BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Prolaps Organ Panggul …...2.1 Prolaps Organ Panggul 2.1.1 Definisi POP...
Embed Size (px)
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Prolaps Organ Panggul …...2.1 Prolaps Organ Panggul 2.1.1 Definisi POP...
-
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Prolaps Organ Panggul
2.1.1 Definisi POP
Turunnya salah satu atau lebih organ panggul (uterus, kandung kemih,
atau rektum) ke lumen vagina bahkan sampai keluar introitus vagina, yang
disebabkan oleh kelemahan dasar panggul (Anne et al., 2004; Petros, 2007).
Prolaps Organ Panggul (POP) merupakan masalah kesehatan perempuan
yang umum terjadi di masyarakat. Masalah ini berhubungan dengan penurunan
kualitas hidup penderitanya. Angka kejadian POP meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia harapan hidup perempuan. Kelainan ini tidak mengancam
nyawa, tetapi memperburuk kehidupan psikososial, ekonomi dan fungsi seksual
penderitanya. Penanganan POP membutuhkan biaya yang tinggi untuk mengatasi
keluhan gangguan berkemih, gangguan defekasi dan gangguan fungsi seksualnya
(Nygaard et al., 2004).
2.1.2 Epidemiologi POP
Angka kejadian POP sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Angka
kejadiannya semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya usia harapan hidup
perempuan. Pada tahun 2003 dilaporkan rata – rata usia harapan hidup perempuan
79,8 tahun. POP terjadi pada satu dari delapan orang perempuan yang berusia
diatas 65 tahun. Pada tahun 2030 diperkirakan sekitar 25 % perempuan akan
berusia diatas 65 tahun. Sebuah penelitian epidemiologi melaporkan bahwa
-
13
perempuan yang membutuhkan bantuan medis karena masalah gangguan dasar
panggul paling banyak berusia 70-79 tahun, diikuti usia 80-89 tahun dan 60-69
tahun. Berdasarkan data tersebut dapat diperkirakan akan terjadi peningkatan
pesat prevalensi gangguan dasar panggul terutama POP pada satu sampai dua
dekade ke depan (Siddighi et al., 2006).
Pencatatan yang dilakukan di beberapa rumah sakit melaporkan angka
kejadian POP berkisar 43 – 76% dari pasien ginekologi. Sekitar 41% dari jumlah
tersebut terjadi pada perempuan berusia 50-79 tahun, dimana 34% sistokel, 19%
rektokel dan 14% dengan prolaps uterus. Sekitar 11% dari POP tersebut
memerlukan tindakan pembedahan. Dari semua pembedahan terhadap POP
tersebut, sekitar 30% mengalami kekambuhan (Jelovsek, 2007). Penelitian
terhadap 16.000 orang pasien ginekologi di Amerika Serikat pada tahun 2004,
menemukan 14,2% diantaranya adalah penderita POP. Rasio kejadian POP pada
perempuan berusia diatas 50 tahun dilaporkan sekitar 2,7 - 3,3 per 1000
perempuan (Sung et al., 2009).
Beberapa penelitian lainnya yang sudah menggunakan sistem pelvic organ
prolapse quantification (POP-Q) yang merupakan standar diagnostik
Internasional melaporkan prevalensi POP sebesar 23,5% sampai 49,4% (Bradley
et al., 2007). Sekitar 200.000 pembedahan dengan indikasi POP dilakukan di
Amerika setiap tahunnya (Brown et al., 2002), menunjukkan bahwa operasi
perbaikan prolaps termasuk prosedur operasi yang sangat sering dibandingkan
operasi ginekologi lainnya. Prevalensi POP secara umum seperti fenomena
gunung es karena angka yang dilaporkan para peneliti dan klinisi hanyalah jumlah
-
14
penderita yang datang ke klinik karena keluhan berat dan memerlukan
penanganan. Penderita yang tidak mencari pertolongan medis karena malu atau
karena menganggap prolaps adalah kejadian yang wajar akibat proses penuaan
tentu tidak tercatat. Begitu juga dengan pasien POP derajat ringan yang tanpa
keluhan (Siddighi et al., 2006).
Data prevalensi POP di Indonesia belum banyak ditemukan. Departemen
Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung melaporkan
kejadian POP pada tahun 2007 sebanyak 30 kasus. Menurut laporan tahunan
Bagian / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran UNUD / RSUP
Sanglah Denpasar tahun 2009, kunjungan pasien POP sebanyak 82 kasus dengan
tindakan operasi sebanyak 34 kasus. Pada tahun 2015, Bagian / SMF Obstetri dan
Ginekologi FK UNUD / RSUP Sanglah Denpasar melaporkan kunjungan pasien
POP lebih tinggi yaitu 91 kasus dengan 36 kasus menjalani tindakan operasi.
Sebagian besar kasus POP yang memeriksakan diri ke klinik Uroginekologi
Rekonstruksi RSUP Sanglah berasal dari suku Bali, yaitu 83 kasus (91,20 %).
2.1.3 Patofisiologik POP
Penyebab pasti POP memang belum disepakati, tapi kelemahan penyangga
dasar panggul selalu terjadi pada prolaps. Kerusakan otot levator ani yang
disebabkan oleh miopati atau neuropati akan mengakibatkan berkurangnya
kekuatan dan tonus otot (terutama otot tipe I atau slow twitch) sehingga terjadi
disuse atropi. Kelemahan otot levator ani membuat lebarnya hiatus genitalis dan
arah hiatus genital menjadi lebih vertikal. Keadaan ini akan membuat organ
panggul, terutama uterus akan terpapar langsung oleh tekanan intra abdominal.
-
15
Untuk mencegah terjadinya prolaps maka fascia endopelvik terutama ligamentum
sakrouterina akan mengalami beban berat dan terus menerus untuk
mempertahankan uterus dan organ panggul yang lain tetap pada posisi normal.
Beban terus menerus inilah yang membuat trauma kronis pada struktur penyusun
ligamentum sakrouterina, terutama matriks ekstra selulernya. Trauma kronis
akibat tekanan intra abdominal ini mengakibatkan kelemahan ligamentum
sakrouterina, sehingga terjadi POP (Siddighi, 2007).
Kerusakan otot levator ani paling sering diakibatkan oleh kehamilan dan
persalinan, proses penuaan dan menopause. Tekanan intra abdominal yang tinggi
dan terus menerus terutama terjadi pada perempuan pekerja berat, penderita
penyakit paru kronis, perempuan obesitas dan adanya massa intra abdomen.
Kelemahan ligamentum sakrouterina dipengaruhi oleh struktur penyusunnya yaitu
sel otot polos dan matriks ekstra seluler. Matriks ekstraseluler ligamentum ini
terutama ditentukan oleh kolagen, elastin dan reseptor estrogen. Pada dekade
terakhir ini mulai diketahui adanya faktor genetik yang mempengaruhi kekuatan
ligamentum sakrouterina (Siddighi, 2007).
2.1.4 Diagnosis POP
Seperti penegakan diagnosis penyakit pada umumnya, evaluasi POP
dimulai dengan anamnesis. Penderita POP derajat ringan (derajat I) jarang
merasakan keluhan. Bila ada keluhan, penderita biasanya merasa ada yang
mengganjal di liang vagina dan dapat diraba saat memasukkan jarinya. Gejala
akan mulai muncul pada POP derajat II dan makin jelas pada derajat III-IV,
berupa rasa tidak nyaman karena ada benjolan dari liang vagina, gangguan fungsi
-
16
seksual, gangguan fungsi berkemih (frekuensi, infeksi saluran kemih berulang,
retensio urin dan inkontinensia urin tipe stres), gangguan defekasi (pengosongan
rektum yang tidak sempurna), nyeri pinggang, infeksi sampai ulkus pada uterus
yang keluar dan gangguan lain (Rizkar, 2011).
Dari anamnesis juga ditelusuri faktor risiko yang berperan dalam terjadinya
prolaps, seperti riwayat kehamilan dan persalinan, usia, status menopause, riwayat
pekerjaan berat, serta adanya kondisi atau penyakit yang menyebabkan
peningkatan tekanan intra abdominal secara terus menerus.
Pemeriksaan fisik umum dilakukan untuk menilai keadaan umum penderita
dan menentukan apakah ada penyakit lain yang berpengaruh terhadap keluhan
POP. Pemeriksaan fisik umum yang lengkap dan seksama juga bermanfaat
sebagai pertimbangan saat dibutuhkan intervensi dalam penanganan POP tersebut.
Pemeriksaan ginekologi sangat penting untuk menilai vulva, dinding
vagina dan muara uretra, apakah ada ulkus atau iritasi atau atropi mukosa vagina.
Dinilai juga adanya sikatrik bekas trauma perineum akibat proses persalinan atau
tanda iritasi daerah sekitar vulva karena kontak dengan pembalut yang dibasahi
urin akibat adanya inkontinensia urin yang menyertai POP.
2.1.5 Klasifikasi POP
Klasifikasi untuk penentuan derajat prolaps dapat dilakukan dengan
beberapa cara. Sebelum tahun 1996, derajat POP dijelaskan dengan menggunakan
klasifikasi modifikasi dari kriteria Beecham (1980) dan kriteria Baden Walker
(1968). Klasifikasi ini relatif mudah dimengerti oleh para klinisi, namun sering
menimbulkan perbedaan karena adanya subyektivitas dalam pengukuran.
-
17
Perbedaan ini menimbulkan ketidak seragaman klasifikasi inter observer dan juga
penjelasan tentang spesifikasi lokasi prolaps yang kurang lengkap dapat
menimbulkan perbedaan atau bias intra observer.
Bump et al. (1996) menjelaskan tentang standar klasifikasi POP yang
disepakati oleh Internationale Continence Society (ICS). Klasifikasi ini disebut
Pelvic Organ Prolapse Quantification (POPQ), digunakan untuk keseragaman
penentuan derajat POP diantara para klinisi, baik untuk penanganan di klinik
maupun untuk keperluan penelitian epidemiologi. Sistem POPQ ini menentukan
sembilan titik dengan garis bekas hymen sebagai patokan, bernilai negatif bila
proksimal dan positif bila berada di sebelah distal, yang kemudian pengukurannya
dicatat pada tabel 3 kali 3, seperti dibawah ini.
