BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Campakerepo.unud.ac.id/16595/3/0992162029-3-BAB_II.pdf · Campak...

download BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Campakerepo.unud.ac.id/16595/3/0992162029-3-BAB_II.pdf · Campak merupakan penyakit infeksi akut, ... abdomen, seluruh lengan ... Insiden terendah

If you can't read please download the document

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Campakerepo.unud.ac.id/16595/3/0992162029-3-BAB_II.pdf · Campak...

  • 40

    BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1 Penyakit Campak

    2.1.1 Definisi dan Etiologi Penyakit Campak

    Campak merupakan penyakit infeksi akut, kebanyakan menyerang anak-anak dan

    disebabkan oleh virus (WHO, 2004). Virus penyebab penyakit campak termasuk ke dalam

    genus morbilivirus dan famili paramixovirus. Karateristik penyakit campak pada umumnya

    adalah : demam dengan suhu >38C, rash dan disertai satu atau lebih gejala batuk, pilek, atau

    mata merah/konjungtivitis (WHO, 2004). Pada penyakit campak ada 3 stadium yaitu stadium

    prodromal, stadium erupsi dan stadium convalencens. Sembilan puluh persen anak yang

    tidak kebal akan terserang penyakit campak. Manusia merupakan satu-satunya reservoir,

    seseorang yang pernah terserang campak akan memiliki imunitas seumur hidupnya (Depkes,

    2008). Departemen kesehatan RI mendefinisikan penyakit campak kedalam tiga katagori

    untuk kepentingan surveilans yaitu:

    1. Tersangka campak (suspected measles case) yaitu kasus campak dengan gejala-

    gejala bercak kemerahan di tubuh didahului dengan demam/panas, batuk, pilek dan

    mata merah.

    2. Kasus klinis campak yaitu kasus dengan gejala-gejala bercak kemerahan di tubuh

    terbentuk makulo popular selama tiga hari atau lebih disertai panas badan 38C atau

    lebih dan disertai salah satu gejala batuk, pilek atau mata merah.

    3. Kasus campak konfirmasi (Confirmed measles case) yaitu kasus klinis campak

    disertai salah satu katagori: pemeriksaan laboratorium serologis positif campak,

    ditemukan koplik spot atau meninggal karena campak.

  • 41

    Penyakit campak disebabkan oleh measles virus (MV), genus virus morbili famili

    Paramyxoviridae (RNA), jenis morbilivirus yang mudah mati karena panas, cahaya, ether

    dan trypsin (Depkes, 2008). Virus akan menjadi tidak aktif pada suhu 37C, pH asam atau

    bila dimasukkan dalam lemari es selama beberapa jam. Dengan pembekuan lambat maka

    infeksifitasnya akan hilang. Selama masa prodromal, virus dapat ditemukan di dalam sekresi

    nasofaring, darah dan air kemih. Virus campak hanya dapat ditularkan dari manusia ke

    manusia dan hanya dapat aktif pada suhu kamar selama 34 jam di alam bebas (Andriani,

    2009).

    2.1.2 Gejala Klinis dan Penularan Penyakit Campak

    Secara umum gejala atau tanda-tanda campak menurut Depkes (2008) adalah:

    a. Panas badan biasanya 38C selama 3 hari atau lebih, disertai salah satu gejala batuk,

    pilek, mata merah atau mata berair.

    b. Gejala yang khas adalah adanya kopliks spot atau bercak putih keabuan dengan dasar

    merah di pipi bagian dalam (mucosa bucal).

    c. Bercak kemerahan/rash yang dimulai dari belakang telinga pada tubuh berbentuk

    makulo papular selama tiga hari atau lebih, dalam 4-7 hari akan menyebar keseluruh

    tubuh.

    d. kemerahan makulo papular setelah 1 minggu sampai 1 bulan berubah menjadi

    kehitaman (hiperpigmentasi) disertai kulit bersisik.

    Pada awal infeksinya penyakit campak agak sulit untuk dideteksi, namun pada

    umumnya manifestasi klinik penyakit campak terdiri dari tiga fase/stadium yaitu fase

    prodromal, fase erupsi / paraxysmal dan fase convalescen. Periode sejak terjadinya infeksi

    sampai munculnya gejala berkisar antara 10 sampai dengan 12 hari.

  • 42

    a. Fase pertama pada penyakit campak yaitu fase prodromal dimulai dengan demam,

    perasaan tidak enak badan (WHO, 1999). Fase ini berlangsung selama 4-5 hari dengan

    gejala demam yang terus meningkat hingga mencapai puncaknya 39,4C-40,6C,

    malaise, batuk, faring merah, nyeri menelan, foto fobia, konjungtivitis dan hidung

    meler. Menjelang akhir stadium prodormal dan 24 jam sebelum timbul eksantema akan

    timbul bercak koplik yang berwarna putih kelabu sebesar ujung jarum. Bercak ini

    muncul pertama kali pada mukosa bukal yang menghadap gigi molar bawah terutama

    molar tiga tetapi dapat menyebar secara tidak teratur pada mukosa bukal yang lain.

