BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Belajar dan Pembelajarandigilib.unila.ac.id/16179/16/BAB II.pdf ·...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Belajar dan Pembelajarandigilib.unila.ac.id/16179/16/BAB II.pdf ·...
17
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Teori Belajar dan Pembelajaran
Proses pendidikan, kegiatan belajar merupakan kegiatan inti yang harus dipenuhi.
Belajar merupakan hal penting dalam kehidupan manusia, tanpa adanya belajar
manusia tidak dapat melangsungkan hidupnya. Karena dengan belajar kebutuhan
yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dapat dipenuhi.
Gronback dalam Slamento (2001: 2) mengatakan “Learning is show by a behavior
as a result of experience . Selanjutnya Moh.Uzer Usman dan Lilis Setiawati dalam
Slamento (2001: 3) mengartikan bahwa belajar sebagai perubahan tingkah laku pada
diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu
dengan lingkungan sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan
lingkungannya. Sudjana (2002: 4) mengatakan bahwa belajar adalah proses yang
aktif, belajar adalah mereaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu.
Belajar adalah proses yang diarahkan kepada tujuan, proses berbuat melalui berbagai
pengalaman. Belajar adalah proses melihat, mengamati, memahami sesuatu. Menurut
Gulo (2008: 8), Belajar merupakan suatu proses yang berlangsung didalam diri
seseorang yang mengubah tingkah lakunya, baik tingkah laku dalam berfikir,
bersikap dan berbuat.
18
Berdasarkan beberapa pengertian belajar yang telah dikemukakan oleh para ahli
tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu perubahan tingkah laku
individu dari hasil pengalaman dan latihan. Perubahan tingkah laku tersebut, baik
dalam aspek pengetahuannya (kognitif), keterampilannya (psikomotor), maupun
sikapnya (afektif). Belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku, maka
diperlukan pembelajaran yang bermutu yang langsung menyenangkan dan
mencerdaskan siswa.
Adapun ciri–ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar (Slamento, 2001:
34), adalah sebagai berikut:
a. Perubahan yang terjadi secara sadar
Ini berarti bahwa individu yang belajar, akan menyadari terjadinya perubahan
itu atau sekurang–kurangnya individu merasakan telah terjadi adanya suatu
perubahan dalam dirinya.
b. Perubahan dalam belajar bersifat kontinyu dan fungsional
Suatu perubahan yang akan terjadi menyebabkan perubahan berikutnya dan
akan berguna bagi kehidupan atau proses belajar berikutnya.
c. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan itu senantiasa bertambah dan
bertujuan untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Selain itu
perubahan tidak terjadi dengan sendirinya tetapi harus ada usaha individu itu
sendiri.
19
d. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara
Ini berarti bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap
atau permanen. Sementara itu, mengajar pada hakikatnya adalah memudahkan
terciptanya situasi yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar sehingga
mengajar dapat pula di istilahkan sebagai pembelajaran.
Belajar merupakan proses penting bagi perubahan perilaku pada diri seseorang dan
mencakup segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan. Belajar memegang
peranan penting di dalam perkembangan, kebiasaan, sikap, keyakinan, tujuan,
kepribadian, dan bahkan persepsi manusia. Di dalam belajar terdapat prinsip-prinsip
belajar yang harus diperhatikan. Dalyono (2007: 51-54) mengemukakan prinsip-
prinsip belajar sebagai berikut:
a. Kematangan jasmani dan rohani
Salah satu prinsip utama belajar adalah harus mencapai kematangan jasmani dan
rohani sesuai dengan tingkatan yang dipelajarinya. Kematangan jasmani yaitu
setelah sampai pada batas minimal umur serta kondisi fisiknya telah kuat untuk
melakukan kegiatan belajar. Sedangkan kematangan rohani artinya telah
memiliki kemampuan secara psikologis untuk melakukan kegiatan belajar.
b. Memiliki kesiapan
Setiap orang yang hendak belajar harus memiliki kesiapan yakni dengan
kemampuan yang cukup, baik fisik, mental maupun perlengkapan belajar.
20
c. Memahami tujuan
Setiap orang yang belajar harus memahami tujuannya, kemana arah tujuan itu
dan apa manfaat bagi dirinya. Prinsip ini sangat penting dimiliki oleh orang
belajar agar proses yang dilakukannya dapat selesai dan berhasil.
d. Memiliki kesungguhan
Orang yang belajar harus memiliki kesungguhan untuk melaksanakannya.
Belajar tanpa kesungguhan akan memperoleh hasil yang kurang memuaskan.
e. Ulangan dan latihan
Prinsip yang tidak kalah pentingnya adalah ulangan dan latihan. Sesuatu yang
dipelajari perlu diulang agar meresap dalam otak, sehingga dikuasai sepenuhnya
dan sukar dilupakan.
2.1.1 Prinsip-Prinsip Belajar
Selama kegiatan belajar mengajar sering mengalami berbagai masalah. Oleh karena
itu, untuk mengatasi hal tersebut harus mengetahui prinsip-prinsip belajar, yaitu
sebagai berikut:
a. Proses belajar adalah kompleks namun terorganisasi.
b. Motivasi sangat penting dalam belajar, karena setiap individu mempunyai
kebutuhan atau keinginan yang perlu memperoleh pemenuhan.
c. Belajar berlangsung dari yang sederhana kepada yang kompleks.
d. Belajar melibatkan berbagai proses perubahan, perbedaan dan generalisasi
berbagai respon. (Rusyan dan Yani Daryani, S, 2002: 12)
Menurut D.F Ausubel dalam Rusyan (2002: 16) mengemukakan lima prinsip utama
yang harus diperhatikan di dalam belajar, yaitu:
21
a. Proses penggabungan ide atau pengalaman terhadap pola-pola ide yang lalu
yang telah dimiliki.
b. Usaha mengintegrasi pengalaman yang lalu dengan pengalaman baru, sehingga
menjadi satu kesatuan pengalaman.
c. Dalam belajar suatu keseluruhan secara utuh harus lebih dulu muncul sebelum
sampai kepada suatu yang spesifik.
d. Suatu pelajaran harus lebih dulu dikuasai sebelum sampai kepada pelajaran
berikutnya, bila pelajaran tersebut menjadi dasar untuk pelajaran selanjutnya.
e. Ide atau pelajaran baru yang dipelajarin itu harus dihubungkan dengan ide
pelajaran yang telah dipelajari lebih dulu.
2.1.2 Asas-Asas Belajar
Asas-asas belajar menurut Mukhtar dan Martinis Yamin (2009: 11) adalah sebagai
berikut: a) Persiapan prabelajar, b) Dorongan, Motivasi, c) Perbedaan perorangan, d)
Kondisi pengajaran, e) Partisipasi aktif, f) Prestasi yang berhasil, g) Praktik, h)
Mengetahui hasil, i) Kecepatan menyajikan materi, j) Sikap guru.
Berdasarkan keseluruhan proses pendidikan di sekolah, pembelajaran merupakan
aktivitas yang paling utama. Ini berarti bahwa keberhasilan pencapaian tujuan
pendidikan banyak bergantung pada bagaimana proses pembelajaran dapat
berlangsung secara efektif. Pemahaman seorang guru terhadap pengertian
pembelajaran akan sangat mempengaruhi cara guru itu mengajar. Sedangkan peserta
didik sebagai subjek pembelajaran yang menikmati kondisi belajar yang diciptakan
guru. Perpaduan keduanya akan melahirkan interaksi edukatif dengan memanfaatkan
bahan ajar sebagai medianya. Guru dan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran
saling mempengaruhi dan memberikan masukan.
Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun
teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Pembelajaran
22
merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh guru sebagai pihak
pendidik sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau murid (Sagala, 2003:
61). Konsep pembelajaran menurut Corey dalam Sagala (2003: 61) adalah suatu
proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan
ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi khusus atau menghasilkan
respons terhadap situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari
pendidikan. Mengajar menurut William H. Burton dalam Sagala (2003:61) adalah
upaya memberikan stimulus, bimbingan pengarahan, dan dorongan kepada siswa
agar terjadi proses belajar.
Pembelajaran dalam proses pendidikan adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran
merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu
dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan
kepercayaan pada peserta didik. Kata “Pembelajaran” adalah terjemahan dari
“Instruction”, yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat.
Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif holistik, yang
menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga
dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah
siswa mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media, seperti bahan-bahan
cetak, program televisi, gambar, audio, dan lain sebagainya, sehingga semua itu
mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar
23
mengajar, dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator dalam
belajar mengajar (Gagne dalam Sanjaya, 2008: 100).
Pembelajaran dari paparan di atas dapat diartikan sebagai suatu proses interaksi
antara guru atau pendidik dengan siswa atau peserta didik yang di dalamnya terdapat
kegiatan yang bertujuan agar terjadi proses belajar dengan ditandai adanya
perubahan tingkah laku pada diri peserta didik. Sisi lain pembelajaran mempunyai
pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi
yang berbeda. Pada konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat
belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang
ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan sikap (aspek
afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik, namun proses
pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan
pengajar saja. Sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara
pengajar dengan peserta didik.
Perencanaan diperlukan dalam sebuah pembelajaran, agar pembelajaran lebih efektif
dan terarah sesuai dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Perencanaan
pembelajaran yang baik perlu dilandasi oleh wawasan tentang prinsip-prinsip
terjadinya proses belajar. Ketidaksesuaian antara proses pembelajaran dengan
dengan prinsip-prinsip terjadinya proses belajar akan mengakibatkan kegagalan atau
bahkan menimbulkan situasi yang kontraproduktif. Sebaliknya, kesesuaian antara
proses pembelajaran dengan prinsip belajar atau terjadinya perubahan tingkah laku
24
akan mempermudah tercapainya tujuan pembelajaran, yakni terjadinya perubahan
tingkah laku yang diinginkan.
Penetapan tujuan pembelajaran merupakan syarat mutlak bagi guru dalam memilih
metode yang akan digunakan di dalam menyajikan materi pengajaran. Tujuan
pembelajaran merupakan sasaran yang hendak dicapai pada akhir pengajaran, serta
kemampuan yang harus dimiliki siswa. Sasaran tersebut dapat terwujud dengan
menggunakan metode-metode pembelajaran (Yamin, 2009: 147).
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “Mimetic”, yang menuntut siswa
untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk
laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada
ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke
keseluruhan (Budiningsih, 2005: 28). Di sisi lain pembelajaran mempunyai
pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi
yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat
belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang
ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan sikap (aspek
afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik, namun proses
pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan
pengajar saja.
25
Teori-teori yang menjelaskan proses pembelajaran cukup beragam, beberapa teori
pembelajaran tersebut diantaranya sebagai berikut:
a. Teori Belajar Kontruktivisme
Lebih dua dasawarsa terakhir ini, dunia pendidikan mendapat sumbangan pemikiran
dari teori konstruktivisme sehingga banyak negara mengadakan perubahan-
perubahan secara mendasar terhadap sistem dan praktik pendidikan mereka,
termaksut kurikulum. Herpratiwi, (2009: 71) mengatakan bahwa dalam teori
konstruktivisme siswa harus menemukan sendiri dari mentransformasikan informasi
kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya
apabila aturan-aturan itu tidak sesuai. Bagi siswa agak benar-benar memahami dan
dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah,
menemukan segala sesuatu untuk dirinya.
Prinsip-prinsip kontruktivisme adalah pengetahuan dibina secara aktif oleh siswa,
siswa bukan menerima pasif pengetahuan, siswa pembina aktif struktur pengetahuan,
siswa mencoba membuat pemahaman tentang pengalaman baru mereka dan
fenomena dengan cara membentuk/membina makna tentang perkara tersebut. Prinsip
konstruktivisme memandang bahwa pembelajaran dilihat sebagai pengubah ide,
pembinaan dan penerimaan ide baru dan penstrukturan semula ide yang sudah
tersedia. Pandangan konstruktivisme melihat bahwa siswa membina dan bukan
menerima ide tersebut siswa menjalankan secara aktif makna dari pada setiap satu
pengalaman yang dilalui.
26
b. Teori belajar humanistik
Dalam teori belajar humanistik proses belajar harus berhulu dan bermuara pada
manusia itu sendiri. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingya isi dari proses
belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan
proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih
tertarik pada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada belajar seperti
apa adanya, seperti apa yang bisa kita amati dalam dunia keseharian. Teori apapun
dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai
aktualisasi diri dan sebagainya) dapat tercapai (Uno, 2006: 13).
Menurut Uno (2006: 13) mengemukakan bahwa pada teori belajar humanistik,
belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya
sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu
mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha
memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang
pengamatnya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan
dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka
sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-
potensi yang ada dalam diri mereka. Menurut hemat kami, Teori Belajar Humanistik
adalah suatu teori dalam pembelajaran yang mengedepankan bagaimana
memanusiakan manusisa serta peserta didik mampu mengembangkan potensi
dirinya.
27
Abraham Maslow dan Carl Rogers termasuk kedalam tokoh kunci humanisme.
Tujuan utama dari humanisme dapat dijabarkan sebagai perkembangan dari
aktualisasi diri manusia automomous. Teori humanisme menjelaskan bahwa belajar
adalah proses yang berpusat pada pelajar dan dipersonalisasikan, dan peran pendidik
adalah sebagai seorang fasilitator.
Afeksi dan kebutuhan kognitif adalah kuncinya, dan goalnya adalah untuk
membangun manusia yang dapat mengaktualisasikan diri dalam lingkungan yang
kooperatif dan suportif. Dijelaskan juga bahwa pada hakekatnya setiap manusia
adalah unik, memiliki potensi individual dan dorongan internal untuk berkembang
dan menentukan perilakunya. Oleh karena itu, setiap diri manusia adalah bebas dan
memiliki kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang mencapai aktualisasi diri.
c. Teori pembelajaran sosial
Teori belajar sosial ialah pandangan para pakar psikologi yang menekankan perilaku,
lingkungan dan kognisi sebagai faktor dalam perkembangan. Teori pembelajaran
sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional
(behavioristik).
Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Bandura (2006:78). Teori ini
menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar perilaku, tetapi
memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat-isyarat perubahan
perilaku dan pada proses-proses mental internal. Jadi dalam teori pembelajaran sosial
kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforcement eksternal dan
28
penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari
orang lain.
Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan
pada seseorang secara kebetulan, lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan
diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura (2006:80)
mengemukakan bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara
selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari pembelajaran sosial adalah
pemodelan (modeling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling
penting dalam pembelajaran terpadu.