Gambar 2.1 Penentuan 6 titik yang digunakan dalam POP-Q
(DeLancey, 2007)
-
18
Gambar 2.2 Tabel 3x3 untuk penilaian sistem POP-Q (DeLancey, 2007)
Keterangan :
• Aa adalah titik imajiner pada midline dinding vagina anterior yang terletak 3 cm di sebelah proksimal meatus uretra eksterna. Hasil penilaiannya berada dalam rentang -3 sampai +3.
• Ba adalah jarak antara tepi paling rendah dinding vagina anterior dengan garis sisa hymen.
• C adalah jarak antara tepi paling rendah dari serviks atau tunggul vagina (pada penderita pasca histerektomi total) dengan garis sisa hymen.
• D adalah jarak antara forniks posterior (Douglas) dengan garis sisa hymen. Poin D tidak ada pada penderita pasca histerektomi total.
• Ap adalah titik imajiner pada midline dinding vagina posterior yang terletak 3 cm di sebelah proksimal garis sisa hymen.
• Bp adalah jarak antara tepi paling rendah dinding vagina posterior dengan garis sisa hymen.
• Gh adalah ukuran lebar hiatus genitalis saat penderita meneran (manuver valsava), yaitu jarak antara meatus uretra eksterna dengan komisura posterior vagina.
• Pb adalah ukuran lebar badan perineum, yaitu jarak antara komisura posterior vagina dengan pertengahan liang anus.
• TVL adalah panjang total vagina, yang diukur dari hymen sampai forniks posterior setelah organ yang prolaps direposisi.
Penentuan derajat POP : • Derajat 0 : tidak ada prolaps • Derajat 1 : titik Ba, Bp atau C mempunyai nilai < -1 cm • Derajat 2 : titik Ba, Bp atau C mempunyai nilai -1, 0 atau 1 cm • Derajat 3 : titik Ba, Bp atau C mempunyai nilai >1 cm dan
-
19
Sebelum penilaian dengan sistem POPQ, sebaiknya dilakukan tes valsava
atau tes batuk untuk mengetahui adanya gejala inkontinensia tipe stres dan
pengukuran residu urin untuk mengetahui adanya retensio urin.
2.1.6 Penanganan POP
Penanganan POP bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan
keluhan dan mencegah memberatnya derajat prolaps sehingga dapat memperbaiki
atau mempertahankan kualitas hidup perempuan tersebut. Penanganan POP
dilakukan pada kasus yang menimbulkan keluhan atau atas permintaan penderita
sendiri. Penanganan POP terdiri dari penanganan konservatif dan operatif
(Siddighi, 2006; Petros, 2007).
2.1.6.1 Penanganan konservatif
Penanganan konservatif atau nonsurgikal untuk POP direkomendasikan
oleh Agency for Health Care Policy and Research, harus diupayakan sebelum
memutuskan untuk tindakan pembedahan. Penanganan konservatif ini mempunyai
keuntungan dibandingkan operatif, yaitu lebih aman karena tidak berhubungan
dengan mortalitas, minimal invasive, lebih simpel, masih memungkinkan untuk
pembedahan di kemudian hari jika konservatif tidak berhasil dan biaya yang lebih
murah. Keberhasilan penanganan konservatif memang lebih rendah tapi tingkat
kepuasan pasien cukup tinggi (Siddghi, 2006). Penanganan konservatif ini
meliputi :
2.1.6.1.1 Perubahan perilaku atau pola hidup
Penanganan ini meliputi mengurangi atau menghilangkan faktor risiko
prolaps, terutama karena peningkatan tekanan intra abdominal yang
-
20
terus menerus. Pembatasan aktivitas berat, mengurangi berat badan,
penanganan atau pencegahan terjadinya penyakit paru obstrukrif dan
pencegahan konstipasi sangat bermanfaat dalam mencegah
memberatnya derajat POP (Siddghi, 2006).
2.1.6.1.2 Latihan otot dasar panggul
Latihan otot dasar panggul atau yang lebih dikenal dengan latihan
Kegel sudah terbukti bermanfaat untuk memperkuat otot dasar panggul
terutama otot levator ani. Latihan ini selain untuk mencegah
memberatnya derajat prolaps karena perbaikan kekuatan levator ani,
juga dilaporkan dapat memperbaiki keluhan inkontinensia urin tipe
stress dan inkontinensia ani karena latihan ini ternyata juga berefek
positif pada kekuatan spingter uretra eksterna dan otot spingter ani
eksterna (Siddghi, 2006).
2.1.6.1.3 Medikamentosa
Pertimbangan pemberian terapi sulih hormon disarankan pada POP
derajat I-II untuk mencegah terjadinya prolaps derajat yang lebih berat
atau setidaknya dapat menghambat progresivitas terjadinya POP,
sehingga membantu meningkatkan kualitas hidup perempuan di masa
mendatang (Megadhana, 2014).
2.1.6.1.4 Pessarium
Pemasangan pessarium dilakukan pada POP derajat III-IV yang sudah
mengalami keluhan. Indikasi penggunaan pessarium adalah penderita
yang menolak untuk dilakukan operasi atau tidak layak operasi karena
-
21
masalah medis lainnya, menunda operasi oleh karena alasan tertentu
atau tidak adanya sumber daya yang mempunyai kompetensi untuk
melakukan operasi pada penderita POP. Keuntungan penggunaan
pessarium dibandingkan operasi adalah lebih aman, praktis, murah,
cepat mengurangi keluhan. Kekurangannya karena pengguna
pessarium memerlukan perawatan berkala untuk mencegah terjadinya
infeksi sekunder dan perlengketan (Rizkar, 2011).
2.1.6.2 Penanganan operatif
Pembedahan atau operasi merupakan penanganan definitif dan kuratif dari
POP. Sebelum pembedahan, sebaiknya semua penyakit penyerta prolaps harus
ditangani seperti penyakit paru obstruktif kronis. Penggunaan pesarium juga harus
dipertimbangkan sebelum memutuskan tindakan pembedahan. Bila dinilai
keuntungan dan manfaat perbaikan kualitas hidup lebih baik dibandingkan dengan
penanganan konservatif, maka tindakan pembedahan boleh dijadikan pilihan
(Siddighi, 2007).
Jenis – jenis operasi untuk penanganan POP terdiri dari operasi
konservatif, yang masih mempertahankan uterus sebagai organ reproduksi dan
operasi histerektomi pada kasus yang tidak membutuhkan fungsi reproduksi atau
pada pasien yang tidak ingin mempunyai uterus lagi. Operasi prolaps konservatif
contohnya operasi Manchester Fothergill, fiksasi sakrospinosus,
sakrohisteropeksi perabdominal atau laparoskopi dan high uterosacral fixation.
Bila penderita tidak membutuhkan fungsi reproduksi atau uterus dinilai berisiko
untuk ditinggalkan maka dilakukan histerektomi. Histerektomi dapat dilakukan
-
22
pervaginam maupun perabdominal. Operasi pervaginam lebih dipilih oleh karena
bisa diikuti operasi rekonstruksi atau perbaikan jaringan dan operasi pervaginam
juga bisa disertai dengan perbaikan dinding anterior dan dinding posterior vagina.
Perbaikan membran perineum dengan perineorafi juga sangat memungkinkan bila
operasi dikerjakan pervaginam (Holly et al., 2015).
Tindakan operasi prolaps mempunyai masalah medis, saat pre operasi,
durante operasi dan pasca operasi. Masalah pre operasi yang sering adalah karena
sebagian besar pasien prolaps berusia tua sehingga berisiko disertai penyakit
penyerta yang membahayakan untuk dilakukan pembiusan. Untuk kasus seperti
ini dapat dilakukan operasi obliteratif yaitu kolpokleisis, suatu operasi
mempertemukan dinding anterior dan dinding posterior vagina sehingga uterus
dan leher kandung kemih kembali ke posisi normal, diikuti perineorafi agresif
untuk mencegah rekurensi. Operasi ini dikerjakan pada pasien usia tua dengan
komplikasi medis dan tidak membutuhkan vagina sebagai fungsi seksual.
Keuntungannya adalah intervensi anestesi yang ringan dan waktu pembedahan
singkat sehingga bisa mengurangi komplikasi operasi (Holly et al., 2015).
Faktor – faktor yang mempengaruhi pilihan jenis operasi POP adalah usia
dan kondisi kesehatan penderita, derajat prolaps, lokasi kerusakan penyangga
dasar panggul, fungsi seksual dan fungsi reproduksi penderita. Perbaikan kualitas
hidup adalah tujuan utama dari operasi POP (Siddighi, 2007).
-
23
2.2 Penyangga Dasar Panggul
2.2.1 Anatomi dasar panggul
Dasar panggul perempuan dibentuk oleh tiga struktur yang sangat kuat
sehingga mampu menyangga organ panggul, seperti kandung kemih, uterus dan
rektum tetap pada posisinya. Ketiga struktur tersebut adalah fascia endopelvik,
diafragma pelvik dan diafragma urogenital.
Gambar 2.3 Anatomi dasar panggul wanita menurut DeLancey
(Veronica dkk, 2014)
Fascia endopelvik (DeLancey level I) terdiri dari ligamentum sakrouterina,
ligamentum kardinale, fascia puboservikalis dan fascia rektovaginalis. Fascia
endopelvik mempunyai fungsi dinamik dalam mempertahankan posisi organ
panggul, tapi bebannya tidak terlalu berat jika diafragma pelvik masih normal.