    Menjelang kira-kira hari ke 3 atau 4 dari masa prodormal dapat meluas sampai seluruh

    mukosa mulut. Pada fase ini gambaran penyakit secara klinis menyerupai influenza

    sehingga sering didiagnosis sebagai influenza. Diagnosa campak ditegakkan pada fase

    ini bila ada bercak koplik dan penderita pernah kontak dengan penderita campak dalam

    waktu 2 minggu terakhir.

    b. Fase kedua adalah fase erupsi/paraxysmal. Fase erupsi biasanya berlangsung selama 4-

    7 hari dengan gejala khas koriza dan batuk bertambah. Terjadi ruam atau eritema yang

    berbentuk makula-papula disertai naiknya suhu badan. Eritema biasanya muncul

    pertama kali pada daerah batas rambut dan dahi, serta belakang telinga kemudian pada

    24 jam pertama akan menyebar dengan cepat ke seluruh muka, leher, lengan atas dan

    bagian atas dada. Pada 24 jam berikutnya ruam ini akan menyebar ke seluruh

    punggung, abdomen, seluruh lengan dan paha. Pada saat ruam muncul suhu badan

    kadang-kadang naik sangat tinggi hingga mencapai 40,5C. Pada muka dan dada akan

    terjadi confluent akibat ruam yang muncul saling rengkuh. Kadang-kadang akan terjadi

    perdarahan ringan pada kulit, rasa gatal dan muka bengkak. Ruam ini akan menghilang

  • 43

    dalam 2-3 hari dengan urutan yang sama dengan saat terjadinya. Pada Fase ini

    terdapat pembesaran kelenjar getah bening di sudut mandibula dan di daerah leher

    belakang. Tidak jarang disertai diare dan muntah.

    c. Fase ketiga adalah fase convalescen pada fase ini erupsi berkurang dan terjadi

    hiperpigmentasi, yang lama kelamaan akan menghilang sendiri. Suhu tubuh penderita

    akan menurun pada fase ini kecuali bila terjadi komplikasi. Hiperpigmentasi

    merupakan gejala yang patognomonik untuk morbili yang membedakannya dengan

    penyakit lain yang mempunyai eritema atau eksantema. Pada anak-anak di Indonesia

    pada fase ini sering ditandai dengan kulit bersisik (Casaeri, 2002).

    Menurut Depkes 2006, cara penularan campak adalah:

    a. Penularan terutama melalui batuk, bersin (sekresi hidung). Pada saat pasien batuk atau

    bersin virus akan ikut tersebar ke udara dan dapat bertahan selama 2 jam di udara

    terbuka sehingga dapat menulari orang lain yang berada dekat dengan pasien.

    b. Dapat mulai menularkan 1-3 hari sebelum panas sampai 4 hari setelah timbul rash.

    c. Puncak penularan pada saat gejala awal (fase prodromal), yaitu pada 1-3 hari pertama

    sakit.

    Masa inkubasi penyakit campak adalah 8-13 hari, dengan rata-rata 10 hari.

    2.1.3 Epidemiologi

    Campak merupakan penyakit yang ada diseluruh negara di dunia ini. Campak dikenal

    sebagai penyakit yang infeksius sejak 150 juta tahun yang lalu, pada tahun 1846 Panun

    mempelajari penyakit campak di Kepulauan Faroe dan menyatakan penyakit campak

    merupakan penyakit menular dengan masa inkubasi kurang lebih 2 minggu dan setelah

    infeksi setiap penderitanya akan memiliki kekebalan seumur hidupnya (WHO, 1999).

  • 44

    Pada daerah beriklim sedang penyakit campak biasanya muncul pada musim semi

    dan akhir musim dingin sedangkan di daerah yang beriklim tropis campak lebih banyak

    terjadi pada musim panas. Campak merupakan penyakit endemis di daerah metropolitan dan

    kemungkinan periode untuk terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) umumnya antara 2-3 tahun,

    sedangkan pada daerah yang terpencil interval antar KLB (honeymoon period) umumnya

    lebih panjang, namun daerah yang terkena lebih luas dan lebih berat (Chin, 2009).

    2.1.3.1 Situasi campak di dunia.

    Sebelum vaksin campak digunakan, epidemi campak berulang setiap 2-5 tahun sekali

    dan berlangsung selama 3-4 bulan. Kasus yang terbanyak adalah pada anak-anak usia pra

    sekolah dan pada awal usia sekolah serta sedikit kasus pada usia di atas 20 tahun. Setelah

    digunakannya vaksin campak terjadi penurunan inseden campak secara besar-besaran. Salah

    satu contoh adalah di Amerika Serikat. Sebelum era vaksin setiap tahun dilaporkan 200.000-

    500.000 kasus campak setiap tahunnya tapi sejak tahun 1963 insiden campak berkurang

    hingga 99%. Insiden terendah terjadi pada tahun 1983 namun pada awal tahun 1990-an

    kembali terjadi peningkatan kasus campak sehingga direkomendasikan untuk memulai

    imunisasi dua dosis. Pada tahun 1993 sampai tahun 1996 kurang dari 1000 kasus campak

    pertahun dilaporkan ke CDC. Untuk wilayah Asia tenggara WHO menyebutkan bahwa pada

    tahun 1989 dilaporkan terjadi 440.000 kasus campak dan kemudian menurun menjadi

    88.584 kasus pada tahun 2002. Campak merupakan penyebab utama kematian anak-anak di

    wilayah Asia Tenggara sekitar 29% kematian adalah akibat campak (WHO, 2003).