Konsep motivasi belajar berkaitan erat dengan prinsip bahwa perilaku yang
memperoleh penguatan (reinforcement) di masa lalu lebih memiliki kemungkinan
diulang dibandingkan dengan perilaku yang tidak memperoleh penguatan atau
perilaku yang terkena hukuman (punishment). Dalam kenyataannya, daripada
membahas konsep motivasi belajar, penganut teori perilaku lebih memfokuskan pada
seberapa jauh siswa telah belajar untuk mengerjakan pekerjaan sekolah dalam rangka
mendapatkan hasil yang diinginkan
Melihat uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran adalah proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan
belajar yang meliputi guru dan siswa yang saling bertukar informasi, pembelajaran
merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu
dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan
29
kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pengertian pembelajaran adalah
proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Di sisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran,
tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan,
guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga
mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi
perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang
peserta didik, namun proses pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan
satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja. Sedangkan pembelajaran menyiratkan
adanya interaksi antara pengajar dengan peserta didik.
2.1.3 Pendekatan Saintifik
Pendekatan saintifik pada implementasi kurikulum 2013 dalam pembelajaran
meruapakan suatu cara atau mekanisme untuk mendapatkan pengetahuan dengan
prosedur yang didasarkan pada suatu metode ilmiah. Metode ilmiah merujuk pada:
(1) adanya fakta, (2) sifat bebas prasangka, (3) sifat objektif, (4) adanya analisi.
Dengan metode ilmiah diharapkan kita mempunyai sifat kecintaan pada kebenaran
yang objektif, tidak gampang percaya pada hal-hal yang tidak rasional, ingin tahu,
tidak mudah membuat prasangka dan selalu optimis (Permendiknas, 2013:161).
Pendekatan saintifik dalam proses pembelajaran dirancang sedemikian rupa agar
peserta didik secara aktif mengonstruck konsep, hukum atau prinsip melalui tahapan-
tahapan mengamati (untuk mengidentifikasi atau menemukan masalah),
merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan Hipotesis, mengumpulkan data
30
dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan dan
mengomunikasikan konsep, hukum atau prinsip yang ditemukan.
Penerapan pendekatan saintifik memerlukan langkah-langkah pokok, yaitu
Mengamati, Menanya, Menalar, Mencoba dan Membentuk Jejaring. Metode saintifik
sangat relevan, dengan tiga teori belajar, yaitu teori Bruner, teori Piaget, dan teori
Vygotsky. Teori belajar Bruner disebut juga teori belajar penemuan. Ada empat hal
pokok berkaitan dengan teori belajar Bruner dalam Hosnan (2014: 35). Pertama,
individu hanya belajar dan mengembangkan pikiranya apabila ia menggunakan
pikirannya. Kedua, dengan melakukan proses-proses kognitif dalam proses
penemuan, siswa akan memperoleh sensasi dan kepuasan intelektual yang
merupakan suatu penghargaan intrinsik. Ketiga, satu-satunya cara agar seseorang
dapat mempelajari teknik-teknik dalam melakukan penemuan adalah ia memiliki
kesempatan untuk melakukan penemuan. Keempat, dengan melakukan penemuan
maka akan memperkuatretensi ingatan. Empat hal diatas adalah bersesuaian dengan
proses kognitif yang diperlukan dalam pembelajaran menggunakan metode saintifik.
Teori Piaget, menyatakan bahwa belajar berkaitan dengan pementukan dan
perkembangan skema (jamak/skemata). Sedangkan Vygotsky, dalam teorinya
menyatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila peserta didik bekerja atau belajar
menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada
dalam jangkauan kemampuan atau tugas itu berada dalam zone of proximal
development daerah terletak antara tingkat perkembangan anak saat ini yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
31
dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu (Nur dan Wikandari dalam Hosnan,
2014: 35).
Menurut Hosnan (2014: 36), pembelajaran dengan metode saintifik memiliki
karakteristik sebagai berikut:
a. Berpusat pada siswa.
b. Melibatkan keterampilan proses sains dalam mengontruksi konsep, hukum
atau prinsip.
c. Melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang
perkembangan intelek, khususnya keterampilan, berfikir tingkat tinggi
siswa.
d. Dapat mengembangkan karakter siswa.
Adapun tujuan pembelajaran dengan pendekatan saintifik didasarkan pada
keunggulan pendekatan tersebut. Beberapa tujuan pembelajaran dengan pendekatan
saintifik Menurut Hosnan (2014: 37) adalah sebagai berikut:
a. Untuk meningkatkan kemampuan intelek, khususnya kemampuan
berfikir tingkat tinggi siswa.
b. Untuk membentuk kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu
masalah secara sistematik.
c. Terciptanya kondisi pembelajaran dimana siswa merasa bahwa belajar
itu merupakan suatu kebutuhan.
d. Diperolehnya hasil belajar yang tinggi.
e. Untuk melatih siswa dalam mengomunikasikan ide-ide, khususnya
dalam menulis artikel ilmiah.
f. Untuk mengembangkan karakter siswa.
2.1.4 Proses Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik dalam Outdoor Study
Langkah-langkah pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam proses
pembelajaran pada kurikulum 2013 meliputi: menggali informasi melalui
observasing/pengamatan, questioning/bertanya, experimenting/percobaan, kemudian
mengolah data atau informasi, menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan
32
menganalisis, associating/menalar, kemudian menyimpulkan, dan mencipta dan serta
membentuk jaringan/networking. Langkah-langkah dalam pendekatan saintifik juga
harus dijiwai oleh perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah
lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan proaktif) dan
menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan bangsa
dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam
menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. (Kemendiknas,
2013: 169)
Hosnan (2014: 38) mengemukakan bahwa pendekatan ilmiah/scientific approach
mempunyai kriteria proses pembelajaran sebagai berikut:
a. Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan
dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan,
legenda, atau dongeng semata.
b. Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari
prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang
menyimpang dari alur berfikir logis.
c. Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analistis, dan tepat
dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan
mengaplikasikan materi pembelajaran.
d. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berfikir hipotetik dalam melihat
perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran.
e. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan dan
mengembangkan pola berfikir yang rasional dan objektif dalam merespons
materi pembelajaran.
f. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat
dipertanggungjawabkan.
g. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik
sistem penyajiannya.
33
Kemendiknas (2013: 169) proses pembelajaran menyentuh tiga ranah, yaitu
attitude/sikap, knowledge/pengetahuan, dan skill/keterampilan (KSA = Knowledge,
Skill and Attitude).
a. Ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar
peserta didik „„tahu mengapa‟‟.
b. Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar
agar peserta didik „„tahu bagaimana‟‟.
c. Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar
agar peserta didik „„tahu apa‟‟.
d. Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan
untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang
memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup layak (hard skill) dari
peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, pengetahuan dan
keterampilan.
e. Hasil belajar melahirkan peserta didik yang produktif, kreatif, inovatif,
dan afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang
terintegrasi.
Bentuk kegiatan pembelajaran melalui pendekatan scientific terdapat pada tabel:
Tabel 2.1 Kegiatan Pembelajaran Menggunakan Pendekatan Scientific
Kegiatan Aktivitas Belajar Outdoor Study
Mengamati
(observasing)
Melihat, mengamati, membaca,
mendengar, menyimak (tanpa dan
dengan alat).
a. Membaca dari berbagai sumber
belajar yang berkaitan dengan
materi
b. Mengamati benda-benda
peninggalan pra Sejarah
Menanya
(questioning)
Mengajukan pertanyaan dari yang
faktual sampai ke yang bersifat
hipotesis; diawali dengan bimbingan
guru sampai dengan mandiri (menjadi
suatu kebiasaan).
Mengajukan pertanyaan yang
berkaitan dengan materi yang
disampaikan
Pengumpulan
Data
(experimenting)
Menentukan data yang diperlukan
dari pertanyaan yang diajukan,
menentukan sumber data (benda,
dokumen, buku, experimen),
mengumpulkan data.
Mengumpulkan dan mencatat
data/informasi tentang materi yang
sedang dipelajari
Mengasosiasi
(associating)
Menganalisis data dalam bentuk
membuat kategori, menentukan
hubungan data/ kategori,
menyimpulkan dari hasil analisis
data; dimulai dari unstructured-uni,
structure-multistructure sructure.
a. Berdiskusi dan memberikan
kesimpulan tentang materi yang
dipelajari atau yang telah dicatat
selama pengamatan
b. Mengevaluasi materi yang
dipelajari
34
Kegiatan Aktivitas Belajar Outdoor Study
Mengomunikasi
kan
Menyampaikan hasil konseptualisasi
dalam bentuk lisan, tulisan, diagram,
bagan, gambar atau media lainya.
a. Menyampaikan hasil evaluasi dan
simpulan tentang materi
b. Mendiskusikan hasil laporan
Sumber: Hosnan, 2014: 39
Pada implementasi kurikulum 2013 menurut (Kemendiknas, 2013: 171), aktivitas
guru dalam kegiatan pembelajaran adalah:
1. Menyediakan sumber belajar,
2. Mendorong siswa berinteraksi dengan sumber belajar (menugaskan),
3. Mengajukan pertanyaan agar siswa memikirkan hasil interaksinya,
4. Memantau persepsi dan proses berpikir siswa serta memberikan scaffodling,
5. Mendorong siswa berdialog/ berbagi hasil pemikiranya,
6. Mengkonfirmasi pemahaman yang diperoleh, dan
7. Mendorong siswa untuk merefleksikan pengalaman belajarnya.
2.1.5 Penilaian Autentik dalam Kurikilum 2013
Asesmen autentik adalah pengukuran yang bermakna secara signifikan atas hasil
belajar peserta didik untuk ranah sikap, keterampilan dan pengetahuan. Penilaian
dalam kurikulum 2013 mengacu pada kemendiknas Nomor 66 tahun 2013 tentang
Standar Penilaian Pendidikan. Standar Penilaian bertujuan untuk menjamin: (1)
perencanaan penilaian peserta didik sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai dan
berdasarkan prinsip-prinsip penilaian, (2) pelaksanaan penilaian peserta didik secara
profesional, terbuka, edukatif, efektif, efisien, dan sesuai dengan konteks sosial
budaya; dan (3) pelaporan hasil penilaian peserta didik secara objektif, akuntabel,
dan informatif. Standar penilaian pendidikan ini disusun sebagai acuan penilaian
bagi pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah pada satuan pendidikan untuk
jenjang pendidikan dasar dan menengah.
35
Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk
mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencakup: penilaian autentik,
penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah
semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat
kompetensi, ujian nasional, dan ujian sekolah/madrasah.
Salah satu penekanan dalam kurikulum 2013 adalah penilaian autentik (authentic
assessment). Menurut Wiggins dalam Kemendiknas (2013: 229) mendefinisikan
asesmen autentik sebagai upaya pemberian tugas kepada peserta didik yang
mencerminkan prioritas dan tantangan yang ditemukan dalam aktivitas-aktivitas
pembelajaran, seperti meneliti, menulis, merevisi dan membahas artikel,
memberikan analisa oral terhadap peristiwa, berkolaborasi dengan antarsesama
melalui debat dan sebagainya. Pada asesmen autentik guru menerapkan kriteria yang
berkaitan dengan konstruksi pengetahuan, kajian keilmuan dan pengalaman yang
dipeoleh dari luar sekolah. Asesmen autentik menggabungkan kegiatan guru
mengajar dan kegiatan siswa belajar, motivasi dan keterlibatan peserta didik serta
keterampilan belajar. Penilaian itu merupakan bagian dari proses pembelajaran, guru,
dan peserta didik bebagi pemahaman tentang kriteria kinerja. Asesmen autentik
digambarkan sebagai penilaian atas perkembangan peserta didik karena berfokus
pada kemampuan mereka berkembang untuk belajar bagaimana belajar tentang
subjek. Asesmen autentik harus mampu menggambarkan sikap, keterampilan dan
pengetahuan apa yang sudah atau belum dimiliki oleh peserta didik, bagaimana
36
mereka menerapkan pengetahuannya dalam hal apa mereka sudah atau belum
mampu menerapkan perolehan belajar.
Ciri-ciri penilaian autentik menurut Kunandar (2013: 38) adalah sebagai berikut:
1. Harus mengukur semua aspek pembelajaran, yakni kinerja dan hasil atau
produk. Artinya dalam melakukan penilaian terhadap peserta didik harus
mengukur aspek kinerja (performance) dan produk atau hasil yang
dikerjakan oleh peserta didik.
2. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.
3. Menggunakanberbagai cara dan sumber.
4. Tes hanya salah satu alat pengumpul data.
5. Tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik harus mencerminkan
bagian-bagian kehidupan peserta didik yang nyata setiap hari, mereka
harus dapat menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka
lakukan setiap hari.
6. Penialaian harus menekankan kedalaman pengetahuan dan keahlian
peserta didik, bukan keluasannya (kuantitas).
Hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi didik dalam penilaian
autentik adalah Proyek atau Penugasan dan Laporannya, Hasil Tes Tertulis,
Portofolio, Pekerjaan Rumah, Kuis, Karya Peserta Didik, Presentasi, Demonstrasi,
Laporan, Jurnal, Karya Tulis, Kelompok Diskusi dan Wawancara.
2.1.6 Ruang Lingkup, Teknik dan Instrumen Penilaian Autentik
2.1.6.1 Ruang Lingkup Penilaian Autentik
Penilain hasil belajar peserta didik mencakup kompetensi sikap, pengetahuan dan
keterampilan yang dilakukan secara berimbang sehingga dapat digunakan untuk
menentukan posisi relatif setiap peserta didik terhadap standar yang telah ditetapkan.
37
2.1.6.2 Teknik dan Instrumen Penilaian Autentik
Teknik dan instrumen yang digunakan untuk penilaian kompetensi sikap,
pengetahuan dan keterampilan adalah sebagai berikut:
1) Penilaian Kompetensi Sikap. Pendidik melakukan penilaian kompetensi sikap
melalui observasi, penilaian diri, penilaian teman sejawat (peer evaluation) oleh
peserta didik dan jurnal. Instrumen yang digunakan untuk observasi, penilaian
diri, dan penilaian antarpeserta didik adalah daftar cek atau skala penilaian
(rating scale) yang disertai rubrik, sedangkan pada jurnal berupa catatan
pendidik.
Tabel 2.2 Contoh Format Lembar Pengamatan Sikap Peserta Didik
No. Nama Sikap
a b c d e f g h i j k l
1
2
3
4
5
(Sumber: Hosnan, 2014: 421)
Keterangan:
a. Keterbukaan
b. Ketekunan belajar
c. Kerajinan
d. Tenggang Rasa
e. Kedispilan
f. Kerja Sama
g. Ramah dengan Teman
h. Hormat pada Orang Tua
i. Kejujuran
j. Menepati Janji
k. Kepedulian
l. Tanggung Jawab
38
Skala nilai sikap dibuat dengan rentang antara 1 s/d 5.
