bentuk dan

konstruksinya menyerupai tambak semi intensif bujur sangkar.

d. Lantai dasar dipadatkan sampai keras, dilapisi oleh pasir/kerikil. Tanggul

biasanya dari tembok, sedang air laut dan air tawar dicampur dalam bak

pencampur sebelum masuk dalam tambak.

e. Pipa pembuangan air hujan atau kotoran yang terbawa angin, dipasang mati

di sudut petak.

f. Diberi aerasi dan kincir air untuk menambah kadar O2 dalam air.

Gambar 5. a. Kincir air yang dipakai pada tambak Intensif, b. Pintu

(a) (b) Pengait kincir Pelampung Kincir Air Pintu Outlet Jembatan

pembuangan untuk mempermudah pengaturan level/lapisan

air yang akan dibuang pada pintu yang berdimensi besar

Page 12: BAB II Kajian Pustaka

17

g. Penggantian air yang sangat sering dimungkinkan oleh penggunaan pompa

(Darmono, 1991)

4) Tambak Super Intensif

Pada budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) dengan

menggunakan pola super intensif terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan,

Berikut ini adalah beberapa faktor yang harus dipenuhi :

a. Sistem yang digunakan adalah sistem open (terbuka), yaitu

mengandalkan ketersediaan air dari lingkungan (aliran sungai) secara penuh

dengan kualitas air yang memenuhi syarat, akibatnya air buangan menjadi relatif

besar sehingga berpeluang mencemari lingkungan. Sebagai antisipasinya, harus

disediakan tandon pembuangan sehingga air yang dibuang berkurang daya

cemarnya.

Gambar 6. Air buangan dari Tambak Intensif

Pipa pembuangan

air

Air buangan

Page 13: BAB II Kajian Pustaka

18

b. Perairan tidak tercemar limbah industi/domestik, penyakit dan virus. Pantai

Selatan Jawa umumnya lebih bersih dari patogen dibanding Pantai Utara.

c. Inlet dan outlet tidak berdekatan. Saluran pembuangan harus terpisah dan tidak

merembes ke petak-petak yang berada dalam satu jalur. Ini sangat penting untuk

menghindari menyebarnya penyakit ke petak yang lain saat dilakukan flushing

(pengurasan tambak).

d. Mesin pompa cukup untuk mengganti air 25-30 % per hari, terutama pada saat

udang cukup besar.

e. Kincir tersedia untuk mencapai DO diatas 3,5 ppm dan bisa dioperasikan

sepanjang hari.

f. Selain memasok oksigen, kincir juga berfungsi untuk mengumpulkan

kotoran dan sisa pakan ke pusat saluran agar mudah dibuang ke luar

petakan. Untuk itu, pemasangan kincir harus memenuhi keperluan tersebut.

g. Petak berukuran 3000 sampai 4000 m2 disarankan mendekati bujur sangkar

agar kincir lebih mudah mengumpulkan kotoran ke pusat saluran dan

kemudian dibuang dengan cara sirkulasi.

h. Benur harus benar-benar Filial 1 (F1), Specific Phatogen Free (SPR)

dengan lolos uji PCR dan dalam kondisi sehat.

i. Kepadatan sebaiknya 200-250 ekor/m2. Dengan kepadatan ini produktivitas

bisa mencapai setidaknya 25 ton/ha (Darmono, 1991)

Page 14: BAB II Kajian Pustaka

19

E. Pengolahan Lahan Tambak Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

Pengolahan lahan tambak udang menurut Anonim (2000) meliputi :

a. Pengangkatan lumpur. Setiap budidaya udang pasti meninggalkan sisa

budidaya yang berupa lumpur organik dari sisa pakan, kotoran udang dan

udang yang mati. Kotoran tersebut harus dikeluarkan karena bersifat racun

yang membahayakan udang. Pengeluaran lumpur dapat dilakukan dengan

cara mekanis menggunakan cangkul atau penyedotan dengan pompa air.

b. Pembalikan Tanah. Tanah di dasar tambak perlu dibalik dengan cara dibajak

atau dicangkul untuk membebaskan gas-gas beracun (H2S dan Amoniak)

yang terikat pada pertikel tanah, untuk menggemburkan tanah dan

membunuh bibit panyakit karena terkena sinar matahari/ultra violet.

