BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Prolaps Organ Panggul …...2.1 Prolaps Organ Panggul 2.1.1 Definisi POP...

of 48 /48
12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Prolaps Organ Panggul 2.1.1 Definisi POP Turunnya salah satu atau lebih organ panggul (uterus, kandung kemih, atau rektum) ke lumen vagina bahkan sampai keluar introitus vagina, yang disebabkan oleh kelemahan dasar panggul (Anne et al., 2004; Petros, 2007). Prolaps Organ Panggul (POP) merupakan masalah kesehatan perempuan yang umum terjadi di masyarakat. Masalah ini berhubungan dengan penurunan kualitas hidup penderitanya. Angka kejadian POP meningkat sejalan dengan bertambahnya usia harapan hidup perempuan. Kelainan ini tidak mengancam nyawa, tetapi memperburuk kehidupan psikososial, ekonomi dan fungsi seksual penderitanya. Penanganan POP membutuhkan biaya yang tinggi untuk mengatasi keluhan gangguan berkemih, gangguan defekasi dan gangguan fungsi seksualnya (Nygaard et al., 2004). 2.1.2 Epidemiologi POP Angka kejadian POP sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Angka kejadiannya semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya usia harapan hidup perempuan. Pada tahun 2003 dilaporkan rata – rata usia harapan hidup perempuan 79,8 tahun. POP terjadi pada satu dari delapan orang perempuan yang berusia diatas 65 tahun. Pada tahun 2030 diperkirakan sekitar 25 % perempuan akan berusia diatas 65 tahun. Sebuah penelitian epidemiologi melaporkan bahwa

Embed Size (px)

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Prolaps Organ Panggul …...2.1 Prolaps Organ Panggul 2.1.1 Definisi POP...

  • 12

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Prolaps Organ Panggul

    2.1.1 Definisi POP

    Turunnya salah satu atau lebih organ panggul (uterus, kandung kemih,

    atau rektum) ke lumen vagina bahkan sampai keluar introitus vagina, yang

    disebabkan oleh kelemahan dasar panggul (Anne et al., 2004; Petros, 2007).

    Prolaps Organ Panggul (POP) merupakan masalah kesehatan perempuan

    yang umum terjadi di masyarakat. Masalah ini berhubungan dengan penurunan

    kualitas hidup penderitanya. Angka kejadian POP meningkat sejalan dengan

    bertambahnya usia harapan hidup perempuan. Kelainan ini tidak mengancam

    nyawa, tetapi memperburuk kehidupan psikososial, ekonomi dan fungsi seksual

    penderitanya. Penanganan POP membutuhkan biaya yang tinggi untuk mengatasi

    keluhan gangguan berkemih, gangguan defekasi dan gangguan fungsi seksualnya

    (Nygaard et al., 2004).

    2.1.2 Epidemiologi POP

    Angka kejadian POP sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Angka

    kejadiannya semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya usia harapan hidup

    perempuan. Pada tahun 2003 dilaporkan rata – rata usia harapan hidup perempuan

    79,8 tahun. POP terjadi pada satu dari delapan orang perempuan yang berusia

    diatas 65 tahun. Pada tahun 2030 diperkirakan sekitar 25 % perempuan akan

    berusia diatas 65 tahun. Sebuah penelitian epidemiologi melaporkan bahwa

  • 13

    perempuan yang membutuhkan bantuan medis karena masalah gangguan dasar

    panggul paling banyak berusia 70-79 tahun, diikuti usia 80-89 tahun dan 60-69

    tahun. Berdasarkan data tersebut dapat diperkirakan akan terjadi peningkatan

    pesat prevalensi gangguan dasar panggul terutama POP pada satu sampai dua

    dekade ke depan (Siddighi et al., 2006).

    Pencatatan yang dilakukan di beberapa rumah sakit melaporkan angka

    kejadian POP berkisar 43 – 76% dari pasien ginekologi. Sekitar 41% dari jumlah

    tersebut terjadi pada perempuan berusia 50-79 tahun, dimana 34% sistokel, 19%

    rektokel dan 14% dengan prolaps uterus. Sekitar 11% dari POP tersebut

    memerlukan tindakan pembedahan. Dari semua pembedahan terhadap POP

    tersebut, sekitar 30% mengalami kekambuhan (Jelovsek, 2007). Penelitian

    terhadap 16.000 orang pasien ginekologi di Amerika Serikat pada tahun 2004,

    menemukan 14,2% diantaranya adalah penderita POP. Rasio kejadian POP pada

    perempuan berusia diatas 50 tahun dilaporkan sekitar 2,7 - 3,3 per 1000

    perempuan (Sung et al., 2009).

    Beberapa penelitian lainnya yang sudah menggunakan sistem pelvic organ

    prolapse quantification (POP-Q) yang merupakan standar diagnostik

    Internasional melaporkan prevalensi POP sebesar 23,5% sampai 49,4% (Bradley

    et al., 2007). Sekitar 200.000 pembedahan dengan indikasi POP dilakukan di

    Amerika setiap tahunnya (Brown et al., 2002), menunjukkan bahwa operasi

    perbaikan prolaps termasuk prosedur operasi yang sangat sering dibandingkan

    operasi ginekologi lainnya. Prevalensi POP secara umum seperti fenomena

    gunung es karena angka yang dilaporkan para peneliti dan klinisi hanyalah jumlah

  • 14

    penderita yang datang ke klinik karena keluhan berat dan memerlukan

    penanganan. Penderita yang tidak mencari pertolongan medis karena malu atau

    karena menganggap prolaps adalah kejadian yang wajar akibat proses penuaan

    tentu tidak tercatat. Begitu juga dengan pasien POP derajat ringan yang tanpa

    keluhan (Siddighi et al., 2006).

    Data prevalensi POP di Indonesia belum banyak ditemukan. Departemen

    Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung melaporkan

    kejadian POP pada tahun 2007 sebanyak 30 kasus. Menurut laporan tahunan

    Bagian / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNUD / RSUP

    Sanglah Denpasar tahun 2009, kunjungan pasien POP sebanyak 82 kasus dengan

    tindakan operasi sebanyak 34 kasus. Pada tahun 2015, Bagian / SMF Obstetri dan

    Ginekologi FK UNUD / RSUP Sanglah Denpasar melaporkan kunjungan pasien

    POP lebih tinggi yaitu 91 kasus dengan 36 kasus menjalani tindakan operasi.

    Sebagian besar kasus POP yang memeriksakan diri ke klinik Uroginekologi

    Rekonstruksi RSUP Sanglah berasal dari suku Bali, yaitu 83 kasus (91,20 %).

    2.1.3 Patofisiologik POP

    Penyebab pasti POP memang belum disepakati, tapi kelemahan penyangga

    dasar panggul selalu terjadi pada prolaps. Kerusakan otot levator ani yang

    disebabkan oleh miopati atau neuropati akan mengakibatkan berkurangnya

    kekuatan dan tonus otot (terutama otot tipe I atau slow twitch) sehingga terjadi

    disuse atropi. Kelemahan otot levator ani membuat lebarnya hiatus genitalis dan

    arah hiatus genital menjadi lebih vertikal. Keadaan ini akan membuat organ

    panggul, terutama uterus akan terpapar langsung oleh tekanan intra abdominal.

  • 15

    Untuk mencegah terjadinya prolaps maka fascia endopelvik terutama ligamentum

    sakrouterina akan mengalami beban berat dan terus menerus untuk

    mempertahankan uterus dan organ panggul yang lain tetap pada posisi normal.

    Beban terus menerus inilah yang membuat trauma kronis pada struktur penyusun

    ligamentum sakrouterina, terutama matriks ekstra selulernya. Trauma kronis

    akibat tekanan intra abdominal ini mengakibatkan kelemahan ligamentum

    sakrouterina, sehingga terjadi POP (Siddighi, 2007).

    Kerusakan otot levator ani paling sering diakibatkan oleh kehamilan dan

    persalinan, proses penuaan dan menopause. Tekanan intra abdominal yang tinggi

    dan terus menerus terutama terjadi pada perempuan pekerja berat, penderita

    penyakit paru kronis, perempuan obesitas dan adanya massa intra abdomen.

    Kelemahan ligamentum sakrouterina dipengaruhi oleh struktur penyusunnya yaitu

    sel otot polos dan matriks ekstra seluler. Matriks ekstraseluler ligamentum ini

    terutama ditentukan oleh kolagen, elastin dan reseptor estrogen. Pada dekade

    terakhir ini mulai diketahui adanya faktor genetik yang mempengaruhi kekuatan

    ligamentum sakrouterina (Siddighi, 2007).

    2.1.4 Diagnosis POP

    Seperti penegakan diagnosis penyakit pada umumnya, evaluasi POP

    dimulai dengan anamnesis. Penderita POP derajat ringan (derajat I) jarang

    merasakan keluhan. Bila ada keluhan, penderita biasanya merasa ada yang

    mengganjal di liang vagina dan dapat diraba saat memasukkan jarinya. Gejala

    akan mulai muncul pada POP derajat II dan makin jelas pada derajat III-IV,

    berupa rasa tidak nyaman karena ada benjolan dari liang vagina, gangguan fungsi

  • 16

    seksual, gangguan fungsi berkemih (frekuensi, infeksi saluran kemih berulang,

    retensio urin dan inkontinensia urin tipe stres), gangguan defekasi (pengosongan

    rektum yang tidak sempurna), nyeri pinggang, infeksi sampai ulkus pada uterus

    yang keluar dan gangguan lain (Rizkar, 2011).

    Dari anamnesis juga ditelusuri faktor risiko yang berperan dalam terjadinya

    prolaps, seperti riwayat kehamilan dan persalinan, usia, status menopause, riwayat

    pekerjaan berat, serta adanya kondisi atau penyakit yang menyebabkan

    peningkatan tekanan intra abdominal secara terus menerus.

    Pemeriksaan fisik umum dilakukan untuk menilai keadaan umum penderita

    dan menentukan apakah ada penyakit lain yang berpengaruh terhadap keluhan

    POP. Pemeriksaan fisik umum yang lengkap dan seksama juga bermanfaat

    sebagai pertimbangan saat dibutuhkan intervensi dalam penanganan POP tersebut.

    Pemeriksaan ginekologi sangat penting untuk menilai vulva, dinding

    vagina dan muara uretra, apakah ada ulkus atau iritasi atau atropi mukosa vagina.

    Dinilai juga adanya sikatrik bekas trauma perineum akibat proses persalinan atau

    tanda iritasi daerah sekitar vulva karena kontak dengan pembalut yang dibasahi

    urin akibat adanya inkontinensia urin yang menyertai POP.