1 = sangat kurang
2 = kurang konsisten
3 = mulai konsisten
4 = konsisten
5 = selalu konsisten
(Sumber: Hosnan, 2014:406) 2) Penilaian Kompetensi Pengetahuan. Pendidik menilai kompetensi pengetahuan
melalui tes tulis, tes lisan, dan penugasan. Instrumen tes tulis berupa soal pilihan
ganda, isian, jawaban singkat, benar-salah, menjodohkan, dan uraian. Instrumen
uraian dilengkapi pedoman penskoran. Instrumen tes lisan berupa daftar
pertanyaan.
3) Penilaian Kompetensi Keterampilan. Pendidik menilai keterampilan melalui
penilaian kinerja, yaitu penilaian yang menuntut peserta didik
mendemostrasikan suatu kompetensi tertentu dengan menggunakan tes praktik,
proyek dan penilaian portopolio. Insrumen yang digunakan berupa daftar cek
atau skala penilaian (rating scale).
Tabel 2.3 Contoh Teknik Penilaian Proyek
Mata Pelajaran :
Nama Proyek :
Alokasi Waktu :
Guru Pembimbing :
Nama :
Nis :
Kelas :
Penilaian Proyek
No. Aspek Skor (1-5)
1 2 3 4 5
1 Perencanaan:
a. Persiapan
b. Rumusan judul
2 Pelaksanaan:
a. Sistematika penulisan
b. Keakuratan sumber
data/informasi
c. Kuantitas sumber data
d. Analisis data
e. Penarikan kesimpulan
3 Laporan Proyek:
a. Performans
b. Presentasi/Penugasan
Total Skor
(Sumber: Hosnan, 2014:405)
39
Penilaian proyek berfokus pada perencanaan, pengerjaan dan produk proyek. Selama
mengerjakan sebuah proyek pembelajaran, siswa memperoleh kesempatan untuk
mengaplikasikan sikap, keterampilan dan pengetahuannya. Oleh karena itu, pada
setiap penilain proyek, setidaknya ada tiga hal yang memerlukan perhatian khusus
dari guru.
a. Keterampilan siswa dalam memilih topik, mencari dan mengumpulkan data,
mengolah dan menganalisis, memberi makna atas informasi yang diperoleh
dan menulis laporan.
b. Kesesuaian atau relevansi materi pembelajaran dengan pengembangan sikap,
keterampilan, dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh siswa.
c. Orijinalitas atas keaslian sebuah proyek pembelajaran yang dikerjakan atau
dihasilkan oleh siswa.
2.2 Minat Belajar Siswa dalam Kontruksi Pembelajaran Sejarah
Minat merupakan sifat yang relatif menetap pada diri seseorang. Minat besar sekali
pengaruhnya terhadap kegiatan seseorang sebab dengan minat ia akan melakukan
sesuatu yang diminatinya. Sebaliknya tanpa minat seseorang tidak mungkin
melakukan sesuatu. Sedangkan pengertian minat secara istilah telah banyak
dikemukakan oleh para ahli, di antaranya yang dikemukakan oleh Hilgard yang
dikutip oleh Slamento (2001: 57) menyatakan “Interest is persisting tendency to pay
attention to end enjoy some activity and content.
Sadiman A. M. (2007: 6) berpendapat bahwa minat diartikan sebagai suatu kondisi
yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang
dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhannya sendiri.
Sedangkan menurut Pasaribu dan Simanjuntak (2003: 52) mengartikan minat sebagai
suatu motif yang menyebabkan individu berhubungan secara aktif dengan sesuatu
40
yang menariknya. Selanjutnya menurut Daradjat, dkk (2005: 133) mengartikan minat
adalah kecenderungan jiwa yang tetap ke jurusan sesuatu hal yang berharga bagi
orang.
Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli seperti yang dikutip
di atas dapat disimpulkan bahwa, minat adalah kecenderungan seseorang terhadap
obyek atau sesuatu kegiatan yang digemari yang disertai dengan perasaan senang,
adanya perhatian, dan keaktifan berbuat.
Menurut Wuryani (2002: 408). Prestasi belajar merupakan hasil yang diperoleh
siswa setelah melalui beberapa proses belajar untuk mengetahui sesuatu yang belum
diketahuinya, dan hanya dengan belajar maka ia akan dapat mengetahui, mengerti,
dan memahami sesuatu dengan baik. Prestasi belajar adalah hasil yang diberikan
oleh guru kepada siswa dalam jangka waktu tertentu sebagai hasil perbuatan belajar.
selanjutnya menurut Maslow (2004: 59-62) Prestasi belajar sebagai lambang pemuas
hasrat ingin tahu. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa para ahli psikologi biasanya
menyebutkan hal ini sebagai tendensi keingintahuan dan merupakan kebutuhan
umum pada manusia, termasuk kebutuhan anak di dalam suatu program pendidikan.
Adapun Tingkat prestasi menurut Djamarah (2000: 18) tingkat prestasi siswa secara
umum dapat dilihat pencapaian (penguasaan) siswa terhadap materi pembelajaran.
Apabila bahan pelajaran yang diajarkan kurang dari 65% yang dikuasai oleh siswa
peserta didik maka persentase keberhasilan siswa pada mata pelajaran tersebut
tergolong rendah.
41
Sebagaimana dipahami bersama, banyak faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar Menurut Thabrany (2004: 21-41) berupa; kecerdasan, minat (motivasi),
konsentrasi, kesehatan jasmani, ambisi dan tekad, lingkungan, cara belajar,
perlengkapan, sifat-sifat negatif. Sedangkan Slamento (2001: 96). Lingkungan
sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan yang tinggi dari warga
sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang berpusat pada siswa
merupakan iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa
Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi
atau keinginan yang besar terhadap sesuatu (Syah, 2011: 152). Minat merupakan
suatu dorongan yang kuat dalam diri seseorang terhadap sesuatu. Minat adalah rasa
lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang
menyuruh (Slamento, 2001: 121). Minat dapat timbul dengan sendirinya, yang
ditengarai dengan adanya rasa suka terhadap sesuatu. Minat adalah sumber motivasi
yang mendorong seseorang untuk melakukan apa yang ingin dilakukan ketika bebas
memilih. Ketika seseorang menilai bahwa sesuatu akan bermanfaat, maka akan
menjadi berminat, kemudian hal tersebut akan mendatangkan kepuasan. Ketika
kepuasan menurun maka minatnya juga akan menurun. Sehingga minat tidak bersifat
permanen, tetapi minat bersifat sementara atau dapat berubah-ubah (Hurlock dalam
Slamento, 2001: 122).
Minat merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan yang
nantinya dapat mendatangkan kepuasan, yang mana kepuasan itu akan
mempengaruhi kadar minat seseorang. Suatu aktivitas akan dilakukan atau tidak
42
sangat bergantung pada minat seseorang terhadap aktivitas tersebut. Di sini nampak
bahwa minat merupakan motivator yang kuat untuk melakukan suatu aktivitas
(Sandjaja dalam Slamento, 2001: 123). Minat memungkinkan seseorang untuk
melakukan suatu aktivitas, karena minat merupakan dorongan yang paling kuat dari
dalam diri seseorang. Besar kecilnya minat, akan sangat berpengaruh terhadap
aktivitas seseorang. Melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan yang nantinya dapat
mendatangkan kepuasan, yang mana kepuasan itu akan mempengaruhi kadar minat
seseorang. Suatu aktivitas akan dilakukan atau tidak sangat bergantung pada minat
seseorang terhadap aktivitas tersebut. Di sini nampak bahwa minat merupakan
motivator yang kuat untuk melakukan suatu aktivitas (Sandjaja dalam Slamento
2001: 123).
Minat memungkinkan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas, karena minat
merupakan dorongan yang paling kuat dari dalam diri seseorang. Besar kecilnya
minat, akan sangat berpengaruh terhadap aktivitas seseorang Minat adalah bentuk
dari motivasi intrinsik. Pengaruh positif minat akan membuat seseorang tertarik
untuk bereksperimen seperti merasakan kesenangan, kegembiraan dan kesukaan
(Hidi, Derson dan Ormrod dalam Slamento, 2001: 124). Minat merupakan dorongan
dari dalam diri seseorang yang mampu membuat seseorang ingin merasakan hal-hal
yang menyenangkan. Seseorang yang memiliki minat terhadap apa yang dipelajari
lebih dapat mengingatnya dalam jangka panjang dan menggunakannya kembali
sebagai sebuah dasar untuk pembelajaran di masa yang akan datang (Garner dan
Ormrod dalam Slamento 2001: 125). Dengan adanya minat, mampu memperkuat 10
43
ingatan seseorang terhadap apa yang telah dipelajarinya, sehingga dapat dijadikan
sebagai fondasi seseorang dalam proses pembelajaran di kemudian hari. Minat
merupakan kecenderungan seseorang yang berasal dari luar maupun dalam sanubari
yang mendorongnya untuk merasa tertarik terhadap suatu hal sehingga mengarahkan
perbuatannya kepada suatu hal tersebut dan menimbulkan perasaan senang.
Safari dalam Slamento (2001: 126) mengemukakan bahwa ada empat indikator
minat, yaitu: a. perasaan senang, b. ketertarikan siswa, c. Perhatian siswa, dan
d. keterlibatan siswa. Masing-masing indikator tersebut sebagai berikut:
a. Perasaan Senang
Seorang siswa yang memiliki perasaan senang atau suka terhadap suatu mata
pelajaran, maka siswa tersebut akan terus mempelajari ilmu yang disenanginya.
Tidak ada perasaan terpaksa pada siswa untuk mempelajari bidang tersebut.
b. Ketertarikan Siswa
Berhubungan dengan daya gerak yang mendorong untuk cenderung merasa tertarik
pada orang, benda, kegiatan atau bisa berupa pengalaman afektif yang dirangsang
oleh kegiatan itu sendiri.
c. Perhatian Siswa
Perhatian merupakan konsentrasi atau aktivitas jiwa terhadap pengamatan dan
pengertian, dengan mengesampingkan yang lain dari pada itu. Siswa yang memiliki
minat pada objek tertentu, dengan sendirinya akan memperhatikan objek tersebut.
44
d. Keterlibatan Siswa
Ketertarikan seseorang akan suatu objek yang mengakibatkan orang tersebut senang
dan tertarik untuk melakukan atau mengerjakan kegiatan dari objek tersebut.
Minat seseorang tidak timbul secara tiba-tiba. Minat tersebut ada karena pengaruh
dari dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Kedua minat tersebut sebagai
berikut:
a. Faktor Internal
Faktor internal adalah sesuatu yang membuat siswa berminat, yang berasal dari
dalam diri sendiri. Faktor internal tersebut antara lain: pemusatan perhatian,
keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan (Syah, 2011: 152). Kelima faktor tersebut
sebagai berikut: Perhatian sangatlah penting dalam mengikuti kegiatan dengan baik,
dan hal ini akan berpengaruh pula terhadap minat siswa dalam belajar. Perhatian
dalam belajar yaitu pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas seseorang yang
ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek belajar (Suryabrata dalam Syah,
2011: 154).
Tingkah laku siswa ketika mengikuti proses belajar mengajar dapat mengindikasikan
akan ketertarikan siswa tersebut terhadap pelajaran itu atau sebaliknya, ia merasa
tidak tertarik dengan pelajaran tersebut. Ketertarikan siswa inilah yang merupakan
salah satu tanda-tanda minat belajar. Menurut M. Alisuf Sabri dalam Syah (2011:
157), minat belajar adalah kecenderungan untuk selalu memperhatikan dan
mengingat sesuatu secara terus menerus, minat belajar ini erat kaitannya dengan
perasaan senang, karena itu dapat dikatakan minat belajar itu terjadi karena sikap
45
senang kepada sesuatu, orang yang berminat belajar kepada sesuatu berarti ia
sikapnya senang kepada sesuatu.
Ahli lain mengatakan bahwa minat belajar adalah kecenderungan dan kegairahan
yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu (Syah, 2011: 160).
Sedangkan menurut Marimba dalam Syah (2011: 162), mengemukakan bahwa minat
belajar adalah kecenderungan jiwa kepada sesuatu, karena kita merasa ada
kepentingan dengan sesuatu itu, pada umumnya disertai dengan perasaan senang
akan sesuatu itu. Menegaskan pendapat tersebut, Shalahudin (2002: 95)
mengemukakan bahwa minat belajar adalah perhatian yang mengandung unsur-unsur
perasaan. Oleh karena itu, minat belajar sangat menentukan sikap yang
menyebabkan seseorang aktif dalam suatu pekerjaan, atau dengan kata lain, minat
belajar dapat menjadi sebab dari suatu kegiatan. Sedangkan menurut Crow dan Crow
dalam Shalahudin (2002: 97) mengemukakan bahwa minat belajar atau interest bisa
berhubungan dengan daya gerak yang mendorong kita untuk cendrung atau merasa
tertarik pada orang, benda, kegiatan, ataupun bisa berupa pengalaman yang efektif
yang dirangsang oleh kegiatan itu sendiri.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa minat
belajar akan timbul apabila mendapatkan rangsangan dari luar. Dan kecenderungan
untuk merasa tertarik pada suatu bidang bersifat menetap dan merasakan perasaan
yang senang apabila ia terlibat aktif didalamnya. Perasaan senang ini timbul dari
lingkungan atau berasal dari objek yang menarik.
46
2.3 Pembelajaran Sejarah
2.3.1 Pengertian Pembelajaran Sejarah
Pembelajaran menurut Reigeluth dalam Yamin (2009: 15) menyebutkan bahwa
pembelajaran adalah salah satu sub sistem dari sistem pendidikan, disamping
kurikulum, konseling, administrasi, dan evaluasi. Sedangkan menurut Yusufhadi
Miarso dalam Yamin (2009: 15) pembelajaran adalah suatu usaha yang di sengaja,
bertujuan, dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif
menetap pada diri orang lain, atau usaha yang dilakukan oleh pendidik untuk
membuat pelajar dapat belajar dan mencapai hasil belajar yang maksimal.
Pembelajaran adalah proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan
siswa dalam belajar bagaimana belajar memperoleh dan memproses pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap (Dimyati dan Mudjiono, 2010: 157). Sedangkan menurut
pendapat Dadang Sukirman dan Nana Jumhana dalam Dimyati dan Mudjiono (2010:
158) mengemukakan bahwa pembelajaran adalah suatu proses kegiatan yang ditata
dan diatur sedemikian rupa dengan didasarkan pada berbagai aspek baik menyangkut
aspek konsep hakikat pembelajaran, maupun ketentuan-ketentuan yuridis formal
yang mengatur pelaksanaan pendidikan pada umumnya dan pembelajaran secara
lebih khusus.
Rahyubi (2012: 233) mengemukakan bahwa “pembelajaran merupakan suatu sistem
yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berhubungan satu dengan yang
lain”. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar yang meliputi guru dan siswa yang
47
saling bertukar informasi. Menurut Wikipedia, pengertian pembelajaran merupakan
bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan
pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan
kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pengertian pembelajaran adalah
proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Di sisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran,
tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan,
guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga
mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi
perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang
peserta didik, namun proses pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan
satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja. Sedangkan pembelajaran menyiratkan
adanya interaksi antara pengajar dengan peserta didik.