    Pada tahun 1980 sebelum kebijakan vaksinasi dilaksanakan campak diperkirakan

    telah membunuh 2,6 juta orang setiap tahunnya di seluruh dunia. Selama periode tahun 2000

  • 45

    dan 2008 pelaksanaan imunisasi campak sudah menurunkan kematian akibat campak sebesar

    78% dari 733.000 kematian pada tahun 2000 menjadi 164.000 pada tahun 2008 (WHO,

    2011).

    2.1.3.2 Situasi campak di Indonesia

    Untuk wilayah Indonesia pada tahun 1990 terjadi 218.029 kasus campak dan

    kemudian menurun menjadi 114.531 pada tahun 1997.

    Pada tahun 2009 di Indonesia dilaporkan terdapat 18.055 kasus campak dengan

    angka insiden sebesar 0,77 per 10.000 penduduk. Tiga Provinsi dengan Insident Rate (IR)

    tertinggi adalah Riau (3,52/10.000 penduduk, Sumatera Barat 2/10.000 penduduk dan

    Kalimantan Selatan 1,98 per 10.000 penduduk). Selama periode Januari sampai dengan

    Desember 2009 di Indonesia telah terjadi 96 kali KLB campak, 2.770 penderita ditemukan

    saat KLB dengan kematian 42 orang (1,52%). Kelompok umur tertinggi yang menderita

    campak adalah umur 5-9 tahun yaitu sebesar 5.698 orang sedangkan yang paling rendah

    adalah usia

  • 46

    Penanggulangan penyakit campak terutama dilakukan melalui pengamatan yang ketat

    untuk penemuan kasus secara dini, pengobatan penderita secara dini terutama untuk

    mencegah komplikasi dan pendidikan kesehatan masyarakat untuk menjaga gizi anak,

    menghilangkan kebiasaan yang merugikan penderita dan perlunya imunisasi campak bagi

    anak-anak.

    Pada KLB akibat campak dalam upaya penanggulangannya perlu dilaksanakan

    pemberian vitamin A. Defisiensi vitamin A pada penderita campak berhubungan dengan

    angka komplikasi campak dan tingginya angka kematian akibat campak. Penelitian di USA

    menyebutkan bahwa pada penderita campak yang berusia kurang dari 2 tahun risiko untuk

    menderita komplikasi dua kali lebih besar bila level vitamin A yang dimiliki

  • 47

    2.1.5 Tahap-Tahap Dalam Pemberantasan Campak

    Departemen Kesehatan RI (2008), menyatakan bahwa pemberantasan campak

    meliputi 3 (tiga) tahapan yaitu tahap reduksi, tahap eliminasi dan tahap eradikasi.

    2.1.5.1 Tahap reduksi

    Pada tahapan reduksi campak terbagi menjadi dua tahapan yaitu tahap pengendalian

    dan tahap pencegahan KLB. Pada tahap pengendalian cakupan imunisasi campak sudah lebih

    dari 80%, sudah terjadi penurunan kasus dan kematian dan interval terjadinya KLB berkisar

    antara 4-8 tahun. Pada tahap pencegahan KLB kasus dan kematian telah menurun dengan

    tajam, interval terjadinya KLB lebih panjang.

    2.1.5.2. Tahap eliminasi

    Pada tahap ini cakupan imunisasi sudah lebih dari 95%. Kasus campak sudah sangat

    jarang terjadi dan KLB hampir tidak pernah terjadi. Anak-anak yang dicurigai tidak

    terlindung harus diselidiki dan diberikan imunisasi ulangan.

    Strategi untuk mencapai eliminasi campak meliputi mencapai, mempertahankan dan

    mengevaluasi. Surveilans aktif merupakan komponen penting dalam upaya pencapaian tahap

    eliminasi campak (WHO, 1999).

    2.1.5.3 Tahap eradikasi

    Cakupan imunisasi sudah sangat tinggi dan merata. Pada tahap ini kasus campak

    sudah tidak ditemukan dan transmisi virus sudah dapat diputuskan. Negara- negara di dunia

    sudah memasuki tahap eliminasi.

    Beberapa tantangan yang masih dihadapi dalam pengendalian campak di wilayah

    Asia Tenggara adalah: Menurunkan angka kematian campak pada daerah dengan insiden

    yang tinggi, menyiapkan komitmen jangka panjang, mengimplementasikan strategi Eliminasi

  • 48

    Polio dengan tujuan Eliminasi Campak, memperbaiki cakupan imunisasi dan pelaksanaan

    surveilans campak dan memperkuat manajemen kasus (WHO, 1999).