    2.1.5 Klasifikasi POP

    Klasifikasi untuk penentuan derajat prolaps dapat dilakukan dengan

    beberapa cara. Sebelum tahun 1996, derajat POP dijelaskan dengan menggunakan

    klasifikasi modifikasi dari kriteria Beecham (1980) dan kriteria Baden Walker

    (1968). Klasifikasi ini relatif mudah dimengerti oleh para klinisi, namun sering

    menimbulkan perbedaan karena adanya subyektivitas dalam pengukuran.

  • 17

    Perbedaan ini menimbulkan ketidak seragaman klasifikasi inter observer dan juga

    penjelasan tentang spesifikasi lokasi prolaps yang kurang lengkap dapat

    menimbulkan perbedaan atau bias intra observer.

    Bump et al. (1996) menjelaskan tentang standar klasifikasi POP yang

    disepakati oleh Internationale Continence Society (ICS). Klasifikasi ini disebut

    Pelvic Organ Prolapse Quantification (POPQ), digunakan untuk keseragaman

    penentuan derajat POP diantara para klinisi, baik untuk penanganan di klinik

    maupun untuk keperluan penelitian epidemiologi. Sistem POPQ ini menentukan

    sembilan titik dengan garis bekas hymen sebagai patokan, bernilai negatif bila

    proksimal dan positif bila berada di sebelah distal, yang kemudian pengukurannya

    dicatat pada tabel 3 kali 3, seperti dibawah ini.

    Gambar 2.1 Penentuan 6 titik yang digunakan dalam POP-Q

    (DeLancey, 2007)

  • 18

    Gambar 2.2 Tabel 3x3 untuk penilaian sistem POP-Q (DeLancey, 2007)

    Keterangan :

    • Aa adalah titik imajiner pada midline dinding vagina anterior yang terletak 3 cm di sebelah proksimal meatus uretra eksterna. Hasil penilaiannya berada dalam rentang -3 sampai +3.

    • Ba adalah jarak antara tepi paling rendah dinding vagina anterior dengan garis sisa hymen.

    • C adalah jarak antara tepi paling rendah dari serviks atau tunggul vagina (pada penderita pasca histerektomi total) dengan garis sisa hymen.

    • D adalah jarak antara forniks posterior (Douglas) dengan garis sisa hymen. Poin D tidak ada pada penderita pasca histerektomi total.

    • Ap adalah titik imajiner pada midline dinding vagina posterior yang terletak 3 cm di sebelah proksimal garis sisa hymen.

    • Bp adalah jarak antara tepi paling rendah dinding vagina posterior dengan garis sisa hymen.

    • Gh adalah ukuran lebar hiatus genitalis saat penderita meneran (manuver valsava), yaitu jarak antara meatus uretra eksterna dengan komisura posterior vagina.

    • Pb adalah ukuran lebar badan perineum, yaitu jarak antara komisura posterior vagina dengan pertengahan liang anus.

    • TVL adalah panjang total vagina, yang diukur dari hymen sampai forniks posterior setelah organ yang prolaps direposisi.

    Penentuan derajat POP : • Derajat 0 : tidak ada prolaps • Derajat 1 : titik Ba, Bp atau C mempunyai nilai < -1 cm • Derajat 2 : titik Ba, Bp atau C mempunyai nilai -1, 0 atau 1 cm • Derajat 3 : titik Ba, Bp atau C mempunyai nilai >1 cm dan

  • 19

    Sebelum penilaian dengan sistem POPQ, sebaiknya dilakukan tes valsava

    atau tes batuk untuk mengetahui adanya gejala inkontinensia tipe stres dan

    pengukuran residu urin untuk mengetahui adanya retensio urin.

    2.1.6 Penanganan POP

    Penanganan POP bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan

    keluhan dan mencegah memberatnya derajat prolaps sehingga dapat memperbaiki

    atau mempertahankan kualitas hidup perempuan tersebut. Penanganan POP

    dilakukan pada kasus yang menimbulkan keluhan atau atas permintaan penderita

    sendiri. Penanganan POP terdiri dari penanganan konservatif dan operatif

    (Siddighi, 2006; Petros, 2007).

    2.1.6.1 Penanganan konservatif

    Penanganan konservatif atau nonsurgikal untuk POP direkomendasikan

    oleh Agency for Health Care Policy and Research, harus diupayakan sebelum

    memutuskan untuk tindakan pembedahan. Penanganan konservatif ini mempunyai

    keuntungan dibandingkan operatif, yaitu lebih aman karena tidak berhubungan

    dengan mortalitas, minimal invasive, lebih simpel, masih memungkinkan untuk

    pembedahan di kemudian hari jika konservatif tidak berhasil dan biaya yang lebih

    murah. Keberhasilan penanganan konservatif memang lebih rendah tapi tingkat

    kepuasan pasien cukup tinggi (Siddghi, 2006). Penanganan konservatif ini

    meliputi :

    2.1.6.1.1 Perubahan perilaku atau pola hidup

    Penanganan ini meliputi mengurangi atau menghilangkan faktor risiko

    prolaps, terutama karena peningkatan tekanan intra abdominal yang

  • 20

    terus menerus. Pembatasan aktivitas berat, mengurangi berat badan,

    penanganan atau pencegahan terjadinya penyakit paru obstrukrif dan

    pencegahan konstipasi sangat bermanfaat dalam mencegah

    memberatnya derajat POP (Siddghi, 2006).

    2.1.6.1.2 Latihan otot dasar panggul

    Latihan otot dasar panggul atau yang lebih dikenal dengan latihan

    Kegel sudah terbukti bermanfaat untuk memperkuat otot dasar panggul

    terutama otot levator ani. Latihan ini selain untuk mencegah

    memberatnya derajat prolaps karena perbaikan kekuatan levator ani,

    juga dilaporkan dapat memperbaiki keluhan inkontinensia urin tipe

    stress dan inkontinensia ani karena latihan ini ternyata juga berefek

    positif pada kekuatan spingter uretra eksterna dan otot spingter ani

    eksterna (Siddghi, 2006).

    2.1.6.1.3 Medikamentosa

    Pertimbangan pemberian terapi sulih hormon disarankan pada POP

    derajat I-II untuk mencegah terjadinya prolaps derajat yang lebih berat

    atau setidaknya dapat menghambat progresivitas terjadinya POP,

    sehingga membantu meningkatkan kualitas hidup perempuan di masa

    mendatang (Megadhana, 2014).

    2.1.6.1.4 Pessarium

    Pemasangan pessarium dilakukan pada POP derajat III-IV yang sudah

    mengalami keluhan. Indikasi penggunaan pessarium adalah penderita

    yang menolak untuk dilakukan operasi atau tidak layak operasi karena

  • 21

    masalah medis lainnya, menunda operasi oleh karena alasan tertentu

    atau tidak adanya sumber daya yang mempunyai kompetensi untuk

    melakukan operasi pada penderita POP. Keuntungan penggunaan

    pessarium dibandingkan operasi adalah lebih aman, praktis, murah,

    cepat mengurangi keluhan. Kekurangannya karena pengguna

    pessarium memerlukan perawatan berkala untuk mencegah terjadinya

    infeksi sekunder dan perlengketan (Rizkar, 2011).

    2.1.6.2 Penanganan operatif

    Pembedahan atau operasi merupakan penanganan definitif dan kuratif dari

    POP. Sebelum pembedahan, sebaiknya semua penyakit penyerta prolaps harus

    ditangani seperti penyakit paru obstruktif kronis. Penggunaan pesarium juga harus

    dipertimbangkan sebelum memutuskan tindakan pembedahan. Bila dinilai

    keuntungan dan manfaat perbaikan kualitas hidup lebih baik dibandingkan dengan

    penanganan konservatif, maka tindakan pembedahan boleh dijadikan pilihan

    (Siddighi, 2007).

    Jenis – jenis operasi untuk penanganan POP terdiri dari operasi

    konservatif, yang masih mempertahankan uterus sebagai organ reproduksi dan

    operasi histerektomi pada kasus yang tidak membutuhkan fungsi reproduksi atau

    pada pasien yang tidak ingin mempunyai uterus lagi. Operasi prolaps konservatif

    contohnya operasi Manchester Fothergill, fiksasi sakrospinosus,

    sakrohisteropeksi perabdominal atau laparoskopi dan high uterosacral fixation.

    Bila penderita tidak membutuhkan fungsi reproduksi atau uterus dinilai berisiko

    untuk ditinggalkan maka dilakukan histerektomi. Histerektomi dapat dilakukan

  • 22

    pervaginam maupun perabdominal. Operasi pervaginam lebih dipilih oleh karena

    bisa diikuti operasi rekonstruksi atau perbaikan jaringan dan operasi pervaginam

    juga bisa disertai dengan perbaikan dinding anterior dan dinding posterior vagina.

    Perbaikan membran perineum dengan perineorafi juga sangat memungkinkan bila

    operasi dikerjakan pervaginam (Holly et al., 2015).

    Tindakan operasi prolaps mempunyai masalah medis, saat pre operasi,

    durante operasi dan pasca operasi. Masalah pre operasi yang sering adalah karena

    sebagian besar pasien prolaps berusia tua sehingga berisiko disertai penyakit

    penyerta yang membahayakan untuk dilakukan pembiusan. Untuk kasus seperti

    ini dapat dilakukan operasi obliteratif yaitu kolpokleisis, suatu operasi

    mempertemukan dinding anterior dan dinding posterior vagina sehingga uterus

    dan leher kandung kemih kembali ke posisi normal, diikuti perineorafi agresif

    untuk mencegah rekurensi. Operasi ini dikerjakan pada pasien usia tua dengan

    komplikasi medis dan tidak membutuhkan vagina sebagai fungsi seksual.

    Keuntungannya adalah intervensi anestesi yang ringan dan waktu pembedahan

    singkat sehingga bisa mengurangi komplikasi operasi (Holly et al., 2015).

    Faktor – faktor yang mempengaruhi pilihan jenis operasi POP adalah usia

    dan kondisi kesehatan penderita, derajat prolaps, lokasi kerusakan penyangga

    dasar panggul, fungsi seksual dan fungsi reproduksi penderita. Perbaikan kualitas

    hidup adalah tujuan utama dari operasi POP (Siddighi, 2007).