2.3.2 Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran (instructional objective) adalah perilaku hasil belajar yang
diharapkan terjadi, dimiliki, atau dikuasai oleh peserta didik setelah mengikuti
kegiatan pembelajaran tertentu. Hal ini didasarkan berbagai pendapat tentang
makna tujuan pembelajaran atau tujuan instruksional.
Magner dalam Ariani (2009: 57) mendefinisikan tujuan pembelajaran sebagai tujuan
perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh peserta didik sesuai
kompetensi. Sedangkan Dejnozka dan Kavel dalam Ariani (2009: 58)
48
mendefinisikan tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan spefisik yang
dinyatakan dalam bentuk perilaku yang diwujudkan dalam bentuk tulisan yang
menggambarkan hasil belajar yang diharapkan.
Pengertian lain menyebutkan bahwa, tujuan pembelajaran adalah pernyataan
mengenai keterampilan atau konsep yang diharapkan dapat dikuasai oleh peserta
didik pada akhir priode pembelajaran (Slavin dalam Ariani, 2009: 60). Tujuan
pembelajaran merupakan arah yang hendak dituju dari rangkaian aktivitas yang
dilakukan dalam proses pembelajaran. Tujuan pembelajaran dirumuskan dalam
bentuk perilaku kompetensi spesifik, aktual, dan terukur sesuai yang diharapkan
terjadi, dimiliki, atau dikuasai siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran
tertentu.
Penyusunan Tujuan Pembelajaran
Penyusunan tujuan pembelajaran merupakan tahapan penting dalam rangkaian
pengembangan desain pembelajaran. Dari tahap inilah ditentukan apa dan bagaimana
harus melakukan tahap lainnya. Apa yang dirumuskan dalam tujuan pembelajaran
menjadi acuan untuk menentukan jenis materi pembelajaran, strategi pembelajaran,
metode pembelajaran, dan media pembelajaran yang akan digunakan dalam proses
pembelajaran. Tanpa tujuan yang jelas, pembelajaran akan menjadi kegiatan tanpa
arah, tanpa fokus, dan menjadi tidak efektif.
Pengertian pembelajaran jika disimpulkan dari beberapa ahli tersebut menghasilkan
kesimpulan bahwa pembelajaran merupakan sebuah proses atau sebuah kegiatan
49
yang di dalamnya terdapat konsep yang digunakan untuk memberikan pelajaran
mengenai pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang sebelumnya dirancang terlebih
dahulu dalam sebuah perencanaan. Dari proses tersebut diharapkan dapat mencapai
sebuah tujuan dan hasil belajar yang maksimal dalam dunia pendidikan.
Pada tingkat SMA/MA pembelajaran Sejarah diartikan sebagai suatu sistem belajar
mengajar Sejarah. Pembelajaran Sejarah berkaitan dengan teori-teori keSejarahan.
Berbeda dengan ilmu Sejarah, pembelajaran Sejarah atau mata pelajaran Sejarah
dalam kurikulum sekolah memang tidak secara khusus bertujuan untuk memajukan
ilmu atau untuk menciptakan calon ahli Sejarah, karena penekanannya dalam
pengajaran Sejarah tetap terkait dengan tujuan pendidikan pada umumnya yaitu ikut
membangun kepribadian dan sikap mental siswa. Sutrisno Kuntoyo dalam Hasan
(2007: 107) menyatakan bahwa kesadaran Sejarah paling efektif diajarkan melalui
pendidikan formal. Hasan berpendapat, terdapat beberapa pemaknaan terhadap
pendidikan Sejarah.
Pertama, secara tradisional pendidikan Sejarah dimaknai sebagai upaya untuk
mentransfer kemegahan bangsa di masa lampau kepada generasi muda. Dengan
posisi yang demikian maka pendidikan Sejarah adalah wahana bagi pewarisan nilai-
nilai keunggulan bangsa. Melalui posisi ini pendidikan Sejarah ditujukan untuk
membangun kebanggaan bangsa dan pelestarian keunggulan tersebut.
Kedua, pendidikan Sejarah berkenaan dengan upaya memperkenalkan peserta didik
terhadap disiplin ilmu Sejarah. Oleh karena itu kualitas seperti berpikir kronologis,
50
pemahaman Sejarah, kemampuan analisis dan penafsiran Sejarah, kemampuan
penelitian Sejarah, kemampuan analisis isu dan pengambilan keputusan (historical
issues-analysis and decision making) menjadi tujuan penting dalam pendidikan
Sejarah (Hasan, 2007: 107).
Sejarah sebagai ilmu mengandung syarat-syarat ilmiah yang harus dipenuhi sebagai
disiplin ilmu tertentu. Persepsi tentang Sejarah harus jelas bagi guru yang
mengajarkan Sejarah sebagai mata pelajaran. Tujuan Sejarah berbeda dengan tujuan
pengajaran Sejarah. Tujuan Sejarah dapat bersifat filosofis, tetapi pengajaran Sejarah
mempunyai tujuan tertentu dalam rangka pendidikan atau bersifat didaktis. Harus
disadari bahwa mata pelajaran-mata pelajaran tidak harus bersifat ilmu murni,
apalagi untuk pendidikan tingkat dasar dan menengah. Mata pelajaran sebagai alat
mengabdi kepada tujuan pendidikan yang multi-aspek. Meskipun demikian, Sejarah
sebagai mata pelajaran tidak mengabaikan prinsip-prinsip keilmuan, konsep dasar
dan prinsip keilmuan (Siswanto dan Sukamto dalam Hasan, 2007: 109).
Pembelajaran Sejarah merupakan perpaduan antara pembelajaran itu sendiri dan
ilmu Sejarah, yang mana keduanya tetap memperhatikan tujuan pendidikan secara
umum. Pemerintah sebagai pemegang otoritas pendidikan berpendapat
tentang tujuan dari mata pelajaran Sejarah melalui Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi tang tercantum dalam lampiran Peraturan
Menteri ini, bahwa mata pelajaran Sejarah bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut:
51
a. Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat
yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan.
b. Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta Sejarah secara benar
dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan.
c. Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan
Sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia di masa lampau.
d. Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa
Indonesia melalui Sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini
dan masa yang akan datang.
e. Menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa
Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat
diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun
internasional.
Pengajaran Sejarah penting dalam pembentukan jiwa patriotisme dan rasa
kebangsaan. Suatu pengetahuan Sejarah yang ditunjang pengalaman praktis warga
negara yang baik di sekolah membantu memperkuat loyalitas dan membantu anak-
anak menemukan dirinya dengan latar belakang Sejarah luas. Rowse dalam Hasan
(2007: 113) menegaskan bahwa Sejarah adalah suatu mata pelajaran yang bernilai
pendidikan tinggi. Sementara itu Collingwod dalam Hasan (2007: 115) mengatakan
bahwa nilai Sejarah adalah mengajarkan kepada kita tentang manusia dan apa yang
telah dilakukannya. Pada konteks pembentukan identitas nasional, pengetahuan
Sejarah mempunyai fungsi fundamental.
52
Menurut Hamid Hasan dalam Kongres Nasional Sejarah tahun 2006, secara
tradisional tujuan kurikulum pendidikan Sejarah selalu diasosiasikan dengan tiga
pandangan, yaitu:
a. Perenialisme yang memandang bahwa pendidikan Sejarah haruslah
mengembangkan tugas sebagai wahana “transmission of culture”. Pengajaran
Sejarah hendaklah diajarkan sebagai pengetahuan yang dapat membawa siswa
kepada penghargaan yang tinggi terhadap “the glorius past”. Kurikulum
Sejarah diharapkan dapat mengembangkan kemampuan anak didik dan
generasi penerus untuk mampu menghargai hasil karya agung bangsa di mada
lampau, memupuk rasa bangga sebagai bangsa, rasa cinta tanah air, persatuan
dan kesatuan nasional.
b. Esensialisme, menurut pandangan ini, kurikulum Sejarah haruslah
mengembangkan pendidikan Sejarah sebagai pendidikan disiplin ilmu dan
bukan hanya terbatas pada pendidikan pengetahuan Sejarah. Dalam pandangan
aliran esensialisme, siswa yang belajar Sejarah harus diasah kemampuan
intelektualnya sesuai dengan tradisi intelektual Sejarah sebagai disiplin ilmu.
Kemampuan intelektual keilmuan antara lain menghendaki kemampuan
berfikir kritis dan analitis terutama dikaitkan dalam konteks berfikir yang
didasarkan filsafat keilmuan.
c. Rekonstruksi sosial, pandangan ini menganggap bahwa kurikulum pendidikan
Sejarah haruslah diarahkan pada kajian yang mengangkut kehidupan masa kini
dengan problema masa kini. Pengetahuan Sejarah diharapkan dapat membantu
53
siswa mengkaji masalah untuk memecahkan permasalahan. Kecenderungan-
kecenderungan yang terjadi dalam Sejarah masa lampau sebagai pelajaran
yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan siswa masa kini (Hasan, 2007: 138-
139).
Namun klasifikasi seperti pandangan di atas tidak perlu dijadikan pegangan mutlak
dan terpisah oleh para pengembang kurikulum Sejarah. Sebagai wahana pendidikan,
kurikulum Sejarah harus diarahkan untuk mencapai berbagai tujuan seperti
pengembangan rasa kebangsaan, kebanggan atas prestasi gemilang masa lalu bangsa,
mampu menarik pelajaran dari peristiwa masa lampau untuk digunakan dalam
melanjutkan prestasi gemilang bangsa bagi kehidupan masa sekarang dan yang akan
datang (Hasan, 2007: 139).
Hal yang wajar terjadi perbedaan sudut pandang dalam memahami kenyataan sosial
termasuk dalam masalah Sejarah. Hal ini juga dikemukakan oleh Taufik Abdullah
dalam Hasan (2007: 140) bahwa Sejarah sebagai ingatan kolektif memberikan
keprihatinan sosial-kultural akan hasrat peneguhan integrasi. Dalam konteks ini,
terkaburlah batas-batas antara “kepastian Sejarah” dengan “kewajaran Sejarah”,
antara “apa yang sesungguhnya telah terjadi” dan “apa yang semestinya harus
terjadi”. Ungkapan lain untuk menjelaskan hal tersebut adalah terbaurlah hasil
rekonstruksi kritis terhadap sumber Sejarah dengan keinginan akan masa lalu sebagai
landasan kearifan masa kini.
54
Namun usaha untuk menjadikan Sejarah sebagai sumber inspirasi ataupun sebagai
landasan nilai merupakan hal yang sah, baik secara akademis maupun secara etis
(Taufik Abudullah dalam Hasan, 2007: 142). Pengajaran Sejarah lebih bersifat
“confluent” artinya dapat untuk mengembangkan berbagai ranah sekaligus. Ranah
kognisi, afeksi dan konasi secara bersama-sama membentuk “sikap keseluruhan”.
Aspek kognisi merupakan penggerak perubahan karena informasi yang diterima
menentukan perasaan dan kemauan untuk bertindak. Kognisi yang salah akan
menimbulkan afeksi dan konasi yang salah pula. Afeksi dan konasi yang benar
hanya dapat dihasilkan oleh kognasi yang benar (Mar‟at, 2002: 13). Ini berarti
bahwa pengajaran Sejarah yang salah akan menimbulkan sikap yang salah, palsu
atau munafik. Bila salah, maka tindakan lahirnya juga menghasilkan tindakan yang
salah.
Berfokus pada fungsi pengajaran Sejarah untuk meningkatkan proses penyadaran
diri, maka dua aspek didaktik Sejarah perlu ditonjolkan yaitu (1) segi teknik
penyampaian atau metodenya dan (2) segi substansialnya atau silabus. Kedua aspek
terdapat pengaruh timbal balik, keduanya bertalian dengan usia serta tingkat
pendidikan anak didik. Menurut Sartono Kartodirdjo dalam Hasan (2007: 120),
prinsip pemilihan substansi dalam didaktif Sejarah adalah
a. Pendekatan secara lokosentris, mulai dengan mengenal lokasi Sejarah di
sekitarnya
b. Pendekatan konsentris, mulai lingkungan dekat meluas ke lingkup nasional terus
ke Internasional
55
c. Temasentris yaitu pilihan tema tertentu yang menarik sekitar pahlawan atau
monumen, dan lain sebagainya
d. Kronologi: urutan kejadian menurut waktu
e. Tingkatan presentasi dari deskriptif-naratif ke deskriptif-analitis, mulai dari
cerita tentang “ bagaimana” terjadinya, sampai pada “mengapa”-nya
f. Sejarah garis besar dan menyeluruh
Tujuan mempelajari Sejarah tidaklah sama dengan tujuan Sejarah, menyangkut
persoalan didaktis dan juga filsafat. Tujuan pelajaran Sejarah merupakan bagian dari
tujuan pendidikan. Sejarah sebagai bahan pelajaran harus disusun searah dengan
dasar dan tujuan Pendidikan Nasional (Hugiono & Poerwantana, 2007: 88). Anak
didik harus mampu menemukan nilai-nilai yang ada pada materi Sejarah yang
dipelajarinya dan mampu merekonstruksi hubungan antar nilai-nilai yang terkandung
dalam materi pelajaran Sejarah tersebut, baik dalam konteks hubungan antar nilai-
nilai yang terdapat dalam materi Sejarah yang disampaikan secara parsial
maupun hubungannya dengan nilai-nilai yang terjadi saat ini. Sebab
pengalaman-pengalaman dalam Sejarah bukan hanya untuk diketahui, tetapi
diharapkan dapat dipakai untuk memperbaiki usaha-usaha di masa mendatang
(Hugiono & Poerwantana, 2007: 90).
Sejarahlah yang menjadi sumber inspirasi dan aspirasi generasi muda dengan
pengungkapan tokoh Sejarah dan berbagai bidang. Maka dari itu, Sejarah masih
relevan untuk dipakai menjadi perbendaharaan suri tauladan, berkorban untuk tanah
air, berdedikasi tinggi dalam pengabdian, tanggung jawab sosial besar, kewajiban
56
serta keterlibatan penuh dalam hal-ihwal bangsa dan tanah air. Sartono Kartodirdjo
dalam Hasan (2007: 121) berpendapat bahwa pembelajaran Sejarah berkedudukan
sangat strategis dalam pendidikan nasional sebagai “soko guru” dalam pembangunan
bangsa. Pembelajaran Sejarah perlu disempurnakan agar dapat berfungsi secara lebih
efektif, yaitu penyadaran warga negara dalam melaksanakan tugas kewajibannya
dalam rangka pembangunan nasional.