Diafragma pelvik (DeLancey level II) dibentuk oleh otot-otot, terutama otot
levator ani yang terdiri dari otot ileokoksigeus, puborektalis dan otot
pubokoksigeus. Otot levator ani mempunyai kemampuan untuk tetap berkontraksi
-
24
dalam keadaan istirahat sehingga menjaga dasar panggul selalu berada pada posisi
horisontal. Selain itu otot levator ani juga dapat berkontraksi maksimal saat
terjadinya peningkatan tekanan intra abdominal. Diafragma urogenital (DeLancey
level III) dibentuk oleh otot-otot bulbokavernosus, otot tranversus perinei
profunda, otot tranversus perinei superfisialis dan membran perineum. Otot-otot
diafragma urogenital ini baru berfungsi jika terjadi kelemahan pada levator ani
dan fascia endopelvik. Diafragma urogenital juga banyak berperan dalam aktivitas
hubungan seksual (DeLancey et al., 2007).
Kekuatan fascia endopelvik lebih banyak ditentukan ligamentum
sakrouterina, ligamentum kardinale, fascia puboservikalis dan fascia
rektovaginalis. Ligamentum dan fascia ini memegang uterus dan dinding vagina
anterior serta posterior pada lingkaran periservikal. Ligamentum sakrouterina
dianggap mempunyai peran yang paling penting dalam mempertahankan dasar
panggul, sehingga paling banyak dipelajari pada mekanisme terjadinya POP.
2.2.2 Ligamentum sakrouterina dan perannya
Ligamentum sakrouterina merupakan bagian yang sangat penting dari
fascia endopelvik. Ligamentum sakrouterina terbagi menjadi 3 segmen yaitu
segmen servikal, intermedia dan sakral tanpa memandang perbedaan panjang dari
masing-masing segmen. Beberapa kesepakatan para ahli anatomi mengenai
persarafan dan vaskularisasi dari ligamentum sakrouterina. Pada sisi lateral dan
sisi medial ligamentum sakrouterina dan kardinale terdapat saraf besar dan
ganglia dari pleksus hipogastrika superior. Cabang S1-S4 dari pleksus sakralis
-
25
lebih rentan terhadap cedera saat tindakan yang melibatkan ligamentum
sakrouterina (Vu et al., 2010).
Penelitian oleh Departement of Anatomy School of Medical Science
University of New South Wales, Sidney, Australia menjelaskan bahwa panjang
ligamentum sakrouterina antara 12-14 cm dan dibedakan menjadi 3 potongan
yaitu distal, intermediat dan proksimal (Vu et al., 2010).
1. Bagian distal (servikal) adalah bagian yang paling tebal. Pada tepi
dari serviks dan vagina menyatu dengan ligamentum kardinale.
Secara makroskopis, bagian distal ini tersusun oleh jaringan ikat
padat yang mengandung pembuluh darah kecil dan cabang-cabang
kecil dari pleksus hipogastrikus.
2. Bagian tengah (intermediet) dengan panjang kurang lebih 5 cm dan
tebal 5 mm, makin tipis ke arah posterior secara bertahap. Bagian
tengah inilah yang tampak jelas bila uterus ditarik ke arah anterior.
3. Bagian proksimal dengan panjang kurang lebih 5,5 cm dan tebal
lebih dari 5 mm, terlihat seperti jaringan ikat yang tipis tanpa
adanya fibrillar.
Ligamentum ini terlihat sebagai struktur yang tebal dan padat dengan
bundel paralel yang menyerupai ligamentum pada persendian besar. Dari
spesimen yang didapatkan pada penelitian, ligamentum tampak tipis di perbatasan
dan lebih tebal pada dasar panggul (Vu et al., 2010).
-
26
Gambar 2.4 Skema Ligamentum Sakrouterina dan Organ Panggul (Vu et al., 2010)
Ligamentum sakrouterina berfungsi menggantung uterus dan
mempertahankan uterus pada posisi normal. Fiksasi uterus ini penting untuk
mencegah terjadinya prolaps dan disfungsi dasar panggul lainnya. Ligamentum
sakrouterina bersama-sama dengan ligamentum kardinale membentuk suatu
kompleks yang disebut kompleks ligamentum sakrouterina-kardinale. Kompleks
ligamentum ini dianggap sebagai penggantung utama uterus dan 1/3 vagina
bagian atas ke arah sakrum. Ligamentum kardinale merupakan selubung fascia
yang terbentuk dari kolagen yang membungkus pembuluh darah illiaka interna
dan sepanjang arteri uterina, menyatu dengan kapsul visceral dari serviks, segmen
bawah rahim dan vagina bagian atas. Ligamentum sakrouterina lebih padat dan
lebih menonjol dibandingkan ligamentum kardinale. Serat-serat kolagen dari
ligamentum sakrouterina berfusi di bagian distal dengan fascia visceral di atas
serviks, segmen bawah rahim, vagina bagian atas, membentuk periservikal,
-
27
bagian proksimal serat tersebut berakhir pada fascia presakral yang melapisi
segmen sakral 2, 3, dan 4. Kompleks ini penting untuk menggantung struktur
rahim dan sepertiga bagian atas vagina. Kerusakan dari kompleks ini dapat
menyebabkan prolaps uterus dan prolaps puncak vagina. Magnetic Resonance
Imaging (MRI) dapat digunakan untuk melihat vagina bagian atas dan serviks di
atas levator plate. Dengan mengetahui faktor risiko kelemahan ligamentum ini,
dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang proses terjadinya POP
(Mouritsen, 2005; Shahryarinejad, 2008).
2.2.3 Histologik dan biokimia penyangga dasar panggul
Jaringan penyangga dasar panggul terdiri dari sel dan matriks
ekstraseluler. Matriks ekstraseluler tersusun dari fiber (kolagen dan elastin),
proteoglikan (aggrecan, versican, biglycan, decorin, perlecan) dan glikoprotein
(fibronectin, tenascin, link protein, fibromodulin, osteopontin) (Ewies, 2003; Lin
et al., 2007).
Sel adalah satuan dasar kehidupan dan sebagian besar sel mamalia terletak
di dalam jaringan yang dikelilingi oleh matriks ekstraseluler kompleks yang
disebut jaringan ikat. Matriks ekstraseluler memiliki sejumlah peran penting
terlepas dari fungsinya sebagai jaringan penyangga organ-organ sekitarnya.
Matriks ekstraseluler mengandung tiga kelompok biomolekul utama (Ewies,
2003) :
1. Protein struktural (fiber) seperti kolagen dan elastin
2. Glikoprotein seperti fibronectin, tenascin, link protein,
fibromodulin, osteopontin.
-
28
3. Proteoglikan seperti aggrecan, versican, biglycan, decorin,
perlecan.
Matriks ekstraseluler terutama disekresi oleh fiboblas, dimana mikromolekul
yang penting untuk integritas jaringan adalah hyaluronan dan proteoglikan.
Hyaluronan, versican atau agrecan dan proteoglikan kecil seperti biglican dan
decorin sangat penting untuk organisasi jaringan ikat interstitial dan jaringan ikat
berserat. Proteoglikan berinteraksi dengan makromolukel ekstraseluler melalui
motif polisakarida tertentu seperti fibronectin atau melalui protein inti dalam
kolagen. Decorin diketahui mengikat kolagen I, III dan VI, sedangkan biglican
hanya berinteraksi dengan kolagen VI saja. Variasi dalam komposisi proteoglikan
ini dapat mempengaruhi sifat matriks ekstraseluler (Goh, 2003; Chen, 2007).
Molekul kolagen I dan kolagen III berhubungan dengan kekuatan dan elastisitas
sehingga bisa diregangkan. Hyaluronan dan glycosaminoglycan berhubungan
dengan kemampuan viskoelastis, sangat menentukan kandungan air dari matriks
ekstraseluler dan untuk transportasi sel dan aktif dalam respon peradangan atau
infeksi. Proteoglikan terdiri dari rantai glycosaminoglycan dan sebuah protein inti
terbagi dalam 3 keluarga besar, Hyalecan besar, Small Leucine Rich
Proteoglicans (SLRPs) dan Proteoglikans Sulfat Heparin. Mereka muncul dalam
bentuk remodeling berbeda didalam matriks ekstraseluler seperti organisasi fibril,
memediasi adhesi sel, proliferasi, interaksi berbeda terhadap faktor pertumbuhan
dan sitokin (Soderbeg, 2008).
Penelitian terakhir mengenai POP memberikan gambaran tentang perubahan
yang terjadi pada jaringan penyangga organ panggul, dimana matriks ekstraseluler
-
29
memegang peranan penting karena akselerasi remodeling pada penderita POP
disebabkan oleh karena adanya perubahan biokimia pada matriks ekstraseluler
seperti kolagen, elastin dan sel stromal. Miofibroblas berperan penting pada
dalam remodeling matriks ekstraseluler dan pengaturannya oleh regulator sel
matriks seperti matriks metalloproteinase (MMP), transformation growth factor
(TGF)-β, thrombospondin (TSP)-1 (Wu, 2010). Keseimbangan antara MMP, lysyl
oksidase dan fibulin diperlukan untuk menjaga integritas matriks ekstraseluler.
Gangguan pada keseimbangan pembentukan dan degradasi protein matriks
ekstraseluler di jaringan penyokong panggul akan berakibat lemahnya jaringan
tersebut, sehingga terjadi disfungsi dasar panggul (Vu, 2010).
Penelitian menunjukkan bahwa pada POP terjadi sintesis atau degradasi
kolagen dan elastin yang abnormal. Hal ini berhubungan dengan aktivitas MMP
yang meningkat dan memegang peranan penting dalam proses remodeling
jaringan dan penyembuhan luka (Nagase et al., 2006; Kerkhof et al., 2009;
Leppert, 2012).
Gambar 2.5 Jaringan ikat fibrous dalam matriks ekstraseluler (Lin et al., 2007)
-
30
Penelitian mengenai matriks ektraseluler pada dasar panggul diawali pada
akhir tahun 1980-an dan menjadi menarik setelah metode penelitian baru
diperkenalkan. Penelitian ini lebih sulit karena tempat lokasi biopsi berbeda,
dimana kebanyakan penelitian menggunakan jaringan epitel, dimana jaringan ini
paling representatif dari fascia endopelvik. Sebuah penelitian efek hormonal
terhadap sel skuamosa vagina juga telah dilakukan, oleh karena itu perbedaan
dalam status hormonal atau pengobatan yang lebih potensial mempengaruhi
sedang diteliti, dimana faktor mukosa tidak dihilangkan (Chen, 2007).