Tambak super intensif

Dinding beton

Inlet

Kincir

Tandon

Gambar 7. Tambak Super Intensif, tandon, dan kincir air.

Page 15: BAB II Kajian Pustaka

20

c. Pengapuran. Bertujuan untuk menetralkan keasaman tanah dan membunuh

bibit-bibit penyakit. Dilakukan dengan kapur Zeolit dan Dolomit dengan

dosis masing-masing 1 ton/ha.

d. Pengeringan. Setelah tanah dikapur, biarkan hingga tanah menjadi kering

dan pecah-pecah, untuk membunuh bibit penyakit (Anonim, 2000)

F. Pemasukan Air pada Tambak Udang

Setelah dibiarkan 3 hari, air dimasukkan ke tambak. Pemasukan air pertama

setinggi 10-25 cm dan biarkan beberapa hari tujuannya untuk memberi

kesempatan bibit-bibit plankton tumbuh setelah dipupuk dengan TON. Setelah itu

air dimasukkan hingga minimal 80 cm. Perlakuan Saponen bisa dilakukan untuk

membunuh ikan yang masuk ke tambak. Untuk menyuburkan plankton sebelum

benur ditebar, air dikapur dengan Dolomit atau Zeolit dengan dosis 600 kg/ha

(Anonim,1988)

Gambar 8 .a. Pembalikan tanah dasar tambak, b.Pengapuran setelah di lakukan proses

a b

pembalikan tanah

Page 16: BAB II Kajian Pustaka

21

G. Kualitas Air

Kualitas air sangat menentukan kelangsungan hidup udang vannamei, baik

kesehatannya ataupun pertumbuhannya, terutama untuk tambak intensif. Air yang

berkualitas baik adalah air yang mengandung cukup oksigen dan sifat fisik juga

sifat kimia yang memadai. Kualitas air yang tidak memenuhi syarat dapat

menyebabkan penurunan produksi metabolisme udang vannamei sehingga

pertumbuhannya akan terhambat dan akibatnya keuntungan yang diperoleh akan

menurun dan bahkan menyebabkan kerugian (Kristanto, 2002)

Tabel 1. Parameter kualitas air pemeliharaan budidaya udang vaname

(Litopenaeus vannamei)

No Parameter Satuan Kisaran

1 Salinitas ppt 5 - 25

2 Suhu

0

C

28,5 – 31,5

3 pH air - 7,5 – 8,5

4 DO ppm 3 – 7,5

5 Alkalinitas ppm 120 -160

6 Nitrit ppm 0,01 – 0,05

7

NH3

ppm 0,05 – 0,1

8 H

2S ppm 0,01 – 0,05

Page 17: BAB II Kajian Pustaka

22

9 Kecerahan cm 30 - 40

Sumber: Dian dan Rubiyanto, 2005

1. Salinitas

Menurut Nontji (1986) salinitas adalah jumlah berat semua garam (dalam

garam) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan 0/00

(per mil, gram per liter/ppm). Perbedaan salinitas terjadi karena perbedaan dalam

penguapan dan presipitasi. Udang vannamei dapat hidup pada kadar garam

berkisar 5 0/00 – 35

0/00 kadar optimum 10 – 35

0/00 sangat baik untuk pertumbuhan

udang vannamei. Perubahan kadar garam secara mendadak dapat menyebabkan

angka kematian yang tinggi. Udang perlu menyesuaikan diri terhadap perubahan

salinitas, udang akan mengalami kematian dalam waktu 8 hari jika perairan

terdapat 15 mg Cd/l dengan salinitas air 0,0005 0/00 dan dalam konsentrasi 30 mg

Cd/l dengan salinitas 35 0/00 pada suhu 20

0C. Jika nilai salinitas tinggi dan suhu

rendah (5 0C) sedangkan dalam perairan terlarut 30 mg Cd/l maka akan

meningkatkan jumlah kematian biota di dalamnya.

2. Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam lingkungan,

suhu juga dapat mengontrol proses kimia yang terjadi dalam lingkungan. Selain

itu suhu mempunyai peranan penting dalam menentukan jenis makhluk hidup

yang berada di perairan dipengaruhi oleh curah hujan, penguapan, kelambaban,

udara, kecepatan angin dan intensitas sinar (Nontji, 1986. Menurut Hutabarat dan

Evans (1985), suhu merupakan salah satu faktor yang amat penting bagi

Page 18: BAB II Kajian Pustaka

23

kehidupan organisme air karena suhu sangat mempengaruhi baik aktifitas

metabolisme maupun perkembangbiakan organisme perairan.