Tujuan pelajaran Sejarah Nasional ialah (a) membangkitkan, mengembangkan, serta
memelihara semangat kebangsaan; (b) membangkitkan hasrat mewujudkan cita-cita
kebangsaan dalam segala lapangan; (c) membangkitkan hasrat mempelajari Sejarah
kebangsaan dan mempelajarinya sebagai bagian dari Sejarah dunia; (d) menyadarkan
anak tentang cita-cita nasional untuk mewujudkan cita-cita itu sepanjang masa
(Moh. Ali dalam Hugiono & Poerwantana, 2007: 92).
Menurut Wahid Siswoyo dalam bukunya “Seminar Sejarah” yang dikutip oleh
Hugiono & Poerwantana (2007: 72), dikemukakan beberapa hal, antara lain:
a. Sejarah dapat menumbuhkan rasa nasionalisme.
b. Sejarah yang mempunyai fungsi pedagogis serta merupakan alat bagi
pendidikan membutuhkan pedoman atau pegangan yang dapat digunakan
untuk mencapai cita- cita Pendidikan Nasional.
Melalui pendidikan Sejarah yakni dalam bentuk kegiatan belajar mengajar,
proses sosialisasi sikap nasionalisme dapat dilaksanakan secara lebih sistematik
dan terencana, yaitu melalui proses internalisasi. Proses internalisasi merupakan
57
proses untuk menjadikan suatu sikap sebagai bagian dari kepribadian seseorang.
Dalam upaya mensosialisasikan sikap nasionalisme, strategi belajar mengajar
pendidikan Sejarah dilakukan melalui tahap pengenalan dan pemahaman, tahap
penerimaan, dan tahap pengintegrasian (Hizam, 2007: 289).
2.3.3 Tujuan Pembelajaran Sejarah
2.3.3.1 Sejarah Kelas X
a. Memahami ruang lingkup ilmu Sejarah
b. Menggunakan prinsip-prinsip dasar penelitian Sejarah
c. Menganalisis masa pra-aksara dan masyarakat aksara pada masyarakat
Indonesia
d. Menganalisis kehidupan awal masyarakat di Indonesia meliputi
peradaban awal, asal-usul dan persebaran manusia di wilayah
nusantara/Indonesia
2.3.3.2 Sejarah Kelas Program IPA
a. Menganalisis perkembangan masa negara-negara tradisional yang
meliputi masa Hindu-Buddha, Islam di Indonesia
b. Membandingkan perkembangan masyarakat Indonesia masa penjajahan
Hindia-Belanda dan Pemerintahan Pendudukan Jepang
c. Menganalisis proses kelahiran dan pertumbuhan nasionalisme di
Indonesia
58
d. Merenkonstruksi perkembangan masyarakat Indonesia sejak
Proklamasi Kemerdekaan sampai dengan periode demokrasi terpimpin
e. Merekonstruksi pergantian pemerintahan masa awal kemerdekaan
(1945-1955), Demokrasi terpimpin (1955-1967), ke masa pemerintahan
Orde Baru (1967-1998) sampai periode Reforrmasi (sejak 1998 s/d
sekarang)
f. Merekonstruksi perkembangan masyarakat pada masa Orde Baru
g. Menganalisis perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sesudah
Perang Dunia II sampai dengan pertumbuhan teknologi mutahir
2.3.3.3 Sejarah Kelas Program IPS
a. Menganalisis kehidupan awal, peradaban manusia Indonesia dan
bangsa-bangsa lain di dunia, serta asal usul dan persebaran manusia di
Indonesia
b. Menganalisis perkembangan bangsa Indonesia pada masa Negara
tradisional, meliputi perkembangan budaya, agama, dan sistem
pemerintahan masa Hindu-Buddha, masa Islam, proses interaksi antara
tradisi lokal, Hindu-Buddha, dan Islam di Indonesia
c. Menganalisis keSejarahan masa kolonial Hindia Belanda (pengaruh
Barat) meliputi perubahan ekonomi, demografi, sosial, serta politik dan
masa kolonial Jepang yang meliputi perubahan sosial-ekonomi, politik
59
d. Menganalisis pengaruh berbagai revolusi politik dan sosial di dunia
(Revolusi Perancis, Revolusi Amerika, Revolusi Rusia) terhadap
perubahan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia
e. Menganalisis peristiwa sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, terbentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan lahirnya Undang-Undang
Dasar 1945
f. Menganalisis perkembangan masyarakat Indonesia mulai masa
kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, kerajaan-kerajaan Islam,
permerintahan colonial Belanda, Inggris, Pemerintahan Pendudukan
Jepang, meliputi politik (lahirnya gerakan pendidikan dan
nasionalisme), cita-cita terbentuknya Negara merdeka dan sebagainya
g. Menganalisis perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan dan
persatuan NKRI darii ancaman disintegrasi bangsa, antara lain
Peristiwa Madiun 1948, Pemnerontakan DI/TII, Peristiwa
PERMESTA, Peristiwa Andi Azis, RMS, PRRI, dan Gerakan G-30-
S/PKI
h. Menganalisis perkembangan masyarakat Indonesia sejak Proklamasi
sampai dengan masa Orde Baru, dan masa Reformasi, meliputi Masa
Pemerintahan Demokrasi Terpimpin (Orde baru, 1945-1967), masa
Demokrasi Pancasila (Orde Baru, 1967-1998), dan masa peralihan ke
masa Reformasi (1998–sekarang)
60
2.3.3.4 Sejarah Kelas Program Bahasa
a. Menganalisis kehidupan masyarakat Indonesia periode kerajaan-
kerajaan tradisional, yang meliputi masa kerajaan Hindu-Buddha dan
Islam
b. Menganalisis perkembangan bahasa dan karya sastra masa kebudayaan
Hindu-Buddha dan Islam
c. Menganalisis perkembangan masyarakat dan bahasa, karya sastra masa
pemerintahan kolonial Hindia Belanda
d. Menganalisis proses kelahiran dan perkembangan nasionalisme
Indonesia
e. Merekonstruksi perkembangan masyarakat Indonesia periode
Proklamasi (1945-1955), Orde Lama (1955-1967), Orde Baru (1967-
1998), dan Reformasi (1998-) mreliputi perkembangan politik,
ekonomi, sosial, bidang budaya, bahasa, dan karya sastra.
2.3.4 Ruang Lingkup Sejarah dalam IPS
Widja (2007:23) menyatakan bahwa pembelajaran Sejarah adalah perpaduan antara
aktivitas belajar dan mengajar yang di dalamnya mempelajari tentang peristiwa masa
lampau yang erat kaitannya dengan masa kini. Pendapat I Gde Widya tersebut dapat
disimpulkan jika mata pelajaran Sejarah merupakan bidang studi yang terkait dengan
fakta-fakta dalam ilmu Sejarah namun tetap memperhatikan tujuan pendidikan pada
umumnya.
61
Peran pendidikan Sejarah dalam pembentukan sikap nasionalisme guna
mengantisipasi tantangan global dan berbagai gejolak disintegrasi yang melanda
Indonesia akhir-akhir ini sangat dibutuhkan, hal ini mengingat pengalaman
Sejarah membuktikan sikap nasionalisme mampu membangkitkan dinamika sosial
di masa lalu. Sikap nasionalisme yang dimiliki rakyat Indonesia telah mampu
menghantarkan bangsa menuju kemerdekaan di tengah keterbelakangan
pengetahuan rakyat Indonesia dan kuatnya persenjataan penjajah, dalam kontek
saat itu. Namun, saat ini peran pendidikan Sejarah patut dipertanyakan, sikap
nasionalisme yang dimiliki bangsa menunjukkan kerapuhan. Konflik antar suku
dan agama karena perbedaan nilai, dan upaya beberapa daerah yang ingin
memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan bukti
bahwa kesatuan nasional masih rapuh (Hizam, 2007: 288).
Bedasarkan Kemendiknas Nomor 64 tahun 2013 tentang Standar Isi yang tercantum
dalam lampiran Peraturan Menteri, untuk satuan pendidikan dasar dan menengah
dijelaskan terkait materi dan tujuan dari pembelajaran Sejarah maka mata pelajaran
Sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa
yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa
kebangsaan dan cinta tanah air.
62
2.3.5 Materi Sejarah
Secara umum materi Sejarah meliputi:
a. Nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme,
dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak
dan kepribadian peserta didik;
b. Khasanah mengenai peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban bangsa
Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yang mendasar bagi
proses pembentukan dan penciptaan peradaban bangsa Indonesia di masa
depan;
c. Kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat
bangsa dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa;
d. Sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis
multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari;
e. Sikap untuk menanamkan dan mengembangkan tanggung jawab dalam
memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.
Sejarah diberikan kepada seluruh siswa di sekolah dari tingkat dasar (SD dan
sederajat) sampai tingkat menengah (SMA dan sederajat) dalam bentuk mata
pelajaran. Kedudukannya yang penting dan strategis dalam pembangunan watak
bangsa merupakan fungsi yang tidak bisa digantikan oleh mata pelajaran lainnya.
Meskipun demikian, terkait dengan materi Sejarah dri tingkat dasar sampai
menengah, Taufik Abdullah berpendapat agar siswa tidak bosan menerima materi
Sejarah, maka jika secara faktual yang disampaikan sama namun dalam setiap
63
jenjang pendidikan, peristiwa tersebut akan tampil pada tingkat pengetahuan,
pemahaman, serta pemberian keterangan Sejarah yang semakin tinggi dan kompleks.
Maka setiap tingkatan atau tahap diharapkan bisa memberikan kesegaran dan
kematangan intelektual (Taufik Abdullah dalam Hasan, 2007: 145).
Berdasarkan pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Sejarah
tidak mengkhususkan mempelajari fakta-fakta dalam Sejarah sebagai ilmu namun
perpaduan antara Sejarah dan tujuan pendidikan pada umumnya. Meski demikian,
pembelajaran Sejarah berusaha menampilkan fakta Sejarah secara obyektif meskipun
tetap dalam kerangka fakta Sejarah yang sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri
Sejarah sebagai mata pelajaran yang mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu
dan Sejarah sebagai ilmu, harus dipadukan dalam konsep yang jelas tanpa
mengorbankan prinsip-prinsip salah satunya atau keduanya. Hal tersebut penting,
agar kekhawatiran tentang subyektifitas Sejarah dalam pembelajaran Sejarah tidak
mengorbankan ilmu Sejarah. Sebagaimana pandangan Taufik Abdullah dalam Hasan
(2007: 146) bahwa Sejarah sebagai alat pemupuk ideologi, betapapun luhurnya
mempunyai resiko yang bisa meniadakan validitas dari apa yang akan disampaikan.
Pemisahan kurikulum antara Sejarah “kognitif” (pengetahuan) dengan yang
“afektif” (perasaan) yang pernah dilakukan, bukan saja artifisial, tetapi juga
memperlihatkan kemandulan dalam pemikiran keSejarahan. Seakan-akan, Sejarah
yang diketahui tidak bertolak dari keingintahuan yang subjektif, demi didapatkan
kearifan yang afektif.
64
Mengutip pernyataan dari Elton dalam Widja (2007: 174), sering muncul kecurigaan
di kalangan sejarawan bahkan para pendidik, terhadap alasan mengkaitkan Sejarah
dengan proses pendidikan. Proses pendidikan Sejarah dianggap hanya menjadi
sumber kecenderungan etnosentris bahkan mengarah ke “xenophobia”. Sementara
itu, Namier dalam Widja (2007: 175) berpendapat bahwa peran Sejarah sebagai
“moral precepts” atau ajaran moral dianggap dapat menjelma menjadi indoktrinasi
sebagai legitimasi doktrin atau ideologi tertentu.
Selain itu, Mahasin dalam Widja (2007: 176) berpandangan bahwa kritik umum
kepada pendukung nilai edukatif Sejarah dalam penanaman nilai-nilai Sejarah
melalui proses pendidikan yang lebih menonjol adalah pencapaian tujuan-tujuan
edukatif yang bersifat ekstrinsik atau instrumental. Padahal dalam teori belajar yang
lebih utama adalah nilai instrinsik. Penekanan sifat ekstrinsik atau instrumental
dalam pendidikan Sejarah akan lebih mengarah pada pemahaman nilai Sejarah
sebagai landasan bagi pembentukan semacam alat cetak membentuk manusia yang
sudah ditentukan sebelumnya (predefined person) baik dalam rangka “cultural
transmission” maupun dalam penyiapan “moral precepts” bagi generasi baru.
Kerangka berpikir seperti ini, muncul kecenderungan atau dorongan pemujaan
berlebihan terhadap masa lampau yang pada gilirannya memberi peluang bagi
kekaburan realitas Sejarah demi kepentingan masa kini atau kecenderungan
presentisme. Pengaburan seperti ini bisa mendorong generasi baru hanya terpesona
atau mengagumi masa lampau tanpa pernah berpikir secara kreatif merencanakan
bangunan masa depannya.
65
Menurut Taufik Abdullah dalam Hasan (2007: 150) jika disimpulkan, Sejarah
sebagai wacana intelektual akan tampil secara bertahap dengan berbagai wajah.
Pertama, sebagai Sejarah yang bernada moralistik, yang merupakan
pertanggungjawaban rasional akan keharusan hidup bermasyarakat. Kedua, Sejarah
sebagai alat pengetahuan praktis, yaitu sebagai kaca pembanding untuk mengetahui
struktur hari dan dunia kini dan ketiga, Sejarah sebagai pembimbing kearah
pemahaman, yaitu sebagai alat dan penolong untuk memungkinkan terjadinya dialog
yang kreatif dengan pergolakan jaman yang melintas dalam pengalaman hidupnya
atau alat untuk memahami dunia dengan cerdas.
Oleh karena itu, perlu ditekankam strategi dasar berupa penanaman nilai yang
dinamis progresif sebagai jalan tengah memahami permasalahan di atas. Perspektif
ini menjelaskan apabila dalam proses belajar-mengajar Sejarah tidak bisa
dihindarkan mengajak siswa untuk mengambil nilai-nilai dari masa lampau,
bukanlah dimaksudkan agar siswa terpaku dan terpesona pada kegemilangan masa
lampau. Nilai-nilai masa lampau diperlukan untuk menjadi kekuatan motivasi
menghadapi tantangan masa depan (Widja, 2007: 183).
Inti pembelajaran Sejarah adalah bagaimana menanamkan nilai-nilai kepahlawanan,
kecintaan terhadap bangsa, jati diri dan budi pekerti kepada anak didik. Buku
pelajaran Sejarah hendaknya disusun dengan ketentuan-ketentuan ilmiah yang
berlandaskan pada tujuan pendidikan nasional (Hugiono & Poerwantana, 2007: 90).
Melalui proses belajar Sejarah bukan semata-mata menghapal fakta, siswa dapat
mengenal kehidupan bangsanya secara lebih baik dan mempersiapkan kehidupan
66
pribadi dan bangsanya yang lebih siap untuk jangka selanjutnya (Hasan, 2007: 141).