2.2.4 Peran hormon estrogen pada jaringan penyangga dasar panggul
Reseptor estrogen dapat ditemukan pada penyangga dasar panggul terutama
ligamentum sakrouterina dan dinding vagina perempuan premenopause. Jumlah
reseptor tersebut menurun pada perempuan pasca menopause dan reseptor
estrogen tersebut berkorelasi positif dengan lamanya menopause (Copas et al.,
2007).
Estrogen dapat mempengaruhi metabolisme kolagen dengan merangsang
degradasi kolagen dengan meningkatkan aktivitas matriks metalloproteinase-2
(MMP-2). Sebuah penelitian menganalisis proliferasi fibroblas yang berasal dari
ligamentum kardinale pasien dengan dan tanpa POP setelah pemberian 17β-
estradiol. Fibroblas dari kelompok yang mengalami prolaps menunjukkan tingkat
proliferasi yang lebih rendah secara signifikan dibandingkan kelompok non
prolaps. Meskipun demikian, secara klinis pemberian terapi sulih hormon tetap
tidak bermanfaat pada penanganan POP (Liu et al., 2008). Sebaliknya, Lang et al.
(2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan langsung antara reseptor estrogen
-
31
serta lamanya menopause dengan POP dan inkontinensia urin tipe stres, sehingga
terapi estrogen mungkin bermanfaat.
Penelitian reseptor estrogen pada ligamentum sakrouterina 25 orang
perempuan tanpa prolaps yang telah dilakukan histerektomi total, dievaluasi
dengan imunohistokimia didapatkan reseptor estrogen dan progesteron terdeteksi
pada inti sel fibroblas semua pasien, tanpa memperhatikan umur, ras, status
meopause, indeks massa tubuh dan pengobatan yang mempengaruhi kadar
hormon estradiol serum. Ditemukannya reseptor estrogen dan reseptor
progesteron pada ligamentum sakrouterina menandakan struktur ini menjadi end
organ untuk respon estrogen dan progesteron (Vu et al., 2010). Aktivitas estrogen
sangat tergantung pada kadar estrogen dalam serum dan ekspresi reseptor estrogen
terutama reseptor estrogen α, karena reseptor ini yang lebih dominan pada
ligamentum sakrouterina.
Selain itu terdapat juga beberapa ko-regulator dan faktor transkripsional
yang memiliki efek pada pathway estrogen yang dependen. Didapatkan hubungan
timbal balik antara estrogen serum dan reseptor estrogen. Estrogen dan reseptor
estrogen meregulasi sebagian besar dari gen yang mengkode faktor pertumbuhan
yang berperan dalam sintesis matriks ekstraseluler (Cung, 2006; Kretowska et al.,
2011).
2.3 Matriks Ekstraseluler
Matriks ekstraseluler adalah bagian ekstraseluler dari suatu jaringan terdiri
dari matriks interstisial dan membrana basalis yang menjadi pengikat dan
-
32
penyokong struktur sel-sel makhluk hidup. Komponen-komponen matriks
ekstraseluler diproduksi secara intraseluler oleh sel-sel stromal pada matriks dan
disekresi ke ekstraseluler secara eksositosis (Alberts, 2010). Matriks ekstraseluler
terdiri dari jaringan pengikat yang tersusun dari protein fibrous yang berikatan
dengan glikosaminoglikans (GAGs). Komponen matriks ekstraseluler terdiri dari
serat protein seperti kolagen dan elastin, sel-sel stromal seperti miofibroblas,
proteoglikan yang merupakan GAGs yang berikatan dengan protein matriks dan
glikoprotein lainnya seperti fibronectin, laminin, vitronectin, tenascin (Alberts,
2010).
Matriks ekstraseluler selain mempunyai fungsi struktural dalam jaringan,
juga merupakan tempat dimana terjadinya proses proliferasi, adhesi, migrasi,
differensiasi dan remodeling (Leppert, 2012). Pada dasarnya keseimbangan antara
sintesis, cross-link, pematangan dan degradasi dari komponen-komponen
ekstraseluler oleh MMP penting untuk menjaga integritas jaringan pada
remodeling jaringan yang berkelanjutan. Penelitian menunjukkan pada POP
terjadi sintesis atau degradasi yang abnormal dari kedua komponen paling utama
dalam matriks ekstraseluler yaitu serat kolagen dan elastin. Hal ini juga tidak
terlepas dari peningkatan aktivitas MMP yang memegang peranan penting dalam
remodeling jaringan dan penyembuhan luka. Terdapat 23 macam MMP yang telah
berhasil diidentifikasi pada manusia (Leppert, 2012).
-
33
Gambar 2.6 Matriks ekstraseluler dan komponen-komponennya
(Kerkhof et al., 2009)
2.3.1 Kolagen
Kolagen merupakan komponen terbanyak di dalam matriks ekstraseluler.
Terdapat 28 tipe kolagen yang telah diketahui, dengan tipe I, III dan V dapat
ditemukan pada vagina dan jaringan penyokong sekitarnya (Nagase et al., 2006;
Kerkhof et al., 2009). Kolagen tipe I dapat ditemukan dimana-mana, sebagian
besar di kulit, ligamentum, fascia, kartilago dan tendon. Kolagen tipe I bersifat
fleksibel dan mempunyai resistensi yang baik terhadap regangan (Kerkhof et al.,
2009). Kolagen tipe III lebih banyak ditemukan dalam jaringan yang memerlukan
fleksibilitas dan ekstensibilitas regangan yang banyak karena sering terpapar stres
periodik. Kedua kolagen ini juga ditemukan dalam jaringan granulasi selama
proses penyembuhan luka. Kolagen V memiliki kepentingan kuantitatif yang
minimal. Kolagen ini terbentuk dari serat-serat kecil dengan kekuatan regangan
sangat rendah dan berperan dalam proses penyembuhan luka serta fibrillogenesis.
Peranan kolagen V pada vagina dan jaringan penyokong belum dapat dipastikan
(Kerkhof et al., 2009).
-
34
2.3.1.1 Sintesis kolagen
Pada tahun 1954, Ramachandran dan Kartha menemukan struktur triple
helical dari kolagen. Dalam retikulum endoplasma, rantai α terbentuk, diikuti
dengan modifikasi post translational dari residu prolin dan lisin. Tiap molekul
kolagen terdiri dari kombinasi yang tepat antara tiga rantai α-polipeptida.
Tergantung pada jenis kolagen, ketiga rantai α-polipeptida tersebut dapat
bervariasi. Ketiga heliks berputar bersama membentuk triple helix, dan
distabilkan oleh ikatan hydrogen. Terdapat beberapa cross-linking yang kovalen
dalam rantai tersebut dan sejumlah cross-linking kovalen antara heliks kolagen,
sehingga menyebabkan adanya kolagen dalam jaringan dengan tingkat maturitas
yang berbeda-beda. Setelah triple helix yang disebut prokolagen terbentuk
intraseluler maka akan disekresikan ke ruang ekstraselular. Molekul tropokolagen
terbentuk akibat kerja peptida karboksi terminal dan amino terminal. Molekul
tropokolagen akan tersusun menjadi fibril kolagen yang kemudian akan saling
berhubungan untuk membentuk serat dan ikatan serat (bundles). Bentuk dan sifat
dari jaringan ditentukan dari posisi fibril kolagen dalam serat dan posisi serat
dalam matriks (Jackson et al., 1996; Chen et al., 2005).
Fibril kolagen I, III dan V ditemukan dalam vagina dan jaringan
penyokong menjadi determinan utama kekuatan dari jaringan ikat tersebut. Serat
kolagen I terdapat pada keseluruhan vagina dan bersifat fleksibel serta
memberikan resistensi yang kuat terhadap regangan. Kolagen III paling banyak
ditemukan dalam jaringan yang memerlukan fleksibilitas dan regangan yang
banyak serta sering mengalami stres periodik. Kolagen ini merupakan kolagen
-
35
utama dalam kulit pada saat lahir, sebelum digantikan oleh kolagen I. Kolagen
tipe I dan III ditemukan dalam jaringan granulasi selama proses penyembuhan
luka. Kolagen tipe V memiliki kepentingan kuantitatif yang minimal. Kolagen ini
terbentuk dari serat-serat kecil dengan kekuatan regangan yang sangat rendah dan
berperan dalam proses penyembuhan luka serta fibrillogenesis. Peranan kolagen V
pada vagina dan jaringan ikat penyokong belum dapat dipastikan (Jackson et al.,
1996 ; Chen et al., 2005 ; Wu et al., 2010).
Penelitian mengenai perubahan kuantitas dan rasio dari subtipe kolagen
menghasilkan data yang inkonklusif. Baik peningkatan maupun penurunan dari
kandungan kolagen total pada vagina dan jaringan ikat penyokong pelvis telah
dilaporkan pada pasien dengan POP. Metode yang berbeda mengenai kuantifikasi
kandungan kolagen serta kurangnya informasi mengenai histologi dan situs biopsi
pada vagina atau jaringan penyokong yang dianalisis menyebabkan upaya untuk
membandingkan data-data tersebut secara langsung menjadi sangat sulit.
Penelitian menunjukkan jaringan yang diperoleh dari ligamentum sakrouterina
pasien dengan POP memiliki kandungan kolagen total yang menurun dengan
konsentrasi kolagen III yang meningkat tanpa dipengaruhi usia maupun paritas.
Peningkatan kandungan kolagen III mungkin mengarah pada proses pemulihan
akibat kondisi regangan yang berlebih pada jaringan ikat dasar panggul (Chen et
al., 2005 ; Wu et al., 2010).
Moalli et al. (2002), menemukan peningkatan ekspresi MMP-9 aktif yang
signifikan pada perempuan dengan POP, relatif terhadap kelompok kontrol.