3. Oksigen Terlarut (Disolved Oxygen = DO)

Oksigen adalah gas tak berbau, tak berasa dan hanya sedikit larut dalam air.

Untuk mempertahankan hidupnya, makhluk yang tinggal di dalam air baik

tumbuhan maupun hewan, bergantung pada oksigen yang terlarut ini. Selebihnya

bergantung kepada ketahanan organisme, derajat keefektifannya, kehadiran bahan

pencemar, suhu air dan sebagainya (Kristanto, 2002)

Oksigen terlarut (DO) merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan

tanaman dan hewan di dalam air. Kehidupan makhluk hidup di dalam air tersebut

tergantung dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen

minimal yang dibutuhkan untuk kehidupannya. Ketersedian oksigen dalam air

sangat menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang. Oksigen terlarut

yang baik untuk kehidupan udang berkisar antara 4 – 8 ppm.

Rendahnya kandungan oksigen terlarut di dalam tambak sering terjadi pada

musim kemarau yang tidak berangin. Selain itu, penurunan kadar oksigen

dipengaruhi oleh suhu rendah di bawah 20% pada malam hari, yang akan diikuti

dengan meningkatnya aktivitas fitoplankton. Keadaan ini ditandai dengan naiknya

udang ke permukaan air. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan aerator agar

kandungan oksigen terlarut di dalam tambak naik. Jika dalam perairan terlarut

0,01 mg Cd/l dengan DO 0,004 ppm maka udang akan mengalami kematian

dalam waktu 4 – 40 hari (Kristanto, 2002)

Page 19: BAB II Kajian Pustaka

24

4. Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demmand = BOD)

Kebutuhan oksigen biologis adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh

mikroorganisme di dalam air untuk menguraikan, memecah, mendegradasi dan

mengoksidasi limbah organik yang terdapat di perairan. Analisis BOD dilakukan

untuk menentukan beban pencemaran akibat buangan/limbah secara biologis

BOD juga merupakan indikator pencemaran organik yang paling banyak

digunakan untuk mengendalikan kualitas air atau untuk menilai kepekaan limbah

(Kristanto, 2002).

5. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh yang besar terhadap tumbuh-

tumbuhan dan hewan air, sehingga sering digunakan sebagai petunjuk untuk

menyatakan baik buruknya keadaan air. Nilai pH normal untuk vannamei adalah

6-9. Nilai pH di bawah 5 dapat menghambat pertumbuhan udang sedangkan nilai

pH di atas 10 mengakibatkan kematian pada udang (Dian dan Rubiyanto,2005).

6. Karbondioksida (CO2) Bebas

Proses dekomposisi bahan organik serta pernafasan tumbuhan air dan hewan

memberikan sumbangan pada CO2 yang ada. CO2 bergabung secara kimiawi

dengan air membentuk asam karbonat (H2CO3) yang mempengaruhi pH air dan

berdisosiasi sebagian menghasilkan ion-ion hidrogen (H+) dan bikarbonat (HCO3

-) .

Karbondioksida dapat juga terbentuk sehingga hasil metabolisme pada

proses fotosintesis banyak digunakan CO2 dan dikeluarkan O2. Hal ini akan

Page 20: BAB II Kajian Pustaka

25

mempengaruhi konsentrasi CO2 dalam air, yang bergantung pada ke dalaman air

tersebut respirasi oleh hewan dan tumbuhan menghasilkan CO2 (Kristanto, 2002).

7. Kekeruhan

Air yang tidak terlampau keruh dan tidak terlampau jernih baik untuk

kehidupan udang. Zat atau material terlarut (tersuspensi) seperti lumpur, senyawa

organik dan anorganik, plankton dan mikroorganisme diduga kuat sebagai

penyebab kekeruhan. Kekeruhan menyebabkan sinar matahari yang sampai ke air

lebih banyak dihamburkan dan diserap daripada ditransmisikan ke sekelilingnya.

Padahal sinar matahari yang ditransmisikan ini sangat diperlukan oleh plankton.