    2.2 Penelitian yang Berkaitan dengan Faktor Risiko Kejadian Campak

    Campak diperkirakan telah membunuh 2 juta anak setiap tahun dan kebanyakan

    kasus terjadi di negara berkembang. Case Fatality Rate (CFR) campak di negara berkembang

    berkisar antara 3-15%. CFR campak sangat berkaitan dengan umur terkena campak, derajat

    keparahan penyakit, status gizi dan pengobatan (WHO,1999). Faktanya campak berinteraksi

    dengan kekurangan energi, protein dan keadaan defisiensi vitamin A. Pada penderita campak

    yang disertai dengan defisiensi vitamin A dapat mempercepat terjadinya luka pada mata

    (xerophthalmia) terutama bila menyerang anak-anak usia muda dan anak gizi kurang/buruk

    serta keadaan malnutrisi protein dan energi. Kejadian campak umumnya meningkat pada

    lingkungan yang tidak sehat, diperparah oleh gizi buruk dan defisiensi vitamin A, serta anak-

    anak yang kehilangan kekebalan tubuh. Penurunan kekebalan tubuh pada penderita campak

    umumnya bertahan hingga 4 bulan setelah infeksi dan keadaan ini dapat merupakan faktor

    risiko untuk terjadinya komplikasi yang memperparah penyakit campak seperti pneumonia

    dan diare (Andrew, 1989).

    Kematian pada penderita campak umumnya diakibatkan oleh komplikasi yang

    menyertai penyakit campak. Sebuah penelitian yang dilakukan di Dhaka Bangladesh tentang

    efektivitas vaksin dan faktor risiko campak memperlihatkan bahwa campak lebih banyak

    terjadi pada rumah tangga dengan anak lebih dari 1 orang (OR= 4,6; CI= 0,8-24,8; p

  • 49

    dari keluarga yang keadaan sosial ekonominya rendah. Tidak ada interaksi yang signifikan

    dari usia dan jenis kelamin (Akrammuzzaman 2002).

    Pneumonia merupakan komplikasi yang umum terjadi pada penderita campak. Sebuah

    penelitian retrospektif tentang faktor risiko yang menjadi penyebab terjadinya komplikasi

    pneumonia pada penderita campak memperoleh hasil bahwa usia muda dan malnutrisi

    merupakan faktor risiko kejadian campak, sedangkan jenis kelamin dan sejarah paparan

    infeksi sebelumnya tidak terbukti merupakan faktor risiko terjadinya komplikasi pneumonia

    pada campak. Pada penelitian ini juga dilaporkan bahwa status imunisasi memiliki efek

    proteksi terhadap pneumonia (Maria, 2004).

    Kejadian campak kemungkinan berhubungan dengan pertumbuhan yang lambat,

    kekurangan asupan makanan, malabsorbsi dan kehilangan nutrien penting bagi tubuh,

    defisiensi vitamin A dan menurunnya kekebalan tubuh akibat adanya infeksi lain dalam

    tubuh seperti pilek, diare dapat berperan terhadap kejadian campak dan memperparah

    keadaan malnutrisi. Rendahnya asupan makanan dapat menyebabkan anorexsia, dehidrasi

    dan lesi pada mukosa bukal. Jumlah kejadian campak yang sebenarnya terjadi mungkin saja

    lebih tinggi dari yang dilaporkan karena petugas kesehatan seringkali mengidentifikasi

    penyakit masa kanak-kanak hanya sebagai pneumonia/diare dan tidak menyadari bahwa ini

    adalah suatu komplikasi campak (Andrew, 1989).

    Imunisasi campak merupakan upaya pencegahan yang paling efektif untuk menurunkan

    insiden campak. Di negara berkembang imunisasi umumnya diberikan pada usia 9 bulan

    sedangkan di negara maju pemberian imunisasi campak dilaksanakan setelah anak berusia

    12 bulan. Kebijakan ini berhubungan dengan usia kehilangan maternal antibody yang dialami

    anak-anak di negara berkembang berbeda dengan anak-anak di negara maju.

  • 50

    Sebuah studi yang dilaksanakan di perkotaan Afrika untuk mengetahui faktor risiko

    pada bayi muda yang terkena campak di wilayah perkotaan Afrika yang memiliki cakupan

    vaksinasi campak yang tinggi, memperoleh hasil bahwa insiden campak sangat tinggi (sekitar

    4%) pada bayi yang berusia dibawah 1 tahun, dari jumlah ini sekitar 10% penderita berusia

    antara 4,5-9 bulan. Faktor risiko utama tingginya angka insiden campak pada anak-anak ini

    adalah usia ibu. Anak-anak yang terlahir dari ibu yang berusia muda (15-24 tahun) memiliki

    titer antibody yang lebih rendah dan berisiko lebih tinggi untuk terkena campak bila

    dibandingkan dengan anak-anak dari ibu yang lebih tua. Hal ini disebabkan karena ibu muda

    mengirimkan titer antibody yang lebih rendah kepada anak-anak mereka dan meningkatkan

    proporsi bayi yang rentan terhadap campak, sehingga mereka akan terinfeksi campak

    sebelum usia vaksinasi campak (Bale et al, 2011).

    Penyebaran campak erat sekali dengan perilaku, status gizi, keadaan lingkungan dan

    pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan. Sebuah penelitian di Kabupaten Tolitoli

    Provinsi Sulawesi Tengah membuktikan bahwa faktor risiko kejadian campak di Kabupaten

    Tolitoli adalah belum pernah menderita penyakit campak (OR= 22,031; 95%CI= 6,375-

    76,136), status imunisasi (OR= 28,897; 95%CI= 10,471-79,746), status gizi (OR= 5,371;

    95%CI= 1,904-15,151) dan pengetahuan ibu (Suardiyasa, 2008). Penelitian ini sejenis dengan

    yang dilaksanakan di Kabupaten Kendal yang menemukan beberapa faktor risiko yang

    bermakna secara statistik sebagai faktor risiko campak adalah: status tidak diimunisasi, status

    gizi, umur, riwayat kontak, kepadatan hunian, ventilasi dan persepsi jelek tentang campak

    (Casaeri, 2003).