Kombinasi antara peningkatan kandungan kolagen III dengan peningkatan jumlah
-
36
MMP-9 yang aktif merupakan gambaran tipikal dari jaringan yang sedang
mengalami proses remodeling setelah cedera atau jaringan yang mengalami
remodeling untuk mengakomodasi beban mekanis yang meningkat secara
progresif (Moalli et al., 2002). Peningkatan ekspresi tenasin, yang merupakan
glikoprotein matrik ekstraseluler yang muncul saat proses pemulihan luka, juga
mendukung teori ini (Chen et al., 2005 ; Wu et al., 2010).
2.3.1.2 Maturasi kolagen
Usia merupakan faktor risiko dari POP. Pada penelitian oleh Chen et al.
(2005), terdapat peningkatan risiko sebesar 10% terhadap insiden POP setiap
penambahan satu dekade dari umur pasien. Olsen et al.(2003), menemukan bahwa
insiden kumulatif dari operasi primer untuk POP dan inkontinensia urin
meningkat dari 0,1% pada kelompok umur 20-29 tahun menjadi 11,1% pada
kelompok umur 70-79 tahun (Chen et al., 2005).
Chen et al. (2005), menilai daya regang dari ligamentum sakrouterina
dengan menggunakan tensiometri pada pasien dengan dan tanpa POP untuk
mengetahui apakah berpengaruh terhadap mobilitas uterus atau dasar panggul,
serta untuk mengetahui apakah terdapat variasi berdasarkan usia pasien, riwayat
persalinan pervaginam, menopause atau variasi histologis pada ligamentum.
Penelitian ini menemukan bahwa daya regang ligamentum sakrouterina secara
signifikan berkurang (p=0,02) pada pasien dengan POP simptomatis. Terdapat
penurunan yang signifikan pada ligamentum sakrouterina pasien menopause
(p=0,009) dan pasien dengan usia lebih tua (p=0,005), yang mengarahkan pada
kondisi dimana otot dasar panggul melemah, sehingga menyebabkan penurunan
-
37
daya regang jaringan ikat panggul yang berhubungan dengan usia dan menopause
yang memfasilitasi perkembangan hingga muncul gejala POP (Chen et al., 2005).
Dua mekanisme maturasi kolagen sudah teridentifikasi. Yang pertama
melibatkan cross-links lisin aldehid yang dikontrol oleh enzim. Cross-link
dehidro-hidroksi lisinonorleusin yang divalen pada fase awal dikontrol oleh enzim
dan kemudian diubah menjadi cross-link trivalen yang stabil, yaitu histidino-
hidroksilisinonorleusin dan hidroksilisil-piridinolin seiring dengan proses
maturasi jaringan. Proporsi relatif dari cross-link divalen pada fase awal terhadap
cross-link yang sudah matur dapat memberikan penilaian mengenai tingkat
maturasi dari sebuah jaringan. Mekanisme untuk menciptakan kekuatan dari
kolagen oleh cross-link interfibril masih ditelusuri hingga saat ini. Selanjutnya
kolagen matur yang mengalami metabolisme yang lambat akan rentan terhadap
proses cross-link yang bersifat non-enzimatik yang juga dikenal sebagai reaksi
glikasi atau maillard. Reaksi ini melibatkan penambahan glukosa yang cukup
random pada kolagen, karena perguliran kolagen secara umum berlangsung sangat
rendah. Hasil produk dari proses glikasi ini kemudian bereaksi membentuk cross-
link intermolekuler. Telah diketahui bahwa hasil akhir dari glikasi tahap lanjut
advanced glycated endproducts (AGEs) pada kolagen akan berakumulasi seiring
dengan bertambahnya usia. Mekanisme ini merupakan penyebab disfungsi
jaringan kolagen dan bertanggungjawab atas komplikasi jaringan ikat yang
muncul pada usia lanjut. Kolagen yang terlampau matur akan menjadi kaku dan
akan menjadi lebih rapuh dibanding kolagen yang hanya memiliki cross-link
enzimatik. Glikasi dari protein lain juga mengalami mekanisme yang sama,
-
38
namun usia paruh biologis yang panjang dari kolagen memastikan bahwa kolagen
tersebut memiliki peranan yang penting dalam proses penuaan. Dengan
pengetahuan perubahan kolagen seiring dengan bertambahnya usia, lebih banyak
penelitian mengenai POP, khususnya pada wanita berusia lebih muda, dapat
mengungkapkan dasar patofisiologi dari kelainan ini (Chen et al., 2005 ; Jung et
al., 2009).
2.3.1.3 Degradasi kolagen
Keseimbangan antara sintesis dan degradasi kolagen menjadi penting
dalam mempertahankan integritas dan kekuatan regang dari jaringan selama
proses remodeling jaringan yang berlangsung secara terus-menerus. Degradasi
bergantung pada kombinasi aktifitas MMP dan regulasi pelepasannya, aktivasi
atau sekuestrasi dari faktor-faktor pertumbuhan, protein pengikat faktor
pertumbuhan, reseptor pada permukaan sel dan molekul adhesi untuk sel. Matriks
metallopreteinase disintesis intraseluler dan disekresikan sebagai pro-enzim ke
ruang ekstraselular, yang kemudian diubah menjadi bentuk yang aktif oleh
aktivitas enzim (Jung et al., 2009)
Terdapat 23 jenis famili MMP yang ditemukan pada manusia. Semuanya
dapat mendegradasi satu atau lebih komponen matriks ekstraselular, namun
dengan spesifisikasi yang berbeda-beda. Kolagenasi interstisial dan neutrofil
(MMP-1, MMP-8 dan MMP-13) mampu memecah kolagen fibrilar, sementara
gelatinase (MMP-2 dan MMP-9) mendegradasi hasil peptida yang mengalami
denaturalisasi. Asam katepsin mendepolimerisasi serat kolagen dengan memecah
-
39
situs disekitar cross-link. Kombinasi kerja enzim-enzim ini mampu mendegradasi
semua komponen matriks ekstraselular (Alperin et al., 2006 ; Jung et al., 2009).
Untuk membatasi degradasi jaringan, aktivitas MMP diregulasi dengan
memodulasi produk pro-enzim. Degradasi berlebih juga dikendalikan oleh
inhibitor endogen yaitu inhibitor yang dibentuk dalam serum dan Tissue Inhibitor
Matrix Metalloproteinase (TIMP). Inhibitor ini berikatan dengan MMP secara
stoikiometrik untuk menghambat kerjanya. TIMP-1 dan juga TIMP-3 berikatan
dengan MMP-1 dan MMP-9, sedangkan TIMP-2 berikatan dengan MMP-2.
Inhibitor yang dibentuk secara in vitro telah menunjukkan bahwa MMP aktif
dapat pula di non-aktifkan secara spontan dengan mendegradasi MMP tersebut
menjadi fragmen yang lebih kecil. Proses ini disebut dengan autokatalisis (Jakson
et al., 1996 ; Chen et al., 2005).
2.3.2 Elastin
Serat elastin mempunyai kemampuan meregang dan memanjang hingga
70% ukuran aslinya dan kembali ke bentuk normal, dibandingkan dengan kolagen
yang hanya mampu memanjang hingga 4% sebelum akhirnya gagal dan rusak
(Goh, 2003). Kemampuan ini dianggap penting dalam jaringan organ reproduksi
karena mengakomodasi regangan yang besar pada jaringan selama kehamilan dan
kemudian involusi untuk mengembalikan bentuk organ semula setelah persalinan
(Kerkhof et al., 2009).
Elastin adalah salah satu komponen penting dalam matrik ekstraseluler
yang secara ultrastruktur terdiri dari 2 elemen besar, yaitu komponen tidak
berbentuk dari elastin dan komponen seperti serat yang disebut mikrofibril, yang
-
40
berfungsi sebagai tempat melekatnya komponen tidak berbentuk elastin.
Mikrofibril terdiri dari beberapa macam protein termasuk fibrilin dan glycoprotein
lainnya yang berhubungan dengan mikrofibril. Protein-protein ini membentuk
perancah dimana akan menjadi tempat melekatnya komponen tidak berbentuk dari
elastin sebelum akhirnya bertumbuh ke perifer dan menjadi serat elastin (Goh,
2003).
Elastin adalah protein ekstrim yang tidak larut dikarenakan cross-link yang
ekstensif pada residu lysine dan termasuk sebagai salah satu protein paling
hidrofobik yang diketahui. Pada vertebrata yang lebih tinggi termasuk manusia,
lebih dari 30 % residu asam amino dari elastin berupa residu glysin dan perkiraan
sekitar 75% dari seluruh urutannya terdiri dari 4 asam amino yang hidrofobik
berupa glysin, valin, alanin dan prolin (Goh, 2003).
2.3.2.1 Sintesis elastin
Tropoelastin merupakan prekursor dari elastin yang disandikan oleh gen
tunggal berlokasi di kromosom 7q11 pada manusia dan mempunyai setidaknya 11
variasi dikarenakan sambungan transkripsi yang berbeda-beda. Tropoelastin
dihasilkan dalam bentuk monomer yang larut oleh sel fibroblas dan sel otot polos
kemudian akan disekresikan ke ekstraseluler dan berikatan dengan fibulin-5.
Fibulin-5 dibutuhkan dan sangat penting dalam pembentukan serat elastin yang
baru. Fibulin-5 kemudian akan menambatkan tropoelastin pada sel dengan
berinteraksi dengan integrin pada permukaan sel. Selanjutnya permukaan sel akan
mengarahkan lokasi elastin ke perancah mikrofibril kemungkinan dengan
berinteraksi dengan fibulin-2 yang berlokasi di mikrofibril. Kemudian residu lysin
-
41
dari tropoelastin akan mengalami modifikasi membentuk ikatan kovalen dengan
rantai tropoelastin lainnya membentuk serat elastin yang matur dengan dikelilingi
mikrofibril (Mäki, 2002).