  • 23

    2.2 Penyangga Dasar Panggul

    2.2.1 Anatomi dasar panggul

    Dasar panggul perempuan dibentuk oleh tiga struktur yang sangat kuat

    sehingga mampu menyangga organ panggul, seperti kandung kemih, uterus dan

    rektum tetap pada posisinya. Ketiga struktur tersebut adalah fascia endopelvik,

    diafragma pelvik dan diafragma urogenital.

    Gambar 2.3 Anatomi dasar panggul wanita menurut DeLancey

    (Veronica dkk, 2014)

    Fascia endopelvik (DeLancey level I) terdiri dari ligamentum sakrouterina,

    ligamentum kardinale, fascia puboservikalis dan fascia rektovaginalis. Fascia

    endopelvik mempunyai fungsi dinamik dalam mempertahankan posisi organ

    panggul, tapi bebannya tidak terlalu berat jika diafragma pelvik masih normal.

    Diafragma pelvik (DeLancey level II) dibentuk oleh otot-otot, terutama otot

    levator ani yang terdiri dari otot ileokoksigeus, puborektalis dan otot

    pubokoksigeus. Otot levator ani mempunyai kemampuan untuk tetap berkontraksi

  • 24

    dalam keadaan istirahat sehingga menjaga dasar panggul selalu berada pada posisi

    horisontal. Selain itu otot levator ani juga dapat berkontraksi maksimal saat

    terjadinya peningkatan tekanan intra abdominal. Diafragma urogenital (DeLancey

    level III) dibentuk oleh otot-otot bulbokavernosus, otot tranversus perinei

    profunda, otot tranversus perinei superfisialis dan membran perineum. Otot-otot

    diafragma urogenital ini baru berfungsi jika terjadi kelemahan pada levator ani

    dan fascia endopelvik. Diafragma urogenital juga banyak berperan dalam aktivitas

    hubungan seksual (DeLancey et al., 2007).

    Kekuatan fascia endopelvik lebih banyak ditentukan ligamentum

    sakrouterina, ligamentum kardinale, fascia puboservikalis dan fascia

    rektovaginalis. Ligamentum dan fascia ini memegang uterus dan dinding vagina

    anterior serta posterior pada lingkaran periservikal. Ligamentum sakrouterina

    dianggap mempunyai peran yang paling penting dalam mempertahankan dasar

    panggul, sehingga paling banyak dipelajari pada mekanisme terjadinya POP.

    2.2.2 Ligamentum sakrouterina dan perannya

    Ligamentum sakrouterina merupakan bagian yang sangat penting dari

    fascia endopelvik. Ligamentum sakrouterina terbagi menjadi 3 segmen yaitu

    segmen servikal, intermedia dan sakral tanpa memandang perbedaan panjang dari

    masing-masing segmen. Beberapa kesepakatan para ahli anatomi mengenai

    persarafan dan vaskularisasi dari ligamentum sakrouterina. Pada sisi lateral dan

    sisi medial ligamentum sakrouterina dan kardinale terdapat saraf besar dan

    ganglia dari pleksus hipogastrika superior. Cabang S1-S4 dari pleksus sakralis

  • 25

    lebih rentan terhadap cedera saat tindakan yang melibatkan ligamentum

    sakrouterina (Vu et al., 2010).

    Penelitian oleh Departement of Anatomy School of Medical Science

    University of New South Wales, Sidney, Australia menjelaskan bahwa panjang

    ligamentum sakrouterina antara 12-14 cm dan dibedakan menjadi 3 potongan

    yaitu distal, intermediat dan proksimal (Vu et al., 2010).

    1. Bagian distal (servikal) adalah bagian yang paling tebal. Pada tepi

    dari serviks dan vagina menyatu dengan ligamentum kardinale.

    Secara makroskopis, bagian distal ini tersusun oleh jaringan ikat

    padat yang mengandung pembuluh darah kecil dan cabang-cabang

    kecil dari pleksus hipogastrikus.

    2. Bagian tengah (intermediet) dengan panjang kurang lebih 5 cm dan

    tebal 5 mm, makin tipis ke arah posterior secara bertahap. Bagian

    tengah inilah yang tampak jelas bila uterus ditarik ke arah anterior.

    3. Bagian proksimal dengan panjang kurang lebih 5,5 cm dan tebal

    lebih dari 5 mm, terlihat seperti jaringan ikat yang tipis tanpa

    adanya fibrillar.

    Ligamentum ini terlihat sebagai struktur yang tebal dan padat dengan

    bundel paralel yang menyerupai ligamentum pada persendian besar. Dari

    spesimen yang didapatkan pada penelitian, ligamentum tampak tipis di perbatasan

    dan lebih tebal pada dasar panggul (Vu et al., 2010).

  • 26

    Gambar 2.4 Skema Ligamentum Sakrouterina dan Organ Panggul (Vu et al., 2010)

    Ligamentum sakrouterina berfungsi menggantung uterus dan

    mempertahankan uterus pada posisi normal. Fiksasi uterus ini penting untuk

    mencegah terjadinya prolaps dan disfungsi dasar panggul lainnya. Ligamentum

    sakrouterina bersama-sama dengan ligamentum kardinale membentuk suatu

    kompleks yang disebut kompleks ligamentum sakrouterina-kardinale. Kompleks

    ligamentum ini dianggap sebagai penggantung utama uterus dan 1/3 vagina

    bagian atas ke arah sakrum. Ligamentum kardinale merupakan selubung fascia

    yang terbentuk dari kolagen yang membungkus pembuluh darah illiaka interna

    dan sepanjang arteri uterina, menyatu dengan kapsul visceral dari serviks, segmen

    bawah rahim dan vagina bagian atas. Ligamentum sakrouterina lebih padat dan

    lebih menonjol dibandingkan ligamentum kardinale. Serat-serat kolagen dari

    ligamentum sakrouterina berfusi di bagian distal dengan fascia visceral di atas

    serviks, segmen bawah rahim, vagina bagian atas, membentuk periservikal,

  • 27

    bagian proksimal serat tersebut berakhir pada fascia presakral yang melapisi

    segmen sakral 2, 3, dan 4. Kompleks ini penting untuk menggantung struktur

    rahim dan sepertiga bagian atas vagina. Kerusakan dari kompleks ini dapat

    menyebabkan prolaps uterus dan prolaps puncak vagina. Magnetic Resonance

    Imaging (MRI) dapat digunakan untuk melihat vagina bagian atas dan serviks di

    atas levator plate. Dengan mengetahui faktor risiko kelemahan ligamentum ini,

    dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang proses terjadinya POP

    (Mouritsen, 2005; Shahryarinejad, 2008).

    2.2.3 Histologik dan biokimia penyangga dasar panggul

    Jaringan penyangga dasar panggul terdiri dari sel dan matriks

    ekstraseluler. Matriks ekstraseluler tersusun dari fiber (kolagen dan elastin),

    proteoglikan (aggrecan, versican, biglycan, decorin, perlecan) dan glikoprotein

    (fibronectin, tenascin, link protein, fibromodulin, osteopontin) (Ewies, 2003; Lin

    et al., 2007).

    Sel adalah satuan dasar kehidupan dan sebagian besar sel mamalia terletak

    di dalam jaringan yang dikelilingi oleh matriks ekstraseluler kompleks yang

    disebut jaringan ikat. Matriks ekstraseluler memiliki sejumlah peran penting

    terlepas dari fungsinya sebagai jaringan penyangga organ-organ sekitarnya.

    Matriks ekstraseluler mengandung tiga kelompok biomolekul utama (Ewies,

    2003) :

    1. Protein struktural (fiber) seperti kolagen dan elastin

    2. Glikoprotein seperti fibronectin, tenascin, link protein,

    fibromodulin, osteopontin.

  • 28

    3. Proteoglikan seperti aggrecan, versican, biglycan, decorin,

    perlecan.

    Matriks ekstraseluler terutama disekresi oleh fiboblas, dimana mikromolekul

    yang penting untuk integritas jaringan adalah hyaluronan dan proteoglikan.

    Hyaluronan, versican atau agrecan dan proteoglikan kecil seperti biglican dan

    decorin sangat penting untuk organisasi jaringan ikat interstitial dan jaringan ikat

    berserat. Proteoglikan berinteraksi dengan makromolukel ekstraseluler melalui

    motif polisakarida tertentu seperti fibronectin atau melalui protein inti dalam

    kolagen. Decorin diketahui mengikat kolagen I, III dan VI, sedangkan biglican

    hanya berinteraksi dengan kolagen VI saja. Variasi dalam komposisi proteoglikan

    ini dapat mempengaruhi sifat matriks ekstraseluler (Goh, 2003; Chen, 2007).

    Molekul kolagen I dan kolagen III berhubungan dengan kekuatan dan elastisitas

    sehingga bisa diregangkan. Hyaluronan dan glycosaminoglycan berhubungan

    dengan kemampuan viskoelastis, sangat menentukan kandungan air dari matriks

    ekstraseluler dan untuk transportasi sel dan aktif dalam respon peradangan atau

    infeksi. Proteoglikan terdiri dari rantai glycosaminoglycan dan sebuah protein inti

    terbagi dalam 3 keluarga besar, Hyalecan besar, Small Leucine Rich

    Proteoglicans (SLRPs) dan Proteoglikans Sulfat Heparin. Mereka muncul dalam

    bentuk remodeling berbeda didalam matriks ekstraseluler seperti organisasi fibril,

    memediasi adhesi sel, proliferasi, interaksi berbeda terhadap faktor pertumbuhan

    dan sitokin (Soderbeg, 2008).

    Penelitian terakhir mengenai POP memberikan gambaran tentang perubahan

    yang terjadi pada jaringan penyangga organ panggul, dimana matriks ekstraseluler

  • 29

    memegang peranan penting karena akselerasi remodeling pada penderita POP

    disebabkan oleh karena adanya perubahan biokimia pada matriks ekstraseluler

    seperti kolagen, elastin dan sel stromal. Miofibroblas berperan penting pada

    dalam remodeling matriks ekstraseluler dan pengaturannya oleh regulator sel

    matriks seperti matriks metalloproteinase (MMP), transformation growth factor

    (TGF)-β, thrombospondin (TSP)-1 (Wu, 2010). Keseimbangan antara MMP, lysyl

    oksidase dan fibulin diperlukan untuk menjaga integritas matriks ekstraseluler.

    Gangguan pada keseimbangan pembentukan dan degradasi protein matriks

    ekstraseluler di jaringan penyokong panggul akan berakibat lemahnya jaringan

    tersebut, sehingga terjadi disfungsi dasar panggul (Vu, 2010).