    Penelitian yang dilaksanakan di wilayah Puskesmas Mlonggo I Kabupaten Jepara

    menunjukkan ada hubungan bermakna antara faktor anak (status gizi OR= 0,771, p= 0,47;

  • 51

    status vaksinasi campak OR= 3,76, p= 0,001; dan umur saat vaksinasi campak OR= 3,250,

    p= 0,032) dan faktor lingkungan (kepadatan hunian OR= 6,397, p= 0,0001; ventilasi OR=

    7,091, p= 0,0001; dan pencahayaan OR= 6,052, p= 0,0001) dengan kejadian campak

    (Endang, 2006).

    2.3 Determinan yang Berhubungan dengan Kejadian Campak

    2.3.1 Status Imunisasi

    Pada periode sebelum ditemukannya vaksin, setiap tahun dilaporkan 100 juta

    penderita campak dengan 6,5 juta kematian terjadi di seluruh dunia. Imunisasi yang diberikan

    pada usia 12-15 bulan memberikan imunitas kepada 94-98% penerimanya. Tingkat imunitas

    seseorang terhadap penyakit campak dapat meningkat sampai 99% dengan pemberian

    vaksinasi campak (Chin, 2009).

    Semua orang yang belum pernah terserang campak dan orang-orang yang tidak

    diimunisasi akan rentan terhadap penyakit campak. Pada anak- anak yang sudah pernah

    menderita campak maka kekebalan yang timbul bersifat permanen sehingga serangan

    ulangan penyakit ini jarang terjadi.

    Bayi yang dilahirkan dari seorang ibu yang pernah menderita campak akan memiliki

    maternal antibody terhadap penyakit campak. Namun kadar antibody ini akan berangsur-

    angsur menurun. Perlindungan dari maternal antibody ini hanya 6-9 bulan pertama

    kelahirannya. Bayi yang terlahir dari ibu yang memiliki kekebalan karena vaksinasi campak

    akan menerima antibodi pasif dari ibunya lebih sedikit jika dibandingkan dengan bayi yang

    terlahir dari ibu yang mendapatkan kekebalan alamiah sehingga mereka lebih rentan terhadap

  • 52

    campak dan membutuhkan imunisasi campak yang lebih awal jadwal yang biasa dilakukan

    (Chin, 2009).

    Satu-satunya reservoir penyakit campak adalah manusia, dan penularannya adalah

    melalui kontak langsung hal ini memungkinkan penyakit campak untuk dieradikasi.

    Vaksinasi merupakan upaya yang paling efektif dalam mencegah dan memberantas penyakit

    campak. Pada masa sebelum ditemukannya vaksin campak, lebih dari 90% penduduk telah

    terinfeksi sebelum mereka mencapai usia 20 tahun setiap tahunnya terjadi 100 juta penderita

    kasus dengan 6 juta kematian. Imunisasi dapat menaikkan tingkat imunitas sampai sekitar

    99%. Dengan program imunisasi yang efektif untuk bayi dan anak-anak kasus campak di

    negara seperti Amerika dan Kanada turun sebesar 99% (Chin, 2009). Pemberian imunisasi

    ini telah berhasil menurunkan insiden campak pada kelompok umur bayi (

  • 53

    pada anak dengan usia yang lebih tua telah meningkatkan penularan campak pada bayi. Pada

    daerah yang cakupan imunisasinya cukup baik (>90%) ternyata insiden penularan campak

    pada bayi yang berusia

  • 54

    efesiensi IgG campak melalui plasenta dan bertambahnya antibodi pasif karena

    meningkatnya frekwensi infeksi pada masa bayi serta hilangnya antibodi melalui usus karena

    penyakit diare merupakan penyebab kehilangan antibodi maternal lebih awal terjadi pada

    negara berkembang.

    2.3.1.3 Status gizi

    Pada anak-anak dengan malnutrisi respon imunisasi dilaporkan terganggu, study lain

    juga menyebutkan bahwa angka serokonversi terendah ada pada anak-anak dengan

    malnutrisi/gizi buruk. Expanded Programmme on Imunization (EPI) merekomendasikan

    untuk memberikan prioritas utama pada anak-anak dengan Gizi buruk untuk diimunisasi,

    sebab status gizi yang kurang/buruk merupakan faktor risiko untuk terjadinya campak berat

    dan menurunnya status gizi setelah terinfeksi campak.