Gambar 2.7 Ikatan tropoelastin, fibulin-5, integrin dan lysyl oxidase
(Kerkhof et al., 2009)
Ikatan polimer ini mempunyai kemampuan yang besar untuk mengkerut
dan meregang secara reversibel. Ikatan kovalen ini diperantarai oleh copper
dependent-enzim ekstraseluler yang disebut lysyl oksidase dan sangat stabil tetapi
dapat dipecahkan oleh MMP yang teraktivasi ataupun protease lainnya menjadi
produk degradasi elastin (Kerkhof et al., 2009).
Defek pada struktur serat elastin dapat menimbulkan keadaan patologis
dimana POP adalah salah satunya. Beberapa penyakit yang ditimbulkan karena
-
42
kelainan pada serat elastin seperti pada cutis laxa, merupakan penyakit jaringan
ikat yang autosomal dominan sebagai akibat kurangnya dermal elastin (mutasi
pada gen elastin dan fibulin-5) dengan karakteristik seperti kulit terlihat longgar,
mudah teregang dan berkurangnya elastisitas kulit untuk kembali ke bentuk
semula. POP sangat umum terjadi pada perempuan dengan cutis laxa. Manifestasi
lainnya yang jarang dapat berupa stenosis arteri pulmonalis, aneurisma aorta,
bronkiektasis dan emfisema paru, karena kerusakan atau degradasi serat elastin
menyebabkan arteri dan alveolus kehilangan elastisitasnya. Kelainan pada struktur
elastin juga ditemukan pada sindrom Marfan (mutasi pada gen fibrilin) dengan
manifestasi klinis termasuk POP dan kelainan pada aorta (Goepel et al., 2008 ;
Word et al., 2009).
Gambar 2.8 Struktur serat elastin pada saat meregang dan relaks (Kerkhof et al., 2009)
Elastin telah disintesis sejak awal permulaan kehidupan. Produksi elastin
mencapai puncaknya pada trimester ke-3 kehidupan fetus dan kemudian menurun
secara bertahap selama perkembangan postnatal. Pada jaringan atau organ yang
tidak terganggu, serat elastin akan bertahan seumur hidup. Modifikasi serat elastin
-
43
yang terjadi di semua jaringan dan organ dalam kaitannya dengan umur, secara
umum dikatakan mengalami degradasi yang progresif dari protein polimer yang
diproduksi sejak awal kehidupan. Pada manusia, serat elastin tumbuh berkembang
tidak terdistorsi setelah kelahiran dan berkembang secara proporsional sesuai
pertumbuhan jaringan. Selanjutnya setelah dewasa dan semakin tua, serat elastin
semakin berkerut dan rapuh. Namun penelitian menunjukkan bahwa pergantian
serat elastin pada jaringan reproduksi wanita tidak sama halnya dengan pergantian
yang terjadi pada organ lain orang dewasa, dimana serat elastin berkelanjutan
disintesis dan diakselerasi terutama sesudah melahirkan. Kemampuan unik dari
adaptasi ini untuk memproduksi serat elastin baru memungkinkan vagina untuk
meregang selama kehamilan dan kemudian kembali normal setelah melahirkan
(Word et al., 2009).
Gambar 2.9 Sintesis elastin berdasarkan umur (Word et al., 2009)
-
44
2.3.2.2 Fibulin-5
Protein lainnya, termasuk keluarga protein fibulin, berhubungan dengan
serat elastin in vivo dan berperan untuk memicu pembentukan dan stabilisasi serat
elastin. Istilah fibulin diambil dari kata latin yang berarti kuncian atau segel.
Fibulin terdiri dari lima anggota keluarga yang memiliki pola ekspresi saling
tumpang tindih namun berbeda. Fibulin banyak ditemukan pada jaringan yang
kaya dengan serat elastin, seperti paru-paru, pembuluh darah, leher kandung
kemih dan uterus (Miao, 2013).
Fibulin-5 juga diketahui sebagai Developing Arteries and Neural Crest
Epidermal growth factor like protein (DANCE) atau Embryonic Vascular
Epidermal Growth factor like repeat Containing protein (EVEC) pada penelitian
terkini berperan sebagai protein yang menghubungkan serat elastin dengan sel dan
mengatur penyusunan serta pembentukan serat. Fibulin-5 terdapat bersama-sama
dengan elastin dan berikatan pada permukaan serat elastin dan juga pada sel.
Fibulin-5 berikatan dengan sel melalui interaksi dengan reseptor permukaan sel
integrin. Fibulin-5 penting untuk pembentukan serat elastin baru, namun tidak
untuk mempertahankan fibril yang sudah ada. Proses pembaharuan serat elastin
yang muncul pada saluran reproduksi wanita setelah melahirkan adalah unik
dibandingkan jaringan dewasa lainnya (Miao, 2013).
Pemikiran bahwa fibulin-5 bekerja sebagai jembatan antara elastin dan
permukaan sel menambah kompleksitas model penyusunan serat elastin yang kini
ada. Kolaborasi antara sel dan elastin dibutuhkan untuk terjadinya pembentukan
serat dan molekul yang memfasilitasi hal ini telah diidentifikasi. Sebagai contoh,
-
45
reseptor elastin telah dibuktikan berhubungan dengan tropoelastin dan bekerja
sebagai penuntun untuk membantu perpindahan intraseluler dan pembentukan
ekstraseluler (Word, 2009). Fibulin-5 juga berikatan dengan LOXL1 dan dapat
mengkoordinasikan aktivitas molekul tersebut dengan mengarahkan pembentukan
serat elastis pada permukaan sel (Miao, 2013) .
2.4 Reseptor Estrogen
Reseptor estrogen (ER) sebelumnya telah diidentifikasi di dalam nukleus
jaringan ikat dan sel otot polos dari trigonum kandung kemih, uretra, mukosa
vagina, stroma levator ani dan ligamentum sakrouterina. Reseptor estrogen juga
terdapat dalam organ lain selain organ reproduktif, seperti otak, kelenjar
mammae, kulit, tulang dan lain-lain (Chung et al., 2006 ; Kretowska et al., 2011).
Reseptor estrogen merupakan faktor transkripsi yang diaktifkan melalui suatu
“ikatan” atau “kontak” dan tanpa adanya ikatan akan ditemukan dalam bentuk
laten yang bersifat monomerik, yang ditemukan dalam sitosol maupun nukleus.
Terdapat dua subtipe reseptor estrogen pada sel manusia yaitu reseptor
estrogen α (ERα) merupakan reseptor estrogen yang dominan ditemukan dalam
uterus perempuan dewasa dan reseptor estrogen β (ERβ) diekpresikan dalam
jumlah tinggi pada jaringan target estrogen lain seperti prostat, kelenjar saliva,
testis, ovarium, endotelium pembuluh darah, otot polos dan sistem imun (Chung
et al., 2006 ; Chen et al., 2008). Estrogen memiliki efek positif untuk
kelangsungan fungsi dari traktus urogenital dan dasar panggul. Secara embriologi
traktus genitalia dan urinaria berasal dari sumber yang sama, yaitu sinus
-
46
urogenital. Pada organ panggul reseptor estrogen terekspresi dalam jumlah besar
pada otot pubokoksigeus, ligamentum sakrouterina, uretra, kandung kemih dan
pembuluh darah pada panggul. Fibroblas yang distimulasi oleh estrogen akan
mensintesis kolagen dan menghambat degradasinya. Pada ligamentum
sakrouterina estrogen digunakan untuk mensintesis kolagen tipe I dimana kolagen
ini merupakan kolagen yang sangat kuat. Perempuan dengan POP dan
inkontinensia urin memiliki kolagen tipe I yang sedikit, lebih didominasi oleh
kolagen tipe III (Jones et al., 2006).
Gambar 2.10 Tabel Distribusi Reseptor Seks Steroid pada Genetalia (Speroff et al., 2005)
Reseptor estrogen dibagi menjadi 6 regio (region) dalam 5 daerah
(domain), yang diberi label A sampai F dan akan menjelaskan bagaimana proses
trankripsi terjadi dalam reseptor estrogen tersebut (Speroff et al., 2005).
-
47
Regio A/B, domain pengaturan.
Daerah ini adalah ujung asam amino merupakan bagian paling sering berubah
pada reseptor superfamili, yang dapat meningkat dari 20 asam amino pada
reseptor vitamin D menjadi 600 asam amino pada reseptor mineralokortikoid.
Pada ERα, mengandung beberapa tempat fosforilasi dan fungsi aktivitas
transkripsi yang dinamakan Transcription Activating Factors-1 (TAF-1).
Transcription Activating Factors-1 dapat menstimulasi transkripsi pada keadaan
tidak adanya ikatan hormon. Pengaturan domain sangat berbeda pada dua reseptor
estrogen dan pada ER-β, TAF-1 dapat signifikan atau bahkan tidak ada (Speroff et
al., 2005).
Regio C, daerah ikatan DNA.
Merupakan bagian tengah yang mengikat DNA, mengandung 100 asam
amino dengan 9 sistein berada pada posisi yang stabil yang dihubungkan melalui
dua ikatan jari Zn ( Zinc Finger). Daerah ini esensial untuk mengaktivasi
transkripsi. Ikatan dengan hormon merangsang suatu perubahan yang sesuai untuk
menyiapkan ikatan hormon- elemen responsif pada target gen. Daerah ini sangat
sesuai dengan masing-masing bagian dari reseptor steroid dan superfamili tiroid.
Spesifisitas reseptor yang mengikat hormon dengan elemen responsif ditentukan
oleh jari regio zinc, terutama pada jari pertama. Pesan spesifik dapat berubah
dengan adanya perubahan asam amino pada daerah dasar dari jari-jari.
Penggabungan asam amino pada ujung-ujung jari menyebabkan hilangnya fungsi.
Spesifisitas fungsional dapat dilokalisasi pada jari kedua zinc pada suatu area
-
48
yang terbentuk pada distal kotak (distal box). Respon-respon yang berbeda
seharusnya tampak pada genetik yang berbeda dari masing-masing sel target.
Gambar 2.11 Proses Transkripsi pada Reseptor Estrogen (Speroff et al., 2005)
Regio D, daerah engsel.