    Penelitian menunjukkan bahwa pada POP terjadi sintesis atau degradasi

    kolagen dan elastin yang abnormal. Hal ini berhubungan dengan aktivitas MMP

    yang meningkat dan memegang peranan penting dalam proses remodeling

    jaringan dan penyembuhan luka (Nagase et al., 2006; Kerkhof et al., 2009;

    Leppert, 2012).

    Gambar 2.5 Jaringan ikat fibrous dalam matriks ekstraseluler (Lin et al., 2007)

  • 30

    Penelitian mengenai matriks ektraseluler pada dasar panggul diawali pada

    akhir tahun 1980-an dan menjadi menarik setelah metode penelitian baru

    diperkenalkan. Penelitian ini lebih sulit karena tempat lokasi biopsi berbeda,

    dimana kebanyakan penelitian menggunakan jaringan epitel, dimana jaringan ini

    paling representatif dari fascia endopelvik. Sebuah penelitian efek hormonal

    terhadap sel skuamosa vagina juga telah dilakukan, oleh karena itu perbedaan

    dalam status hormonal atau pengobatan yang lebih potensial mempengaruhi

    sedang diteliti, dimana faktor mukosa tidak dihilangkan (Chen, 2007).

    2.2.4 Peran hormon estrogen pada jaringan penyangga dasar panggul

    Reseptor estrogen dapat ditemukan pada penyangga dasar panggul terutama

    ligamentum sakrouterina dan dinding vagina perempuan premenopause. Jumlah

    reseptor tersebut menurun pada perempuan pasca menopause dan reseptor

    estrogen tersebut berkorelasi positif dengan lamanya menopause (Copas et al.,

    2007).

    Estrogen dapat mempengaruhi metabolisme kolagen dengan merangsang

    degradasi kolagen dengan meningkatkan aktivitas matriks metalloproteinase-2

    (MMP-2). Sebuah penelitian menganalisis proliferasi fibroblas yang berasal dari

    ligamentum kardinale pasien dengan dan tanpa POP setelah pemberian 17β-

    estradiol. Fibroblas dari kelompok yang mengalami prolaps menunjukkan tingkat

    proliferasi yang lebih rendah secara signifikan dibandingkan kelompok non

    prolaps. Meskipun demikian, secara klinis pemberian terapi sulih hormon tetap

    tidak bermanfaat pada penanganan POP (Liu et al., 2008). Sebaliknya, Lang et al.

    (2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan langsung antara reseptor estrogen

  • 31

    serta lamanya menopause dengan POP dan inkontinensia urin tipe stres, sehingga

    terapi estrogen mungkin bermanfaat.

    Penelitian reseptor estrogen pada ligamentum sakrouterina 25 orang

    perempuan tanpa prolaps yang telah dilakukan histerektomi total, dievaluasi

    dengan imunohistokimia didapatkan reseptor estrogen dan progesteron terdeteksi

    pada inti sel fibroblas semua pasien, tanpa memperhatikan umur, ras, status

    meopause, indeks massa tubuh dan pengobatan yang mempengaruhi kadar

    hormon estradiol serum. Ditemukannya reseptor estrogen dan reseptor

    progesteron pada ligamentum sakrouterina menandakan struktur ini menjadi end

    organ untuk respon estrogen dan progesteron (Vu et al., 2010). Aktivitas estrogen

    sangat tergantung pada kadar estrogen dalam serum dan ekspresi reseptor estrogen

    terutama reseptor estrogen α, karena reseptor ini yang lebih dominan pada

    ligamentum sakrouterina.

    Selain itu terdapat juga beberapa ko-regulator dan faktor transkripsional

    yang memiliki efek pada pathway estrogen yang dependen. Didapatkan hubungan

    timbal balik antara estrogen serum dan reseptor estrogen. Estrogen dan reseptor

    estrogen meregulasi sebagian besar dari gen yang mengkode faktor pertumbuhan

    yang berperan dalam sintesis matriks ekstraseluler (Cung, 2006; Kretowska et al.,

    2011).

    2.3 Matriks Ekstraseluler

    Matriks ekstraseluler adalah bagian ekstraseluler dari suatu jaringan terdiri

    dari matriks interstisial dan membrana basalis yang menjadi pengikat dan

  • 32

    penyokong struktur sel-sel makhluk hidup. Komponen-komponen matriks

    ekstraseluler diproduksi secara intraseluler oleh sel-sel stromal pada matriks dan

    disekresi ke ekstraseluler secara eksositosis (Alberts, 2010). Matriks ekstraseluler

    terdiri dari jaringan pengikat yang tersusun dari protein fibrous yang berikatan

    dengan glikosaminoglikans (GAGs). Komponen matriks ekstraseluler terdiri dari

    serat protein seperti kolagen dan elastin, sel-sel stromal seperti miofibroblas,

    proteoglikan yang merupakan GAGs yang berikatan dengan protein matriks dan

    glikoprotein lainnya seperti fibronectin, laminin, vitronectin, tenascin (Alberts,

    2010).

    Matriks ekstraseluler selain mempunyai fungsi struktural dalam jaringan,

    juga merupakan tempat dimana terjadinya proses proliferasi, adhesi, migrasi,

    differensiasi dan remodeling (Leppert, 2012). Pada dasarnya keseimbangan antara

    sintesis, cross-link, pematangan dan degradasi dari komponen-komponen

    ekstraseluler oleh MMP penting untuk menjaga integritas jaringan pada

    remodeling jaringan yang berkelanjutan. Penelitian menunjukkan pada POP

    terjadi sintesis atau degradasi yang abnormal dari kedua komponen paling utama

    dalam matriks ekstraseluler yaitu serat kolagen dan elastin. Hal ini juga tidak

    terlepas dari peningkatan aktivitas MMP yang memegang peranan penting dalam

    remodeling jaringan dan penyembuhan luka. Terdapat 23 macam MMP yang telah

    berhasil diidentifikasi pada manusia (Leppert, 2012).

  • 33

    Gambar 2.6 Matriks ekstraseluler dan komponen-komponennya

    (Kerkhof et al., 2009)

    2.3.1 Kolagen

    Kolagen merupakan komponen terbanyak di dalam matriks ekstraseluler.

    Terdapat 28 tipe kolagen yang telah diketahui, dengan tipe I, III dan V dapat

    ditemukan pada vagina dan jaringan penyokong sekitarnya (Nagase et al., 2006;

    Kerkhof et al., 2009). Kolagen tipe I dapat ditemukan dimana-mana, sebagian

    besar di kulit, ligamentum, fascia, kartilago dan tendon. Kolagen tipe I bersifat

    fleksibel dan mempunyai resistensi yang baik terhadap regangan (Kerkhof et al.,

    2009). Kolagen tipe III lebih banyak ditemukan dalam jaringan yang memerlukan

    fleksibilitas dan ekstensibilitas regangan yang banyak karena sering terpapar stres

    periodik. Kedua kolagen ini juga ditemukan dalam jaringan granulasi selama

    proses penyembuhan luka. Kolagen V memiliki kepentingan kuantitatif yang

    minimal. Kolagen ini terbentuk dari serat-serat kecil dengan kekuatan regangan

    sangat rendah dan berperan dalam proses penyembuhan luka serta fibrillogenesis.

    Peranan kolagen V pada vagina dan jaringan penyokong belum dapat dipastikan

    (Kerkhof et al., 2009).

  • 34

    2.3.1.1 Sintesis kolagen

    Pada tahun 1954, Ramachandran dan Kartha menemukan struktur triple

    helical dari kolagen. Dalam retikulum endoplasma, rantai α terbentuk, diikuti

    dengan modifikasi post translational dari residu prolin dan lisin. Tiap molekul

    kolagen terdiri dari kombinasi yang tepat antara tiga rantai α-polipeptida.

    Tergantung pada jenis kolagen, ketiga rantai α-polipeptida tersebut dapat

    bervariasi. Ketiga heliks berputar bersama membentuk triple helix, dan

    distabilkan oleh ikatan hydrogen. Terdapat beberapa cross-linking yang kovalen

    dalam rantai tersebut dan sejumlah cross-linking kovalen antara heliks kolagen,

    sehingga menyebabkan adanya kolagen dalam jaringan dengan tingkat maturitas

    yang berbeda-beda. Setelah triple helix yang disebut prokolagen terbentuk

    intraseluler maka akan disekresikan ke ruang ekstraselular. Molekul tropokolagen

    terbentuk akibat kerja peptida karboksi terminal dan amino terminal. Molekul

    tropokolagen akan tersusun menjadi fibril kolagen yang kemudian akan saling

    berhubungan untuk membentuk serat dan ikatan serat (bundles). Bentuk dan sifat

    dari jaringan ditentukan dari posisi fibril kolagen dalam serat dan posisi serat

    dalam matriks (Jackson et al., 1996; Chen et al., 2005).

    Fibril kolagen I, III dan V ditemukan dalam vagina dan jaringan

    penyokong menjadi determinan utama kekuatan dari jaringan ikat tersebut. Serat

    kolagen I terdapat pada keseluruhan vagina dan bersifat fleksibel serta

    memberikan resistensi yang kuat terhadap regangan. Kolagen III paling banyak

    ditemukan dalam jaringan yang memerlukan fleksibilitas dan regangan yang

    banyak serta sering mengalami stres periodik. Kolagen ini merupakan kolagen

  • 35

    utama dalam kulit pada saat lahir, sebelum digantikan oleh kolagen I. Kolagen

    tipe I dan III ditemukan dalam jaringan granulasi selama proses penyembuhan

    luka. Kolagen tipe V memiliki kepentingan kuantitatif yang minimal. Kolagen ini

    terbentuk dari serat-serat kecil dengan kekuatan regangan yang sangat rendah dan

    berperan dalam proses penyembuhan luka serta fibrillogenesis. Peranan kolagen V

    pada vagina dan jaringan ikat penyokong belum dapat dipastikan (Jackson et al.,

    1996 ; Chen et al., 2005 ; Wu et al., 2010).

    Penelitian mengenai perubahan kuantitas dan rasio dari subtipe kolagen

    menghasilkan data yang inkonklusif. Baik peningkatan maupun penurunan dari

    kandungan kolagen total pada vagina dan jaringan ikat penyokong pelvis telah

    dilaporkan pada pasien dengan POP. Metode yang berbeda mengenai kuantifikasi

    kandungan kolagen serta kurangnya informasi mengenai histologi dan situs biopsi

    pada vagina atau jaringan penyokong yang dianalisis menyebabkan upaya untuk

    membandingkan data-data tersebut secara langsung menjadi sangat sulit.