    2.3.1.4 Penyakit

    a. Penyakit akut

    Vaksin campak aman dan efektif di berikan pada anak-anak yang sedang menderita

    inveksi akut. Sebuah studi di USA memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan serokonversi

    pada anak anak dengan infeksi saluran pernafasan dibandingkan dengan anak-anak yang

    sehat. WHO merekomendasikan imunisasi campak tidak berbahaya diberikan pada anak-

    anak dengan infeksi akut namun apabila anak sakit cukup berat imunisasi dapat ditunda

    sampai anak sembuh.

    b. Anak dengan Imunosupresi

    Anak-anak dengan imunosupresi merupakan kontraindikasi terhadap imunisasi

    campak karena dikhawatirkan akan terjadi efek samping. Pada anak-anak yang menderita

  • 55

    infeksi HIV, imunisasi campak tetap dapat diberikan karena penelitian menunjukkan tidak

    ada efek samping pada anak penderita HIV yang diimunisasi pada usia sembilan bulan di

    negara berkembang dan usia 12 bulan di negara maju. Serokonversi pada anak dengan infeksi

    HIV ditemukan lebih rendah dibandingan dengan anak normal. Untuk anak-anak yang

    sedang menjalani kemoterapi ACIP merekomendasikan vaksinasi harus ditangguhkan karena

    respon antibodi anak yang sedang dalam kemoterapi atau radiasi menjadi lemah. Setelah 3

    bulan selesasi terapi anak dapat divaksinasi campak.

    2.3.1.5 Faktor agent

    Faktor agent yang berpengaruh pada respon imunisasi adalah strain virus dan dosis

    vaksin. Strain dari vaksin virus yang pertama mempunyai respon imunnologis yang lebih

    besar dari pada strain virus yang kemudian semakin dilemahkan. Dosis yang

    direkomendasikan WHO adalah 0,5 ml. Hasil penelitian membuktikan bahwa respon

    imunologis akan lebih rendah apabila dosis ini diturunkan.

    2.3.1.6 Faktor lain

    Selain faktor host dan agent terdapat faktor lain yang menentukan respon imunisasi

    adalah faktor program seperti cold chain, dan teknik penyuntikan.

    Bila kita lihat dari faktor program yang dapat mempengaruhi respon terhadap

    imunisasi antara lain pemeliharaan cold chain yang buruk dapat mengakibatkan rendahnya

    efficacy vaksin. Vaksin sangat sensitive terhadap panas dan sinar matahari. Menggunakan

    desinfektan untuk sterilisasi jarum suntik dan variasi dosis yang digunakan dapat

    menurunkan efikasi vaksin. Hasil penelitian yang dilakukan di Serang menemukan bahwa

    efikasi vaksin campak pada balita yang berusia 15-59 bulan sangat rendah yaitu sebesar 16%

    populasi dengan efektifitas vaksin tidak kurang dari 47% pada kelompok yang diimunisasi

  • 56

    campak dengan cakupan 90%. Capaian ini masih sangat rendah bila dibandingkan dengan

    standar WHO yaitu efikasi 80% dengan cakupan imunisasi 80% ( Salmapadri, 2002).

    2.3.2 Status Gizi

    Status gizi didifinisikan sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan

    oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan. Status ini ditunjukkan dengan

    penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang

    berasal dari pangan yang dikonsumsi (Almatsier (2001).

    2.3.2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi

    Status gizi penduduk dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks seperti sosial,

    ekonomi, budaya kesehatan, lingkungan alam maupun penduduk yang saling berkaitan satu

    dengan yang lainnya. Pada tahun 2003 diperkirakan 27,5% balita mengalami gangguan gizi

    kurang dan 8,5% diantaranya mengalami gizi buruk. WHO menyatakan prevalensi KEP di

    Indonesia termasuk tinggi.

    Penyebab timbulnya gizi kurang/buruk pada anak balita umumnya dapat dibedakan

    menjadi penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung terdiri dari makanan dan

    penyakit infeksi yang diderita anak. Sedangkan penyebab tidak langsung diantaranya

    ketahanan pangan keluarga, pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan serta kesehatan

    lingkungan.

    2.3.2.2 Penilaian status gizi secara antropometri

    Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

    1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.

    Penggunaan antropometri sebagai salah satu metode untuk mengukur status gizi masyarakat

    sangat luas. Antropometri adalah cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan di

  • 57

    masayarakat. Contoh penggunaannya pada, program gizi masyarakat dalam pengukuran

    status gizi balita ataupun kegiatan penapisan status gizi masyarakat. Antropometri gizi

    berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari

    berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.

    Keunggulan Antropometri :

    1. Prosedur sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel cukup besar.

    2. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli.

    3. Alat murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dan dibuat di daerah setempat.

    4. Metode ini tepat dan akurat, karena dapat dibakukan.

    5. Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau.

    6. Umumnya dapat mengidentifikasi status buruk, kurang dan baik, karena sudah ada

    ambang batas yang jelas.

    7. Dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu, atau dari satu generasi

    ke generasi berikutnya.

    8. Dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi.

    Sebagai indikator status gizi, antropometri dapat dilakukan dengan mengukur

    beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia.

    Jenis parameter antropometri : umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar

    kepala, lingkar dada, dan jaringan lunak.

    Pengukuran dari beberapa parameter akan merupakan indeks antropometri. Indeks

    antropometri merupakan rasio dari suatu pengukuran terhadap satu atau lebih pengukuran

    atau yang dihubungkan dengan umur.