Regio ini merupakan daerah diantara ikatan DNA dan daerah ikatan hormon yang
mengandung signal penting untuk perpindahan reseptor ke arah nukleus melalui
sintesa dalam sitoplasma. Lokalisasi signal pada nukleus pasti menunjukkan
adanya reseptor estrogen dengan sisa nukleus pada keadaan tanpa adanya hormon.
Regio ini juga merupakan tempat rotasi (sehingga terbentuk engsel) dalam
mencapai perubahan yang sesuai (Speroff et al., 2005).
Regio E, daerah ikatan hormon.
Merupakan ujung karboksi dari reseptor estrogen α yang merupakan daerah ikatan
hormon (untuk estrogen dan antiestrogen), mengandung 251 asam amino (residu
302-553). Sebagai tambahan, regio ikatan hormon, bertanggung jawab terhadap
dimerisisasi dan mengandung fungsi aktivitas transkripsi yang disebut TAF-2. Ini
juga merupakan tempat untuk mengikat panas protein (terutama hsp 90) dan
-
49
ikatan ini diperlukan untuk mengikat panas protein yang dapat mencegah
dimerisasi dan ikatan DNA. Perbedaan aktivitas TAF-1, TAF-2 tergantung dari
ikatan hormon (Speroff et al., 2005).
Regio F.
Regio F dari ERα merupakan suatu asam amino-42 pada segmen C-
terminal. Regio ini mengatur transkripsi gen oleh hormon estrogen dan
antiestrogen, yang mempunyai pengaruh dalam melakukan efikasi terhadap
antiestrogen yang menekan efek estrogen dalam melakukan proses transkripsi.
Bentuk dari reseptor ikatan komplek yang dibentuk baik oleh hormon estrogen
dan antiestrogen berbeda, dan hal tersebut juga berbeda dengan atau tanpa
keberadaan regio F. Regio F tidak diwajibkan ada untuk dapat menimbulkan
respon transkripsi terhadap hormon estrogen. Dengan demikian sangatlah tepat
bahwa peranan dari regio F sangatlah bervariasi, hal tersebut ditentukan oleh tipe
sel dan jenis dari protein terkait. Regio F mempengaruhi aktivitas dari TAF-1 dan
TAF-2, dimana akan timbul hasil yang diharapkan jika pengaruh penyesuaian
telah didapat.
Perjalanan klinis dari pasien dengan POP yang simptomatik menunjukkan
bahwa perkembangan prolaps ini dicetuskan oleh kondisi hipoestrogenik. Namun,
aktifitas estrogen sangat tergantung pada kadar estrogen dalam serum dan pada
ekspresi dari reseptor estrogennya. Terdapat juga beberapa ko-regulator dan faktor
transkripsional lain yang memiliki efek pada pathway estrogen dependen.
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan timbal balik antara estrogen dan
jaringan ikat dengan perantaraan reseptor estrogen tersebut. Estrogen dan ER
-
50
meregulasi sebagian besar dari gen yang mengkode faktor pertumbuhan yang
berperan dalam mensintesis matriks ekstraselular (Chen et al., 2008 ; Kretowska
et al., 2011).
Pada beberapa penelitian didapatkan jumlah reseptor estrogen secara
signifikan lebih rendah pada ligamentum sakrouterina wanita premenopause
dengan POP. Namun tidak terdapat perbedaan dalam nilai reseptor estrogen antara
perempuan post menopause dengan atau tanpa POP ketika hanya subtipe reseptor
estrogen α yang dianalisis. Ewies et al.(2004), mempelajari perubahan reseptor
steroid dalam ligamentum kardinale uterus yang mengalami prolaps. Analisis
immunohistokimia dari ligamentum kardinale menunjukkan ekspresi ERα pada
wanita dengan POP 1,5-2,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa
POP. Selain itu, ekspresi ERβ dua kali lipat lebih tinggi pada wanita pre
menopause tanpa POP dibandingkan wanita pre menopause dengan POP, dan
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok post menopause
(Ewies et al., 2004)
Monica et al. (2005) menunjukkan ekspresi ERα dan rasio Erα / ERβ
lebih tinggi pada wanita post menopause dibandingkan wanita pre menopause,
serta pada semua kelompok yang dengan POP. Hasil tersebut belum mencapai
nilai yang signifikan secara statistik pada wanita post menopause dengan POP dan
hal tersebut dapat dijelaskan dengan adanya ekpresi ERα dan rasio ERα/ERβ yang
lebih tinggi pada semua wanita post menopause. Ekspresi ERβ secara statistik
lebih rendah pada wanita pre menopause dengan POP dibandingkan wanita pre
menopause tanpa POP dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
-
51
ekspresi ERβ pada wanita post menopause apapun status POP mereka. Hasil yang
ditemukan pada penelitian ini, meskipun bersifat preliminer, menunjukkan
perbedaan ekspresi konsentrasi ER pada wanita pre menopause dengan wanita
post menopause, serta adanya perubahan ekspresi ER akibat perbedaan status
POP. Sangat jelas bahwa peningkatan rasio ERα/ERβ berhubungan dengan POP.
Oleh sebab itu, terdapat kemungkinan bahwa perubahan kuantitatif pada ER ini
berpartisipasi dalam patogenesis perkembangan POP (Chung et al., 2006 ; Chen
et al., 2008 ; Kretowska et al., 2011).
Gambar 2.12 Tabel Perbandingan Ekspresi Reseptor Estrogen pada fascia Vesikovagina dan Rektovagina penderita POP (Kretowska et al., 2011)
2.5 Variasi Genetik Reseptor Estrogen, Kolagen dan Fibulin-5
2.5.1 Single nucleotide polymorphism
Single nucleotide polymorphism (SNPs) atau polimorfisme nukleotida
tunggal adalah sumber dari variasi genom. Sebuah SNPs adalah mutasi basa
tunggal pada DNA. Single nucleotide polymorphism adalah bentuk paling
-
52
sederhana dan sumber paling umum dari polimorfisme genetik pada genom
manusia (90% dari seluruh polimorfisme DNA manusia) (Schork et al., 2000).
Terdapat 2 tipe substitusi basa nukleotida yang menghasilkan SNPs, yaitu
tipe transisi, yang muncul antara purin (A dan G) atau antara pirimidin (C dan T).
Tipe substitusi ini muncul pada 2/3 dari seluruh SNPs. Yang kedua adalah tipe
transversi, yang muncul antara sebuah purin dan sebuah pirimidin.
Variasi urutan yang diakibatkan SNPs dapat diukur dalam bentuk
diversitas nukleotida, rasio angka perbedaan basa antara dua genom yang
dibandingkan. Angka tersebut mencapai sekitar 1/1000 (1/1350) pasang basa
antara dua kromosom ekuivalen (Schork et al., 2000).
Single nucleotide polymorphism tidak tersebar secara merata pada genom
manusia, tidak pada seluruh kromosom maupun kromosom tunggal. Terdapat 1/3
jumlah SNPs pada area koding dibandingkan pada area non-koding. Telah
ditunjukkan juga bahwa variasi urutan jauh lebih rendah pada kromosom seks.
Pada kromosom tunggal, SNPs dapat terkonsentrasi pada area spesifik, biasanya
pada area dengan minat medis atau penelitian. Sebagai contoh, urutan yang
mengkoding protein yang mempresentasikan antigen kepada sistem imun pada
kromosom 6 menampilkan diversitas nukleotida yang tinggi dibandingkan area
kromosom lainnya (Kaleigh, 2002).
Terdapat lebih dari 1 juta SNPs yang telah diidentifikasi (1.255.326 SNPs
terpetakan di Organisasi Konsorsium SNPs). Eksperimen validasi telah
menunjukkan bahwa 95% dari keseluruhan adalah unik dan polimorfisme yang
valid (bukan merupakan hasil dari kesalahan repetisi). Metode penemuan / deteksi
-
53
SNPs melibatkan seperangkat reaksi biokimia yang mengisolasi lokasi pasti dari
terduga SNPs dan kemudian secara langsung menentukan identitas SNPs
menggunakan enzim DNA polymerase. Banyak SNPs awalnya terdeteksi dengan
cara membandingkan urutan genom yang berbeda-beda. Hasil pekerjaan ini kini
telah berkembang ke studi yang lebih besar untuk menentukan SNPs (genotip)
berbagai genom dari berbagai populasi. Terdapat perbedaan antara penemuan /
deteksi SNPs dengan skoring SNPs / genotiping SNPs. Yang satu bertujuan untuk
mengidentifikasi lokasi SNPs baru pada genom, sementara yang lainnya
melibatkan metode untuk menentukan genotip dari berbagai individu untuk SNPs
tertentu yang telah ditemukan sebelumnya. Ini mengakhiri diskusi tentang deteksi
SNPs. Yang berikutnya merupakan pendahuluan tentang aplikasi paska genom
terkait SNPs seperti genotiping kecepatan tinggi (high throughput), menentukan
haplotip dari genotip dan pemetaan haplotip (Lippert et al., 2002).
2.5.2 Polimorfisme gen reseptor estrogen
Estrogen dan reseptor etrogen diketahui memiliki peran penting dalam
patofosiologi POP. Sebuah penelitian di Taiwan oleh Huey, et al., menelusuri
apakah polimorfisme gen reseptor estrogen α (ERα) berhubungan dengan risiko
prolaps dengan melakukan penelitian hubungan kasus-kontrol pada 88 perempuan
dengan prolaps dan 153 perempuan tanpa prolaps. Genotip polimorfisme gen ERα
(ESR1), (rs17847075, rs2207647, rs2234693, rs3798577 dan rs2228480)
ditentukan melalui polymerase chain reaction (PCR), diikuti dengan analisis
polimorfisme fragmen lengan panjang terbatas. Penelitian ini mendapatkan
perbedaan bermakna antara perempuan dengan dan tanpa prolaps dalam distribusi
-
54
gen ERα rs2228480 yang dievaluasi. Dengan menggunakan regresi logistik
multivariabel, usia dan genotip ERα rs2228480 secara bermakna berhubungan
dengan risiko terjadinya POP. Meskipun ukuran sampel prolaps yang dipelajari
kecil, namun penelitian ini menunjukkan bahwa genotip ERα berhubungan
dengan risiko terjadinya POP (Huey et al., 2014).