    Penelitian menunjukkan jaringan yang diperoleh dari ligamentum sakrouterina

    pasien dengan POP memiliki kandungan kolagen total yang menurun dengan

    konsentrasi kolagen III yang meningkat tanpa dipengaruhi usia maupun paritas.

    Peningkatan kandungan kolagen III mungkin mengarah pada proses pemulihan

    akibat kondisi regangan yang berlebih pada jaringan ikat dasar panggul (Chen et

    al., 2005 ; Wu et al., 2010).

    Moalli et al. (2002), menemukan peningkatan ekspresi MMP-9 aktif yang

    signifikan pada perempuan dengan POP, relatif terhadap kelompok kontrol.

    Kombinasi antara peningkatan kandungan kolagen III dengan peningkatan jumlah

  • 36

    MMP-9 yang aktif merupakan gambaran tipikal dari jaringan yang sedang

    mengalami proses remodeling setelah cedera atau jaringan yang mengalami

    remodeling untuk mengakomodasi beban mekanis yang meningkat secara

    progresif (Moalli et al., 2002). Peningkatan ekspresi tenasin, yang merupakan

    glikoprotein matrik ekstraseluler yang muncul saat proses pemulihan luka, juga

    mendukung teori ini (Chen et al., 2005 ; Wu et al., 2010).

    2.3.1.2 Maturasi kolagen

    Usia merupakan faktor risiko dari POP. Pada penelitian oleh Chen et al.

    (2005), terdapat peningkatan risiko sebesar 10% terhadap insiden POP setiap

    penambahan satu dekade dari umur pasien. Olsen et al.(2003), menemukan bahwa

    insiden kumulatif dari operasi primer untuk POP dan inkontinensia urin

    meningkat dari 0,1% pada kelompok umur 20-29 tahun menjadi 11,1% pada

    kelompok umur 70-79 tahun (Chen et al., 2005).

    Chen et al. (2005), menilai daya regang dari ligamentum sakrouterina

    dengan menggunakan tensiometri pada pasien dengan dan tanpa POP untuk

    mengetahui apakah berpengaruh terhadap mobilitas uterus atau dasar panggul,

    serta untuk mengetahui apakah terdapat variasi berdasarkan usia pasien, riwayat

    persalinan pervaginam, menopause atau variasi histologis pada ligamentum.

    Penelitian ini menemukan bahwa daya regang ligamentum sakrouterina secara

    signifikan berkurang (p=0,02) pada pasien dengan POP simptomatis. Terdapat

    penurunan yang signifikan pada ligamentum sakrouterina pasien menopause

    (p=0,009) dan pasien dengan usia lebih tua (p=0,005), yang mengarahkan pada

    kondisi dimana otot dasar panggul melemah, sehingga menyebabkan penurunan

  • 37

    daya regang jaringan ikat panggul yang berhubungan dengan usia dan menopause

    yang memfasilitasi perkembangan hingga muncul gejala POP (Chen et al., 2005).

    Dua mekanisme maturasi kolagen sudah teridentifikasi. Yang pertama

    melibatkan cross-links lisin aldehid yang dikontrol oleh enzim. Cross-link

    dehidro-hidroksi lisinonorleusin yang divalen pada fase awal dikontrol oleh enzim

    dan kemudian diubah menjadi cross-link trivalen yang stabil, yaitu histidino-

    hidroksilisinonorleusin dan hidroksilisil-piridinolin seiring dengan proses

    maturasi jaringan. Proporsi relatif dari cross-link divalen pada fase awal terhadap

    cross-link yang sudah matur dapat memberikan penilaian mengenai tingkat

    maturasi dari sebuah jaringan. Mekanisme untuk menciptakan kekuatan dari

    kolagen oleh cross-link interfibril masih ditelusuri hingga saat ini. Selanjutnya

    kolagen matur yang mengalami metabolisme yang lambat akan rentan terhadap

    proses cross-link yang bersifat non-enzimatik yang juga dikenal sebagai reaksi

    glikasi atau maillard. Reaksi ini melibatkan penambahan glukosa yang cukup

    random pada kolagen, karena perguliran kolagen secara umum berlangsung sangat

    rendah. Hasil produk dari proses glikasi ini kemudian bereaksi membentuk cross-

    link intermolekuler. Telah diketahui bahwa hasil akhir dari glikasi tahap lanjut

    advanced glycated endproducts (AGEs) pada kolagen akan berakumulasi seiring

    dengan bertambahnya usia. Mekanisme ini merupakan penyebab disfungsi

    jaringan kolagen dan bertanggungjawab atas komplikasi jaringan ikat yang

    muncul pada usia lanjut. Kolagen yang terlampau matur akan menjadi kaku dan

    akan menjadi lebih rapuh dibanding kolagen yang hanya memiliki cross-link

    enzimatik. Glikasi dari protein lain juga mengalami mekanisme yang sama,

  • 38

    namun usia paruh biologis yang panjang dari kolagen memastikan bahwa kolagen

    tersebut memiliki peranan yang penting dalam proses penuaan. Dengan

    pengetahuan perubahan kolagen seiring dengan bertambahnya usia, lebih banyak

    penelitian mengenai POP, khususnya pada wanita berusia lebih muda, dapat

    mengungkapkan dasar patofisiologi dari kelainan ini (Chen et al., 2005 ; Jung et

    al., 2009).

    2.3.1.3 Degradasi kolagen

    Keseimbangan antara sintesis dan degradasi kolagen menjadi penting

    dalam mempertahankan integritas dan kekuatan regang dari jaringan selama

    proses remodeling jaringan yang berlangsung secara terus-menerus. Degradasi

    bergantung pada kombinasi aktifitas MMP dan regulasi pelepasannya, aktivasi

    atau sekuestrasi dari faktor-faktor pertumbuhan, protein pengikat faktor

    pertumbuhan, reseptor pada permukaan sel dan molekul adhesi untuk sel. Matriks

    metallopreteinase disintesis intraseluler dan disekresikan sebagai pro-enzim ke

    ruang ekstraselular, yang kemudian diubah menjadi bentuk yang aktif oleh

    aktivitas enzim (Jung et al., 2009)

    Terdapat 23 jenis famili MMP yang ditemukan pada manusia. Semuanya

    dapat mendegradasi satu atau lebih komponen matriks ekstraselular, namun

    dengan spesifisikasi yang berbeda-beda. Kolagenasi interstisial dan neutrofil

    (MMP-1, MMP-8 dan MMP-13) mampu memecah kolagen fibrilar, sementara

    gelatinase (MMP-2 dan MMP-9) mendegradasi hasil peptida yang mengalami

    denaturalisasi. Asam katepsin mendepolimerisasi serat kolagen dengan memecah

  • 39

    situs disekitar cross-link. Kombinasi kerja enzim-enzim ini mampu mendegradasi

    semua komponen matriks ekstraselular (Alperin et al., 2006 ; Jung et al., 2009).

    Untuk membatasi degradasi jaringan, aktivitas MMP diregulasi dengan

    memodulasi produk pro-enzim. Degradasi berlebih juga dikendalikan oleh

    inhibitor endogen yaitu inhibitor yang dibentuk dalam serum dan Tissue Inhibitor

    Matrix Metalloproteinase (TIMP). Inhibitor ini berikatan dengan MMP secara

    stoikiometrik untuk menghambat kerjanya. TIMP-1 dan juga TIMP-3 berikatan

    dengan MMP-1 dan MMP-9, sedangkan TIMP-2 berikatan dengan MMP-2.

    Inhibitor yang dibentuk secara in vitro telah menunjukkan bahwa MMP aktif

    dapat pula di non-aktifkan secara spontan dengan mendegradasi MMP tersebut

    menjadi fragmen yang lebih kecil. Proses ini disebut dengan autokatalisis (Jakson

    et al., 1996 ; Chen et al., 2005).

    2.3.2 Elastin

    Serat elastin mempunyai kemampuan meregang dan memanjang hingga

    70% ukuran aslinya dan kembali ke bentuk normal, dibandingkan dengan kolagen

    yang hanya mampu memanjang hingga 4% sebelum akhirnya gagal dan rusak

    (Goh, 2003). Kemampuan ini dianggap penting dalam jaringan organ reproduksi

    karena mengakomodasi regangan yang besar pada jaringan selama kehamilan dan

    kemudian involusi untuk mengembalikan bentuk organ semula setelah persalinan

    (Kerkhof et al., 2009).

    Elastin adalah salah satu komponen penting dalam matrik ekstraseluler

    yang secara ultrastruktur terdiri dari 2 elemen besar, yaitu komponen tidak

    berbentuk dari elastin dan komponen seperti serat yang disebut mikrofibril, yang

  • 40

    berfungsi sebagai tempat melekatnya komponen tidak berbentuk elastin.

    Mikrofibril terdiri dari beberapa macam protein termasuk fibrilin dan glycoprotein

    lainnya yang berhubungan dengan mikrofibril. Protein-protein ini membentuk

    perancah dimana akan menjadi tempat melekatnya komponen tidak berbentuk dari

    elastin sebelum akhirnya bertumbuh ke perifer dan menjadi serat elastin (Goh,

    2003).

    Elastin adalah protein ekstrim yang tidak larut dikarenakan cross-link yang

    ekstensif pada residu lysine dan termasuk sebagai salah satu protein paling

    hidrofobik yang diketahui. Pada vertebrata yang lebih tinggi termasuk manusia,

    lebih dari 30 % residu asam amino dari elastin berupa residu glysin dan perkiraan

    sekitar 75% dari seluruh urutannya terdiri dari 4 asam amino yang hidrofobik

    berupa glysin, valin, alanin dan prolin (Goh, 2003).

    2.3.2.1 Sintesis elastin

    Tropoelastin merupakan prekursor dari elastin yang disandikan oleh gen

    tunggal berlokasi di kromosom 7q11 pada manusia dan mempunyai setidaknya 11

    variasi dikarenakan sambungan transkripsi yang berbeda-beda. Tropoelastin

    dihasilkan dalam bentuk monomer yang larut oleh sel fibroblas dan sel otot polos

    kemudian akan disekresikan ke ekstraseluler dan berikatan dengan fibulin-5.

    Fibulin-5 dibutuhkan dan sangat penting dalam pembentukan serat elastin yang

    baru. Fibulin-5 kemudian akan menambatkan tropoelastin pada sel dengan

    berinteraksi dengan integrin pada permukaan sel. Selanjutnya permukaan sel akan

    mengarahkan lokasi elastin ke perancah mikrofibril kemungkinan dengan

    berinteraksi dengan fibulin-2 yang berlokasi di mikrofibril. Kemudian residu lysin

  • 41

    dari tropoelastin akan mengalami modifikasi membentuk ikatan kovalen dengan

    rantai tropoelastin lainnya membentuk serat elastin yang matur dengan dikelilingi

    mikrofibril (Mäki, 2002).