Sementara itu, Krug dalam Hasan (2007: 141) berpendapat bahwa pengajaran
Sejarah bangsa merupakan upaya terbaik untuk memperkuat kesatuan nasional dan
untuk menanamkan semangat cinta tanah air dan jiwa patriotik. Sedangkan Sartono
Kartodirdjo dalam Hasan (2007: 200) menyatakan peranan strategis pengajaran
Sejarah dalam rangka pembangunan bangsa menuntut suatu penyelenggaran
pengajaran Sejarah sebagai pemahaman dan penyadaran, sehingga mampu
membangkitkan semangat pengabdian yang tinggi, penuh rasa tanggung jawab serta
kewajiban. Kepekaannya terhadap Sejarah akan melahirkan aspirasi dan inspirasi
untuk melaksanakan tugasnya sebagai warga negara.
2.4 Metode Outdoor Study dalam Pembelajaran IPS
2.4.1 Pengertian Metode Outdoor Study
Outdoor Study dikenal juga dengan berbagai istilah lain seperti Outdoor Study,
Outdoor Study, pembelajaran lapangan atau pembelajaran luar kelas.
a. Menurut Komarudin dalam Husamah (2013: 19) menyatakan Outdoor Study
merupakan aktivitas luar sekolah yang berisi kegiatan di luar kelas/sekolah dan
di alam bebas lainnya, seperti: bermain di lingkungan sekolah, taman,
perkampungan pertanian/nelayan, berkemah, dan kegiatan yang bersifat
kepetualangan, serta pengembangan aspek pengetahuan yang relevan.
b. Menurut Amin dalam Husamah (2013: 19), menyatakan Outdoor Study
Process (OSP) adalah pembelajaran sains dengan melakukan petualangan di
67
lingkungan sekitar dengan cara meneliti yang hasilnya dicatat ke dalam
Lembar Kerja Pengamatan (LKP).
c. Menurut Barlet dalam Husamah (2013: 20), menyatakan metode pembelajaran
pendidikan luar ruang adalah suatu pembelajaran yang dilakukan di luar ruang
atau luar kelas.
d. Menurut Hariyanti dalam Husamah (2013: 20), menyatakan proses
pembelajaran luar kelas adalah proses pembelajaran yang dapat membangun
makna (input), kemudian prosesnya melalui struktur kognitif sehingga
berkesan lama dalam ingatan atau memori (terjadi rekonstruksi).
e. Menurut Husamah (2013: 20), menyatakan pendidikan luar kelas diartikan
sebagai pendidikan yang berlangsung di luar kelas yang melibatkan
pengalaman yang membutuhkan partisipasi siswa untuk mengikuti tantangan
petualangan yang menjadi dasar dari aktivitas luar kelas seperti hiking,
mendaki gunung, camping, dan lain-lain.
f. Menurut Indramunawar dalam Prihantoro (2010: 87), mengemukakan bahwa
outdoor activities adalah kegiatan di alam bebas atau kegiatan di luar kelas dan
mempunyai sifat menyenangkan, karena bisa melihat, menikmati, mengagumi
dan belajar mengenai ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang terbentang si
alam, yang dapat disajikan dalam bentuk permainan, observasi/pengamatan,
simulasi, diskusi, dan petualangan sebagai media penyampaian materi.
g. Menurut Dadang M. Rizal dalam Maryani (2011: 25), pembelajaran di luar
kelas yang menyenangkan kemampuan dan potensi diri disamping mencari
suasana dan lingkungan baru untuk menyalurkan kebutuhan manusia dalam
68
berinteraksi dengan alam dan berinteraksi sesama manusia dalam suasana di
luar ruangan (outdoor).
Pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang melibatkan siswa
secara langsung dan berinteraksi dengan alam dan manusia dalam suasana di luar
kelas. Jadi, Outdoor Study adalah suatu kegiatan pembelajaran di luar kelas dan
mempunyai sifat yang menyenangkan, dimana melalui kegiatan ini diberikan
kesempatan untuk menuangkan potensi diri, sekaligus menyalurkan kebutuhan
manusia untuk berinteraksi dengan alam dan sesama manusia dalam suasana di luar
ruangan dan dapat menimbulkan nilai spiritual siswa terhadap ciptaan Tuhan Yang
Maha Kuasa.
Outdoor learning adalah suatu kegiatan di luar kelas yang menjadikan pembelajaran
di luar kelas menarik dan menyenangkan, bisa dilakukan dimanapun dengan
menekankan pada proses belajar berdasarkan fakta nyata, yang materi
pembelajarannya secara langsung dialami melalui kegiatan pembelajaran secara
langsung dengan harapan siswa dapat lebih membangun makna atau kesan dalam
memori atau ingatanya.
Pembelajaran di luar kelas (Outdoor Study) merupakan pembelajaran yang dilakukan
di luar ruang kelas atau di luar gedung sekolah, atau berada di alam bebas, seperti:
bermain di lingkungan sekitar sekolah, di taman, atau di perkampungan masyarakat
sekitar sehingga diperoleh pengetahuan dan nilai-nilai yang berkaitan dengan
aktivitas hasil belajar terhadap materi yang disampaikan di luar kelas.
69
Pendekatan pembelajaran di luar kelas (Outdoor Study) adalah pendekatan yang
dilakukan guru, dimana guru mengajak siswa belajar di luar kelas untuk melihat
peristiwa langsung di lapangan yang di gunakan sebagai sumber belajar. Peran guru
disini adalah sebagai motivator, artinya guru sebagai pemandu agar siswa belajar
melalui pengalaman langsung dari proses pembelajaran yang mereka peroleh..
Pembelajaran di luar kelas (Outdoor Study) ini adalah sebagai pendekatan
pembelajaran dalam meningkatkan pemahaman pada siswa. Karena dengan
pembelajaran di luar kelas (Outdoor Study) siswa dapat merasakan pengalaman
langsung melalui pengalaman sendiri di luar kelas terhadap suatu objek di
lingkungan. Konsep aktivitas luar kelas merupakan suatu pendekatan dengan
menggunakan kehidupan di luar ruangan yang memberikan banyak kesempatan bagi
siswa untuk memperoleh dan menguasai berbagai bentuk keterampilan dasar, sikap
dan apresiasi terhadap lingkungan sekitar dan berbagai hal yang terdapat di luar
kelas. Bentuk-bentuk kegiatan luar kelas dapat berupa: menjelajah atau mengamati
lingkungan sekitar sekolah, mempelajari sesuatu yang mereka peroleh melalui
benda-benda yang ada di sekitar lingkungan dimana kita tinggal dan lain sebagainya.
2.4.2 Langkah-Langkah Metode Pembelajaran Outdoor Study
Menurut Oemar Hamalik dalam Prihantoro (2010: 89), berpendapat bahwa prosedur
untuk mempersiapkan pembelajaran dengan Outdoor Study adalah sebagai berikut:
a. Guru merumuskan dengan teliti pengalaman belajar direncanakan untuk
memperoleh hasil yang potensial atau memiliki alternatif.
70
b. Menentukan bentuk kegiatan yang akan dipakai, kegiatan Outdoor Study ini
dapat divariasi sendiri oleh guru. Misalnya: dalam satu materi dapat
dilakukan dengan berbagai bentuk, seperti dalam tema yang lain seperti
lingkungan.
c. Guru berusaha menyajikan pengalaman yang bersifat menantang dan
memotivasi.
d. Menentukan waktu pelaksanakan kegiatan. Kegiataan Outdoor Study ini
dapat dilaksanakan dalam pembelajaran atau dapat juga dilaksanakan di luar
jam pelajaran.
e. Menentukan rute perjalanan Outdoor Study, dapat dilakukan satu kelas
bersama-sama. Outdoor Study dapat menggunakan rute di sekitar sekolahan
atau di lingkungan warga sekitar.
f. Siswa dapat bekerja secara individual dan dapat bekerja dalam kelompok-
kelompok kecil.
g. Para siswa secara aktif berperan serta dalam pembentukan pengalaman.
h. Setelah semua persiapan selesai maka tahap selanjutnya pelaksanaan kegiatan
Outdoor Study yaitu guru menjelaskan tentang aturan dalam pembelajaran
dengan Outdoor Study.
2.4.2.1 Manfaat Metode Pembelajaran Outdoor Study
Metode pembelajaran Outdoor Study bisa diterapkan pada anak-anak usia Sekolah
dan orang dewasa sekaligus. Berikut manfaat metode pembelajaran Outdoor Study
menurut para ahli:
71
2.4.2.1.1 Menurut Suyadi dalam Husamah (2013: 25), menyebutkan bahwa manfaat
pembelajaran luar kelas antara lain: a. Pikiran lebih jernih. b.
Pembelajaran akan terasa menyenangkan. c. Pembelajaran lebih variatif. d.
Belajar lebih rekreatif. e. Belajar lebih riil. f. Anak lebih mengenal pada
dunia nyata dan luas. g. Tertanam image bahwa dunia sebagai kelas. h.
Wahana belajar akan lebih luas. i Kerja otak lebih rileks.
2.4.2.1.2 Menurut Sudjana dan Rivai dalam Husamah (2013: 25) menjelaskan
banyak keuntungan yang diperoleh dari kegiatan mempelajari lingkungan
dalam proses belajar, antara lain:
a. Kegiatan belajar lebih menarik dan tidak membosankan siswa duduk
berjam-jam, sehingga motivasi belajar siswa akan lebih tinggi.
b. Hakekat belajar akan lebih bermakna sebab siswa dihadapkan dengan
situasi dan keadaan yang sebenarnya atau bersifat alami.
c. Bahan-bahan yang dapat dipelajari lebih kaya serta lebih faktual
sehingga kebenarannya akurat.
d. Kegiatan belajar siswa lebih komprehensif dan lebih aktif sebab dapat
dilakukan dengan berbagai cara seperti mengamati, bertanya atau
wawancara, membuktikan atau mendemontrasikan, menguji fakta, dan
lain-lain.
e. Sumber belajar lebih kaya sebab lingkungan yang dapat dipelajari bisa
beraneka ragam seperti lingkungan sosial, lingkungan alam,
lingkungan buatan, dan lain-lain.
72
f. Siswa dapat memahami dan menghayati aspek-aspek kehidupan yang
ada dilingkungannya, sehingga dapat membentuk pribadi yang tidak
asing dengan kehidupan membentuk sekitarnya, serta dapat memupuk
cinta lingkungan.
2.4.2.1.3 Menurut Direktorat Tenaga Kependidikan dalam Husamah (2013: 26),
proses pembelajaran secara langsung dapat memberikan pengalaman
nyata pada siswa, artinya pengalaman itu akan terhindar dari kesalahan
persepsi dari pembahasan materi pelajaran tertentu.
2.4.2.1.4 Menurut Purwanti dalam Husamah (2013: 27), nilai plus dari Outdoor
Study adalah sebagai berikut:
a. Dapat merangsang keinginan siswa untuk mengikuti materi
pelajaran guna meningkatkan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan
siswa.
b. Dapat digunakan sebagai media alternatif bagi guru dalam
mengembangkan metode mengajar.
Metode pembelajaran Outdoor Study memberikan alternatif cara pembelajaran
dengan membangun makna atau dengan melibatkan lebih banyak indera penglihatan,
indera pendengaran, indera perabaan, indera penciuman pada siswa dan memberikan
pengalaman yang lebih berkesan, karena siswa mengalami sendiri tentang materi
pelajaran.
73
2.4.2.2 Kekurangan Metode Pembelajaran Outdoor Study
Menurut Sudjana dan Rivai dalam Husamah (2013: 31), terdapat beberapa
kelemahan dan kekurangan yang sering terjadi dalam pelaksanaan kegiatan
pembelajaran Outdoor Study berkisar pada teknis pengaturan waktu dan kegiatan
belajar, antara lain:
a. Kegiatan belajar kurang dipersiapkan sebelumnya yang menyebabkan ada waktu
siswa dibawa ke tujuan tidak melakukan kegiatan belajar yang diharapkan
sehingga ada kesan main-main.
b. Ada kesan guru dan siswa bahwa kegiatan mempelajari lingkungan memerlukan
waktu yang cukup lama sehingga menghabiskan waktu untuk belajar di kelas.
c. Sempitnya pandangan guru bahwa kegiatan belajar hanya terjadi di dalam kelas.
Banyak hal yang perlu dipikirkan oleh guru. Salah satunya adalah belajar di luar
ruangan akan menjadi daya tarik tersendiri sehingga banyak orang yang datang
untuk menyaksikan. Pusat perhatian siswa akan langsung tertuju kemana-mana
karena posisi belajar mereka di tempat terbuka. Oleh karena itu, sebagai guru yang
cerdas, diperlukan kiat-kiat tertentu untuk mengatasi kelemahan metode Outdoor
Study.
2.5 Keterampilan Sosial
2.5.1 Pengertian keterampilan sosial
Keterampilan sosial berasal dari kata terampil dan sosial. Kata keterampilan berasal
dari 'terampil' digunakan di sini karena di dalamnya terkandung suatu proses belajar,
74
dari tidak terampil menjadi terampil. Kata sosial digunakan karena pelatihan ini
bertujuan untuk mengajarkan satu kemampuan berinteraksi dengan orang lain.
Pelatihan keterampilan sosial maksudnya adalah pelatihan yang bertujuan untuk
mengajarkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain kepada individu-individu
yang tidak trampil menjadi trampil berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya,
baik dalam hubungan formal maupun informal.
Keterampilan sosial memiliki penafsiran akan arti dan maknanya. Menurut beberapa
ahli yang memberikan pendapatnya tentang keterampilan sosial adalah sebagai
berikut:
a. Jarolimek dalam Maryani (2011: 18-19) mengemukakan bahwa keterampilan
sosial (social skill) meliputi 3 aspek:
1. Living and working together, taking turns, respecting the rights of other
(Hidup dan bekerja sama, bergiliran, respek dan sensitive terhadap hak
orang lain).
2. Learning self-control and self-direction (Belajar mengontrol diri dan tau
diri).