    Beberapa indeks antropometri :

  • 58

    1. BB/U (Berat Badan terhadap Umur)

    2. TB/ U (Tinggi Badan terhadap Umur)

    3. BB/ TB (Berat Badan terhadap Tinggi Badan)

    4. Lila/ U (Lingkar Lengan Atas terhadap Umur)

    5. Indeks Massa Tubuh (IMT)

    6. Tebal Lemak Bawah Kulit menurut Umur

    7. Rasio Lingkar Pinggang dan Pinggul

    Berdasarakan standar antripometri bahwa status gizi balita (anak umur 0-60 bulan)

    dapat diukur berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U), panjang badan menurut umur

    (PB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut panjang badan (BB/PB),

    berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), dan index masa tubuh menurut umur (IMT/U).

    Sedangkan untuk anak berumur 5-18 tahun status gizi dapat dihitung dengan index masa

    tubuh menurut umur (IMT/U).

    a. Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

    Ukuran antropometri yang memberikan gambaran tentang masa tubuh (otot dan lemak)

    adalah berat badan. Berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat labil

    karena masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak seperti penyakit

    infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya makanan yang dikonsumsi.

    Penggunaan indeks BB/U sebagai status gizi sensitif untuk melihat perubahan status gizi

    jangka pendek dan lebih menggambarkan status gizi seseorang pada masa kini.

  • 59

    b. Indeks Berat badan/ Tinggi Badan (BB/TB)

    Pengukuran indeks BB/TB tidak memerlukan data umur. Indeks BB/TB dapat menjadi

    indikator status gizi saat ini, namun tidak dapat menggambarkan apakah anak pendek

    atau cukup tinggi badan atau kelebihan TB menurut umur karena umur tidak

    dipertimbangkan.

    c. Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

    Indeks TB/U dapat digunakan untuk menggambarkan status gizi masa lampau dan

    sebagai indikator perkembangan sosial ekonomi masyarakat.

    d. Indeks Masa Tubuh Menurut Umur (IMT/U)

    Pengukuran status gizi anak usia 0-60 bulan berdasarkan IMT/U status gizi

    dikatagori menjadi:

    1. Sangat kurus dengan ambang batas (z-score)

  • 60

    IMT = Berat badan (kg)_______

    Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m)

    Kehilangan berat badan akibat campak sangat sering terjadi. Sebuah studi di Afrika

    melaporkan bahwa penyakit campak menyebabkan penurunan berat badan yang drastis dan

    campak dilaporkan lebih banyak terjadi pada anak-anak dengan maramus kwashiorkor di

    Negeria (Andrew, 1989).

    Campak pada umumnya lebih parah ditemukan pada anak-anak usia dini dan yang

    kekurangan gizi. Pada golongan ini campak biasanya ditemukan dengan ruam dengan

    perdarahan, kehilangan protein karena enterophaty, otitis media, sariawan, dehidrasi,diare,

    dan infeksi kulit yang berat (Chin, 2009).

    Derajat keparahan penyakit campak akan lebih berat dan dapat menyebabkan kematian

    pada anak-anak dengan malnutrisi karena status gizi yang kurang/buruk merupakan faktor

    risiko untuk terjadinya campak berat dan status gizi anak dapat menurun setelah terinfeksi

    campak (WHO, 1999).

    2.3.3 Defisiensi Vitamin A

    Pada anak-anak dengan defisiensi vitamin A, penyakit campak akan semakin parah.

    Pada komunitas yang terlindungi dari defisiensi vitamin A kematian akibat campak dapat

    dikurangi. Perlindungan terhadap defisiensi vitamin A tidak hanya melalui pemberian

    vitamin A secara regular, namun dengan memastikan bahwa seluruh anak penderita campak

    telah mendapatkan suplemen vitamin A. Sebuah penelitian di Tazmania memperlihatkan

    terjadinya penurunan CFR ketika anak-anak penderita campak diberikan vitamin A (Andrew,

    1989). Pemberian vitamin A dosis tinggi pada anak-anak penderita campak sejak awal sakit

  • 61

    secara bermakna telah menurunkan angka komplikasi dan kematian akibat campak sekitar

    66% (UNICEF, 2007).

    Kekurangan vitamin A dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh, dan menggangu

    fungsi sel-sel yang melindungi lapisan paru-paru dan usus. Keadaan ini mengakibatkan sel-

    sel tidak mampu untuk mencegah terjadinya infeksi (WHO, 2004).

    Beberapa survei epidemiologi menemukan hubungan antara defisiensi vitamin A

    dengan infeksi dan menemukan faktor penyebab utamanya. Sebuah studi pada anak-anak

    Indonesia memperlihatkan anak-anak penderita campak yang menderita defisiensi vitamin A

    lebih berisiko untuk terkena komplikasi seperti diare daan gangguan pernafasan. Studi ini

    juga memberikan bukti bahwa pemberian suplemen vitamin A pada anak-anak penderita

    campak di Indonesia menurunkan sekitar 34% kematian akibat campak (WHO, 2004).

    Anak-anak berusia kurang dari 2 tahun dengan tingkat vitamin A yang sangat rendah

    apabila terkena infeksi campak akan memiliki risiko kematian dua kali lebih besar

    dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki tingkat vitamin A yang lebih tinggi.

    Kekurangan vitamin A dikaitkan dengan tingginya komplikasi dan kematian akibat campak.