    Gambar 2.7 Ikatan tropoelastin, fibulin-5, integrin dan lysyl oxidase

    (Kerkhof et al., 2009)

    Ikatan polimer ini mempunyai kemampuan yang besar untuk mengkerut

    dan meregang secara reversibel. Ikatan kovalen ini diperantarai oleh copper

    dependent-enzim ekstraseluler yang disebut lysyl oksidase dan sangat stabil tetapi

    dapat dipecahkan oleh MMP yang teraktivasi ataupun protease lainnya menjadi

    produk degradasi elastin (Kerkhof et al., 2009).

    Defek pada struktur serat elastin dapat menimbulkan keadaan patologis

    dimana POP adalah salah satunya. Beberapa penyakit yang ditimbulkan karena

  • 42

    kelainan pada serat elastin seperti pada cutis laxa, merupakan penyakit jaringan

    ikat yang autosomal dominan sebagai akibat kurangnya dermal elastin (mutasi

    pada gen elastin dan fibulin-5) dengan karakteristik seperti kulit terlihat longgar,

    mudah teregang dan berkurangnya elastisitas kulit untuk kembali ke bentuk

    semula. POP sangat umum terjadi pada perempuan dengan cutis laxa. Manifestasi

    lainnya yang jarang dapat berupa stenosis arteri pulmonalis, aneurisma aorta,

    bronkiektasis dan emfisema paru, karena kerusakan atau degradasi serat elastin

    menyebabkan arteri dan alveolus kehilangan elastisitasnya. Kelainan pada struktur

    elastin juga ditemukan pada sindrom Marfan (mutasi pada gen fibrilin) dengan

    manifestasi klinis termasuk POP dan kelainan pada aorta (Goepel et al., 2008 ;

    Word et al., 2009).

    Gambar 2.8 Struktur serat elastin pada saat meregang dan relaks (Kerkhof et al., 2009)

    Elastin telah disintesis sejak awal permulaan kehidupan. Produksi elastin

    mencapai puncaknya pada trimester ke-3 kehidupan fetus dan kemudian menurun

    secara bertahap selama perkembangan postnatal. Pada jaringan atau organ yang

    tidak terganggu, serat elastin akan bertahan seumur hidup. Modifikasi serat elastin

  • 43

    yang terjadi di semua jaringan dan organ dalam kaitannya dengan umur, secara

    umum dikatakan mengalami degradasi yang progresif dari protein polimer yang

    diproduksi sejak awal kehidupan. Pada manusia, serat elastin tumbuh berkembang

    tidak terdistorsi setelah kelahiran dan berkembang secara proporsional sesuai

    pertumbuhan jaringan. Selanjutnya setelah dewasa dan semakin tua, serat elastin

    semakin berkerut dan rapuh. Namun penelitian menunjukkan bahwa pergantian

    serat elastin pada jaringan reproduksi wanita tidak sama halnya dengan pergantian

    yang terjadi pada organ lain orang dewasa, dimana serat elastin berkelanjutan

    disintesis dan diakselerasi terutama sesudah melahirkan. Kemampuan unik dari

    adaptasi ini untuk memproduksi serat elastin baru memungkinkan vagina untuk

    meregang selama kehamilan dan kemudian kembali normal setelah melahirkan

    (Word et al., 2009).

    Gambar 2.9 Sintesis elastin berdasarkan umur (Word et al., 2009)

  • 44

    2.3.2.2 Fibulin-5

    Protein lainnya, termasuk keluarga protein fibulin, berhubungan dengan

    serat elastin in vivo dan berperan untuk memicu pembentukan dan stabilisasi serat

    elastin. Istilah fibulin diambil dari kata latin yang berarti kuncian atau segel.

    Fibulin terdiri dari lima anggota keluarga yang memiliki pola ekspresi saling

    tumpang tindih namun berbeda. Fibulin banyak ditemukan pada jaringan yang

    kaya dengan serat elastin, seperti paru-paru, pembuluh darah, leher kandung

    kemih dan uterus (Miao, 2013).

    Fibulin-5 juga diketahui sebagai Developing Arteries and Neural Crest

    Epidermal growth factor like protein (DANCE) atau Embryonic Vascular

    Epidermal Growth factor like repeat Containing protein (EVEC) pada penelitian

    terkini berperan sebagai protein yang menghubungkan serat elastin dengan sel dan

    mengatur penyusunan serta pembentukan serat. Fibulin-5 terdapat bersama-sama

    dengan elastin dan berikatan pada permukaan serat elastin dan juga pada sel.

    Fibulin-5 berikatan dengan sel melalui interaksi dengan reseptor permukaan sel

    integrin. Fibulin-5 penting untuk pembentukan serat elastin baru, namun tidak

    untuk mempertahankan fibril yang sudah ada. Proses pembaharuan serat elastin

    yang muncul pada saluran reproduksi wanita setelah melahirkan adalah unik

    dibandingkan jaringan dewasa lainnya (Miao, 2013).

    Pemikiran bahwa fibulin-5 bekerja sebagai jembatan antara elastin dan

    permukaan sel menambah kompleksitas model penyusunan serat elastin yang kini

    ada. Kolaborasi antara sel dan elastin dibutuhkan untuk terjadinya pembentukan

    serat dan molekul yang memfasilitasi hal ini telah diidentifikasi. Sebagai contoh,

  • 45

    reseptor elastin telah dibuktikan berhubungan dengan tropoelastin dan bekerja

    sebagai penuntun untuk membantu perpindahan intraseluler dan pembentukan

    ekstraseluler (Word, 2009). Fibulin-5 juga berikatan dengan LOXL1 dan dapat

    mengkoordinasikan aktivitas molekul tersebut dengan mengarahkan pembentukan

    serat elastis pada permukaan sel (Miao, 2013) .

    2.4 Reseptor Estrogen

    Reseptor estrogen (ER) sebelumnya telah diidentifikasi di dalam nukleus

    jaringan ikat dan sel otot polos dari trigonum kandung kemih, uretra, mukosa

    vagina, stroma levator ani dan ligamentum sakrouterina. Reseptor estrogen juga

    terdapat dalam organ lain selain organ reproduktif, seperti otak, kelenjar

    mammae, kulit, tulang dan lain-lain (Chung et al., 2006 ; Kretowska et al., 2011).

    Reseptor estrogen merupakan faktor transkripsi yang diaktifkan melalui suatu

    “ikatan” atau “kontak” dan tanpa adanya ikatan akan ditemukan dalam bentuk

    laten yang bersifat monomerik, yang ditemukan dalam sitosol maupun nukleus.

    Terdapat dua subtipe reseptor estrogen pada sel manusia yaitu reseptor

    estrogen α (ERα) merupakan reseptor estrogen yang dominan ditemukan dalam

    uterus perempuan dewasa dan reseptor estrogen β (ERβ) diekpresikan dalam

    jumlah tinggi pada jaringan target estrogen lain seperti prostat, kelenjar saliva,

    testis, ovarium, endotelium pembuluh darah, otot polos dan sistem imun (Chung

    et al., 2006 ; Chen et al., 2008). Estrogen memiliki efek positif untuk

    kelangsungan fungsi dari traktus urogenital dan dasar panggul. Secara embriologi

    traktus genitalia dan urinaria berasal dari sumber yang sama, yaitu sinus

  • 46

    urogenital. Pada organ panggul reseptor estrogen terekspresi dalam jumlah besar

    pada otot pubokoksigeus, ligamentum sakrouterina, uretra, kandung kemih dan

    pembuluh darah pada panggul. Fibroblas yang distimulasi oleh estrogen akan

    mensintesis kolagen dan menghambat degradasinya. Pada ligamentum

    sakrouterina estrogen digunakan untuk mensintesis kolagen tipe I dimana kolagen

    ini merupakan kolagen yang sangat kuat. Perempuan dengan POP dan

    inkontinensia urin memiliki kolagen tipe I yang sedikit, lebih didominasi oleh

    kolagen tipe III (Jones et al., 2006).

    Gambar 2.10 Tabel Distribusi Reseptor Seks Steroid pada Genetalia (Speroff et al., 2005)

    Reseptor estrogen dibagi menjadi 6 regio (region) dalam 5 daerah

    (domain), yang diberi label A sampai F dan akan menjelaskan bagaimana proses

    trankripsi terjadi dalam reseptor estrogen tersebut (Speroff et al., 2005).

  • 47

    Regio A/B, domain pengaturan.

    Daerah ini adalah ujung asam amino merupakan bagian paling sering berubah

    pada reseptor superfamili, yang dapat meningkat dari 20 asam amino pada

    reseptor vitamin D menjadi 600 asam amino pada reseptor mineralokortikoid.

    Pada ERα, mengandung beberapa tempat fosforilasi dan fungsi aktivitas

    transkripsi yang dinamakan Transcription Activating Factors-1 (TAF-1).

    Transcription Activating Factors-1 dapat menstimulasi transkripsi pada keadaan

    tidak adanya ikatan hormon. Pengaturan domain sangat berbeda pada dua reseptor

    estrogen dan pada ER-β, TAF-1 dapat signifikan atau bahkan tidak ada (Speroff et

    al., 2005).

    Regio C, daerah ikatan DNA.

    Merupakan bagian tengah yang mengikat DNA, mengandung 100 asam

    amino dengan 9 sistein berada pada posisi yang stabil yang dihubungkan melalui

    dua ikatan jari Zn ( Zinc Finger). Daerah ini esensial untuk mengaktivasi

    transkripsi. Ikatan dengan hormon merangsang suatu perubahan yang sesuai untuk

    menyiapkan ikatan hormon- elemen responsif pada target gen. Daerah ini sangat

    sesuai dengan masing-masing bagian dari reseptor steroid dan superfamili tiroid.

    Spesifisitas reseptor yang mengikat hormon dengan elemen responsif ditentukan

    oleh jari regio zinc, terutama pada jari pertama. Pesan spesifik dapat berubah

    dengan adanya perubahan asam amino pada daerah dasar dari jari-jari.

    Penggabungan asam amino pada ujung-ujung jari menyebabkan hilangnya fungsi.