3. Sharing ideas and experience with other (Berbagi ide dan pengalaman
dengan orang lain)
b. Combs & Slaby dalam Maryani (2011: 22) memberikan pengertian
keterampilan sosial (social skill) adalah kemampuan berinteraksi dengan orang
lain dalam konteks sosial dengan cara-cara yang khusus yang dapat diterima
75
secara sosial maupun nilai-nilai dan disaat yang sama berguna bagi dirinya dan
orang lain.
c. Hargie et.al dalam Maryani (2011: 24) memberikan pengertian keterampilan
sosial (social skill) sebagai kemampuan individu untuk berkomunikasi efektif
dengan orang lain baik secara verbal maupun nonverbal sesuai dengan situasi
dan kondisi yang ada pada saat itu, di mana keterampilan ini merupakan
perilaku yang dipelajari. Keterampilan sosial (social skill) akan mampu
mengungkapkan perasaan baik positif maupun negatif dalam hubungan
interpersonal, tanpa harus melukai orang lain.
d. Libet dan Lewinsohn dalam Maryani (2011: 25) memberikan pengertian
keterampilan sosial (social skill) sebagai kemampuan yang kompleks untuk
menunjukkan perilaku yang baik dinilai secara positif atau negatif oleh
lingkungan, dan jika perilaku itu tidak baik akan diberikan punishment oleh
lingkungan. Kelly dalam Maryani (2011: 28) memberikan keterampilan sosial
(social skill) sebagai perilaku-perilaku yang dipelajari, yang digunakan oleh
individu pada situasi-situasi interpersonal dalam lingkungan. Matson dalam
Maryani (2011: 30) mengatakan bahwa keterampilan sosial (social skill), baik
secara langsung maupun tidak membantu seseorang anak untuk dapat
menyesuaikan diri dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma
yang berlaku di sekelilingnya Keterampilan-keterampilan sosial tersebut
meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain,
menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan
76
dari orang lain, memberi atau menerima feedback, memberi atau menerima
kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dan lain sebagainya.
e. Combs & Slaby dalam Budilarasati (2002: 79) memberikan pengertian
keterampilan sosial (social skill) adalah kemampuan berinteraksi dengan orang
lain dalam konteks sosial dengan cara-cara yang khusus yang dapat diterima
secara sosial maupun nilai-nilai dan disaat yang sama berguna bagi dirinya dan
orang lain.
f. Matson dalam Lutfi (2007: 56) mengatakan bahwa keterampilan sosial (social
skill), baik secara langsung maupun tidak membantu seseorang untuk dapat
menyesuaikan diri dengan standar harapan masyarakat dalam norma-norma
yang berlaku di sekelilingnya. Keterampilan-keterampilan sosial tersebut
meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain,
menghargai diri sendiri dan orang lain, mendengarkan pendapat atau keluhan
dari orang lain, memberi atau menerima feedback, memberi atau menerima
kritik, bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku, dan lain sebagainya.
g. Keterampilan sosial menurut Mu‟tadin (2006: 24) adalah kemampuan atau
kecakapan yang dimiliki seseorang untuk menyesuaikan diri dan berinteraksi
dengan lingkungannya yang meliputi kemampuan berkomunikasi, menjalin
hubungan dengan orang lain, menghargai diri sendiri dan orang lain, memberi
dan menerima ktirik yang diberikan orang lain.
h. Keterampilan sosial (social skill) menurut Bellack and Hersen dalam Mu‟tadin
(2006: 25) “social skill as individual’s ability to express both positive and
negative fellings in the interpersonal context without suffering consequent loss
77
of social reinforcement in a large varienty of interpersonal contexts (involving)
the coordinated delivery of appropriate verbal dan non verbal response”
(keterampilan sosial mempunyai makna sebagai kemampuan individu dalam
mengungkapkan perasaan baik perasaan positif dan perasaan negatif dalam
hubungannya dengan orang lain tanpa kehilangan penguatan sosial dan dalam
berbagai ragam hubungan dengan orang lain yang mencakup respon verbal
dan non verbal.
i. Menurut Moerdani (2002: 91), Keterampilan sosial merupakan kemampuan
untuk mengadakan komunikasi satu individu dengan individu yang lain seperti;
perilaku yang berorientasi pada tugas yaitu kemampuan untuk mengambil
tanggung jawab, untuk bekerja dan bekerjasama dalam kelompok, menjadi
kreatif dalam bekerja, dan berusaha untuk mendapat kualitas dalam bekerja.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa keterampilan sosial adalah sebuah alat yang
terdiri dari kemampuan berinteraksi, berkomunikasi secara efektif baik secara verbal
maupun nonverbal, kemampuan untuk dapat menunjukkan perilaku yang baik, serta
kemampuan menjalin hubungan baik dengan orang lain digunakan seseorang untuk
dapat berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh sosial, kemampuan
menghargai diri sendiri dan bertanggung jawab dalam bekerja.
2.5.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Sosial
Sebagai sebuah kemampuan yang diperoleh melalui proses belajar, maka
perkembangan keterampilan sosial anak tergantung pada berbagai faktor, yaitu
78
kondisi anak sendiri serta pengalaman interaksinya dengan lingkungan sebagai
sarana dan media pembelajaran. Secara lebih terperinci, faktor-faktor tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Kondisi anak
Ada beberapa kondisi anak yang mempengaruhi tingkat keterampilan sosial anak,
antara lain tempramen anak serta kemampuan sosial kognitif (Robinson & Garber
dalam Maryani, 2011: 32).
Penelitian memperlihatkan bahwa anak-anak yang memiliki temperamen sulit dan
cenderung mudah terluka secara psikis, biasanya akan takut atau malu-malu dalam
menghadapi stimulus sosial yang baru, sedangkan anak-anak yang ramah dan
terbuka lebih responsif terhadap lingkungan sosial (Bukowski & Parker dalam
Maryani, 2011: 35). Selain itu, anak-anak yang memiliki temperamen sulit ini
cenderung lebih agresif dan impulsif sehingga sering ditolak oleh teman sebaya.
Kedua kondisi ini menyebabkan kesempatan mereka untuk berinteraksi dengan
teman sebaya berkurang, padahal interaksi merupakan media yang penting dalam
proses belajar ketrampilan sosial.
Kemampuan mengatur emosi juga mempengaruhi ketrampilan sosial anak.
Penelitian yang dilakukan oleh Rubin, Coplan, Fox & Calkins dalam Maryani (2011:
40) membuktikan bahwa pengaturan emosi sangat membantu, baik bagi anak yang
mampu bersosialisasi dengan lancar maupun yang tidak. Anak yang mampu
bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki ketrampilan sosial yang baik
79
sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. Anak yang kurang mampu bersosialisasi
namun mampu mengatur emosi, maka walau jaringan sosialnya tidak luas tetapi ia
tetap mampu bermain secara konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain
sendiri. Sedangkan bermain secara konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain
sendiri. Sedangkan anak-anak yang mampu bersosialisasi namun kurang dapat
mengontrol emosi, cenderung akan berperilaku agresif dan merusak. Adapun anak-
anak yang tidak mampu bersosialisasi dan mengontrol emosi, cenderung lebih
pencemas dan kurang berani bereksplorasi.
Menurut Dodgem, dkk. dalam Maryani (2011: 44), perkembangan keterampilan
sosial anak juga dipengaruhi oleh kemampuan sosial kognitifnya yaitu ketrampilan
memproses semua informasi yang ada dalam proses sosial. Kemampuan ini antara
lain kemampuan mengenali isyarat sosial, menginterpretasi isyarat sosial dengan
cara yang tepat dan bermakna, mengevaluasi konsekuensi dari beberapa
kemungkinan respon serta memilih respon yang akan dilakukan. Kemampuan sosial
kognitif lainnya yang juga penting adalah kemampuan melihat dari perspektif orang
lain (perspective taking) dan kemampuan empati. Semakin baik ketrampilan
memproses informasi sosial anak, maka akan semakin mudah baginya untuk
membentuk hubungan suportif dengan orang lain, yang berarti akan menambah luas
jaringan sosial sebagai media pengembangan ketrampilan sosialnya.
b. Interaksi anak dengan lingkungan
Secara umum, pola interaksi anak dan orang tua serta kualitas hubungan pertemanan
dan penerimaan anak dalam kelompok merupakan dua faktor eksternal atau
80
lingkungan yang cukup berpengaruh bagi perkembangan sosial anak (Rubin,
Bukowski & Parker dalam Maryani, 2011: 47). Anak banyak belajar
mengembangkan keterampilan sosial baik dengan proses modeling (peniruan)
terhadap perilaku orang tua dan teman sebaya, ataupun melalui penerimaan
penghargaan saat melakukan sesuatu yang tepat dan penerimaan hukuman saat
melakukan sesuatu yang tidak pantas menurut orang tua dan teman sebaya.
Keterampilan sosial anak terutama dipengaruhi oleh proses sosialisasinya dengan
orang tua yang mulai terjalin sejak awal kelahiran. Melalui proses sosialisasi ini,
orang tua menjamin bahwa anak mereka memiliki standar perilaku, sikap,
ketrampilan dan motif-motif yang sedapat mungkin sesuai dengan yang diinginkan
atau tepat dengan perannya dalam masyarakat (Hetherington & Parker dalam
Maryani, 2011: 49). Proses sosialisasi yang berawal sejak bayi ini, menjadi lebih
disadari dan sistematis seiring dengan bertambahnya kemampuan anak dalam
ketrampilan motorik dan penggunaan bahasa. Pelukan yang diberikan oleh orang tua
dan pujian yang mereka terima saat memperoleh kemampuan baru atau larangan saat
melakukan sesuatu merupakan beberapa contoh sosialisasi yang secara sistematis
mempengaruhi anak. Nilai, kepercayaan, ketrampilan, sikap dan motif yang
disosialisasikan oleh orang tua ini kemudian diinternalisasikan oleh anak dan
menjadi dasar perilakunya dalam kehidupan.
Sebagai figure yang paling banyak dengan anak, orang tua tidak hanya berperan
dalam mengajarkan ketrampilan sosial secara langsung pada anak, tetapi juga
81
berperan dalam pembentukan hubungan dengan lingkungan terutama dengan teman
sebaya. Menurut Pettit & Mize dalam Maryani (2011: 52), orang tua mempengaruhi
perkembangan perilaku sosial, pola interaksi dan kualitas hubungan anak dengan
sebayanya melaui:
a) Memberi anak kesempatan untuk berhubungan dengan teman sebayanya
b) Mengawasi pertemuan anak dengan teman sebayanya (bila dibutuhkan)
c) Mengajarkan anak untuk mampu memenuhi tugas-tugas yang berkaitan dengan
hubungan interpersonal dengan teman sebaya; dan
d) Menegakan disiplin terhadap perilaku yang tidak dapat diterima dan
maladaptive
Pemberian kesempatan pada anak untuk menjalin hubungan dengan teman sebaya ini
merupakan media bagi anak untuk mencoba dan mengembangkan ketrampilan sosial
yang telah didapatnya dari orang tua. Dan dengan adanya pengawasan, orang tua
dapat memastikan bahwa anak tetap menginternalisasikan nilai-nilai yang
disosialisasikannya.
Seiring anak tumbuh semakin besar, pengaruh teman sebaya sangat menonjol
sebagai sumber penguat dan model. Anak memperoleh rentang pengetahuan yang
luas dan bermacam respon dengan cara mengobservasi dan melakukan imitasi
perilaku teman sebayanya, dan dengan adanya reinforcement atau penguat anak akan
mampu menilai respon mana yang dapat diterima oleh teman-temannya
(Hetherington & Parke dalam Maryani, 2011: 58). Proses imitasi dan pengukuhan ini
82
biasanya diikuti dengan peningkatan interaksi sosial yang pada akhirnya
berpengaruh pula pada peningkatan ketrampilan sosial anak.
Stoscker & Dunn dalam Maryani (2011: 60) menyebutkan bahwa anak yang
memiliki hubungan sosial yang positif dan lebih popular memiliki ketrampilan sosial
yang lebih baik dibandingkan anak yang kurang mampu bersosialisasi. Begitu pula
anak-anak yang jaringan sosialnya lebih luas akan lebih terampil dalam bersosialisasi
dibandingkan anak yang jaringan sosialnya terbatas.
2.5.3 Arti Pentingnya Pendidikan Keterampilan Sosial
Johnson dan Johnson dalam Maryani (2011: 65) mengemukakan enam hasil penting
dari memiliki keterampilan sosial, yaitu:
a. Perkembangan Kepribadian dan Identitas Hasil pertama adalah perkembangan
kepribadian dan identitas karena kebanyakan dari identitas masyarakat dibentuk
dari hubungannya dengan orang lain. Sebagai hasil dari berinteraksi dengan
orang lain, individu mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri.
Individu yang rendah dalam keterampilan interpersonalnya dapat mengubah
hubungan dengan orang lain dan cenderung untuk mengembangkan pandanagn
yang tidak akurat dan tidak tepat tentang dirinya.
b. Mengembangkan Kemampuan Kerja, Produktivitas, dan Kesuksesan Karir
Keterampilan sosial juga cenderung mengembangkan kemampuan kerja,
produktivitas, dan kesuksesan karir, yang merupakan keterampilan umum yang
dibutuhkan dalam dunia kerja nyata. Keterampilan yang paling penting, karena
dapat digunakan untuk bayaran kerja yang lebih tinggi, mengajak orang lain
83
untuk bekerja sama, memimpin orang lain, mengatasi situasi yang kompleks,
dan menolong mengatasi permasalahan orang lain yang berhubungan dengan
dunia kerja.
c. Meningkatkan Kualitas Hidup
Meningkatkan kualitas hidup adalah hasil positif lainnya dari keterampilan social
karena setiap individu membutuhkan hubungan yang baik, dekat, dan intim
dengan individu lainnya.
d. Meningkatkan Kesehatan Fisik
Hubungan yang baik dan saling mendukung akan mempengaruhi kesehatan fisik.
Penelitian menunjukkan hubungan yang berkualitas tinggi berhubungan dengan
hidup yang panjang dan dapat pulih dengan cepat dari sakit.
e. Meningkatkan Kesehatan Psikologis
Penelitian menunjukkan bahwa kesehatan psikologis yang kuat dipengaruhi oleh
hubungan positif dan dukungan dari orang lain. Ketidakmampuan
mengembangkan dan mempertahankan hubungan yang positif dengan orang lain
dapat mengarah pada kecemasan, depresi, frustasi, dan kesepian. Telah
dibuktikan bahwa kemampuan membangun hubungan yang positif dengan orang
lain dapat mengurangi distress psikologis, yang menciptakan kebebasan, identitas
diri, dan harga diri.
f . Kemampuan Mengatasi Stress
Hasil lain yang tidak kalah pentingnya dari memiliki keterampilan sosial adalah
kemampuan mengatasi stress. Hubungan yang saling mendukung telah
menunjukkan berkurangnya jumlah penderita stress dan mengurangi kecemasan.
84
Hubungan yang baik dapat membantu individu dalam mengatasi stress dengan
memberikan perhatian, informasi, dan feedback.
Individu yang rendah dalam keterampilan interpersonalnya dapat mengubah
hubungan dengan orang lain dan cenderung untuk mengembangkan pandangan yang
tidak akurat dan tidak tepat tentang dirinya.
Penelitian menunjukkan bahwa kesehatan psikologis yang kuat dipengaruhi oleh
hubungan positif dan dukungan dari orang lain. Ketidakmampuan mengembangkan
dan mempertahankan hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengarah pada
kecemasan, depresi, frustasi, dan kesepian. Telah dibuktikan bahwa kewmampuan
membangun hubungan yang positif dengan orang lain dapat mengurangi distress
psikologis, yang menciptakan kebebasan, identitas diri, dan harga diri.