Untuk menguji hipotesis bahwa variasi deret pada gen ERα berhubungan
dengan risiko prolaps, Huey et al., menganalisis area ekson 1, intron 1 dan ekson
8 dari gen 88 perempuan dengan prolaps dan 153 perempuan tanpa prolaps.
Berdasarkan kepustakaan yang sudah kami telusuri, ini adalah penelitian pertama
yang menilai hubungan antara variasi deret pada gen ERα dan risiko terjadinya
POP. Analisis perkiraan frekuensi genotip menunjukkan bahwa genotipe GA pada
ERα rs2228480 lebih banyak pada perempuan dengan prolaps (46,6%
dibandingkan dengan perempuan tanpa prolaps (28,8%). Nilai P dari uji Chi-
square adalah sekitar 1,5% dengan kekuatan lebih dari 74%. Maka, genotipe GA
ERα rs2228480 mungkin merupakan faktor risiko untuk terjadinya POP (Huey et
al., 2014).
2.5.3 Polimorfisme gen kolagen
Hubungan polimorfisme gen kolagen dengan terjadinya POP sudah
dipelajari pada gen Col1A1 (gen kolagen I) dan gen Col3A1 (gen kolagen III).
Penelitian terhadap hubungan polimorfisme gen kolagen I dan kolagen III
menunjukkan hasil yang berbeda. Belum ditemukan adanya penelitian yang
membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara polimorfisme gen kolagen
I dengan terjadinya POP. Prolaps organ panggul dilaporkan kejadiannya
-
55
berhubungan dengan adanya polimorfisme gen kolagen III pada beberapa
penelitian (Renee et al., 2014).
Penelitian oleh Cho et al. pada perempuan Korea pada tahun 2009, tidak
menemukan hubungan antara polimorfisme Col1A1 Sp1 binding site dengan
kejadian POP. Feiner et al. (2009) juga mendapatkan hasil yang sama pada
penelitiannya di Israel, yaitu polimorfisme Col1A1 Sp1 binding site bukan
merupakan faktor risiko terjadinya POP. Penelitian di Italia oleh Ferrari et al.
(2011) juga menyimpulkan tidak adanya hubungan bermakna antara polimorfisme
Sp-1 site of Col1A1 point mutation (G-T) in 1st intron dengan kejadian POP.
Defek genetik pada kolagen diyakini berpengaruh terhadap kelemahan
jaringan penyangga dasar panggul. Namun defek yang spesifik belum ditemukan
pada penelitian terhadap polimorfisme gen kolagen I. Penelitian kasus kontrol di
Taiwan oleh Chen et al. (2008) pertamakali mendapatkan bahwa polimorfisme
gen kolagen III pada Col3A1 rs1800255 genotif GA merupakan faktor risiko
terjadinya POP. Penelitian ini menggunakan sampel kasus POP derajat II atau
lebih sebanyak 84 orang dan 147 kontrol yang non prolaps. Polimorfisme gen
kolagen III yang ditemukan sebagai faktor risiko terjadinya prolaps hanya pada
Col3A1 rs1800255 (ekson 30 G>A) dengan primer 5’-
TCCTCTTTCTCCAGGCATTC-3’ 5’-TTTGTCACAGGGTGATGCTG-3’. Pada
site lain yang juga diteliti yaitu Col3A1 rs1801184 (ekson 32 T>C) dengan primer
5’-TGCTTCTCCTCACTGGGAAT-3’ 5’-CCAAAGGGTGACAAGGTGTT-3’,
namun ternyata bukan merupakan faktor risiko terjadinya POP (Chen et al.,
2008).
-
56
Kluivers et al. (2009) pada penelitian di Belanda juga mencari hubungan
antara polimorfisme gen kolagen III dengan terjadinya POP. Penelitian kasus
kontrol yang melibatkan 202 orang perempuan dengan POP derajat II atau lebih
sebagai kasus dan 102 orang kontrol yang tanpa prolaps, menyimpulkan bahwa
polimorfisme gen kolagen III pada Coll3A1 2209G>A, rs1800255 merupakan
faktor risiko terjadinya POP (Kluivers et al., 2009).
2.5.4 Polimorfisme gen fibulin-5
Selain polimorfisme gen reseptor estrogen α dan gen kolagen, POP juga
diperkirakan berhubungan dengan polimorfisme protein-protein yang berperan
dalam sintesis elastin, seperti fibulin-5 dan LOXL1. Sebuah penelitian di Rusia
menelusuri hubungan antara polimorfisme nukleotida tunggal (SNPs) antara gen
fibulin-5 dengan POP. Sejumlah sebelas label SNPs gen fibulin-5 disandi
menggunakan Polymerase chain reaction with confronting two-pair primers
(PCR-CTPP) pada 210 pasien dengan POP derajat III-IV dan 292 kontrol tanpa
prolaps. Hasilnya adalah didapatkan hubungan bermakna dari label SNPs
rs2018736 dan rs12589592 dengan POP. Penelitian ini untuk pertamakalinya
menyimpulkan adanya bukti yang kuat bahwa polimorfisme dari gen fibulin-5
berhubungan dengan POP (Maryam, et al., 2014).
Penelitian untuk mencari adanya hubungan polimorfisme protein-protein
yang berperan pada sintesis elastin dengan POP ini juga tidak seragam, karena
beberapa penelitian sebelumnya pada perempuan Afrika-Amerika dan Caucasian
ternyata tidak menemukan hubungan antara polimorfisme LOXL1 dengan POP
(Ferrell, 2009).
-
57
2.6. Perempuan Bali
Perempuan berarti orang yang dihormati, kata dasarnya adalah empu (per-
empu-an). Empu adalah gelar kehormatan, seorang ahli, seorang yang mampu
memimpin. Untuk menyebut seorang perempuan sering digunakan kata wanita .
Kata perempuan berarti mereka yang utama, dimuliakan atau dihormati. Tetapi di
Bali sebagian besar perempuan Bali beranggapan bahwa kaum perempuan sering
ditindas. Hal ini disebabkan oleh sistem kekeluargaan yang dianut di Bali .
Sebuah sistem apabila tidak dipahami secara benar maka akan menimbulkan
anggapan yang keliru dan menyesatkan. Karena pemahaman yang keliru inilah
mengakibatkan perempuan Bali hanya jadi obyek. Saat masih anak-anak dia
adalah milik orangtuanya, saat dewasa dia adalah milik suaminya dan saat tua dia
adalah milik anak-anaknya, sehingga kondisi ini membuat perempuan Bali
menjadi pekerja keras, karena perempuan Bali harus bekerja untuk pemiliknya
(Sudantra, 2011).
Selain harus bekerja keras untuk kelangsungan hidupnya dan mendukung
kelangsungan hidup keluarga, perempuan Bali berkewajiban meneruskan
keturunan. Budaya dan adat Bali di masa lampau memperbolehkan perempuan
Bali melahirkan sampai 4 kali. Tidak banyak kemudahan yang didapat oleh
perempuan Bali ketika menghadapi kehamilan dan persalinan. Mereka wajib tetap
bekerja mendukung suami dan menghidupi keluarganya. Seperti itulah
pemahaman keliru adat Bali yang diturunkan secara terus menerus, sehingga
timbul anggapan bahwa perempuan Bali adalah pekerja keras untuk menghidupi
keluarganya (Windiyarti, 2008; Sudantra, 2011).
-
58
Bekerja berat dan melahirkan berulangkali yang dialami perempuan Bali
membuat mereka berisiko lebih mudah mengalami masalah kesehatan. Salah
satunya adalah POP. Sangat mudah dimengerti bila ada hasil penelitian yang
menunjukkan tingginya prevalensi POP pada perempuan Bali. Selain bekerja
berat dan multiparitas yang diduga menjadi faktor risiko tingginya kejadian
prolaps pada perempuan Bali, anatomi tulang panggul perempuan Bali juga
dikatakan berhubungan dengan kejadian POP. Fajar M., et al. pada tahun 2013,
melaporkan bahwa diameter tulang panggul transversal dan intertuberum pada
perempuan Bali yang menderita POP lebih lebar dibandingkan perempuan Bali
yang tidak prolaps (Fajar M., et al., 2013).
Pada akhir tahun 2010, Majelis Desa Pakraman Bali melakukan terobosan
yang sangat progresif. Melalui sebuah Keputusan Pesamuan Agung III Majelis
Utama Desa Pakraman Bali Nomor 01/KEP/PSM-3/MUDP Bali/X/2010
tertanggal 15 Oktober 2010, memperbaiki kekeliruan pemahaman konsep purusa
pradana, yang salah satunya menjadikan perempuan Bali sebagai subyek dalam
tata kehidupan keluarga. Perempuan Bali sejak anak-anak dilindungi oleh
orangtuanya, saat dewasa dilindungi oleh suaminya, dan saat tua dilindungi oleh
anak-anaknya. Konsep ini sebenarnya sudah mulai dijalankan beberapa dekade
terakhir, tetapi masih banyak kontroversi sehingga diperkuat oleh keputusan
Pesamuan Agung Majelis Utama Desa Pekraman Bali (Sukarma, 2012).
Perbaikan konsep pemahaman adat Bali tersebut diharapkan mengurangi
jumlah perempuan Bali yang bekerja berat. Program Keluarga Berencana
sebelumnya juga sudah membatasi jumlah kehamilan dan persalinan pada
-
59
perempuan Bali, tetapi kejadian POP pada perempuan Bali tercatat masih tinggi.
Pada tahun 2015, Bagian / SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD / RSUP
Sanglah Denpasar melaporkan kunjungan pasien POP sebanyak 91 kasus.
Sebagian besar kasus ini berasal dari suku Bali, yaitu 83 kasus (91,20 %),
sehingga diduga terdapat peran variasi genetik sebagai faktor risiko terjadinya
POP pada perempuan Bali.