    Spesifisitas fungsional dapat dilokalisasi pada jari kedua zinc pada suatu area

  • 48

    yang terbentuk pada distal kotak (distal box). Respon-respon yang berbeda

    seharusnya tampak pada genetik yang berbeda dari masing-masing sel target.

    Gambar 2.11 Proses Transkripsi pada Reseptor Estrogen (Speroff et al., 2005)

    Regio D, daerah engsel.

    Regio ini merupakan daerah diantara ikatan DNA dan daerah ikatan hormon yang

    mengandung signal penting untuk perpindahan reseptor ke arah nukleus melalui

    sintesa dalam sitoplasma. Lokalisasi signal pada nukleus pasti menunjukkan

    adanya reseptor estrogen dengan sisa nukleus pada keadaan tanpa adanya hormon.

    Regio ini juga merupakan tempat rotasi (sehingga terbentuk engsel) dalam

    mencapai perubahan yang sesuai (Speroff et al., 2005).

    Regio E, daerah ikatan hormon.

    Merupakan ujung karboksi dari reseptor estrogen α yang merupakan daerah ikatan

    hormon (untuk estrogen dan antiestrogen), mengandung 251 asam amino (residu

    302-553). Sebagai tambahan, regio ikatan hormon, bertanggung jawab terhadap

    dimerisisasi dan mengandung fungsi aktivitas transkripsi yang disebut TAF-2. Ini

    juga merupakan tempat untuk mengikat panas protein (terutama hsp 90) dan

  • 49

    ikatan ini diperlukan untuk mengikat panas protein yang dapat mencegah

    dimerisasi dan ikatan DNA. Perbedaan aktivitas TAF-1, TAF-2 tergantung dari

    ikatan hormon (Speroff et al., 2005).

    Regio F.

    Regio F dari ERα merupakan suatu asam amino-42 pada segmen C-

    terminal. Regio ini mengatur transkripsi gen oleh hormon estrogen dan

    antiestrogen, yang mempunyai pengaruh dalam melakukan efikasi terhadap

    antiestrogen yang menekan efek estrogen dalam melakukan proses transkripsi.

    Bentuk dari reseptor ikatan komplek yang dibentuk baik oleh hormon estrogen

    dan antiestrogen berbeda, dan hal tersebut juga berbeda dengan atau tanpa

    keberadaan regio F. Regio F tidak diwajibkan ada untuk dapat menimbulkan

    respon transkripsi terhadap hormon estrogen. Dengan demikian sangatlah tepat

    bahwa peranan dari regio F sangatlah bervariasi, hal tersebut ditentukan oleh tipe

    sel dan jenis dari protein terkait. Regio F mempengaruhi aktivitas dari TAF-1 dan

    TAF-2, dimana akan timbul hasil yang diharapkan jika pengaruh penyesuaian

    telah didapat.

    Perjalanan klinis dari pasien dengan POP yang simptomatik menunjukkan

    bahwa perkembangan prolaps ini dicetuskan oleh kondisi hipoestrogenik. Namun,

    aktifitas estrogen sangat tergantung pada kadar estrogen dalam serum dan pada

    ekspresi dari reseptor estrogennya. Terdapat juga beberapa ko-regulator dan faktor

    transkripsional lain yang memiliki efek pada pathway estrogen dependen.

    Beberapa penelitian menunjukkan hubungan timbal balik antara estrogen dan

    jaringan ikat dengan perantaraan reseptor estrogen tersebut. Estrogen dan ER

  • 50

    meregulasi sebagian besar dari gen yang mengkode faktor pertumbuhan yang

    berperan dalam mensintesis matriks ekstraselular (Chen et al., 2008 ; Kretowska

    et al., 2011).

    Pada beberapa penelitian didapatkan jumlah reseptor estrogen secara

    signifikan lebih rendah pada ligamentum sakrouterina wanita premenopause

    dengan POP. Namun tidak terdapat perbedaan dalam nilai reseptor estrogen antara

    perempuan post menopause dengan atau tanpa POP ketika hanya subtipe reseptor

    estrogen α yang dianalisis. Ewies et al.(2004), mempelajari perubahan reseptor

    steroid dalam ligamentum kardinale uterus yang mengalami prolaps. Analisis

    immunohistokimia dari ligamentum kardinale menunjukkan ekspresi ERα pada

    wanita dengan POP 1,5-2,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa

    POP. Selain itu, ekspresi ERβ dua kali lipat lebih tinggi pada wanita pre

    menopause tanpa POP dibandingkan wanita pre menopause dengan POP, dan

    tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok post menopause

    (Ewies et al., 2004)

    Monica et al. (2005) menunjukkan ekspresi ERα dan rasio Erα / ERβ

    lebih tinggi pada wanita post menopause dibandingkan wanita pre menopause,

    serta pada semua kelompok yang dengan POP. Hasil tersebut belum mencapai

    nilai yang signifikan secara statistik pada wanita post menopause dengan POP dan

    hal tersebut dapat dijelaskan dengan adanya ekpresi ERα dan rasio ERα/ERβ yang

    lebih tinggi pada semua wanita post menopause. Ekspresi ERβ secara statistik

    lebih rendah pada wanita pre menopause dengan POP dibandingkan wanita pre

    menopause tanpa POP dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara

  • 51

    ekspresi ERβ pada wanita post menopause apapun status POP mereka. Hasil yang

    ditemukan pada penelitian ini, meskipun bersifat preliminer, menunjukkan

    perbedaan ekspresi konsentrasi ER pada wanita pre menopause dengan wanita

    post menopause, serta adanya perubahan ekspresi ER akibat perbedaan status

    POP. Sangat jelas bahwa peningkatan rasio ERα/ERβ berhubungan dengan POP.

    Oleh sebab itu, terdapat kemungkinan bahwa perubahan kuantitatif pada ER ini

    berpartisipasi dalam patogenesis perkembangan POP (Chung et al., 2006 ; Chen

    et al., 2008 ; Kretowska et al., 2011).

    Gambar 2.12 Tabel Perbandingan Ekspresi Reseptor Estrogen pada fascia Vesikovagina dan Rektovagina penderita POP (Kretowska et al., 2011)

    2.5 Variasi Genetik Reseptor Estrogen, Kolagen dan Fibulin-5

    2.5.1 Single nucleotide polymorphism

    Single nucleotide polymorphism (SNPs) atau polimorfisme nukleotida

    tunggal adalah sumber dari variasi genom. Sebuah SNPs adalah mutasi basa

    tunggal pada DNA. Single nucleotide polymorphism adalah bentuk paling

  • 52

    sederhana dan sumber paling umum dari polimorfisme genetik pada genom

    manusia (90% dari seluruh polimorfisme DNA manusia) (Schork et al., 2000).

    Terdapat 2 tipe substitusi basa nukleotida yang menghasilkan SNPs, yaitu

    tipe transisi, yang muncul antara purin (A dan G) atau antara pirimidin (C dan T).

    Tipe substitusi ini muncul pada 2/3 dari seluruh SNPs. Yang kedua adalah tipe

    transversi, yang muncul antara sebuah purin dan sebuah pirimidin.

    Variasi urutan yang diakibatkan SNPs dapat diukur dalam bentuk

    diversitas nukleotida, rasio angka perbedaan basa antara dua genom yang

    dibandingkan. Angka tersebut mencapai sekitar 1/1000 (1/1350) pasang basa

    antara dua kromosom ekuivalen (Schork et al., 2000).

    Single nucleotide polymorphism tidak tersebar secara merata pada genom

    manusia, tidak pada seluruh kromosom maupun kromosom tunggal. Terdapat 1/3

    jumlah SNPs pada area koding dibandingkan pada area non-koding. Telah

    ditunjukkan juga bahwa variasi urutan jauh lebih rendah pada kromosom seks.

    Pada kromosom tunggal, SNPs dapat terkonsentrasi pada area spesifik, biasanya

    pada area dengan minat medis atau penelitian. Sebagai contoh, urutan yang

    mengkoding protein yang mempresentasikan antigen kepada sistem imun pada

    kromosom 6 menampilkan diversitas nukleotida yang tinggi dibandingkan area

    kromosom lainnya (Kaleigh, 2002).

    Terdapat lebih dari 1 juta SNPs yang telah diidentifikasi (1.255.326 SNPs

    terpetakan di Organisasi Konsorsium SNPs). Eksperimen validasi telah

    menunjukkan bahwa 95% dari keseluruhan adalah unik dan polimorfisme yang

    valid (bukan merupakan hasil dari kesalahan repetisi). Metode penemuan / deteksi

  • 53

    SNPs melibatkan seperangkat reaksi biokimia yang mengisolasi lokasi pasti dari

    terduga SNPs dan kemudian secara langsung menentukan identitas SNPs

    menggunakan enzim DNA polymerase. Banyak SNPs awalnya terdeteksi dengan

    cara membandingkan urutan genom yang berbeda-beda. Hasil pekerjaan ini kini

    telah berkembang ke studi yang lebih besar untuk menentukan SNPs (genotip)

    berbagai genom dari berbagai populasi. Terdapat perbedaan antara penemuan /

    deteksi SNPs dengan skoring SNPs / genotiping SNPs. Yang satu bertujuan untuk

    mengidentifikasi lokasi SNPs baru pada genom, sementara yang lainnya

    melibatkan metode untuk menentukan genotip dari berbagai individu untuk SNPs

    tertentu yang telah ditemukan sebelumnya. Ini mengakhiri diskusi tentang deteksi

    SNPs. Yang berikutnya merupakan pendahuluan tentang aplikasi paska genom

    terkait SNPs seperti genotiping kecepatan tinggi (high throughput), menentukan

    haplotip dari genotip dan pemetaan haplotip (Lippert et al., 2002).

    2.5.2 Polimorfisme gen reseptor estrogen

    Estrogen dan reseptor etrogen diketahui memiliki peran penting dalam

    patofosiologi POP. Sebuah penelitian di Taiwan oleh Huey, et al., menelusuri

    apakah polimorfisme gen reseptor estrogen α (ERα) berhubungan dengan risiko

    prolaps dengan melakukan penelitian hubungan kasus-kontrol pada 88 perempuan

    dengan prolaps dan 153 perempuan tanpa prolaps. Genotip polimorfisme gen ERα

    (ESR1), (rs17847075, rs2207647, rs2234693, rs3798577 dan rs2228480)

    ditentukan melalui polymerase chain reaction (PCR), diikuti dengan analisis

    polimorfisme fragmen lengan panjang terbatas. Penelitian ini mendapatkan

    perbedaan bermakna antara perempuan dengan dan tanpa prolaps dalam distribusi

  • 54

    gen ERα rs2228480 yang dievaluasi. Dengan menggunakan regresi logistik

    multivariabel, usia dan genotip ERα rs2228480 secara bermakna berhubungan

    dengan risiko terjadinya POP. Meskipun ukuran sampel prolaps yang dipelajari

    kecil, namun penelitian ini menunjukkan bahwa genotip ERα berhubungan

    dengan risiko terjadinya POP (Huey et al., 2014).