Oleh karena itu kondisi air tambak diusahakan tidak terlalu keruh, sedangkan

tingkat kecerahan yang diharapkan untuk budidaya udang vannamei 25-40 cm

(Darmono, 1991)

H. Pemilihan Benur Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

Persyaratan kualitatif benur yang dapat dilihat dan diuji adalah :

Warna : warna tubuh transparan, kecoklatan atau kehitaman, punggung

tidak berwarna keputihan atau kemerahan.

Gerakan : gerakan berenang aktif, menentang arus, cenderung mendekat ke

arah cahaya (fototaksis positif).

Kesehatan dan kondisi tubuh : kondisi tubuh benur yang sehat setelah

mencapai ukuran PL 10, organ tubuhnya lengkap, maxilla, mandibula,

antenulla dan ekor membuka, hepatopankreas transparan, usus penuh dan

gelap.

Page 21: BAB II Kajian Pustaka

26

Responsif terhadap rangsangan : benur akan menjentik menjauh dengan

adanya kejutan atau jika wadah sampel benur diketuk, dan akan berenang

mendekati sumber cahaya jika ada rangsangan cahaya, serta responsif

terhadap pakan yang diberikan (Dian dan Rubiyanto, 2005)

I. Penebaran Benur Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

Benur udang bisa di dapat secara langsung dengan menangkap dari laut

maupun diperoleh dari tempat pembibitan benur udang.

Menurut Dian dan Rubiyanto (2005), benur sebelum ditebar ke dalam

tambak, perlu dilakukan aklimatisasi (adaptasi) terhadap lingkungan baru. Secara

umum, ada 2 aklimatisasi yang bisa dilakukan, yaitu aklimatisasi terhadap suhu

dan salinitas air pada petakan tambak.

1. Aklimatisasi Suhu

Aklimatisasi suhu air pada petakan tambak udang vannamei dilakukan

dengan cara meletakkan plastik pengemas yang berisi benur ke dalam petakan

tambak. Tindakan tersebut dilakukan hingga suhu air dalam kemasan plastik

Gambar 9. Benur yang telah dipilih dan siap di

Benih (benur) udang vaname

tebar

Page 22: BAB II Kajian Pustaka

27

mendekati atau sama dengan suhu air petakan yang dicirikan dengan munculnya

embun di dalam plastik kemasan (Dian dan Rubiyanto, 2005)

2. Aklimatisasi Salinitas

Aklimatisasi salinitas air petakan tambak dilakukan setelah aklimatisasi

suhu selesai. Aklimatisasi salinitas dilakukan dengan cara air tambak di masukkan

sebanyak 1-2 liter ke dalam kemasan plastik benur udang vannamei. Tindakan

tersebut di hentikan hingga salinitas air dalam kemasan plastik mendekati atau

sama dengan salinitas air petakan tambak. Perkiraan aklimatisasi benur

berdasarkan perbedaan salinitas dan suhu antara tambak dan air hatchery di sajikan

pada tabel 2.

Gambar 10. Aklimatisasi benur pada suhu tambak

Benur dalam wadah plastik Benur yang mulai ditebar

Page 23: BAB II Kajian Pustaka

28

Tabel 2. Perkiraan Aklimatisasi Benur Berdasarkan Perbedaan Salinitas dan

Suhu Antara Air Tambak dan Air Hatchery.

Sumber : Dian dan Rubiyanto, 2005

Tebar benur dilakukan setelah air jadi, yaitu setelah plankton tumbuh

ditandai dengan kecerahan air kurang lebih 30-40 cm. Penebaran benur dilakukan

dengan hati-hati, karena benur masih lemah dan mudah stress pada lingkungan

yang baru. Tahap penebaran benur (Anonim, 2000) adalah :

Adaptasi suhu, plastik wadah benur direndam selama 15-30 menit, agar

terjadi penyesuaian suhu antara air di kolam dan di dalam plastik.

Adaptasi udara, plastik dibuka dan dilipat pada bagian ujungnya dibiarkan

terbuka dan terapung selama 15-30 menit agar terjadi pertukaran udara dari

udara bebas dengan udara dalam air di plastik.

Beda salinitas (ppt) Beda suhu (o C)

Waktu aklimatisasi

(menit)

<5 >3 15-30

<3 30-45

5-10 >3 30-45

<3 30-45

10-15 >3 30-45

<3 30-45

>15 >3 30-45

<3 45-60

Page 24: BAB II Kajian Pustaka

29

Adaptasi kadar garam/salinitas, dilakukan dengan cara memercikkan air

tambak ke dalam plastik selama 10 menit. Tujuannya agar terjadi

percampuran air yang berbeda salinitasnya, sehingga benur dapat

menyesuaikan dengan salinitas air tambak.