2.5.4 Karakteristik Keterampilan Sosial
Keterampilan sesorang adalah bersifat pribadi, situasional dan relatif. Hal ini seperti
dikemukakan oleh Frazier dalam Moerdani (2002: 92) bahwa: “social skill as the
same as values are personal situasional and relative” dengan uraian sebagai berikut:
1. Pertama: keterampilan sosial mencerminkan karakteristik perilaku yang khas
seseorang dalamberhubungan dengan orang lain.
2. Kedua: keterampilan sosial ditampilkan sesuai dengan situasi yang sedang
dihadapinya karena setiap situasi memerlukan keterampilan yang berbeda
tegantung dengan masalah yang sedang dihadapinya.
85
3. Ketiga: keterampilan sosial menunjukkan subtansi yang berbeda antara
seseorang individu dengan individu yang lain. Keterampilan sosial ini bersifat
tidak seragam, berbeda tolak ukurnya tergantung nilai-nilai yang dianut oleh
masyarakat.
Setiap orang menampilkan keterampilan sosial masing-masing kerena dipengaruhi
oleh pengalaman, latihan yang diperolehnya serta situasi yang dihadapinya. Semakin
banyak pengalaman, latihan dan situasi yang dihadapi, maka keterampilan sosial
seseorang akan semakin menjadi matang. Keterampilan sosial juga merupakan
bagian dari domain psikomotor. Hal ini dikemukakan oleh Carledge dan Milburn
dalam Moerdani (2002: 93) bahwa “social skills are part of phychomotor domain,
which are related to cognitive and affective domain”. Pendapat ini menunjukkan
bahwa keterampilan sosial sebagai bagian dari domain psikomotor yang mempunyai
hubungan dengan domain kognitif dan domain afektif. Keterampilan sosial
ditampilkan sebagai sarana untuk berinteraksi dengan orang lain yang dalam
bentuknya berupa keterampilan berbicara dengan sopan, mendenarkan, bekerjasama
dan sebaginya. Perilaku itu ditampilkan berdasakan pengetahuan dan efektifitasnya
terhadap orang lain. Keterampilan sosial adalah perilaku sosial yang perlu dipelajari
karena memungkinkan individu dapat berinteraksi untuk memperoleh respon positif
dan respon negatif.
2.5.5 Ciri-Ciri Keterampilan Sosial
Gresham and Resschly dalam Mu‟tadin (2006: 27) mengidentifikasi keterampilan
sosial dengan beberapa ciri, antara lain:
86
1. Perilaku Interpersonal (Interpersonal behavior)
Perilaku interpersonal adalah perilaku yang menyangkut keterampilan yang
digunakan selam melakukan interaksi sosial yang di sebut dengan keterampilan
menjalin persahabatan.
2. Perilaku yang berhubungan dengan Diri Sendiri (Self-related behavior)
Perilaku ini merupakan ciri dari seseorang yang dapat mmengatur dirinya sendiri
dalam situasi sosial, seperti kemampuan menghadapi stress, memahami perasaan
orang lain, mengontrol kemarahan dan sebaginya.
3. Perilaku yang Berhubungan dengan kesuksesan Akademis (Academic-realted
behavour)
Berhubungan dengan hal-hal yang mendukung prestasi belajar di sekolah, seperti
mendengarkan guru, mengerjakan pekerjaan sekolah dengan baik, dan mengikuti
aturan-aturan yang berlaku disekolah.
4. Penerimaan Teman Sebaya (Peer Acceptance)
Hal ini didasarkan bahwa individu yang mempunyai keterampilan sosial yang
rendah akan cenderung ditolak oleh teman-temannya, karena mereka tidak dapat
bergaul dengan baik. Beberapa bentuk perilaku yang dimaksud adalah memberi
dan menerima informasi dapat menangkap dengan tepat emosi orang lain dan
sebagainya.
5. Keterampilan Berkomunikasi (communication phychomotor)
Keterampilan ini sangat diperlukan untuk menjalin hubungan sosial yang baik,
berupa pemberian umpan balik dan perhatian terhadap lawan bicara dan menjadi
pendengar yang responsif.
87
Adapun ciri-ciri individu yang memiliki keterampilan sosial menurut Eister dalam
Mu‟tadin (2006: 28) adalah orang yang berani berbicara, memberi pertimbangan
yang mendalam, memberikan respon yang lebih cepat, memberikan jawaban secara
lengkap, mengutarakan bukti-bukti yang dapat menyakinkan orang lain, tidak mudah
menyerah, menuntut hubungan timbale balik, serta terbuka dalam mengekspesikan
dirinya.
2.5.6 Dimensi Keterampilan Sosial
Cardarella dan Merrel dalam Moerdani (2002: 94) mengemukakan lima dimensi
paling umum yang terdapat dalam keterampilan sosial, yaitu:
1. .Hubungan dengan teman sebaya (peer relation), ditunjukkan melalui perilaku
yang positif terhadap teman sebaya seperti memuji atau menasehati orang lain,
menawarkan bantuan kepada orang lain dan bermain bersama orang lain.
2. Manajemen diri (Self-management), merefleksikan remaja yang memiliki
emosional yang baik, yang mampu untuk mengontrol emosinya, mengikuti
peraturan dan batasan-batasan yang ada, dapat menerima kritikan dengan baik.
3. .Kemampuan akademis (academic), ditunjukkan melalui pemenuhan tugas secara
mandiri, menyelesaikan tugas individual, menjalankan arahan guru dengan baik.
4. .Kepatuhan (Compliance), menunjukkan remaja yang dapat mengikuti peraturan
dan harapan, menggunakan waktu dengan baik, dan membagikan sesuatu.
88
5. Perilaku asseratif (Assertion), didominasikan oleh kemampuan-kemampuan yang
membuat seorang remaja dapat menampilkan perilaku yang tepat dalam situasi
yang diharapkan.
2.6 Penelitian yang Relevan
Penulis meneliti tentang penerapan metode Outdoor Study dapat meningkatkan
minat dan Keterampilan sosial siswa MAN 1 Bandar Lampung. Beberapa penelitian
sejenis sebelumnya seperti pada tesis Emmilia Erwina tentang Penerapan Metode
Outdoor Study Untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Kalimat Sederhana Pada
Siswa Kelas II SDN Kaligondo 01 Genteng Banyuwangi Tahun Pelajaran
2011/2012. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa setelah dilakukan
perbaikan terhadap siklus II dengan menggunakan metode Outdoor Study dapat
meningkatkan keterampilan menulis kalimat sederhana pada siswa kelas II SDN
Kaligondo 01. Penelitian lain yang diteliti oleh Ninik Widayanti dengan judul
Efektifitas Pembelajaran Geografi Melalui Metode Outdoor Study Dalam Upaya
Meningkatkan Minat Belajar Siswa menyimpulkan metode Outdoor Study berhasil
meningkatkan minat belajar siswa kelas 2 pada materi pelajaran Geografi. Hal ini
terbukti dari hasil penelitian yang dilakukan dalam 2 siklus, antara lain: Metode
Outdoor Study menjadikan siswa lebih bersemangat dalam belajar, lebih
berkonsentrasi pada materi, membuat daya pikir siswa lebih berkembang, suasana
belajar lebih nyaman, siswa lebih dapat memahami materi pelajaran, siswa lebih
berani mengemukakan pendapat dan membuat siswa lebih aktif. Metode Outdoor
Study lebih efisien dan efektif jika diterapkan dengan baik, terutama pada mata
89
pelajaran georgafi yang ruang lingkup pengajarannya berupa alam lingkungan yang
menjadi ciri khasnya. Sehingga penerapan metode Outdoor Study memungkinkan
siswa dan guru menggunakan benda, bangunan, manusia sebagai narasumber dan
sumber pembelajaran. Selain itu, setting pembelajaran yang tidak terbatas pada
sebuah ruangan memungkinkan siswa memiliki kebebasan dalam beraktivitas dalam
pembelajaran, sehingga siswa mendapatkan suasana baru. Siswa menjadi lebih
berminat dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, kegiatan pembelajaran dapat
berlangsung secara efektif dan keterampilan sosial siswa juga dapat meningkat.
2.7 Kerangka Berpikir
Upaya untuk meningkatkan keterampilan sosial dan hasil belajar pelajaran Sejarah
salah satunya yaitu dengan cara merancang sistem pembelajaran yang sesuai dengan
materi pembelajaran dan kondisi suatu kelas. Keterampilan sosial adalah
kemampuan berinteraksi, berkomunikasi secara efektif baik secara verbal maupun
non verbal, kemampuan untuk dapat menunjukkan perilaku yang baik, serta
kemampuan menjalin hubungan baik dengan orang lain digunakan seseorang untuk
dapat berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh sosial.
Minat belajar adalah kecendrungan jiwa pada sesuatu, karena kita merasa ada
kepentingan dengan sesuatu itu, pada umumnya minat belajar disertai dengan
perasaan senang akan sesuatu itu. perasaan senag ini timbul dari lingkungan atau
berasal dari objek yang menarik.
90
Keterampilan sosial siswa meningkat maka minat belajar belajar pun meningkat.
Dalam metode Outdoor Study memberikan kesemptan kepada siswa untuk
menuangkan potensi diri. Dimana siswa pada tahap awal memperhatikan potensi diri
sekaligus menyalurkan kebutuhan manusia untuk berinteraksi dengan alam dan
sesama manusia. selain itu kegiatan di luar kelas mempunyai sifat yang
menyenagkan karena siswa bisa melihat, menikmati, mengagumi, dan belajar
mengenai kejadian Sejarah masa lampau. Kemudian siswa diberikan latihan soal
untuk didiskusikan bersama kelompok yang telah ditetapkan. Setelah berdiskusi
selesai, wakil dari masing-masing kelompok ditunjuk untuk mempresentasikan
didepan dan untuk kelompok-kelompok lain dapat mengajukan pertanyaan ketika
ada jawaban yang belum dipahami. Menjawab pertanyaan wakil dibantu
kelompoknya, serta memberikan peluang bagi kelompok lain untuk memberikan
pendapat dan memberi tanggapan dalam menyelesaikan masalah.
91
Dari kerangka berpikir diatas, maka kerangka analitik yang dapat dibuat adalah:
Input Proses Output
Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian
Metode Outdoor Study dengan
pendekatan saintifik meliputi:
Mengamati (Observing)
a. Memperhatikan materi yang
sedang disampaikan
b. Mengamati benda-benda
peninggalan pra Sejarah yang
terdapat dimuseum
Menanya(Questioning)
Mengajukan pertanyaan yang
berkaitan dengan materi yang
disampaikan
Mengumpulkan Data
(Experimenting)
a. Membaca dari berbagai
sumber yang berkaitan dengan
materi
b. Mengumpulkan dan mencatat
data/informasi tentang materi
yang sedang dipelajari
Mengasosiasi (Associating)
a. Berdiskusi dan memberikan
kesimpulan tentang materi
yang dipelajari atau yang telah
dicatat selama pengamatan
b. Mengevaluasi materi yang
dipelajari
Mengkomunikasikan
(Communicating)
a. Menyampaikan hasil evaluasi
dan simpulan tentang materi
b. Mendiskusikan hasil laporan
1. Keterampilan sosial
a. Mampu
berucap,berperilaku
santun
b. Mematuhi peraturan
yang berlaku
c. Menghargai
pendapat orang lain
d. Mampu bekerja
sama dengan orang
lain yang bebeda
suku, agama, atau
latar belakang
ekonomi.
e. Mampu berpikir
logis dan kreatif
2. Minat Belajar
a. Keberanian
mengemukakan
pendapat
b. Mengerjakan tugas
mandiri
c. Diskusi dalam
kelompok
d. Memperhatikan
guru yang sedang
menyajikan materi
bertanya
e. Bertanya
f. Menjawab
pertanyaan
a. Hasil
belajar
Sejarah
Siswa
Rendah
b. Metode
belajar
yang
digunakan
masih
konvensio
nal
(ceramah)
c. Minat
belajar
siswa
rendah
d. Keterampi
lan sosial
siswa
rendah
92
Input dalam penelitian ini adalah hasil belajar sejarah siswa yang masih rendah,
metode belajar yang digunakan masih konvesional, minat dan keterampilan sosial
siswa yang masih rendah. Proses pembelajaran dalam penelitian ini menggunakan
metode Outdoor Study dengan mengkombinasikan pendekatan saintifik yang harus
diterapkan pada kurikulum 2013 yang meliputi 5 M yakni Mengamati (observing),
Menanya (Questioning), Mengumpulkan data (Experimenting), Mengasosiasi
(Associating), dan Mengkomunikasikan (Communicating) .
Langkah-langkah dalam pendekatan saintifik yang meliputi 5 M adalah sebagai
berikut a) Mengamati (Observing) yakni memperhatikan materi yang sedang
disampaikan dan mengamati benda-benda peninggalan pra Sejarah b) Menanya
(Questioning) yakni mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan materi yang
disampaikan, c) Mengumpulankan Data (Experimenting) yakni membaca dari
berbagai sumber belajar yang berkaitan dengan materi dan mengumpulkan serta
mencatat data/informasi tentang materi yang sedang dipelajari, d) Mengasosiasi
(Associating) yakni berdiskusi dan memberikan kesimpulan tentang materi yang
dipelajari atau yang telah dicatat selama pengamatan dan engevaluasi materi yang
dipelajari, e) Mengkomunikasikan (Communicating) yakni menyampaikan hasil
evaluasi dan simpulan tentang materi dan mendiskusikan hasil laporan.
Output yang diharapkan setelah penerapan metode Outdoor Study pada pelajaran
sejarah dengan pendekatan santifik pada kurikulum 2013 adalah meningkatkan
keterampilan sosial dan minat siswa. Adapun indikator keterampilan sosial siswa
meliputi mampu berucap,berperilaku santun, mematuhi peraturan yang berlaku,
93
menghargai pendapat orang lain, mampu bekerja sama dengan orang lain yang
bebeda suku, agama, atau latar belakang ekonomi dan mampu berpikir logis dan
kreatif. Sedangkan indikator minat siswa meliputi keberanian mengemukakan
pendapat, mengerjakan tugas mandiri, diskusi dalam kelompok, memperhatikan guru
yang sedang menyajikan materi bertanya, bertanya dan menjawab pertanyaan.
2.8 Hipotesis
Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah:
2.8.1 Jika pembelajaran Sejarah menerapkan metode Outdoor Study dengan
langkah-langkah yang tepat, maka minat belajar siswa MAN 1 Bandar
Lampung meningkat.
2.8.2 Jika pembelajaran Sejarah menerapkan metode Outdoor Study dengan
langkah-langkah yang tepat, maka meningkatkan keterampilan sosial siswa
MAN 1 Bandar Lampung.
‘