    Untuk menguji hipotesis bahwa variasi deret pada gen ERα berhubungan

    dengan risiko prolaps, Huey et al., menganalisis area ekson 1, intron 1 dan ekson

    8 dari gen 88 perempuan dengan prolaps dan 153 perempuan tanpa prolaps.

    Berdasarkan kepustakaan yang sudah kami telusuri, ini adalah penelitian pertama

    yang menilai hubungan antara variasi deret pada gen ERα dan risiko terjadinya

    POP. Analisis perkiraan frekuensi genotip menunjukkan bahwa genotipe GA pada

    ERα rs2228480 lebih banyak pada perempuan dengan prolaps (46,6%

    dibandingkan dengan perempuan tanpa prolaps (28,8%). Nilai P dari uji Chi-

    square adalah sekitar 1,5% dengan kekuatan lebih dari 74%. Maka, genotipe GA

    ERα rs2228480 mungkin merupakan faktor risiko untuk terjadinya POP (Huey et

    al., 2014).

    2.5.3 Polimorfisme gen kolagen

    Hubungan polimorfisme gen kolagen dengan terjadinya POP sudah

    dipelajari pada gen Col1A1 (gen kolagen I) dan gen Col3A1 (gen kolagen III).

    Penelitian terhadap hubungan polimorfisme gen kolagen I dan kolagen III

    menunjukkan hasil yang berbeda. Belum ditemukan adanya penelitian yang

    membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara polimorfisme gen kolagen

    I dengan terjadinya POP. Prolaps organ panggul dilaporkan kejadiannya

  • 55

    berhubungan dengan adanya polimorfisme gen kolagen III pada beberapa

    penelitian (Renee et al., 2014).

    Penelitian oleh Cho et al. pada perempuan Korea pada tahun 2009, tidak

    menemukan hubungan antara polimorfisme Col1A1 Sp1 binding site dengan

    kejadian POP. Feiner et al. (2009) juga mendapatkan hasil yang sama pada

    penelitiannya di Israel, yaitu polimorfisme Col1A1 Sp1 binding site bukan

    merupakan faktor risiko terjadinya POP. Penelitian di Italia oleh Ferrari et al.

    (2011) juga menyimpulkan tidak adanya hubungan bermakna antara polimorfisme

    Sp-1 site of Col1A1 point mutation (G-T) in 1st intron dengan kejadian POP.

    Defek genetik pada kolagen diyakini berpengaruh terhadap kelemahan

    jaringan penyangga dasar panggul. Namun defek yang spesifik belum ditemukan

    pada penelitian terhadap polimorfisme gen kolagen I. Penelitian kasus kontrol di

    Taiwan oleh Chen et al. (2008) pertamakali mendapatkan bahwa polimorfisme

    gen kolagen III pada Col3A1 rs1800255 genotif GA merupakan faktor risiko

    terjadinya POP. Penelitian ini menggunakan sampel kasus POP derajat II atau

    lebih sebanyak 84 orang dan 147 kontrol yang non prolaps. Polimorfisme gen

    kolagen III yang ditemukan sebagai faktor risiko terjadinya prolaps hanya pada

    Col3A1 rs1800255 (ekson 30 G>A) dengan primer 5’-

    TCCTCTTTCTCCAGGCATTC-3’ 5’-TTTGTCACAGGGTGATGCTG-3’. Pada

    site lain yang juga diteliti yaitu Col3A1 rs1801184 (ekson 32 T>C) dengan primer

    5’-TGCTTCTCCTCACTGGGAAT-3’ 5’-CCAAAGGGTGACAAGGTGTT-3’,

    namun ternyata bukan merupakan faktor risiko terjadinya POP (Chen et al.,

    2008).

  • 56

    Kluivers et al. (2009) pada penelitian di Belanda juga mencari hubungan

    antara polimorfisme gen kolagen III dengan terjadinya POP. Penelitian kasus

    kontrol yang melibatkan 202 orang perempuan dengan POP derajat II atau lebih

    sebagai kasus dan 102 orang kontrol yang tanpa prolaps, menyimpulkan bahwa

    polimorfisme gen kolagen III pada Coll3A1 2209G>A, rs1800255 merupakan

    faktor risiko terjadinya POP (Kluivers et al., 2009).

    2.5.4 Polimorfisme gen fibulin-5

    Selain polimorfisme gen reseptor estrogen α dan gen kolagen, POP juga

    diperkirakan berhubungan dengan polimorfisme protein-protein yang berperan

    dalam sintesis elastin, seperti fibulin-5 dan LOXL1. Sebuah penelitian di Rusia

    menelusuri hubungan antara polimorfisme nukleotida tunggal (SNPs) antara gen

    fibulin-5 dengan POP. Sejumlah sebelas label SNPs gen fibulin-5 disandi

    menggunakan Polymerase chain reaction with confronting two-pair primers

    (PCR-CTPP) pada 210 pasien dengan POP derajat III-IV dan 292 kontrol tanpa

    prolaps. Hasilnya adalah didapatkan hubungan bermakna dari label SNPs

    rs2018736 dan rs12589592 dengan POP. Penelitian ini untuk pertamakalinya

    menyimpulkan adanya bukti yang kuat bahwa polimorfisme dari gen fibulin-5

    berhubungan dengan POP (Maryam, et al., 2014).

    Penelitian untuk mencari adanya hubungan polimorfisme protein-protein

    yang berperan pada sintesis elastin dengan POP ini juga tidak seragam, karena

    beberapa penelitian sebelumnya pada perempuan Afrika-Amerika dan Caucasian

    ternyata tidak menemukan hubungan antara polimorfisme LOXL1 dengan POP

    (Ferrell, 2009).

  • 57

    2.6. Perempuan Bali

    Perempuan berarti orang yang dihormati, kata dasarnya adalah empu (per-

    empu-an). Empu adalah gelar kehormatan, seorang ahli, seorang yang mampu

    memimpin. Untuk menyebut seorang perempuan sering digunakan kata wanita .

    Kata perempuan berarti mereka yang utama, dimuliakan atau dihormati. Tetapi di

    Bali sebagian besar perempuan Bali beranggapan bahwa kaum perempuan sering

    ditindas. Hal ini disebabkan oleh sistem kekeluargaan yang dianut di Bali .

    Sebuah sistem apabila tidak dipahami secara benar maka akan menimbulkan

    anggapan yang keliru dan menyesatkan. Karena pemahaman yang keliru inilah

    mengakibatkan perempuan Bali hanya jadi obyek. Saat masih anak-anak dia

    adalah milik orangtuanya, saat dewasa dia adalah milik suaminya dan saat tua dia

    adalah milik anak-anaknya, sehingga kondisi ini membuat perempuan Bali

    menjadi pekerja keras, karena perempuan Bali harus bekerja untuk pemiliknya

    (Sudantra, 2011).

    Selain harus bekerja keras untuk kelangsungan hidupnya dan mendukung

    kelangsungan hidup keluarga, perempuan Bali berkewajiban meneruskan

    keturunan. Budaya dan adat Bali di masa lampau memperbolehkan perempuan

    Bali melahirkan sampai 4 kali. Tidak banyak kemudahan yang didapat oleh

    perempuan Bali ketika menghadapi kehamilan dan persalinan. Mereka wajib tetap

    bekerja mendukung suami dan menghidupi keluarganya. Seperti itulah

    pemahaman keliru adat Bali yang diturunkan secara terus menerus, sehingga

    timbul anggapan bahwa perempuan Bali adalah pekerja keras untuk menghidupi

    keluarganya (Windiyarti, 2008; Sudantra, 2011).

  • 58

    Bekerja berat dan melahirkan berulangkali yang dialami perempuan Bali

    membuat mereka berisiko lebih mudah mengalami masalah kesehatan. Salah

    satunya adalah POP. Sangat mudah dimengerti bila ada hasil penelitian yang

    menunjukkan tingginya prevalensi POP pada perempuan Bali. Selain bekerja

    berat dan multiparitas yang diduga menjadi faktor risiko tingginya kejadian

    prolaps pada perempuan Bali, anatomi tulang panggul perempuan Bali juga

    dikatakan berhubungan dengan kejadian POP. Fajar M., et al. pada tahun 2013,

    melaporkan bahwa diameter tulang panggul transversal dan intertuberum pada

    perempuan Bali yang menderita POP lebih lebar dibandingkan perempuan Bali

    yang tidak prolaps (Fajar M., et al., 2013).

    Pada akhir tahun 2010, Majelis Desa Pakraman Bali melakukan terobosan

    yang sangat progresif. Melalui sebuah Keputusan Pesamuan Agung III Majelis

    Utama Desa Pakraman Bali Nomor 01/KEP/PSM-3/MUDP Bali/X/2010

    tertanggal 15 Oktober 2010, memperbaiki kekeliruan pemahaman konsep purusa

    pradana, yang salah satunya menjadikan perempuan Bali sebagai subyek dalam

    tata kehidupan keluarga. Perempuan Bali sejak anak-anak dilindungi oleh

    orangtuanya, saat dewasa dilindungi oleh suaminya, dan saat tua dilindungi oleh

    anak-anaknya. Konsep ini sebenarnya sudah mulai dijalankan beberapa dekade

    terakhir, tetapi masih banyak kontroversi sehingga diperkuat oleh keputusan

    Pesamuan Agung Majelis Utama Desa Pekraman Bali (Sukarma, 2012).

    Perbaikan konsep pemahaman adat Bali tersebut diharapkan mengurangi

    jumlah perempuan Bali yang bekerja berat. Program Keluarga Berencana

    sebelumnya juga sudah membatasi jumlah kehamilan dan persalinan pada

  • 59

    perempuan Bali, tetapi kejadian POP pada perempuan Bali tercatat masih tinggi.

    Pada tahun 2015, Bagian / SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD / RSUP

    Sanglah Denpasar melaporkan kunjungan pasien POP sebanyak 91 kasus.

    Sebagian besar kasus ini berasal dari suku Bali, yaitu 83 kasus (91,20 %),

    sehingga diduga terdapat peran variasi genetik sebagai faktor risiko terjadinya

    POP pada perempuan Bali.