    Pemberian terapi vitamin A dapat mengurangi tingkat keparahan akibat komplikasi penyakit

    campak seperti pneumonia dan diare. Lama perawatan dirumah sakit juga berkurang dengan

    pemberian terapi vitamin A pada penderita campak (WHO, 2004).

    2.3.4 Pendidikan

    Bagaimana seseorang bertindak dan mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya

    sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. Orang yang berpendidikan tinggi umumnya

    bersikap lebih rasional sehingga mereka lebih mudah dalam menerima gagasan baru.

    2.3.5 Perilaku

  • 62

    Faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan

    individu adalah perilaku. Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia baik yang

    dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Soekidjo, 2005).

    Persepsi sehat-sakit diantara masyarakat berbeda-beda. Persepsi ini mempengaruhi

    perilaku masyarakat dalam mencari pelayanan kesehatan. Perilaku pencarian pelayanan

    kesehatan oleh masyarakat dibedakan menjadi:

    a. Tidak bertindak apa-apa. Masyarakat yang menderita sakit tidak melakukan apapun

    terhadap sakit yang diderita dengan berbagai alasan seperti kondisi sakitnya tidak

    mengganggu kegiatan sehari-hari, penyakit itu akan hilang dengan sendirinya tanpa

    diobati, fasilitas kesehatan letaknya sangat jauh, petugas kesehatan tidak simpatik, takut

    pergi ke rumah sakit ataupun karena tidak adanya biaya.

    b. Tindakan mengobati sendiri. Alasan masyarakat mengobati diri sendiri biasanya karena

    mereka sudah percaya pada diri sendiri dan berdasarkan pengalaman yang lalu usaha

    mengobati sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan.

    c. Mencari pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional menduduki peringkat pertama

    pada masyarakat pedesaan dibanding pengobatan lainnya. Hal ini disebabkan karena pada

    masyarakat yang masih sederhana masalah sehat-sakit lebih bersifat budaya

    dibandingkan dengan gangguan fisik sehingga masyarakat lebih memilih pengobatan

    yang berorientasi kepada sosial budaya dibanding metode pengobatan yang bersifat

    asing.

    c. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat dan sejenisnya

    termasuk tukang jamu. Obat-obatan yang mereka peroleh umumnya obat yang tidak

    memakai resep sehingga sukar untuk dikontrol.

  • 63

    d. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang disediakan pemerintah

    atau lembaga kesehatan swasta seperti balai pengobatan, puskesmas dan rumah sakit.

    e. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh dokter

    praktek.

    2.3.6 Keadaan Sosial Ekonimi Keluarga

    Anak-anak yang tubuh pada lingkungan sosial ekonomi yang buruk umumnya lebih

    mudah mengalami infeksi silang. Kemiskinan bertanggung jawab terhadap penyakit yang

    ditemukan pada anak. Kemiskinan dapat mengurangi kapasitas orang tua untuk mendukung

    perawatan kesehatan bagi anak-anak mereka.

    2.3.7 Kepadatan Hunian

    Menurut Aaby dkk yang dikutip oleh Casaeri, 2001, anak-anak yang tinggal di rumah

    yang padat penghuni memiliki attack rate campak yang lebih besar dibandingkan dengan

    anak-anak yang tinggal di rumah yang tidak padat penghuni. Tempat-tempat umum seperti

    sekolah dasar dan tempat berkumpulnya anak-anak dapat merupakan bagian yang

    mempengaruhi intensitas campak selain tempat tinggal.

  • 64

    2.4 Kerangka Teori Penelitian

    Determinan Sosial Ekonomi

    Status gizi

    Kekurangan Vit A

    Asupan makanan

    Sehat

    Faktor Ibu

    Riwayat kontak

    Kepadatan hunian

    Ventilasi

    Kondisi Lingkungan

    Status Imunisasi

    Akses terhadap layanan kesehatan

    Kecelakaan

    Umur

    Faktor diri anak

    Antibody Campak

    SAKIT CAMPAK

    Gangguan pertumbuhan

    Kematian

    Faktor host

    Faktor pelaksanaan

    Program Imunisasi

    Faktor agent

    Pendidikan

    Tradisi

    Persepsi

    Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian

  • 42

    Kerangka teori penelitian dibuat mengacu pada konsep sehat sakit menurut Mosley

    dan dimodifikasi berdasarkan teori-teori, atau penelitian-penelitian yang memuat faktor-

    faktor risiko yang mempengaruhi kejadian campak.

    Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa yang dapat menjadi faktor risiko

    penyakit campak adalah status imunisasi, faktor ibu, faktor kondisi lingkungan, status gizi

    anak. Faktor ibu sebagai faktor risiko campak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu,

    persepsi ibu tentang penyakit campak dan tradisi suatu daerah yang menentukan tindakan ibu

    apabila anaknya terkena campak. Kondisi lingkungan terutama akses ke pelayanan kesehatan

    dan faktor ibu bisa juga mempengaruhi status imunisasi dari seorang anak. Tujuan dari

    imunisasi adalah terbentuknya anti body terhadap campak. Keberhasilan imunisasi

    dipengaruhi oleh faktor host, faktor agent dan pelaksanaan program imunisasi terutama

    penyimpanan vaksin. Status gizi anak dan riwayat kontak anak dengan penderita campak

    juga merupakan faktor risiko seorang anak tertular campak.