Pengeluaran benur dilakukan dengan memasukkan sebagian ujung plastik

ke air tambak, benur dibiarkan keluar sendiri ke air tambak. Sisa benur yang

tidak keluar sendiri, dapat dimasukkan ke dalam tambak dengan hati-

hati/perlahan.

J. Pemeliharaan Udang

Pada awal budidaya, sebaiknya di daerah penebaran benur disekat dengan

waring atau hapa, untuk memudahkan pemberian pakan. Sekat tersebut dapat

diperluas sesuai dengan perkembangan udang, setelah 1 minggu sekat dapat

dibuka. Pada bulan pertama yang diperhatikan adalah kualitas air harus selalu

stabil. Penambahan atau pergantian air dilakukan dengan hati-hati karena udang

masih rentan terhadap perubahan kondisi air yang drastis.

Untuk menjaga kestabilan air, setiap penambahan air baru diberi perlakuan

Tambak Organik Nusantara (TON) dengan dosis 1 - 2 botol TON/ha untuk

menumbuhkan dan menyuburkan plankton serta menetralkan bahan-bahan

beracun dari luar tambak.

Mulai umur 30 hari dilakukan sampling untuk mengetahui perkembangan

udang melalui pertambahan berat udang. Udang yang normal pada umur 30 hari

sudah mencapai size (jumlah udang/kg) 250-300. Untuk selanjutnya sampling

Page 25: BAB II Kajian Pustaka

30

dilakukan tiap 7-10 hari sekali. Produksi bahan organik terlarut yang berasa dari

kotoran dan sisa pakan sudah cukup tinggi, oleh karena itu sebaiknya air diberi

perlakuan kapur zeolit setiap beberapa hari sekali dengan dosis 400 kg/ha. Pada

setiap pergantian atau penambahan air baru tetap diberi perlakuan Tambak

Organik Nusantara (TON).

Mulai umur 60 hari ke atas, yang harus diperhatikan adalah manajemen

kualitas air dan kontrol terhadap kondisi udang. Setiap kondisi air menunjukkan

jelek (ditandai dengan warna keruh, kecerahan rendah) secepatnya dilakukan

pergantian air dan perlakuan TON 1-2 botol/ha. Jika konsentrasi bahan organik

dalam tambak semakin tinggi, menyebabkan kualitas air/lingkungan hidup udang

juga semakin menurun, akibatnya udang mudah mengalami stres, ditandai dengan

tidak mau makan, kotor dan diam di sudut-sudut tambak, kondisi ini dapat

menyebabkan terjadinya kanibalisme (Anonim, 2000)

K. Manajemen Pakan

Pakan merupakan sumber nutrisi terdiri dari protein, lemak, karbohidrat,

vitamin dan mineral. Nutrisi digunakan untuk tumbuh dan berkembang biak.

Pakan yang diberikan harus mengandung nutrisi sesuai dengan kebutuhan hidup

udang vannamei. Nutrisi yang dibutuhkan udang vannamei antara lain protein,

lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, dan asam amino essensial. Nutrisi tersebut

digunakan untuk aktivitas pertumbuhan dan reproduksi udang (Mudjiman, 1988)

Page 26: BAB II Kajian Pustaka

31

L. Panen

Pada umumnya pemanenan udang vaname dilakukan setelah umur

pemeliharaan lebih dari 100 hari, namun tetap memperhatikan harga udang

dipasaran. Perlakuan dan teknik yang dilakukan sebelum panen adalah

pengapuran dengan dosis 10 – 20 ppm (dilakukan 2 – 3 hari sebelum panen), serta

memperhatikan volume air (tidak ada pergantian air) selama 2 – 4 hari. Tujuan

tidak dilakukan penggantian air menjelang panen adalah supaya udang tidak

mengalami ganti kulit (moulting) menjelang dan pada saat pemanenan.

Alat yang digunakan dalam pemanenan adalah jaring kantong yang

dipasang pada pintu monik, jaring udang (krikit), branjang (left net), sodo dan jala

tebar (falling gear) serta alat lainnya. Teknik panen yang sering dilakukan adalah

dengan cara menurunkan volume air secara bertahap sesuai dengan menggunakan

pompa air, bersamaan dengan itu dilakukan penangkapan udang secara bertahap.

Pemanenan dilakukan pada pagi hari atau malam hari, yang bertujuan untuk

mengurangi resiko kerusakan mutu udang (Atjo, 2009).

M. Pascapanen

Menurut Mudjiman (1988) terdapat beberapa hal yang penting yang perlu

diperhatikan dalam penanganan pascapanen adalah:

1. Alat-alat yang digunakan harus bersih.

2. Penanganan harus cepat, cermat, dan hati-hati.

3. Hindarkan terkena sinar matahari langsung.

4. Cucilah udang dari kotoran dan lumpur dengan air bersih.

Page 27: BAB II Kajian Pustaka

32

5. Masukkan ke dalam keranjang, ember, atau tong, dan siram dengan air

bersih.

6. Selalu menggunakan es batu untuk mendinginkan dan mengawetkan

udang.

7. Selain didinginkan, dapat juga direndam dalam larutan NaCl 100 ppm

untuk mengawetkan udang pada temperatur kamar dan untuk membunuh

bakteri pembusuk (Salmonella, Vibrio, Staphylococcus).

8. Kelompokan menurut jenis dan ukurannya.

N. Pemasaran

Pemasaran merupakan rantai berikutnya dalam siklus kegiatan perikanan,

serta memegang peranan penting dalam usaha penyampaian hasil produksi kepada

pada konsumen. Peningkatan produksi dengan tidak disertai perbaikan cara

pemasarannya tidak akan banyak memberikan manfaat, baik terhadap petambak

sendiri maupun konsumen dan pemerintah.

Hasil perikanan kadang-kadang mengalami kerusakan yang fatal yang

terjadi pada saat bersamaan, dengan demikian proses pemasaran benar-benar

memegang peranan penting dalam usahamenyampaikan dan penyelamatan hasil

produksi perikanan dari produsen ke konsumennya.

Penyampaian hasil produksi dari produsen sampai dapat dimanfaatkan oleh

konsumen pada umumnya masih berlangsung melalui berbagai macam rantai.

Rantai yang paling sederhana biasanya nelayan langsung menjual hasil

produksinya kepada konsumen. Namun kejadian ini sedikit sekali dan hanya

Page 28: BAB II Kajian Pustaka

33

berlangsung dalam usaha yang kecil atau volume yang kecil pula. Proses

pemasaran yang sederhana biasanya berlangsung secara insidentil selama jumlah

ikan dapat ditampung oleh sejumlah konsumen yang terbatas. Apabila ikan dalam

jumlah yang besar hendak dijual oleh nelayan dengan cara langsung, biasanya

nelayan akan menghadapi jalan buntu. Selain dari pada itu mereka akan terdesak

pada posisi yang lemah karena beberapa faktor yaitu :

a. Sifat ikan yang mudah busuk.

b. Nelayan tidak mempunyai waktu yang cukup untuk memasarkan ikan

setelah lama tinggal dalam penagkapan ikan.

c. Nelayan tidak mempunyai fasilitas alat pemasaran yang cukup, seperti

kamar pendingin atau alat angkutan.

d. Nelayan tidak memiliki modal yang cukup.

Mengingat akan sifat-sifat tersebut diatas tadi, pada akhirnya nelayan harus

menjual ikan dengan harga yang sangat murah daripada ikan itu menjadi busuk.

Menurut Kattenberg (1978) nelayan dapat menjual ikannya melalui empat saluran

pemasaran, yaitu melalui :

1. Tempat pelelangan ikan :

Ikan dijual kepada para pembeli melalui sistim pelelangan, sehingga terjadi

persaingan harga yang terbuka dan bebas.

2. Bakul ikan :

Ikan dijual oleh nelayan kepada bakul yang mereka senangi.

Page 29: BAB II Kajian Pustaka

34

3. Bakul ikan khusus :

Ikan selalu dijual kepada bakul yang tertentu dan tetap. Mereka ini biasanya

terdiri dari para pembeli kredit liar kepada para nelayan sehingga terdapat ikatan

yang khusus.

4. Konsumen :

Ikan dibawa dan dijual ke pasar yang terdekat atau langsung dijual ke

rumah-rumah konsumen.